Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beberapa tahun belakangan ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi
masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh
dunia. Bahkan, WHO telah menetapkan dekade 2000-2010 menjadi Dekade
Tulang dan Persendian. Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas, baik dari
segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan
bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas
kemungkinan terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara
itu, traumatrauma lain yang dapat mengakibatkan fraktur adalah jatuh dari
ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olahraga. Hal inilah yang menjadi
penyebab terjadinya fraktur pada masyarakat.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tibatiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan
atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Dampak trauma
pada tulang sendiri bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Sebagai
petugas kesehatan, kita harus dapat membayangkan rekonstruksi terjadinya
kecelakaan agar dapat menduga fraktur yang dapat terjadi.
Fraktur bukan hanya persoalan terputusnya kontinuitas tulang dan
bagaimana mengatasinya, akan tetapi harus ditinjau secara keseluruhan dan harus
diatasi secara simultan. Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga
dapat sekaligus merusak jaringan lunak di sekitar fraktur mulai dari otot, fascia,
kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organorgan penting lainnya.
Selain itu, juga harus dilihat apa yang terjadi secara menyeluruh, bagaimana, jenis
penyebabnya, apakah ada kerusakan kulit, pembuluh darah, syaraf, dan harus
diperhatikan lokasi kejadian, serta waktu terjadinya agar dalam mengambil
tindakan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal.
Salah satu dari kejadian fraktur yang ada di masyarakat adalah fraktur
femur. Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian), dan

biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Fraktur femur sendiri akan
lebih banyak mengeluarkan perdarahan dariapada fraktur di bagian tubuh lainnya.
Pasien dengan fraktur femur akan lebih beresiko jatuh dalam kondisi syok.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis menyusun makalah ini. Sebagai
petugas kesehatan, hendaknya kita mengetahui tentang bagaimana penanganan
yang tepat bagi pasien dengan fraktur femur, sehingga diharapkan dapat
memberikan tingkat kesembuhan yang optimal bagi pasien tersebut.
1.2 Tujuan
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini,
yaitu antara lain:
1. untuk mengetahui pengertian dari fraktur femur;
2. untuk mengetahui etiologi dari fraktur femur;

3. untuk mengetahui klasifikasi dari fraktur femur;


4. untuk mengetahui tanda dan gejala dari fraktur femur;
5. untuk mengetahui patofisiologi dari fraktur femur;
6. untuk mengetahui penatalaksanaan dari fraktur femur;
7. untuk mengetahui komplikasi dari fraktur femur;

8. untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur femur;


dan
9. untuk mengetahui asuhan keperawatan dari fraktur femur.

BAB I TINJAUAN TEORI


2.1 Pengertian
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989:144). Fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur
dimana tidak ada hubungan antara patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka
adalah fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk
terjadi infeksi (Sjamsuhidajat, 1999:1138).
Fraktur femur

adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang

dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu


seperti degenerasi tulang/osteoporosis (Long, 1985). Fraktur femur adalah
terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung
(kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak
dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak dan dapat mengakibatkan pendertia jatuh dalam
kondisi atau keadaan syok (FKUI, 1995:543).
2.2 Etiologi
Penyebab fraktur secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Cedera traumatik

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Cedera traumatik pada tulang dapat dibedakan dalam hal berikut, yakni:
1) Cedera langsung, berarti pukulan langsung terhadap tulang

sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya


menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.

2) Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari

lokasi benturan.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini, kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit akibat
berbagai keadaan berikut, yakni:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), dimana berupa pertumbuhan

jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.


2) Infeksi, misalnya osteomielitis, yang dapat terjadi sebagai akibat

infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif,
3) Rakhitis, merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh

defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet,


biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena
asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan, dimana disebabkan oleh stress atau tegangan atau tekanan

pada tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang
yang bertugas di bidang kemiliteran.
2.3 Klasifikasi
Secara umum, fraktur dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
yakni:
1) Berdasarkan keutuhan kulit
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar.


b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar.

Fraktur terbuka sendiri dibagi menjadi tiga

derajat, yaitu:
1) Derajat I
a. luka kurang dari 1 cm;
b. kerusakan jaringan lunak dan sedikit/tidak ada tanda luka remuk;

c. fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan; dan

d. kontaminasi ringan.
2) Derajat II
a. laserasi 1-10 cm;
b. kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse; dan

c. fraktur komuniti sedang.


