Buku Ajar Orto II TH 2008
Buku Ajar Orto II TH 2008
ORTODONSIA II
KGO II
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas karunia-Nya sehingga penulisan
bahan ajar Ortodonsia II ini dapat selesai.
Terdorong pada keinginan penulis untuk memberikan panduan terhadap
mahasiswa Kedokteran Gigi yang mempunyai perhatian pada Ortodonsia, maka
penulis menyempatkan diri untuk menulis bahan ajar Ortodonsia II. Ortodonsia II
itu sendiri adalah cabang dari ilmu Kedokteran Gigi yang mempelajari tentang
prosedur perawatan ortodontik dengan alat lepasan, meliputi cara pemeriksaan,
metode analisis pada model studi dan radiologi, serta memahami biomekanika
pergerakan gigi secara Ortodontik sehingga dapat menetapkan diagnosis, serta
menjelaskan etiologi maloklusi yang ada.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas terselesaikannya penulisan buku ajar ini kepada :
1. Rektor dan Wakil Rektor I Universitas Gadjah Mada
2. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada
3. Kepala Bagian Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah
Mada
4. Dosen pengampu mata kuliah Ortodonsia II
Penulis menyadari buku ajar ini belum sempurna maka diperlukan kritik
dan saran guna penyempurnaan buku ajar ini.
Yogyakarta, 10 Februari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar......................................................................................................
Tinjauan Mata Kuliah ................................................................................
1
2
Daftar Isi.....................................................................................................................
3
I.
a. Pendahuluan.........................................................................................................
4
b. Penyajian..............................................................................................................
6
II. Etiologi Maloklusi ..........................................................................................21
a. Pendahuluan.........................................................................................................
21
b. Penyajian..............................................................................................................
21
III. Rencana Perawatan ............................................................................................
26
a. Pendahuluan.........................................................................................................
26
b. Penyajian..............................................................................................................
26
IV. Rumusan perawatan............................................................................................
34
a. Pendahuluan.........................................................................................................
34
b. Penyajian..............................................................................................................
34
V. Biomekanika
...........................................................................................36
a. Pendahuluan.........................................................................................................
36
b. Penyajian..................................................................................................
36
Daftar Pustaka............................................................................................................
47
I.
DIAGNOSIS ORTODONTIK
a. PENDAHULUAN
PENGERTIAN DIAGNOSIS
Diagnosis berasal dari bahasa Yunani : Dia berarti melalui
Gnosis berarti Ilmu pengetahuan
Jadi diagnosis berarti : penetapan suatu keadaan yang menyimpang dari keadaan
normal melalui dasar pemikiran dan pertimbangan ilmu pengetahuan. Setiap
penyimpangan dari keadaan normal ini dikatakan sebagai suatu keadaan abnormal
atau anomali atau kelainan.
Misalnya : Orang tua yang mempunyai dagu maju atau prognatik dengan
maloklusi Klas III Angle tipe skeletal (oleh karena faktor keturunan)
cenderung akan mempunyai anak-anak prognatik dengan ciri-ciri yang khas
atau dengan kemiripan yang sangat tinggi dengan keadaan orang tuanya.
2. Diagnosis Sefalometrik (Cephalometric diagnosis)
Yaitu diagnosis mengenai oklusi gigi-geligi yang ditetapkan berdasarkan atas
data-data pemeriksaan dan pengukuran pada sefalogram (Rontgen kepala),
misalnya : maloklusi klas II Angle tipe skeletal ditandai oleh relasi gigi molar
pertama atas dan bawah klas II (distoklusi) yang disebabkan oleh karena
posisi rahang atas lebih ke anterior atau rahang bawah lebih ke posterior
dalam hubungannya terhadap basis kranium. Pada sefalogram dengan analisis
sefalometrik Steiner (1953) hasil pengukuran sudut ANB > 2 (standar normal
2)
Titik A.
maksila
Titik N/Na.
Titik B
mandibularis
3. Diagnosis Gigi geligi (Dental diagnosis ):
Diagnosis yang ditetapkan berdasarkan atas hubungan gigi-geligi hasil
pemeriksaan secara klinis atau intra oral atau pemeriksaan pada model studi.
Dengan mengamati posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya kita akan
dapat menetapkan malposisi gigi yang ada yaitu setiap gigi yang menyimpang
atau keluar dari lengkung normalnya.
Misalnya : - Mesioversi 3 !
- Supraversi 4 !
- Palatoversi ! 5
- Torsiversi 1 ! 1
- Mesioaksiversi 6 !
- Dan lain-lain.
Relasi gigi molar pertama : Klas I, II, III Angle (kanan / kiri)
. 3!
!1.
43 !
- Cross bite:
!4.
!.5
!.8
!7 .
b. PENYAJIAN
DASAR PENETAPAN DIAGNOSIS :
Dignosis ditetapkan berdasarkan atas pertimbangan data hasil pemeriksaan
secara sistematis, Data diagnostik yang paling utama harus dipunyai untuk dapat
menetapkan diagnosis adalah data pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan
subyektif dan obyektif serta data pemeriksaan dan pengukuran pada model studi,
sedangkan Graber (1972) mengelompokkan menjadi :
1. Kriteria Dignostik Esensial (Essential Diagnostic Criteria)
a. Anamnesis dan Riwayat kasus (case history)
b. Pemeriksaan atau Analisis klinis :
Umum atau general : Jasmani, Mental
Khusus atau lokal : Intra oral, Extra oral
c.
meliputi :
Tipe profil
Bentuk muka
Bentuk kepala
e. Analisis Foto Rontgen (Radiographic Analysis):
Foto periapikal
Panoramik
Bite wing
Dan lain-lain
Bila dianggap perlu bisa dilengkapi dengan data hasil pemeriksaan tambahan yang
disebut sebagai :
2. Kriteria Diganostik Tambahan (Supplement Diagnostic Criteria)
dengan melakukan
Ektra oral : Bentuk muka, bentuk kepala, keadaan bibir, tinggi muka, posisi
dan hubungan rahang .
Intra oral :
-
10
11
Contoh :
1. Maloklusi Angle klas I dengan protrusif bimaksiler tipe skeletal, disertai
dengan malrelasi
openbite
: !3.
12
! 34
palatalbite (overbite 8 mm)
crossbite : ! . 5
!4.
overjet berlebihan (6 mm),
dan malposisi gigi individual :
infraversi
: !.3
linguoversi : ! . 4
rotasi (torsiversi) 7 ! ,
median line gigi tidak simetris : rahang atas bergeser ke kanan 2 mm dan rahang
bawah normal.
2. Maloklusi Angle klas I tipe dental, disertai dengan malrelasi :
Overjet besar (4,5 mm)
Deep overbite (7 mm)
Scissorbite :
4. !
45!
1 ! 1 ,
linguoversi :
.3 ! .4
infraversi :
2!
8 ! 8
gigi 5 ! telah dicabut karena karies, median line gigi tidak segaris. atas bergeser
ke kanan (3 mm) dan bawah normal.
13
: ! 4 . ,
!45
: 1 ! 1
mesiolabioversi :
3!
supraversi
: !3
mesioversi
: 6!
rotasi
:1 ! 1, 7!
supraversi
:5!,
median line gigi rahang bawah bergeser ke kanan 1 mm , gigi 4! telah dicabut
karena caries.
4. Maloklusi Angle klas III tipe dentoskeletal, dengan malrelasi :
crossbite gigi anterior : 321 ! 123
321 ! 123
malposisi gigi individual :
mesioversi dan rotasi : 4 !
mesioversi
labioversi
: 5!, !4 , !5 ,
321 ! 123
: 6!
14
6!
malposisi gigi individual :
linguoversi
2!2
palatoversi 6 1
infraversi
3!
labioversi 1 ! 1
gigi 3 belum erupsi, prolonged retensi gigi V ! V , sisa akar gigi desidui IV ! V,
persitensi gigi 54 ! 45 dan gigi 2 ! 2 berbentuk kerucut (peg shape)
54 ! 45
Dari contoh-contoh tersebut di atas di dalam merumuskan diagnosis itu
secara sistematis ada beberapa tahapan yang harus diingat dan dicarikan datanya
dari hasil pemeriksaan terdahulu :
1. Nyatakan Maloklusi Angle klas :..(lihat relasi gigi molar pertama atas
dan bawah) :
Klas I, II atau klas III
Divisi 1, 2
Sub divisi
Tipe dental, skeletal atau dentoskeletal (dengan melihat analisis profil
Simon)
2. Nyatakan kelaian relasi / malrelasi gigi lainnya yang ada pada data hasil
pemeriksaan
openbite
shalowbite
15
deepbite
palatalbite
supraklusi
infraklusi
3.
Scissor bite
Nyatakan kelainan atau anomali posisi atau malposisi gigi individual yang
ada :
distoversi
mesioveri
supraversi
infraversi
transversi
aksiversi
mesiolabioversi (kombinasi)
Diastemata
16
Dan lain-lain.
17
Gambar 1 : Posisi maksila dan mandibula terhadap bidang orbital (Dalil Simon)
18
profil pasien
bimaksiler retrognatism.
Penentuan posisi garis Simon (bidang orbital) bisa salah bila pengamatan
profil pasien dari samping tidak tepat tegak lurus terhadap bidang sagital
pasien.
Penentuan diagnosis bisa salah apabila posisi gigi kaninus atas malposisi,
bila gigi kaninus malposisi posisi normalnya nanti bisa ditetapkan pada
19
pembuatan lengkung ideal yaitu pada posisi garis Simon yang telah
ditandai pada model seperti yang dilakukan di atas.
d. Analisis foto profil :
Dengan memakai garis tegak lurus bidang FHP melalui titik Glabela (G)
sebagai referensi, posisi maksila (titik Subnasale atau Sn) dan mandibula
(titik Pogonion atau Pog) ditetapkan terhadap garis referensi G FHP:
Maksila normal : titik Sn berjarak 6 + 3 mm, protrusif >9 mm, retrusif < 3
mm
Mandibula normal : titik Pog.berjarak 0 + 4 mm, proturusif > 4 mm,
retrusif < 0 mm atau negatif.
e. Analisis Sefalometrik :
Analisis Simon : dengan menarik garis tegak lurus FHP melalui titik
orbital (Or) sampai memotong permukaan labial gigi kaninus atas pada
sefalogram lateral (dalil Simon), kemudian posisi maksila dan madibula
dapat ditentukan seperti tersebut di atas.
Analisis kecembungan profil Subtelny :
Profill skeletal (sudut N-A-Pog) : Klas I : 174 , Klas II 178 , Klas III :
181
Profil jaringan Lunak (sudut N-Sn-pog) : Klas I : 159 , Klas II 163 ,
Klas III : 168
Profil total jaringan lunak (sudut N-No-pog) : Klas I : 133 , Klas II
133 , Klas III : 139
(N/n= Nasion, A= Subspinale, Sn = subnasale, No = puncak hidung, Pog =
Pogonion)
Analisis Steiner dengan mengukur besar :
Sudut SNA (normal 82) , >82 maksila protrusif , < 82 maksila
retrusif
Sudut SNB (normal 80) , > 80 mandibula protrusif, < 80 mandibula
retrusif
20
Sudut ANB, bila titik A di depan titik B (normal rata-rata 2): klas I
skeletal atau ortognatik, bila titk A jauh didepan titik B (>>2 atau
positif) : klas II skeletal atau retrognatik, bila titik A jauh di belakang
titik B (<<2 atau negatif ) : klas III skeletal atau prognatik
f. Dan lain-lain.
Dengan cara tersebut di atas posisi rahang bawah dan rahang atas dalam
hubungannya terhadap bidang referensi untuk menentukan tipe skeletalnya dapat
ditetapkan :
Apakah termasuk relasi skeletal klas I (Ortognatik), Klas II (Retrognatik) atau
klas III (Prognatik).
a. Pada Relasi skeletal klas I (Ortognatik) :
Posisi maksila dan mandibula normal
Jika posisi gigi terhadap masing-masing rahangnya semua normal (teratur
rapi) maka relasi gigi molar pertama atas dan bawah klas I Angle
(neutroklusi) dan relasi gigi-gigi lainnya terhadap antagonisnya normal
maka kasus ini didiagnosis sebagai : Oklusi normal.
Jika relasi gigi molar pertama klas I (neutroklusi) tetapi ada gigi lainnya
yang malposisi atau malrelasi maka kasus ini didiagnosis sebagai
maloklusi klas I Angle tipe dental.
Jika relasi gigi molar pertama distoklusi baik disertai maupun tanpa
disertai malposisi dan malrelasi gigi lainnya maka kasus ini didiagnosis
sebagai maloklusi klas II Angle tipe dental.
Jika maloklusi klas II Angle ini disertai dengan protrusif gigi anterior atas
didiagnosis sebagai maloklusi klas I Angle divisi 1 tipe dental , dan jika
disertai dengan retrusif gigi anterior atas, didiagnosis sebagai maloklusi
klas II Angle divisi 2 tipe dental
21
Jika relasi gigi molar pertama mesioklusi baik disertai maupun tanpa
disertai cross bite gigi anterior atau malposisi dan malrelasi gigi lainnya
maka kasus ini didiagnosis sebagai maloklusi klas III Angle tipe dental.
Jika relasi molar klas II atau klas III ini hanya satu sisi (unilateral) maka
klasifikasi maloklusi dilengkapi dengan subdivisi
b. Pada Relasi skeletal klas I I (Retrognatik) :
Posisi maksila lebih ke depan (protrusif) dan atau posisi mandibula lebih
ke belakang dari posisi normal (retrusif).
Jika posisi gigi-gigi terhadap masing-masing rahangnya normal maka
relasi gigi-gigi bawah terhadap gigi-gigi atas distoklusi karena gigi-gigi
tersebut terletak pada rahang yang hubungannya retrognatik, hubungan
gigi molar pertama atas terhadap gigi molar pertama bawah klas II, maka
kasus ini didiagnosis sebagai : maloklusi klas II Angle tipe skeletal.
Jika relasi klas II ini diikuti dengan malposisi gigi anterior berupa protrusif
gigi anterior atas maka kasus ini didiagnosis sebagai : maloklousi klas II
Angle divisi 1, dan jika gigi-gigi anterior atas dalam keadaan retrusif
maka kasus ini adalah : maloklusi klas II Angle divisi 2.
Jika posisi gigi molar pertama atas dan atau bawah tidak normal terhadap
masing-masing rahangnya maka ada beberapa kemungkinan relasi gigi
molar:
Jika gigi molar pertama atas distoversi dan atau gigi molar pertama bawah
mesioversi, dapat mengkompensasi deskrepansi hubungan rahang yang
retrognatik maka relasi molar pertama menjadi neutroklusi, maka kasus ini
diagnosis sebagai : maloklusi Angle klas I tipe dentoskletal. Jika malposisi
gigi molar tersebut tidak dapat mengkompensasi diskrepansi hubungan
rahannya maka relasi gigi molar tetap distoklusi maka kasus ini
didiagnosis sebagai: maloklusi klas II Angle tipe dento skeletal.
Jika malposisi gigi molar pertama atas mesioversi dan atau gigi molar
pertama bawah distoversi maka hubungan gigi molar pertama atas dan
22
Jika
malposisi
gigi
molar
tersebut
tidak
dapat
23
Pemeriksaan klinis
KLASIFIKASI/DIAGNOSIS
SEMENTARA
Data Diagnostik Tambahan:
Analisis Fotometri
Analisis Ro. Foto
Analisis Sefalometri
Konsul ke Bedah Mulut
Konsul ke Periodontologi
Konsul ke Konservasi
Konsul ke THT
Konsul Ke Kardiologi
Pemerilsaan Laboratoris
10. Dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Rencana Perawatan
Perawatan
Evaluasi Hasil
Perawatan Selanjutnya
Modifikasi Rencana Perawatan
Hasil akhir
24
1. Perbedaan antara ukuran gigi-gigi dan ukuran rahang yang menampung gigi
tersebut.
2. Pola tulang muka yang tidak selaras.
Untuk mempermudah mengetahui etiologi dari maloklusi dibuat klasifikasi dari
penyebab kelainan maloklusi tersebut. Terdapat dua pembagian pokok klasifikasi
maloklusi
25
orang tuanya atau generasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah ciri-ciri khusus
26
suatu ras atau bangsa misalnya bentuk kepala atau profil muka sangat dipengaruhi
oleh ras atau suku induk dari individu tersebut yang diturunkan dari kedua orang
tuanya. Bangsa yang merupakan prcampuran dari bermacam-macam ras atau suku
akan dijumpai banyak maloklusi
b.
Kelainan bawaan
Kelainan bawaan kebanyakan sangat erat hubungannya dengan faktor
keturunan misalnya sumbing atau cleft : bibir sumbing atau hare lip, celah
langit-langit (cleft palate).
Tortikolis : adanya kelainan dari otot-otot daerah leher sehingga tidak
dapat tegak mengkibatkan asimetri muka.
Kleidokranial disostosis
pengunyahan,
penelanan,
pernafasan
dan
bicara
akan
d.
27
bentuk dan
kedudukan bibir.
Frenulum buccinator mengakibatkan rotasi gigi.
3. Ukuran gigi-gigi
mengakibatkan
dan lebar
gigi
berjejal
bercelah.
Misalnya
rahang dapat
makrodontia,
28
Lebih banyak terjadi dari pada gigi supernumerary. Dapat terjadi pada
rahang atas maupun rahang bawah tetapi lebih sering pada rahang bawah.
Urutan kemungkinan terjadi kekurangan gigi adalah sebagai berikut :
-
29
eksisi. Kadang-kadang hilang terlalu awal (premature los) gigi sulung akan
mempercepat
erupsinya
gigi
menyebabkan terjadinya
tetap
penggantinya,
tetapi
dapat
pula
sehingga perlu
pembukaan pada waktu gigi permanen akan erupsi, sehingga gigi tetap
penggantinya dapat dicegah.
g. Kelainan jalannya erupsi gigi
Merupakan akibat lebih lanjut dari gangguan lain. Misalnya adanya pola
herediter dari gigi berjejal yang parah akibat tidak seimbangnya lebar dan
panjang lengkung rahang dengan elemen gigi yaitu adanya : persistensi atau
retensi, Supernumerary, pengerasan tulang, tekanan-tekanan mekanis :
pencabutan, habit atau tekanan ortodonsi, faktor-faktor idiopatik (tidak
diketahui)
h. Ankilosis
Ankilosis atau ankilosis sebagian sering terjadi pada umur 6 12 tahun.
Ankilosis terjadi oleh karena robeknya bagian dari membrana periodontal
sehingga lapisan tulang bersatu dengan laminadura dan cemen.
Ankilosis dapat juga disebabkan oleh karena gangguan endokrin atau penyakitpenyakit kongenital (misal : kleidokranial disostosis yang mempunyai
predisposisi terjadi ankilosis, kecelakaan atau trauma).
i. Karies gigi
Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat mengakibatkan
terjadinya pemendekan lengkung gigi sedang karies beroklusal mempengaruhi
vertikal dimensi. Adanya keries gigi pada gigi sulung mengakibatkan
berkurangnya tekanan pengunyahan yang dilanjutkan ke tulang rahang, dapat
mengakibatkan
rangsangan
pertumbuhan
rahang
berkurang
sehingga
30
a. PENDAHULUAN
Diagnosis ortodonsi dianggap lengkap bila daftar problem pasien diketahui
dan antara problem patologi dan perkembangan dipisahkan . Tujuan rencana
perawatan adalah mendisain strategi operator dengan bijaksana dan hati-hati
dalam menggunakan keputusannya yang digunakan untuk menyelesaikan problem
tersebut dengan memaksimalkan manfaat bagi pasien dan meminimalkan beaya
dan risiko.
