Oleh:
Retno Purbosari
NIM 6450402084
2007
1
HALAMAN PENGESAHAN
Pada hari
: Selasa
Tanggal
: 21 Agustus 2007
Panitia Ujian
Ketua Panitia
Sekretaris
(Ketua)
(Anggota)
(Anggota)
ii
ABSTRAK
Retno Purbosari. 2007. Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB
Paru Di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing: I. dr. Oktia Woro KH. M.Kes, II. Irwan Budiono SKM, M.Kes
Kata Kunci : Error rate, petugas laboratorium TB Paru Puskesmas.
Menurut hasil kegiatan program P2 TB Paru di Kabupaten Kudus, dari tahun
1999-2005 error rate (angka kesalahan laboratorium) masih diatas 5% yaitu berkisar
10-15%, sedangkan pada triwulan 1 tahun 2006 error rate mencapai 13,6%, hal ini
menyebabkan error rate di Kabupaten Kudus menduduki peringkat 1 di Jawa
Tengah. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah adakah hubungan
antara karakteristik petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil
pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006.
Jenis penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory reseach) dengan
pendekatan cross sectional. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah latar belakang
pendidikan, pelatihan, pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, status kepegawaian, masa kerja dan beban kerja sedangkan variabel
terikatnya adalah error rate. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
petugas laboratorium TB Paru Puskesmas di Kabupaten Kudus sejumlah 21 orang.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Data primer diperoleh melalui
wawancara. Data sekunder diperoleh dari data di Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat
kemaknaan () 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa karakteristik petugas yang
berhubungan dengan error rate adalah pelatihan (p= 0,012, CC= 0,506),
pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (p= 0,004,
CC= 0,594), status kepegawaian (p= 0,025, CC= 0,484), masa kerja (p= 0,004, CC=
0,594),dan beban kerja (p= 0,025, CC= 0,484).
Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan adalah hendaknya pelatihan
diberikan kepada semua petugas laboratorium TB Paru Puskesmas secara rutin setiap
tahun karena pelatihan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam hal pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
ABSTRACT
Retno Purbosari. 2007. The Relation Between The Characteristics Of Laboratory
Officers Of Lung Tuberculosis In Public Healthcares With Error Rate
Result Of Sputum Checkup From Lung Tuberculosis Suspects In Kudus
Regency In 2006. Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu
Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Advisor: I. dr. Oktia Woro KH. M.Kes, II. Irwan Budiono SKM, M.Kes.
Keyword: Error rate, laboratory officers of lung tuberculosis in Public Healthcares.
Based on the result P2 lung tuberculosis program in Kudus Regency from
1999-2005, error rate (number of error in laboratory) on top of 5% which
approximately 10-15%. In the first 3 month of 2006, error rate can reach about
13,6%. This caused the error rate in Kudus Regency got the first rate in Central Java.
Thus the problem which is investigated in the research is whether there is any
relation between the characteristics of laboratory officers of lung tuberculosis in
Public Healthcares with error rate, the result of sputum checkup of lung tuberculosis
suspect in Kudus Regency in 2006. The purpose of this research is to know whether
there is relation between the the characteristics of lung tuberculosis in Public
Healthcares with error rate, the result of sputum checkup of lung tuberculosis suspect
in Kudus Regency in 2006.
The method of this research is explanatory research using cross sectional
approach. The free variables are educational background, training, knowledge of
sputum checkup using direct microscopic, civil service status, working period and
working responsibility. The tied variable is error rate. The populations and samples
are 21 laboratory officers of lung tuberculosis in Public Healthcares in Kudus
Regency. The instrument which is used questionare. The primary data are obtained
from the data taken from Dinkes. The data is processed using chi square test with
degree of meaning () 0,05.
From the research it can be concluded that the characteristics of the
laboratory officers which have relation with error rate are training (p= 0,012, CC=
0,506), knowledge of sputum checkup using direct microscopic (p= 0,004, CC=
0,594), civil service status (p= 0,025, CC= 0,484), working period (p= 0,004, CC=
0,594), and working responsibility (p= 0,025, CC= 0,484).
Based on the result of this research it is suggested that we should give the
regular training to all laboratory officers each year because, training is one of the
way to improve the quality of human resources in case of knowledge, attitude, and
skill.
PERSEMBAHAN :
1. Kedua Orang tuaku yang memberikan motivasi,
menyayangiku,
dan
mengiringi
langkahku
dengan doa.
2. Kakak-kakakku dan keponakan-keponakanku
yang selalu memberikan dorongan dan kasih
sayang.
3. Teman-temanku yang setia menemani dalam
suka dan duka.
4. Almamaterku Universitas Negeri Semarang
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium
TB Paru Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB
Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dapat diselesaikan.
Penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, dengan segala
kerendahan hati disampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Bapak Drs.
Sutardji, M.S, Pembantu Dekan Bidang Akademik, Bapak Khomsin, M.Pd
atas ijin penelitian yang telah diberikan.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat selaku Dosen Pembimbing I, Ibu
dr. Oktia Woro KH, M.Kes, atas bimbingan, kritik dan saran dalam
penyusunan skripsi.
3. Sekretaris
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, atas bekal ilmu
pengetahuan yang telah diberikan.
7. Staf Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bapak Sungatno, yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus, atas izin penelitian.
9. Kepala UPTD Puskesmas Kabupaten Kudus, atas izin penelitian.
10. Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas di Kabupaten Kudus, atas
kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak, mendapat pahala yang berlipat dari
Allah SWT. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penyusun berharap dengan tersusunnya skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penyusun khususnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
ii
ABSTRAK .....................................................................................................
iii
ABSTRACT ...................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR....................................................................................
vi
.............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR
................................................................................
xi
DAFTAR GRAFIK
.................................................................................
xii
..........................................................................
xiii
.....................................................................