3) Derajat III
Pada derajat ini, luka lebih dari 10 cm dan terjadi kerusakan jaringan
lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta
kontaminasi derajat tinggi.

Gambar 1: Fraktur Terbuka

Gambar 2: Fraktur Tertutup

Gambar 3: Pembagian tipe fraktur terbuka

2. Berdasarkan keutuhan tulang


a. Fraktur complete
Fraktur dikatakan komplet apabila patah pada seluruh garis tengah tulang
dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur incomplete
Fraktur dikatakan inkomplet apabila patah hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.

Gambar 4: Fraktur Komplit

3.

Gambar 5: Fraktur Inkomplit

Berdasarkan lokasi patah


Pada tulang panjang, seperti femur, maka dibedakan menjadi:
a.

1/3 proksimal

b.

1/3 tengah

c.

1/3 distal

Pada tulang melintang, dibedakan menjadi:


a.

medial

b.

tengah/mid

c.

lateral

4.

Jenis khusus fraktur


a) Bentuk garis patah
1) Garis patah melintang
2) Garis patah obliq

3) Garis patah spiral


4) Fraktur kompresi
5) Fraktur avulse
b) Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif, dimana garis patah lebih dari satu dan saling

berhubungan
2) Fraktur segmental, dimana garis patah lebih dari satu tetapi saling

berhubungan
3) Fraktur multiple, dimana garis patah lebih dari satu tetapi pada

tulang yang berlainan.


c) Bergeser-tidak bergeser

Fraktur tidak bergeser apabila garis patah komplit tetapi kedua


fragmen tidak bergeser.

Fraktur bergeser apabila terjadi pergeseran

fragmen-fragmen fraktur (Smeltzer, 2001:2357).


Sementara itu, klasifikasi fraktur femur sendiri dapat dibagi menjadi
beberapa bagian, tergantung pada letak fraktur yang terjadi, yaitu:
a) Fraktur Collum Femur
Fraktur collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih
sering pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat
kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Fraktur
collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, yaitu misalnya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh
trauma tidak langsung, yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari
tungkai bawah.

Fraktur collum femur sendiri dibagi dalam dua tipe, yaitu:


1. Fraktur intrakapsuler
2. Fraktur extrakapsuler
Intrakapsuler

Ekstrakapsuler

Gambar 6: Fraktur intrakapsuler dan ekstrakapsuler

b) Fraktur Subtrochanter Femur


Fraktur subtrochanter femur merupakan fraktur dimana garis patahnya
berada 5 cm distal dari trochanter minor. Fraktur ini dapat diklasifikasikan
kembali berdasarkan posisi garis patahnya, yaitu:
1. tipe 1 :

garis fraktur satu level dengan trochanter minor

2. tipe 2 :

garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas atas


trochanter minor

3. tipe 3 :

garis patah berada 2-3 inch di bawah dari batas atas


trochanter minor

c) Fraktur Batang Femur


Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Patah tulang yang terjadi
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak dan
dapat mengakibatkan penderita jatuh dalam kondisi syok. salah satu
klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang
berhubungan dengan daerah yang patah.
d) Fraktur Femur Supracondyler
Fraktur ini relatif lebih jarang dibandingkan fraktur batang femur. Seperti
halnya fraktur batang femur, fraktur suprakondiler dapat dikelola secara

konservatif dengan traksi skeletal dengan lutut dalam posisi fleksi 90 .


O

Fraktur supracondyler pada fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi


ke arah posterior. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari
otototot gastroknemius. Biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan
oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial
dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
e) Fraktur Femur Intercondyler
Fraktur ini juga relatif jarang dan biasanya terjadi sebagai akibat jatuh
dengan lutut dalam keadaaan fleksi dari ketinggian. Permukaan belakang
patella yang berbentuk baji , melesak ke dalam sendi lutut dan mengganjal
di antara kedua kondilus dan salah satu atau keduanya retak. Pada bagian
proksimal kemungkinan terdapat komponen melintang sehingga didapati
fraktur dengan garis fraktur berbentuk seperti huruf T atau Y.
2.4 Tanda Gejala
Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan fraktur femur, yakni:
1) Deformitas

Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari


tempatnya. Perubahan keseimbangan dan kontur terjadi, seperti:
a. rotasi pemendekan tulang;
b. penekanan tulang.
2) Bengkak (edema)
Bengkak muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3) Ekimosis dari perdarahan subculaneous

