Anda di halaman 1dari 93

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS LABORATORIUM

TB PARU PUSKESMAS DENGAN ERROR RATE HASIL


PEMERIKSAAN DAHAK TERSANGKA TB PARU
DI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2006
SKRIPSI
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:
Retno Purbosari
NIM 6450402084

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN


JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

2007
1

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu


Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang

Pada hari

: Selasa

Tanggal

: 21 Agustus 2007

Panitia Ujian
Ketua Panitia

Sekretaris

Drs. Sutardji M.S


NIP. 130 523 506

Drs. Herry Koesyanto M.S


NIP. 131 695 459
Dewan Penguji

1. Widya Hary Cahyati, SKM. M.Kes


NIP. 132 308 386

(Ketua)

2. dr. Oktia Woro KH, M.Kes


NIP. 131 695 159

(Anggota)

3. Irwan Budiono SKM. M.Kes


NIP. 132 308 392

(Anggota)

ii

ABSTRAK
Retno Purbosari. 2007. Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB
Paru Di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing: I. dr. Oktia Woro KH. M.Kes, II. Irwan Budiono SKM, M.Kes
Kata Kunci : Error rate, petugas laboratorium TB Paru Puskesmas.
Menurut hasil kegiatan program P2 TB Paru di Kabupaten Kudus, dari tahun
1999-2005 error rate (angka kesalahan laboratorium) masih diatas 5% yaitu berkisar
10-15%, sedangkan pada triwulan 1 tahun 2006 error rate mencapai 13,6%, hal ini
menyebabkan error rate di Kabupaten Kudus menduduki peringkat 1 di Jawa
Tengah. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah adakah hubungan
antara karakteristik petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil
pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006.
Jenis penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory reseach) dengan
pendekatan cross sectional. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah latar belakang
pendidikan, pelatihan, pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, status kepegawaian, masa kerja dan beban kerja sedangkan variabel
terikatnya adalah error rate. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
petugas laboratorium TB Paru Puskesmas di Kabupaten Kudus sejumlah 21 orang.
Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Data primer diperoleh melalui
wawancara. Data sekunder diperoleh dari data di Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat
kemaknaan () 0,05.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa karakteristik petugas yang
berhubungan dengan error rate adalah pelatihan (p= 0,012, CC= 0,506),
pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (p= 0,004,
CC= 0,594), status kepegawaian (p= 0,025, CC= 0,484), masa kerja (p= 0,004, CC=
0,594),dan beban kerja (p= 0,025, CC= 0,484).
Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan adalah hendaknya pelatihan
diberikan kepada semua petugas laboratorium TB Paru Puskesmas secara rutin setiap
tahun karena pelatihan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam hal pengetahuan, sikap dan ketrampilan.

ABSTRACT
Retno Purbosari. 2007. The Relation Between The Characteristics Of Laboratory
Officers Of Lung Tuberculosis In Public Healthcares With Error Rate
Result Of Sputum Checkup From Lung Tuberculosis Suspects In Kudus
Regency In 2006. Skripsi. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu
Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Advisor: I. dr. Oktia Woro KH. M.Kes, II. Irwan Budiono SKM, M.Kes.
Keyword: Error rate, laboratory officers of lung tuberculosis in Public Healthcares.
Based on the result P2 lung tuberculosis program in Kudus Regency from
1999-2005, error rate (number of error in laboratory) on top of 5% which
approximately 10-15%. In the first 3 month of 2006, error rate can reach about
13,6%. This caused the error rate in Kudus Regency got the first rate in Central Java.
Thus the problem which is investigated in the research is whether there is any
relation between the characteristics of laboratory officers of lung tuberculosis in
Public Healthcares with error rate, the result of sputum checkup of lung tuberculosis
suspect in Kudus Regency in 2006. The purpose of this research is to know whether
there is relation between the the characteristics of lung tuberculosis in Public
Healthcares with error rate, the result of sputum checkup of lung tuberculosis suspect
in Kudus Regency in 2006.
The method of this research is explanatory research using cross sectional
approach. The free variables are educational background, training, knowledge of
sputum checkup using direct microscopic, civil service status, working period and
working responsibility. The tied variable is error rate. The populations and samples
are 21 laboratory officers of lung tuberculosis in Public Healthcares in Kudus
Regency. The instrument which is used questionare. The primary data are obtained
from the data taken from Dinkes. The data is processed using chi square test with
degree of meaning () 0,05.
From the research it can be concluded that the characteristics of the
laboratory officers which have relation with error rate are training (p= 0,012, CC=
0,506), knowledge of sputum checkup using direct microscopic (p= 0,004, CC=
0,594), civil service status (p= 0,025, CC= 0,484), working period (p= 0,004, CC=
0,594), and working responsibility (p= 0,025, CC= 0,484).
Based on the result of this research it is suggested that we should give the
regular training to all laboratory officers each year because, training is one of the
way to improve the quality of human resources in case of knowledge, attitude, and
skill.

MOTTO DAN PERSEMBAHAN


MOTTO:
Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu (QS. Al Baqoroh, 2:153)
Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan, yaitu sehatmu
sebelum sakitmu, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu, masa mudamu
sebelum datang hari tuamu, masa kayamu sebelum datang kemiskinanmu, hidupmu
sebelum datang kematianmu (HR. Baihaqi)
Ketekunan bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, membuat
kemungkinan menjadi kemungkinan besar, dan membuat kemungkinan besar
menjadi pasti

PERSEMBAHAN :
1. Kedua Orang tuaku yang memberikan motivasi,
menyayangiku,

dan

mengiringi

langkahku

dengan doa.
2. Kakak-kakakku dan keponakan-keponakanku
yang selalu memberikan dorongan dan kasih
sayang.
3. Teman-temanku yang setia menemani dalam
suka dan duka.
4. Almamaterku Universitas Negeri Semarang

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium
TB Paru Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB
Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dapat diselesaikan.
Penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang.
Skripsi ini dapat diselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak, dengan segala
kerendahan hati disampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Bapak Drs.
Sutardji, M.S, Pembantu Dekan Bidang Akademik, Bapak Khomsin, M.Pd
atas ijin penelitian yang telah diberikan.
2. Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat selaku Dosen Pembimbing I, Ibu
dr. Oktia Woro KH, M.Kes, atas bimbingan, kritik dan saran dalam
penyusunan skripsi.
3. Sekretaris

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bapak Drs. Herry

Koesyanto, M.S atas masukannya dalam penyusunan skripsi.


4. Dosen Pembimbing II, Bapak Irwan Budiono, SKM. M.Kes, yang telah
banyak meluangkan waktu, sabar dan penuh tanggung jawab memberikan
bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dosen Wali, Bapak Drs. Sugiharto M. Kes, yang telah banyak memberikan
nasihat dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, atas bekal ilmu
pengetahuan yang telah diberikan.
7. Staf Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bapak Sungatno, yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus, atas izin penelitian.
9. Kepala UPTD Puskesmas Kabupaten Kudus, atas izin penelitian.
10. Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas di Kabupaten Kudus, atas
kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Semoga amal baik dari semua pihak, mendapat pahala yang berlipat dari
Allah SWT. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penyusun berharap dengan tersusunnya skripsi
ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penyusun khususnya.

Semarang, Juli 2007

Penyusun

DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................

ii

ABSTRAK .....................................................................................................

iii

ABSTRACT ...................................................................................................

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................

vi

.............................................................................................

viii

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

DAFTAR GAMBAR

................................................................................

xi

DAFTAR GRAFIK

.................................................................................

xii

..........................................................................

xiii

.....................................................................

1.2 Rumusan Masalah

................................................................................

1.3 Tujuan Penelitian

..............................................................................

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

1.4 Manfaat Hasil Penelitian


1.5 Keaslian Penelitian

.....................................................................

..............................................................................

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

....................................................................

10

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Landasan Teori ......................................................................................

11

2.1.1 Tuberkulosis

11

......................................................................................

2.1.2 Riwayat Terjadinya Tuberkulosis

......................................................

12

2.1.3 Diagnosis Penderita Tuberkulosis

.......................................................

14

2.1.4 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita ..............................................

15

2.1.5 Cross Check Sediaan Dahak dan Error Rate ..........................................

17

2.1.6 Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Error Rate

....................

20

2.2 Kerangka Teori ..........................................................................................

32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................

33

3.2 Hipotesis Penelitian ...................................................................................

35

3.3 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel ..............................

36

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................

38

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................

38

3.6 Instrumen Penelitian .................................................................................

39

3.7 Teknik Pengambilan Data .........................................................................

40

3.8 Teknik Analisis Data .................................................................................

41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum ......................................................................................

43

4.2 Hasil Penelitian .........................................................................................

45

4.3 Rekapitulasi Analisis Bivariat ...................................................................

57

4.4 Pembahasan ...............................................................................................

57

4.5 Keterbatasan Penelitian..............................................................................

65

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan ...................................................................................................

66

5.2 Saran ..........................................................................................................

67

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

68

10

DAFTAR TABEL
Tabel

Halaman

Tabel 1 Keaslian Penelitian .............................................................................

Tabel 2 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel .......................

36

Tabel 3 Banyaknya Pusat Kesehatan Masyarakat Menurut Kecamatan


di Kabupaten Kudus Tahun 2006 ........................................................

43

Tabel 4 Proporsi Penyakit Kabupaten Kudus Tahun 2006 ..............................

44

Tabel 5 Tabulasi Silang Latar Belakang Pendidikan dengan Error Rate .......

51

Tabel 6 Tabulasi Silang Pelatihan dengan Error Rate ....................................

52

Tabel 7 Tabulasi Silang Pengetahuan dengan Error Rate ..............................

53

Tabel 8 Tabulasi Silang Pengetahuan (Penggabungan Kategori)


dengan Error Rate ...............................................................................

53

Tabel 9 Tabulasi Silang Status Kepegawaian dengan Error Rate ..................

54

Tabel 10 Tabulasi Silang Masa Kerja dengan Error Rate ..............................

55

Tabel 11 Tabulasi Silang Masa Kerja (Penggabungan Kategori)


dengan Error Rate ...........................................................................

55

Tabel 12 Tabulasi Silang Beban Kerja dengan Error Rate .............................

56

Tabel 13 Rekapitulasi Analisis Bivariat Antara Karakteristik Responden


dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru..

57

11

DAFTAR GAMBAR
Gambar

Halaman

Gambar 1 Alur Rujukan Cross Check .............................................................

20

Gambar 2 Kerangka Teori Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium


TB Paru Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak
Tersangka TB Paru .........................................................................

32

Gambar 3 Kerangka Konsep Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium


TB Paru Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan
Dahak Tersangka TB Paru ..............................................................

33

12

DAFTAR GRAFIK
Grafik

Halaman

Grafik 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Latar Belakang


Pendidikan ........................................................................................

45

Grafik 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelatihan ..................

46

Grafik 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan .............

47

Grafik 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Kepegawaian ..

48

Grafik 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja ..............

49

Grafik 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Beban Kerja .............

50

13

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran

Halaman

1. SK. Penguji Skripsi..............................................................................

71

2. Surat Permohonan Ijin Penelitian dari Fakultas Ilmu Keolahragaan...

72

3. Surat Ijin Rekomendasi dari Kesbanglitmas Kab.Kudus ....................

74

4. Surat Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus ............

75

5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Dawe ..

76

6. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Undaan.

77

7. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Purwosari 78


8. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Gribig .

79

9. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Jekulo .

80

10. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Wergu.

81

11. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Ngembal 82


12. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Rejosari 83
13. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Gondosari 84
14. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Kaliwungu 85
15. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Jepang.

86

16. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Mejobo

87

17. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Sidorekso 88


18. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Ngemplak 89
19. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Tj.Rejo..

90

20. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Bae ...

91

14

21. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Rendeng 92


22. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Puskesmas Jati ......

93

23. Kuesioner Penelitian............................................................................

94

24. Skor Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian..........................

101

25. Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Penelitian .............

102

26. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ......................................................

103

27. Analisis Data Kasar Hasil penelitian ...................................................

104

28. Rekapitulasi Hasil Cross Check ..........................................................

115

29. Dokumentasi Data ...............................................................................

116

15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah


Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi keberhasilan

pembangunan bangsa (Depkes RI, 2004: 1). Pembangunan kesehatan sebagai salah
satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan
dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal. Sasaran pembangunan kesehatan dapat berhasil
apabila angka kesakitan dan kematian dapat menurun. Sampai saat ini angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit menular masih cukup tinggi, salah satunya
adalah penyakit tuberkulosis (http://www.suaramerdeka.com).
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat menahun,
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Oswari, E.1995: 256). Kuman
ini dapat menyerang semua bagian tubuh manusia dan yang paling sering terkena
adalah organ paru (90%) (http://www.indosiar.com). Penyakit tuberkulosis
merupakan salah satu masalah kesehatan bagi bangsa Indonesia dan dunia. WHO
menyatakan bahwa sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah
terinfeksi kuman tuberkulosis (Deadly Duo, 2004: ii). Dalam pandangan dunia
internasional Indonesia merupakan penyumbang kasus TB Paru terbesar di dunia
setelah India dan Cina.
Di Indonesia TB Paru kembali muncul sebagai penyebab kematian utama
setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan (Wahyu Aniwidyaningsih dan

16

Tjandra Yoga Aditama, 2003: 34). Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor
3 setelah penyakit kardiovaskuler dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.
Hingga saat ini penyakit ini belum dapat disembuhkan secara sempurna bahkan
sebaliknya jumlah penderita baru dari hari ke hari semakin meningkat (Luhur, 2004:
38).
Pada tahun 1999 WHO memperkirakan dari setiap 100.000 penduduk akan
ditemukan 130 penderita baru TB Paru dengan Bakteri Tahan Asam Positif (BTA +)
(http://www.pikiran-rakyat.com). Diperkirakan setiap tahun ditemukan 450.000
kasus baru TB, dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar Puskesmas, 1/3
ditemukan di pelayanan Rumah Sakit/ klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta
dan sisanya belum terjangkau Unit Pelayanan Kesehatan. Sedangkan kematian
karena TB diperkirakan 175.000 per tahun. Penyakit TB ini menyerang sebagian
besar kelompok usia kerja produktif (http://ppmplp.depkes.go.id).
Di Jawa Tengah diperkirakan terdapat 100-150.000 penderita pada tahun
19901997. Walaupun incidence rate cenderung menurun, tetapi penderita baru
menunjukkan peningkatan hingga 4%, dimana 110 dari tiap 100.000 penduduk atau
33.000 orang setiap tahun (http://www.suaramerdeka.com).
Mulai tahun 1995 Program Pemberantasan Penyakit TB (P2TB) Paru
melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
dilaksanakan secara bertahap (Depkes RI, 2002: 3). Dalam rangka mensukseskan
pelaksanaan program P2TB Paru, prioritas ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan dan penggunaan pengobatan yang rasional. Dalam pemberantasan

17

penyakit TB Paru, pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan menggunakan


Puskesmas sebagai ujung tombak untuk memutuskan rantai penularan penyakit TB
Paru di masyarakat yaitu dengan cara menemukan dan mengobati penderita sampai
sembuh, maka pengobatan diberikan secara gratis di Unit Pelayanan Kesehatan
(UPK) Pemerintah khususnya Puskesmas (Ahmad Hudoyo, 1999: 18).
Salah satu pelayanan yang diberikan di Puskesmas kepada penderita TB
Paru adalah pemeriksaan laboratorium. Dalam program penanggulangan TB Paru,
pemeriksaan sediaan mikroskopis BTA dari spesimen dahak merupakan komponen
kunci untuk menegakkan diagnosis serta evaluasi dan tindak lanjut pengobatan
(Gerdunas TB, 2001: 1).
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan dahak yang
paling efisien, mudah dan murah. Pemeriksaan mikroskopis bersifat spesifik dan
cukup sensitif karena pemeriksaan 3 spesimen (Sewaktu Pagi Sewaktu / SPS) dahak
secara mikroskopis langsung nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara
kultur atau biakan (Depkes RI, 2002: 27).
Salah satu permasalahan yang masih dijumpai dalam pelaksanaan program
P2TB Paru adalah mutu pemeriksaan dahak belum sepenuhnya terjamin secara
merata. Ketidakmampuan untuk menafsirkan pemeriksaan laboratorium secara
optimal dapat mengganggu perawatan penderita dan penggunaan laboratorium secara
tidak tepat dapat mengganggu diagnosis (Joko, 2000: vii). Untuk menjamin
ketepatan dan ketelitian hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung harus
dilakukan kegiatan pemantapan mutu laboratorium.

18

Kegiatan pemantapan mutu laboratorium untuk memantau kualitas tata


laksana pemeriksaan laboratorium Puskesmas dilaksanakan melalui pemeriksaan
cross check atau uji silang yaitu pengiriman satu sediaan dari seluruh slide BTA +
masing-masing tersangka penderita ditambah 10% BTA hasil pemeriksaan
Puskesmas yang diambil secara acak ke Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) atau
BP4 yang ditunjuk (Depkes RI, 2002: 59). Angka error rate (angka kesalahan
laboratorium) yang di dapat dari hasil pemeriksaan cross check merupakan salah satu
indikator program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002: 59).
Menurut WHO dimana jika error rate 5% maka mutu pemeriksaan dahak di
Kabupaten atau Kota tersebut dinilai bagus. Dengan dilaksanakannya cross check
spesimen maka dapat diketahui kualitas hasil pemeriksaan sediaan dahak pada
Puskesmas yang bersangkutan. Akurasi pemeriksaan spesimen ini sangat penting
karena menyangkut ketepatan diagnosa pada tersangka penderita. Apabila angka
kesalahan laboratorium (error rate) dari hasil cross check diketahui >5% maka dapat
berdampak pada hasil pembacaan spesimen yang pada akhirnya terjadi kesalahan
pengobatan pada penderita sehingga dapat mengganggu program penanggulangan
penyakit TB Paru. Selain itu apabila angka kesalahan tersebut melampaui batas maka
akan diadakan tindak lanjut kepada petugas laboratorium Puskesmas yang
bersangkutan, seperti mendapatkan bimbingan atau petugasnya perlu magang di
BLK (Depkes RI, 2002: 61).
Kabupaten Kudus memiliki 19 Puskesmas di wilayah kerjanya. Menurut
hasil kegiatan program P2TB Paru dari tahun 1999 sampai dengan 2005 error rate
(angka kesalahan laboratorium) masih diatas 5% yaitu berkisar 10-15%, sedangkan

19

hasil program P2TB Paru pada triwulan 1 tahun 2006 masih menunjukkan kesalahan
pembacaan yang masih tinggi yaitu 13,6%, hal ini menyebabkan angka error rate di
Kabupaten Kudus menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah. Hasil cross check ini
harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check menunjukkan error rate lebih dari 5%,
unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan penyebabnya (Depkes
RI, 2002: 61).
Angka pencapaian error rate dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satu faktor yang mempengaruhi adalah petugas laboratorium TB Paru, oleh karena
petugas laboratorium tersebut memiliki karakteristik individual yang berbeda-beda.
Menurut penelitian Yamoto (2001), karakteristik tersebut antara lain umur, jenis
kelamin, latar belakang pendidikan, pelatihan, kesehatan mata, status kepegawaian
dan lama bekerja. Sedangkan menurut penelitian Sri Retno Rindjaswati (2001),
karakteristik internal antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama
bekerja dan karakteristik eksternal antara lain kerja rangkap, pendanaan,
penghargaan, pelatihan, mikroskop binokuler, reagen Ziehl Neelsen dan kaca
sediaan.
Dengan memperhatikan hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus Tahun 2006 .

20

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas di identifikasi

permasalahan yaitu angka error rate (angka kesalahan laboratorium) di Kabupaten


Kudus dari tahun 1999 sampai dengan 2005 masih diatas 5% yaitu berkisar 10-15%,
bahkan pada triwulan 1 tahun 2006 menduduki peringkat 1 di Jawa Tengah yaitu
13,6%.
Dari identifikasi permasalahan tersebut dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut: Adakah hubungan karakteristik (latar belakang pendidikan,
pelatihan, pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung,
status kepegawaian, masa kerja dan beban kerja) petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006?

1.3

Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui hubungan karakteristik (latar belakang pendidikan, pelatihan,

pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, status


kepegawaian, masa kerja dan beban kerja) petugas laboratorium TB Paru Puskesmas
dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus
tahun 2006.

21

1.3.2

Tujuan Khusus

1) Mengetahui hubungan antara latar belakang pendidikan petugas laboratorium


TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB
Paru di Kabupaten Kudus tahun 2006.
2) Mengetahui hubungan antara pelatihan petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006.
3) Mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan
error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus
tahun 2006.
4) Mengetahui hubungan antara status kepegawaian petugas laboratorium TB
Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB
Paru di Kabupaten Kudus tahun 2006.
5) Mengetahui hubungan antara masa kerja petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006.
6) Mengetahui hubungan antara beban kerja petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006.

22

1.4

Manfaat Hasil Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut:
1.4.1

Bagi Dinas Kesehatan


Memberi masukan untuk evaluasi dan perencanaan kepada pengelola atau

pelaksana Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2 TB Paru)


dalam menentukan langkah-langkah khususnya dalam pelaksanaan pemeriksaan
laboratorium TB Paru di Puskesmas sehingga error rate dapat 5%.
1.4.2

Bagi Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas


Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan

Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2 TB Paru).

23

1.5

Keaslian Penelitian

No Judul
Penelitian

Nama
Peneliti

Tabel 1
Keaslian Penelitian
Tahun dan
Rancangan Variabel
Tempat
Penelitian
Penelitian
Penelitian
2001,
Explanatory - Variabel
seluruh
bebas : umur,
Research
Puskesmas
dengan
jenis kelamin,
di wilayah
tingkat
metode
Kabupaten
survei dan
pendidikan,
Kebumen
pelatihan,
dilakukan
secara
kesehatan
mata, status
cross
kepegawaian,
sectional
lama bekerja
- Variabel
terikat :
Error rate
- Variabel
pengganggu:
Beban kerja,
sarana
laboratorium.

1.

Kaitan
Yamoto
Karakteristik
Petugas
Laboratorium
TB Paru
Puskesmas
Dengan
Error Rate
Hasil
Pemeriksaan
Dahak
Tersangka
TB Paru di
Kabupaten
Kebumen
Tahun 2001

2.

Karakteristik Sri Retno


Petugas
Rindjaswati
Laboratorium
TB Paru di
Puskesmas
Rujukan
Mikroskopis
Kota
Surakarta
Tahun 2001

2001,
Puskesmas
Rujukan
Mikroskopis
di wilayah
Kota
Surakarta

Deskriptif
dengan
pendekatan
cross
sectional

- Variabel
bebas:
Karakteristik
internal
(umur, jenis
kelamin,
tingkat
pendidikan,
lama bekerja)
Karakteristik
eksternal
(pendanaan,
pelatihan,
mikroskop
binokuler,
reagen ZN,
kaca sediaan)

Hasil
Penelitian
Karakteristik
responden
yang
berkaitan
berdasarkan
perhitungan
statistik
dengan
error rate
hasil
pemeriksaan
dahak
tersangka
TB Paru
adalah
pelatihan.

Error rate di
laboratorium
PRM di kota
Surakarta
sebesar 069%.
Karakteristik
internal
petugas
tidak
menjadi
masalah,
masalah
justru pada
karakteristik
eksternal
(perawatan
suku cadang
mikroskop
binokuler,

24

- Variabel
terikat :
Error rate

kualitas
regen ZN
dan kualitas
kaca
sediaan)

Dalam penelitian ini terdapat perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu


pada variabel bebas, di mana pada penelitian sebelumnya terdapat variabel umur,
jenis kelamin, kesehatan mata, pendanaan dan kaca sediaan, sedangkan pada
penelitian ini variabel-variabel tersebut tidak di teliti dan menambahkan dengan
variabel pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

1.6
1.6.1

Ruang Lingkup Penelitian


Ruang Lingkup Tempat
Tempat yang diambil dalam penelitian ini adalah Puskesmas di wilayah

Kabupaten Kudus.
1.6.2

Ruang Lingkup Waktu


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2007.

1.6.3

Ruang Lingkup Materi


Penelitian ini membahas tentang karakteristik petugas laboratorium dengan

error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru.

25

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Teori


2.1.1

Tuberkulosis

2.1.1.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat menahun, disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paruparu (Dodo Anondo, dkk. 1995: 120).
2.1.1.2 Kuman Tuberkulosis
Kuman ini berbentuk batang, mampunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun
(Depkes RI, 2002: 9).
2.1.1.3 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.

11

26

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka
penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi
TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002: 9).
2.1.1.4 Resiko Penularan
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia bervariasi, antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar
1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
tuberkulosis (Depkes RI, 2002:10).
2.1.2

Riwayat Terjadinya Tuberkulosis

2.1.2.1 Infeksi Primer


Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhisap sangat kecil ukurannya sehingga
dapat melewati sistem pertahanan mukosiller bronkus dan terus berjalan sampai
di alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman
tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru
yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 4-6 minggu (http://www.ppmplp.depkes.go.id).

27

2.1.2.2 Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura (Depkes RI, 2002: 10).
2.1.2.3 Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis
1) Pnemutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah
terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis.
2) Kor pulmunale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat
kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.
3) Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik
dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat terinfeksi
dengan jamur Aspergillus fumigatus (Muherman, dkk. 2002: 40).
4) Hemoptis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
5) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial.
6) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.
7) Insufisiensi Kardio Pulmoner.
8) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya (Depkes RI, 2002: 11).

28

2.1.3

Diagnosis Penderita Tuberkulosis

2.1.3.1 Gejala-gejala Tuberkulosis


Menurut Muherman, dkk (2002 : 96) gejala-gejala tuberkulosis yaitu :
1) Batuk

6) Wheezing lokal

2) Dahak

7) Sering flu

3) Batuk berdarah

8) Berat badan turun

4) Sakit dinding dada

9) Demam dan berkeringat

5) Nafas pendek

10) Rasa lelah

Sedangkan menurut Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama (2001 :


824), bahwa gejala-gejala yang terbanyak adalah :
1) Demam

3) Sesak napas

2) Batuk/batuk berdarah

4) Nyeri dada.

2.1.3.2 Penemuan Penderita Tuberkulosis


1) Penemuan Penderita TB Paru Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak
penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-berturut, yaitu SewaktuPagiSewaktu /SPS (Depkes RI, 2002: 13).

29

2) Penemuan Penderita Pada Anak


Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal yang sulit.
Sebagian besar tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran
radiologis, dan uji tuberkulin (Depkes RI, 2002: 14).
2.1.4

Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita

2.1.4.1 Klasifikasi Penyakit


1) Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b. Tuberkulosisi Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan tuberkulosis aktif.
TBC Paru Negatif Rotgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu berat dan ringan.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ektra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-

30

lain. Tuberkulosis ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu tuberkulosis ekstra paru ringan dan tuberkulosis ekstra paru berat.
(Depkes RI, 2002: 24).
2.1.4.2 Tipe Penderita
Tipe

penderita

ditentukan

berdasarkan

riwayat

pengobatan

sebelumnya.
Menurut Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama (2001: 828). Tipe penderita
dibagi dalam :
1) Kasus Baru
Adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
lebih dari satu bulan.
2) Kasus Kambuh (relaps)
Adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis
tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis aktifnya.
3) Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
4) Kasus Kronik
Adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat
pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.

31

Menurut Depkes RI (2002 : 24), tipe penderita dibagi ke dalam


beberapa tipe, yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in);
setelah lalai (drop-out); gagal dan kasus kronik.
2.1.5

Cross Check Sediaan Dahak dan Error Rate

2.1.5.1 Maksud dan Prinsip Pemeriksaan Cross Check


Pemeriksaan cross check atau uji silang merupakan salah satu
kegiatan pemantapan mutu laboratorium dengan maksud untuk mengetahui
kualitas hasil pemeriksaan sediaan dahak BTA. Sediaan dahak yang telah
diperiksa oleh laboratorium pertama (PRM, PPM, RS, dll), dikirim ke
laboratorium rujukan yang ditunjuk untuk melakukan cross check, dan
laboratorium rujukan tidak boleh mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium
pertama.
2.1.5.2 Cara Pengambilan Sampel Sediaan Untuk di Cross Check
Sekali setiap triwulan (pada waktu melakukan supervisi) petugas
Kabupaten atau kota mengambil sampel sediaan dahak yang telah diperiksa dan
disimpan oleh laboratorium pertama (PRM, PPM, RS, dll), meliputi:
- Satu sediaan dari setiap penderita BTA positif
- Untuk penderita BTA negatif, diambil 10% secara acak dan diambil satu
sediaan untuk setiap penderita yang terpilih.
Sediaan itu diambil secara acak untuk di cross check ke Balai
Laboratorium Kesehatan atau laboratorium rujukan lain yang ditunjuk.
Laboratorium rujukan ditunjuk berdasarkan seleksi dan evaluasi baik secara
kualitas

maupun

dengan

mempertimbangkan

kelengkapan

bidang

32

ketenagakerjaan beserta sarana pendukungnya dan dilakukan audit secara


berkala. Hasil pemeriksaan yang dihasilkan merupakan barometer pembanding
utama yang diakui oleh Departemen Kesehatan dalam pemantauan kualitas
pemeriksaan sediaan dahak yang dilakukan oleh Puskesmas.
Setelah pengambilan sampel untuk di cross check, sisa sediaan dapat
dimusnahkan sesuai prosedur pembuangan limbah laboratorium (Depkes RI,
2002: 59).
2.1.5.3 Cara Menghitung Hasil Cross Check
Aspek yang dinilai dalam penilaian cross check adalah kualitas
hapusan sediaan, kualitas pewarnaan dan kualitas pembacaan. Setelah Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota menerima hasil pemeriksaan dari BLK atau
dari laboratorium rujukan lain, harus dilakukan perhitungan hasil cross check
dengan cara membandingkan hasil BLK dengan hasil pemeriksaan pada
laboratorium Puskesmas. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
Positif Palsu:
Jumlah positif palsu
x100
Jumlah sediaan positif dari lab. pertama yang dicross check

Negatif Palsu:
Jumlah negatif palsu
x100
Jumlah sediaan negatif dari lab. pertama yang dicross check

Angka Kesalahan Laboratorium (error rate):


Jumlah positif palsu + jumlah negatif palsu
x100
Jumlah seluruh sediaan dari lab. pertama yang dicross check

33

Analisa hasil cross check harus diumpan balikkan ke laboratorium


Puskesmas. Hasil cross check ini harus ditindaklanjuti. Bila hasil cross check
menunjukkan error rate (angka kesalahan laboratorium) lebih besar dari 5%,
maka unit-unit terkait harus meneliti lebih lanjut apa kemungkinan
penyebabnya (Depkes RI, 2002: 61).
2.1.5.4 Alur Rujukan Cross Check

Laboratorium yang
melakukan cross check:
- Balai Laboratorium
Kesehatan
- Laboratorium
rujukan lain

Dinas Kesehatan Propinsi

Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota

PRM/PPM/UPK lainnya

Gambar 1
Alur Rujukan Cross Check (Depkes RI, 2002: 62)

Keterangan:
: Jalur pengambilan / pengiriman sediaan untuk di cross check dilakukan
Kabupaten / Kota
: Jalur penyampaian hasil cross check
: Jalur pengiriman umpan balik analisis hasil cross check

34

2.1.5.5 Error Rate


Error rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan
laboratorium yang menyatakan persentase kesalahan pembacaan slide atau
sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji
silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain. Angka ini
menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis langsung
laboratorium pemeriksa pertama.
Angka kesalahan laboratorium (error rate) ini hanya bisa ditoleransi
maksimal 5%. Error rate ini menjadi kurang berarti apabila jumlah slide yang
di cross check (uji silang) relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung
pada masing masing laboratorium pemeriksa di tingkat Kabupaten atau kota.
Kabupaten atau kota harus menganalisa berapa persen laboratorium pemeriksa
yang ada di wilayahnya melaksanakan cross check, disamping menganalisa
error rate per PRM / PPM / RS / BP4 supaya dapat mengetahui kualitas
pemeriksaan slide dahak secara mikroskop langsung (Depkes RI, 2002: 111).
2.1.6

Beberapa Faktor yang Berhubungan Error rate


Dalam program penanggulangan TB Paru, diagnosis ditegakkan

melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan 3


spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling
efisien, mudah dan murah. Suatu laboratorium kesehatan di tuntut dapat
mengeluarkan hasil yang tepat, cepat dan mutu terjamin, karena hasil
pemeriksaan ini sangat penting untuk menentukan pelayanan kesehatan yang

35

berkualitas. Beberapa faktor yang mempengaruhi error rate adalah sebagai


berikut:
2.1.6.1 Spesimen
1) Dahak (Sputum)
Dahak harus dikumpulkan secara benar, sehingga dapat diperoleh
spesimen berkualitas baik dan dalam jumlah yang cukup. Hal ini untuk
menghindari

pengamatan

yang

tidak

tepat,

sehingga

mengakibatkan

kesimpulan yang salah (Misnadiarly, 2006: 6). Dahak yang diambil harus
berasal dari trakea dan broncus, jangan menggunakan dahak yang mengandung
darah atau hanya air liur. Dahak yang baik untuk pemeriksaan adalah berwarna
kuning kehijau-hijauan (mukopurulen), kental dengan volume 3-5ml (Gerdunas
TB, 2001: 10).
2) Wadah atau Pot Dahak
Wadah untuk pengumpulan dahak sebaiknya dapat dibuang sesudah
dipakai (disposable) dan harus selalu bersih dan steril, tidak mudah pecah,
tidak bocor dan mempunyai mulut besar (Misnadiarly, 2006: 7).
3) Pengumpulan Dahak
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS). Spesimen dahak sebaiknya dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan.
Sewaktu: dahak dikumpulkan pada saat tersangka datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang suspek TB membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak hari kedua.

36

Pagi: dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
Sewaktu: Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi (Depkes RI, 2002: 28).
2.1.6.2 Sarana Laboratorium
1) Mikroskop
Mikroskop adalah alat optik yang terdiri dari gabungan lensa-lensa yang
membuat obyek kecil yang tidak terlihat dengan mata biasa menjadi besar.
Program penanggulangan tuberkulosis di Indonesia, menggunakan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis untuk menegakkan diagnosis. Untuk mendapatkan
pemeriksaan yang benar, petugas mikroskopis harus memahami dengan jelas
dasar-dasar pengenalan, penggunaan dan pemeliharaan mikroskop. Untuk
pemeriksaan dahak pada program pemberantasan TB Paru digunakan
mikroskop medan terang tipe binokuler (Gerdunas TB, 2001: 3).
2) Ruangan Tempat Pemeriksaan (Penerangan / Pencahayaan)
Penerangan ditempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang
menerangi benda-benda ditempat kerja. Banyak obyek kerja beserta bendabenda atau alat dan kondisi disekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal
ini penting untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan yang mungkin terjadi.
Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang
lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Sumamur, 1996: 93).
Penerangan ditempat kerja merupakan salah satu faktor yang perlu
diupayakan penyempurnaannya. Penerangan yang baik mendukung kesehatan

37

kerja dan memungkinkan tenaga kerja bekerja dengan lebih aman dan nyaman,
yang antara lain disebabkan mereka dapat melihat obyek yang dikerjakan
dengan jelas dan cepat (AM Sugeng Budiono, 2003: 31).
Penerangan yang cukup sangat dibutuhkan untuk pemeriksaan secara
mikroskopis. Laboratorium harus menyediakan sistem pencahayaan yang dapat
memenuhi persyaratan dalam metode pengujian. Dalam hal ini, pencahayaan
dapat bersifat alami dengan memanfaatkan cahaya matahari (terang langit) atau
menggunakan sistem penerangan buatan yaitu cahaya lampu listrik (Anwar
hadi, 2000: 102). Karena laboratorium memerlukan ketelitian maka penerangan
yang dibutuhkan minimal 300-500 Lux atau tersedia lampu standar yang
dianjurkan untuk laboratorium adalah lampu minimal 40 watt. Disamping itu
faktor lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi konsentrasi petugas harus
dihindari atau dikurangi.
3) Ziehl Neelsen
Larutan pewarna atau reagen Ziehl Neelsen yang dipergunakan harus
diuji kualitasnya dengan cara:
a.

Buat sediaan apus dari dahak yang mengandung BTA dan yang tidak
mengandung BTA.

b.

Lakukan pewarnaan dengan menggunakan larutan Ziehl Neelsen yang


akan diuji pada kedua sediaan ini.

c.

Bila kualitas larutan pewarna Ziehl Neelsen baik maka, pada sediaan yang
mengandung BTA akan terlihat kuman BTA dengan ciriciri kuman
berbentuk batang, berwarna merah/merah jambu dengan latar belakang

38

berwarna biru sedangkan pada sediaan yang tidak mengandung BTA tidak
tampak ciri ciri tersebut diatas (Gerdunas TB, 2001: 17).
2.1.6.3 Karakteristik Petugas
Pemeriksaan laboratorium merupakan kegiatan yang sangat penting,
untuk itu diperlukan suatu ketelitian dan ketepatan dalam pemeriksaan. Oleh
karena itu diperlukan ketekunan serta konsentrasi petugas dalam pelaksanaan
tugas sehingga diperoleh hasil yang sangat akurat. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing petugas. Kinerja dari
individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1) Umur
Umur seseorang demikian besar peranannya dalam mempengaruhi
produktivitas kerjanya, karena umur juga menyangkut perubahan-perubahan
yang dirasakan individu, sehubungan dengan pengalaman maupun perubahan
kondisi fisik dan mental seseorang sehingga nampak dalam aktifitas sehari-hari.
Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2003: 165), faktor umur perlu
dipertimbangkan seperlunya, hal ini untuk menghindarkan rendahnya
produktivitas yang dihasilkan oleh petugas yang bersangkutan.
Umur mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya, karena umur
akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja dan tanggung
jawab seseorang (Malayu, 2002: 55).
Menurut Margatan (1996: 24) yang di kutip oleh Ambar S, bahwa
dengan menanjaknya umur maka kemampuan jasmani dan rohanipun akan
menurun secara perlahan-lahan. Aktifitas hidup juga berkurang, yang

39

mengakibatkan semakin bertambahnya ketidakmampuan tubuh dalam berbagai


hal.
2) Jenis Kelamin
Laki-laki dan wanita berbeda dalam hal kemampuan fisiknya dan
kekuatan kerja ototnya. Menurut Depnaker (1993: 11) yang dikutip oleh Ambar
Silastuti, bahwa menurut pengalaman ternyata siklus biologi wanita tidak
mempengaruhi kemampuan fisik dan kultural. Jenis kelamin harus diperhatikan
berdasarkan sifat pekerjaan, waktu mengerjakan dan peraturan-peraturan dalam
lingkungan kerja.
3) Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan

merupakan

suatu

indikator

yang

mencerminkan

kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan


latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan mampu menduduki
suatu jabatan tertentu (Malayu, 2002: 54).
Menurut Thomas Juster yang dikutip oleh Sri Retno (2001:42),
pendidikan sebagai salah satu unsur investasi tenaga kerja (human capital)
dimana tanpa mutu pendidikan baik kualitatif maupun kuantitatif tidak
mungkin melaksanakan pembangunan. Pendidikan bukan satu-satunya jenis
investasi tenaga kerja akan tetapi merupakan faktor penting dalam kehidupan
(life cycle) pekerja yang sangat berpengaruh terhadap keseluruhan hasil
pembangunan.
Pendidikan juga mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap
lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan.

40

Pendidikan disini adalah pendidikan formal disekolah atau kursus yang diikuti.
Didalam bekerja faktor pendidikan sering memegang syarat paling pokok untuk
posisi tertentu. Hal ini untuk tercapainya kesuksesan sesuai jabatan yang
dipegangnya.
Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan baik melalui jalur
pendidikan formal maupun informal, karena setiap penggunaan teknologi
hanya akan dapat dikuasai dengan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan
yang handal. Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi
tingkat pemahaman, cara berfikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu
pekerjaan. Seorang petugas laboratorium dituntut untuk dapat mengetahui
tentang banyak hal yang diperiksanya dengan baik (Tarwaka, 2004: 139 - 140).
4) Pelatihan
Kemampuan dan ketrampilan tenaga pemeriksa antara lain ditentukan
oleh pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (Depkes RI, 2002: 125). Setiap tenaga laboratorium perlu
selalu meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya melalui pelatihan
berkelanjutan baik didalam laboratorium maupun di luar laboratorium
(Gerdunas TB, 2001: 14).
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan atau keahlian kerja guna
meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja.
Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu
pada standar kualifikasi ketrampilan atau keahlian yang pelaksanaannya

41

dilakukan secara berjenjang dan berlanjut. Pelatihan kerja yang merupakan hak
setiap pekerja dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan
serta keahlian sesuai bakat, minat dan kemampuannya diselenggarakan oleh
lembaga pelatihan pemerintah (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003: 16).
Program pelatihan berguna bagi petugas laboratorium untuk
meningkatkan ketrampilan dan keahliannya agar tidak terjadi kesalahan dalam
menjalankan pekerjaannya. Laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan
yang canggih dan bangunan yang megah tidak akan memberikan kinerja yang
diharapkan apabila tidak didukung oleh personal (petugas laboratorium) yang
profesional.
Sebaliknya, petugas laboratorium yang profesional akan dapat
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada didalam laboratorium secara
efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan kinerja laboratorium. Selain
itu,

laboratorium

harus

mempunyai

kebijakan

dan

prosedur

untuk

mengidentifikasi kebutuhan pelatihan serta menyediakan pelatihan untuk


petugas laboratorium. Adapun program pelatihan harus relevan dengan tugas
sekarang dan tugas masa depan yang diantisipasi oleh petugas laboratorium
(Anwar Hadi, 2000: 93).
5) Pengetahuan Tentang Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis Langsung
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003:121), pengetahuan adalah
merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra

42

manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.


Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 128).
Dalam program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pengetahuan petugas
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung sangat berguna bagi petugas
laboratorium dalam menjalankan pekerjaannya untuk memperoleh kualitas
pemerikasaan yang baik (Depkes RI, 2002: 27).
Pengetahuan tentang apa yang harus diketahui atau informasi penting
sangat dibutuhkan untuk melakukan tugas sehari-hari serta informasi dapat
memberikan pengertian yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan
permasalahan yang timbul. Dengan pengetahuan yang dimiliki dapat
berdampak kepada perilaku yang meliputi perubahan kebiasaan atau kelakuan
(Anwar Hadi, 2000: 95).
6) Status Kepegawaian
Status

kepegawaian

petugas

dapat

berpengaruh

terhadap

tanggungjawab tugas yang diembannya. Hal ini berkaitan dengan sanksi yang
jelas baginya. Pegawai negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat
oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas jabatan negeri atau tugas
negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seorang petugas

43

dengan status pegawai negeri atau karyawan tetap kemungkinan akan lebih
dapat berkonsentrasi dan bertanggungjawab (Siswanto Sastrohadiwiryo,
2003: 27).
Pada dasarnya laboratorium harus menggunakan personel (petugas
laboratorium) yang dipekerjakan oleh atau dibawah kontrak laboratorium
(pegawai negeri). Karena itu, ketika personel kontrak (tidak tetap/honorer),
maka laboratorium harus memastikan bahwa petugas tersebut diawasi dan
kompeten, serta bekerja sesuai dengan sistem mutu laboratorium (Anwar
Hadi, 2000: 97).
7) Masa Kerja
Menurut Tulus MA (1992: 211) yang dikutip oleh Siti Muslikatul
Mila, masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja
disuatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif
maupun negatif. Memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja apabila
dengan lamanya seseorang bekerja maka dia akan semakin berpengalaman
dalam melakukan tugasnya. Sebaliknya akan memberikan pengaruh negatif
apabila semakin lamanya seseorang bekerja akan menimbulkan kebosanan.
Lama masa bekerja petugas dapat merupakan faktor pendorong yaitu
dengan semakin meningkatnya ketrampilan petugas seiring dengan frekuensi
pekerjaan yang berulang-ulang dan semakin banyak. Sebaliknya dapat pula
menjadi faktor penghambat apabila terjadi kejenuhan pada pekerjaan yang
monoton.

44

Masa kerja dikategorikan menjadi 3 (tiga) yaitu:


a.

Masa kerja baru

: <6 tahun

b.

Masa kerja sedang

: 6-10 tahun

c.

Masa kerja lama

: >10 tahun

Menurut Agus TM (1992:45) yang dikutip oleh Siti Muslikatul Milla,


bahwa masa kerja biasa dikaitkan dengan waktu mulai bekerja pada saat ini,
diasumsikan bahwa semakin lama seseorang bekerja pengalamannya semakin
luas/ banyak. Masa kerja berkait erat dengan pengalaman-pengalaman yang
didapat dalam menjalankan tugas. Mereka yang berpengalaman dipandang
mampu dalam menjalankan tugas, makin lama masa kerja seseorang maka
kecakapan mereka akan lebih baik karena sudah menyesuaikan diri dalam
pekerjaannya.
6) Beban Kerja
Beban kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung
seorang pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dalam hal ini harus ada
keseimbangan antara beban kerja dengan kemampuan individu agar tidak
terjadi hambatan maupun kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan (Depkes
RI, 2003: 3).
Menurut Depnaker (1990:9) yang dikutip oleh Ambar S, bahwa
seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya
dengan beban kerja, mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik,
mental atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya
mampu memikul beban sampai beban tertentu. Bahkan ada beban yang dirasa
optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja
yang tepat pada pekerjaan yang tepat.

45

Beban kerja adalah banyaknya pekerjaan yang dilakukan setiap


harinya. Petugas laboratorium TB Puskesmas dianjurkan paling banyak
memeriksa 20 slide setiap harinya. Selain itu ditambah dengan tugas lain
yang merupakan tugas rangkap yang dibebankan kepadanya. Semakin berat
beban kerja akan menurunkan daya konsentrasi petugas dalam menjalankan
pekerjaannya.

Agar

petugas

laboratorium

dapat

mempertahankan

ketrampilannya (mempertahankan mutu pemeriksaan), dia harus mempunyai


kesempatan untuk memeriksa 10-20 sediaan setiap hari (Gerdunas TB, 2001:
10).

46

2.2 Kerangka Teori

1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.

Sarana laboratorium:
1. Mikroskop
2. Ruangan tempat
pemeriksaan /
penerangan
3. Kualitas reagens
Ziehl Neelsen

Karakteristik Petugas
Umur
Jenis lelamin
Latar belakang
pendidikan
Pelatihan
Pengetahuan tentang
pemeriksaan dahak
secara mikroskopis
langsung
Status kepegawaian
Masa kerja
Beban kerja

Error rate hasil


pemeriksaan
dahak

Spesimen:
1. Dahak
2. Wadah / Pot dahak
3. Pengumpulan dahak

Gambar 2
Kerangka Teori Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru

47

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Untuk menggambarkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel
terikat, kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.
2.
3.

4.
5.
6.

Variabel bebas
Latar belakang
pendidikan
Pelatihan
Pengetahuan tentang
pemeriksaan dahak
secara mikroskopis
langsung
Status kepegawaian
Masa kerja
Beban kerja

Variabel terikat
Error rate hasil
pemeriksaan dahak

Gambar 3
Kerangka Konsep Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru

3.1.1 Variabel Bebas


Variabel bebas dalam penelitian ini adalah latar belakang pendidikan,
pelatihan, pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung,
status kepegawaian, masa kerja dan beban kerja.

33

48

3.1.2 Variabel Terikat


Variabel terikatnya adalah error rate hasil pemeriksaan dahak.
3.1.3 Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah:
1) Umur dikendalikan dengan memilih responden yang berusia antara 15-55
tahun karena tergolong usia produktif.
2) Jenis kelamin diasumsikan sama karena dalam pemeriksaan laboratorium TB
Paru relatif tidak menggunakan tenaga fisik yang berat jadi antara laki-laki dan
perempuan punya kesempatan yang sama.
3) Penerangan dikendalikan dengan memilih responden yang menggunakan
penerangan alami ( sinar matahari) atau lampu minimal 40 watt.
4) Mikroskop, reagen Ziehl neelsen dan pot dahak diasumsikan sama karena
mendapatkan langsung dari Dinas Kesehatan.
5) Dahak dan pengumpulan dahak diasumsikan sama karena berdasarkan survei
awal dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa dahak dan pengumpulan
dahak yang dilakukan petugas laboratorium telah memenuhi persyaratan.

49

3.2 Hipotesis Penelitian


Sebagaimana tersebut pada bab sebelumnya, sesuai dengan tujuan penelitian,
maka hipotesis yang peneliti buat adalah:
1) Ada hubungan antara latar belakang pendidikan petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006.
2) Ada hubungan antara pelatihan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan
error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus tahun
2006.
3) Ada hubungan antara pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error
rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus tahun
2006.
4) Ada hubungan antara status kepegawaian petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus tahun 2006.
5) Ada hubungan antara masa kerja petugas laboratorium TB Paru Puskesmas
dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten
Kudus tahun 2006.
6) Ada hubungan antara beban kerja petugas laboratorium TB Paru Puskesmas
dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten
Kudus tahun 2006.

50

3.3 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

No
(1)
1.

2.

3.

Tabel 2
Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel
Variabel
Definisi
Cara Pengukuran
Kategori
Skala
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Latar
Kesesuaian latar
Kuesioner
a. SMU/SMKNominal
belakang
belakang
S1 Non Analis
pendidikan
pendidikan
Kesehatan
dengan tugas
b. SMK-D3
yang diemban
Analis
sebagai petugas
Kesehatan
laboratorium TB
Paru Puskesmas
Pelatihan
Pendidikan atau
Kuesioner
d. Belum pernah Nominal
kursus tentang
e. Pernah
pemeriksaan
sediaan dahak
tersangka TB
Paru yang pernah
diperoleh petugas
laboratorium TB
Paru Puskesmas
selama bertugas
Pengetahuan Jumlah skor yang Wawancara
a. Kurang, jika
Ordinal
tentang
didapat yang
skor 0-6
b. Cukup, jika
pemeriksaan menunjukkan
dahak secara Pengetahuan
skor 7-12
mikroskopis
petugas
c. Baik, jika skor
langsung
laboratorium TB
13-18
Paru Puskesmas
tentang
pemeriksaan
dahak secara
mikroskopis
langsung
meliputi:
-Pengambilan
dahak
(pertanyaan no
1, 2)
-Pembuatan
sediaan hapus
(pertanyaan no
3)

51

(1)

(2)

4.

Status
kepegawaian

5.

Masa kerja

6.

Beban kerja

7.

Error
rate
hasil
pemeriksaan
dahak

(3)
-Pewarnaan
sediaan
(pertanyaan no
4, 5)
-Pembacaan
sediaan
(pertanyaan no
6, 7)
-Pemeliharaan
mikroskop
(pertanyaan no
8)
-Keamanan kerja
dilaboratorium
(pertanyaan no 9)
Status petugas
laboratorium
dalam
kepegawaian
Kurun waktu atau
lamanya bekerja
sebagai petugas
laboratorium TB
Paru Puskesmas
yang dinyatakan
dalam tahun
Rata-rata jumlah
slide dahak
tesangka TB Paru
yang diperiksa
oleh petugas
laboratorium TB
Paru Puskesmas

(4)

(5)

(6)

Kuesioner

a. Honorer
b. Pegawai
negeri

Kuesioner

a. Baru, <6 tahun Ordinal


b. Sedang, 6-10
tahun
c. Lama, >10
tahun

Kuesioner

a. Kurang, jika
memeriksa
<10 slide
perhari
b. Baik, jika
memeriksa
10-20 slide
perhari

Ordinal

a. Buruk, jika
error rate
>5%
b. Baik, jika
error rate
5%

Ordinal

Angka kesalahan Kuesioner


laboratorium yang
dihasilkan pada
tahun 2006 yang
diperoleh dari
data laporan hasil
kegiatan P2 TB
Paru

Nominal

52

3.4 Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggambarkan hasil cross check sediaan dahak tersangka TB
Paru yang telah diperiksa oleh petugas laboratorium TB Paru Puskesmas serta
kaitannya dengan karakteristik petugas laboratorium TB Paru Puskesmas. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian penjelasan (explanatory and
confirmation reseach), yaitu penelitian yang menjelaskan antara variabel-variabel
melalui pengujian hipotesis.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan
cross sectional yang merupakan penelitian non experimental yang mempelajari
dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, diobservasi sekaligus pada
waktu yang sama (Soekidjo Notoatmodjo, 2002: 146).

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian


3.5.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas yang melakukan pemeriksaan sediaan dahak secara mikroskopis di
wilayah Kabupaten Kudus yaitu sebanyak 21 petugas laboratorium.
3.5.2 Sampel Penelitian
Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan total
sampling, yaitu pengambilan sampel secara keseluruhan pada populasi. Sampel yang
diambil adalah seluruh populasi yaitu seluruh petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas yang melakukan pemeriksaan sediaan dahak secara mikroskopis di
wilayah Kabupaten Kudus yaitu sebanyak 21 petugas laboratorium.

53

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dimana formulir
kuesioner diberikan dalam bentuk angket. Angket yang digunakan merupakan angket
tertutup. Pertanyaan berpedoman pada indikator-indikator dari veriabel yang
dijabarkan dalam beberapa item.
Kuesioner dalam penelitian ini berupa pertanyaan tentang latar belakang
pendidikan, pelatihan, pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, status kepegawaian, masa kerja dan beban kerja. Terhadap Kuesioner
tersebut diberlakukan validitas dan reliabilitas instrumen.
3.6.1 Validitas Instumen
Validitas dilakukan untuk mengetahui apakah kuesioner yang disusun oleh
peneliti mampu mengukur apa yang hendak diukur, maka perlu diuji dengan uji
korelasi antar skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skor total kuesioner
tersebut. Teknik yang dipakai adalah teknik korelasi Product moment dengan
menggunakan bantuan program komputer.
Berdasarkan hasil uji coba kuesioner penelitian menunjukkan bahwa 9 item
soal pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung yang
diujikan dikatakan valid karena r hitung>r tabel, yaitu r hitung>0,514 dengan n = 15.
3.6.2 Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh
mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau
lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Dalam

54

penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas dengan tehnik Alfa Cronbach
dengan menggunakan bantuan komputer.
Berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas diperoleh nilai alfa untuk item
kuesioner mengenai pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung dinyatakan valid yaitu sebesar 0,874 karena pada tingkat signifikan 5%
dengan n = 15 diperoleh r tabel sebesar 0,514. Dengan demikian seluruh item
pertanyaan pada kuesioner mengenai pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan karena r
hitung>r tabel.

3.7 Teknik Pengambilan Data


3.7.1 Data Primer
Data primer diperoleh dari wawancara dengan responden yaitu petugas
laboratorium yang melakukan pemeriksaan sediaan dahak secara mikroskopis di
wilayah Kabupaten Kudus dengan menggunakan kuesioner.
Data primer berupa data mengenai latar belakang pendidikan, pelatihan, pengetahuan
tentang pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung , status kepegawaian, masa
kerja dan beban kerja dari petugas laboratorium TB Paru Puskesmas.
3.7.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari data yang sudah ada di Dinas Kesehatan
Kabupaten Kudus dan data hasil cross check sediaan dahak TB Paru. Adapun datadata yang diambil adalah data umum yang diambil dari Profil Kesehatan Kabupaten

55

Kudus dan data hasil kegiatan program P2 TB Paru Kabupaten Kudus tahun 2006
terutama data hasil cross check sediaan dahak.

3.8 Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data, diteliti dan diperiksa
ketepatannya serta kelengkapannya dengan langkah langkah sebagai berikut:
1) Editing
Editing dilakukan guna mengoreksi data hasil penelitian yang meliputi
kelengkapan pengisian data identitas responden.
2) Koding
Koding dilakukan dengan cara memberikan kode pada jawaban hasil penelitian
guna memudahkan dalam proses pengelompokan dan pengolahan data.
3) Tabulasi
Tabulasi dilakukan dengan cara mengelompokkan jawaban hasil penelitian yang
serupa dan menjumlahkannya dengan cara teliti dan teratur ke dalam tabel yang
telah disediakan.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
sebagai berikut:
3.8.1

Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel,

baik variabel bebas maupun variabel terikat. Analisis ini berupa distribusi frekuensi
dan persentase pada setiap variabel. Berpedoman pada indikator-indikator dari
variabel yang dijabarkan dalam beberapa item yang kemudian akan dikategorikan.

56

3.8.2

Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini menggunakan uji Chi Square karena
skala data pada penelitian ini berbentuk ordinal dan nominal dengan syarat tidak ada
sel yang nilai observed-nya bernilai 0, dan sel yang mempunyai expected kurang dari
5 maksimal 20%, namun jika tidak memenuhi syarat maka menggunakan alternatif
uji Fisher (M.Sopiyudin Dahlan, 2005: 18).

57

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum


4.1.1

Geografis
Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, terletak

diantara 4 (empat) Kabupaten. Secara administratif Kabupaten Kudus terbagi


menjadi 9 Kecamatan dan 123 Desa serta 9 Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten
Kudus tercatat sebesar 42.516 hektar atau sekitar 1,31 persen dari luas Propinsi Jawa
Tengah, dengan batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara

: Kabupaten Jepara dan Pati

- Sebelah Timur

: Kabupaten Pati

- Sebelah Selatan

: Kabupaten Grobogan dan Pati

- Sebelah Barat

: Kabupaten Demak dan Jepara

4.1.2

Kesehatan
Peningkatan sarana kesehatan sangat diperlukan sebagai upaya dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain pemerintah, peran swasta dalam


menunjang sarana kesehatan juga cukup tinggi.

No
1
2
3
4
5

Tabel 3
Banyaknya Pusat Kesehatan Masyarakat Menurut Kecamatan
di Kabupaten Kudus Tahun 2006
Kecamatan Puskesmas Puskesmas Puskesmas Puskesmas
Balai
Pembantu Perawatan Keliling
Pengobatan
Kaliwungu
2
3
0
2
0
Kota
3
5
0
3
8
Jati
2
4
0
2
1
Undaan
2
3
1
2
2
Mejobo
2
4
1
2
2
43

58

6
7
8
9

Jekulo
2
8
Bae
2
4
Gebog
2
6
Dawe
2
6
Jumlah
19
43
Sumber: Badan Pusat Statistik Kab.Kudus

1
0
1
1
5

2
2
2
2
19

1
1
1
0
16

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), yang merupakan sarana kesehatan


yang terjangkau dan dapat menunjang kesehatan masyarakat hingga pedesaan. Pada
tahun 2006 jumlahnya mencapai 19 Puskesmas. Jumlah Rumah Sakit Umum
Pemerintah sebanyak 2 buah dan Rumah Sakit Umum Swasta sebanyak 2 buah ( BPS
Kab.Kudus, 2006: 117-119).
Status kesehatan suatu masyarakat tidak lepas dari angka kesakitan dan angka
kematian. Data sekunder yang diambil dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus
didapatkan proporsi penyakit sebagai berikut:
Tabel 4
Proporsi Penyakit Kabupaten Kudus Tahun 2006
No
Jenis Penyakit
1. ISPA
2. Gangguan pada sistem otot
3. Peny lain pada sal.pernafasan bawah
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Jumlah
76.154
28.154
11.640

Persentase (%)
38,83
13,98
5,78

Diare
11.616
5,77
Hipertensi dan Cardiovasculer
11.606
5,76
Anemia
11.308
5,62
Penyakit virus yang lain
10.197
5,06
Gastritis
8.097
4
Caries gigi
6.897
3,43
Pharingitis
5.297
2,63
4.555
2,26
Diabetes melitus
Infeksi pada kulit
4.205
2,09
Asma
3.918
1,95
TB paru klinis
3.814
1,9
Penyakit kulit karena alergi
3.803
1,89
Total
201.261
100
Sumber: Data Sekunder Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus Tahun 2006

59

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1

Hasil Analisis Univariat

4.2.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan


Distribusi ferkuensi responden berdasarkan latar belakang pendidikan dapat
dilihat pada grafik 1, sebagai berikut:

53.00%

52.40%

52.00%

Persentase

51.00%
50.00%
49.00%
48.00%

47.60%

47.00%
46.00%
45.00%

SMU/SMKS1 Non
Analis
Kesehatan
SMK-S1
Analis
Kesehatan

Latar Belakang Pendidikan


Grafik 1
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki latar belakang pendidikan SMU/SMK-S1 Non Analis Kesehatan dengan
persentase 52,4%.

60

4.2.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pelatihan


Distribusi frekuensi responden berdasarkan pelatihan dapat dilihat pada
grafik 2, sebagai berikut:

53.00%

52.40%

52.00%

Persentase

51.00%
50.00%
49.00%
48.00%

47.60%

47.00%

Belum dilatih

46.00%
Pernah dilatih

45.00%
1

Pelatihan
Grafik 2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelatihan
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
pernah mengikuti pelatihan dengan persentase sebesar 52,4%.

61

4.2.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengetahuan


Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan dapat dilihat pada
grafik 3, sebagai berikut:

60.00%
52.40%

Persentase

50.00%
40.00%
30.00%

23.80%

23.80%

20.00%

Kurang

10.00%

Cukup
Baik

0.00%
1

Pengetahuan
Grafik 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki pengetahuan cukup dengan persentase sebesar 52,4%.

62

4.2.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Status Kepegawaian


Distribusi frekuensi responden berdasarkan status kepegawaian dapat dilihat
pada grafik 4, sebagai berikut:

80.00%
66.70%

70.00%

Persentase

60.00%
50.00%
40.00%

33.30%

30.00%
20.00%

Honorer

10.00%

PNS

0.00%
1

Status Kepegawaian
Grafik 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Status Kepegawaian
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki status kepegawaian PNS dengan persentase sebesar 66,7%.

63

4.2.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja


Distribusi frekuensi responden berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada
grafik 5, sebagai berikut:
47.60%

50.00%
45.00%

Persentase

40.00%
35.00%
30.00%
25.00%

28.60%
23.80%

20.00%
15.00%

Baru

10.00%

Sedang

5.00%

Lama

0.00%
1

Masa Kerja
Grafik 5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
memiliki masa kerja sedang 6-10 tahun dengan persentase sebesar 47,6%.

64

4.2.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Beban Kerja


Distribusi frekuensi responden berdasarkan beban kerja dapat dilihat pada
grafik 6, sebagai berikut:

80.00%
66.70%

70.00%

Persentase

60.00%
50.00%
40.00%

33.30%

30.00%
20.00%

Kurang

10.00%

Baik

0.00%
1

Beban Kerja
Grafik 6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Beban Kerja

65

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden


memiliki beban kerja baik, 10-20 slide dengan persentase sebesar 66,7%.

4.2.2

Hasil Analisis Bivariat

4.2.2.1 Hubungan antara Latar Belakang Pendidikan dengan Error Rate


Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara latar belakang pendidikan
dengan error rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 5
Tabulasi Silang Latar Belakang Pendidikan dengan Error Rate
Error rate
Buruk
Baik
Total P value

%
%
- SMU/SMK-S1 Non Analis Kesehatan 4
36,4
7
63,6 11 100 0,311
- SMK-D3 Analis Kesehatan
1
10
9
90
10 100
Total
21 100
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian
Latar Belakang Pendidikan

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki latar belakang


pendidikan SMU/SMK-S1 Non Analis Kesehatan dimana 36,4% memperoleh error
rate buruk dan 63,6% memperoleh error rate baik, sedangkan responden yang

66

memiliki latar belakang pendidikan SMK-D3 Analis Kesehatan dimana 10%


memperoleh error rate buruk dan 90% memperoleh error rate baik
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih besar dari 0,05
(0,311>0,05) yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara latar belakang
pendidikan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil
pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006.

4.2.2.2 Hubungan antara Pelatihan dengan Error Rate


Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara pelatihan dengan error
rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 6
Tabulasi Silang Pelatihan dengan Error Rate
Pelatihan

Error rate
Buruk
Baik

%
5
50
5
50
0
0
11 100

- Belum di latih
- Pernah di latih
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

Total

%
10 100
11 100
21 100

P value
0,012

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang belum di latih dimana 50%
memperoleh error rate buruk dan 50% memperoleh error rate baik, sedangkan
responden yang pernah di latih kesemuanya memperoleh error rate baik. Hal

67

tersebut menunjukkan bahwa pelatihan ikut menentukan baik buruknya error rate
yang diperoleh.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,012<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pelatihan petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh pula koefisien kontingensi sebesar 0,506. Dari hasil tersebut dapat
dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara pelatihan dengan error rate sebesar
0,506 yang berarti memiliki tingkat hubungan sedang.

4.2.2.3 Hubungan antara Pengetahuan dengan Error Rate


Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara pengetahuan dengan error
rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 7
Tabulasi Silang Pengetahuan dengan Error Rate
Error rate
Pengetahuan
Buruk
Baik
Total

%
%
- Kurang
4
80
1
20
5
100
- Cukup
1
9,1
10 90,9 11 100
- Baik
0
0
5 100 5
100
Total
21
100
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

P value

Berdasarkan uji fisher hasil tidak memenuhi syarat maka dilakukan


penggabungan kategori, untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 8

68

Tabulasi Silang Pengetahuan (Penggabungan Kategori)


dengan Error Rate
Error rate
Pengetahuan
Buruk
Baik
Total

%
%
- Kurang
4
80
1
20
5
100
- Cukup-Baik
1
6,3
15 93,8 16 100
Total
21 100
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

P value
0,004

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan


kurang, dimana 80% memperoleh error rate buruk dan 20% memperoleh error rate
baik, sedangkan responden yang memiliki pengetahuan cukup-baik dimana 6,3%
memperoleh error rate buruk dan 93,8% memperoleh error rate baik.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,004<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh pula koefisien kontingensi sebesar 0,594. Dari hasil tersebut dapat
dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara pengetahuan dengan error rate sebesar
0,594 yang berarti memiliki tingkat hubungan sedang.
4.2.2.4 Hubungan antara Status Kepegawaian dengan Error Rate
Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara status kepegawaian dengan
error rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 9
Tabulasi Silang Status Kepegawaian dengan Error Rate
Status Kepegawaian
- Honorer
- Cukup-Baik

Error rate
Buruk
Baik

%
4
57,1
3
42,9
1
7,1
13 92,9

Total
P value

%
7
100
0,025
14 100

69

Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

21

100

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki status


kepegawaian honorer, dimana 57,1% memperoleh error rate buruk dan 42,9%
memperoleh error rate baik, sedangkan responden yang memiliki status
kepegawaian PNS dimana 7,1% memperoleh error rate buruk dan 92,9%
memperoleh error rate baik.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,025<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara status kepegawaian
petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh pula koefisien kontingensi sebesar 0,484. Dari hasil tersebut dapat
dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara status kepegawaian dengan error rate
sebesar 0,484 yang berarti memiliki tingkat hubungan sedang.
4.2.2.5 Hubungan antara Masa Kerja dengan Error Rate
Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara masa kerja dengan error
rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 10
Tabulasi Silang Masa Kerja dengan Error Rate
Masa Kerja

Error rate
Buruk
Baik

%
4
80
1
20
1
10
9
90
0
0
6
100

- Baru
- Sedang
- Lama
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

Total

%
5
100
10 100
6
100
21 100

P value

70

Berdasarkan uji fisher hasil tidak memenuhi syarat maka dilakukan


penggabungan kategori, untuk lebih jelasnya ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 11
Tabulasi Silang Masa Kerja (Penggabungan Kategori) dengan Error Rate
Masa Kerja

Error rate
Buruk
Baik

%
4
80
1
20
1
6,3
15 93,8

- Baru
- Sedang-Lama
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

Total

%
5
100
16 100
21 100

P value
0,004

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki masa kerja baru
dimana 80 % memperoleh error rate buruk dan 20% memperoleh error rate baik,
sedangkan responden yang memiliki masa kerja sedang-lama, dimana 6,3%
memperoleh error rate buruk dan 93,8% memperoleh error rate baik.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,004<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara masa kerja petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh pula koefisien kontingensi sebesar 0,594. Dari hasil tersebut dapat
dijelaskan bahwa keeratan hubungan antara masa kerja dengan error rate sebesar
0,594 yang berarti memiliki tingkat hubungan sedang.
4.2.2.6 Hubungan antara Beban Kerja dengan Error Rate
Hasil perhitungan tabulasi silang hubungan antara beban kerja dengan error
rate dapat dilihat pada tabel, sebagai berikut:
Tabel 12
Tabulasi Silang Beban Kerja dengan Error Rate
Error rate

71

Beban Kerja

4
1

Buruk
%
57,1
7,1

Baik

%
3
42,9
13 92,9

- Kurang
- Baik
Total
Sumber: Analisis Bivariat Hasil Penelitian

7
14
21

Total
%
100
100
100

P value
0,025

Tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang memiliki beban kerja


kurang dimana 57,1% memperoleh error rate buruk dan 42,9% memperoleh error
rate baik, sedangkan responden yang memiliki beban kerja baik dimana 7,1%
memperoleh error rate buruk dan 92,9% memperoleh error rate baik.
Berdasarkan uji fisher didapatkan nilai p value lebih kecil dari 0,05
(0,025<0,05) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara beban kerja petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006.
4.3 Rekapitulasi Analisis Bivariat Antara Karakteristik Responden Dengan
Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak
Berdasarkan hasil penelitian terhadap petugas laboratorium TB Paru Puskesmas
di Kabupaten Kudus, diperoleh hasil dari analisis statistik dengan menggunakan uji
chi square dengan tingkat kemaknaan () 0,05, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 13
Rekapitulasi Analisis Bivariat Antara Karakteristik Responden Dengan
Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Karakteristik Responden
Latar belakang pendidikan
Pelatihan
Pengetahuan tentang pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung
Status kepegawaian
Masa kerja
Beban kerja

P value
0,311
0,012
0,004

CC
0,295
0,506
0,594

Keterangan
Tidak signifikan
Signifikan
Signifikan

0,025
0,004
0,025

0,484
0,594
0,484

Signifikan
Signifikan
Signifikan

72

4.4 Pembahasan
Dalam program penanggulangan TB Paru, diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Kegiatan pemantapan mutu
laboratorium untuk memantau kualitas tata laksana pemeriksaan laboratorium
Puskesmas dilaksanakan melalui pemeriksaan cross check atau uji silang. Angka
error rate (angka kesalahan laboratorium) yang didapat dari hasil pemeriksaan cross
check merupakan salah satu indikator program penanggulangan TB Paru (Depkes RI,
2002: 59).
Angka kesalahan laboratorium (error rate) dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah petugas laboratorium TB Paru,
oleh karena petugas laboratorium tersebut memiliki karakteristik individual yang
berbeda-beda.
4.4.1

Hubungan antara Latar Belakang Pendidikan dengan Error Rate


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara

latar belakang pendidikan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error


rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006
dengan nilai p value sebesar 0,311. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (52,4%) memiliki latar belakang pendidikan SMU/SMKS1 Non Analis Kesehatan, sedangkan 47,6% responden memiliki latar belakang
pendidikan SMK-D3 Analis Kesehatan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yamoto (2001:69), yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara latar belakang pendidikan petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate. Namun ada kecenderungan

73

bahwa pada kelompok petugas dengan latar belakang pendidikan SMK-D3 Analis
Kesehatan mempunyai hasil pemeriksaan yang lebih tepat. Hal ini berkaitan dengan
pengetahuan dan cara berfikir sehingga mampu menghasilkan sesuatu sesuai tingkat
pendidikan yang dimiliki.
Faktor yang diduga menjadi penyebab latar belakang pendidikan tidak
berhubungan dengan error rate adalah karena sebagaian besar responden memiliki
masa kerja sedang (6-10 tahun), pengetahuan cukup dan beban kerja baik (10-20
slide per hari), jadi antara responden dengan latar belakang SMU/SMK-S1 Non
Analis Kesehatan dan SMK-D3 Analis Kesehatan sama-sama memperoleh
kesempatan yang sama untuk melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
Menurut Thomas Juster yang dikutip oleh Sri Retno (2001:42), pendidikan
juga mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang
diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan. Pendidikan disini adalah pendidikan
formal disekolah atau kursus yang diikuti. Didalam bekerja faktor pendidikan sering
memegang syarat paling pokok untuk posisi tertentu. Hal ini untuk tercapainya
kesuksesan sesuai jabatan yang dipegangnya.
Menurut Malayu (2002:54), Pendidikan merupakan suatu indikator yang
mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan.
Dengan latar belakang pendidikan pula seseorang dianggap akan mampu menduduki
suatu jabatan tertentu. Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi
tingkat pemahaman, cara berfikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu

74

pekerjaan. Seorang petugas laboratorium dituntut untuk dapat mengetahui tentang


banyak hal yang diperiksanya dengan baik (Tarwaka, 2004: 139 140).
4.4.2 Hubungan antara Pelatihan dengan Error Rate
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pelatihan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil
pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dengan nilai
p value sebesar 0,012. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (52,4%) pernah mengikuti pelatihan, sedangkan 47,6% responden
belum pernah mengikuti pelatihan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Yamoto (2001:70), yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara pelatihan petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate. Hasil pemeriksaan sediaan yang dilakukan oleh
petugas laboratorium yang sudah pernah mendapatkan pelatihan cenderung lebih
tepat dibanding yang belum pernah mengikuti pelatihan. Hal ini sangat berkaitan
dengan ketrampilan petugas agar petugas mampu bekerja dengan baik, terampil dan
menghasilkan hasil pemeriksaan dengan kualitas yang baik.
Menurut Manulang yang dikutip oleh Sri Retno (2001:44), bahwa jenis
pelatihan yang diikuti seseorang yang berhubungan dengan bidang kerjanya akan
mempengaruhi ketrampilan dan sikap mentalnya serta meningkatkan kepercayaan
pada kemampuan dirinya, hal ini akan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan
yang bersangkutan.
Kemampuan dan ketrampilan tenaga pemeriksa antara lain ditentukan oleh
pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya

75

manusia (Depkes RI, 2002: 125). Setiap tenaga laboratorium perlu selalu
meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya melalui pelatihan berkelanjutan baik
didalam laboratorium maupun di luar laboratorium (Gerdunas TB, 2001: 14).
Pelatihan

kerja

diselenggarakan

dan

diarahkan

untuk

membekali,

meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan atau keahlian kerja guna


meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja. Pelatihan
kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar
kualifikasi ketrampilan atau keahlian yang pelaksanaannya dilakukan secara
berjenjang dan berlanjut (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003: 16).
4.4.3 Hubungan antara Pengetahuan dengan Error Rate
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil
pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dengan nilai
p value sebesar 0,004. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (76,2%) memiliki pengetahuan cukup-baik, sedangkan 23,8%
responden memiliki pengetahuan kurang.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Djamirun (2005:51), yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang akan
berpengaruh terhadap cara berfikir dan tindakan.
Dalam program penanggulangan tuberkulosis, diagnosis ditegakkan melalui
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pengetahuan petugas pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung sangat berguna bagi petugas laboratorium dalam

76

menjalankan pekerjaannya untuk memperoleh kualitas pemeriksaan yang baik


(Depkes RI, 2002: 27).
Pengetahuan tentang apa yang harus diketahui atau informasi penting sangat
dibutuhkan untuk melakukan tugas sehari-hari serta informasi dapat memberikan
pengertian yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul.
Dengan pengetahuan yang dimiliki dapat berdampak kepada perilaku yang meliputi
perubahan kebiasaan atau kelakuan (Anwar Hadi, 2000: 95).

4.4.4 Hubungan antara Status Kepegawaian dengan Error Rate


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara status
kepegawaian petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil
pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dengan nilai
p value sebesar 0,025. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (66,7%) memiliki status kepegawaian

PNS, sedangkan 33,3%

responden memiliki status kepegawaian honorer.


Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Yamoto (2001:70), yang
menyatakan tidak ada hubungan antara status kepegawaian dengan error rate.
Namun ada kecenderungan petugas dengan status pegawai tetap (PNS) lebih tepat
pemeriksaannya. Hal ini berkaitan dengan tugas tanggung jawab pegawai yang sudah
mapan dan ketenangan mental yang lebih baik sehingga dapat melaksanakan
pekerjaan dengan baik.

77

Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa status
kepegawaian petugas dapat berpengaruh terhadap tanggungjawab tugas yang
diembannya. Hal ini berkaitan dengan sanksi yang jelas baginya. Pegawai negeri
adalah mereka yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Seorang petugas dengan status pegawai negeri
atau

karyawan

tetap

kemungkinan

akan lebih dapat berkonsentrasi dan

bertanggungjawab (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2003: 27).

4.4.5 Hubungan antara Masa Kerja dengan Error Rate


Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara masa
kerja petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan
dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dengan nilai p value
sebesar 0,004. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden (76,2%) memiliki masa kerja sedang-lama, sedangkan 23,8% responden
memiliki masa kerja baru.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Yamoto (2001:71), yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja petugas laboratorium TB
Paru Puskesmas dengan error rate. Namun ada kecenderungan bahwa error rate
yang melebihi standar paling banyak terdapat pada petugas dengan masa kerja baru,
sedangkan petugas dengan masa kerja antara sedang-lama kesalahan pemeriksaannya
relatif lebih kecil. Hal ini sangat berkaitan dengan lama petugas menangani

78

pekerjaan tersebut sehingga dengan semakin lama menangani cenderung akan


semakin terampil.
Menurut Agus TM yang dikutip oleh Sri Retno (2001:46), bahwa masa kerja
berkaitan erat dengan pengalaman-pengalaman yang didapat dalam menjalankan
tugas. Mereka yang berpengalaman dipandang mampu dalam menjalankan tugas.
Makin lama masa kerja seseorang maka kecakapan mereka akan lebih baik karena
sudah menyesuaikan diri dengan pekerjaannya.
Menurut Tulus MA (1992: 211) yang dikutip oleh Siti Muslikatul Mila, masa
kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja disuatu tempat.
Masa kerja dapat mempengaruhi tenaga kerja baik positif maupun negatif.
Memberikan pengaruh positif kepada tenaga kerja apabila dengan lamanya seseorang
bekerja maka dia akan semakin berpengalaman dalam melakukan tugasnya. Lama
masa bekerja petugas dapat merupakan faktor pendorong yaitu dengan semakin
meningkatnya ketrampilan petugas seiring dengan frekuensi pekerjaan yang
berulang-ulang dan semakin banyak.
4.4.6 Hubungan antara Beban Kerja dengan Error Rate
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara beban
kerja petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan
dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006 dengan nilai p value
sebesar 0,025. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden (66,7%) memiliki beban kerja baik, sedangkan 33,3% responden memiliki
beban kerja kurang.

79

Beban kerja adalah beban fisik maupun non fisik yang ditanggung seorang
pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Dalam hal ini harus ada keseimbangan
antara beban kerja dengan kemampuan individu agar tidak terjadi hambatan maupun
kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan (Depkes RI, 2003: 3).
Beban kerja adalah banyaknya pekerjaan yang dilakukan setiap harinya.
Petugas laboratorium TB Puskesmas dianjurkan paling banyak memeriksa 20 slide
setiap harinya. Semakin berat beban kerja akan menurunkan daya konsentrasi
petugas dalam menjalankan pekerjaannya. Agar petugas laboratorium dapat
mempertahankan ketrampilannya (mempertahankan mutu pemeriksaan), dia harus
mempunyai kesempaatn untuk memeriksa 10-20 sediaan setiap hari (Gerdunas TB,
2001: 10).
4.5 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian mengenai hubungan karakteristik petugas
laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak
tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus tahun 2006 adalah:
1) Hasil penelitian tergantung dari kejujuran responden, karena dalam
penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner.
2) Jumlah sampel penelitian yang sedikit sehingga berpengaruh pada hasil
penelitian.
3) Faktor penyebab error rate yang multi faktor mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian pada beberapa faktor saja dan melakukan
pengendalian terhadap beberapa faktor pengganggu yang tidak diteliti.

80

4) Adanya satu variabel bebas (latar belakang pendidikan) yang tidak


berhubungan dengan variabel terikat (error rate) sehingga tidak sesuai
dengan teori yang dikemukakan sebelumnya.
5) Angka error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru yang didapat
Puskesmas merupakan hasil dari rata-rata pencapaian Puskesmas sehingga
tidak menggambarkan pencapaian error rate masing-masing personel
petugas laboratorium TB Paru Puskesmas.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1) Tidak ada hubungan antara latar belakang pendidikan petugas laboratorium TB
Paru Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus Tahun 2006, (p = 0,311).

81

2) Ada hubungan antara pelatihan petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan


error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus
Tahun 2006, (p = 0,012).
3) Ada hubungan antara pengetahuan tentang pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung petugas laboratorium TB Paru Puskesmas dengan error
rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun
2006, (p = 0,004).
4) Ada hubungan antara status kepegawaian petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di
Kabupaten Kudus Tahun 2006, (p = 0,025).
5) Ada hubungan antara masa kerja petugas laboratorium TB Paru Puskesmas
dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten
Kudus Tahun 2006, (p = 0,004).
6) Ada hubungan antara beban kerja petugas laboratorium TB Paru Puskesmas
dengan error rate hasil pemeriksaan dahak tersangka TB Paru di Kabupaten
67
Kudus Tahun 2006, (p = 0,025).

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian saran yang dapat diajukan antara lain:
5.2.1 Bagi Dinas Kesehatan
1) Berdasarkan hasil penelitian, 52,4% petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas di Kabupaten Kudus memiliki latar belakang pendidikan
SMU/SMK-S1 Non Analis Kesehatan maka hendaknya perekrutan untuk

82

petugas laboratorium yang akan datang disesuaikan dengan latar belakang


pendidikan yang sesuai dengan bidangnya yaitu Analais Kesehatan.
2) 47,6% petugas laboratorium belum mendapatkan pelatihan, hendaknya
pelatihan diberikan kepada semua petugas laboratorium TB Paru
Puskesmas secara rutin setiap tahun karena pelatihan merupakan salah satu
upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam hal
pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
5.2.2 Bagi Petugas Laboratorium TB Paru Puskesmas
Pada tahun 2006 error rate di Kabupaten Kudus masih dibawah target,
hendaknya petugas laboratorium TB Paru Puskesmas selalu meningkatkan
kualitas tata laksana pemeriksaan dahak tersangka TB Paru seperti mengikuti
pelatihan dan seminar tentang pemeriksaan laboratorium TB Paru serta membaca
buku-buku yang berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium TB Paru.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hudoyo. 1999. Pengalaman Klinik PPTI Dalam Melaksanakan DOTS.
Disajikan Dalam Simposium Dengan DOTS Kita STOP TB. PPTI Bekerja
Sama Dengan RSPP Pertamina. 27 Maret 1999
Ambar Silastuti. 2006. (Skripsi) Hubungan Antara Kelelahan dengan Produktivitas
Tenaga Kerja Bagian Penjahitan PT. Bengawan Solo Garment. Semarang:
UNNES
AM. Sugeng Budiono. 2003. Bunga Rampai Hiperkes Dan Keselamatan Kerja.
Semarang: BP UNDIP
Anwar Hadi. 2000. Sistem Manajemen Mutu Laboratorium. Jakarta: Percetakan PT
SUN

83

Arjatmo Tjokronegoro dan Hendra Utama. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Badan Pusat Statistik Kab.Kudus. 2006. Kudus Dalam Angka 2006. Kudus: Badan
Pusat Statistik Kab.Kudus
Carl E. Speicher dan Jack W. Smith. Pemilihan Uji Laboratorium Yang Efektif.
Terjemahan Joko Suyono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Deadly Duo. 2004. Jurnal TB & HIV. Jakarta: Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkolosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI
-------------------------------. 2004. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI
Djamirun. 2005. (Skripsi) Kualitas Penemuan Tersangka TB Paru Dan Penderita TB
Paru BTA + di Unit Pelayanan Kesehatan Kabupaten Kebumen. Semarang:
Universitas Diponegoro Semarang
Dodo Anondo, dkk. 1995. Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.
Magelang: Podorejo Offset Magelang
E. Oswari. 1995. Penyakit Dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Gerdunas-TB. 2001. Pemeriksaan Mikroskopik Dahak Dan Cross Check Sediaan
BTA. Jakarta: Gerdunas-TB
John Crofton, Norman Horne dan Fred Miller. 2002. TB Klinis Edisi 2. Terjemahan
Muherman harun, dkk. Jakarta: Widya Medika
Luhur Soeroso. 2004. Keberhasilan Pengobatan Teratur Pada Pasien TB. Jakarta:
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
Malayu S.P. Hasibunan. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Misnadiarly. 2006. Tuberkulosis Dan Mikobakterium Apitik. Jakarta : Dian Rakyat

84

M. Sopiyudin Dahlan. 2004. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:


Bina Mitra Press
Siswanto Sastrohadiwiryo. 2003. .Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Siti Muslikatul Mila. 2006. (Skripsi) Hubungan antara Masa Kerja, Pemakaian Alat
pelindung Pernafasan (Masker) pada Tenaga Kerja Bagian Pengamplasan
dengan Kapasitas Fungsi Paru PT. Accent House Pecangaan Jepara.
Semarang: UNNES
Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-prinsip Dasar).
Jakarta: Rineka Cipta
Sri Retno Rindjaswati. 2001. (Skripsi) Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
di Puskesmas Rujukan Mikroskopis Kota Surakarta Tahun 2001. Semarang:
Universitas Diponegoro Semarang
Sugiyono. 2002. Statitika Untuk Penelitian. Bandung : CV. Alva Beta
Sumamur. 1996. Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Toko
Gunung Agung
Tarwaka. 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan Kesehatan Kerja Dan Produktivitas.
Surakarta: UNIBA Pres
Wahyu Aniwidyaningsih dan Tjandra Yoga Aditama. 2003. Vaksin Tuberkulosis
Berbasis DNA. Jurnal Respirologi Indonesia Vol. 23 No.1/ Januari 2003
Yamoto. 2001. (Skripsi)Kaitan Karakteristik Petugas Laboratorium TB Paru
Puskesmas Dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka TB Paru
di Kabupaten Kebumen Tahun 2001. Semarang: Universitas Diponegoro
Semarang
Anonim. 1999. Apakah Penyakit Tuberkulosis. Diambil Dari
http://www.ppmplp.depkes.go.id/detil. 13 November 1999

85

Anonim. 2001. Setahun Tiga Juta Meninggal Akibat Penyakit Tuberkulosis Paru.
Diambil Dari http://www.suaramerdeka.com. 24 September 2001
Anonim. 2002. Sekilas Tentang Penyakit Tuberkulosis. Diambil Dari
http://www.indosiar.com. 2 Juli 2002
Anonim. 2004. Waspadai Penyakit Tuberkulosis Paru, Seorang Penderita
Tuberkulosis Dewasa Bisa Menulari Sepuluh Anak. Diambil Dari
http://www.pikiran-rakyat.com. 28 Maret 2004

KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS LABORATORIUM TB PARU
PUSKESMAS DENGAN EROR RATE HASIL PEMERIKSAAN DAHAK
TERSANGKA TB PARU DI KABUPATEN KUDUS

I. IDENTITAS RESPONDEN
1. No. Responden

2. Nama

3. Umur

4. Jenis kelamin

5. Status kepegawaian

86

a. Pegawai Negeri
b. Honorer
6. Puskesmas

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN


1. Latar belakang pendidikan:
a. SMU/ SMK S1 Non Analis Kesehatan
b. SMK- D3 Analis Kesehatan

III. RIWAYAT PEKERJAAN


1. Mulai bekerja sebagai petugas laboratorium TB Paru di Puskesmas:
Tanggal:

Bulan:

Tahun:

2. Apakah selama menjadi petugas laboratorium TB Paru di Puskesmas sudah


pernah mengikuti pelatihan:
a. Pernah
b. Belum pernah

3. Kalau pernah, materi apa saja yang saudara peroleh dalam pelatihan:
1) Dasar-dasar laboratorium
a. Ya
b. Tidak
2) Tata laksana laboratorium TB Paru
a. Ya
b. Tidak
4. Apakah selama pelatihan dilakukan praktek:
1) Pengecatan:
a. Ya
b. Tidak
2) Membaca hasil di mikroskop:
a. Ya

87

b.Tidak
5. Berapa slide rata-rata saudara periksa perhari:
a. <10 slide perhari
b. 10-20 slide perhari

IV. KEGIATAN LABORATORIUM


1. Jumlah kasus/slide diperiksa tahun 2006:kasus/.slide
2. Jumlah BTA (+):kasus
3. Jumlah BTA (-):.kasus
4. Error rate :..%

V. PENGETAHUAN

TENTANG

PEMERIKSAAN

DAHAK

SECARA

MIKROSKOPIS LANGSUNG
Petunjuk: Berilah jawaban menurut pengetahuan yang saudara ketahui.
Keterangan:
Skor 0: Jika tidak bisa menjawab
Skor 1: Jika jawaban kurang tepat
Skor 2: Jika jawaban tepat
1. Sebutkan syarat dahak yang baik untuk pemeriksaan:
Jawaban:
a. Berwarna kuning kehijau-hijauan (mukopurulen)
b. Kental
c. Volume 3-5 ml (Depkes RI, 2002: 28)

Skor

88

2. Sebutkan cara pengumpulan dahak secara urut:


Jawaban:
a. Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan dahak
b. Buka pot dahak, pegang tutupnya dan berikan pot itu kepada suspek
c. Berdiri dibelakang suspek, minta dia memegang pot itu dekat ke bibirnya
dan membatukkan dahak kedalam pot
d. Tutup pot dengan erat
e. Petugas harus cuci tangan dengan sabun dan air (Depkes RI, 2002: 29)
3. Sebutkan urutan pembuatan sediaan hapus dengan ose (sengkelit):
Jawaban:
a. Panaskan ose diatas nyala api spiritus sampai merah dan biarkan sampai
dingin
b. Ambil sedikit dahak dari bagian yang kental dan kuning kehijau-hijauan
menggunakan ose yang telah disterilkan diatas
c. Oleskan dahak secara merata pada permukaan kaca sediaan dengan
ukuran 2 x 3 cm
d. Masukkan ose kedalam botol yang berisi pasir dan alkohol 70%,
kemudian digoyang-goyangkan untuk melepaskan partikel yang melekat
pada ose
e. Setelah itu dekatkan ose tersebut pada api spiritus sampai kering
kemudian dibakar pada api spiritus tersebut sampai membara
f. Keringkan sediaan diudara terbuka, jangan terkena sinar matahari
langsung atau diatas api, biasanya memerlukan waktu sekitar 15-30
menit, sebelum sediaan hapus tersebut difiksasi
g. Gunakan pinset untuk mengambil sediaan yang sudah kering pada sisi
yang berlabel dengan hapusan dahak menghadap keatas
h. Lewatkan diatas lampu spiritus sebanyak 3 kali ( 3-5 detik) untuk
difiksasi (Depkes RI, 2002: 30)

89

4. Sebutkan bahan-bahan yang diperlukan untuk pewarnaan sediaan dengan metode


Ziehl Neelsen:
Jawaban:
a. Botol gelas berwarna coklat berisi larutan Carbol Fuchsin 0,3%
b. Botol gelas berwarna coklat berisi asam alkohol (HCL-Alkohol 3%)
c. Botol gelas berwarna coklat berisi larutan Methylene Blue 0,3%
d. Rak unruk pengecatan slide (yang dapat digunakan untuk 12 slide atau
lebih)
e. Baskom untuk ditempatkan dibawah rak
f. Corong dengan kertas filter
g. Pipet
h. Pinset
i. Pengukur waktu (timer)
j. Lampu spiritus
k. Air yang mengalir berupa air ledeng atau botol berpipet berisi air
l. Beberapa rak cadangan (Depkes RI, 2002: 31)

5. Sebutkan secara urut cara pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen:


Jawaban:
a. Letakkan sediaan dahak yang telah difiksasi pada rak dengan hapusan
dahak menghadap keatas
b. Teteskan larutan Carbol Fuchsin 0,3% pada hapusan dahak sampai
menutupi seluruh permukaan sediaan dahak
c. Panaskan dengan nyala api spiritus sampai keluar uap selama 3-5 menit.
Zat warna tidak boleh mendidih atau kering. Apabila mendidih atau
kering maka carbol fuchsin akan terbentuk kristal (partikel kecil) yang
dapat terlihat seperti kuman TBC
d. Singkirkan api spiritus, diamkan sediaan selama 5 menit
e. Bilas sediaan dengan air menaglir pelan sampai zat warna yang bebas
terbuang

90

f. Teteskan sediaan dengan asam alcohol (HCL Alkohol 3%) sampai warna
merah fuchsin hilang
g. Bilas dengan air mengalir pelan
h. Teteskan larutan Methylen Blue 0,3% pada sediaan sampai menutupi
seluruh permukaan
i. Diamkan 10-20 detik
j. Bilas dengan air mengalir pelan
k. Keringkan sediaan diatas rak pengering di udara terbuka (jangan dibawah
sinar matahari langsung) (Depkes RI, 2002: 31-32)
6. Sebutkan secara urut pembacaan sediaan dahak:
Jawaban:
a. Cari lebih dahulu lapang pandang dengan objektif 10 x
b. Teteskan satu tetes minyak emersi diatas hapusan dahak
c. Periksa dengan menggunakan lensa okuler 10 x dan objektif 100 x
d. Carilah Basil Tahan Asam (BTA) yang berbentuk batang berwarna merah
e. Periksa paling sedikit 100 lapang pandang atau dalam waktu kurang lebih
10 menit, dengan cara menggeserkan sediaan menurut arah
f. Sediaan dahak yang telah diperiksa kemudian direndam dalam xylol
selam 15-30 menit, lalu disimpan dalam kotak sediaan. Bila
menggunakan anisol, sediaan dahak tidak perlu direndam dalam xylol
(Depkes RI, 2002: 32)
7. Bagaimanakah cara pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dengan skala
IUATLD:
Jawaban:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + atau (1+)

91

d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+),


minimal dibaca 50 lapang pandang
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+),
minimal dibaca 20 lapang pandang (Depkes RI, 2002: 33)
8. Bagaimanakah pemeliharaan mikroskop yang baik:
Jawaban:
a. Letakkan dan simpan mikroskop pada tempat yang kering, bebas debu
dan bebas getaran
b. Jagalah supaya mikroskop dan lensanya tetap bersih (Depkes RI, 2002:
35-36)
9. Hal-hal apa yang harus diperhatikan petugas laboratorium untuk keamanan kerja
dilaboratorium:
Jawaban:
a. Memakai jas laboratorium saat berada dalam ruang pemeriksaan atau
dirung laboratorium
b. Semua spesimen dahak harus dianggap infeksius (sumber penular), oleh
karena itu harus ditangani dengan sangat hati-hati
c. Semua bahan kimia harus dianggap berbahaya, oleh karena itu harus
ditangani dengan sangat hati-hati
d. Dilarang makan, minum dan merokok didalam laboratorium
e. Dilarang menyentuh mulut dan mata pada saat bekerja
f. Dilarang memipet dengan mulut
g. Bersihkan semua peralatan bebas pakai dengan desinfektan setiap kali
selesai bekerja
h. Hindari terjadinya tumpahan aerosol atau perciakan bila sedang bekerja
i. Bersihkan meja kerja dengan desinfektan setiap kali selesai bekerja
j. Cuci tangan dengan sabun atau desinfektan setiap kali selesai bekerja
(Depkes RI, 2002: 34)

92

Jumlah Skor :

Tanggal wawancara

Pewawancara

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu


Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang

Pada hari

: Selasa

Tanggal

: 21 Agustus 2007

Panitia Ujian

93

Ketua Panitia

Sekretaris

Drs. Sutardji M.S


NIP. 130 523 506

Drs. Herry Koesyanto M.S


NIP. 131 695 459
Dewan Penguji

1. Widya Hary Cahyati, SKM. M.Kes


NIP. 132 308 386

(Ketua)

2. dr. Oktia Woro KH, M.Kes


NIP. 131 695 159

(Anggota)

3. Irwan Budiono SKM. M.Kes


NIP. 132 308 392

(Anggota)

ii

Anda mungkin juga menyukai