................................................................................
..............................................................................
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
.....................................................................
..............................................................................
....................................................................
10
11
2.1.1 Tuberkulosis
11
......................................................................................
......................................................
12
.......................................................
14
15
17
....................
20
32
33
35
36
38
38
39
40
41
43
45
57
57
65
66
67
68
10
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
36
43
44
Tabel 5 Tabulasi Silang Latar Belakang Pendidikan dengan Error Rate .......
51
52
53
53
54
55
55
56
57
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
20
32
33
12
DAFTAR GRAFIK
Grafik
Halaman
45
46
47
48
49
50
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
71
72
74
75
76
77
79
80
81
86
87
90
91
14
93
94
101
102
103
104
115
116
15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
pembangunan bangsa (Depkes RI, 2004: 1). Pembangunan kesehatan sebagai salah
satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan
dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal. Sasaran pembangunan kesehatan dapat berhasil
apabila angka kesakitan dan kematian dapat menurun. Sampai saat ini angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit menular masih cukup tinggi, salah satunya
adalah penyakit tuberkulosis (http://www.suaramerdeka.com).
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat menahun,
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Oswari, E.1995: 256). Kuman
ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena
adalah organ paru (90%) (http://www.indosiar.com). Penyakit tuberkulosis
merupakan salah satu masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia dan dunia. WHO
menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah
terinfeksi kuman tuberkulosis (Deadly Duo, 2004: ii). Dalam pandangan dunia
internasional Indonesia merupakan penyumbang kasus TB Paru terbesar di dunia
setelah India dan Cina.
Di Indonesia TB Paru kembali muncul sebagai penyebab kematian utama
setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan (Wahyu Aniwidyaningsih dan
16
Tjandra Yoga Aditama, 2003: 34). Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor
3 setelah penyakit kardiovaskuler dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.
Hingga saat ini penyakit ini belum dapat disembuhkan secara sempurna bahkan
sebaliknya jumlah penderita baru dari hari ke hari semakin meningkat (Luhur, 2004:
38).
Pada tahun 1999 WHO memperkirakan dari setiap 100.000 penduduk akan
ditemukan 130 penderita baru TB Paru dengan Bakteri Tahan Asam Positif (BTA +)
(http://www.pikiran-rakyat.com). Diperkirakan setiap tahun ditemukan 450.000
kasus baru TB, dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar Puskesmas, 1/3
ditemukan di pelayanan Rumah Sakit/ klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta
dan sisanya belum terjangkau Unit Pelayanan Kesehatan. Sedangkan kematian
karena TB diperkirakan 175.000 per tahun. Penyakit TB ini menyerang sebagian
besar kelompok usia kerja produktif (http://ppmplp.depkes.go.id).
Di Jawa Tengah diperkirakan terdapat 100-150.000 penderita pada tahun
19901997. Walaupun incidence rate cenderung menurun, tetapi penderita baru
menunjukkan peningkatan hingga 4%, dimana 110 dari tiap 100.000 penduduk atau
33.000 orang setiap tahun (http://www.suaramerdeka.com).
Mulai tahun 1995 Program Pemberantasan Penyakit TB (P2TB) Paru
melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
dilaksanakan secara bertahap (Depkes RI, 2002: 3). Dalam rangka mensukseskan
pelaksanaan program P2TB Paru, prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan dan penggunaan pengobatan yang rasional. Dalam pemberantasan
17
18
19
hasil program P2TB Paru pada triwulan 1 tahun 2006 masih menunjukkan kesalahan
pembacaan yang masih tinggi yaitu 13,6%, hal ini menyebabkan angka error rate di
Kabupaten Kudus menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah. Hasil cross check ini
harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check menunjukkan error rate lebih dari 5%,
unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan penyebabnya (Depkes
RI, 2002: 61).
Angka pencapaian error rate dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satu faktor yang mempengaruhi adalah petugas laboratorium TB Paru, oleh karena
petugas laboratorium tersebut memiliki karakteristik individual yang berbeda-beda.
Menurut penelitian Yamoto (2001), karakteristik tersebut antara lain umur, jenis
kelamin, latar belakang pendidikan, pelatihan, kesehatan mata, status kepegawaian
dan lama bekerja. Sedangkan menurut penelitian Sri Retno Rindjaswati (2001),
karakteristik internal antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama
bekerja dan karakteristik eksternal antara lain kerja rangkap, pendanaan,
penghargaan, pelatihan, mikroskop binokuler, reagen Ziehl Neelsen dan kaca
sediaan.
Dengan memperhatikan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus Tahun 2006 .
20
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas di identifikasi
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan karakteristik (latar belakang pendidikan, pelatihan,
21
1.3.2
Tujuan Khusus
22
1.4
berikut:
1.4.1
23
1.5
Keaslian Penelitian
No Judul
Penelitian
Nama
Peneliti
Tabel 1
Keaslian Penelitian
Tahun dan
Rancangan Variabel
Tempat
Penelitian
Penelitian
Penelitian
2001,
Explanatory - Variabel
seluruh
bebas : umur,
Research
Puskesmas
dengan
jenis kelamin,
di wilayah
tingkat
metode
Kabupaten
survei dan
pendidikan,
Kebumen
pelatihan,
dilakukan
secara
kesehatan
mata, status
cross
kepegawaian,
sectional
lama bekerja
- Variabel
terikat :
Error rate
- Variabel
pengganggu:
Beban kerja,
sarana
laboratorium.
1.
Kaitan
Yamoto
Karakteristik
Petugas
Laboratorium
TB Paru
Puskesmas
Dengan
Error Rate
Hasil
Pemeriksaan
Dahak
Tersangka
TB Paru di
Kabupaten
Kebumen
Tahun 2001
2.
