Anda di halaman 1dari 27

Referat

BATUK KRONIK BERULANG PADA ANAK

Oleh:
1. M. AZMAN PASHA
(10700182)
2. PANJI SUARCANA GAMA (10700080)

Dosen Pembimbing:
Dr. Endah Tjiptaningsih Sp.A
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD DR. MOHAMAD SALEH PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Batuk merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh (dalam sistem
respirasi) yang alami yang berupa suatu reflex primitif saluran nafas untuk
mengeluarkan sekret berlebih atau kotoran dan benda asing yg masuk ke jalan

nafas. Batuk tidak selalu berarti suatu hal yang patologis, bisa juga merupakan
suatu hal yang fisiologis. Pada orang dewasa dikatakan bahwa volume dahak
yang dikeluarkan dalam tiap batuk sekitar 30ml. Sebuah studi yang mengukur
batuk secara obyektif menemukan bahwa anak sehat dengan rerata umur 10
tahun biasanya mengalami 10x batuk (rentang hingga 34) dalam 24 jam,
sebagian besar batuk terjadi pada siang hari1. Angka ini meningkat selama
infeksi respiratorik, yang bisa terjadi hingga 8x lipat per tahun pada anak sehat.
Walaupun sebagian besar anak batuk tidak mengalami kelainan paru yang
serius, batuk dapat sangat mengganggu dan sulit untuk diatasi. Sampai batas
tertentu batuk kronik pada anak adalah normal dan mempunyai prognosis yang
baik. Jika batuk kronik yang terjadi sangat sering atau berat, maka sangat
mungkin terdapat penyakit yang mendasarinya2.
Pada dasarnya batuk sendiri merupakan suatu reflex tubuh yang harus
dipelihara, karena fungsinya yang sangat penting bagi tubuh. Respon batuk
dapat terjadi akibat adanya rangsangan pada reseptor batuk di saluran nafas
maupun di luar saluran nafas. Rangsangan yang terjadi bisa akibat rangsangan
mekanik maupun kimiawi. Reseptor batuk di saluran nafas merupakan ujung
akhir dari n. vagus (N.X) yang berada pada sel sel rambut getar dari faring
sampai bronkiolus, hidung. Yang berada di luar saluran nafas antara lain sinus
sinus paranasal, saluran telinga dan memban timpani, pleura, lambung, perikard
dan diafragma.
Jenis rangsangan yang dapat menimbulkan timbulnya respon batuk
antara lain:
1. Udara dingin
2. Benda asing (contoh: debu, serbuk sari, partikel polutan, dll)
3. Radang atau adanya edema saluran nafas
4. Adanya tekanan pada saluran nafas (contoh: tumor, kanker, dll)
5. Jumlah Lendir yang banyak pada saluran nafas
6. Kontraksi berlebih pada saluran nafas (contoh: asma)
Definisi batuk kronik bervariasi, ada yang menyatakan batuk kronik adalah
batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu, ada yang
mengambil batasan 3 minggu, bahkan 4 minggu. 1 Unit Kerja Koordinasi
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi IDAI) membuat
batasan batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau sama
dengan 2 minggu. sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang

dari 2 minggu. Selain batuk akut dan kronik beberapa literatur menyebutkan
pembagian lain yaitu batuk sub akut tetapi UKK Respirologi tidak menggunakan
istilah batuk sub akut. Selain batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang
(BKB) yaitu batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu
dan/atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut.7
Terkadang sulit untuk menentukan masalah yang memicu terjadinya
batuk kronik pada pasien, tetapi yang tersering adalah batuk kronik dikarenakan
post nasal drip, asma dan refluks asam yang merupakan gejala khas dari
gastroesophageal reflux disease (GERD). Batuk kronik biasanya menghilang
sesudah faktor pemicu dapat dihilangkan.4
Etiologi
Dalam menentukan diagnosis

etiologi

batuk

kronik

perlu

dipertimbangkan faktor usia. (Tabel 1)