Pathology
Problem
list =
diagnosis
(caries,
periodontal)
control before orthodontic
treatment
evaluate
Orthodontic
A A
(developmental)
B B posible
Problems
C C solutions
Priority Order
interaction
compromise
cost/ benefit
other factors
Patien
tinformed
parent
consul
consent
t
altern
effectiveness
atif
plans
patien
Tx plan
concep
t
efficiency
Tx
plan
detail
b. PENYAJIAN
RANGKAIAN DARI TAHAP RENCANA PERAWATAN ORTODONTIK
Hasil diagnosis disusun dalam
Meskipun ada beberapa problem patologi yang tercatat, tetapi jika 5 karakteristik
31
dari maloklusi digunakan di dalam struktur daftar problem, maka akan didapat
maksimum 5 problem besar dari perkembangan , meskipun rata-rata pasien tidak
mempunyai sebanyak itu. Jika daftar problem tentang perkembangan dijumpai
dihubungkan dengan maloklusi seharusnya dibuat skema klasifikasinya untuk
mempermudah proses rencana perawatan. Mempunyai problem yang banyak pada
daftar problem akan membingungkan.
Langkah pertama dalam merencanakan perawatan ortodontik adalah
memisahkan problem patologi dari problem ortodontik (perkembangan), maka
proses rencana perawatan dapat diatur sebagai berikut.
1. problem ortodontik dijadikan prioritas
2. catat kemungkinan perawatan dengan lengkap
3. evaluasi kemungkinan solusinya, pertimbangkan factor-faktor
yang berpengaruh
4. jelaskan konsep rencana perawatan dengan pasien dan
keluarganya
5. buat rencana perawatan secara detail dan tahap-tahapnya
Prinsip terpenting adalah bahwa pasien tidak harus dalam keadaan
kesehatan yang sempurna jika mendapat perawatan ortodontik. Tetapi jika ada
penyakit atau patologi yang menyertainya harus sudah dalam pengawasan.
Artinya penyakit kronik atau akut yang mungkin ada harus dihentikan. Untuk
kasus ini problem patologi harus di rawat sebelum perawatan ortodontik dimulai.
Pada rangkaian perawatan , perawatan ortodontik dilakukan sesudah mengontrol
keadaan penyakit sistemik, perawatan periodontal dan pembuatan restorasi gigi.
Contoh kasus : pasien dengan problem patologi ada inflamasi flap pada molar dua
bawah, rencana perawatannya adalah melakukan irigasi dan observasi dengan
menjaga oral hygiene . Juga adanya attached gingival yang minimal pada anterior
bawah , rencana perawatannya adalah hanya diobservasi selama tahap perawatan
ortodontik
Patologi problem:
Inflamasi flap diatas molar dua bawah ------ irigasi, observasi
Attachment gingival yang minimal pada anterior bawah ------- tidak dirawat
dulu , tetapi diobservasi
32
untuk menghindari
KEMUNGKINAN PERAWATAN
33
2.
3.
34
akhir insisivus . Pasien ini mempunyai hidung dan dagu yang maju, sehingga
estetik akan lebih baik bila insisivus lebih maju. Secara estetik akan tidak
menguntungkan bila dilakukan retraksi insisivus karena akan menyebabkan
hidung nampak besar, tetapi jika ekstraksi tetap akan dilakukan maka penutupan
ruang dilakukan dengan cara memajukan gigi posterior ke depan. Anchorage
untuk mengintrusi gigi anterior akan tidak sesuai dengan pola penutupan ruang
ini. Oleh karena itu jika intrusi insisivus merupakan pilihan yang terbaik , maka
ekspansi lengkung juga harus dipertimbangkan.
Problem ketiga adalah tendensi klas II, yang dapat diperbaiki dengan
pertumbuhan mandibula, tetapi pasien ini telah selesai masa pertumbuhannya.
Karena itu pemakaian elastik klas II yang menarik lengkung mandibula ke depan
dapat dipertimbangkan walaupun elastik ini cenderung menyebabkan ekstrusi
molar bawah dan dapat merotasi mandibula kebawah dan kedepan, karenanya
pemakaiannya harus hati-hati.
35
posisi mandibula .
Bayangkan jika pada kondisi yang sebaliknya yaitu adanya open bite,
sering kali masalahnya terjadi tidak pada pengurangan erupsi dari insisivus
tetapi akibat erupsi yang berlebihan pada gigi posterior dan terjadinya
mandibula yang rotasi kebawah dan kebelakang. Karenanya pada keadaan
ini pemakaian elastik vertical untuk mengelongasi gigi anterior bukan
merupakan solusinya. Perawatan harus ditujukan untuk depresi elongasi
gigi posterior , atau mencegahnya erupsi selagi bagian lain tumbuh. Hal ini
akan membuat mandibula rotasi ke atas bersama gigi insisivus, walaupun
jika mandibula rotasi ke atas juga akan maju ke depan dan akan menjadi
baik bila pasien mempunyai maloklusi klas II pada awalnya , tetapi akan
menjadi jelek bila pasien mempunyai maloklusi klas III
Interaksi lain yang penting adalah hubungan antara insisivus yang protrusi
dan penentuan ekstraksi dan ekspansi. Ekspansi lengkung untuk
memperbaiki gigi yang crowding dengan arah transversal akan cenderung
membuat insisivus lebih protrusif. Pada keadaan ini kemungkinan estetik
akan lebih menguntungkan, tetapi gigi-gigi yang teratur tersebut tidak
akan stabil dibandingkan jika gigi insisivus diretraksi.
2. Kompromi
36
tidak
dibandingkan jika
Sebagai
contoh
apakah
waktu
perawatan
diminimalkan
keuntungan pada stabilitas hasil yang yang lebih baik terhadap estetik fasial.
Problem lain yang sering ada , pada kasus maloklusi Klas II pada awal remaja.
Ada 2 aspek yang harus didiskusikan yaitu tentang keuntungan perawatan awal
dan menunggu sampai remaja Walaupun pada beberapa pasien pemilihan waktu
perawatan tidak akan berpengaruh terhadap hasil perawatan. Pada kasus maloklusi
yang melibatkan factor skeletal, diskusi harus dilakukan untuk merancanakan
macam perawatan , apakah memerlukan bedah orto atau tidak. Sebagai contoh
adanya fungsi rahang yang akan lebih baik dengan dilakukannya pergerakan gigi
insisivus, dibandingkan dengan fungsi dengan rahang pada posisi yang benar
padahal estetik fasial akan lebih baik jika hubungan rahang benar.
Risiko
-
perawatan ortodontik
ketidak nyamanan pada pemakaian alat
dekalsifikasi pada higieni mulut jelek
resopsi akar
degenerasi pulpa pada gigi yang trauma
gigi relaps
adanya disproporsi pertumbuhan rahang
problem tmj
penentuan waktu perawatan yang bervariasi
38
39
2. Kesehatan umum
b. PENYAJIAN
PEMERIKSAAN PADA PASIEN
1. perkembangan umum berkaitan dengan usia
2. cacat bicara
3. kondisi rongga mulut
kebersihan mulut
kondisi gingival
membran mukosa mulut
kondisi gigi - gigi
4. bentuk dan fungsi otot-otot mulut
bibir
hubungan vertical
40
hubungan horizontal
posisi waktu istirahat berkaitan dngan gigi-gigi
fungsi selama menelan dan bicara
lidah
ukuran
posisi sewaktu istirahat
fungsi selama menelan dan bicara
ringkasan efek dari otot-otot mulut terhadap oklusi dan
perawatan
5. hubungan skeletal- bentuk kranio fasial
penilaian klinis
penilaian radiology
faktor-faktor muscular
faktor skeletal
41
ukuran gigi-gigi
faktor-faktor local
V. BIOMEKANIKA ORTODONTIK
a. PENDAHULUAN
Biomekanika ortodontik mempelajari efek biologis jaringan pendukung
gigi akibat dari perawatan ortodontik secara mekanik dan beberapa macam hal
yang berhubungan dengan kekuatan mekanik.
Diantaranya adalah
42
43
1. Stimulus (rangsangan/aksi)
2. Transducer
3.
Respon (jawaban/reksi)
STIMULUS
Kekuatan
ortodontik
(energi
mekanik)
TRANSDUCE
R
Diubah menjadi
energi listrik
RESPON
Remodeling
tulang
PERGERAKAN GIGI
Bila kekuatan dikenakan pada gigi, maka akan timbul daerah yang tertekan
dan daerah yang tertarik. Daerah yang tertekan tulang diresorpsi; daerah yang
tertarik tulang akan diaposisi.
Daerah yang tertekan akan terjadi sesuai dengan arah kekuatan
yang dikenakan, kekuatan akan menekan gigi ke dinding tulang alveolus dan
membrana periodontalis akan terjepit diantara gigi dan dinding alveolus,
dalam waktu singkat akan terjadi resorpsi tulang di daerah itu. Daerah yang
berlawanan, gigi akan menjauhi dinding alveolus. Melebarnya ruang
44
Osteoclast
Ostoblast
mitochondria.
Dengan
demikian
dibutuhkan
sistem
vaskularisasi yang cukup dan sumber sel yang potensial dan dapat diaktifkan
dengan cepat.
Membrana periodontalis terletak diantara gigi dan tulang alveolus.
Tekanan yang mengenai gigi akan menjepit membrana periodontalis. Tekanan
yang kuat akan menyebabkan pembuluh darah tersumbat. Tersumbatnya
pembuluh darah akan menyebabkan tidak aktifnya komponen sel-sel dalam
45
RESORPSI
Bagaimana kekuatan yang tidak menyebabkan tersumbatnya
pembuluh darah dalam membarana periodontalis dapat merangsang resorpsi
tulang ?
Jawabanya adalah
Teori II
:
Mekanisme terjadinya resorpsi yang lain ialah melibatkan efek
46
kemunduran
jaringan
(regresi),
sel-sel
dan
serabut-serabut
47
APOSISI TULANG
Selama bergeraknya gigi, tulang baru diaposisikan di daerah tulang yang
48
bentuk tulang semacam itu berlawanan dengan perubahan yang terjadi pada
daerah yang tertekan. Perubahan ini dihubungkan dengan muatan listrik
negatif yang akan merangsang pembentukan tulang baru. Seperti pada teori
resorpsi, dasar molekulernya juga belum jelas.
Pada saat tulang terbentuk di permukaan alveolus, permukaan tulang akan
bergerak ke arah bergeraknya gigi. Serabut-serabut dalam membrana
periodontalis akan tertanam dalam tulang baru dan akan menjadi serabut
Sharpeys yang baru.
PERUBAHAN PADA SERABUT-SERABUT PERIODONTIUM
Principal fiber tertanam dalam cementum di satu sisi dan sisi lain tertanam
pada tulang alveolus dan melanjutkan diri sebagai serabut-serabut Sharpeys.
Pada saat permukaan tulang alveolus diresorpsi, maka perlekatan
(attachment) serabut-serabut tersebut akan lepas. Bagaimanakah mekanisme
melekatnya kembali (reattachment) serabut-serabut tersebut pada tulang
alveolus ?
Kraw dan Enlow mengatakan bahwa berkas-berkas serabut collagen dalam
matrix organik tulang alveolus yang diresorpsi akan menyusun diri pada arah
yang sama atau bergabung dengan principal fiber, dengan cara seperti itu
maka kesinambungannya dengan tulang akan tetap terjaga. Serabut-serabut
collagen tadi akan berlaku sebagai serabut Sharpeys yang baru. Mereka
menggambarkan
periodontium
ada
tiga
zone
yang
spesifi
pada
serabut-serabut
1. Inner zone
Tertanam dalam cementum. Zone ini terdiri dari mature collagen
bundles yang relatif stabil.
2. External zone
Tertanam dalam dinding alveolus. Zone ini dikatakan kurang stabil dan
kadang-kadang dapat mengadakan perubahan.
3. Intermediate zone
49
Zone ini sangat tidak stabil, terdiri dari immature collagen fiber, sangat
mudah mengadakan perubahan.
Bila gigi bergerak, serabut-serabut pada inner zone akan terbawa bersama
gigi, sedangkan serabut-serabut pada external zone akan lepas dari
perlekatannya pada tulang yang diresorpsi. Serabut-serabut collagen dalam
matrix tulang akan menyambungkan diri dengan serabut-serabut baru dalam
intermediate zone. Intermediate zone ini yang akan mengatur atau
memelihara kesinambungan dan ukuran panjang pendeknya serabut. Dengan
demikian maka sintesa collagen memegang peranan penting dalam
mekanisme ini. Pengamatan dengan radioaktif menunjukkan bahwa sintesa
collagen lebih aktif di daerah crestal dan apical, sehingga daerah ini
mengalami adaptasi lebih dulu kemudian baru diikuti oleh serabut-serabut
oblique dan serabut-serabut horisontal.
REMODELING SEKUNDER
Pada gerakan gigi secara ortodontik, ada daerah yang mengalami
resorpsi dan aposisi. Tulang sering kali mengadakan resorpsi dari daerah bone
marrow di sebalik daerah yang mengadakan aposisi, demikian juga tulang
selalu dibentuk di permukaan bone marrow disebalik tulang cortical yang
sedang mengalami resorpsi. Ini disebut remodeling sekunder. Remodeling
sekunder
berguna
untuk
mempertahankan
ketebalan
tulang
dan
pada
tulang
oleh
karena
mekanisme
piezoelektrik telah ditunjukkan oleh Epker dan Frost. Dinding tulang alveolus
pada sisi yang tertekan akan menipis. Pengurangan ketebalan ini dihubungkan
dengan resorpsi tulang. Bagaimana aposisi tulang dibagian kontralateralnya
dapat terjadi ?. Analisa yang sama juga terjadi di daerah tulang alveolus yang
tertarik. Bagaimana bisa terjadi resorpsi di daerah kontralateralnya ?. Hal ini
50
menunjukkan bahwa mekanisme kontrol biologis yang sangat rumit ikut aktif
dalam proses resorpsi dan aposisi tulang alveolus.
KEADAAN UMUM
Tekanan dan tarikan merupakan respon awal dari pemberian
kekuatan secara ortodontik pada sisi yang berlawanan. Tekanan dan tarikan
ini selanjutnya akan merangsang remodeling selama bergeraknya gigi.
Kecepatan dan kemudahan respon seluler pada remodeling tulang terhadap
kekuatan ortodontik dihubungkan dengan kandungan sel dan sensitivitasnya
dalam membrana periodontalis.
Membrana periodontalis yang mengandung banyak sel mempunyai
potensi yang lebih cepat dan lebih aktif remodelingnya.
Sebagai contoh : Pada anak-anak, pembentukan tulang di daerah yang tertarik
dimulai satu atau dua hari setelah pemberian kekuatan. Sedangkan pada usia
sewasa, baru mulai setelah delapan sampai sepuluh hari. Perbedaan ini
dihubungakan
dengan
perbedaan
kandungan
sel
dalam
membrana
periodontalisnya.
Pada proses resorpsi, variabel yang dianggap penting ialah sifat
tulang alveolus. Alveolus mungkin tersusun dari tulang yang padat atau
mungkin tersusun dengan modullary space yang luas atau mempunyai
dinding yang porus. Dengan demikian tulang yang porus lebih mudah
mengalami resorpsi. Dikatakan juga dalam bone marrow dijumpai banyak
sekali sel-sel.
2. KEKUATAN ORTODONTIK
Pemberian kekuatan memegang peran penting dalam pergerakan gigi
secara ortodontik. Kekuatan sangat penting untuk mengawali atau merangsang
51
1. Anteroposterior
2. Transverse
3. Vertikal
Pada gigi berakar tunggal, senter of resistance terletak 40 % jarak dari alveolar
crest ke ujung akar gigi.
GERAKAN GIGI
Selama prawatan ortodontik, gigi dapat bergerak ke segala arah.
52
Untuk mempermudah maka gerakan gigi dibagi dalam dua bentuk dasar
Intramaxillary anchorage
53
Simple anchorage
Gigi anchorage mempunyai daya tahan (resistance) lebih besar
dari
gigi
yang
digerakkan
(satu gigi
dipakai
untuk
Compound anchorage
Beberapa gigi digabung untuk menggerakkan satu gigi.
Stationary anchorage
Sama seperti simple anchorage tetapi alat dibentuk sedemikian
rupa sehingga gigi anchorage dapat bergerak secara bodily.
Occipital anchorage dapat dipakai sebagai alat untuk membentuk
stationary anchorage, atau suatu alat dengan pemakaian buccal
tube dapat mencegah gigi anchorage bergerak secara tilting akan
tetapi memungkinkan bergerak secara bodily.
Reciprocal anchorage
Bila kekuatan ortodontik yang dikenakan pada gigi atau gigi-gigi
akan didistribusikan sama kuat pada kedua belah sisi, sehingga
gigi atau gigi-gigi akan bergerak sama pada kedua sisi.
Reciprokal anchorage dapat digunakan pada gigi-gigi dalam satu
rahang atau dapat pada kedua rahang yang saling berlawanan
Intermaxillary anchorage
Anchorage pada satu rahang dipakai untuk menggerakkan gigi
pada rahang yang berlawanan
b. Tissue borne anchorage
Anchorage yang diletakkan pada jaringan lunak dalam mulut, dapat pada
mukosa palatum atau pada otot-otot perioral.
2. Extraoral anchorage
Sistem penjangkaran yang diletakkan diluar mulut. Dapat berupa
Occipital anchorage
54
Cervical anchorage
Anchorage diletakkan pada tengkuk.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony Gianelly & Henry M. Goldman, Biologic Basic of Orthodontics
Foster, TD. A text Book of Orthodontics., ed. 3. Oxford
Graber, T.M., Orthodontics, Principles and Practice, 3rd, ED., W.B. Saunders Co.,
Philadhelphia, London, Toronto,1972.
Graber ,T. M. & Swain, B.F., Orthodontics Current Principles and Techniques
Graber,T.M. and Swain,B.F.,Orthodontics, Principles and Technique, The C.V.
Mosby Co.,St.Louis,Toronto, Princeton,1985
Jacobson, A., (Ed.), Radiographic Cephalometry From Basics to Videoimaging,
Quintessence Publishing Co, Inc, London, Chicago, Berlin, Tokyo, Sao
Paulo, Moscow, Prague and Warsawa, 1955.
Janet M. Vaughan, The Physiology of Bone
Kusnoto, H. Penggunaan Sefalometri Radiografi dalam bidang Orthodonti,
Bagian Orthodonti, Fakultas Trisakti, Jakarta, 1977.
Linden, F. P.G.M. Vd. L., and Boersma, H,. Diagnosis end Tratment Planning in
Dentofacial Orthopedics, Quintessence Publishing Co., Ltd., London,
Chicago, Berlin, Tokyo, Sao Paulo, 1987.
Michael R. Marcotte, Biomechanics in Orthodontics
Moyers, R.E., Handbook of Orthodontics for Student and General Practitioners,
2nd.Ed.,Year Book Medical Publisher, Inc.,Chicago, 1970.
55
56