Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KELOMPOK MODUL KESADARAN MENURUN

1. Indikasi dan kontraindikasi oropharyngeal airway dan nasopharyngeal airway


OROPHARYNGEAL AIRWAY (OPA)
Indikasi
Kontraindikasi
a. Napas spontan.
Tidak boleh digunakan pada pasien sadar
b. Tidak ada refleks muntah.
atau setengah sadar karena dapat
c. Pasien tidak sadar, tidak mampu
menyebabkan batuk dan muntah. Jadi
manuver manual.
pasien yang masih ada refleks batuk atau
muntah

tidak

diindikasikan

untuk

pemasangan oropharyngeal airway.


NASOPHARYNGEAL AIRWAY (NPA)
Indikasi
a. Sadar/Tidak sadar.
b. Napas spontan.
c. Ada refleks muntah.
d. Kesulitan dengan

Kontraindikasi
a. Fraktur wajah.
b. Fraktur tulang
oropharyngeal

dasar

tengkorak

(fraktur basis cranii)1,2

airway.
2. Indikasi airway jika terjadi sumbatan:
3. Mekanisme kerja obat emergency:
Epinephrin

Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi
atau syok anfilaktik, hipotensi.

Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 35 menit, dapat diberikan


intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis intra vena. Untuk
reaksi reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang
setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau hipotensi dapat diberikan
epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg = 1 : 1000) dilarutka dalam 500

cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 g/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi


hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 g/mnt

Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor adrenergic dan


meningkatkan aliran darah ke otak dan jantung

Lidokain (lignocaine, xylocaine)

Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT,
Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T

Dosis 1 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 5 menit sampai
dosis total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4
mg/menit sampai 24 jam

dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis
intra vena

Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama
idioventrikuler

Sulfas Atropin

Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki


sistim konduksi AtrioVentrikuler

Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain
AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada
bradikardi dengan iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat
(atropinisasi)

Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau
derajat III.

Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,030,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3
mg.

dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 22,5 kali dosis
intra vena diencerkan menjadi 10 cc

Dopamin

Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard,
curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat

Dosis 2-10 g/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2


ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk
orang dewasa

Magnesium Sulfat

Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel


takikardi, keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia

Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5%


diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam

Morfin

Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac
arrest.

Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 30 menit

Kortikosteroid
Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk
mengurangi edema cerebri
Natrium bikarbonat
Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul
pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III)
dan overdosis antidepresi trisiklik.

Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.


Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.

Kalsium gluconat/Kalsium klorida

Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel


otot jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi
masif atau efek transfusi akibat darah donor yang disimpan lama

Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan


menggunakan drip

Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk
Kalsium klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan
1 ampul Kalsium gluconat

Furosemide

Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak

Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah
hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia

Dosis 20 40 mg intra vena

Diazepam

Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan


tetanus

Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan

Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit4

4. Penjabaran initial assessment:

Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan pengelolaan


yang tepat guna menghindari kematian pada pasien gawat darurat.
Tujuannya mencegah semakin parahnya penyakit dan menghindari kematian
korban dengan penilaian yang cepat dan tindakan yang tepat. Meliputi :
1. Persiapan,antara lain
a. Fase pra rumah sakit, harus ada koordinasi yang baikantara dokter di rumah
sakit dengan petugas lapangan sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan diri.
Pada fase ini dititikberatkan pada stabilisasi pasien yang menyangkut penjagaan
jalan nafas, kontrol perdarahan dan syok, immobilisasi pasien dan transportasi
pasien.
b. Fase rumah sakit, harus mempersiapkan diri sebelum pasien tiba seperti
perlengkapan airway, cairan kristaloid yang telah dihangatkan, perlengkapan
monitoring, alat-alat proteksi diri dan tenaga medis dan penunjangnya sendiri.
2. Triage
3. Survei primer
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap survey primer dan resusitasi
6. Survei sekunder
7. Tambahan terhadap survey sekunder
8. Pemantauan dan re-evaluasi
9. Penanganan definitive
TRIAGE
Jika kita berkunjung ke UGD atau IRD suatu rumah sakit sering kita jumpai
istilah triage (baca : trias) yang berasal dari bahasa Perancis. Triage adalah
pengelompokan korban/pasien berdasarkan berat ringannya trauma atau penyakit
serta kecepatan penanganan atau pemindahan. Tujuan triage adalah Dapat
menangani korban/pasien dengan cepat, cermat dan tepat sesuai dengan sumber
daya yang ada
Macam-macam korban :
a. Korban masal : lebih dari 1 orang harus ditolong lebih dari 1 penolong, bukan
bencana
b. Korban bencana : korban lebih besar dari korban masal

Prinsip-prinsip triage :
Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang terbaik
untuk jumlah terbanyak dengan seleksi korban berdasarkan :
a. Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit
b. Dapat mati dalam hitungan jam
c. Trauma ringan
d. Sudah meninggal
Prioritas : penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan
pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul
Tingkat prioritas :
a. Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru untuk sangat
berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25%
b. Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau fungsi
vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma
bola mata.
c. Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka
superficial, luka-luka ringan
d. Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat
parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala
kritis.
Penilaian dalam triage
a. Primary survey (A,B,C) untuk menghasilkan prioritas I dan seterusnya
b. Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,0 dan
selanjutnya
c. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada A,
B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.

d. Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban


Perencanaan triage
a. Persiapan sebelum bencana
b. Pengorganisasian personal (bentuk tim triage)
c. Pengorganisasian ruang/tempat
d. Pengorganisasian sarana/peralatan
e. Pengorganisasian suplai
f. pelatihan
g. komunikasi
Pemimpin triage hanya melakukan :
a. Primary survey
b. Menentukan prioritas
c. Menentukan pertolongan yang harus diberikan
Keputusan triage harus dihargai. Diskusi setelah tindakan. Hindari untuk tidak
memutuskan sesuatu. Pemimpin triage tidak harus dokter, perawat pun bisa atau
orang yang terlatih tergantung sumber daya manusia di tempat kejadian.
Tugas-tugasTim triage
a. Bertanggung jawab
b. Mencegah kerusakan berlanjut atau semakin parah
c. Pilah dan pilih korban
d. Memberi perlindungan kepada korban.
Dokumentasi/rekam medis triage
a. Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera, penyebab cedera,
pertolongan pertama yang telah diberikan
b. Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran
c. Diagnosis singkat tapi lengkap
d. Kategori triage
e. Urutan tindakan preoperatif secara lengkap
Perhatian :
1. Jika fasilitas kurang memadai maka lebih diutamakan yang potensial selamat.
contoh jika korban label merah lebih potensial selamat maka label biru dapat
berubah menjadi label hitam
2. Dalam keadaan bencana, lebih baik memberi bantuan lebih daripada kurang

3. Pikirkan kemungkinan yang paling buruk sehingga dapat mempersiapkan lebih


baik5
5. Penanganan awal pada scenario:
Primary Survey
1. Airway
A. Pemeriksaan
Pembebasan Jalan Napas
Apakah korban sadar ? ( Cek kesadaran )
1. Periksa kesadaran korban dengan menepuk bahu dan memanggil dengan
suara keras. siapa namanya ? . coba buka mata !
2. Panggil bantuan dari orang sekitar, meminta mereka untuk ikut menolong
dan telepon 118 atau rumah sakit terdekat. Minta bantuan medic /
ambulans. Sebut lokasi kejadian dengan jelas.
3. Jika korban telungkup, balikkan pelan pelan agar terlentang. Korban
harus ditolong dalam posisi terlentang di atas alas keras.

4. Bebaskan jalan nafas dari sumbatan pangkal lidah dengan satu


tangan di dahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala
menengadah dan mulut sedikit terbuka ( head tilt ).

5. Bebaskan jalan napas dari sumbatan pangkal lidah. Dengan satu


tangan didahi korban. Doronglah dahi kebelakang agar kepala
menengadah dan mulut sedikit terbuka ( head tilit ). Pertolongan
dapat ditambah dengan mengangkat dagu ( chin lift ).
Pada orang yang tidak sadar, posisi kepala cenderung flexi. Akibat flexi
ini, menyebabkan terjadinya sumbatan akibat pangkal lidah jatuh ke
belakang.
Posisi kepala flexi, jalan nafas buntu.
Jalan nafas bebas karena kepala diposisikan eksensi dengan head tilit dan
chin lift.

Tindakan lain untuk membebaskan jalan napas bila dengan head tilt dan
chin lift, jalan nafas tetap obstruksi adalah : dengan kedua tangan kita di
dagu korban diangkat sehingga deretan gigi rahang bawah berada didepan
deretan gigi rahang atas.

Jaw thrust
Bebaskan jalan nafas dari sumbatan benda asing.
Buka mulut korban bersihkan benda asing yang ada didalam mulut korban
dengan mengorek dan menyapukan dua jari penolong yang telah
dibungkus degan secrik kain.

Finger sweep maneuver administered to an unconscious victim of foreign


body airway obstruction.

B. Permasalahan
1. Jika pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara
tambahan. Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya
airway is clear.
2. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar. Kalau kita temukan
jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau lendir kehitaman yang
keluar dari hidung pasien itu mungkin disebabkan sudah terjadinya
inflamasi pada saluran pernapasan akibat inhalasi udara bersuhu tinggi.
Pasien tidak langsung menunjukan gejala obstruksi saluran nafas
segera.
3. Terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasa nya disebabkan
obstruksi akibat benda asing
4. -Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda
bunyi nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain: Gurgling
(kumur-kumur), Stridor (crowing), dan Snoring (mengorok)

C. Penanganan
C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien
yang mengalami trauma basis cranii. Ciri nya adalah keluar darah atau
cairan (LCS) bercampur darah dari hidung atau telinga. C-spine kontrol
dilakukan dengan indikasi:
1. Multiple trauma
2. Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
3. Penurunan kesadaran

2. Breathing
A. Pemeriksaan
Periksa apakah korban bernafas ( Look, listen, and feel)
Dekatkan pipi penolong ke mulut dan hidung korban, mata
penolong lihat ke arah dada.

LIHAT, DENGAR, RASAKAN !!

B. Permasalahan

Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak cyanosis, dan kalau
pasien sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat panjang.
Keadaan dada pasien yang menggembung apalagi tidak simetris mungkin
disebabkan pneuomotorak atau pleurahemorage. Untuk membedakannya
dilakukan perkusi di daerah paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan
oleh pneumotorak sementara pada

pleurahemorage suara paru menjadi

redup.
C. Penanganan

Hal yang dapat dilakukan antara lain RESUSITASI PARU, bisa


dilakukan melalui.
1. Mouth-to mouth/Mouth-to-nose

2. Mouth to mask

3. Bag- to mask (Ambu bag).

Jika terdapat ventilator maka oksigen dapat diberikan melalui:


1. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan
oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.
2. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya
sebesar 35-60%.
3. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask
ini lah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang
diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan
non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara
ekspirasa terinhalasi kembali.
Frekuensi pemberian nafas buatan:
Dewasa

: 10 - 12 x pernafasan / menit, masing-masing 1,5 - 2

Anak (1-8th)
Bayi (0-1th)

detik
: 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik
: lebih dari 20 x pernafasan / menit, masing-masing 1 -

Bayi baru lahir

1,5 detik
: 40 x pernafasan / menit, masing-masing 1 - 1,5 detik

Bahaya bagi penolong yang melakukan bantuan pernafasan dari


mulut ke mulut: Penyebaran penyakit, Kontaminasi bahan kimia, dan
Muntahan penderita.
Saat memberikan bantuan pernafasan petunjuk yang dipakai untuk
menentukan cukup tidaknya udara yang dimasukkan adalah gerakan
naiknya dada. Jangan sampai memberikan udara yang berlebihan karena
dapat mengakibatkan udara juga masuk dalam lambung sehingga
menyebabkan muntah dan mungkin akan menimbulkan kerusakan pada
paru-paru.
1.

Alat Bantu Pernafasan


Tindakan Pemasangan ETT (Endo Tracheal Tube)/ Intubasi

a)

Pengertian
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau Intubasi

adalah

memasukkan pipa jalan nafas buatan kedalam trachea melalui mulut.


