tidak
diindikasikan
untuk
Kontraindikasi
a. Fraktur wajah.
b. Fraktur tulang
oropharyngeal
dasar
tengkorak
airway.
2. Indikasi airway jika terjadi sumbatan:
3. Mekanisme kerja obat emergency:
Epinephrin
Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi
atau syok anfilaktik, hipotensi.
Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT,
Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
Dosis 1 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 5 menit sampai
dosis total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4
mg/menit sampai 24 jam
dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis
intra vena
Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama
idioventrikuler
Sulfas Atropin
Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain
AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada
bradikardi dengan iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat
(atropinisasi)
Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau
derajat III.
Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,030,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3
mg.
dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis
intra vena diencerkan menjadi 10 cc
Dopamin
Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard,
curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
Magnesium Sulfat
Morfin
Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac
arrest.
Kortikosteroid
Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk
mengurangi edema cerebri
Natrium bikarbonat
Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul
pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III)
dan overdosis antidepresi trisiklik.
Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk
Kalsium klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan
1 ampul Kalsium gluconat
Furosemide
Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah
hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia
Diazepam
Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit4
Prinsip-prinsip triage :
Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang terbaik
untuk jumlah terbanyak dengan seleksi korban berdasarkan :
a. Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit
b. Dapat mati dalam hitungan jam
c. Trauma ringan
d. Sudah meninggal
Prioritas : penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan
pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul
Tingkat prioritas :
a. Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru untuk sangat
berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25%
b. Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau fungsi
vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma
bola mata.
c. Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka
superficial, luka-luka ringan
d. Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat
parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala
kritis.
Penilaian dalam triage
a. Primary survey (A,B,C) untuk menghasilkan prioritas I dan seterusnya
b. Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,0 dan
selanjutnya
c. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada A,
B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.
Tindakan lain untuk membebaskan jalan napas bila dengan head tilt dan
chin lift, jalan nafas tetap obstruksi adalah : dengan kedua tangan kita di
dagu korban diangkat sehingga deretan gigi rahang bawah berada didepan
deretan gigi rahang atas.
Jaw thrust
Bebaskan jalan nafas dari sumbatan benda asing.
Buka mulut korban bersihkan benda asing yang ada didalam mulut korban
dengan mengorek dan menyapukan dua jari penolong yang telah
dibungkus degan secrik kain.
B. Permasalahan
1. Jika pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara
tambahan. Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya
airway is clear.
2. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan
jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang
keluar dari hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya
inflamasi pada saluran pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi.
Pasien tidak langsung menunjukan gejala obstruksi saluran nafas
segera.
3. Terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasa nya disebabkan
obstruksi akibat benda asing
4. -Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda
bunyi nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain: Gurgling
(kumur-kumur), Stridor (crowing), dan Snoring (mengorok)
C. Penanganan
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien
yang mengalami trauma basis cranii. Ciri nya adalah keluar darah atau
cairan (LCS) bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol
dilakukan dengan indikasi:
1. Multiple trauma
2. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3. Penurunan kesadaran
2. Breathing
A. Pemeriksaan
Periksa apakah korban bernafas ( Look, listen, and feel)
Dekatkan pipi penolong ke mulut dan hidung korban, mata
penolong lihat ke arah dada.
B. Permasalahan
Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau
pasien sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang.
Keadaan dada pasien yang menggembung apalagi tidak simetris mungkin
disebabkan pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya
dilakukan perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan
oleh pneumotorak sementara pada
redup.
C. Penanganan
2. Mouth to mask
Anak (1-8th)
Bayi (0-1th)
detik
: 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
: lebih dari 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 -
1,5 detik
: 40 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
a)
Pengertian
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi
adalah
1. Posisi
pasien
terlentang
dengan
kepala
ekstensi
(bila
sesuai )
Petugas mencuci tangan
Petugas memakai masker dan sarung tangan
Melakukan suction
Melakukan intubasi dan menyiapkan
mesin
(Ventilator)
o
pernafasan
B. Permasalahan
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan pasien
mengalami shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda
perfusi darah yang turun seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah
atau tidak teraba. Shock yang tersering dialami pasien trauma adalah shock
hemoragik.
Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock
antara lain luka pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan
torak yang massive.
Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.
C. Penanganan
Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada korban dengan siku
lengan lurus.
Menekan tulang sedalam kira-kira 4-5 cm. Setiap melepas 1 pijatan,
tangan jangan masih menekan dada korban.
Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan.
Riwayat AMPLE patut diingat:
A : alergi
M : medikasi ( obat yang diminum saat ini )
P : past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : last meal
E : event / environment ( lingkungan ) yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan.
Pemeriksaan Fisik
Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang,
dan nyeri pada palpasi. Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (headto-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama:
1.
2.
3.
4.
Kepala
Maksilo-fasial
Vertebra servikalis dan leher
Thorax
Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat
Breathing
untuk
atasi
tension
pneumothorax
Circulation
Disability
sudah distabilkan.
monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
Bantuan kardiorespirasi bila perlu
Pemberian darah bila perlu
Pemberian obat sesuai instruksi dokter ( analgesik jangan diberikan
kesadaran pasien trauma kepala. Glasgow coma scale merupakan salah satu
komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan dan dasar pembuatan
keputusan klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki
peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari GCS
dapat diperoleh infomasi yang efektif mengenai pasien trauma kepala, kemampuan
GCS dalam menentukan kondisi yang membahayakan jiwa adalah 74,8%.