2001,
Puskesmas
Rujukan
Mikroskopis
di wilayah
Kota
Surakarta
Deskriptif
dengan
pendekatan
cross
sectional
- Variabel
bebas:
Karakteristik
internal
(umur, jenis
kelamin,
tingkat
pendidikan,
lama bekerja)
Karakteristik
eksternal
(pendanaan,
pelatihan,
mikroskop
binokuler,
reagen ZN,
kaca sediaan)
Hasil
Penelitian
Karakteristik
responden
yang
berkaitan
berdasarkan
perhitungan
statistik
dengan
error rate
hasil
pemeriksaan
dahak
tersangka
TB Paru
adalah
pelatihan.
Error rate di
laboratorium
PRM di kota
Surakarta
sebesar 069%.
Karakteristik
internal
petugas
tidak
menjadi
masalah,
masalah
justru pada
karakteristik
eksternal
(perawatan
suku cadang
mikroskop
binokuler,
24
- Variabel
terikat :
Error rate
kualitas
regen ZN
dan kualitas
kaca
sediaan)
1.6
1.6.1
Kabupaten Kudus.
1.6.2
1.6.3
25
BAB II
LANDASAN TEORI
Tuberkulosis
11
26
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi
TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002: 9).
2.1.1.4 Resiko Penularan
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia bervariasi, antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar
1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
tuberkulosis (Depkes RI, 2002:10).
2.1.2
27
28
2.1.3
6) Wheezing lokal
2) Dahak
7) Sering flu
3) Batuk berdarah
5) Nafas pendek
3) Sesak napas
2) Batuk/batuk berdarah
4) Nyeri dada.
29
30
lain. Tuberkulosis ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu tuberkulosis ekstra paru ringan dan tuberkulosis ekstra paru berat.
(Depkes RI, 2002: 24).
2.1.4.2 Tipe Penderita
Tipe
penderita
ditentukan
berdasarkan
riwayat
pengobatan
sebelumnya.
Menurut Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama (2001: 828). Tipe penderita
dibagi dalam :
1) Kasus Baru
Adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
lebih dari satu bulan.
2) Kasus Kambuh (relaps)
Adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis
tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis aktifnya.
3) Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
4) Kasus Kronik
Adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat
pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
31
maupun
dengan
mempertimbangkan
kelengkapan
bidang
32
Negatif Palsu:
Jumlah negatif palsu
x100
Jumlah sediaan negatif dari lab. pertama yang dicross check
33
Laboratorium yang
melakukan cross check:
- Balai Laboratorium
Kesehatan
- Laboratorium
rujukan lain
PRM/PPM/UPK lainnya
Gambar 1
Alur Rujukan Cross Check (Depkes RI, 2002: 62)
Keterangan:
: Jalur pengambilan / pengiriman sediaan untuk di cross check dilakukan
Kabupaten / Kota
: Jalur penyampaian hasil cross check
: Jalur pengiriman umpan balik analisis hasil cross check
34
35
pengamatan
yang
tidak
tepat,
sehingga
mengakibatkan
kesimpulan yang salah (Misnadiarly, 2006: 6). Dahak yang diambil harus
berasal dari trakea dan broncus, jangan menggunakan dahak yang mengandung
darah atau hanya air liur. Dahak yang baik untuk pemeriksaan adalah berwarna
kuning kehijau-hijauan (mukopurulen), kental dengan volume 3-5ml (Gerdunas
TB, 2001: 10).
2) Wadah atau Pot Dahak
Wadah untuk pengumpulan dahak sebaiknya dapat dibuang sesudah
dipakai (disposable) dan harus selalu bersih dan steril, tidak mudah pecah,
tidak bocor dan mempunyai mulut besar (Misnadiarly, 2006: 7).
3) Pengumpulan Dahak
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS). Spesimen dahak sebaiknya dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan.
Sewaktu: dahak dikumpulkan pada saat tersangka datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang suspek TB membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak hari kedua.
36
Pagi: dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
Sewaktu: Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi (Depkes RI, 2002: 28).
2.1.6.2 Sarana Laboratorium
1) Mikroskop
Mikroskop adalah alat optik yang terdiri dari gabungan lensa-lensa yang
membuat obyek kecil yang tidak terlihat dengan mata biasa menjadi besar.
Program penanggulangan tuberkulosis di Indonesia, menggunakan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis untuk menegakkan diagnosis. Untuk mendapatkan
pemeriksaan yang benar, petugas mikroskopis harus memahami dengan jelas
dasar-dasar pengenalan, penggunaan dan pemeliharaan mikroskop. Untuk
pemeriksaan dahak pada program pemberantasan TB Paru digunakan
mikroskop medan terang tipe binokuler (Gerdunas TB, 2001: 3).
2) Ruangan Tempat Pemeriksaan (Penerangan / Pencahayaan)
Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang
menerangi benda-benda ditempat kerja. Banyak obyek kerja beserta bendabenda atau alat dan kondisi disekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal
ini penting untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan yang mungkin terjadi.
Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang
lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Sumamur, 1996: 93).
Penerangan ditempat kerja merupakan salah satu faktor yang perlu
diupayakan penyempurnaannya. Penerangan yang baik mendukung kesehatan
37
kerja dan memungkinkan tenaga kerja bekerja dengan lebih aman dan nyaman,
yang antara lain disebabkan mereka dapat melihat obyek yang dikerjakan
dengan jelas dan cepat (AM Sugeng Budiono, 2003: 31).
Penerangan yang cukup sangat dibutuhkan untuk pemeriksaan secara
mikroskopis. Laboratorium harus menyediakan sistem pencahayaan yang dapat
memenuhi persyaratan dalam metode pengujian. Dalam hal ini, pencahayaan
dapat bersifat alami dengan memanfaatkan cahaya matahari (terang langit) atau
menggunakan sistem penerangan buatan yaitu cahaya lampu listrik (Anwar
hadi, 2000: 102). Karena laboratorium memerlukan ketelitian maka penerangan
yang dibutuhkan minimal 300-500 Lux atau tersedia lampu standar yang
dianjurkan untuk laboratorium adalah lampu minimal 40 watt. Disamping itu
faktor lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi konsentrasi petugas harus
dihindari atau dikurangi.
3) Ziehl Neelsen
Larutan pewarna atau reagen Ziehl Neelsen yang dipergunakan harus
diuji kualitasnya dengan cara:
a.
Buat sediaan apus dari dahak yang mengandung BTA dan yang tidak
mengandung BTA.
b.
c.
Bila kualitas larutan pewarna Ziehl Neelsen baik maka, pada sediaan yang
mengandung BTA akan terlihat kuman BTA dengan ciriciri kuman
berbentuk batang, berwarna merah/merah jambu dengan latar belakang
38
berwarna biru sedangkan pada sediaan yang tidak mengandung BTA tidak
tampak ciri ciri tersebut diatas (Gerdunas TB, 2001: 17).
2.1.6.3 Karakteristik Petugas
Pemeriksaan laboratorium merupakan kegiatan yang sangat penting,
untuk itu diperlukan suatu ketelitian dan ketepatan dalam pemeriksaan. Oleh
karena itu diperlukan ketekunan serta konsentrasi petugas dalam pelaksanaan
tugas sehingga diperoleh hasil yang sangat akurat. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing petugas. Kinerja dari
individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1) Umur
Umur seseorang demikian besar peranannya dalam mempengaruhi
produktivitas kerjanya, karena umur juga menyangkut perubahan-perubahan
yang dirasakan individu, sehubungan dengan pengalaman maupun perubahan
kondisi fisik dan mental seseorang sehingga nampak dalam aktifitas sehari-hari.
Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2003: 165), faktor umur perlu
dipertimbangkan seperlunya, hal ini untuk menghindarkan rendahnya
produktivitas yang dihasilkan oleh petugas yang bersangkutan.
Umur mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya, karena umur
akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja dan tanggung
jawab seseorang (Malayu, 2002: 55).
Menurut Margatan (1996: 24) yang di kutip oleh Ambar S, bahwa
dengan menanjaknya umur maka kemampuan jasmani dan rohanipun akan
menurun secara perlahan-lahan. Aktifitas hidup juga berkurang, yang
39
merupakan
suatu
indikator
yang
mencerminkan
40
Pendidikan disini adalah pendidikan formal disekolah atau kursus yang diikuti.
Didalam bekerja faktor pendidikan sering memegang syarat paling pokok untuk
posisi tertentu. Hal ini untuk tercapainya kesuksesan sesuai jabatan yang
dipegangnya.
Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan baik melalui jalur
pendidikan formal maupun informal, karena setiap penggunaan teknologi
hanya akan dapat dikuasai dengan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan
yang handal. Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi
tingkat pemahaman, cara berfikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu
pekerjaan. Seorang petugas laboratorium dituntut untuk dapat mengetahui
tentang banyak hal yang diperiksanya dengan baik (Tarwaka, 2004: 139 - 140).
4) Pelatihan
Kemampuan dan ketrampilan tenaga pemeriksa antara lain ditentukan
oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (Depkes RI, 2002: 125). Setiap tenaga laboratorium perlu
selalu meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya melalui pelatihan
berkelanjutan baik didalam laboratorium maupun di luar laboratorium
(Gerdunas TB, 2001: 14).
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan atau keahlian kerja guna
meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja.
Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kualifikasi ketrampilan atau keahlian yang pelaksanaannya
41
dilakukan secara berjenjang dan berlanjut. Pelatihan kerja yang merupakan hak
setiap pekerja dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan
serta keahlian sesuai bakat, minat dan kemampuannya diselenggarakan oleh
lembaga pelatihan pemerintah (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003: 16).
Program pelatihan berguna bagi petugas laboratorium untuk
meningkatkan ketrampilan dan keahliannya agar tidak terjadi kesalahan dalam
menjalankan pekerjaannya. Laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan
yang canggih dan bangunan yang megah tidak akan memberikan kinerja yang
diharapkan apabila tidak didukung oleh personal (petugas laboratorium) yang
profesional.
Sebaliknya, petugas laboratorium yang profesional akan dapat
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada didalam laboratorium secara
efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kinerja laboratorium. Selain
itu,
laboratorium
harus
mempunyai
kebijakan
dan
prosedur
untuk
42
kepegawaian
petugas
dapat
berpengaruh
terhadap
tanggungjawab tugas yang diembannya. Hal ini berkaitan dengan sanksi yang
jelas baginya. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat
oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas jabatan negeri atau tugas
negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seorang petugas
43
dengan status pegawai negeri atau karyawan tetap kemungkinan akan lebih
dapat berkonsentrasi dan bertanggungjawab (Siswanto Sastrohadiwiryo,
2003: 27).
Pada dasarnya laboratorium harus menggunakan personel (petugas
laboratorium) yang dipekerjakan oleh atau dibawah kontrak laboratorium
(pegawai negeri). Karena itu, ketika personel kontrak (tidak tetap/honorer),
maka laboratorium harus memastikan bahwa petugas tersebut diawasi dan
kompeten, serta bekerja sesuai dengan sistem mutu laboratorium (Anwar
Hadi, 2000: 97).
7) Masa Kerja
Menurut Tulus MA (1992: 211) yang dikutip oleh Siti Muslikatul
Mila, masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja
disuatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif
maupun negatif. Memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja apabila
dengan lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin berpengalaman
dalam melakukan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif
apabila semakin lamanya seseorang bekerja akan menimbulkan kebosanan.
Lama masa bekerja petugas dapat merupakan faktor pendorong yaitu
dengan semakin meningkatnya ketrampilan petugas seiring dengan frekuensi
pekerjaan yang berulang-ulang dan semakin banyak. Sebaliknya dapat pula
menjadi faktor penghambat apabila terjadi kejenuhan pada pekerjaan yang
monoton.
44
: <6 tahun
b.
: 6-10 tahun
c.
: >10 tahun
45
Agar
petugas
laboratorium
dapat
mempertahankan
46
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sarana laboratorium:
1. Mikroskop
2. Ruangan tempat
pemeriksaan /
penerangan
3. Kualitas reagens
Ziehl Neelsen
Karakteristik Petugas
Umur
Jenis lelamin
Latar belakang
pendidikan
Pelatihan
Pengetahuan tentang
pemeriksaan dahak
secara mikroskopis
langsung
Status kepegawaian
Masa kerja
Beban kerja
Spesimen:
1. Dahak
2. Wadah / Pot dahak
3. Pengumpulan dahak
Gambar 2
Kerangka Teori Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel bebas
Latar belakang
pendidikan
Pelatihan
Pengetahuan tentang
pemeriksaan dahak
secara mikroskopis
langsung
Status kepegawaian
Masa kerja
Beban kerja
Variabel terikat
Error rate hasil
pemeriksaan dahak
Gambar 3
Kerangka Konsep Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru
33
48
49
50
No
(1)
1.
2.
3.
Tabel 2
Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Variabel
Definisi
Cara Pengukuran
Kategori
Skala
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Latar
Kesesuaian latar
Kuesioner
a. SMU/SMKNominal
belakang
belakang
S1 Non Analis
pendidikan
pendidikan
Kesehatan
dengan tugas
b. SMK-D3
yang diemban
Analis
sebagai petugas
Kesehatan
laboratorium TB
Paru Puskesmas
Pelatihan
Pendidikan atau
Kuesioner
d. Belum pernah Nominal
kursus tentang
e. Pernah
pemeriksaan
sediaan dahak
tersangka TB
Paru yang pernah
diperoleh petugas
laboratorium TB
Paru Puskesmas
selama bertugas
Pengetahuan Jumlah skor yang Wawancara
a. Kurang, jika
Ordinal
tentang
didapat yang
skor 0-6
b. Cukup, jika
pemeriksaan menunjukkan
dahak secara Pengetahuan
skor 7-12
mikroskopis
petugas
c. Baik, jika skor
langsung
laboratorium TB
13-18
Paru Puskesmas
tentang
pemeriksaan
dahak secara
mikroskopis
langsung
meliputi:
-Pengambilan
dahak
(pertanyaan no
1, 2)
-Pembuatan
sediaan hapus
(pertanyaan no
3)
51
(1)
(2)
4.
Status
kepegawaian
5.
Masa kerja
6.
Beban kerja
7.
Error
rate
hasil
pemeriksaan
dahak
(3)
-Pewarnaan
sediaan
(pertanyaan no
4, 5)
-Pembacaan
sediaan
(pertanyaan no
6, 7)
-Pemeliharaan
mikroskop
(pertanyaan no
8)
-Keamanan kerja
dilaboratorium
(pertanyaan no 9)
Status petugas
laboratorium
dalam
kepegawaian
Kurun waktu atau
lamanya bekerja
sebagai petugas
laboratorium TB
Paru Puskesmas
yang dinyatakan
dalam tahun
Rata-rata jumlah
slide dahak
tesangka TB Paru
yang diperiksa
oleh petugas
laboratorium TB
Paru Puskesmas
(4)
(5)
(6)
Kuesioner
a. Honorer
b. Pegawai
negeri
Kuesioner
Kuesioner
a. Kurang, jika
memeriksa
<10 slide
perhari
b. Baik, jika
memeriksa
10-20 slide
perhari
Ordinal
a. Buruk, jika
error rate
>5%
b. Baik, jika
error rate
5%
Ordinal
Nominal
52
53
54
penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas dengan tehnik Alfa Cronbach
dengan menggunakan bantuan komputer.
Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas diperoleh nilai alfa untuk item
kuesioner mengenai pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung dinyatakan valid yaitu sebesar 0,874 karena pada tingkat signifikan 5%
dengan n = 15 diperoleh r tabel sebesar 0,514. Dengan demikian seluruh item
pertanyaan pada kuesioner mengenai pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan karena r
hitung>r tabel.
55
Kudus dan data hasil kegiatan program P2 TB Paru Kabupaten Kudus tahun 2006
terutama data hasil cross check sediaan dahak.
Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel,
baik variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis ini berupa distribusi frekuensi
dan persentase pada setiap variabel. Berpedoman pada indikator-indikator dari
variabel yang dijabarkan dalam beberapa item yang kemudian akan dikategorikan.
56
3.8.2
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini menggunakan uji Chi Square karena
skala data pada penelitian ini berbentuk ordinal dan nominal dengan syarat tidak ada
sel yang nilai observed-nya bernilai 0, dan sel yang mempunyai expected kurang dari
5 maksimal 20%, namun jika tidak memenuhi syarat maka menggunakan alternatif
uji Fisher (M.Sopiyudin Dahlan, 2005: 18).
