Oleh:
1. M. AZMAN PASHA
(10700182)
2. PANJI SUARCANA GAMA (10700080)
Dosen Pembimbing:
Dr. Endah Tjiptaningsih Sp.A
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD DR. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Batuk merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh (dalam sistem
respirasi) yang alami yang berupa suatu reflex primitif saluran nafas untuk
mengeluarkan sekret berlebih atau kotoran dan benda asing yg masuk ke jalan
nafas. Batuk tidak selalu berarti suatu hal yang patologis, bisa juga merupakan
suatu hal yang fisiologis. Pada orang dewasa dikatakan bahwa volume dahak
yang dikeluarkan dalam tiap batuk sekitar 30ml. Sebuah studi yang mengukur
batuk secara obyektif menemukan bahwa anak sehat dengan rerata umur 10
tahun biasanya mengalami 10x batuk (rentang hingga 34) dalam 24 jam,
sebagian besar batuk terjadi pada siang hari1. Angka ini meningkat selama
infeksi respiratorik, yang bisa terjadi hingga 8x lipat per tahun pada anak sehat.
Walaupun sebagian besar anak batuk tidak mengalami kelainan paru yang
serius, batuk dapat sangat mengganggu dan sulit untuk diatasi. Sampai batas
tertentu batuk kronik pada anak adalah normal dan mempunyai prognosis yang
baik. Jika batuk kronik yang terjadi sangat sering atau berat, maka sangat
mungkin terdapat penyakit yang mendasarinya2.
Pada dasarnya batuk sendiri merupakan suatu reflex tubuh yang harus
dipelihara, karena fungsinya yang sangat penting bagi tubuh. Respon batuk
dapat terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk di saluran nafas
maupun di luar saluran nafas. Rangsangan yang terjadi bisa akibat rangsangan
mekanik maupun kimiawi. Reseptor batuk di saluran nafas merupakan ujung
akhir dari n. vagus (N.X) yang berada pada sel sel rambut getar dari faring
sampai bronkiolus, hidung. Yang berada di luar saluran nafas antara lain sinus
sinus paranasal, saluran telinga dan memban timpani, pleura, lambung, perikard
dan diafragma.
Jenis rangsangan yang dapat menimbulkan timbulnya respon batuk
antara lain:
1. Udara dingin
2. Benda asing (contoh: debu, serbuk sari, partikel polutan, dll)
3. Radang atau adanya edema saluran nafas
4. Adanya tekanan pada saluran nafas (contoh: tumor, kanker, dll)
5. Jumlah Lendir yang banyak pada saluran nafas
6. Kontraksi berlebih pada saluran nafas (contoh: asma)
Definisi batuk kronik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah
batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang
mengambil batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu. 1 Unit Kerja Koordinasi
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat
batasan batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama
dengan 2 minggu. sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang
dari 2 minggu. Selain batuk akut dan kronik beberapa literatur menyebutkan
pembagian lain yaitu batuk sub akut tetapi UKK Respirologi tidak menggunakan
istilah batuk sub akut. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang
(BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu
dan/atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut.7
Terkadang sulit untuk menentukan masalah yang memicu terjadinya
batuk kronik pada pasien, tetapi yang tersering adalah batuk kronik dikarenakan
post nasal drip, asma dan refluks asam yang merupakan gejala khas dari
gastroesophageal reflux disease (GERD). Batuk kronik biasanya menghilang
sesudah faktor pemicu dapat dihilangkan.4
Etiologi
Dalam menentukan diagnosis
etiologi
batuk
kronik
perlu
antitusif.10 Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi bakteri maka
pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang diberikan
tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang diduga bakteri
maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan pada rinosinusitis
sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan asam klavulanat serta
pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid dan lain-lain. Selain
pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu diperhatikan lamanya pemberian
antibiotik misalnya faringitis bakteri cukup dengan 7 hari sedangkan pada
rinosinusitis diberikan selama 3 minggu.11 Penyebab batuk kronik yang sering
adalah asma sehingga pengobatan utama pada saat serangan asma adalah
bronkodilator.14 Pada asma terjadi keadaan bronkokonstriksi akibat pajanan
alergen pada saluran respiratorik sehingga terjadi obstruksi dengan akibat
hipoksemia dan hiperkarbia yang harus ditatalaksana sesegera mungkin untuk
mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.15 Bronkodilator yang digunakan
sebaiknya dalam bentuk inhalasi karena mempunyai awitan yang cepat,
langsung menuju sasaran, dosis kecil, dan efek samping kecil. Pada serangan
asma, bronkodilator yang digunakan adalah yang termasuk dalam golongan
short acting sedangkan pada tatalaksana jangka panjang digunakan long acting
beta-2 agonist (sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid
inhalasi). Bronkodilator yang sering digunakan pada serangan asma adalah
salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan ipratropium bromida, sedangkan pada
tatalaksana jangka panjang adalah formoterol, salmeterol, dan bambuterol.9
Pada batuk kronik yang didasari inflamasi sebagai faktor etiologi seperti rinitis
alergika dan asma pemberian antiinflamasi merupakan pilihan utama. Pada
rinitis alergika antiinflamasi yang dianjurkan adalah kortikosteroid intranasal
selama 4-8 minggu. Pemberian kortikosteroid intranasal juga diberikan pada
rinosinusitis yang disertai dengan alergi selama 3 minggu.11 Penggunaan
antiinflamasi untuk asma terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu untuk
tatalaksana serangan asma dan tatalaksana di luar serangan asma. Untuk
mengatasi serangan asma, antiinflamasi (kortikosteroid) yang digunakan
umumnya sistemik yaitu pada serangan asma sedang dan serangan asma berat.
Pada serangan asma ringan umumnya tidak diberikan kortikosteroid kecuali
pernah mengalami serangan berat yang memerlukan perawatan sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid pada asma di luar serangan diberikan secara inhalasi
yaitu pada asma episodik sering dan asma persisiten. Pada keadaan tersebut
umumnya kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan long acting beta-2
agonist.7
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti
mukolitik dan antitusif.5,8 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme yaitu
meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,
menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas yang
dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis, antitusif
dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas mukolitik dapat
pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid dari sputum sehingga
sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif merupakan obat suportif lain yang
diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif terutama bagi anakanak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan
membuat sputum tidak dapat keluar karena menekan refleks batuk yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan
kerja silia.8 Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat
terjadi apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena
batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara umum
pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan.8 Pada asma pemberian
antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadan asmanya.7,9
Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan non
farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian lingkungan, dan
hidrasi yang cukup.8,10 Pada penyakit yang hanya timbul akibat adanya pajanan
alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen merupakan hal yang harus
dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap rokok, tungau debu rumah, atau
makanan tertentu yang menyebabkan alergi. Selain itu pengaturan lingkungan
seperti kebersihan lingkungan dan pengaturan suhu serta kelembaban
merupakan hal yang perlu diperhatikan.
7,9
baik maka tatalaksana batuk kronik menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup
dapat berperan sebagai faktor yang memudahkan terjadinya pengeluaran sekret
lebih baik. Dengan hidrasi yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol
dan menurunkan viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan
mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga
rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus
trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus,
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma.4
Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di
medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh
serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain lain
menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot otot laring, trakea, bronkus,
diafragma, otot otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor inilah tempat
mekanisme batuk terjadi.4
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :7
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring
dan
diafragma,
sehingga
dimensi
lateral
dada
membesar
Kelompok I
Anak Relatif Tampak Sehat
Infeksi
(Virus / bakteri)
Bronkitis
Kelompok II
Penyakit Dasar Nyata
Tuberkulosis
Alergi (Asma)
Kimiawi (Aspirasi
Penyakit Paru
Supuratif Kronik
Bronkiektasis
Defisiensi imun
Atelektasis
Diskinesia Silia Primer
Benda asing
Trakeobronkomalasia
Tuberkulosis (Kompresi
oleh kelenjar getah
bening di mediastinum
Lesi Fokal
Respiratorik
atau paru)
Tumor
Kista atau hemangioma
dari laring atau trakea
Stenosis
Negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup
yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun
outdoor.1,2 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi
asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia
sekolah menengah pertama.4 Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal
60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi
juga disertai adanya remodelling.5,6 Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak
pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi
bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan
antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga
harus dapat mencegah terjadinya remodelling. Selain upaya mencari tatalaksana asma
yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang bertujuan
sebagai standar penanganan asma, misalnya Global Initiative for Asthma (GINA) dan
Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat dipakai secara utuh
mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan
untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing
negara.
Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA).
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma
(eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada
asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan,
diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap
serangan asma.4
Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia,
prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun
sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah
anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).
Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding
perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki
lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan
NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan
dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-17 tahun
atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat
asma jarang.11
Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan
hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran
napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda
utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat
memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE)
terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara
dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga.