Tabel 1. Etiologi Batuk Kronik Berdasarkan Usia7
Bayi
Anak (usia muda)
Anak (usia lebih tua)
Kongenital
Aspirasi
Asma
- Trakeomalasia
Pasca infeksi virus
Rokok (aktif)
- Vascular ring
Asma
Postnasal drip
Infeksi:
Tuberkulosis
Pasca infeksi virus
- Pertusis, virus,
Pertusis
Infeksi
- Klamidia
OMSK*
Tuberkulosis
Asma
GER*
OMSK*
Pneumonia aspirasi
Bronkiektasis
Bronkiektasis
GER*
Psikogenik
Rokok pasif
Tumor
*OMSK: otitis media supurativa kronik;
GER: gastro-esophageal reflux
Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit dasar sebagai
etiologinya. Pada keadaan infeksi bakteri maka pemberian antibiotik merupakan
pilihan utama sedangkan pada asma pemberian bronkodilator sebagai obat
utamanya, demikian juga yang lainnya. Namun pada keadaan tertentu
diperlukan pengobatan suportif lain seperti misalnya mukolitik, fisioterapi, dan
lain-lain. Secara garis besar tatalaksana batuk kronik dibagi dalam 2 kelompok
besar yaitu farmakologik dan non farmakologik. 8
Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat utama dan obat
suportif. Yang termasuk obat utama adalah antibiotik, bronkodilator, dan
antiinflamasi, sedangkan yang termasuk suportif adalah mukolitik dan

antitusif.10 Pada batuk kronik dengan penyebab utama infeksi bakteri maka
pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang diberikan
tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada faringitis yang diduga bakteri
maka pilihan utama adalah golongan penisilin sedangkan pada rinosinusitis
sebagai pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan asam klavulanat serta
pada pneumonia atipik pilihan utama adalah makrolid dan lain-lain. Selain
pilihan antibiotik yang berbeda juga perlu diperhatikan lamanya pemberian
antibiotik misalnya faringitis bakteri cukup dengan 7 hari sedangkan pada
rinosinusitis diberikan selama 3 minggu.11 Penyebab batuk kronik yang sering
adalah asma sehingga pengobatan utama pada saat serangan asma adalah
bronkodilator.14 Pada asma terjadi keadaan bronkokonstriksi akibat pajanan
alergen pada saluran respiratorik sehingga terjadi obstruksi dengan akibat
hipoksemia dan hiperkarbia yang harus ditatalaksana sesegera mungkin untuk
mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.15 Bronkodilator yang digunakan
sebaiknya dalam bentuk inhalasi karena mempunyai awitan yang cepat,
langsung menuju sasaran, dosis kecil, dan efek samping kecil. Pada serangan
asma, bronkodilator yang digunakan adalah yang termasuk dalam golongan
short acting sedangkan pada tatalaksana jangka panjang digunakan long acting
beta-2 agonist (sebagai ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid
inhalasi). Bronkodilator yang sering digunakan pada serangan asma adalah
salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan ipratropium bromida, sedangkan pada
tatalaksana jangka panjang adalah formoterol, salmeterol, dan bambuterol.9
Pada batuk kronik yang didasari inflamasi sebagai faktor etiologi seperti rinitis
alergika dan asma pemberian antiinflamasi merupakan pilihan utama. Pada
rinitis alergika antiinflamasi yang dianjurkan adalah kortikosteroid intranasal
selama 4-8 minggu. Pemberian kortikosteroid intranasal juga diberikan pada
rinosinusitis yang disertai dengan alergi selama 3 minggu.11 Penggunaan
antiinflamasi untuk asma terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu untuk
tatalaksana serangan asma dan tatalaksana di luar serangan asma. Untuk
mengatasi serangan asma, antiinflamasi (kortikosteroid) yang digunakan
umumnya sistemik yaitu pada serangan asma sedang dan serangan asma berat.
Pada serangan asma ringan umumnya tidak diberikan kortikosteroid kecuali
pernah mengalami serangan berat yang memerlukan perawatan sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid pada asma di luar serangan diberikan secara inhalasi

yaitu pada asma episodik sering dan asma persisiten. Pada keadaan tersebut
umumnya kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan long acting beta-2
agonist.7
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat suportif seperti
mukolitik dan antitusif.5,8 Cara kerja mukolitik ada beberapa mekanisme yaitu
meningkatkan ketebalan lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel,
menurunkan kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi tersebut di atas yang
dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang cukup, obat-obat beta-2 agonis, antitusif
dan lain-lain. Selain bekerja dengan mekanisme tersebut di atas mukolitik dapat
pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid dari sputum sehingga
sputum mudah untuk dikeluarkan. Antitusif merupakan obat suportif lain yang
diberikan pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif terutama bagi anakanak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemberian antitusif justru akan
membuat sputum tidak dapat keluar karena menekan refleks batuk yang
dibutuhkan untuk mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan
kerja silia.8 Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus pertusis yang dapat
terjadi apnea akibat batuk yang berat sehingga tidak dapat inspirasi karena
batuknya. Pada keadaan tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara umum
pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan.8 Pada asma pemberian
antitusif merupakan kontraindikasi karena akan memperberat keadan asmanya.7,9
Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula penatalaksanaan non
farmakologi seperti pencegahan terhadap alergen, pengendalian lingkungan, dan
hidrasi yang cukup.8,10 Pada penyakit yang hanya timbul akibat adanya pajanan
alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen merupakan hal yang harus
dilakukan misalnya pencegahan terhadap asap rokok, tungau debu rumah, atau
makanan tertentu yang menyebabkan alergi. Selain itu pengaturan lingkungan
seperti kebersihan lingkungan dan pengaturan suhu serta kelembaban
merupakan hal yang perlu diperhatikan.

7,9

Dengan suasana lingkungan yang

baik maka tatalaksana batuk kronik menjadi lebih baik. Hidrasi yang cukup
dapat berperan sebagai faktor yang memudahkan terjadinya pengeluaran sekret
lebih baik. Dengan hidrasi yang cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol
dan menurunkan viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan

gel sehingga proses pengeluaran sekret menjadi lebih mudah.8


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan
Pada bahasan referat ini penulis membatasi pembahasan pada Batuk Kronik
Berulang secara garis besar dan asma bronkial pada anak.
2.2 Pengertian
Pada diskusi Kelompok Pulmonologi Anak dalam Kongres Nasional
Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) V tahun 1981 di Medan telah disepakati
bahwa BKB adalah keadaan klinis oleh berbagai penyebab dengan gejala batuk
yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan / atau batuk yang berulang
sedikitnya 3 episode dalam 3 bulan berturut, dengan atau tanpa disertai gejala
respiratorik atau non-respiratorik lainnya5.
Penyebab batuk tersering pada anak yang dihadapi dalam praktek sehari
hari adalah infeksi respiratorik akut (IRA) yang sebagian besar penyebabnya
adalah virus4. Sebagian IRA karena virus tertentu dapat menyebabkan batuk
yang berkepanjangan yang disebut post infectious cough. Bila seorang anak
mengalami keadaan ini berulang-ulang akan terlihat sebagai batuk kronik.
Terdapat kesulitan dalam membedakan kedua hal tersebut, maka dalam
bidang Ilmu Kesehatan Anak dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB) atau
chronic recurrent cough. Sebenarnya istilah itu terdiri dari dua pengertian
dengan kata penghubung dan/ atau, yaitu tepatnya batuk kronik dan atau batuk
berulang. Pengertiannya bila terpenuhi salah satu saja maka sudah bisa
dimasukkan sebagai Batuk Kronik Berulang.
2.3 Patofisiologi Batuk
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di
luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di
laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang
pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor di dapat di
laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga
ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial, dan
diafragma.6
Serabut afferen terpenting ada pada cabang nervus vagus yang

mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga
rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus
trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus,
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma.4
Oleh serabut afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di
medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh
serabut-serabut afferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan
lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain lain
menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot otot laring, trakea, bronkus,
diafragma, otot otot interkostal, dan lain-lain. Di daerah efektor inilah tempat
mekanisme batuk terjadi.4

Gambar 1. Reseptor batuk.


Diunduh dari : http://www.asthma.partners.org/Images/CoughReceptors.gif

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :7
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring

dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.


2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam
paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks,
perut

dan

diafragma,

sehingga

dimensi

lateral

dada

membesar

mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru


dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase
ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara
yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang
potensial. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya,
berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional.
Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50%
dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama
dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan
memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang
lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan
lebih mudah.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik.Pada fase ini tekanan
intratoraks meninggi sampai 300 cmH2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka .Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

Gambar 2. Fase batuk


Diunduh dari : http://healthy-lifestyle.most-effective-solution.com/wpcontent/uploads/2010/09/human-anatomy-lungs.jpg
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan kondisi klinis anak Batuk Kronik Berulang (BKB) dibagi menjadi,

Kelompok I
Anak Relatif Tampak Sehat
Infeksi
(Virus / bakteri)

Bronkitis

Kelompok II
Penyakit Dasar Nyata
Tuberkulosis

Alergi (Asma)
Kimiawi (Aspirasi

Aspirasi Paru Berulang


Benda Asing

susu / isi lambung,


Inhalasi asap
rokok)
Batuk post infeksi saluran nafas
Pertusis
Asma
Refleks Gastro-Esofagus
Psikogen
Post Nasal Drip (PND)

Penyakit Paru
Supuratif Kronik
Bronkiektasis
Defisiensi imun
Atelektasis
Diskinesia Silia Primer
Benda asing
Trakeobronkomalasia
Tuberkulosis (Kompresi
oleh kelenjar getah
bening di mediastinum
Lesi Fokal
Respiratorik

atau paru)
Tumor
Kista atau hemangioma
dari laring atau trakea
Stenosis

Tabel 1. Klasifikasi Batuk Kronik Berulang pada Anak


Wahab dan Utomo mengungkapkan bahwa untuk Indonesia apabila seorang
dokter berhadapan dengan pasien anak yang memperlihatkan gejala batuk yang cukup
lama berulang dengan pengobatan atau menetap, maka sebaiknya dipikirkan
kemungkinan 3 hal, yaitu batuk karena Tb primer, batuk karena alergi (asma bronkial)
dan batuk karena kelainan jantung bawaan5.
TERAPI
Penatalaksanaan Batuk Kronik Berulang (BKB) terdiri dari kausatif,
simptomatik dan rehabilitatif. Pada BKB dengan diagnose pertusis, TBC, asma,
bronchitis maka pengobatan langsung ditujukan pada kelainan yang di dapat.
Pemberian antibiotika dapat dipertimbangakan sesuai dengan data empirik dan
epidemiologi yang ada dan sesuai pada penegakan diagnosa.
3. Asma Bronkial pada Anak
Pendahuluan
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan
dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi
baik indoor maupun outdoor.8 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar
6,5% pada usia sekolah menengah pertama.9
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an, bronkokonstriksi
merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses
inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya
remodelling.
Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada tatalaksana asma secara
mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada
awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan
pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat
antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.10
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada
anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun

Negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup
yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun
outdoor.1,2 Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi
asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia
sekolah menengah pertama.4 Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal
60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain inflamasi
juga disertai adanya remodelling.5,6 Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak
pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk mengatasi
bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian berkembang dengan
antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain dengan antiinflamasi, juga
harus dapat mencegah terjadinya remodelling. Selain upaya mencari tatalaksana asma
yang terbaik, beberapa ahli membuat suatu pedoman tatalaksana asma yang bertujuan
sebagai standar penanganan asma, misalnya Global Initiative for Asthma (GINA) dan
Konsensus Internasional. Pedoman di atas belum tentu dapat dipakai secara utuh
mengingat beberapa fasilitas yang dianjurkan belum tentu tersedia, sehingga dianjurkan
untuk membuat suatu pedoman yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing
negara.
Di Indonesia Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) telah membuat suatu Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA).
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan asma
(eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada
asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan,
diperlukan obat pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap
serangan asma.4
Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia,
prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun
sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah
anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).

Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding
perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki
lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan
NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan
dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-17 tahun
atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat
asma jarang.11
Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan
hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran
napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda
utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat
memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE)
terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara
dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga.
Hiperreaktivitas

saluran

napas

akan

menyebabkan

obstruksi

saluran

napas

menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah
pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah
edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama
ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di
saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran
udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi
kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas
antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah,
kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif
dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.
PENCETUS
Alergen (polen, debu, tungau rumah tangga), Bahan iritan (Polusi, asap
kendaraan), Aktifitas fisik (Olahraga)

Bronkokonstriksi
Edema
Hipersekresi mucus

Gambar 1. Patofisiologi Asma


Manifestasi Klinis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasa
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik
seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan
atopi pada pasien atau keluaeganya dapat menunjang penegakan diagnosis.
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi
yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya
riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang
patut diduga suatu asma.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, khususnya
anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid
sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih
definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih
lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
(exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang
diagnosis.

Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin
Patut diduga asma:
- Episodik
- Nocturnal
- Musiman
- Pasca aktivitas fisik
- Riwayat atopi
penderita/keluarga

Tidak jelas asma:


- Timbul masa neonatus
- Gagal tumbuh
- Infeksi kronik
- Muntah / tersedak
- Kelainan fokal paru
- Kelainan sistem
kardiovaskular

Periksa peak flow meter atu spirometer


untuk menilai
- Reversibilitas (? > 15%),
- Variabilitas(> 15%)

Pertimbangkan pemeriksaan:
- Foto roentgen toraks dan
waters
- Uji faal paru
- Respons terhadap
(dianjurkan pada anak usia > 5 tahun)
bronkodilator
- Uji provokasi bronkus
Tidak Berhasil
- Uji keringat
Berikan bronkodilator
- Uji imunologis
Berhasil
- Pemeriksaan motilitas silia
- Pemeriksaan refluks GE
Diagnosis Kerja: Asma
Tidak Mendukung diagnosis lain Mendukung diagnosis lain

Diagnosis dan tatalaksana penyakit lain


Berikan obat anti asma;
Bila tidak berhasil nilai ulang
Pertimbangkan Asma
diagnosis dan ketaatan berobat
disertai
Gambar 2. Alur Diagnosis Asma
Pada penyakit
Anak lain

Bukan Asma

Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap
pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaandiagnostik
lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis
lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah
penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat,
cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek
tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan
diagnosis bukan asma.4
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan

fokal paru dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga
perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji
defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Klasifikasi
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana
lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.menjadi 4 klasifikasi yaitu asma intermiten,
asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat.
Tabel 3. Klasifikasi Serangan Asma Berdasarkan GINA
PEF atau FEV1
Gejala/hari
< 1 kali perminggu
Derajat 1
(Intermiten)

Gejala/bulan
< 2 kali sebulan

Asimtomatik dan

PEF variability
> 80%
< 20%

nilai PEF normal


diantara serangan
> 1 kali perminggu

Derajat 2
(Persisten Ringan)

> 2 kali sebulan

tapi < 1 kali perhari

> 80%
20-30%

Serangan dapat
mengganggu aktifitas
Sehari sekali

Derajat 3
(Persisten Jarang)

> 1 kali seminggu

Serangan

60%-80%
> 30%

mengganggu
aktivitas
Terus menerus

Derajat 4
(Persisten Berat)

Sering

sepanjang hari

< 60%
> 30%

Aktifitas fisik
terbatas

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu


asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini tabel
klasifikasi asma berdasarkan PNAA:
Tabel 4. Klasifikasi Asma berdasarkan PNAA

Tabel 5. Penilaian Derajat Serangan Asma


Parameter
klinis, Fungsi
paru,
laboratorium
Sesak timbul
pada saat
(breathless)

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan
Berbicara
Bayi: Menangis Bayi:

Istirahat
Bayi: Tidak mau

keras

makan/minum

- Tangis pendek

Ancaman Henti
Nafas

dan lemah
- Kesulitan
Bicara
Posisi

Kesadaran

Kalimat
Bisa berbaring

Mungkin

makan/minum
Penggal kalimat
Lebih suka

Kata-kata
Duduk

duduk

bertopang

Biasanya

lengan
Biasanya

Bingung dan

Mengi

iritable
Sedang, sering

iritable
Nyaring,

iritable
Sangat nyaring,

mengantuk
Sulit/tidak

(wheezing)