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Geografis
Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, terletak
- Sebelah Timur
: Kabupaten Pati
- Sebelah Selatan
- Sebelah Barat
4.1.2
Kesehatan
Peningkatan sarana kesehatan sangat diperlukan sebagai upaya dalam
No
1
2
3
4
5
Tabel 3
Banyaknya Pusat Kesehatan Masyarakat Menurut Kecamatan
di Kabupaten Kudus Tahun 2006
Kecamatan Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas
Balai
Pembantu Perawatan Keliling
Pengobatan
Kaliwungu
2
3
0
2
0
Kota
3
5
0
3
8
Jati
2
4
0
2
1
Undaan
2
3
1
2
2
Mejobo
2
4
1
2
2
43
58
6
7
8
9
Jekulo
2
8
Bae
2
4
Gebog
2
6
Dawe
2
6
Jumlah
19
43
Sumber: Badan Pusat Statistik Kab.Kudus
1
0
1
1
5
2
2
2
2
19
1
1
1
0
16
Jumlah
76.154
28.154
11.640
Persentase (%)
38,83
13,98
5,78
Diare
11.616
5,77
Hipertensi dan Cardiovasculer
11.606
5,76
Anemia
11.308
5,62
Penyakit virus yang lain
10.197
5,06
Gastritis
8.097
4
Caries gigi
6.897
3,43
Pharingitis
5.297
2,63
4.555
2,26
Diabetes melitus
Infeksi pada kulit
4.205
2,09
Asma
3.918
1,95
TB paru klinis
3.814
1,9
Penyakit kulit karena alergi
3.803
1,89
Total
201.261
100
Sumber: Data Sekunder Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Tahun 2006
59
53.00%
52.40%
52.00%
Persentase
51.00%
50.00%
49.00%
48.00%
47.60%
47.00%
46.00%
45.00%
SMU/SMKS1 Non
Analis
Kesehatan
SMK-S1
Analis
Kesehatan
60
53.00%
52.40%
52.00%
Persentase
51.00%
50.00%
49.00%
48.00%
47.60%
47.00%
Belum dilatih
46.00%
Pernah dilatih
45.00%
1
Pelatihan
Grafik 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelatihan
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
pernah mengikuti pelatihan dengan persentase sebesar 52,4%.
61
60.00%
52.40%
Persentase
50.00%
40.00%
30.00%
23.80%
23.80%
20.00%
Kurang
10.00%
Cukup
Baik
0.00%
1
Pengetahuan
Grafik 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki pengetahuan cukup dengan persentase sebesar 52,4%.
62
80.00%
66.70%
70.00%
Persentase
60.00%
50.00%
40.00%
33.30%
30.00%
20.00%
Honorer
10.00%
PNS
0.00%
1
Status Kepegawaian
Grafik 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Status Kepegawaian
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki status kepegawaian PNS dengan persentase sebesar 66,7%.
63
50.00%
45.00%
Persentase
40.00%
35.00%
30.00%
25.00%
28.60%
23.80%
20.00%
15.00%
Baru
10.00%
Sedang
5.00%
Lama
0.00%
1
Masa Kerja
Grafik 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki masa kerja sedang 6-10 tahun dengan persentase sebesar 47,6%.
64
80.00%
66.70%
70.00%
Persentase
60.00%
50.00%
40.00%
33.30%
30.00%
20.00%
Kurang
10.00%
Baik
0.00%
1
Beban Kerja
Grafik 6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Beban Kerja
65
4.2.2
%
%
- SMU/SMK-S1 Non Analis Kesehatan 4
36,4
7
63,6 11 100 0,311
- SMK-D3 Analis Kesehatan
1
10
9
90
10 100
Total
21 100
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
Latar Belakang Pendidikan
66
Error rate
Buruk
Baik
%
5
50
5
50
0
0
11 100
- Belum di latih
- Pernah di latih
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
Total
%
10 100
11 100
21 100
P value
0,012
Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang belum di latih dimana 50%
memperoleh error rate buruk dan 50% memperoleh error rate baik, sedangkan
responden yang pernah di latih kesemuanya memperoleh error rate baik. Hal
67
tersebut menunjukkan bahwa pelatihan ikut menentukan baik buruknya error rate
yang diperoleh.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,012<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pelatihan petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh pula koefisien kontingensi sebesar 0,506. Dari hasil tersebut dapat
dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara pelatihan dengan error rate sebesar
0,506 yang berarti memiliki tingkat hubungan sedang.
%
%
- Kurang
4
80
1
20
5
100
- Cukup
1
9,1
10 90,9 11 100
- Baik
0
0
5 100 5
100
Total
21
100
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
P value
68
%
%
- Kurang
4
80
1
20
5
100
- Cukup-Baik
1
6,3
15 93,8 16 100
Total
21 100
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
P value
0,004
Error rate
Buruk
Baik
%
4
57,1
3
42,9
1
7,1
13 92,9
Total
P value
%
7
100
0,025
14 100
69
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
21
100
Error rate
Buruk
Baik
%
4
80
1
20
1
10
9
90
0
0
6
100
- Baru
- Sedang
- Lama
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
Total
%
5
100
10 100
6
100
21 100
P value
70
Error rate
Buruk
Baik
%
4
80
1
20
1
6,3
15 93,8
- Baru
- Sedang-Lama
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
Total
%
5
100
16 100
21 100
P value
0,004
Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki masa kerja baru
dimana 80 % memperoleh error rate buruk dan 20% memperoleh error rate baik,
sedangkan responden yang memiliki masa kerja sedang-lama, dimana 6,3%
memperoleh error rate buruk dan 93,8% memperoleh error rate baik.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,004<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara masa kerja petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh pula koefisien kontingensi sebesar 0,594. Dari hasil tersebut dapat
dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara masa kerja dengan error rate sebesar
0,594 yang berarti memiliki tingkat hubungan sedang.
4.2.2.6 Hubungan antara Beban Kerja dengan Error Rate
Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara beban kerja dengan error
rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 12
Tabulasi Silang Beban Kerja dengan Error Rate
Error rate
71
Beban Kerja
4
1
Buruk
%
57,1
7,1
Baik
%
3
42,9
13 92,9
- Kurang
- Baik
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
7
14
21
Total
%
100
100
100
P value
0,025
Karakteristik Responden
Latar belakang pendidikan
Pelatihan
Pengetahuan tentang pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung
Status kepegawaian
Masa kerja
Beban kerja
P value
0,311
0,012
0,004
CC
0,295
0,506
0,594
Keterangan
Tidak signifikan
Signifikan
Signifikan
0,025
0,004
0,025
0,484
0,594
0,484
Signifikan
Signifikan
Signifikan
72
4.4 Pembahasan
Dalam program penanggulangan TB Paru, diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Kegiatan pemantapan mutu
laboratorium untuk memantau kualitas tata laksana pemeriksaan laboratorium
Puskesmas dilaksanakan melalui pemeriksaan cross check atau uji silang. Angka
error rate (angka kesalahan laboratorium) yang didapat dari hasil pemeriksaan cross
check merupakan salah satu indikator program penanggulangan TB Paru (Depkes RI,
2002: 59).
Angka kesalahan laboratorium (error rate) dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah petugas laboratorium TB Paru,
oleh karena petugas laboratorium tersebut memiliki karakteristik individual yang
berbeda-beda.
4.4.1
73
bahwa pada kelompok petugas dengan latar belakang pendidikan SMK-D3 Analis
Kesehatan mempunyai hasil pemeriksaan yang lebih tepat. Hal ini berkaitan dengan
pengetahuan dan cara berfikir sehingga mampu menghasilkan sesuatu sesuai tingkat
pendidikan yang dimiliki.
Faktor yang diduga menjadi penyebab latar belakang pendidikan tidak
berhubungan dengan error rate adalah karena sebagaian besar responden memiliki
masa kerja sedang (6-10 tahun), pengetahuan cukup dan beban kerja baik (10-20
slide per hari), jadi antara responden dengan latar belakang SMU/SMK-S1 Non
Analis Kesehatan dan SMK-D3 Analis Kesehatan sama-sama memperoleh
kesempatan yang sama untuk melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
Menurut Thomas Juster yang dikutip oleh Sri Retno (2001:42), pendidikan
juga mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang
diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan. Pendidikan disini adalah pendidikan
formal disekolah atau kursus yang diikuti. Didalam bekerja faktor pendidikan sering
memegang syarat paling pokok untuk posisi tertentu. Hal ini untuk tercapainya
kesuksesan sesuai jabatan yang dipegangnya.
Menurut Malayu (2002:54), Pendidikan merupakan suatu indikator yang
mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.
Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan mampu menduduki
suatu jabatan tertentu. Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi
tingkat pemahaman, cara berfikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu
74
75
manusia (Depkes RI, 2002: 125). Setiap tenaga laboratorium perlu selalu
meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya melalui pelatihan berkelanjutan baik
didalam laboratorium maupun di luar laboratorium (Gerdunas TB, 2001: 14).
Pelatihan
kerja
diselenggarakan
dan
diarahkan
untuk
membekali,
76
77
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa status
kepegawaian petugas dapat berpengaruh terhadap tanggungjawab tugas yang
diembannya. Hal ini berkaitan dengan sanksi yang jelas baginya. Pegawai negeri
adalah mereka yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Seorang petugas dengan status pegawai negeri
atau
karyawan
tetap
kemungkinan
78
79
Beban kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung seorang
pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dalam hal ini harus ada keseimbangan
antara beban kerja dengan kemampuan individu agar tidak terjadi hambatan maupun
kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan (Depkes RI, 2003: 3).
Beban kerja adalah banyaknya pekerjaan yang dilakukan setiap harinya.
Petugas laboratorium TB Puskesmas dianjurkan paling banyak memeriksa 20 slide
setiap harinya. Semakin berat beban kerja akan menurunkan daya konsentrasi
petugas dalam menjalankan pekerjaannya. Agar petugas laboratorium dapat
mempertahankan ketrampilannya (mempertahankan mutu pemeriksaan), dia harus
mempunyai kesempaatn untuk memeriksa 10-20 sediaan setiap hari (Gerdunas TB,
2001: 10).
4.5 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian mengenai hubungan karakteristik petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus tahun 2006 adalah:
1) Hasil penelitian tergantung dari kejujuran responden, karena dalam
penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner.
2) Jumlah sampel penelitian yang sedikit sehingga berpengaruh pada hasil
penelitian.
3) Faktor penyebab error rate yang multi faktor mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian pada beberapa faktor saja dan melakukan
pengendalian terhadap beberapa faktor pengganggu yang tidak diteliti.
80
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1) Tidak ada hubungan antara latar belakang pendidikan petugas laboratorium TB
Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus Tahun 2006, (p = 0,311).
81
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian saran yang dapat diajukan antara lain:
5.2.1 Bagi Dinas Kesehatan
1) Berdasarkan hasil penelitian, 52,4% petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas di Kabupaten Kudus memiliki latar belakang pendidikan
SMU/SMK-S1 Non Analis Kesehatan maka hendaknya perekrutan untuk
82
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hudoyo. 1999. Pengalaman Klinik PPTI Dalam Melaksanakan DOTS.
Disajikan Dalam Simposium Dengan DOTS Kita STOP TB. PPTI Bekerja
Sama Dengan RSPP Pertamina. 27 Maret 1999
Ambar Silastuti. 2006. (Skripsi) Hubungan Antara Kelelahan dengan Produktivitas
Tenaga Kerja Bagian Penjahitan PT. Bengawan Solo Garment. Semarang:
UNNES
AM. Sugeng Budiono. 2003. Bunga Rampai Hiperkes Dan Keselamatan Kerja.
Semarang: BP UNDIP
Anwar Hadi. 2000. Sistem Manajemen Mutu Laboratorium. Jakarta: Percetakan PT
SUN
83
Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Badan Pusat Statistik Kab.Kudus. 2006. Kudus Dalam Angka 2006. Kudus: Badan
Pusat Statistik Kab.Kudus
Carl E. Speicher dan Jack W. Smith. Pemilihan Uji Laboratorium Yang Efektif.
Terjemahan Joko Suyono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Deadly Duo. 2004. Jurnal TB & HIV. Jakarta: Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkolosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
-------------------------------. 2004. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Djamirun. 2005. (Skripsi) Kualitas Penemuan Tersangka TB Paru Dan Penderita TB
Paru BTA + di Unit Pelayanan Kesehatan Kabupaten Kebumen. Semarang:
Universitas Diponegoro Semarang
Dodo Anondo, dkk. 1995. Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.
Magelang: Podorejo Offset Magelang
E. Oswari. 1995. Penyakit Dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Gerdunas-TB. 2001. Pemeriksaan Mikroskopik Dahak Dan Cross Check Sediaan
BTA. Jakarta: Gerdunas-TB
John Crofton, Norman Horne dan Fred Miller. 2002. TB Klinis Edisi 2. Terjemahan
Muherman harun, dkk. Jakarta: Widya Medika
Luhur Soeroso. 2004. Keberhasilan Pengobatan Teratur Pada Pasien TB. Jakarta:
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
Malayu S.P. Hasibunan. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Misnadiarly. 2006. Tuberkulosis Dan Mikobakterium Apitik. Jakarta : Dian Rakyat
84
85
Anonim. 2001. Setahun Tiga Juta Meninggal Akibat Penyakit Tuberkulosis Paru.
Diambil Dari http://www.suaramerdeka.com. 24 September 2001
Anonim. 2002. Sekilas Tentang Penyakit Tuberkulosis. Diambil Dari
http://www.indosiar.com. 2 Juli 2002
Anonim. 2004. Waspadai Penyakit Tuberkulosis Paru, Seorang Penderita
Tuberkulosis Dewasa Bisa Menulari Sepuluh Anak. Diambil Dari
http://www.pikiran-rakyat.com. 28 Maret 2004
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS LABORATORIUM TB PARU
PUSKESMAS DENGAN EROR RATE HASIL PEMERIKSAAN DAHAK
TERSANGKA TB PARU DI KABUPATEN KUDUS
I. IDENTITAS RESPONDEN
1. No. Responden
2. Nama
3. Umur
4. Jenis kelamin
5. Status kepegawaian
86
a. Pegawai Negeri
b. Honorer
6. Puskesmas
Bulan:
Tahun:
3. Kalau pernah, materi apa saja yang saudara peroleh dalam pelatihan:
1) Dasar-dasar laboratorium
a. Ya
b. Tidak
2) Tata laksana laboratorium TB Paru
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah selama pelatihan dilakukan praktek:
1) Pengecatan:
a. Ya
b. Tidak
2) Membaca hasil di mikroskop:
a. Ya
87
b.Tidak
5. Berapa slide rata-rata saudara periksa perhari:
a. <10 slide perhari
b. 10-20 slide perhari
V. PENGETAHUAN
TENTANG
PEMERIKSAAN
DAHAK
SECARA
MIKROSKOPIS LANGSUNG
Petunjuk: Berilah jawaban menurut pengetahuan yang saudara ketahui.
Keterangan:
Skor 0: Jika tidak bisa menjawab
Skor 1: Jika jawaban kurang tepat
Skor 2: Jika jawaban tepat
1. Sebutkan syarat dahak yang baik untuk pemeriksaan:
Jawaban:
a. Berwarna kuning kehijau-hijauan (mukopurulen)
b. Kental
c. Volume 3-5 ml (Depkes RI, 2002: 28)
Skor
88
89
90
f. Teteskan sediaan dengan asam alcohol (HCL Alkohol 3%) sampai warna
merah fuchsin hilang
g. Bilas dengan air mengalir pelan
h. Teteskan larutan Methylen Blue 0,3% pada sediaan sampai menutupi
seluruh permukaan
i. Diamkan 10-20 detik
j. Bilas dengan air mengalir pelan
k. Keringkan sediaan diatas rak pengering di udara terbuka (jangan dibawah
sinar matahari langsung) (Depkes RI, 2002: 31-32)
6. Sebutkan secara urut pembacaan sediaan dahak:
Jawaban:
a. Cari lebih dahulu lapang pandang dengan objektif 10 x
b. Teteskan satu tetes minyak emersi diatas hapusan dahak
c. Periksa dengan menggunakan lensa okuler 10 x dan objektif 100 x
d. Carilah Basil Tahan Asam (BTA) yang berbentuk batang berwarna merah
e. Periksa paling sedikit 100 lapang pandang atau dalam waktu kurang lebih
10 menit, dengan cara menggeserkan sediaan menurut arah
f. Sediaan dahak yang telah diperiksa kemudian direndam dalam xylol
selam 15-30 menit, lalu disimpan dalam kotak sediaan. Bila
menggunakan anisol, sediaan dahak tidak perlu direndam dalam xylol
(Depkes RI, 2002: 32)
7. Bagaimanakah cara pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dengan skala
IUATLD:
Jawaban:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + atau (1+)
91
92
Jumlah Skor :
Tanggal wawancara
Pewawancara
HALAMAN PENGESAHAN
Pada hari
: Selasa
Tanggal
: 21 Agustus 2007
Panitia Ujian
93
Ketua Panitia
Sekretaris
(Ketua)
(Anggota)
(Anggota)
ii