4) Spasme otot (spasme involunters dekat fraktur)


5) Tenderness
6) Nyeri
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot, perpindahan tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
7) Kehilangan sensasi

8) Pergerakan abnormal
9) Syok hipovolemik
10) Krepitasi (Black, 1993:199).
2.5 Patofisiologi
Proses penyembuhan tulang terdiri dari beberapa fase yaitu:
1. Fase Inflamasi

Dengan adanya patah tulang, tubuh akan mengalami respons yang sama
seperti pada cedera dibagian tubuh lainnya. Perdarahan akan terjadi dalam
jaringan yang cedera dan terjadi pula pembentukan hematoma di tempat
atau area patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi
karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi
oleh makrofag yang berfungsi membersihkan daerah tersebut. Pada tahap
ini, terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap ini berlangsung
selama beberapa hari dan hilang perlahan ditandai dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri.
2. Fase Proliferasi Sel

Dalam waktu sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi.


Terbentuk benang-benang fibrin dalam gumpalan darah, membentuk
jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast serta osteoblast.
Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan sel
periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang
rawan (osteoid). Dari periosteum, akan tampak pertumbuhan melingkar.
Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan makro minimal pada
tempat patah tulang. Tetapi, gerakan yang berlebihan akan merusak
struktur kalus.
3. Fase Pembentukan Kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubung satu sama lain. Fragmen
patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan

tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan dan pergeseran tulang. Diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu
agar fragmen tulang bergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus.
Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
4. Fase Osifikasi

Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3


minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral
terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan
keras. Pada fraktur tulang panjang orang dewasa normal, penulangan
memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
5. Fase Remodeling

Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati


dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktur sebelumnya. Remodelling
memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tergantung
beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stress
fungsional pada tulang (Brunner dan Suddarth, 2008:2268).
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Pertolongan Pertama / Penatalaksanaan Kedaruratan
Perdarahan dari fraktur femur, terbuka atau tertutup, adalah
antara 2 sampai 4 unit (1-2 liter). Jalur intravena perlu dipasang dari
darah dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan hemoglobin dan
reaksi silang. Jika tidak terjadi fraktur lainnya, kemungkinan
transfusi dapat dihindari, tetapi bila timbul trauma lainnya, 2 unit
darah perlu diberikan segera setelah tersedia. Fraktur terbuka
biasanya terbuka dengan luka di sisi lateral atau depan paha.
Debridemen luka perlu dilakukan dengan cermat dalam ruang
operasi dan semua benda asing diangkat. Jika luka telah dibersihkan
secara menyeluruh setelah debridemen luka dapat ditutup tetapi bila
terkontaminasi, luka lebih baik dibalut dan dirawat dengan jahitan

primer yang ditunda (delayed primary suture). Antibiotika dan antitetanus sebaiknya diberikan, seperti pada setiap fraktur terbuka.
2.6.2 Penatalaksanaan Fraktur
Penatalaksanaan fraktur mengalami banyak perubahan.
Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai banyak
kerugian dalam hal memerlukan masa berbaring dan rehabilitasi
yang lama, meskipun merupakan penatalaksanaan non invasif
pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu, tindakan ini tidak banyak
dilakukan pada orang dewasa (Rosenthal, 1990). Bila keadaan
penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat diimobilisasi
dengan salah satu dari tiga cara berikut ini, yaitu:
1)

Traksi
Comminuted

fracture

untuk intramedullary

dan

fraktur

nailing

paling

yang
baik

tidak

sesuai

diatasi

dengan

manipulasi di bawah anestesi dan balanced sliding skeletal


traction yang dipasang melalui tibial pin. Traksi longitudinal
yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi
spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus
ditopang di posterior untuk mencegah pelengkungan. Enam
belas pon biasanya cukup, tetapi penderita yang gemuk
memerlukan beban yang lebih besar dari penderita yang kurus
membutuhkan beban yang lebih kecil. Lakukan pemeriksaan
radiologis setelah 24 jam untuk mengetahui apakah berat beban
tepat. Bila terdapat overdistraction, berat beban dikurangi, tetapi
jika terdapat tumpang tindih, berat ditambah. Pemeriksaan
radiologi selanjutnya perlu dilakukan dua kali seminggu selama
dua

minggu

yang

pertama

dan

setiap

minggu

sesudahnya untuk memastikan apakah posisi tetap bertahan pada


tempatnya. Jika hal ini tidak dilakukan, fraktur dapat terselip

perlahan-lahan dan menyatu dengan posisi yang buruk (Dandy,


1989).
2)

Fiksasi interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk
fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus
terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak
cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika
hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan
lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal
ini

hampir

selalu

menyebabkan

non-union. Keuntungan

intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas


longitudinal serta kesejajaran

(alignment) dan membuat

penderita dpat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan


rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian
meliput

anestesi,

trauma

bedah

tambahan

dan

risiko infeksi. Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang


tercepat dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk
fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture
paling

baik dirawat

dengan

locking

nail

yang

dapat

mempertahankan panjang dan rotasi (Dandy, 1989).