Hiperreaktivitas
saluran
napas
akan
menyebabkan
obstruksi
saluran
napas
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah
edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama
ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di
saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran
udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi
kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas
antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah,
kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif
dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.
PENCETUS
Alergen (polen, debu, tungau rumah tangga), Bahan iritan (Polusi, asap
kendaraan), Aktifitas fisik (Olahraga)
Bronkokonstriksi
Edema
Hipersekresi mucus
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin
Patut diduga asma:
- Episodik
- Nocturnal
- Musiman
- Pasca aktivitas fisik
- Riwayat atopi
penderita/keluarga
Pertimbangkan pemeriksaan:
- Foto roentgen toraks dan
waters
- Uji faal paru
- Respons terhadap
(dianjurkan pada anak usia > 5 tahun)
bronkodilator
- Uji provokasi bronkus
Tidak Berhasil
- Uji keringat
Berikan bronkodilator
- Uji imunologis
Berhasil
- Pemeriksaan motilitas silia
- Pemeriksaan refluks GE
Diagnosis Kerja: Asma
Tidak Mendukung diagnosis lain Mendukung diagnosis lain
Bukan Asma
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap
pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaandiagnostik
lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis
lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah
penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek
tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan
diagnosis bukan asma.4
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan
fokal paru dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga
perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji
defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Klasifikasi
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana
lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.
Tabel 3. Klasifikasi Serangan Asma Berdasarkan GINA
PEF atau FEV1
Gejala/hari
< 1 kali perminggu
Derajat 1
(Intermiten)
Gejala/bulan
< 2 kali sebulan
Asimtomatik dan
PEF variability
> 80%
< 20%
Derajat 2
(Persisten Ringan)
> 80%
20-30%
Serangan dapat
mengganggu aktifitas
Sehari sekali
Derajat 3
(Persisten Jarang)
Serangan
60%-80%
> 30%
mengganggu
aktivitas
Terus menerus
Derajat 4
(Persisten Berat)
Sering
sepanjang hari
< 60%
> 30%
Aktifitas fisik
terbatas
Ringan
Sedang
Berat
Berjalan
Berbicara
Bayi: Menangis Bayi:
Istirahat
Bayi: Tidak mau
keras
makan/minum
- Tangis pendek
Ancaman Henti
Nafas
dan lemah
- Kesulitan
Bicara
Posisi
Kesadaran
Kalimat
Bisa berbaring
Mungkin
makan/minum
Penggal kalimat
Lebih suka
Kata-kata
Duduk
duduk
bertopang
Biasanya
lengan
Biasanya
Bingung dan
Mengi
iritable
Sedang, sering
iritable
Nyaring,
iritable
Sangat nyaring,
mengantuk
Sulit/tidak
(wheezing)
hanya pada
sepanjang
terdengar tanpa
terdengar
akhir ekspirasi
ekspirasi,
+ inspirasi
Tidak ada
Sedang
Biasanya ya
stetoskop
Sianosis
Sesak nafas
Obat bantu
Tidak ada
Minimal
Biasanya tidak
Ada
Berat
Ya
Nyata / jelas
Gerakan
nafas
Retraksi
Laju nafas
paradoks torakoDangkal,
Sedang,
abdominal
Dalam, ditambah Dangkal/hilang
retraksi
ditambah
nafas cuping
interkostal
retraksi
hidung
Meningkat
suprasternal
Meningkat
Meningkat
Menurun
1
+, pada udara kamar
Sedang
pernafasan tambahan
Pertukaran udara
Keadaan mental
Pulsus paradoksus
Baik
Normal
< 10
Sedang
Depresi/gelisah
10-40
Jelek
Koma
> 40
(Torr)
PaO2
PaCO2
70-100
< 40
Sianosis
Aktifitas otot-otot
2
+, pada 40% O2
Nyata
Skor:
0-4 : tidak ada bahaya
5-6 : akan terjadi gagal nafas siapkan Unit Gawat Darurat
> 7 : Gagal nafas
Diagnosis Banding
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Infeksi respiratorik bawah viral berulang
- bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
- Intratorakal
- Aspirasi benda asing
Penatalaksanaan
1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada
pasien dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi
dan penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai,
ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara
penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara
individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan
informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara
menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian
perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi
kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat
diberikan pada pasien dan keluarganya:
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna
mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan
penderita dan dokter menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai
pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu
penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
- penggunaan obat-obatan dengan benar
- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang
sudah diprogramkan;
- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif
dengan
dokter
yang
memeriksa;-
menjalankan
strategi
pengendalian
1
2
terjadi
bronkokonstriksi,
edema
mukosa,
dan
hipersekresi.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever)
seperti 2-agonis dan teofilin. Penggunaan 2-agonis untuk meredakan serangan
asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak
yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik
penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. 17 Bila
obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka -agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat -agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.18 Di samping itu
penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan
efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak
tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk
asma episodik ringan.18 Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu
memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya
pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu
steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.17 Jika dengan pemakaian
2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisik) atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan
yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak
menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma
episodik sering.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan 2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu
(tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat
terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi.
