Tarekat sufi atau kelompok-kelompok sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara
langsung.
Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan
khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum
sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai
banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai
muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat.
Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di
rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual. Selain itu,
struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada pertemuan-pertemuan
mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusat-pusat yang sudah ada khusus
untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah
atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke.
Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk
menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang
melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak-benua India, pusat sufi
disebut Jamaat Khana atau Khaneqah.
Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan
yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang
muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi
praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi
dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula banyak tarekat besar menghadapi
situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam,
tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12
Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena
tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru
spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan
diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka,
atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun,
terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri
(uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam
Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak
diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling
melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni
rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai
kepada salah satu Imam Syiah dan karenanya kembali melalui Imam Ali ke Nabi
Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya. Satu-satunya
kekecualian adalah tarekat Naqsyabandiyah yang silsilah penyampaiannya melalui Abu
Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW.
Berikut ini adalah beberapa tarekat sufi yang masih ada hingga kini, masing-masing
dengan ciri-cirinya yang menonjol. Para pencari pengetahuan mungkin menjadi anggota
dari satu atau beberapa tarekat, karena memang mereka sering mengikuti lebih dari
seorang syekh sufi. Yang berikut ini hanya contoh dari beberapa tarekat sufi yang secara
pribadi telah akrab dengan penulis.
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani (m. 1166) dari Gilan di
Iran, yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya
disebarkan oleh putra-putranya. Tarekat Qadiriyah telah menyebar ke banyak tempat,
termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan
Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya dan Ferghana di Asia Tengah, serta di
tempat- tempat lain.
Tarekat Rifaiyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad ar-Rifai (m. 1182) di Basra, tarekat Rifai telah menyebar
ke Mesir, Suriah, Anatolia di Turki, Eropa Timur dan wilayah Kaukasus, dan akhir-akhir
ini di Amerika Utara.
Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadzili terealisasi di sekitar Syekh Abul Hasan asy-Syadzili dari Maroko (m.
1258) dan akhirnya menjadi salah satu tarekat terbesar yang mempunyai pengikut yang
luar biasa banyaknya. Sekarang tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya dan
Tanzania, Timur Tengah, Sri Langka dan di tempat-tempat lain, termasuk di Amerika
Barat dan Utara.
Tarekat Maulawiyah
Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di Turki
(m. 1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-akhir ini di
Amerika Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis yang berputarputar.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Bahauddin Naqsyaband dari
Bukhara (m. 1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan
Kaukasus, Cina bagian baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki,
Eropa dan Amerika Utara. Ini adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah
penyampaian ilmunya kembali melalui penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak
seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu imam
Syiah, dan dengan demikian melalui Imam Ali, sampai Nabi Muhammad SAW.
Tarekat Bektasyiyah
Tarekat Bektasyiyah didirikan oleh Haji Bektasy dari Khurasan (m. 1338). Gagasan
Syiah merembes masuk dengan kuatnya pada tarekat sufi ini. Tarekat ini terbatas di
Anatolia, Turki, dan yang paling berpengaruh hingga awal abad ke-20. Tarekat ini
dipandang sebagai pengikut Mazhab Syiah.
Tarekat Nimatullah
dengan kekufuran.
Memang kajian filsafat dalam Islam tidak lepas dari polemik, terutama jika
pembahasannya terkait dengan masalah Ketuhanan, kenabian dan alam akhirat. Imam alGhazali misalnya, telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafut al Falasifah dan al
Munqidh min al Dalal yang isinya adalah kritik terhadap pemikiran beberapa filosuf
muslim atas beberapa masalah yang dianggap telah menyesatkan umat Islam.
Tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat juga dirasakan oleh Muhammad Abduh,
di mana ketika hendak melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar Kairo pada jurusan
filsafat, ia mendapat teguran dari orang tuanya dan menasehatinya agar mengurungkan
niatnya belajar filsafat. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan al-Tawhidi,
berfilsafat adalah salah satu bentuk dari pemanfaatan nikmat Allah yang berupa akal
sesuai dengan fungsinya, di mana akal oleh al-Tawhidi diibaratkan sebagai cahaya bagi
kehidupan manusia, sehingga dengan menggunakan akal untuk berpikir, manusia menjadi
lebih mulia dari binatang.
Ahmad Amin dalam Mabadi al Falsafah mengatakan bahwa semua manusia di dunia ini
tanpa terkecuali sedang berfilsafat. Alasannya, semua manusia di dunia ini pasti berpikir,
dari mulai yang sederhana hingga pada masalah yang mendalam, karena berpikir adalah
bagian dari kehidupan manusia. Berpikir adalah arti sederhana dari berfilsafat, sehingga
seseorang yang menolak filsafat dengan berbagai macam argumentasinya, sesungguhnya
tanpa disadari ia sendiri telah berfilsafat.
Memang filsafat dalam Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat Yunani
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ke-3 H atau abad ke-9 M
ketika puncuk kekuasaan khilafah dalam Islam dipegang oleh al-Mamun. Akan tetapi
terdapat perbedaan di antara keduanya, di mana filsafat Islam menjadikan al-Quran dan
hadith atau wahyu sebagai sumber sentral bagi spekulasi filosofisnya, sementara filsafat
Yunani menjadikan akal sebagai sumber tunggal bagi spekulasi filosofisnya. Maka inti
daripada kajian filsafat dalam Islam sebenarnya adalah mengantarkan umat Islam untuk
memahami keberadaan Tuhan, sehingga bisa menjadi semakin dekat dengan Allah bukan
sebaliknya. Maka dalam filsafat Islam ditemukan sebuah kajian yang bertujuan untuk
mengajak manusia agar selalu dekat dengan Allah. Kajian itu biasa disebut dengan
tasawuf.
Oleh karena itu kajian tentang hubungan antara filsafat Islam dengan tasawuf sungguh
sangat menarik untuk dilakukan, sehingga tuduhan negatif yang diarahkan kepada filsafat
Islam dapat segera dilurushkan. Tulisan ini mencoba untuk mengupas pembahasan
tersebut sehingga dapat ditemukan pemahaman minimal yang dapat dijadikan sebagai
salah satu bahan untuk kajian lanjutan.
Hubungan antara Filsafat dan Tasawuf
Abd al-Halim Mahmud, dalam al Tafkir al Falsafi fi al Islam, memunculkan sebuah
pertanyaan, apakah terdapat korelasi antara filsafat dan tasawuf? Jika ada, bagaimana
bentuk korelasinya?
Dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa kata filsafat (al falsafah) berasal dari bahasa
Yunani yang sudah mengalami Arabisasi, yaitu berasal dari kata philo yang berarti
mencintai dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Lalu apa yang disebut dengan
kebijaksanaan? Abd al-Halim Mahmud dengan merujuk pada pemikiran Ibn Sina
mengatakan bahwa kebijaksanaan (hikmah) adalah penyempurnaan jiwa manusia dengan
cara menganalisa segala perkara yang dihadapinya dan meyakini segala bentuk kebenaran
teoritik maupun praktis sesuai dengan kemampuan dirinya sebagai manusia, sehingga
dapat memahami dengan baik bagaimana hidup bermasyarakat, berkeluarga, mana yang
baik dan mana yang buruk. Semua itu, menurut Abd al-Halim Mahmud dapat dilakukan
oleh manusia jika ia mengetahui keberadaan Allah (al marifah bi Allah), karena dengan
mengetahui keberadaan Allah, manusia akan menjauhi perbuatan yang buruk untuk
melakukan perbuatan yang baik.
Maka inti daripada filsafat Islam adalah mengungkap kebaradaan Allah. Artinya, filsafat
adalah sarana untuk mencapai pengenalan diri dengan Allah.
Sementara tasawuf atau sufisme dapat dideskripsikan sebagai interiosasi dan intensifikasi
dari keyakinan dan praktik Islam. Memang belum ditemukan kata sepakat di antara
peneliti tentang arti sebenarnya dari sufisme, baik pada tataran etimologis maupun
terminologis. Tidak adanya kesepakatan definisi dari tasawuf itu dapat dilihat dari
beberapa istilah yang beragam, terkadang disebut sebagai mistisisme Islam, terkadang
pula disebut sebagai esoterisisme Islam. Pada tataran etimologis sering ditemukan
pendapat yang menyebut tasawuf berasal dari kata sawf yang berarti wol, artinya seorang
sufi adalah seseorang yang berbusana wol.
Pada abad ke-8 kata tersebut digunakan untuk menyebut orang muslim yang karena
kecenderungan asketisnya menggunakan pakaian wol yang kasar dan tidak nyaman.
Tetapi secara bertahap istilah ini digunakan untuk menunjuk sekelompok orang muslim
yang membedakan dirinya dari yang lain dengan cara menekankan ajaran-ajaran dan
praktik-praktik khusus dari al-Quran dan sunnah.
Tidak ditemukannya kata sepakat terhadap definisi tasawuf, menyulitkan kita untuk
membedakan mana yang sufi dan mana yang bukan. Menjadi sufi tentu saja tidak
berkaitan dengan pemisahan diri dari Sunni atau Shiah ataupun dengan madzhabmadzhab fiqh dalam Islam.
Secara umum, istilah tasawuf sering digunakan untuk menyebut sekelompok muslim
yang memperhatikan dengan sungguh-sungguh seruan Allah untuk menyadari
kehadiranNya, baik di dunia maupun di akhirat, di mana mereka lebih menekankan halhal batiniah di atas lahiriah, kontemplasi di atas tindakan, perkembangan spiritual di atas
aturan hukum dan pembinaan jiwa di atas interaksi sosial. Pada tingkat teologi misalnya
tasawuf berbicara perihal ampunan, keagungan dan keindahan Tuhan.
Intinya adalah mendekatkan diri kepada Allah sehingga dapat selalu merasakan bahwa
Allah selalu hadir bersama manusia. Keyakinan ini biasa digambarkan dalam konsep
yang biasa disebut dengan istilah ihsan. Untuk menumbuhkan konsep ihsan pada diri
setiap muslim, Nabi mengajarkannya melalui hadithnya an tabud Allah ka annaka tarahu
fa in lam takun tarahu fa innahu yaraka (beribadah kepada Allah seakan-akan kita
melihatNya, jika tidak mampu, dengan menumbuhkan keyakinan bahwa Allah Melihat
kita). Konsep ini dimunculkan berdasarkan pada kayakinan bahwa sebab manusia
melakukan keburukan adalah karena kurang memiliki keyakinan bahwa Allah selalu
melihatnya.
Pentingnya ajaran tasawuf dalam Islam tidak lepas dari adanya dua unsur yang saling
melengkapi, yaitu unsur lahir dan unsur batin. Unsur lahir diwakili oleh shariah,
sementara unsur batin diwakili oleh haqiqah. Shariah merupakan pintu masuk menuju
haqiqah, dan haqiqah merupakan tujuan yang dari pelaksanaan shariah.
Perbedaan antara shariah dan haqiqah dapat diibaratkan seperti kulit dan isi atau
lingkaran dan titik tengahnya. Rene Guenon, seorang tokoh ternama dalam mistisisme
Kristen yang kemudian masuk Islam melalui pendekatan sufisme mengatakan bahwa
antara shariah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan. Demikian pula dengan Abu Ali alDaqqaq juga mengatakan bahwa antara shariah dan haqiqah tidak dapat dipisahkan
dalam Islam. Ia menggambarkan bahwa ayat iyyaka nabud sebagai ayat yang
berkonotasi shariah, sementara iyyaka nastain sebagai ayat yang berkonotasi haqiqah.
Memang banyak kalangan, terutama orientalis, mengatakan bahwa ajaran tasawuf
bersumber dari agama Hindu atau Budha. Adapula yang menyebut bahwa tasawuf
bersumber dari ajaran Kristen. Memang tuduhan itu sangat berasalan, karena antara
ajaran tasawuf dalam Islam dan mistisisme dalam Kristen, Hindu dan Budha terdapat
kesamaan, seperti konsep wahdat al wujud, yang dalam ajaran Hindu atau Budha disebut
dengan Vedanta. Selain itu banyak tokoh sufi dalam Islam yang berasal dari non-Arab,
seperti Ibrahim bin Adham, Shaqiq al-Balkhi, Abu Yazid al-Bustami, Yahya bin Muadh
dan lain sebagainya. Di samping itu ajaran tasawuf tumbuh dan berkembang di Khurasan,
sebuah kawasan di Persia yang erat sekali dengan budaya Hindu dan Budha.
Kesimpulan
Jika dilihat tujuan dari kajian filsafat dalam Islam dan tasawuf dapat ditarik kesimpulan
bahwa keduanya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami
keberadaan Allah, sehingga mau melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat
mengantarkan manusia kepada kesempurnaan jiwa.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa korelasi antara filsafat dalam Islam dan
tasawuf adalah sebagai berikut; filsafat lebih bersifat teoritik, sementara tasawuf lebih
bersifat praktis. Artinya, antara filsafat Islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk
mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah, di mana filsafat sebagai sarana
teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis
inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi tujuan belajar filsafat Islam adalah untuk
mencapai wilayah tasawuf.
Prinsip Tasawwuf
Fondasi dari amalan tasawwuf adalah memakan makanan yang halal dan mengikuti
sunnah Rasulullah baik dalam akhlak, perbuatan, dan perintah-perintahnya. Barangsiapa
yang tidak menjaga Alquran dan tidak dapat menulis hadis, dia tidak akan bisa
mengikuti tasawwuf, karena ilmu kita berkaitan dengan Alquran dan As-sunnah.
Mengikuti paham ini harus-lah dengan sikap wara dan ketakwaan, karena hal ini bukan
sekadar ajakan-ajakan.
Dalam tasawwuf, permulaannya adalah ilmu, tengahnya adalah amal, dan akhirnya
adalah mawhibah (anugerah). Dengan ilmu maksud yang dikandungnya akan tersingkap,
sedangkan amal mewujudkan apa yang dicari, sementara mawhibah merupakan
tercapainya maksud dan tujuan.
Ahli tasawwuf terdiri dari tiga tingkatan. Tingkat pertama disebut murid talib. Yang
kedua disebut mutawassit sair. Dan ketiga, wasil. Adapun murid, adalah seorang
yang mampu memegang kendali waktunya, sedangkan mutawassit. yang
mengamalkan perbuatan, sementara wasil, orang yang telah memiliki keteguhan
keyakinan. Keutamaan bagi mereka adalah ketika melawan hawa nafsu.
Maqam seorang Murid adalah mujahadah (bergiat melawan hawa nafsu) dengan segala
upaya, mukabadah (mengekang nafsu), menikmati kepahitan dan kesengsaraan hidup,
menjauhi segala bagian-bagian nafsu, dan semua hal yang dapat menghantarkan pada
nafsu duniawi.
Maqam mutawassit, adalah menaiki bahtera cobaan dan ujian untuk dapat mencapai apa
yang dicari, dengan menjaga kejujuran, dan selalu beradab dalam setiap fase. Dia juga
disebut dengan sahibut at-talwin, karena ia telah melakukan dakian dari satu fase ke fase
selanjutnya, dari satu perilaku ke perilaku lain. Inilah yang disebut dengan pertambahan
karunia (ziyadah).
. ..
Dan maqamah wasil adalah kembali pada perasaan inderawi setelah lebur dalam
kegaiban, dan mapan dengan aturan-aturan ibadah, dan menjawab panggilan dari Yang
Maha-Haqq, karena ia telah berhasil melewati tahapan-tahapan sebelumnya. Dia berada
dalam posisi tetap yang tidak dipengaruhi oleh ujian dan cobaan, dan tidak pula
dipengaruhi oleh keadaan apapun. Tidak ada lagi perbedaan, apakah ia dalam
kondisi susah atau senang, dilarang atau diberikan, gagal ataupun berhasil.
Kenyangnya sama seperti ketika ia merasa lapar, tidurnya pun sama seperti ketika ia
terjaga. Dimensi kedirian telah sirna. Dimensi lahirnya hadir bersama manusia, namun
dimensi badaniahnya larut bersama Yang Haqq. Ini semua termasuk laku (hal) Nabi.
Seseorang yang telah mencapai tahap muntaha (final) diibaratkan seperti busur anak
panah yang dilepaskan di atas puncak bukit yang tinggi mengenainya, dan angin kencang
menerpanya, maka tak sedikit pun ia bergeming karenanya, meski sehelai rambut pun.
Ada yang mensinyalir bahwasanya orang-orang dinamakan sufi karena mereka
menempad barisan utama dan pertama di sisi Rabb-nya lantaran hasrat mereka yang
luhur, di samping kepasrahan mereka terhadap Allah Swt. Atas segala rahasia-rahasia
mereka.
Ilmu Tasawuf
Tasawuf merupakan ilmu halus yang sangat tinggi dan tidak bisa dengan mudah
dipelajari. Tasawuf bukan ilmu hapalan yang dipelajari dengan otak akan tetapi
merupakan ilmu praktek dan merupakan teknologi Al-Quran yang Maha Dahsyat. Hasil
pengamalan tasawuf akan melahirkan manusia-manusia berkualitas tinggi, tidak pernah
lepas sedetikpun hubungan dengan Allah sebagai sumber kebaikan. Salah satu tujuan
Allah mengutus para nabi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Para nabi bukan
sekedar menyampaikan firman Allah, akan tetapi juga berfungsi sebagai pembawa
wasilah (wasilah carrier) sebagai media penyambung antara manusia dengan Tuhan. Nabi
adalah teknolog Al Quran yang mengerti bagaimana menyalurkan power maha dahsyat
menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia. Kemampuan nabi Musa membelah
laut, kehebatan Nabi Isa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan segala jenis
penyakit dan kehebatan Nabi Muhammad SAW membelah bulan bukan terjadi dengan
serta merta. Mereka diajarkan oleh Allah teknologi Maha Dahsyat, teknologi metafisika
dan siapapun menggunakan teknologi yang sama maka hasilnya pasti akan sama.
Kalau kita perhatikan bagaimana hebatnya teknologi fisika. Air yang tenang bisa diubah
menjadi listrik lewat teknologi turbin. Air dipanaskan menjadi uap mampu menggerakkan
gerbong kereta api yang beratnya ratusan ton. Air juga bisa mendongkrak mobil yang
dengan memakai ujung jari tentu saja lewat teknologi hidrolika. Air juga apabila di
pisahkan inti atomnya akan terjadi ledakan sangat hebat, menjadi sebuah bom yang daya
rusaknya luar biasa. Air sifat dasarnya memadamkan api bisa berubah menjadi bahan
bakar yang hebat. Masih banyak teknologi lain yang hebat hasil penemuan manusia.
Berbicara tentang teknologi al-Quran, alam metafisika tentu hasilnya berpuluh, beratus
bahkan berjuta kali lebih hebat dari teknologi fisika. Sampai saat ini belum ada teknologi
yang mampu membelah laut seperti yang dilakukan oleh nabi Musa atau menghidupkan
orang mati. Teknologi fisika akan selalu tertinggal jauh oleh teknologi metafisika.
Menyadari potensi yang sangat hebat terkandung dalam al-Quran maka para kaum
orientalis berusaha memisahkan ummat Islam dengan teknologi Al-Quran. Al-Quran
hanya untuk di baca dan dilombakan, dialun-alunkan dengan suara merdu. Ilmu untuk
mengeluarkan power Al-quran itu tidak lain adalah Tarekatullah dibawah bimbingan
Mursyid Kamil Mukamil, yang ahli di bidangnya, ahli tentang teknologi Al Quran.
Kalau Mursyidnya tidak ahli dan tidak mendapat izin dari guru-guru sebelumnya, tidak
mempunyai silsilah bersambung kepada Rasulullah SAW maka Tarekat hanyalah sebuah
praktek zikir kosong tanpa power. Sudah sekian lama tarekat dikucilkan, tasawuf
didebatkan terus menerus bahkan dengan tanpa rasa bersalah memasukkan tasawuf
sebagai ajaran di luar Islam, sungguh sangat menyedihkan.
Sangat berbahaya mendalami tarekat kalau Gurunya tidak mendapat izin dari Allah.
Ibarat pilot pesawat tanpa izin terbang dan tidak mempunyai sama sekali pengalaman
terbang tentu sangat berbahaya, bukan rahmat kita dapat tapi malah celaka.
Orientalis dengan sekuat tenaga berusaha agar ummat Islam berpandangan buruk
terhadap tasawuf dengan menciptakan tarekat-tarekat palsu. Tarekat palsu tersebut
kemudian disebarkan keseluruh dunia dengan tujuan untuk menjelekkan tarekat. Ajaranajaran yang menyimpang dari nilai-nilai Al-Quran dan hadist sehingga dengan mudah
kalangan yang selama ini miring melihat tarekat mendapat angin segar.
Pilihlah Gurumu yang kamil mukamil khalis mukhlisin, yang dicerdikkan Tuhan, tidak
setengah kasih akan dunia, kuat berpegang teguh kepada Tali Allah dan tentu saja
mempunyai silsilah sebagai tanda sah ilmu yang diajarkannya.
Tasawuf bukan ilmu hapalan, bukan pula ilmu yang dipelajari lewat membaca. Tasawuf
adalah ilmu rasa dan rasa itu datang dari Allah SWT atas ikhtiar sungguh2 dari sang
murid. Sebagai contoh, kalau hanya sekedar dibaca, letak maqam yang 7 tempat bisa
dibaca dalam satu malam bahkan seluruh kaji dalam suluk selesai dipelajari dalam 1
malam. Pertanyaannya apakah bisa duduk amalan tersebut dalam satu malam?
Jawabannya tidak, membutuhkan waktu bertahun-tahun baru bisa amalan tersebut
melekat dalam diri kita. Mungkin kita telah berulang kali suluk, kalau masih ada unsur
sombong dalam diri, berarti belum sempurna maqam ke-5, begitu juga kalau masih suka
memperturutkan hawa nafsu berarti suluk kita masih belum benar. Mungkin banyak
tarekat yang menulis tentang amalan dari awal suluk sampai selesai. Tapi Guru saya
sangat melarang karena amalan itu datang dulu baru dijelaskan. Sebagai kiasan, seorang
anak lahir dulu kedunia baru diberi nama.
Beliau mengatakan biarlah amalan berupa karunia dari Allah datang dengan sendirinya.
Lebih baik karunia itu datang tanpa mengetahui namanya dari pada menghapal nama tapi
tidak pernah merasakan karunia.
Kita wajib berterima kasih kepada Almarhum Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc
Mursyid Tarekat Naqsyabandi atas jasa Beliau yang mampu menjelaskan ilmu tasawuf
lewat ilmu eksakta (fisika klasik) sehingga tidak bisa dibantah sama sekali oleh siapapun.
Ilmu tarekat selama ini dianggap kolot dan ketinggalan zaman ternyata merupakan ilmu
yang sangat hebat tiada tanding menjadi senjata ampuh ummat Islam diseluruh dunia.
Beliau juga yang pertama kali mempopulerkan istilah Teknologi Al-Quran. Kalau Imam
Al-Ghazali berjasa mendamaikan tasawuf dengan syariat dan menyatukan keduanya
lewat ilmu sosial maka Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc berhasil mendamaikan lewat
ilmu metafisika eksakta.
Akhirnya, kita semua berharap bisa berjumpa dengan Guru Mursyid Kamil Mukamil
Khalis Mukhlisin yang bisa mengajarkan kita tentang Teknologi Al-quran sehingga bisa
kita salurkan kepada keluarga, kampung, Negara bahkan seluruh jagad raya ini sebagai
bukti bahwa Islam Mulia Raya adalah Agama yang membawa Rahmatan Lil Alamin.
Seiring dengan munculnya kritik-kritik tajam terhadap tasawuf yang menimbulkan
ketegangan didalam dunia pemikiran islam, nampakya sudah tibul berbagai argumentasi
tentang, apakah tasawuf benar-benar ilmu keislaman atau ia hanya sekedar
pengislamisasian unsur-unsur non-islam? Kontroversi pendapat itu bermula sejak
tampilnya ftasawuf falsafati dan semakin dipertajam kemudian dengan masuknya
pendapatm orientalis, yang secara generalisasi mengatakan, bahwa tasawuf bersumber
dari luar islam. Mereka yang menyatakan tasawuf diluar islam bersumber dari luar islam,
apakah dari Persia, Hindu, Nashrani, filsafat Yunani dan atau dari sumber lainya, atau
juga mendasarkan pendapatnya hanya kaarena adanya kesamaan tipologinya belaka.
Pendapat yang demikian nampaknya tidak jujur dan tidak obyektif. Sebab tidak ada satu
paradigma keilmuan yang memastikan, bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah
karena terjadi saling pengaruh atau karena plagiat.untuk adanya dibenarkan adanya
hubungan interaksi historis antara satu nilai dengan nilai lainya, haruslah dapat
dibuktikan dengan adanya kontak yang riel antara keduanya.
Sedangkan keserupaan atau kemiripan bukanlah suatu bukti yang riel. Alangkah
banyaknya suatu bentuk-bentuk keserupaan di alam semesta ini, padahal satu sama lainya
tidak ada hubungan, baik dalam kesejarahan ataupun substansinya. Alasan lain yang
mereka kemukakan dalah, bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari Persia yang asalnya
beragama Majusi atau bengsa lain yang tadinya beragama Kristen. Argumen ini pun
sangat lemah dan goyah, mengingat bahwa cikal bakal tasawuf lahir dari jazirah Arab dan
dari bangsa Arab itu sendiri. Memang satu hal yang jelas, bahwa tasawuf merupakan
masalah yang sangat kompleks karena ia termasuk dalam jajaran mistisisme, sehingga
hampir tidak bisa diberijawaban yang sangat memuaskan semua pihak. Akan tetapi
sepanjang penelitian penulis, dapat dipastiakn bahwa sumber awal dan asas tasawuf
adalah islam, sehingga ia digolongkan salah satu aspe kebudayaan islam yang khas.
SUMBER AJARAN TASAWUF(AL-QURAN, HADIST, SUMBER
LAIN/PENGALAMAN)
Tasawuf merupakan keinginan kuat untuk mendapatkan ridho Allah dalam bentuk
perkataan, perbuatan, niat, dan dalam pemikiran dunia dan akhirat. Tasawuf dalam
pengertian ini menempatkan manusia pada kedududkan yang tinggi. Inilah bagian dari
wahyu ilahi dan agama itu sendiri karena dengan karakteristik ajaran ini akan
munculpencarian kesempurnaan dari dalam.
Ajaran ini merupakan penyembuhan dari penyakit jiwa. Tiada suatu manusiapun kecuali
mereka yang terlindungi, pasti terjangkit penyakit jiwa dan moral ini, sedikit atau banyak.
Seluruh risalah ilaahiyah datang untuk mengobati penyakit jiwa dan moral yang
merupakan penyakit pertama pada keturunan Adam. Para orientalis dan para oran-orang
yang menulis tentang tasawuf islam berusaha untuk mengembalikan sejarah kehidupan
rohani para sufi dalam islam pada suatu sumber islam lain, diantaranya Al-Quradan
kehidupan Rasulullah saw.
Sebagian dari mereka berusaha untuk bersifat moderat (tengah-tengah). Mereka
berpendapat bahwa faktor pertama timbulnya ajaran tasawuf adalah Al-Quran dan
kehidupan rasulullah saw./ dari keduanya, terambil benih-benih tasawuf yang pertama.
Kemudian diikui kebudayaan asing, yaitu india, Yunani, dan Persia. Itulah yang
mempengaruhi tasawuf dan menjadikanya berkembang. Hingga muncul berbagai
pendapat yang menurut sangkaan mereka, tasawuf jauh sekali dari roh (jiwa) dan watak
islam.
Pendapat yang mengatakana bahwa umat islam tidak mengenal tasawuf sebelum abad ke3 Hijriyah merupakan pemutarbalikkan pengetahuan dan fakta sejarah tanpa alasan yang
dibenarakan.Jika yang dimaksud adalah tidak dikenalnyua ilmu tasawuf sebelum asbad
ke-3 Hijriyah, juga tidak dapat dibenarkan.
Para linguistik dan ahli sejarah bangsa Arab sepakat bahwa kata tasawuf telah dikenal
jauh sebelum datangnya islam. Hanya saja penggunaan istilah tasawuf bagi ahli sufi
muncul pada kodifikasi ilmu-ilmu islam. Ketika itu, mereka dikenal dengan semangat
yang keras dan kejantananya, simbol pemakaiaan pakaian yang terbuat dari bulu domba
yang kasar, dan semangat berjihat.
Pada masa ini praktik ilmu tasawwuf yang dipakai umat islam adalah ajakan memperkuat
diri, kebebasan persamaan, solidaritas, persaudaraan, persatuan, dan ajakan-ajakan lain
untuk membangun kepribadian muslim yang sempurna. Masa kodifikasi ilmu-ilmu islam
ini ditandai dengan penulisan hadis Nabi saw. Masa ini berkembang hingga mencapai
puncaknya dipenghujung abad pertama dan permulaan abad kedua, yang ditandai dengan
penulisan hadis, tafsir, fiqih dan bahasa.Jika yang dimaksud pndapat tersebut tidak
dikenalnya titik materi, hakekat, dasar-dasar, dan pokok bahasan ajaran tasawuf,
pandangan ini juga tidak benar.
Materi ajaran tasawuf dilihat dari segi ibadah dan akhlaq, dalam pemngertian yang luas,
sudah terdapat dalam Al-Quran dan sunnah sebagaiiman keberadan ilmu agama yang
lain. Jika ilmu taswuf tidak ditemukan pada masa ini, ajaran tentang ibadah, akhlaq,
pendidikan jiwa, hubungan dengan Allah, dan ketinggian nilai-nilai kemanusiaan,
semuanya diatur dalam Islam. Ajaran-ajaran itulah yang disebut dengan tasawuf
sebagaimaman yang dikenal oleh masyarakat pada waktu itu. Bisa jadi ilmu tasawuf itu
menjadi ilmu yang baru, tetapi materi dan cakupan bahasanya merupakan sesuatu yang
lama, seiring lamanya Al-Quran dan Sunnah. Demikian juga dengan keberadaan ilmu
islam lainya.Hal ini bukanlah sesuatu yang baru.
Pada awal abad islam, belum ada ilmu-ilmu yang dinamakan fiqih, ushul fiqih, dan
mustalakhul hadis. Namun, materi ilmu itu sudah ada dalam Al-Quran dan Sunah.
Ketika ilmu itu dikodifikasin dan dirumuskan kaidah-kaidah dan istilah-istilah
keilmuanya, lahirlah berbagai nama dan istilah ilmu sesuai dengan cakupan bahsanya
masing-masing.
Oleh karena itu, mengapa kita harus mengingkari penamaan tasawuf, sedangkan kita kita
tidak mengingkari penamaan ilmu-ilmu agama lainya, padahal keberadaan ilmu-ilmu
tersebutadalah satu kesatuan. Mengapa pula kita mengingkari penamaan tasawuf,
sedangkan kita tidak mengingkari penamaan tasawuf?
Dalam kitab Lisanul Arab karya Ibnu Mundzur, kata suf bermakna bulu domba, sedagkan
kata sufah bermakna lebih khusus, yakni digunakan bagi orang-orang yang mengurusi
pekerjaan Al-Bait Al-Haram. Maka mereka biasa disebut dengan istilah as-Sufan. Pada
masa jahiliyah, sufah daerah suku Mudar biasa mengabdikan dirinya untuk mengurusi
Kabah, dan pekerjaan ini pada waktu itu umumnya dipimpin oleh mereka. Demikian
pula dengan sufah daereh suku Tamim, mereka biasa membantu para haji pada masa
jahiliah yang datang dari Mina, bahkan mereka adalah orang pertama yang membantu
mereka.Muhammmad bin Naser menuturkan dari Abu Ishaq Ibrahim bin Said Al-Habbal
bahwa Abu Muhammad bin said Al-Hafidz bertanya kepaada Walid bin Qasim, pada
kata apakah kata sufi disandarkan? Ia menjawab, pada orang-oarng yang
menganut ajaran Nabi Ibraim, yaitu pada masa jahiliyah. Mereka disebut sufah.
Mereka semua mencurahkan hidupnya untuk Allah, dan memakai kain katun pada
Kabah. Orang-orang yang menyerupai mereka yang disebut dengan sufiyah.
Kemudia ia berkata, mereka itulah yang disebut sufah. Dalam Mujam Al-Wasit,
kalimat sawafa fulanan bermakna menjadikan sufi. Kalimat tasawafa fulanan bermakna ia
telah menjadi sufi. Jadi, tasawuf adalah suatu jalan sulukiyah (ibadah), yang mendasarkan
ajaran pada pembersihan dan penghiasan diri dengan moral yang terpuji agar jiwa
menjadi bersih, dan roh menjadi tinggi.
Adapun ilmu tasawuf merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang diyakini kebenaranya
oleh para sufi, baik hubungan vertikal maupun horizontal. Jadi, sufi ialah manusia yang
bebas meneroka
ke alam kebesaran dan
keagungan kerajaan
Allah SWT.)
9 Wukuf Qalbi Tumpuan hati
dan hati pula tumpu pada Allah
10 Wuquf Abadi memerhatikan
bilangan ganjil dalam zikir nafi
isbat
11 Wuquf zamani Selepas solat
lakukan beberapa minit sentiasa
memerhatikan hati bertawajjuh
kepada Allah swt
- Selang beberapa jam/setiap
jam semak semula kedaan hati ,
mempastikan hati sentiasa ingat
kepada Allah
Cabang:
Yasawi - Kwajagan
Sidiqiyah - Saidina Abu Bakar
as Siddiq
Taifuriyah Abu Yazid Bustami
Khawajahganiyah Abdul Khaliq
Ghudjuwani
Naqsyabandiyah Muhammad
Bahauddin
Ahrariyah Ubaidullah Ahrar
Ragamatullah
Mujaddidiyah Syekh Ahmad
Faruqi Sirhindi
Mazhariyah Mirza Mashar
Jan janan Syahid
Aliyah Shah Abdullah Ghulam
Ali Dehlawi
Khalidiyah Syekh Ziauuddin
Muahammad Khalid Uthmani
Kurdi
NIYAZIAH Muhammad NiyazLemnos, yunani
NIMATIYAH Syah Wali Nimatillah Kirman,Iran
NURBAKHSIYAH Muhammad nurbakh Khurasan, Iran
NURUDDINIYAH NuruddinIstanbul, turki
QADIRIYAH Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Baghdad, Irak
Cabang:
Banawa, Ghawtsiyah, Junaidiyah,
Kamaliyah, Miyan Khei,
Qumaishiyah,
hayat al mir (India)
hailallah
- Zikir isbat faqat: Ilaallah
- Zikir ismu zat: Allah
- Zikir Taraqqi: Allah hu
- Zikir Tanazul: Hu Allah
- Zikir Isim ghaib: Hu,Hu
SYAZILIYAH Abul Hasan Ali Asy Syadziliyah Mekkah, Arab saudi
- menekankan olahan hati
& batiniah
- Zikir: Hizb al bahar, Hizb
Nashor, Hizb Barr, Hizb al Hafidzah
Cabang Tarekat:
Qasimiyah, Madaniyah,
Idrisiyah, Salamiyah, Handusiyah,
Qauqajiyah, Faidiyah, Jauhariyah,
Wafaiyah,
Azmiyah, Hamidiyah, Faisiyah,
Hasyimiyah
THAIFURIYAH Syekh Abu Yazid Al Bustami
TIJANIYAH Syekh Ahmad At-Tijani1 Fes, Morocco
Mendapat talqin daripada Rasullulah SAW:
Istighfar 100 kali
Selawat 100 kali
Lai illahaillah 100 kali
UMM SUNANIYAH Syekh Umm Sunan Istanbul, Turki
YASAWIYAH Ahamad Yasawi Turkestan
ZAINIYAH Zainuddin Kufah, Irak
dari abdulah bin mamar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad, jawab
orang tua itu.
sebuah rangkaian panjang. Segala sesuatu yang dia sampaikan melalui rangkaian
panjang para perawi, dan kita dapat mendengar langsung khutbahnya di tempat tersebut
dari tempat ini, kata Kattani.
Melalui siapakah engkau mendengar ? tanya lelaki tua itu.
Hatiku menyampaikannya kepadaku l;angsung dari Allah ! jawab Kattani.
Apakah kata-katamu dapat dibuktikan? tanya orang tua itu lagi.
Inilah buktinya. Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khadir AS.
Selama ini aku mengira tak ada sehabat Allah yang tidak kukenal. Namun ternyata
engkau, Abu Bakar Kattani, tidak kukenal tetapi engkau mengenalku. Maka, sadarlah aku
masih ada sahabat sahabat Allah yang tidak kukenal namun mereka mengenalku, kata
Khidir as.
Karya tulis untuk Khidir
Pada suatu waktu, ketika masih kanak-kanak, Muhammad bin Ali Tirmizi ( yang dikenal
dengan nama Al Hakim ) bersama dengan dua anak lainnya bertekad akan melakukan
pengembaraan guna menutut ilmu. Ketika akan berangkat, ibunya pun nampak sangat
bersedih.
Wahai buah hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila ananda
pergi, tak ada seoarang pun yang ibunda miliki di dunia ini. Selama ini ananda tempat
ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan
lemah ini ? kata sang bunda dengan berurai air mata.
Kata-kata itu menggoyahkan Tirmidzi . dia membatalkan niatnya, sementara kedua
sahabatnya tetap berangkat mengembara untuk mencari Ilmu.
Satu hari, Tirmidzi duduk di sebuah pemakaman sambil meratapi nasibnya. Di sinilah
aku ! tiada seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, sedang kedua sahabatku
itu, nanti akan kembali sebagai orang orang yang terpelajar dan berpendidikan tinggi,
keluhnya lagi.
Tiba tiba, di hadapan Tarmidzi muncul seorang tua dengan wajah berseri-seri. Dia
menegur Tarmidzi, Nak, mangapakah engkau menangis sampai sedih ini ?
Tirmidzi lalu menceritakan segala persoalan yang tengah di hadapinya.
Maukah engkau menerima pelajaran dari saya setiap hari sehingga dapat melampaui
kedua sahabatmu itu dalam waktu yang singkat ? tanya orang tua itu kemudian.
Aku bersedia ! jawab Tarmidzi dengan kegirangan.
Sejak itu, setiap hari, orang tua itu memberikan pelajaran kepada Tarmidzi. Setelah tiga
tahun berlalu, barulah dia menyadari bahwa sesungguhnya orang tua itu adalah Nabi
Khidir AS. Tarmidzi memperoleh keberuntungan yang seperti itu karena dia berbakti
kepada Ibunya.
Menurut Abu Bakr Al Warraq ( salah seorang murid Tarmidzi yang kemudian menjadi
seorang sufi besar dan dijuluki guru para wali ), setiap hari minggu, Nabi Khidir
mengunjungi Tarmidzi dan kemudian memperbincangkan berbagai persoalan.
Dikisahkan pada suatu hari Tarmidzi menyerahkan buku-buku karyanya kepada Al
Warraq untuk dibuang kesungai Oxus. Ketika diperiksa, ternyata buku-buku tersebut
penuh dengan seluk beluk dan kebenaran kebenaran mistis ( Tasauf ) Al Warraq tak tega
untuk melaksanakan perintah Tarmidzi, buku-buku tersebut dia simpan di dalam
kamarnya. Kemudian dia katakan kepada sang guru bahwa buku-buku itu telah
dilemparkannya ke sungai.
apakah yang engkau saksikan setelah itu ? tanya Tarmidzi.
Tidak satupun, jawab Al Warraq.
kalau begitu, engkau belum membuang buku-buku itu kedalam sungai. Pergilah dan
buang segera buku-buku itu, printah tarmidzi.
Al Warraq tak dapat membantah perintah gurunya. mengapa dia ingin membuang
buku-buku ini ke dalam sungai ? apakah gerangan yang akan kesaksikan nanti ? Tanya
Al - Warraq dalam hati sambil berjalan menuju ke sungai Oxus.
Setibanya ditepi sungai, Al Warraq melemparkan buku-buku yang sangat tinggi nilainya
itu. Ajaib ! seketika itu juga air sungai terbelah. Lalu nampak sebuah peti yang terbuka
tutupnya dan buku-buku itu pun jatuh kedalamnya. Setelah tutup peti itu mengatup. Air
sungai pun bersatu kembali. Al Warraq terheran-heran menyaksikan kejadian itu.
Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah Rahasia di balik semua ini ?
tanya Al Warraq setibanya kembali di hadapan sang guru dan menceritakan segala
kejadian yang disaksikannya.
Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu tasauf dengan keterangan keterangan
yang sulit untuk difahami oleh manusia manusia biasa. Saudaraku Khadir meminta
buku-buku itu. Dan peti yang engkau lihat tadi dibawa oleh seekor ikan atas pemintaan
Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar, memerintahkan kepada air untuk mengantarkan
peti itu kepadanya, jelas Tarmidzi.