Askep Fraktur Femur Bagian Kedua
Askep Fraktur Femur Bagian Kedua
biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Fraktur femur sendiri akan
lebih banyak mengeluarkan perdarahan dariapada fraktur di bagian tubuh lainnya.
Pasien dengan fraktur femur akan lebih beresiko jatuh dalam kondisi syok.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menyusun makalah ini. Sebagai
petugas kesehatan, hendaknya kita mengetahui tentang bagaimana penanganan
yang tepat bagi pasien dengan fraktur femur, sehingga diharapkan dapat
memberikan tingkat kesembuhan yang optimal bagi pasien tersebut.
1.2 Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini,
yaitu antara lain:
1. untuk mengetahui pengertian dari fraktur femur;
2. untuk mengetahui etiologi dari fraktur femur;
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang
lokasi benturan.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat
berbagai keadaan berikut, yakni:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif,
3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
pada tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang
yang bertugas di bidang kemiliteran.
2.3 Klasifikasi
Secara umum, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
yakni:
1) Berdasarkan keutuhan kulit
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
derajat, yaitu:
1) Derajat I
a. luka kurang dari 1 cm;
b. kerusakan jaringan lunak dan sedikit/tidak ada tanda luka remuk;
d. kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a. laserasi 1-10 cm;
b. kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse; dan
3.
1/3 proksimal
b.
1/3 tengah
c.
1/3 distal
medial
b.
tengah/mid
c.
lateral
4.
berhubungan
2) Fraktur segmental, dimana garis patah lebih dari satu tetapi saling
berhubungan
3) Fraktur multiple, dimana garis patah lebih dari satu tetapi pada
Ekstrakapsuler
2. tipe 2 :
3. tipe 3 :
8) Pergerakan abnormal
9) Syok hipovolemik
10) Krepitasi (Black, 1993:199).
2.5 Patofisiologi
Proses penyembuhan tulang terdiri dari beberapa fase yaitu:
1. Fase Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tubuh akan mengalami respons yang sama
seperti pada cedera dibagian tubuh lainnya. Perdarahan akan terjadi dalam
jaringan yang cedera dan terjadi pula pembentukan hematoma di tempat
atau area patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi
karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi
oleh makrofag yang berfungsi membersihkan daerah tersebut. Pada tahap
ini, terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap ini berlangsung
selama beberapa hari dan hilang perlahan ditandai dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.
2. Fase Proliferasi Sel
tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan dan pergeseran tulang. Diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu
agar fragmen tulang bergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
4. Fase Osifikasi
primer yang ditunda (delayed primary suture). Antibiotika dan antitetanus sebaiknya diberikan, seperti pada setiap fraktur terbuka.
2.6.2 Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksanaan fraktur mengalami banyak perubahan.
Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai banyak
kerugian dalam hal memerlukan masa berbaring dan rehabilitasi
yang lama, meskipun merupakan penatalaksanaan non invasif
pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu, tindakan ini tidak banyak
dilakukan pada orang dewasa (Rosenthal, 1990). Bila keadaan
penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat diimobilisasi
dengan salah satu dari tiga cara berikut ini, yaitu:
1)
Traksi
Comminuted
fracture
untuk intramedullary
dan
fraktur
nailing
paling
yang
baik
tidak
sesuai
diatasi
dengan
minggu
yang
pertama
dan
setiap
minggu
Fiksasi interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk
fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus
terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak
cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika
hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan
lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal
ini
hampir
selalu
menyebabkan
non-union. Keuntungan
anestesi,
trauma
bedah
tambahan
dan
baik dirawat
dengan
locking
nail
yang
dapat
Fiksasi eksterna
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus
terlihat
pada
pemeriksaan
radiologis,
yang
biasanya
memadai.
aksi antagonis pada fragmen atas untuk abduktor dan fragmen distal
untuk aduktor.
e) Trauma arteri dan saraf, namu ini jarang terjadi (Djuantoro, 1997).
steroid anabolik
7. Potensial listrik pada patahan tulang (Brunner dan Suddarth,
2008:2361).
2.8.2 Faktor yang Menghambat Penyembuhan
1. Imobilisasi tak memadai
2. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang
3. Infeksi
4. Keganasan lokal
5. Penyakit tulang metabolik (misal penyakit Piaget)
6. Nekrosis avaskuler
7. Usia (lansia akan sembuh lebih lama)
8. Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan) (Brunner dan
Suddarth, 2008:2361).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan.
Dalam melakukan pengkajian, harus memperhatikan data dasar pasien.
Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan
ketelitian dalam tahap pengkajian. Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien
dengan fraktur femur diantaranya adalah:
1. Identitas pasien
Identitas ini meliputi nama, usia, TTL, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku bangsa, dan pendidikan.
2.
Keluhan utama
3.
4.
5.
Pemeriksaan fisik
a. Pola aktivitas/istirahat
Aktifitas klien terganggu akibat keterbatasan/kehilangan fungsi dari
femur klien
b. Pola Sirkulasi
Pasien dengan fraktur femur dapat terjadi hipertensi (sebagai respon
nyeri ataupun ansietas) ataupun hipotensi (akibat kehilangan darah).
Selain itu, akan terjadi takikardi sebagai respon stress dan
hipovolemia, pembengkakan jaringan atau massa hematom pada sisi
cedera, dan penurunan nadi pada bagian distal yang cedera.
c. Neurosensori
Tanda dan gejala yang muncul yakni hilangnya gerakan/sensasi,
spasme otot, kesemutan, deformitas lokal, pemendekan, rotasi,
krepitasi dan agitasi.
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala yang dirasakan klien yakni nyeri berat tiba-tiba pada saat
cedera dan spasme otot setelah imobilisasi.
6.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dengan sinar X harus dilakukan dengan dua proyeksi yaitu
anterior posterior dan lateral. Kekuatan yang hebat sering menyebabkan
cedera pada lebih dari satu tingkat karena itu bila ada fraktur pada femur
perlu juga diambil foto sinar X pada pelvis dan tulang belakang. Apabila
dicurigai terdapat kerusakan vaskuler, maka perlu dilakukan arteriogram.
5. pertahankan
posisi/integritas traksi;
mobilitas/kenyamanan
pasien lebih besar. Kurang
atau berlebihannya
keketatan klem/ikatan
dapat mengubah tekanan
kerangka dan
menyebabkan kesalahan
posisi;
5. traksi memungkinkan
tarikan pada aksis panjang
fraktur tulang dan
mengatasi tegangan
otot/pemendekan untuk
memudahkan
posisi/penyatuan.
6. mempertahankan
integritas tarikan traksi;
7. memberikan bukti
visual mulainya
pembentukan kalus/proses
penyembuhan untuk
menentukan tingkat
aktifitas dan kebutuhan
terapi.
Diagnosa Keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, atau cedera pada
jaringan lunak.
Setelah pemberian intervensi, 1. pertahankan imobilisasi bagian 1. menghilangkan nyeri dan S: Pasien mengatakan
klien akan menyatakan
yang sakit dengan tirah baring,
mencegah kesalahan posisi
penurunan ataupun
penurunan atau bahkan tidak
gips, traksi, pembebat;
tulang
atau
tegangan
hilangnya nyeri yang
adanya nyeri pada daerah
jaringan yang cedera;
dirasakan.
2. tinggikan
dan
dukung 2. meningkatkan aliran balik O:
fraktur.
ekstremitas yang terkena;
vena, menurunkan edema
a. Skala nyeri berkurang.
dan nyeri;
b. Pasien mau berbicara
3. hindari penggunaan sprei atau 3. dapat
meningkatkan
tentang sakitnya pada
bantal dibawah ekstremitas
ketidaknyamanan
karena
perawat.
dengan gips;
peningkatan
produksi
c. Pasien dapat istirahat
panas dari gips;
atau
tidur
dengan
4. pantau atau evaluasi keluhan 4. mempengaruhi pilihan atau
nyenyak.
nyeri atau ketidaknyamanan
pengawasan
keefektifan A : Tujuan tercapai sebagian
klien, perhatikan karakteristik,
intervensi;
P :
lokasi, intensitas nyeri (skala
a.
Lanjutkan
0-10);
intervensi keperawatan
5. dorong
pasien
untuk 5. membantu menghilangkan
b.
Pantau terus
mendiskusikan masalah yang
skala nyeri pasien
ansietas klien;
berhubungan dengan fraktur
yang dialami;
6. berikan alternatif tindakan 6. meningkatkan
sirkulasi
kenyamanan, misal perubahan
umum, menurunkan area
posisi;
tekanan lokal dan kelelahan
otot;
untuk 7. meningkatkan kemampuan
teknik
koping manajemen nyeri;
seperti
latihan
7. dorong
klien
menggunakan
manajemen
nyeri,
relaksasi progresif,
napas dalam;
8. identifikasi aktifitas terapeutik 8. mencegah
kebosanan,
yang tepat untuk usia pasien
menurunkan
tegangan,
dan kemampuan fisik;
meningkatkan
kekuatan
otot, meningkatkan harga
diri dan koping klien;
9. berikan kompres dingin 24-48 9. menurunkan
jam pertama;
edema/pembentukan
hematoma,
menurunkan
sensasi nyeri;
10. kolaborasi
dengan 10. menurunkan nyeri dan
dokter terkait
dengan
spasme otot.
tindakan
pengobatan.
Diagnosa Keperawatan: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan.
Setelah dilakukan intervensi 1. pantau tanda-tanda vital;
1. tanda-tanda vital dapat S: keperawatan, volume cairan
mendeteksi
bukti
fisik O:
a.
TTV
dalam
klien seimbang.
penapisan cairan;
batas normal;
2. kaji kualitas dan frekuensi
2. mengetahui
dan
b.
perdarahan
nadi, tekanan darah;
mendeteksi
syok
berhenti.
3. kaji sumber, lokasi dan
hipovolemik;
banyaknya perdarahan;
3. mengidentifikasikan
A: tujuan tercapai sebagian.
5.
6.
7.
6.
a wa
si TD saat melakukan aktifitas,
perhatikan keluhan pusing
pada klien;
7.
kola
borasi dengan ahli terapi
fisik/okupasi dan/atau
rehabilitasi spesialis.
Diagnosa Keperawatan: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, tindakan bedah perbaikan,
pemasangan traksi pen, kawat, maupun sekrup.
Setelah intervensi diberikan, 1. pantau tanda-tanda vital;
1. suhu, nadi, dan respirasi S: pasien akan menunjukkan
akan meningkat sebagai O: a. TTV dalam batas
keadekuatan integritas kulit.
respon terhadap infeksi;
normal;
informasi
2. kaji kulit untuk luka terbuka, 2. memberikan
benda
asing,
kemerahan,
perdarahan, perubahan warna;
alat traksi;
6. lakukan perawatan kulit pada 6.
pasien dengan penggunaan
gips dan traksi;
7. kolaborasi dalam pemberian 7.
antibiotik
setelah
bedah
perbaikan.
Diagnosa Keperawatan: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer, kerusakan kulit,
trauma jaringan, atau terpajannya dengan lingkungan.
Setelah pemberian intervensi, 1. inspeksi kulit untuk adanya 1. pen atau kawat tidak harus S: pasien
diharapkan
tidak
iritasi
atau
robekan
dimasukkan melalui kulit O: d. klien tidak eritema,
terkena infeksi.
kontinuitas;
yang terinfeksi, kemerahan
5. awasi pemeriksaan
laboratorium (hitung darah
lengkap, LED, kultur);
atau
abrasi
(dapat
tidak demam dan tidak
menimbulkan
infeksi
ada drainage purulen;
tulang);
e. klien
mencapai
2. dapat
mengindikasikan
penyembuhan
luka
timbulnya infeksi lokal atau
sesuai waktu.
nekrosis jaringan yang dapat A:
menimbulkan osteomielitis; Tujuan tercapai sebagian
P:
3. kekakuan otot, spasme tonik
a. pantau terus area kulit
otot rahang dan disfagia
klien;
menunjukkan
terjadinya
b. pantau terus nilai
tetanus;
laboratorium klien yang
4. adanya drainase purulen
mengindikasikan
ada
akan
memerlukan
atau tidaknya proses
kewaspadaan
luka/linen
infeksi.
untuk
mencegah
a)
kontaminasi silang;
5. anemia dapat terjadi pada
osteomielitis,
leukositosis
biasanya ada pada proses
infeksi,
LED
akan
meningkat
pada
osteomielitis,
kultur
dilakukan
untuk
mengidentifikasi organism
infeksi;
6. antibiotik spectrum luas
6. kolaborasi dalam pemberian
dapat digunakan secara
program pengobatan:
profilaksis
atau
dapat
antibiotik.
ditujukan
pada
mikroorganisme khusus.
Diagnosa Keperawatan: Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang kondisi, prognosis
maupun kebutuhan pengobatan.
Setelah intervensi diberikan, 1. kaji ulang patologi, prognosis,
1. memberikan
dasar S:
pasien
tidak
mengalami
dan harapan yang akan
pengetahuan dimana pasien Klien mengatakan
defisit pengetahuan akan
datang;
dapat membuat pilihan peningkatan pengetahuan
kondisi, prognosis maupun
informasi;
akan kondisi, prognosis
kebutuhan pengobatan.
2. berikan penguatan metode
2. kerusakan lanjut dan maupun kebutuhan
mobilitas dan ambulasi sesuai
pelambatan penyembuhan pengobatan
instruksi dengan terapi fisik
dapat
terjadi
akibat O:
bila diindikasikan;
ketidaktepatan
dalam
e. klien mampu dengan
penggunaan alat ambulasi;
benar melakukan
3. bantu
pasien
dalam
3. memberikan
prosedur yang telah
menentukan daftar aktifitas
penyusunan aktifitas yang
dijelaskan perawat.
dimana
pasien
dapat
tepat sesuai kondisi klien, A:
melakukannya secara mandiri
memberikan pengetahuan Tujuan tercapai sebagian
dan
yang
memerlukan
pada klien tentang daftar P:
bantuan;
aktifitas
yang
dapat
a. berikan pula
4. apabila pasien memakai gips,
dilakukan;
pengetahuan tentang
ajarkan penggunaan kantong
4. melindungi
dari
perawatan pasien pada
keluarga.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989:144). Fraktur femur adalah
rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung,
kelelahan
otot,
kondisi-kondisi
tertentu
seperti
degenerasi
nyeri,
kehilangan
sensasi,
pergerakan
abnormal,
dan
syok
volume
cairan
berhubungan
dengan
adanya
perdarahan.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya gangguan
neuro muscular.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company:
Philadelpia.
Brunner dan Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta: EGC.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Djuantoro, Dwi. 1997. Fraktur Batang Femur. http://www.kalbe.co.id/files/
cdk/files/16FrakturBatangFemur120.pdf/16FrakturBatangFemur120.ht
ml. [20 April 2011].
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E, dkk. 2010. Nursing Care Plans: Guidelines for
Individualizing Client Care Across the Life Span. Philadelphia: F.A. Davis
Company.
E. Oerswari. 1989. Bedah dan Perawatannya. Jakarta: PT Gramedia.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
Long; BC and Phipps WJ. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A
Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi.
Jakarta: EGC.
31