hanya pada

sepanjang

terdengar tanpa

terdengar

akhir ekspirasi

ekspirasi,
+ inspirasi
Tidak ada
Sedang
Biasanya ya

stetoskop

Sianosis
Sesak nafas
Obat bantu

Tidak ada
Minimal
Biasanya tidak

Ada
Berat
Ya

Nyata / jelas
Gerakan

nafas
Retraksi

Laju nafas

paradoks torakoDangkal,

Sedang,

abdominal
Dalam, ditambah Dangkal/hilang

retraksi

ditambah

nafas cuping

interkostal

retraksi

hidung

Meningkat

suprasternal
Meningkat

Meningkat

Menurun

Tabel 6. Sistem Skoring Pernafasan


0
-

1
+, pada udara kamar
Sedang

pernafasan tambahan
Pertukaran udara
Keadaan mental
Pulsus paradoksus

Baik
Normal
< 10

Sedang
Depresi/gelisah
10-40

Jelek
Koma
> 40

(Torr)
PaO2
PaCO2

70-100
< 40

< pada suhu kamar


40-65

< pada 40% O2


>65

Sianosis
Aktifitas otot-otot

2
+, pada 40% O2
Nyata

Skor:
0-4 : tidak ada bahaya
5-6 : akan terjadi gagal nafas siapkan Unit Gawat Darurat
> 7 : Gagal nafas
Diagnosis Banding
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Infeksi respiratorik bawah viral berulang
- bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
- Intratorakal
- Aspirasi benda asing

- Sindrom diskinesia silier primerDefisiensi imun


- Penyakit jantung bawaan

Penatalaksanaan
1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada
pasien dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi
dan penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai,
ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara
penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara
individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan
informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara
menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian
perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi
kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat
diberikan pada pasien dan keluarganya:
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna
mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan
penderita dan dokter menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai
pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu
penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
- penggunaan obat-obatan dengan benar
- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang
sudah diprogramkan;
- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif
dengan

dokter

yang

memeriksa;-

menjalankan

strategi

pengendalian

lingkungan guna mengurangi paparan alergen dan iritan;Edukasi yang baik


memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya) sehingga

penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan mandiri (self


management) untuk berperan-serta aktif.
Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat
meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri,
mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan
berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat penting
program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada anak
2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma
Kriteria asma terkontrol
- Tidak ada gejala asma atau minimal
- Tidak ada gejala asma malam
- Tidak ada keterbatasan aktivitas
- Nilai APE/VEP1 normal
- Penggunaan obat pelega napas minimal
- Tidak ada kunjungan ke UGD
Klasifikasi

1
2

- Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi


- Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol
- Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko


Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran
yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang
berakibat

terjadi

bronkokonstriksi,

edema

mukosa,

dan

hipersekresi.

Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan


terhadap saluran respiratorik.
4. Tatalaksana asma jangka panjang
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci
tujuan yang ingin dicapai adalah17:
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever)
seperti 2-agonis dan teofilin. Penggunaan 2-agonis untuk meredakan serangan
asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak
yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik
penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. 17 Bila
obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka -agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat -agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.18 Di samping itu
penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan
efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak
tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk
asma episodik ringan.18 Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu
memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya
pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu
steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.17 Jika dengan pemakaian
2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisik) atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan
yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak
menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma
episodik sering.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan 2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu
(tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat

terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi.
16,18

Tahap pertama obat pengendali pada asma

episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid
hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga
digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan
100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari
flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan
beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara
flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka
panjang.16,17,18
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat
pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek
terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu
waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah
pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak
menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan
dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam
tatalaksana Asma Persisten.
Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun
responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya
berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali
dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.

16,17,18

Sebelum

melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara


penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti
rintis dan sinusitis dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara
optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.18
Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu
dengan menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan
budenoside 200- 400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak

berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari


flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan
alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah
dengan LABA (Long Acting -2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow
Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.)
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat
gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat
meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian
>400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA,
atau TSR, atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak
dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala
asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya.16,17,18
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap
tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi
penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan
terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah
dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat.19 Untuk steroid oral sebagai dosis awal
dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara
sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.18
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya
peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya
ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak
dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini
penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak
lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.17Apabila dengan
pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan
klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi
bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya.
Sementara itu penggunaan -agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.18

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai
alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar
dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan
dengan usia.
Tabel 7. Anjuran Pemakaian Inhalasi disesuaikan dengan Usia
Usia
< 2 tahun

Alat inhalasi
Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler
Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler Alat hirupan (MDI) dengan

2-4 tahun
5-8 tahun
> 8 tahun

perenggang (spacer)
Nebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat hirupan bubuk Autohaler

5. Pengobatan eksaserbasi akut


Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala
asma secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap
faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan
kegagalan pengobatan jangka panjang.
Menurut buku Pedoman Nasional Asma Anak UKK Pulmonologi IDAI
2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan
dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi
derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat
serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan
antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma
(aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat mengalami
serangan ringan saja.
Sebaliknya seorang penderita asma ringan (episodik/jarang) dapat
mengalami serangan asma berat, atau bahkan serangan ancaman henti nafas
yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan bergantung pada
beratnya derajat serangan asma.
Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan
penyempitan

jalan

nafas

secepat

mungkin,

mengurangi

hipoksemia,

mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan

tatalaksana mencegah kekambuhan.


Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis
atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena
onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan
beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa
spacer atau nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan
terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di ruang emergency
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat
serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi.
Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.
Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana
awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat
serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan
dengan cepat dan jelas.
Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:
1. Serangan Asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat
menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan
diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan
jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan
sebagai serangan asma derajat sedang. Sebelum pulang pasien dibekali obat 2agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus
serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek
selama 3-5 hari.
Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu
24 48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien
sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang
yang dilakukan di klinik rawat jalan
2. Serangan Asma sedang

Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga
kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien
perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum
tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yanga akan
diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di
unit gawat darurat (UGD). Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid
sistemik oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
3. Serangan Asma berat
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien
tidak menunjukkan respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada
keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan
ancaman henti napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien
diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi,
dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan
asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap
asidosis dan pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto
toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan
pneumomediastinum.
Pada ancaman henti napas hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman
henti

napas

diperlukan

ventilsi

mekanik.

Nebulisasi

dengan

agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6
kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar
menjadi 4-6 jam.
Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per
bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis
awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dlam dekstros 5% atau gram fisiologis
sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit.Jika pasien telah mendapat
aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yng diberikan adalah setengah
dari dosis inisial.
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 1020/ml.Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan

pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil
pasien dapat dipulangkan dengan dibekali 2-agonis (hirupan atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga
pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Chung KF. The clinical and pathophysiological chal- 69 lenge of cough. Dalam:
Chung KF, Widdicombe J, Boushey H, Penyunting. Cough. Massachusetts: Blackwell
Publishing, 2003. h. 3-10.
6. Phelan PD. Cough. Dalam: Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Penyunting
Respiratory illness in chil- dren. Oxford: Blackwell S Publications 1994.
7. Chang AB. Causes, assessement and measurement of cough in children.
Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Boushey H. Penyunting. Cough.
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003. h. 57-73.
8. McCool F D. Global Physiology and Pathophysiology of Cough. CHEST
January 2006 vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S
9. Wahab AS, Utomo. Batuk kronik pada anak. MDK 6(11), 1987, 640.
10. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes of
chronic cough. Lancet 371 (9621): 136474.
11. Chung K F, Pavord ID (April 2008). Prevalence, pathogenesis, and causes of
chronic cough. Lancet 371 (9621): 136474.
12. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2005
13. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI
14. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
15. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR
16. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2005
17. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta
18. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1023/Menkes/SK/XI 2008

Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma Menteri Kesehatan Republik


Indonesia
19. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR
1. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak.
Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI
2.
3.
4.
5.
6.
7.

.
Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006
Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FK

UNDIP
8. Nelson. Textbook of Pediatrics.
9.
Ini daftar isi ku man
4. Widdicombe J. A brief overview of the mechanism of cough. Dalam: Chung KF,
Widdicombe J, Broushey H, penyunting. Cough: causes, mechanism, and therapy.
Massachusetts:Blackwell, 2003.h.17-23.
5. Wubel C, Faro A. Chronic cough in children. Pediat care rev. 2003;3:5-10.
7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: UKK
Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004.
8. Irwin RS, Medison JM. The diagnosis and treatment of cough. N Engl J Med.
2000;343:1715-21.
10. de Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax. 2003;58:998-1003.
11. Ahmad N, Zacharek MA. Allergic rhinitis and rhinosinusitis. Otolaryngol Clin N
Am. 2008;41:267-81.
9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop
Report 2006.
14. Camargo CA, Rachelefsky G, Schatz M. Managing asthma exacerbations in the
emergency department: Summary of the National Asthma Education and Prevention
Program expert panel report 3 guidelines for the management of asthma exacerbations.
J Allergy Clin Immunol. 2009;124:S5-14.
15. Macias CG, Patel B. Quality improvement in pediatric emergency department
asthma care. Clin Ped Emerg Med. 2009;10:103-6.

Anda mungkin juga menyukai