Tindakan Intubasi baru dapat di lakukan bila : cara lain untuk
membebaskan jalan nafas (airway) gagal, perlu memberikan nafas
buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi aspirasi ke paru.
b) Tujuan
1. Membebaskan jalan nafas
2. Untuk pemberian pernafasan mekanis (dengan ventilator).
c). Persiapan Tindakan

1. Posisi

pasien

terlentang

dengan

kepala

ekstensi

(bila

dimungkinkan pasien di tidurkan dengan obat pelumpuh otot yang


2.
3.
4.
5.

sesuai )
Petugas mencuci tangan
Petugas memakai masker dan sarung tangan
Melakukan suction
Melakukan intubasi dan menyiapkan

mesin

(Ventilator)
o

buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang

buka mulut pasien

pernafasan

masukan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah-ujung blade


sudah sampai di pangkal lidah- geser lidah pelan-pelan ke arah
kiri

2. Tindakan Pemasangan Oropharyngeal Tube

1. Prosedur ini digunakan untuk ventilasi sementara pada penderita yang


tidak sadar sementara intubasi penderita sedang dipersiapkan.
2. Pilih airway yang cocok ukurannya. Ukuran yang cocok sesuai
dengan jarak dari sudut mulut penderita sampai kanalis auditivus
eksterna.
3. Buka mulut penderita dengan manuver chin lift atau teknik crossfinger (scissors technique).
4. Sisipkan spatula lidah diatas lidah penderita, cukup jauh untuk
menekan lidah, hati-hati jangan merangsang penderita sampai
muntah.
5. Masukkan airway ke posterior, dengan lembut diluncurkan diatas
lengkungan lidah sampai sayap penahan berhenti pada bibir penderita.
Airway tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway.
6. Tarik spatula lidah.
7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
3. Tindakan Pemasangan Nasopharyngeal Tube

1. Prosedur ini digunakan apabila penderita terangsang untuk muntah


pada penggunaan airway orofaringeal.
2. Lubang hidung dinilai untuk melihat adanya penyumbatan (seperti
polip, fraktur, perdarahan).
3. Pilih airway yang ukurannya cocok.
4. Lumasi airway nasofaringeal dengan pelumas yang dapat larut dalam
air atau dengan air.
5. Masukkan ujung airway kedalam lubang hidung dan arahkan ke
posterior dan menuju ke arah telinga.
6. Dengan hati-hati masukkan airway orofaringeal menuju hipofaring
dengan sedikit gerakan memutar, sampai sayap penahan berhenti pada
lubang hidung.
7. Ventilasi penderita dengan alat bag-valve-mask.
3. Circulation
A. Pemeriksaan
Menentukan denyut nadi leher

B. Permasalahan
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan pasien
mengalami shock. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat tanda-tanda
perfusi darah yang turun seperti keadaan pucat, akral dingin, nadi lemah
atau tidak teraba. Shock yang tersering dialami pasien trauma adalah shock
hemoragik.
Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan shock
antara lain luka pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta perdarahan
torak yang massive.
Kalau terjadi henti jantung maka lakukan massasse jantung.
C. Penanganan

Menentukan lokasi pijat jantung. Titik tumpu pijat jantung adalah di


tengah tengah sternum.
Tumit 1 tangan diletakkan di atas sternum, kemudian tangan satunya
diletakkan di atas tangan yang sudah berada di titik pijat jantung ( ditengah-sternum)
Jari-jari kedua tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu dilakukan
tiupan nafas, agar tidak menekan dada

CPR (pijat jantung)

Penolong mengambil posisi tegak lurus di atas dada korban dengan siku
lengan lurus.
Menekan tulang sedalam kira-kira 4-5 cm. Setiap melepas 1 pijatan,
tangan jangan masih menekan dada korban.

Cara lain : CPR + TIUPAN NAFAS

Total = 30x piatan

Yang disela dengan 2x tiupan nafas


Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali nafas buatan ini
berulang selama 2 menit
Setelah 2 menit ( 7 8 siklus )raba nadi leher
Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 X pijat jantung
dan 2 X nafas buatan
Lakukan tindakan ini terus sampai datang bantuan atau ambulans

Cara memberi nafas buatan :


Pertahankan posisi tetap tengadah
Jepit hidung dengan tangan
Yang mempertahankan kepala tetap tengadah
Buka mulut penolong lebar lebar sambil menarik nafas panjang
Tempelkan mulut penolong di atas mulut korban dengan rapat
Hembuskan udara lembut korban sampai terlihat dada terangkat / bergerak
naik
Lepaskan mulut penolong, biarkan udara keluar dari mulut korban, dada
korban tampak bergerak turun
Berikan hembusan nafas kedua dengan cara yang sama
Penatalaksanaan secara umum :
1. Korban tidak sadar ( call for help )
2. Bebaskan jalan nafas
3. Jalan nafas bebas tidak bernafas : raba nadi carotis
4. Nadi tidak teraba : beri pijatan jantung dan nafas buatan 30 pijat
+ 2 nafas
5. Pasang monitor EKG6,7
III.2. Secondary Survey
Dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil.
Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus
kembali mengulangi PRIMARY SURVEY. Semua prosedur yang dilakukan
harus dicatat dengan baik.

Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai
riwayat perlukaan.
Riwayat AMPLE patut diingat:
A : alergi
M : medikasi ( obat yang diminum saat ini )
P : past illness ( penyakit penyerta ) / pregnancy
L : last meal
E : event / environment ( lingkungan ) yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan.
Pemeriksaan Fisik
Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang,
dan nyeri pada palpasi. Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (headto-toe examination) dilakukan dengan perhatian utama:
1.
2.
3.
4.

Kepala
Maksilo-fasial
Vertebra servikalis dan leher
Thorax
Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat

untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan.


Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau
korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis
sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus,
saat makan terakhir, kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu
mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan
luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi
fisiologis pasien secara umum.

Pemeriksaan Pencitraan dan Laboratorium

Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang


menuntun penilaian awal. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat
membawa pasien keruang radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.
Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai
dalam 20 menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam
pemeriksaan serial digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan
Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan
akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen cairan
ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi.
Skrining urin untuk penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk
mengetahui penyebab penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada
kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter koagulasi, hitung jenis
darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya kurang berguna saat 1-2
jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.
INDIKASI PENGAKHIRAN RESUSITASI
a. Resusitasi yang Berhasil
Adekuat (mencukupi)
1. Dada dan perut bergerak naik dan turun seirama dengan pernafasan
2. Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut / hidung
3. Korban tampak nyaman
4. Frekuensinya cukup (12-20 x/menit)
b.

Resusitasi yang Tidak Berhasil


Kurang Adekuat (kurang mencukupi)
1. Gerakan dada kurang baik
2. Ada suara nafas tambahan
3. Kerja otot bantu nafas
4. Sianosis (kulit kebiruan)
5. Frekuensi kurang atau berlebihan
6. Perubahan status mental
Tidak Bernafas3
1. Tidak ada gerakan dada dan perut
2. Tidak terdengar aliran udara melalui mulut atau hidung
3. Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung

ALGORITMA INITIAL ASESSMENT


1. Primary Survey
Airway

Perhatikan patensi airway


Dengar suara napas
Mengobservasi retraksi otot otot intercostal dan supraclavicular
Inspeksi orofaring secepat dan menyeluruh, lakukan chn lift dan jau

thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas


Re-posisi kepala, pasang collarneck
Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomy atau intubasi ( oral /
nasal )

Breathing

Periksa frekuensi napas


Perhatikan gerakan respirasi
Palpaso thorax
Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
Lakukan tindakan bedah emergency

untuk

atasi

tension

pneumothorax
Circulation

Periksa frekuensi denyut jantung dan denyut nadi


Periksa tekanan darah
Pemeriksaan pulse oxymetri
Periksa vena leher dan warna kulit ( adanya sianosis )
Resusitasi cairan dengan memasang 2 IV lines
Torakotomi emergency bila diperlukan
Operasi eksplorasi vasckular emergency

Lakukan tube thoracostomy / WDS ( water sealed drainage, merupakan


tatalaksana definitif tension pneumothorax ), ( continuous suction )
WSD sebagai alat diagnostik, terapik, dan follow up, mengevakuasi
darah atau udara sehingga pengembangan paru maksimal lalu lakukan
monitoring
Penyulit ialah perdarahan dan infeksi atau super infeksi

Disability

Nilai GCS dan reaksi pupil


Tentukan tingkat kesadaran ketika sambil lakukan ABC
Rujuk ke rumah sakit terdekat dengan peralaan medis sesuai
kebutuhan atau yang mempunyai fasilitas bedah saat kondisi pasien

sudah distabilkan.
monitoring tanda vital dan pulse oksimetri
Bantuan kardiorespirasi bila perlu
Pemberian darah bila perlu
Pemberian obat sesuai instruksi dokter ( analgesik jangan diberikan

karena bisa membiasakan symptom


Dokumentasi selama perjalanan

2. Secondary survey dilanjutkan dengan Tatalaksana definitif


Prinsip tatalaksana di UGD
5. Eksposure
Buka pakaian penderita, cegah hipotermia, tempatkan di tempat
tidur dengan memperhatikan jalan nafas terjaga. Pemasangan
IV line tetap
6. Re-evaluasi
Laju nafas
Suhu tubuh
Pulse oksimetri
Saturasi O2
Pemasangan kateter folley ( kateter urin ), monitor dieresis,
dekompresi V. urinaria sebelum DPL
NGT bila tidak ada kontraindikasi ( fraktur basis kranii )
Bersihkan dengan antiseptic luka memar dan lecet bila ada lalu
kompres dan obat8,9

6. Kapan sebaiknya dilakukan penilaian AVPU dan GCS?


Salah satu cara untuk mengukur tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif
mungkin adalah menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera kepala Glasgow coma scale
merupakan instrumen standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat

kesadaran pasien trauma kepala. Glasgow coma scale merupakan salah satu
komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan dan dasar pembuatan
keputusan klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki
peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal trauma. Dari GCS
dapat diperoleh infomasi yang efektif mengenai pasien trauma kepala, kemampuan
GCS dalam menentukan kondisi yang membahayakan jiwa adalah 74,8%.
Penilaian GCS berdasarkan respon mata, verbal, dan motorik.10
a. Eye (respon membuka mata) :
(4) : Spontan
(3) : Rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : RANGSANG nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku
jari)
(1) : tidak ada respon
b. Verbal (respon verbal) :
(5) : Orientasi baik
(4) : Bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat
dan waktu.
(3) : Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam
satu kalimat.
(2) : Suara tanpa arti (mengerang)
(1) : Tidak ada respon

c. Motorik (respon motorik) :


(6) : Mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(4) : Withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat
diberi rangsang nyeri).
(3) : Flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada &
kaki extensi
saat diberi rangsang nyeri).
(2) : Extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : Tidak ada respon10,11

Skor GCS = E + M + V
Cedera kepala ringan umumnya didefinisikan sebagai orang yang terkait
dengan skor GCS 13-15, dan cedera kepala moderat yang terkait dengan skor
GCS 9-12. Skor GCS 8 atau kurang mendefinisikan cedera kepala berat.11
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika
dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal
maupun diberi rangsang nyeri (unresponsive). Ini juga merupakan skala yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien. Hal ini lebih sederhana daripada

GCS dan dapat digunakan oleh dokter, perawat, penolong pertama dan kru ambulans.
Empat unsur yang diuji:
a. Alert : berarti membuka mata spontan, fungsi motorik berbicara dan utuh,
misalnya anggota badan bergerak.
b. Voice : merespon bila diajak bicara, misalnya bicara mendengus atau aktual.
c. Pain : merespon rasa sakit, misalnya menggosok sternum.
d. Unresponsive : jika tidak ada respon terhadap rasa sakit, yaitu tidak ada
gerakan mata, suara atau motorik.
Bila dibandingkan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) klasifikasi AVPU:
Selama 7 bulan, 1020 pengukuran dianalisis dikumpulkan. Kedua skala
sederhana diidentifikasi berbeda GCS berkisar, meskipun beberapa tumpang
tindih terjadi (p <0,001). Skor GCS Median terkait dengan AVPU adalah 15
(alert), 13(voice), 8(paint) dan 6 (unresponsive)12,13

7. Syarat dilakukan rujukan:


Syarat merujuk pasien emergency, yakni:
1.Merujuk pasien adalah mengirim pasien yang memerlukan pemeriksaan,pengobatan
atau fasilitas khusus yang tidak tersedia di Rumah sakit ke Rumah Sakit lain atau atas
keinginan/keluarga pasien.
2.Tujuannya agar pasien mendapat pertolongan medik yang cepat dan aman,serta
menjalin kerja sama yang baik dengan rumah sakit lain.
3.Setiap pasien yang dirujuk harus dalam kondisi stabil.Kriteria stabil disini adalah:
a.Tidak ada ancaman sumbatan jalan nafas.

b.Oksigenasi adekuat.
c.Tidak dalam keadaan syock.
d.Tidak kejang.
e.Immobilisasi fraktur (bila ada)
4.Sebelum merujuk pasien petugas yang berwenang wajib menghubungi RS tujuan
terlebih dahulu.
5.Dokter yang sedang bertugas wajib mengisi lembar rujukan.
6.Pasien dirujuk dengan menggunakan ambulans dari rumah sakit atau rumah sakit
tujuan.lengkap dengan alat-alat penunjang kehidupan yang dibutuhkan ataupun
menggunakan kendaraan sendiri.
7.Pasien gawat darurat dirujuk dengan pendampingan dari perawat UGD agar dapat
memberikan pertolongan Bantuan Hidup Dasar jika diperlukan.
8.Bila pasien dirujuk ke luar kota,maka pendamping harus mendapat surat tugas dari
pimpinan rumah sakit dan setelah selesai wajib memberi laporan kepada atasan yang
memberi tugas.14,15,16

DAFTAR PUSTAKA
1. Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas : Pulmonologi Intervensi dan
Gawat Darurat Napas. Jakarta : FK UI.
2. Student Course Manual, Advanced Trauma Life Support, Ed.8. American
College Surgeon, 1997.
3.
4. http://dokter-medis.blogspot.co.id/2009/07/obat-gawat-darurat-drugsmanagement.html
5. Buku Panduan Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans
Gawat Darurat 118
6. Jeremy P.T. Ward, jane Ward, dkk. Dalam: Amalia Safitri, editor. At a Glance
Sistem Respirasi. Edisi 2. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2008. hal. 11-13.
7. Dr. Abdul Mukty, dr. Adji Widjaja, dkk. Dalam: Hood Alsagaff, H. Abdul
Mukty, editor. Edisi 7. Surabaya: Airlangga University Press, 2010. hal. 7-20

8. Clair St, Saint. Dalam : American college of surgeons, editor. Advanced Trauma
Life Support. Edisi 7. Chicago: Ikatan Ahli Bedah Indonesia; 2004. Hal. 112,
113, 114, 115
9. Clair St, Saint. Dalam : American college of surgeons, editor. Advanced Trauma
Life Support. Edisi 7. Chicago: Ikatan Ahli Bedah Indonesia; 2004. Hal. 139
10. Irawan,hendri. dkk. 2010. Comparison of Glasgow Coma Scale and Revised
Trauma Score to Predict Disability of Head Trauma Patient in Atma Jaya
Hospital . Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya, Jakarta. . Maj Kedokt
Indon, Volum: 60, Nomor: 10, Oktober 2010. Hal 438.Diakses : 2 oktober
2015
11. Christensen, buck .2014. Glasgow Coma Scale - Adult . Available at
:http://emedicine.medscape.com/article/2172603-overview#.

Diakses

oktober 2015
12. AF.Mcnarry, DR.Goldhill.2004. Simple bedside assessment of level of
consciousness:
comparison of two simple assessment scales with the Glasgow Coma scale.
Anaesthesia,

2004,

59,

pages

3437.Available

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2044.2004.03526.x/epdf.
Diakses : 2 oktober 2015
13. AF.Mcnarry, DR.Goldhill.2004. Simple bedside assessment of level of
consciousness: comparison of two simple assessment scales with the
Glasgow

Coma

scale.

Available:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14687096. Diakses : 2 oktober 2015.


14. Depkes.go.idperaturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 71 tahun
2013
15. http://www.dinkes jpgjaprov.go.id
16. http//www.scribd.com/doc/134365671/portofolio-open-fracture-cruris-2

Anda mungkin juga menyukai