Penilaian GCS berdasarkan respon mata, verbal, dan motorik.10
a. Eye (respon membuka mata) :
(4) : Spontan
(3) : Rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : RANGSANG nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon
b. Verbal (respon verbal) :
(5) : Orientasi baik
(4) : Bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat
dan waktu.
(3) : Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam
satu kalimat.
(2) : Suara tanpa arti (mengerang)
(1) : Tidak ada respon
Skor GCS = E + M + V
Cedera kepala ringan umumnya didefinisikan sebagai orang yang terkait
dengan skor GCS 13-15, dan cedera kepala moderat yang terkait dengan skor
GCS 9-12. Skor GCS 8 atau kurang mendefinisikan cedera kepala berat.11
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika
dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal
maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive). Ini juga merupakan skala yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih sederhana daripada
GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat, penolong pertama dan kru ambulans.
Empat unsur yang diuji:
a. Alert : berarti membuka mata spontan, fungsi motorik berbicara dan utuh,
misalnya anggota badan bergerak.
b. Voice : merespon bila diajak bicara, misalnya bicara mendengus atau aktual.
c. Pain : merespon rasa sakit, misalnya menggosok sternum.
d. Unresponsive : jika tidak ada respon terhadap rasa sakit, yaitu tidak ada
gerakan mata, suara atau motorik.
Bila dibandingkan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) klasifikasi AVPU:
Selama 7 bulan, 1020 pengukuran dianalisis dikumpulkan. Kedua skala
sederhana diidentifikasi berbeda GCS berkisar, meskipun beberapa tumpang
tindih terjadi (p <0,001). Skor GCS Median terkait dengan AVPU adalah 15
(alert), 13(voice), 8(paint) dan 6 (unresponsive)12,13
b.Oksigenasi adekuat.
c.Tidak dalam keadaan syock.
d.Tidak kejang.
e.Immobilisasi fraktur (bila ada)
4.Sebelum merujuk pasien petugas yang berwenang wajib menghubungi RS tujuan
terlebih dahulu.
5.Dokter yang sedang bertugas wajib mengisi lembar rujukan.
6.Pasien dirujuk dengan menggunakan ambulans dari rumah sakit atau rumah sakit
tujuan.lengkap dengan alat-alat penunjang kehidupan yang dibutuhkan ataupun
menggunakan kendaraan sendiri.
7.Pasien gawat darurat dirujuk dengan pendampingan dari perawat UGD agar dapat
memberikan pertolongan Bantuan Hidup Dasar jika diperlukan.
8.Bila pasien dirujuk ke luar kota,maka pendamping harus mendapat surat tugas dari
pimpinan rumah sakit dan setelah selesai wajib memberi laporan kepada atasan yang
memberi tugas.14,15,16
DAFTAR PUSTAKA
1. Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas : Pulmonologi Intervensi dan
Gawat Darurat Napas. Jakarta : FK UI.
2. Student Course Manual, Advanced Trauma Life Support, Ed.8. American
College Surgeon, 1997.
3.
4. http://dokter-medis.blogspot.co.id/2009/07/obat-gawat-darurat-drugsmanagement.html
5. Buku Panduan Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans
Gawat Darurat 118
6. Jeremy P.T. Ward, jane Ward, dkk. Dalam: Amalia Safitri, editor. At a Glance
Sistem Respirasi. Edisi 2. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2008. hal. 11-13.
7. Dr. Abdul Mukty, dr. Adji Widjaja, dkk. Dalam: Hood Alsagaff, H. Abdul
Mukty, editor. Edisi 7. Surabaya: Airlangga University Press, 2010. hal. 7-20
8. Clair St, Saint. Dalam : American college of surgeons, editor. Advanced Trauma
Life Support. Edisi 7. Chicago: Ikatan Ahli Bedah Indonesia; 2004. Hal. 112,
113, 114, 115
9. Clair St, Saint. Dalam : American college of surgeons, editor. Advanced Trauma
Life Support. Edisi 7. Chicago: Ikatan Ahli Bedah Indonesia; 2004. Hal. 139
10. Irawan,hendri. dkk. 2010. Comparison of Glasgow Coma Scale and Revised
Trauma Score to Predict Disability of Head Trauma Patient in Atma Jaya
Hospital . Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta. . Maj Kedokt
Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010. Hal 438.Diakses : 2 oktober
2015
11. Christensen, buck .2014. Glasgow Coma Scale - Adult . Available at
:http://emedicine.medscape.com/article/2172603-overview#.
Diakses
oktober 2015
12. AF.Mcnarry, DR.Goldhill.2004. Simple bedside assessment of level of
consciousness:
comparison of two simple assessment scales with the Glasgow Coma scale.
Anaesthesia,
2004,
59,
pages
3437.Available
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2044.2004.03526.x/epdf.
Diakses : 2 oktober 2015
13. AF.Mcnarry, DR.Goldhill.2004. Simple bedside assessment of level of
consciousness: comparison of two simple assessment scales with the
Glasgow
Coma
scale.
Available: