21100113140083
PERKEMBANGAN TEORI TEKTONIK BUMI
1. Teori Geosyncline (Geosinklin)
Teori geosinklin menyatakan bahwa suatu daerah sempit pada kerak bumi mengalami depresi
selama beberapa waktu sehingga terendapkan secara ekstrem sedimen yang tebal. Proses
pengendapan ini menyebabkan subsidence (penurunan) pada dasar cekungan. Endapan sedimen yang
tebal dianggap sebagai asal dari pegunungan lipatan dan selama proses ini endapan sedimen yang
telah terbentuk akan mengalami metamorfosa.
Batuan yang terdeformasi di dalamnya dijelaskan sebagai akibat menyempitnya cekungan
karena terus menurunnya cekungan, sehingga batuan terlipat dan tersesarkan. Pergerakan yang terjadi
adalah pergerakan vertikal akibat gaya isostasi.
Teori ini mempunyai kelemahan tidak mampu menjelaskan asal usul aktivitas vulkanik dengan
baik dan logis. Keteraturan aktivitas vulkanik sangatlah tidak bisa dijelaskan dengan teori geosinklin.
Pada intinya, golongan ilmuwan menganggap bahwa gaya yang bekerja pada bumi merupakan
gaya vertikal. Artinya, semua deformasi yang terjadi diakibatkan oleh gaya utama yang berarah tegak
lurus dengan bidang yang terdeformasi.
yang dinamakan Pangea (semua daratan), yang dikelilingi Panthalassa (semua lautan). Pangea ini
mulai berpisah menjadi dua kontinen yang relatif lebih kecil, yaitu Laurasia (belahan bumi utara) dan
Gondwana (belahan bumi selatan), pada periode Yura, hingga pada akhir Kapur, dua kontinen ini
memisahkan diri kembali menjadi daratan-daratan yang terlihat seperti kontinen pada saat sekarang.
Di sebuah buku yang berjudul The Origin of the Continent and Ocean (1912), Wegener
memberikan bukti-bukti untuk membenarkan teori apungan benua tersebut, beberapa diantaranya
ditemukannya bentuk fosil tumbuhan dan hewan yang memiliki umur yang sama ditemukan di sekitar
pantai kontinen yang berbeda, menandakan bahwa kontinen tersebut pernah bersatu. Misalnya, fosil
buaya air tawar ditemukan di Brazil dan Afrika selatan juga fosil reptil air Lystrosaurus juga
ditemukan pada batuan berumur sama dari berbagai lokasi di Amerika Selatan, Afrika, dan Antartika.
Menurut teori Lempeng Tektonik, lapisan terluar bumi kita terbuat dari suatu lempengan tipis dan
keras yang masing-masing saling bergerak relatif terhadap yang lain. Gerakan ini terjadi secara terusmenerus sejak bumi ini tercipta hingga sekarang. Teori Lempeng Tektonik muncul sejak tahun 1960an, dan hingga kini teori ini telah berhasil menjelaskan berbagai peristiwa geologis, seperti gempa
bumi, tsunami, dan meletusnya gunung berapi, juga tentang bagaimana terbentuknya gunung, benua,
dan samudra. Lempeng tektonik terbentuk oleh kerak benua (continental crust) ataupun kerak
samudra (oceanic crust), dan lapisan batuan teratas dari mantel bumi (earths mantle). Kerak benua
dan kerak samudra, beserta lapisan teratas mantel ini dinamakan litosfer.
Kepadatan material pada kerak samudra lebih tinggi dibanding kepadatan pada kerak benua.
Demikian pula, elemen-elemen zat pada kerak samudra (mafik) lebih berat dibanding elemen-elemen
pada kerak benua (felsik). Di bawah litosfer terdapat lapisan batuan cair yang dinamakan astenosfer.
Karena suhu dan tekanan di lapisan astenosfer ini sangat tinggi, batu-batuan di lapisan ini bergerak
mengalir seperti cairan (fluid). Litosfer terpecah ke dalam beberapa lempeng tektonik yang saling
bersinggungan satu dengan lainnya.
Referensi
Kurniawan A., 2012, Perkembangan-perkembangan Teori Geotektonik, Sribd.com
Tomecek S., 2009, Science Foundation : Plate Tectonics, New York : Chelsea House Publisher
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_geosinklin (diakses pada hari Senin 14 September 2015 pukul
21:16)
https://syaifulmangantjo.wordpress.com/2011/11/04/teosri-geosinklin-continental-drift-sea-floorspreading-dan-tektonik-lempeng/ (diakses pada hari Senin 14 September 2015 pukul 21:16)