3)

Fiksasi eksterna
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus
terlihat

pada

pemeriksaan

radiologis,

yang

biasanya

pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur


dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang
rigid juga cocok untuk tindakan ini (Dandy, 1989).
2.7 Komplikasi
a) Perdarahan, dapat menimbulkan kolaps kardiovaskuler. Hal ini dapat

dikoreksi dengan transfusi darah yang memadai


b) Infeksi, terutama jika luka terkontaminasi dan debridemen tidak

memadai.

c) Non-union, lazim terjadi pada fraktur pertengahan batang femur,

trauma kecepatan tinggi dan fraktur dengan interposisi jaringan lunak di


antara fragmen. Fraktur yang tidak menyatu memerlukan bone grafting
dan fiksasi interna.
d) Malunion, disebabkan oleh abduktor dan aduktor yang bekerja tanpa

aksi antagonis pada fragmen atas untuk abduktor dan fragmen distal
untuk aduktor.
e) Trauma arteri dan saraf, namu ini jarang terjadi (Djuantoro, 1997).

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Faktur Femur


2.8.1 Faktor yang Mempercepat Penyembuhan
1. Imobilisasi fragmen tulang
2. Kontak fragmen tulang maksimal
3. Suplai darah yang memadai
4. Nutrisi yang baik
5. Latihan-pembebanan berat badan
6. Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D,

steroid anabolik
7. Potensial listrik pada patahan tulang (Brunner dan Suddarth,

2008:2361).
2.8.2 Faktor yang Menghambat Penyembuhan
1. Imobilisasi tak memadai
2. Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang
3. Infeksi
4. Keganasan lokal
5. Penyakit tulang metabolik (misal penyakit Piaget)
6. Nekrosis avaskuler
7. Usia (lansia akan sembuh lebih lama)
8. Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan) (Brunner dan

Suddarth, 2008:2361).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari tahapan proses keperawatan.
Dalam melakukan pengkajian, harus memperhatikan data dasar pasien.
Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan
ketelitian dalam tahap pengkajian. Pengkajian yang perlu dilakukan pada klien
dengan fraktur femur diantaranya adalah:
1. Identitas pasien
Identitas ini meliputi nama, usia, TTL, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku bangsa, dan pendidikan.
2.

Keluhan utama

3.

Riwayat kesehatan masa lalu


Pada riwayat kesehatan masa lalu, perlu ditanyakan apakah pasien pernah
menderita penyakit infeksi tulang ataupun osteoporosis. Hal ini
merupakan informasi yang penting dalam penanganan fraktur femur pada
klien.

4.

Riwayat kesehatan keluarga


Hal ini mencakup riwayat ekonomi keluarga, riwayat sosial keluarga,
sistem dukungan keluarga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga.

5.

Pemeriksaan fisik
a. Pola aktivitas/istirahat
Aktifitas klien terganggu akibat keterbatasan/kehilangan fungsi dari
femur klien
b. Pola Sirkulasi
Pasien dengan fraktur femur dapat terjadi hipertensi (sebagai respon
nyeri ataupun ansietas) ataupun hipotensi (akibat kehilangan darah).
Selain itu, akan terjadi takikardi sebagai respon stress dan
hipovolemia, pembengkakan jaringan atau massa hematom pada sisi
cedera, dan penurunan nadi pada bagian distal yang cedera.

c. Neurosensori
Tanda dan gejala yang muncul yakni hilangnya gerakan/sensasi,
spasme otot, kesemutan, deformitas lokal, pemendekan, rotasi,
krepitasi dan agitasi.
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala yang dirasakan klien yakni nyeri berat tiba-tiba pada saat
cedera dan spasme otot setelah imobilisasi.
6.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dengan sinar X harus dilakukan dengan dua proyeksi yaitu
anterior posterior dan lateral. Kekuatan yang hebat sering menyebabkan
cedera pada lebih dari satu tingkat karena itu bila ada fraktur pada femur
perlu juga diambil foto sinar X pada pelvis dan tulang belakang. Apabila
dicurigai terdapat kerusakan vaskuler, maka perlu dilakukan arteriogram.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang dapat diambil dari pasien fraktur femur antara
lain:

1. Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan


kehilangan integritas tulang.
2. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, atau cedera pada jaringan lunak.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya gangguan neuro
muscular.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
tindakan bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, maupun
sekrup.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, atau terpajannya dengan
lingkungan
7. defisit pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang kondisi, prognosis
maupun kebutuhan pengobatan.

3.3 Intervensi Keperawatan


Hasil akhir yang diharapkan
Intervensi Keperawatan
Rasional
Evaluasi
Diagnosa Keperawatan: Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan kehilangan integritas tulang.
Setelah pemberian intervensi,
1. pertahankan tirah baring
1. meningkatkan stabilitas, Kriteria evaluasi:
pasien tidak terjadi trauma
sesuai indikasi;
menurunkan kemungkinan
a. mempertahankan
(tambahan).
gangguan posisi;
stabilisasi dan posisi
2. tempatkan pasien pada
2. tempat tidur yang
fraktur;
tempat tidur ortopedik;
lembut dan lentur dapat
b. menunjukkan
membuat deformasi gips
mekanika tubuh yang
yang masih basah,
meningkatkan stabilitas
mematahkan gips yang
pada sisi fraktur;
sudah kering ataupun
c. menunjukkan
mempengaruhi penarikan
pembentukan
3. pertahankan posisi netral
traksi;
kalus/mulai penyatuan
pada bagian yang sakit (pada
3. mencegah gerakan yang
fraktur dengan tepat.
pasien dengan gips);
tidak perlu dan perubahan
4. kaji integritas alat fiksasi
posisi;
eksternal (pada pasien dengan
4. Traksi Hoffman
traksi);
memberikan stabilisasi
dan sokongan kaku untuk
tulang fraktur tanpa
menggunakan katrol, tali
atau beban,
memungkinkan

5. pertahankan
posisi/integritas traksi;

6. kaji ulang tahanan yang


mungkin timbul karena terapi
(pada pasien dengan traksi);
7. evaluasi foto rontgen
pasien.

mobilitas/kenyamanan
pasien lebih besar. Kurang
atau berlebihannya
keketatan klem/ikatan
dapat mengubah tekanan
kerangka dan
menyebabkan kesalahan
posisi;
5. traksi memungkinkan
tarikan pada aksis panjang
fraktur tulang dan
mengatasi tegangan
otot/pemendekan untuk
memudahkan
posisi/penyatuan.
6. mempertahankan
integritas tarikan traksi;
7. memberikan bukti
visual mulainya
pembentukan kalus/proses
penyembuhan untuk
menentukan tingkat
aktifitas dan kebutuhan
terapi.

Diagnosa Keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, atau cedera pada
jaringan lunak.
Setelah pemberian intervensi, 1. pertahankan imobilisasi bagian 1. menghilangkan nyeri dan S: Pasien mengatakan
klien akan menyatakan
yang sakit dengan tirah baring,
mencegah kesalahan posisi
penurunan ataupun
penurunan atau bahkan tidak
gips, traksi, pembebat;
tulang
atau
tegangan
hilangnya nyeri yang
adanya nyeri pada daerah
jaringan yang cedera;
dirasakan.
2. tinggikan
dan
dukung 2. meningkatkan aliran balik O:
fraktur.
ekstremitas yang terkena;
vena, menurunkan edema
a. Skala nyeri berkurang.
dan nyeri;
b. Pasien mau berbicara
3. hindari penggunaan sprei atau 3. dapat
meningkatkan
tentang sakitnya pada
bantal dibawah ekstremitas
ketidaknyamanan
karena
perawat.
dengan gips;
peningkatan
produksi
c. Pasien dapat istirahat
panas dari gips;
atau
tidur
dengan
4. pantau atau evaluasi keluhan 4. mempengaruhi pilihan atau
nyenyak.
nyeri atau ketidaknyamanan
pengawasan
keefektifan A : Tujuan tercapai sebagian
klien, perhatikan karakteristik,
intervensi;
P :
lokasi, intensitas nyeri (skala
a.
Lanjutkan
0-10);
intervensi keperawatan
5. dorong
pasien
untuk 5. membantu menghilangkan
b.
Pantau terus
mendiskusikan masalah yang
skala nyeri pasien
ansietas klien;
berhubungan dengan fraktur
yang dialami;
6. berikan alternatif tindakan 6. meningkatkan
sirkulasi
kenyamanan, misal perubahan
umum, menurunkan area
posisi;
tekanan lokal dan kelelahan

otot;
untuk 7. meningkatkan kemampuan
teknik
koping manajemen nyeri;
seperti
latihan

7. dorong
klien
menggunakan
manajemen
nyeri,
relaksasi progresif,
napas dalam;
8. identifikasi aktifitas terapeutik 8. mencegah
kebosanan,
yang tepat untuk usia pasien
menurunkan
tegangan,
dan kemampuan fisik;
meningkatkan
kekuatan
otot, meningkatkan harga
diri dan koping klien;
9. berikan kompres dingin 24-48 9. menurunkan
jam pertama;
edema/pembentukan
hematoma,
menurunkan
sensasi nyeri;
10. kolaborasi
dengan 10. menurunkan nyeri dan
dokter terkait
dengan
spasme otot.
tindakan
pengobatan.
Diagnosa Keperawatan: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya perdarahan.
Setelah dilakukan intervensi 1. pantau tanda-tanda vital;
1. tanda-tanda vital dapat S: keperawatan, volume cairan
mendeteksi
bukti
fisik O:
a.
TTV
dalam
klien seimbang.
penapisan cairan;
batas normal;
2. kaji kualitas dan frekuensi
2. mengetahui
dan
b.
perdarahan
nadi, tekanan darah;
mendeteksi
syok
berhenti.
3. kaji sumber, lokasi dan
hipovolemik;
banyaknya perdarahan;
3. mengidentifikasikan
A: tujuan tercapai sebagian.

keparahan perdarahan yang P:


4. anjurkan klien untuk banyak
dialami klien;
a. pantau secara rutin
minum;
4. menggantikan
cairan
terhadap tanda tanda
5. lakukan pemberian cairan
yang hilang;
vital pasien;
melalui infus pada klien;
5. menggantikan
cairan
b. pantau
input
dan
6. lakukan penghentian
yang hilang
output dari cairan;
perdarahan dengan fiksasi.
6. mencegah kehilangan
darah semakin banyak.
Diagnosa Keperawatan: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya gangguan neuro muscular.
Setelah pemberian intervensi,
1.
Kaji 1. pasien mungkin dibatasi
S:
pasien diharapkan dapat
derajat imobilitas yang
Oleh pandangan
diri
Pasien mengatakan
melakukan mobilitas fisik
dihasilkan oleh cedera atau
tentang keterbatasan fisik
keinginan yang kuat untuk
sesuai dengan kemampuan.
pengobatan;
aktual,
memerlukan mobilisasi
informasi/intervensi untuk O:
meningkatkan kemajuan a)
kesehatan;
klien mampu mobilisasi
2. memberikan kesempatan A:
2.
dor
untuk
mengeluarkan Tujuan tercapai sebagian
ong partisipasi pada aktifitas
energy,
membantu P:
terapeutik atau rekreasi;
menurunkan isolasi sosial;
a) libatkan keluarga dalam
mobilisasi pasien
3. meningkatkan aliran darah
3.
instr
(penggunaan kruk,
ke otot dan tulang untuk
uksikan pasien dalam latihan
kursi roda, dll)
meningkatkan tonus otot;
rentang gerak pada kedua
4. kontraksi otot isometric
ekstremitas;
membantu
4.
dor
mempertahankan kekuatan

ong penggunaan latihan


isometric mulai dengan
tungkai yang tidak sakit;
5.
bant
u dalam mobilisasi dengan
kursi roda, kruk bila
diindikasikan;

5.

6.

dan massa otot;


mobilisasi
dini
menurunkan komplikasi
tirah
baring
dan
meningkatkan
penyembuhan
dan
normalisasi fungsi organ;
hipotensi postural adalah
masalah umum menyertai
tirah baring yang lama;
membantu
dalam
pembuatan
program
aktifitas pasien.