16,18
episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid
hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga
digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan
100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari
flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan
beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara
flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka
panjang.16,17,18
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat
pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek
terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu
waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah
pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak
menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan
dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam
tatalaksana Asma Persisten.
Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun
responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya
berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali
dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
16,17,18
Sebelum
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai
alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar
dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan
dengan usia.
Tabel 7. Anjuran Pemakaian Inhalasi disesuaikan dengan Usia
Usia
< 2 tahun
Alat inhalasi
Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler
Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler Alat hirupan (MDI) dengan
2-4 tahun
5-8 tahun
> 8 tahun
perenggang (spacer)
Nebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat hirupan bubuk Autohaler
jalan
nafas
secepat
mungkin,
mengurangi
hipoksemia,
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga
kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien
perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum
tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yanga akan
diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di
unit gawat darurat (UGD). Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid
sistemik oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
3. Serangan Asma berat
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien
tidak menunjukkan respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada
keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan
ancaman henti napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien
diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi,
dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan
asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap
asidosis dan pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto
toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan
pneumomediastinum.
Pada ancaman henti napas hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman
henti
napas
diperlukan
ventilsi
mekanik.
Nebulisasi
dengan
agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6
kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar
menjadi 4-6 jam.
Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per
bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis
awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dlam dekstros 5% atau gram fisiologis
sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit.Jika pasien telah mendapat
aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yng diberikan adalah setengah
dari dosis inisial.
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 1020/ml.Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan
pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil
pasien dapat dipulangkan dengan dibekali 2-agonis (hirupan atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga
pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chung KF. The clinical and pathophysiological chal- 69 lenge of cough. Dalam:
Chung KF, Widdicombe J, Boushey H, Penyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell
Publishing, 2003. h. 3-10.
6. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Penyunting
Respiratory illness in chil- dren. Oxford: Blackwell S Publications 1994.
7. Chang AB. Causes, assessement and measurement of cough in children.
Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Boushey H. Penyunting. Cough.
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003. h. 57-73.
8. McCool F D. Global Physiology and Pathophysiology of Cough. CHEST
January 2006 vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S
9. Wahab AS, Utomo. Batuk kronik pada anak. MDK 6(11), 1987, 640.
10. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes of
chronic cough. Lancet 371 (9621): 136474.
11. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes of
chronic cough. Lancet 371 (9621): 136474.
12. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2005
13. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI
14. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
15. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR
16. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2005
17. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1023/Menkes/SK/XI 2008
.
Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006
Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FK
UNDIP
8. Nelson. Textbook of Pediatrics.
9.
Ini daftar isi ku man
4. Widdicombe J. A brief overview of the mechanism of cough. Dalam: Chung KF,
Widdicombe J, Broushey H, penyunting. Cough: causes, mechanism, and therapy.
Massachusetts:Blackwell, 2003.h.17-23.
5. Wubel C, Faro A. Chronic cough in children. Pediat care rev. 2003;3:5-10.
7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: UKK
Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004.
8. Irwin RS, Medison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J Med.
2000;343:1715-21.
10. de Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax. 2003;58:998-1003.
11. Ahmad N, Zacharek MA. Allergic rhinitis and rhinosinusitis. Otolaryngol Clin N
Am. 2008;41:267-81.
9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop
Report 2006.
14. Camargo CA, Rachelefsky G, Schatz M. Managing asthma exacerbations in the
emergency department: Summary of the National Asthma Education and Prevention
Program expert panel report 3 guidelines for the management of asthma exacerbations.
J Allergy Clin Immunol. 2009;124:S5-14.
15. Macias CG, Patel B. Quality improvement in pediatric emergency department
asthma care. Clin Ped Emerg Med. 2009;10:103-6.