PENDAHULUAN
Menyusui adalah proses alami manusia tetapi tidak sederhana seperti yang di
bayangkan khalayak umum. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan ini. Agar
menyusui berhasil, setiap ibu harus percaya dapat melakukannya dengan didukung
petunjuk pengetahuan dan manajemen laktasi yang tepat dan benar. Persiapan dini
sejak masa kehamilan hingga menyusui sangat membantu kelancaran proses
menyusui secara keseluruhan (Larsen, 1990; Vari, 2007).
Keuntungan dari menyusui semakin terbukti baik untuk ibu dan bayi. Bagi ibu,
menyusui telah terbukti menurunkan perdarahan post partum dan mengurangi resiko
kanker payudara. ASI juga dapat meningkatkan kesehatan anak karena ASI memiliki
nutrisi yang tinggi disertai dengan enzim, hormon, dan senyawa imunologis yang
melindungi bayi dari agen infeksius. Selain itu pemberian ASI telah terbukti
memberikan kontribusi dalam perkembangan neural dan kognitif dari anak (Larsen,
1990; Vazirinejad et al, 2009; Priebe et al, 2014; Lucas dan Zlotkin, 2003).
Puting merupakan bagian anatomi yang penting baik untuk fungsi visual,
seksual maupun fungsi nutritif melalui pemberian ASI pada bayi. Banyak masalah
yang sering ditemui berkenaan dengan kelainan puting seperti puting susu terbenam
atau datar, puting susu nyeri atau puting susu lecet dan payudara bengkak. Hal ini
merupakan masalah bagi ibu yang menyusui bayinya dan mengurangi produksi ASI,
sehingga dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan air susu untuk bayinya. Agar
dapat menyusui dengan baik, bayi perlu menghisap tonjolan puting dan hampir
seratus hingga delapan puluh persen dari areola (Vazirinejad et al, 2009; Alexander et
al, 1992).
Sekitar 10% dari wanita hamil yang berniat untuk menyusui memiliki inversi
puting. Pada inversi puting terjadi invaginasi sehingga puting tidak menonjol ke luar,
namun puting teretraksi ke dalam parenkim dan jaringan stromal payudara. Inversi
puting tidak sama dengan retraksi. Istilah retraksi diberikan apabila sebagian dari
dasar puting tertarik ke dalam, dimana inversi adalah kasus dimana keseluruhan
puting tertarik ke dalam, dan terkadang tertarik jauh ke dalam dari permukaan
payudara (Priebe et al, 2014; Alexander et al, 1992; Sanuki et al, 2009; Karacaoglu,
2012).
Meskipun banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi pemberian ASI baik pada negara berkembang maupun negara maju,
jarang terdapat penelitian yang didesain untuk melihat efek dari variasi anatomi dari
payudara ibu terhadap pemberian ASI pada bayi. Alexander et al. menganggap
kelainan puting seperti inversi puting dan puting non protaktil sebagai penyebab dari
inisiasi dan pelaksanaan dari pemberian ASI (Alexander et al, 1992).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
elastis yang menutupi badan payudara. Puting merupakan elevasi konikal pada pusat
areola setinggi celah interkostal keempat, tepat di bawah garis tengah payudara.
Puting terdiri dari serabut otot polos dan kaya akan inervasi serabut sensorik dan
serabut nyeri. Struktur ini memiliki permukaan verukous dan memiliki kelenjar sebasea
dan kelenjar apokrin namun tidak berambut (Sanuki et al, 2009; Lawrence dan
Lawrence, 2014).
Areola mengelilingi puting dan juga sedikit terpigmentasi dan menjadi sangat
terpigmentasi selama kehamilan dan laktasi. Rerata diameter adalah 15 hingga 16
mm, namun kisaran ini dapat melebihi 5cm saat kehamilan. Inervasi sensorik lebih
sedikit dibanding puting. Puting dan areola sangat elastis dan berelongasi ke papilla
mammae saat tertarik ke mulut oleh isapan bayi (Newton, 2012, Hunt et al, 2012).
Permukaan areola mengandung kelenjar Montgomery yang menjadi hipertropi
selama kehamilan dan laktasi dan menyerupai vesikel. Selama laktasi, struktur ini
mensekresikan materi sebasea untuk melubrikasi puting dan areola dan melindungi
jaringan ketika bayi menghisap. Kelenjar ini menjadi atropi setelah penyapihan dan
tidak tampak kasat mata kecuali selama kehamilan atau laktasi (Newton, 2012).
otonom dan sensorik. Inervasi korpus mammae tidak setara bila dibandingkan dan
utamanya adalah syaraf otonom. Serabut parasimpatik dan kolinergik tidak mensuplai
bagian manapun dari payudara. Syaraf eferen adalah simpatetik adrenergik.
Kebanyakan syaraf payudara beriringan dengan arteri. Beberapa serabut berjalan
menyusuri dinding duktus. Ini mungkin serabut sensorik yang merasakan tekanan air
susu. Tidak ada inervasi yang diidentifikasi mensuplai sel mioepitelial. Maka,
kesimpulannya adalah aktivitas sekretorik dari epitel asini dari duktus bergantung
pada stimulasi hormonal, seperti dengan oksitosin. Ketika serabut syaraf distimulasi,
perlepasan prolaktin adenohipofise dan oksitosin neurohipofise terjadi (Lawrence dan
Lawrence, 2014; Newton, 2012).
2.1.2
perjalanan dari persyarafan tersebut. Ahli bedah Inggris, Sir Astley Cooper merupakan
yang pertama menyelidiki inervasi payudara 135 tahun yang lalu, dan beberapa dari
temuannya masih valid hingga saat ini. Sejak saat itu, para penulis setuju bahwa kulit
dan kelenjar payudara diinervasi oleh cabang lateral dan anterior dari syaraf
interkostal, namun terdapat ketidaksepahaman mengenai syaraf interkostal ke berapa
yang terlibat (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).
Dalam studi terbaru, Schlenz menentukan asal mula dan perjalanan syaraf
yang mempersyarafi payudara dan kompleks puting areola (Hamdi et al, 2005).
a. Inervasi Kelenjar dan Kulit Payudara
Payudara diinervasi oleh cabang kutaneus lateral dan anterior dari syaraf
interkostal kedua hingga keenam. Cabang kutaneus lateral menembus otot
interkostal dan fascia profunda dari garis mid aksila dan berjalan melalui lintasan
inferomedial. Cabang kutaneus lateral kedua berhenti pada ekor aksila dari
payudara. Cabang ketiga hingga keenam berlanjut ke permukaan serratus anterior
sepanjang 3-5 cm. Pada batas otot pektoralis mereka terpecah menjadi cabang
superfisial dan profunda. Cabang progunda berjalan di bawah atau dalam fascia
pektoralis ke garis mid klavikula, dimana syaraf tersebut berputar hampir 90o untuk
berjalan menuju kelenjar, memberikan beberapa cabang. Cabang superfisial
berjalan melalui jaringan subkutan dan berhenti pada kulit dan lateral payudara
(Hamdi et al, 2005).
Cabang kutaneus anterior menginervasi bagian medial dari payudara. Setelah
menembus fascia pada garis parasternal mereka terbagi menjadi cabang lateral
dan medial. Sementara cabang medial melintasi batas lateral dari sternum, cabang
lateral terbagi lagi menjadi beberapa cabang yang lebih kecil, yang mengambil
lintasan inferolateral melalui jaringan subkutan. Mereka secara progresif menjadi
lebih superfisial sepanjang perjalanan mereka dan diterminasi pada kulit payudara
atau tepi areolar. Syaraf supraklavikular diterminasi di kulit bagian superior dari
payudara (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).
b. Inervasi dari Puting dan Areola
Inervasi dari puting dan areola sering kali bervariasi dalam hal perjalanan dan
distribusi persyarafan, yang menjelaskan hasil temuan yang kontroversial dari
penelitian sebelumnya. Puting dan areola selalu diinervasi baik oleh cabang
kutaneus anterior dan lateral dari syaraf interkostal ketiga, keempat, atau kelima.
Namun jumlah distribusi, dan ukuran dari syaraf ini bervariasi: semakin banyak
syarafnya, semakin kecil diameternya (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani,
2006).
Gambar 2.3 Gambaran skematik saraf cabang kutaneus anterior dan lateral
10
payudara. Tambahan sumber minor dari suplai arteri ke payudara meliputi cabang dari
arteri aksila, arteri torakik, arteri subskapular, dan cabang pektoral dari arteri
torakoakromial (Hamdi et al, 2005; Macea dan Fregnani, 2006).
Perkembangan Payudara
Kelenjar mammae manusia adalah satu-satunya organ yang tidak mengandung
semua jaringan rudimenter saat lahir. Organ ini mengalami perubahan dramatis pada
ukuran, bentuk, dan fungsi dari lahir hingga menarke, kehamilan, dan laktasi, dan
terutama selama involusi. Tiga fase utama dari pertumbuhan dan perkembangan
sebelum kehamilan dan laktasi terjadi in utero, selama 2 tahun pertama kehidupan,
dan pada pubertas (Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2012)
11
12
13
14
memiliki bobot sekitar 200g. Selama kehamilan, ukuran dan beratnya meningkat
sekitar 400 hingga 600 g, dan 600 hingga 800 g saat laktasi. Proyeksi dari jaringan
mammae ke aksila dikenal sebagai ekor Spence dan berhubungan dengan sistem
duktus sentral. Payudara biasanya berbentuk kubah atau konikal, menjadi lebih
hemisferik pada saat dewasa dan seperti pendulum pada ibu yang sudah tua (Newton,
2012).
2.3
Fisiologi Laktasi
2.3.1
Laktogenesis
Laktasi merupakan tahap akhir dari siklus reproduktif. Bayi manusia adalah
yang paling immatur dan sangat bergantung dari semua mammalia kecuali
marsupialami, dan maka dari itu payudara memberikan nutrisi yang secara fisiologis
paling cocok yang dibutuhkan oleh bayi manusia setelah lahir. Selama kehamilan,
payudara berkembang dan dipersiapkan untuk mengambil alih peran pemberian nutrisi
secara total ketika plasenta dilahirkan. Payudara dipersiapkan untuk laktasi penuh
setelah 16 minggu gestasi. Adaptasi fisiologis dari kelenjar mammae terhadap
perannya dalam keberlangsungan hidup bayi merupakan proses kompleks (Lawrence
dan Lawrence, 2014; Newton, 2012).
Kontrol hormonal dari laktasi dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan lima
perubahan
mayor
dalam
perkembangan
kelenjar
mammae:
embriogenesis,
15
16
Signifikansi konsentrasi sodium yang tinggi pada air susu masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Telah diamati bahwa kadar sodium yang tinggi pada sampel air
susu awal sejalan dengan kehamilan, mastitis, infolusi (penyapihan), kelahiran
prematur,
dan
inhibisi
sekresi
prolaktin
oleh
bromokriptin.
Pengamatan
ini
17
melahirkan.
mengurangi
perdarahan, dan mempercepat involusi postpartum. Uterus dari ibu yang menyusui
kembali ke keadaan pra hamil lebih cepat. Kram uterus saat menyusui adalah akibat
dari stimulus ini (Lawrence dan Lawrence, 2014).
18
karena
proses
ini
mengganggu
dengan
pelepasan
oksitosin.
Kadar
adenokortikotropin dan kortisol plasma menurun pada wanita yang sedang laktasi
dibandingkan dengan wanita non laktasi sebagai respon terhadap stres (Newton,
2012)
Prolaktin merupakan pusat dari produksi susu dan meregulasi tingkat sintesis.
Pelepasannya bergantung pada hisapan bayi atau stimulasi puting dengan pompa
mekanis
atau
ekspresi
manual.
Prolaktin
juga
dilepaskan
melalui
refleks
neuroendokrin. Tidak seperti oksitosin, prolaktin tidak dikeluarkan sebagai akibat dari
rangsang suara, visual, atau bau dari bayi, namun hanya dengan menghisap
(Lawrence dan Lawrence, 2014).
19
BAB III
Inversi Puting
Gambar 3.1 Kelainan kongenital umum dari payudara dan dinding dada
3.1.1 Inversi Puting
Inversi puting merupakan kelainan yang tampak pada 2% dari populasi
umum. Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Sir Ashley Cooper pada tahun
20
1840. Penjelasan lebih lanjut dari inversi puting akan dibahas pada subbab
berikutnya (Kulkarni dan Dixon, 2011).
3.1.2 Polythelia
Polythelia atau dikenal sebagai accessory nipple tampak pada 1-5% dari
populasi umum dengan insidensi yang sama pada pria dan wanita. Puting
tambahan ini terbentuk di sepanjang garis susu; lebih dari 90% tampak pada regio
inframammae. Puting ini dapat terbentuk unilateral atau bilateral dan terbentuk
cukup sempurna bersama dengan areola yang mengelilinginya. Terdapat
beberapa bukti bahwa polythelia berhubungan dengan faktor familial dan dengan
kelainan urologis (ektodermal). Kebanyakan kasus ini tidak memerlukan
pengobatan kecuali puting tambahan ini menyebabkan iritasi atau untuk alasan
kosmetik (Kulkarni dan Dixon, 2011; Shermak, 2010).
21
Polymastia
Polymastia yang dikenal juga sebagai jaringan payudara tambahan atau
supernumerary breast tampak di sekitar 1-2% dari populasi umum, namun pada
laporan ditemukan kejadiannya lebih tinggi yaitu 6%. Kelainan ini biasa
terdiagnosa pada saat pubertas atau selama kehamilan ketika jaringan payudara
tambahan berkembang bersama payudara normal. Biasanya kelainan ini
asimtomatis namun dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan beberapa tidak
bagus
secara
kosmetik.
Berdasarkan
penelitian
yang
ada
sebelumnya,
22
3.1.5
pada salah satu payudara. Ini dapat terjadi karena adanya isolasi atau kaitan
dengan kecacatan pada salah satu atau kedua otot pektoral. Beberapa tingkat
asimetri dari payudara adalah umum, namun pada hipoplasia tingkat asimetri yang
terjadi lebih parah. Kelainan ini memiliki berbagai pilihan pengobatan termasuk
augmentasi payudara yang lebih kecil, reduksi dan mastopeksi dari payudara yang
lebih besar, atau kombinasi dari keduanya. Usia terbaik untuk rekonstruksi ini
adalah ketika payudara telah berkembang sempurna, biasanya pada usia 17
hingga 18 tahun (Kulkarni dan Dixon, 2011; Shermak, 2010).
Amastia
Amastia merupakan tidak adanya jaringan payudara dan kompleks puting
areola, dimana tidak adanya jaringan payudara saja disebut amasia. Pada
amastia, mammary ridge hilang sepenuhnya atau gagal berkembang. Seringkali
terdapat bukti kecacatan ektodermal seperti bibir sumbing, otot pektoralis terisolasi
dan kelainan ekstremitas atas, kelainan urologis, dan bahkan sindroma Poland.
Kelainan familial dari amastia telah dilaporkan sebagai autosom dominan. Terapi
23
Payudara tubular
Payudara tubular ditandai dengan fisiologi normal dari jaringan payudara,
namun secara anatomis mengalami kelainan. Kelainan ini dapat terjadi unilateral
atau bilateral. Tanda klasik dari kelainan kongenital ini adalah beberapa atau
seluruh dari: kurangnya jaringan payudara, hipoplasia dan asimetri dari payudara,
payudara konikal, herniasi kompleks puting areola, areola yang besar dan
konstriksi
dasar
payudara.
Pengobatan
standar
adalah
koreksi
dengan
24
Sindroma Poland
Sindroma Poland merupakan hipoplasia dinding dada unilateral dengan
kelainan ekstremitas atas ipsilateral. Sindroma ini terdiri dari beberapa atau semua
dari hal berikut: aplasia atau hipoplasia dari payudara; tidak adanya pektoralis
mayor atau minor, tidak adanya puting, tidak adanya otot-otot di sampingnya dan
terkadang hingga tidak adanya kartilago kosta, kelainan tulang rusuk, dan
deformitas ekstremitas atas (misal, sindaktili, mikromelia, atau brakidaktili).
Kelainan ini tiga kali lebih sering pada pria. Tujuan pengobatan kelainan ini adalah
untuk mencapai payudara yang simetris melalui prosedur pembedahan (Kulkarni
dan Dixon, 2011).
25
26
lumen. Duktus ini membuka ke arah depresi dangkal dari epidermal yang dikenal
sebagai mammary pit. Cekungan ini menjadi terelevasi sebagai hasil dari proliferasi
mesenkimal yang membentuk puting dan areola. Inversi puting adalah kegagalan dari
elevasi cekungan ini. (Karacaoglu, 2012; Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton,
2012)
Inversi puting kongenital dapat diklasifikasikan secara klinis ke dalam tiga
kelompok (Karacaoglu, 2012):
1. Puting grade I dapat dengan mudah ditarik keluar secara manual dan
menjaga proyeksinya dengan baik tanpa traksi. Puting keluar dengan palpasi
ringan di sekitar areola. Jaringan lunak intak pada bentuk ini dan duktus
laktiferus normal.
2. Puting grade II juga dapat keluar dengan palpasi namun tidak semudah pada
grade I. Puting cenderung teretraksi. Puting memiliki fibrosis sedang dan
duktus laktiferus secara ringan teretraksi namun tidak memerlukan
pemotongan untuk melepaskan fibrosis. Puting ini telah terbukti memiliki
stromata kolagen yang kaya dengan sekumpulan otot polos.
3. Puting grade III merupakan bentuk yang parah dimana inversi dan retraksi
signifikan. Mengeluarkan puting secara manual cukup sulit. Jahitan traksi
diperlukan untuk mempertahankan puting untuk menonjol. Fibrosis di bawah
puting berpengaruh signifikan dan jaringan lunak tidak mencukupi. Pada
pemeriksaan histologis, duktus terminal laktiferus dan unit lobuler menjadi
atropi dan digantikan dengan fibrosis berat.
Inversi puting unilateral atau bilateral dapat menunjukkan variasi normal.
Penting untuk menegakkan bahwa inversi sudah ada sejak lahir atau tidak
berubah selama bertahun-tahun. Inversi puting akibat kongenital adalah tipe yang
27
28
puting akan menonjol keluar. Perlekatan yang berat termanifestasi sebagai inversi
puting. Bentuk yang paling berat ini terjadi kurang dari 1% dari wanita.
(Karacaoglu, 2012).
29
empat kali setiap hari. Ibu secara lembut menarik dan menggulirkan puting keluar
dengan jari-jari dan ibujarinya hingga ia merasa terenggang. Rotasikan jari-jari dan
ibu jari di sekitar puting dan kemudian diulang kembali (Lawrence dan Lawrence,
2014; Newton, 2011).
Teknik Hoffman dapat dilakukan dengan meletakkan kedua ibu jari pada
dasar puting dan dengan lembut dilakukan gerakan menjauhkan kedua ibu jari
satu sama lain. Latihan menggunakan teknik Hoffman ini dilakukan tiga hingga
empat kali sehari untuk memisahkan adhesi yang mungkin menyebabkan retraksi
atau inversi dari puting. Latihan ini dilakukan dengan arah gerakan kedua ibu jari
secara horizontal dan kemudian dilanjutkan dengan arah gerakan vertikal
(Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2011; Alexander et al, 1992).
30
penggunaannya semakin lama hingga satu hari penuh. Cup (shell) payudara harus
dilepas saat tidur untuk mencegah terjadinya blokade saluran air susu. Dengan
penekanan lembut dari cup (shell) payudara, puting dan areola akan menonjol ke
bagian tengah dari shell. Pada cup (shell) payudara terdapat lubang udara yang
sebaiknya diposisikan di atas sehingga mencegah kebocoran air susu ke baju
(Lawrence dan Lawrence, 2014, Alexander et al, 1992).
31
Gambar 3.12 Niplette (kiri) dan alat sederhana menggunakan spuit (kanan)
Terdapat pula berbagai macam prosedur yang telah dijelaskan untuk
koreksi pembedahan, akan tetapi terjadinya hiposensitisasi dan kehilangan
kemampuan
untuk
menyusui
merupakan
masalah
utama
dari
prosedur
pembedahan ini. Kebanyakan prosedur melibatkan insisi kecil areolar atau insisi
pada dasar puting. Jaringan ikat yang menempel akan terenggangkan namun
seringkali diperlukan pembelahan dari duktus (Karacaoglu, 2012; Kulkarni dan
Dixon, 2011)
32
BAB IV
KESIMPULAN
33
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
34
Macea, Jose Rafael; Fregnani, Jose Humberto Tavares Guerreiro. 2006. Anatomy of
the Thoracic Wall, Axilla and Breast. Int. J. Morphol., 24(4): halaman 691-704
Newton, Edward R. 2012. Lactation and Breastfeeding. Obstetrics: Normal and
Problem Pregnancies 6th ed. Elsevier.
Priebe, Jan; Howell, Fiona; Bue, Maria Carmela Lo. 2014. Examining the Role of
Modernisation and Health-Care Demand in Shaping Optimal Breastfeeding
Practices: Evidence on Exclusive Breastfeeding from Eastern Indonesia.
TNP2K: Jakarta
Sanuki, Jun-ichi; Fukuma, Eisuke; Uchida, Yoshihiro. 2009. Morphologic Study of
Nipple-Areola Complex in 600 Breasts. Aesth Plast Surg Vol 33: halaman 295297
Shermak, Michele A. 2010. Congenital and Developmental Abnormalities of the
Breast. Management of Breast Disease. New York: Springer
Vari, Patty Ryan Maloney. 2007. Community breastfeeding attitudes and beliefs.
Dakota Utara: University of North Dakota
Vazirinejad, Reza; Darakhshan, Shokoofeh; Esmaeili, Abbas; Hadadian, Shiva. 2009.
The effect of maternal breast variations on neonatal weight gain in the first
seven days of life. International Breastfeeding Journal Vol 4 (13).
35