7.
6.
a wa
si TD saat melakukan aktifitas,
perhatikan keluhan pusing
pada klien;
7.
kola
borasi dengan ahli terapi
fisik/okupasi dan/atau
rehabilitasi spesialis.
Diagnosa Keperawatan: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, tindakan bedah perbaikan,
pemasangan traksi pen, kawat, maupun sekrup.
Setelah intervensi diberikan, 1. pantau tanda-tanda vital;
1. suhu, nadi, dan respirasi S: pasien akan menunjukkan
akan meningkat sebagai O: a. TTV dalam batas
keadekuatan integritas kulit.
respon terhadap infeksi;
normal;
informasi
2. kaji kulit untuk luka terbuka, 2. memberikan

benda
asing,
kemerahan,
perdarahan, perubahan warna;

3. masase kulit dan penonjolan 3.


tulang; pertahankan tempat
tidur kering dan bebas kerutan;
4. ubah posisi klien secara rutin;
4.

5. kaji posisi cincin bebat pada 5.

tentang sirkulasi kulit dan


b. tidak ada kemerahan,
masalah yang mungkin
perdarahan
dan
disebabkan
oleh
alat
perubahan
warna
dan/atau
pemasangan
pada area fraktur;
gips/bebat atau traksi;
A: tujuan tercapai sebagian
menurunkan tekanan pada P:
area yang peka dan resiko
a. pantau terus menerus
abrasi atau kerusakan kulit;
area kulit disekitar
mengurangi
tekanan
fraktur;
konstan pada area yang
b. libatkan
keluarga
sama dan meminimalkan
dalam
memberikan
resiko kerusakan kulit;
perawatan
pada
posisi yang tidak tepat dapat
pasien.
menyebabkan cedera; kulit;
meminimalkan/menghindari
kerusakan integritas kulit
pasien;
menghindari osteomielitis;

alat traksi;
6. lakukan perawatan kulit pada 6.
pasien dengan penggunaan
gips dan traksi;
7. kolaborasi dalam pemberian 7.
antibiotik
setelah
bedah
perbaikan.
Diagnosa Keperawatan: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer, kerusakan kulit,
trauma jaringan, atau terpajannya dengan lingkungan.
Setelah pemberian intervensi, 1. inspeksi kulit untuk adanya 1. pen atau kawat tidak harus S: pasien
diharapkan
tidak
iritasi
atau
robekan
dimasukkan melalui kulit O: d. klien tidak eritema,
terkena infeksi.
kontinuitas;
yang terinfeksi, kemerahan

2. kaji sisi pen/kulit; perhatikan


keluhan
peningkatan
nyeri/rasa
terbakar
atau
adanya
edema,
eritema,
drainase;
3. kaji tonus otot, reflex tendon
dan
kemampuan
untuk
berbicara;
4. lakukan prosedur isolasi;

5. awasi pemeriksaan
laboratorium (hitung darah
lengkap, LED, kultur);

atau
abrasi
(dapat
tidak demam dan tidak
menimbulkan
infeksi
ada drainage purulen;
tulang);
e. klien
mencapai
2. dapat
mengindikasikan
penyembuhan
luka
timbulnya infeksi lokal atau
sesuai waktu.
nekrosis jaringan yang dapat A:
menimbulkan osteomielitis; Tujuan tercapai sebagian
P:
3. kekakuan otot, spasme tonik
a. pantau terus area kulit
otot rahang dan disfagia
klien;
menunjukkan
terjadinya
b. pantau terus nilai
tetanus;
laboratorium klien yang
4. adanya drainase purulen
mengindikasikan
ada
akan
memerlukan
atau tidaknya proses
kewaspadaan
luka/linen
infeksi.
untuk
mencegah
a)
kontaminasi silang;
5. anemia dapat terjadi pada
osteomielitis,
leukositosis
biasanya ada pada proses
infeksi,
LED
akan
meningkat
pada
osteomielitis,
kultur
dilakukan
untuk
mengidentifikasi organism

infeksi;
6. antibiotik spectrum luas
6. kolaborasi dalam pemberian
dapat digunakan secara
program pengobatan:
profilaksis
atau
dapat
antibiotik.
ditujukan
pada
mikroorganisme khusus.
Diagnosa Keperawatan: Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang kondisi, prognosis
maupun kebutuhan pengobatan.
Setelah intervensi diberikan, 1. kaji ulang patologi, prognosis,
1. memberikan
dasar S:
pasien
tidak
mengalami
dan harapan yang akan
pengetahuan dimana pasien Klien mengatakan
defisit pengetahuan akan
datang;
dapat membuat pilihan peningkatan pengetahuan
kondisi, prognosis maupun
informasi;
akan kondisi, prognosis
kebutuhan pengobatan.
2. berikan penguatan metode
2. kerusakan lanjut dan maupun kebutuhan
mobilitas dan ambulasi sesuai
pelambatan penyembuhan pengobatan
instruksi dengan terapi fisik
dapat
terjadi
akibat O:
bila diindikasikan;
ketidaktepatan
dalam
e. klien mampu dengan
penggunaan alat ambulasi;
benar melakukan
3. bantu
pasien
dalam
3. memberikan
prosedur yang telah
menentukan daftar aktifitas
penyusunan aktifitas yang
dijelaskan perawat.
dimana
pasien
dapat
tepat sesuai kondisi klien, A:
melakukannya secara mandiri
memberikan pengetahuan Tujuan tercapai sebagian
dan
yang
memerlukan
pada klien tentang daftar P:
bantuan;
aktifitas
yang
dapat
a. berikan pula
4. apabila pasien memakai gips,
dilakukan;
pengetahuan tentang
ajarkan penggunaan kantong
4. melindungi
dari
perawatan pasien pada

platik untuk menutup plester


gips selama cuaca lembab
atau saat mandi;
5. ajarkan penggunaan pakaian
yang adaptif.

kelembapan yang dapat


melunakkan plester dan
melemahkan fiksasi dari
gips;
5. memberikan
kenyamanan
dalam
berpakaian
tanpa
mengganggu
proses
perawatan
atau
penatalaksanaan fraktur.

keluarga.

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan (E. Oerswari, 1989:144). Fraktur femur adalah
rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma
langsung,

kelelahan

otot,

kondisi-kondisi

tertentu

seperti

degenerasi

tulang/osteoporosis (Long, 1985). Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas


batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas dan
jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa
(FKUI, 1995:543).
Penyebab fraktur femur sendiri meliputi cedera traumatik, fraktur
patologik dan terjadi secara spontan. Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien
dengan fraktur femur, yakni deformitas, bengkak (edema), ekimosis dari
perdarahan subculaneous, spasme otot (spasme involunters dekat fraktur),
tenderness,

nyeri,

kehilangan

sensasi,

pergerakan

abnormal,

dan

syok

hipovolemik, serta krepitasi (Black, 1993:199).


Fase penyembuhan fraktur sendiri meliputi fase inflamasi, proliferasi sel,
pembentukan kalus, osifikasi dan remodeling. Sementara itu, komplikasi yang
dapat terjadi yakni: perdarahan, infeksi, non-union, mal-union, maupun trauma
arteri dan saraf.
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada pasien dengan fraktut
femur sendiri meliputi:
1. Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan
kehilangan integritas tulang.
2. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema, atau cedera pada jaringan lunak.
3. Kekurangan

volume

cairan

berhubungan

dengan

adanya

perdarahan.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya gangguan
neuro muscular.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,


tindakan bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, maupun
sekrup.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, atau
terpajannya dengan lingkungan.
7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang kondisi, prognosis maupun kebutuhan pengobatan.
4.2 Saran
Saran yang dapat penulis tulis di dalam makalah ini antara lain:
1. Sebagai

pemberi asuhan keperawatan, perawat haruslah memiliki

kemampuan untuk menangani suatu masalah fraktur femur pada klien.


Perawat dapat berperan sebagai promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Perawat harus dituntut untuk menjadi perawat yang
profesional dimana perawat dapat berpikir kritis dalam mengatasi masalah
yang terjadi, sehingga pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
fraktur femur pun dapat berjalan dengan optimal;
2. Sebagai mahasiswa kesehatan lainnya, hendaknya dapat selalu bekerja

sama serta berkolaborasi dalam hal peningkatan kesembuhan klien dengan


fraktur femur, yang nantinya dapat berujung pada peningkatan kesehatan
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. 1993. Medical Surgical Nursing. W.B Sainders Company:
Philadelpia.
Brunner dan Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta: EGC.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Djuantoro, Dwi. 1997. Fraktur Batang Femur. http://www.kalbe.co.id/files/
cdk/files/16FrakturBatangFemur120.pdf/16FrakturBatangFemur120.ht
ml. [20 April 2011].
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E, dkk. 2010. Nursing Care Plans: Guidelines for
Individualizing Client Care Across the Life Span. Philadelphia: F.A. Davis
Company.
E. Oerswari. 1989. Bedah dan Perawatannya. Jakarta: PT Gramedia.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
Long; BC and Phipps WJ. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A
Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi.
Jakarta: EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai