Anda di halaman 1dari 49

BAB II

KONSEPTUALISASI PROGRAM BIMBINGAN UNTUK


MENINGKATKAN KOMITMEN

A. Komitmen
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendorong karyawan yang berbakat untuk memperluas kesempatan dalam
organisasinya.
Ada dua pendekatan dalam merumuskan definisi komitmen dalam
berorganisasi. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengilustrasikan bahwa
komitmen dapat muncul dalam berbagai bentuk, maksudnya arti dari komitmen
menjelaskan perbedaan hubungan antara anggota organisasi dan entitas lainnya (salah
satunya organisasi itu sendiri). Yang kedua melibatkan usaha untuk memisahkan
diantara berbagai entitas di mana individu berkembang menjadi memiliki komitmen.
Kedua pendekatan ini tidak compatible namun dapat menjelaskan definisi dari
komitmen, bagaimana proses perkembangannya dan bagaimana implikasinya
terhadap individu dan organisasi (Meyer & Allen, 1997).
Sebelum munculnya kedua pendekatan tersebut, ada suatu pendekatan lain
yang lebih dahulu muncul dan lebih lama digunakan, yaitu pembedaan berdasarkan
attitudinal commitment atau pendekatan berdasarkan sikap dan behavioral
commitment atau pendekatan berdasarkan tingkah laku (Mowday, Porter, & Steers,

18

19

1982; Reichers; Salancik; Scholl; Staw dalam Meyer & Allen, 1997). Pembedaan
yang lebih tradisional ini memiliki implikasi tidak hanya kepada definisi dan
pengukuran komitmen, tapi juga pendekatan yang digunakan dalam berbagai
penelitian perkembangan dan konsekuensi komitmen. Mowday et al. (Meyer &
Allen, 1997) menjelaskan kedua pendekatan itu sebagai berikut. Attitudinal
commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai memikirkan mengenai
hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya terhadap organisasi.
Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pola pikir di mana individu
memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya sendiri sesuai dengan organisasi di
mana ia berada. Behavioral commitment berhubungan dengan proses di mana
individu merasa terikat kepada organisasi tertentu dan bagaimana cara mereka
mengatasi setiap masalah yang dihadapi.
komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya tingkah laku anggota organisasi
sesuai dengan yang diharapkan (dari perspektif organisasi), seperti anggota organisasi
jarang untuk tidak hadir dan perpindahan ke organisasi lain lebih rendah, dan
produktivitas yang lebih tinggi.
Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen
dalam organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya
dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki
komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian
dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap
organisasi.

20

Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990) menyatakan bahwa komitmen


memiliki arti penerimaan individu yang kuat

terhadap tujuan dan nilai-nilai

perusahaan, di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang
kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tersebut.
Porter dan Mowday (1982) mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan yang
bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam
bagian dari organisasi. Hal tersebut ditandai dengan tiga hal, yaitu:
1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama
organisasi.
3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi (menjadi
bagian dari organisasi ).
Richard M. Steers (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa
identifikasi (kepercaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (keinginan untuk
berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi ) dan loyalitas (keinginan
untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh
seorang karyawan terhadap organisasinya. Steerss (1982) berpendapat bahwa
komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap
tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya
lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi
dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan

21

organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen


organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan,
dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Diantara sekian banyak komitmen yang berkaitan dengan pekerjaan,
komitmen organisasi telah dipelajari secara luas dengan sekian banyak fokus perilaku
yang diteliti. Sementara dari sekian banyak fokus tersebut, para peneliti komitmen
organisasi setuju bahwa komitmen organisasi mencerminkan penambahan psikologis
multidimensi dari individu terhadap organisasi (Mowday, Porter dan Steers, 1982)
Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen terhadap organisasi maka
dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga dimensi
utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap organisasi,
pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan beban moral untuk terus
berada dalam organisasi (Meyer & Allen, 1997).
Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari
beberapa ahli di atas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada
individu (karyawan) dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan
dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian
sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi,
dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan
perusahaan atau organisasi secara aktif karena karyawan yang menunjukan komitmen

22

tinggi memilki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih
dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Komitmen organisasi terdiri atas dimensi affective yang berkenaan dengan
emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi dan dimensi
continuance yaitu komponen berdasarkan persepsi karyawan tentang kerugian yang
akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi (Walsh dan Taylor, 2002).
Pada kedua dimensi komitmen tersebut, individu tidak terkait secara
psikologis terhadap organisasi melainkan terhadap faktor-faktor instrinsik dan
ekstrinsik yang terdapat pada organisasi dimana individu menemukan pekerjaan
dalam sebuah organisasi yang menawarkan faktor-faktor tersebut yang membuat
individu menjadi terikat atau berkomitmen terhadap organisasinya secara affective &
continually hingga faktor-faktor tersebut tidak lagi dapat diterima atau ada. Ini berarti
bahwa faktor-faktor organisasi tersebut menghubungkan antara ikatan psikologis
individu dengan level komitmen organisasi individu (Walsh & Taylor 2002).
Beberapa teori klasik menerangkan individu dapat berkomitmen terhadap
organisasi yang di dalamnya terdapat tujuan-tujuan yang harus dicapai. Morrow
(Walsh & Taylor, 2002) berpendapat bahwa dalam mengidentifikasikan konstruksi
komitmen individu dapat secara bersamaan berkomitmen pada organisasi, pekerjaan,
karir, dan perserikatannya di mana kekuatan komitmen tersebut akan berbeda diantara
variabel-variabel. Dalam memperkirakan dampak dari target-target pekerjaan yang
harus diselesaikan serta prestasi kerja yang harus dicapai. Ide mengenai pemberian
target-target tersebut telah terbukti lebih kuat dibandingkan pengukuran komitmen

23

secara keseluruhan. Sebagai contoh, Backer (Walsh & Taylor, 2002) menunjukkan
bahwa dengan memberikan beberapa target-target yang harus dipenuhi, prediksi akan
kepuasan, keinginan untuk meninggalkan organisasi, serta perilaku-perilaku sosial
yang ditunjukkan oleh karyawan akan lebih kuat dan mudah terlihat dibandingkan
hanya dengan mengukur komitmen organisasi secara umum. Ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Siders George dan Dhawadkan (Walsh & Taylor, 2002)
mereka menemukan bahwa karyawan yang menampilkan komitmen yang kuat
terhadap tujuan-tujuan internal seperti kepada supervisor mereka, maka akan terlihat
pada produktivitas dan organisasi yang terlihat dalam pertumbuhan dan volume
penjualan. Begitu pula saat karyawan memilki komitmen yang kuat terhadap tujuantujuan eksternal seperti terhadap pelanggan, maka akan terlihat dalam upaya
meningkatkan pelayanan. Walsh (2002) berpendapat bahwa individu terikat tidak
hanya pada organisasi saja tetapi juga terhadap faktor-faktor yang berasal dari
organisasinya yang penting bagi mereka. Selama faktor-faktor tersebut masih ada,
individu akan tetap berkomitmen terhadap organisasinya.
2. Jenis-jenis Komitmen Organisasi
A. Jenis Komitmen Organisasi menurut Mowday, Porter dan Steers
Komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers (1982) dikenal sebagai
pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memilki dua
komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup :
1). Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana
pemenerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi karyawan

24

tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi. Kesamaan nilai


pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi.
2). Keterlibatan sesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di organisasi tersebut.
Karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas
dan tanggung jawab pekerjaan yang diberikan kepadanya.
3). Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap
komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi
dengan karyawan. Karyawan dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas
dan rasa memilki terhadap organisasi.
Sedangkan yang termasuk dengan kehendak untuk bertingkah laku adalah :
1. kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui kesediaan bekerja
melebihi apa yang diharapkan agar organisasi dapat maju. Karyawan dengan
komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi
2. keinginan untuk tetap berada dalam organisasi. Para karyawan yang memiliki
komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan
berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam
waktu lama.
Seseorang yang memilki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap
organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan ada loyalitas serta afeksi
positif terhadap organisasi. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan
organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka
waktu lama.

25

B. Jenis Komitmen Organisasi menurut Allen dan Meyer


Allen dan Meyer (1993) membedakan komitmen organisasi atas dua komponen,
yaitu: affective, continuance, dan kemudian Kuntjoro (2002) menambahkan satu
komponen selanjutnya yaitu komponen komitmen normative.
1. komitmen affective
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap
organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan
kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi
akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan
untuk itu (Allen & Meyer, 1997).
Komitmen affective juga dianggap sebagai masa cohesion commitment yang
berkenaan

dengan

keterikatan

emosional

individu

kepada

kelompoknya

(Kanter,1968). Individu yang terikat secara afektif pada organisasinya serta percaya
akan tujuan-tujuan organisasi, akan mengupayakan secara kuat atas nama perusahaan
untuk tetap menjaga keanggotaanya dalam organisasi (Mowday dkk,1982).
Individu membangun rasa komitmen affective terhadap organisasinya saat
mereka telah berkompeten dalam penampilan kerja mereka serta saat mereka merasa
nyaman dengan peranan mereka sebagai anggota organisasi (Allen & Meyer,1993).
Sementra faktor tingkatan individu seperti kepribadian, orientasi nilai, usia dan
kedudukan telah dianggap memberikan pengaruh terhadap level komitmen. Faktorfaktor organisasi memberikan pengaruh yang sama terhadap level komitmen

26

karyawan. Saat karyawan berada pada tingkatan tingkatan: 1). Mempercayai peranan
dan tujuan-tujuan pekerjaan yang secara jelas digambarkan, dan 2). Menerima
dukungan manajemen dan umpan balik berkenaan dengan penampilan kerja mereka.
Tinkatan-tingkatan tersebut akan membuat karyawan terikat atau berkomitmen secara
affective. Pendapat tersebut didukung oleh Eby, Freeman, Rush dan Lance (Walsh &
Taylor,2002) yang menggunakan komponen model karakteristik pekerjaan dari
Hackman dan Oldman, disarankan adanya variasi keahlian, identitas pekerjaan dan
makna pekerjaan akan membawa motivasi intrinsik pada individu yang lebih besar
dimana hal tersebut juga akan membutuhkan rasa komitmen affective.
Komitmen affective akan muncul pada diri individu saat individu merasakan
keanggotaannya dalam organisasi. (Walsh & Taylor,2002). Sebuah penelitian
mengenai teori identitas sosial dilakukan oleh Tajfel dan Turner (Walsh &
Taylor,2002) menjelaskan bahwa disaat individu merasakan keanggotaannya bersama
kelompok sosialnya, maka mereka akan membangun rasa keanggotaannya. Para
anggota akan saling berbagi tujuan bersama yang membedakan mereka dengan
keanggotaaan organisasi lain di luar kelompok mereka.
Dengan menciptakan rasa perbedaan dengan anggota organisasi lainnya,
individu membangun ikatan sosial yang kuat dengan anggotanya sehingga secara
affective terikat pada kelompoknya (Walsh & Taylor,2002). Dengan demikian,
komitmen affective akan muncul melalui pilihan-pilihan organisasi baik bagi orang
ataupun kelompok yang ada di dalam organisasi.

27

Meyer dan Allen menambahkan bahwa individu akan secara affective terikat
pada organisasi yang menawarkan pada karyawannya untuk mampu mengalami dan
merasakan pekerjaan yang menantang serta memberikan kesempatan untuk belajar
seluas-luasnya dan pekerjaan yang memberikan kesempatan kepada karyawannya
untuk mengembangkan hubungan satu sama lain.
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk
melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian
yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu
melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
2. Komitmen Continuence
Komitmen continuence adalah komitmen berdasarkan persepsi karyawan
tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi (Allen &
Meyer,1993) selanjutnya Allen & Meyer menyebutkan bahwa kerugian tersebut dapat
berupa kehilangan keuntungan secara keseluruhan, pembayaran penuh, jaringan
koneksi, imej khusus yang ditawarkan organisasi dan yang terakhir adalah keharusan
mencari kembali pekerjaan baru.
Bentuk komitmen ini didasarkan atas

hubungan saling memberi dimana

karyawan berkontribusi dan diberi penghargaan yang setara dengan peran dan hasil
kerjanya. Sehingga hal tersebut membuat karyawan tetap berada bersama
organisasinya, karena hal itu memberikan keuntungan bagi mereka (Walsh &
Taylor,2002). Dengan demikian, karyawan bukan hanya berkomitmen terhadap

28

organisasinya melainkan lebih dari sekedar

melanjutkan tindakan-tindakan yang

nyata dalam organisasinya.


Walsh & Taylor (2002) menerangkan bahwa terdapat 3 faktor yang
memberikan peranan penting dalam tumbuhnya komitmen continuence, yaitu:
1. Pengorbanan. Pengorbanan disini merupakan sikap yang berkenaan sengan
keyakinan individu yang berasal dari kelompoknya. Kanter (1968) menyatakan
bahwa individu secara berkelamjutan atau secara terus menerus berkomitmen
kepada sistem sosialnya saat mereka mampu menunjukkan asset-aset yang
dimilikinya (prestasi/kompetensi) kepada organisasinya yang mungkin dapat
memberi mereka masalah lain yang harus dibayar mahal.
2. Aspek Taruhan. Yang dimaksud aspek taruhan disini adalah sebuah ide yang
menyebabkan karyawan melakukan beberapa investasi baik yang dapat dilihat
maupun tidak, dalam pekerjaan mereka, seperti semakin lama mereka berada
dalam organisasi, semakin mahal pula harga yang harus mereka bayar sehingga
mereka melupakan investasi tersebut (Walsh & Taylor,2002). Pendapat ini hampir
sama dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Festinger (Walsh &
Taylor,2002) bahwa karyawan membenarkan penambahan status peranan mereka
dalam organisasi dikarenakan mereka telah berbuat suatu hal yang membuatnya
seperti itu. ORelly dan Chatman (Walsh & Taylor,2002) berpendapat bahwa
konsep aspek taruhan ini sebagai sebuah kepatuhan dimana dengan memasukkan
penghargaan ekstrinsik yang lebih spesifik yang diterima karyawan sebagai

29

timbal balik akan keterlibatan mereka bersama organisasinya akan membuat


harga meinggalkan organisasinya menjadi sangat mahal.
3. Kurangnya alternatif pekerjaan lain diluar organisasi. Maksudnya adalah jika
karyawan menyadari bahwa kesempatan bekerja di tempat lain sangat sedikit,
maka pemahaman karyawan mengenai kerugian yang akan dihadapinya bila
meninggalkan organisasi menjadi sangat tinggi sehingga mereka akan
membangun rasa komitmen continuence yang kuat terhadap organisasinya.
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa individu akan
berkomitmen secara berkelanjutan (continuence) terhadap organisasinya meski
bertentangan dengan kelompok-kelompok tertentu di dalamnya maupun
komponen lainnya. Bentuk komitmen ini muncul dikarenakan tindakan-tindakan
individu dalam organisasi yang telah memberikannya bayaran, status, promosi
dan keuntungan.
3. Komitmen normative
Komitmen normative ini merupakan perasaan-perasaan karyawan tentang
kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi (Meyer & Allen). Komitmen
normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung
dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen
normative menimbulkan perasaan kewajiban kepada karyawan untuk memberikan
balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi (Kuntjoro,2002).

30

Komitmen normatif timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan


bertahan menjadi anggota organisasi karena ada kesadaran bahwa komitmen
terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan (Smith,1998).
3. Proses Terjadinya Komitmen
Mowday et.al (dalam Minner,1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor
pembentuk komitmen organisasi akan berbeda bagi karyawan yang baru bekerja,
setelah menjalani masa kerja yang cukup lama, serta bagi karyawan yang bekerja
dalam tahapan yang lama yang menganggap perusahaan atau organisasi tersebut
sudah menjadi bagian dalam hidupnya.
Minner (Sopian, 162:2008) secara rinci menjelaskan proses terjadinya
komitmen karyawan dalam organisasi, yaitu pada gambar 2.1, 2.2, 2.3 berikut.
1. Initial Commitment

31

Personal
Characteristics
Values
Beliefs

Level of initial
commitment
organizational

Espectations
About Job

Characteristics
Of Job Choice
Volition
Irrevocability
Sacrifice
Insufficient
justification

Gambar 2.1 Proses Terjadinya Komitmen


2. Commitment During Early Employment

Initial Work
Experiences
Job
Supervision
Work group
Pay
Organizational

Initial
Commitment

Commitment
during early
Employment
period

Felt
Responsibility

Availability of
Alternative Jobs

32

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Komitmen


3. Commitment During Later Career

Length of
service

Investment
Social involvements
Job mobility
sacrificies

Commitment in
later carier

Gambar 2.3 Proses Terjadinya Komitmen

Gambar di atas menjelaskan bahwa proses terjadinya komitmen karyawan


pada organisasi berbeda. Pada fase awal (initial commitment), faktor yang
berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah:

1. Karakteristik individu,
2. Harapan-harapan karyawan pada organisasi
3. Karakteristik pekerjaan
Fase kedua disebut sebagai commitment during early employment. Pada fase ini
karyawan sudah bekerja beberapa tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman kerja yang ia rasakan pada
tahap awal bekerja, bagaimana pekerjaannya, sistem penggajiannya, gaya
supervisinya, hubungan dengan teman sejawat atau hubungan dengan pemimpinnya.

33

Semua faktor ini akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan
pada organisasi yang pada akhirnya akan bermuara pada komitmen karyawan pada
awal memasuki dunia kerja.
Tahap yang ke tiga yang diberi nama commitment during later carier . Faktor
yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi,
mobilitas kerja, hubungan sosial yang tercipta di organisasi dan pengalamanpengalaman selama ia bekerja.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen


Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui
proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga
ditentukan oleh sejumlah faktor. Misalnya, Steers (1985) mengidentifikasi ada 3
faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu (1). Ciri
pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi kebutuhan
dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan, (2). Ciri pekerjaan, seperti identitas
tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja, (3). Pengalaman kerja,
seperti keteran dalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain
mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.
David (dalam Minner, 1997) mengemukakan 4 faktor yang mempengaruhi
komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman
kerja.

34

2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan,


tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dan konflik dalam peran pekerjaan.
3. Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi
seperti sentralisasi atau disentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat
pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap
tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru bekerja tentu
akan memiliki tingkat komitmen yang berbeda dengan karyawan yang sudah lama
bekerja dalam organisasi.
Stum (1998) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap
komitmen organisasional: (1) budaya keterbukaan (2) kepuasan kerja (3) kesempatan
personal untuk berkembang (4) arah organisasi dan (5) penghargaan kerja yang sesuai
dengan kebutuhan. Sedangkan Young et.al (1998) mengemukakan ada 8 faktor yang
secara positif berpengaruh terhadap komitmen organisasional: (1) kepuasan terhadap
promosi (2) karakteristik pekerjaan, (3) komunikasi, (4) kepuasan terhadap
kepemimpinan, (5) pertukaran ekstrinsik, (6) pertukaran ekstrinsik, (7) imbalan
instrinsik, (8) imbalan ekstrinsik.
Steers dan porter (dalam Supriyanto, 2000) mengemukakan ada sejumlah
faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu :
1. Faktor

personal yang meliputi job expectations, psychological contract, job

choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akan membentuk


komitmen awal.

35

2. faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal
consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk atau memunculkan
tanggung jawab.
3. Non-organizational faktors, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor
yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif
pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu karyawan akan meninggalkannya.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasional adalah:
1. Faktor personal
2. faktor organisasional, dan
3. faktor yang bukan dari dalam organisasi.
5. Membangun Komitmen Karyawan
Bashaw dan Grant (Amstrong, 1994) menjelaskan bahwa komitmen karyawan
merupakan proses berkesinambungan dan merupakan sebuah pengalaman individu
ketika bergabung dalam sebuah organisasi.
Gary Dessler mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk
membangun komitmen karyawan dalam organisasi, yaitu:
1. make it charismatic,

jadikan visi dan misi organisasi sebagai sesuatu yang

karismatik, sesuatu yang dijadikan pijakan, dasar bagi setiap perilaku, dan
tindakan karyawan.

36

2. Build the tradition, menjadikan segala sesuatu yang baik dalam organisasi sebagai
suatu tradisi yang secara terus-menerus dipelihara, dijaga oleh generasi
berikutnya.
3. Have comprehensive grievence procedures, bila ada keluhan atau komplain dari
pihak luar ataupun dari internal organisasi, maka organisasi harus memiliki
prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut secara menyeluruh.
4. Provide extensive two way communication, adanya komunikasi dua arah antara
pihak organisasi dengan karyawan tanpa memandang rendah bawahan.
5. create a sense of community, menjadikan senua unsure dalam organisasi sebagai
suatu community di mana di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa memiliki,
kerjasama, berbagi, dan lain-lain.
6. Build value-based homogency, membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya
kesamaan. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama. Sebagai
contoh misalnya untuk promosi maka dasar yang digunakan untuk promosi adalah
kemampuan, keterampilan, minat, motivasi, kinerja, tanpa ada diskriminasi.
7. share and share alike, sebaiknya organisasi membuat kebijakan dimana antara
karyawan level bawah sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau
mencolok dalam kompensasi yang diterima, gaya hidup, penampilan fisik, dan
lain-lain.
8. Emphasize barnraising, cross-utilization, and teamwork.

Organisasi sebagai

suatu komunitas harus bekerjasama, saling bebagi, saling memberi manfaat dan
memberikan kesempatan yang sama pada anggota organisasi. Misalnya perlu

37

adanya rotasi sehingga karyawan yang bekerja di tempat yang basah perlu juga
ditempatkan di tempat yang kering. Semua anggota organisasi merupakan
teamwork. Semuanya harus memberikan kontribusi yang maksimal demi
keberhasilan organisasi tersebut.
9. Get together. Adakan acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi
sehingga kebersamaan bias terjalin. Misalnya, sekali-kali produksi dihentikan dan
semua karyawan terlibat dalam even rekreasi bersama keluarga, pertandingan
olahraga, seni, dan lain-lain yang dilakukan oleh semua anggota organisasi dan
keluarganya.
10. Support employee development. Hasil studi menunjukan bahwa karyawan akan
lebih memiliki komitmen terhadapa organisasi bila organisasi memperhatikan
perkembangan karir karyawan dalam jangka panjang.
11. Commit to actualizing. Setiap karyawan diberikan kesempatan yang sama untuk
mengaktualisasikan diri secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapasitas
masing-masing.
12. Provide first- year job challenge.

Karyawan masuk ke organisasi dengan

membawa mimpi dan harapannya, kebutuhannya. Berikan bantuan yang kongkret


bagi karyawan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan mewujudkan
impiannya. Jika pada tahap-tahap awal karyawan memiliki persrpsi yang positif
terhadap organisasi maka karyawan akan cenderung memiliki kinerja yang tinggi
pada tahap-tahap berikutnya.

38

13. Enrich and empower. Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak monoton
karena rutinitas akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Hal ini tidak
baik karena akan menurunkan kinerja karyawan. Misalnya dengan rotasi kerja,
memberikan tantangan dengan memberikan tugas, kewajiban dan otoritas
tambahan.
14. Prommote from within. Bila ada lowongan jabatan, sebaiknya kesempatan
pertama diberikan kepada pihak intern perusahaan sebelum merekrut karyawan
dari luar perusahaan.
15. provide developmental activities. Bila organisasi membuat kebijakan untuk
merekrut karyawan dari dalam sebagai prioritas maka dengan sendirinya hal itu
akan memotivasi karyawan untuk terus tumbuh dan berkembang personal dan
jabatannya.
16. The question of employee security. Bila karyawan merasa aman, baik fisik
maupun psikis, maka komitmen akan muncul dengan sendirinya. Misalnya,
karyawan merasa aman karena perusahaan membuat kebijakan memberikan
kesempatan karyawan bekerja selama usia produktif. Dia akan merasa aman dan
tidak takut akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia merasa aman karena
keselamatan kerja diperhatikan perusahaan.
17. commite to people-first values. Membangun komitmen karyawan pada organisasi
merupakan proses yang panjang dan tidak bias dibentuk secara instant. Oleh
karena itu, perusahaan harus benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada

39

masa awal karyawan memasuki organisasi. Dengan demikian karyawan akan


mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi.
18. put it in writing. Data-data tentang kebijakan, visi, misi, semboyan, filosofi,
sejarah, strategi dan lain-lain. Organisasi sebaiknya dibuat dalam bentuk tulisan,
bukan sekedar bahasa lisan.
19. Hire right-kind managers. Bila pemimpin ingin menanamkan nilai-nilai,
kebiasan-kebiasaan, aturan-aturan, disiplin pada bawahan, sebaiknya pemimpin
sendiri memberikan teladan dalam bentuk sikap dan prilaku sehari-hari.
20. Walk the talk. Tindakan jauh lebih efektif dari sekedar kata-kata. Bila pimpinan
ingin karyawannya berbuat sesuatu, maka sebaiknya pemimpin tersebut mulai
berbuat sesuatu, tidak sekedar berbicara.

6. Dampak Komitmen Organisasional


Komitmen karyawan terhadap organisasi adalah bertingkat, dari tingkatan yang
sangat rendah hingga tingkatan yang sangat tinggi. Kanter dalam Newstroom &
Davis (1989) mengemukakan bahwa manajer akan memilih karyawan yang bisa
dipercaya

dan

mengabaikan

karyawan

yang

kurang

memiliki

komitmen

organisasional. Hacker (dalam Newstroom & Davis, 1989) menambahkan bahwa


tanpa menunjukkan komitmen yang meyakinkan maka promosi seorang karyawan ke
jabatan yang lebih tinggi tidak akan dilakukan. Ditinjau dari segi organisasi,
karyawan yang berkomitmen rendah akan berdampak pada turn over (Koch, 1978),
tingginya absensi, meningkatnya kelambanan kerja dan kurangnya intensitas untuk

40

bertahan sebagai karyawan di organisasi tersebut (Angle, 1981), rendahnya kualitas


kerja (Steers, 1991), dan kurangnya loyalitas pada perusahaan (Schein, 1968), Near &
Jansen (1983) menambahkan bahwa bila komitmen karyawan rendah maka ia bisa
memicu perilaku karyawan yang kurang baik, misalnya tindakan kerusuhan yang
dampak lebih lanjutnya adalah reputasi organisasi menurun, kehilangan kepercayaan
dari klien dan dampak yang lebih jauh lagi adalah menurunnya laba perusahaan.
Ditinjau dari sudut karyawan, komitmen karyawan yang tinggi akan
berdampak pada peningkatan karir karyawan itu sendiri. Whyte (dalam Newstroom,
1989) membuat semacam jargon: Loyallah pada perusahaan maka perusahaan akan
loyal pada anda. Biggart & Hamilton (1984) menambahkan bahwa pada umumnya
organisasi akan memberikan imbalan kepada karyawan atas pengorbanan yang telah
diberikan kepada organisasi. Sebaliknya, ditinjau dari segi perusahaan, karyawan
yang memiliki komitmen yang tinggi pada organisasi akan memberikan sumbangan
terhadap organisasi dalam hal stabilitas tenaga kerja (Steers, 1977).
Komitmen karyawan, baik yang tinggi maupun yang rendah, akan berdampak
pada: 1) karyawan itu sendiri, misalnya terhadap perkembangan karier karyawan itu
di organisasi/perusahaan. 2) organisasi. Karyawan yang berkomitmen tinggi pada
organisasi akan menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat absensi
berkurang, loyalitas karyawan, dll.

41

Menurut Hackett & Guinon (1995), karyawan yang memiliki komitmen


organisasional yang tinggi akan berdampak pada karyawan tersebut, yaitu dia lebih
puas dengan pekerjaannya dan tingkat absensinya menurun. Sedangkan menurut
Carsten dan Spector (1987), dampak yang timbul adalah karyawan tersebut akan tetap
tinggal dalam organisasi. Organ & Konovsky (1989) menyebutkan sebagai more
likely to display organization citizenship behavior. Judge & Watanabe (1993)
menggambarkan bila komitmen karyawan tinggi maka dampak yang ditimbulkan
adalah mereka akan lebih puas dalam kehidupan mereka secara keseluruhan. Dampak
yang ditimbulkan menurut Mathieu dan Zajac (1990) adalah karyawan akan tetap
bertahan dalam organisasi. Netemeyer, Burton & Johnson (1995) menyebutkan
sebagai actually leave. Menurut Begley & Czajka (1993) dampaknya adalah tingkat
stress berkurang. Mathieu dan Ajac (1990) menyebutnya sebagai perform well dan
OReilly dan Chatman (1986) menyebutkan bahwa bila komitmen organisasional
karyawan tinggi maka dampak yang ditimbulkan adalah karyawan tersebut akan lebih
pandai bersosialisasi.
Secara internasional dampak komitmen organisasional yang tinggi telah diuji.
Misalnya, di India, Agarwal (1993) menyimpulkan dampak dari komitmen
organisasional yang tinggi adalah rendahnya niat untuk meninggalkan organisasi.
Begitu pula dengan Jepang (Marsh and Mannari, 1977). Sedangkan di Israel,
Koslowssky, Caspy & Lazar (1988) dan di New Zeland, Inkson (1977)
menyimpulkan dampak yang timbul dari adanya komitmen organisasional adalah

42

perilaku sebagai anggota organisasi yang lebih tinggi (higher organization citizenship
behavior).
Dampak dari komitmen karyawan terhadap internal foci seperti organisasi dan
supervisor, dan external foci seperti union, profesi, untuk hasil kerja (work outcome),
misalnya kinerja, tingkat absensi, dan turn over telah dilakukan studi oleh Angle and
Perry (1981); Becker, Billings, Eveleth Gilbert (1996); Porter, Crampon & Smith
(1976) dan Wallace (1995).
B. Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri
1. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri
Bimbingan pada dasarnya merupakan upaya pembimbing untuk membantu
mengoptimalkan individu. Mortensen dan Schmuller (Nurihsan, 2002:9) menyatakan:
Guidance may be defined as that part of the total educational program that helps
provide the personal apportunities and specialized staff services by which each
individual can develop to the fullest of his abilities and capacities in term of the
democratic idea. ASCA (American School Counselor Assosiation) mengemukakan
bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan
sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli, konselor
mempergunakan pengetahuan dan keterampilanmnya untuk membantu konselinya
mengatasi masalah-masalahnya. Secara lebih spesifik menurut Hasibuan (2000:201)
konseling dilingkungan industri adalah pembahasan suatu masalah dengan seorang

43

karyawan, dengan maksud pokok membantu karyawan tersebut agar dapat mengatasi
masalah secara lebih baik.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri


Pada umumnya, tujuan dari bimbingan dan konseling dalam setting industri
yaitu untuk membantu para karyawan agar dapat memahami dirinya, memahami
dunia kerja, dan mampu mengadakan penyesuaian antara dirinya dengan dunia kerja
melalui suatu pembuatan rencana dan keputusan secara tepat. Sedangkan tujuan
pemberian layanan bimbingan di lingkungan industri ialah agar individu dapat:
a. Merencanakan kegiatan pekerjaan, pengembangan karir serta kehidupan di masa
yang akan datang.
b. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal
mungkin.
c. Menyesuaikan diri dengan pekerjaan, dan lingkungan kerja.
d. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam penyesuaian dengan
pekerjaan dan lingkungan kerja.
e. Membuat orang-orang menjadi lebih efektif dalam memecahkan masalah-masalah
mereka.

44

3. Fungsi Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri


Minimal ada empat fungsi bimbingan dan konseling di lingkungan industri
yaitu sebagai berikut: (a) Fungsi developmental (pengembangan), merupakan fungsi
bimbingan dalam mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki
individu; (b) Fungsi penyaluran, merupakan fungsi bimbingan dalam membantu
individu memilih dan memantapkan penguasaan karir dan jabatan yang sesuai dengan
minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya; (c) Fungsi adaptasi, yaitu
mengadaptasikan tantangan dan program kerja sesuai dengan kemampuan/keahlian
individu; (d) Fungsi penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu
menemukan penyesuaian diri dan perkembangannya secara optimal.
Sedangkan menurut Siagian (1997:304) secara khusus konseling perusahaan
memiliki fungsi berikut:
a. Pemberian nasehat kepada karyawan agar mereka dapat menempuh cara-cara
yang paling efektif untuk menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan yang
dihadapinya.
b. Konseling sebagai fungsi penguatan dalam arti mendorong para karyawan
melanjutkan usahanya mengatasi sendiri berbagai masalah apabila menurut
pendapat para ahli, usaha yang ditempuh itu sudah berada pada jalur yang benar.
c. Konseling harus mampu berperan sebagai wahana komunikasi dua arah yang
efektif melalui manajemen dengan memahami permasalahan para bawahannya
dan sebaliknya para karyawan memahami tuntutan tugas dan harapan
organisasi/perusahaan dari mereka.

45

d. Pemberian kesempatan bagi para karyawan untuk menyampaikan berbagai


keluhannya kepada seseorang yang mampu berperilaku objektif tanpa sikap yang
a priori.
e. Menumbuhkan cara berpikir yang rasional dan jernih dalam menghadapi
permasalahan di kalangan para karyawan.
f. Melakukan reorientasi yang tepat sehingga pandangan seseorang mengenai
dirinya sendiri menjadi lebih proporsional dan mengenai kehidupan kekaryaannya
menjadi tidak ego-sentris.

4.

Prinsip Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri


Menurut Orlans (Michael Carrol and Michael Walton:1997) ada beberapa

karakteristik dunia konseling dan perusahaan, yaitu :


Tabel 2.1
Perbedaan Karakteristik Dunia Perusahaan dan Dunia Konseling

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Dunia Perusahaan
(World Of Organizations)
Pengawasan (controlling).
Pengalaman bersifat objektif
(objective experience).
Berkenaan dengan pikiran
(thinking/rational).
Bersifat hierarkis (hierarchical).
Bertujuan politis untuk kepentingan
perusahaan (political).
Situasinya kompetitif (competitive).

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Dunia Konseling
(World Of Counseling)
Bantuan (helping).
Pengalaman bersifat subjektif
(subjective experience).
Berkenaan dengan pikiran dan
perasaan (feeling and thinking).
Bersifat otonomi (autonomous).
Bertujuan untuk memberdayakan
pribadi (personal empowerment).
Situasinya kooperatif
(cooperative).

46

Kemudian dalam pelaksanaan bimbingan perlu memperhatikan beberapa prinsip,


yaitu sebagai berikut: (a) Bimbingan adalah suatu proses membantu individu agar
mereka dapat membantu dirinya sendiri dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya; (c) Bimbingan hendaknya bertitik tolak (berfokus) pada individu yang
dibimbing; (d) Bimbingan diarahkan pada individu, dan tiap individu memiliki
karakteristik tersendiri oleh karena itu pemahaman keragaman dan kemampuan
individu yang dibimbing sangat diperlukan dalam pelaksanaan bimbingan;
(e)Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tim pembimbing di lingkungan kerja
hendaknya diserahkan kepada ahli atau lembaga yang berwenang memecahkannya;
(f) Bimbingan dimulai dengan identifikasi kebutuhan yang dirasakan oleh individu
yang akan dibimbing; (g) Bimbingan harus luwes dan fleksibel, sesuai dengan
kebutuhan individu dan masyarakat; (h) Program bimbingan di lingkungan kerja
tertentu harus sesuai dengan program perusahaan yang bersangkutan; (i) Pelaksanaan
program bimbingan hendaknya dikelola oleh orang yang memiliki keahlian dalam
bidang bimbingan, dapat bekerja sama dan menggunakan sumber-sumber yang
relevan yang berada di dalam maupun di luar perusahaan; (j) Pelaksanaan program
bimbingan hendaknya di evaluasi untuk mengetahui hasil dan pelaksanaan program.

5. Asas Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri


Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat
ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut:

47

a. Asas kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut


dirahasiakannya segenap data dan keterangan tentang konseli yang menjadi
sasaran pelayanan, yaitu data dan keterangan yang tidak boleh dan tidak layak
diketahui orang lain. Dalam hal ini konselor berkewajiban penuh memelihara dan
menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaannya benar-benar
terjamin.
b. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
adanya kesukaan dan kerelaan konseli mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan
yang diperlukan baginya. Dalam hal ini konselor berkewajiban membina dan
mengembangkan kesukarelaan tersebut.
c. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak
berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri
maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna
bagi

pengembangan

dirinya.

Dalam

hal

ini

konselor

berkewajiban

mengembangkan keterbukaan konseli. Keterbukaan ini amat terkait pada


terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang
menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, konselor terlebih
dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
d. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
konseli yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam
penyelengaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini konselor perlu

48

mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan


konseling yang diperuntukkan baginya.
e. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada
tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli sebagai sasaran pelayanan
bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri
dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu
mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Konselor
hendaknya mampu mengerahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling
yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
f.

Asas kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek
sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli dalam
kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan masa depan atau kondisi
masa lalupun dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan
apa yang diperbuat sekarang.

g. Asas kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu
bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
h. Asas keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan
oleh konselor maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk
ini kerja sama antara konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam

49

penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan.


Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
i.

Asas keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma
agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan yang
berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat
dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai
dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.

j.

Asas keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas kaidahkaidah professional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang
bimbingan dan konseling. Keprofesionalan konselor harus terwujud baik dalam
penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

k. Asas alih tangan kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling

secara

tepat

dan

tuntas

atas

suatu

permasalahan

konseli

50

mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Konselor


dapat menerima alih tangan kasus dari pihak atau ahli lain dan demikian pula
konselor dapat mengalihtangankan kasus kepada pihak atau ahli lain.

6. Pendekatan Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri


Konseling yang digunakan dalam dunia perusahaan harus disesuaikan dengan
setting perusahaan, budaya perusahaan, dan tujuan dari perusahaan tersebut yang
didalamnya mencakup karyawan-karyawan yang saling berinteraksi satu sama lain
untuk mencapai sebuah kepuasan dan hasil kerja yang baik.
Menurut N.Hill (1981 : 11) terdapat tiga tipe umum pendekatan konseling
secara langsung, yaitu correcting, coaching, dan consulting.
a. Correcting (mengkoreksi) merupakan tipe konseling yang sifatnya sangat
langsung. Koreksi dilakukan karena adanya satu kesalahan atau hilangnya
kesempatan. Dalam proses konseling ini, konseli dikoreksi agar konseli dapat
belajar dari kesalahan dan belajar bagaimana mendeteksi adanya kesalahan.
Meskipun sifatnya adalah pendisiplinan, namun tidak diperlukan pemberian
hukuman, yang lebih berlaku adalah aturan kerja atau standar kinerja.
b. Coaching (mengarahkan) tipe konseling ini ditujukan pada pengembangan kinerja
secara spesifik. Yang ditekankan adalah mendengarkan dan memahami. Disini,
konselor berbagi dalam tugas-tugas latihan untuk memutuskan tindakan dan
rencana-rencana untuk mencapainya. Hal ini ditujukan untuk mencapai tujuan
yang spesifik atau mengembangkan keahlian dan kemampuan yang spesifik. Hal

51

ini diasosiasikan dengan review kinerja tahunan dan pengembangan kinerja yang
sifatnya berkala.
c. Consulting (konsultasi) tipe konseling ini berbeda dari kedua tipe sebelumnya.
Dalam correcting dan coaching konselorlah yang melihat adanya kebutuhan
untuk pengembangan pada diri karyawan, sementara itu dalam consulting
(konsultasi) fokus permasalahan adalah karyawan. Karyawanlah yang merasa
adanya kebutuhan atau memiliki keinginan untuk mengubah sesuatu. Disini ada
kalanya karyawanlah yang memiliki inisiatif untuk memulai diskusi masalahnya
dengan konselor, namun ada kalanya juga konselorlah yang mengundang
karyawan untuk berdiskusi.
Setiap tipe konseling ini diorientasikan pada pemecahan masalah dan
diharapkan akan menghasilkan pengembangan kompetensi yaitu kompetensi dalam
pemenuhan tugas-tugas, kompetensi mengembangkan kemampuan dan kapabilitas,
kompetensi dalam mengatasi frustasi dan kekecewaan.
Untuk lebih jelasnya terdapat layanan bimbingan dan konseling yang
diasumsikan dapat menunjang kepuasan kerja karyawan, yaitu :
a. Layanan dasar bimbingan dan konseling, meliputi : bimbingan klasikal dan
individual; bimbingan kelompok; kolaborasi dengan manajer.
b. Layanan perencanaan individual, meliputi : penilaian individual; penasihatan
kepada individu dan kelompok.
c. Layanan responsif, meliputi : konsultasi; konseling individual dan kelompok;
konseling krisis; referal; bimbingan teman sebaya.

52

d. Dukungan sistem, meliputi : pengembangan profesional; konsultasi dan


kolaborasi; manajemen program.

7. Tipe-tipe Konseling di Lingkungan Industri


Menurut Hasibuan (2000:202) ada tiga macam tipe konseling yang ada di
lingkungan industri, yakni: (a) Directive counseling adalah proses mendengarkan
masalah-masalah emosional karyawan, memutuskan apa yang seharusnya dilakukan,
memberitahukan, dan memotivasi karyawan untuk melaksanakannya; (b) Nondirective counseling (client centered) adalah proses mendengarkan dengan penuh
perhatian dan mendorongnya untuk menjelaskan problem yang menyusahkan mereka,
memahaminya dan menentukan penyelesaian yang tepat. Jadi non-directive
counseling terpusat pada karyawan (counselee), bukan pada pembimbing (counselor);
(c) Cooperative counseling adalah hubungan timbal balik antara pembimbing dengan
karyawan dan mengembangkan pertukaran gagasan secara kooperatif untuk
membantu pemecahan problem karyawan.

8. Peran Konselor Industri


Peran konselor di perusahaan (N.Hill, 1981:8-9) adalah: (a) Konselor sebagai
guru. Dalam hal ini, konselor berperan dalam memberikan informasi, arahan, dan
sebagainya sehingga karyawan dapat bekerja sesuai dengan fungsinya; (b) Konselor
sebagai pendidik. Disini, konselor harus mampu memberikan pengalaman selama
konseling berlangsung sehingga karyawan dapat menyesuaikan diri dengan

53

kehidupannya, tidak hanya dengan merespon saja namun juga melakukan perubahan;
(c) Konselor sebagai detektif. Dalam proses konseling, konselor harus dapat
mengumpulkan fakta-fakta dan menyatukannya dengan memperhatikan setiap detail
dari yang diungkapkan konseli (karyawan) untuk menemukan permasalahan
sesungguhnya; (d) Konselor sebagai barbarian. Hal ini dimaksudkan ketika konselor
mengkonfrontasikan segala sesuatu yang dianggap tidak rasional dan tidak tepat, ia
harus bersikap tegas akan hal itu; (e) Konselor sebagai waktu. Dengan jadwal atau
tindak lanjut secara periodik pada konselinya, konselor dapat membuat individu
mempersiapkan diri terhadap target waktu atau deadline (contohnya berpikir dengan
tujuan, membuat revolusi, melakukan tindakan, interospeksi diri, dan sebagainya);
(f)Konselor sebagai monitor. Dalam hal ini, konselor menyediakan pandangan dan
penilaian yang independen mengenai kinerja dan mengevaluasi dukungan-dukungan
untuk dijadikan peningkatan kompetensi; (g) Konselor sebagai katalis. Disini,
konselor dapat dijadikan seseorang untuk mengungkapkan masalah dengan cara
diskusi yang berbeda sehingga memberikan perasaan yang lain.

C. Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling


1. Pengertian Program
Beberapa ahli mendefinisikan program berbeda-beda akan tetapi semua
merujuk pada satu kesimpulan yang sama bahwa program merupakan rancangan
mengenai kegiatan dan usaha-usaha yang akan dilaksanakan. Program menurut
Arikunto (2004:2) mempunyai dua pengertian, secara umum dan khusus. Secara

54

umum program dapat diartikan sebagai sebuah rencana dan secara khusus program
diartikan sebagai suatu unit dari satuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi

dari

suatu

kebijakan,

berlangsung

dalam

proses

yang

berkesinambungan dan terjadi dalam suatu wadah yang melibatkan sekelompok


orang. Akan tetapi pengertian program disini, dibatasi pada program bimbingan dan
konseling. Menurut Winkel (1997:119) program bimbingan (guidance program)
adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana, terorganisasi, dan terkoordinasi
selama periode waktu tertentu.
Latipah (2005:15) mendefinisikan program bimbingan sebagai serangkaian
kegiatan bimbingan yang direncanakan secara sistematis, terarah dan terpadu untuk
mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan pengertian tersebut, Sukardi (Wibawa,
2006:9) mendefinisikan program bimbingan dan konseling sebagai suatu urutan
rencana layanan yang dibuat dengan sistematis dan didesain untuk jangka waktu
tertentu. Program bimbingan dan konseling adalah rencana keseluruhan kegiatan
bimbingan dan konseling yang dilaksanakan pada periode waktu tertentu seperti
periode bulanan, caturwulan dan tahunan.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa program
bimbingan dan konseling adalah suatu rancangan mengenai kegiatan bimbingan dan
konseling yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu dan dalam
periode tertentu. Kemudian dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dimaksud
dengan program bimbingan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan
merupakan suatu rangkaian kegiatan pemberian bantuan yang direncanakan secara

55

sistematis, terarah dan terpadu untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang
diselaraskan dengan tujuan perusahaan selama periode waktu tertentu.

2. Prinsip-prinsip dalam Mengembangkan Program


Suatu program bimbingan dapat disusun dengan berdasarkan pada kerangka
berpikir tertentu yang dapat mempengaruhi pola dasar yang dipegang dalam
mengatur seluruh kegiatan bimbingan yang diadakan oleh berbagai pihak. Dalam
program bimbingan terdapat beberapa komponen yang meliputi susunan saluran
formal untuk melayani para konseli, ataupun tenaga-tenaga ahli lainnya. Agar
program bimbingan yang dikembangkan dapat berjalan dengan lancar, efektif dan
efisien serta dapat dilakukan evaluasi baik terhadap program, proses, maupun hasil
maka program bimbingan yang akan disusun harus dilakukan perencanaan secara
matang.
Nurihsan (2002:84) mengemukakan manfaat dilakukannya perencanaan
secara matang, yaitu (a) adanya kejelasan arah pelaksanaan program bimbingan; (b)
adanya kemudahan mengontrol dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan bimbingan yang
dilakukan; dan (c) terlaksananya program kegiatan bimbingan secara lancar, efisien
dan efektif. Selain itu agar program bimbingan dan konseling yang disusun baik dan
tepat sasaran, maka perlu diperhatikan prinsip-prinsip dalam mengembangkan
program.
Winkel (1991:143) menjelaskan bahwa program dibuat dan dikembangkan
mengikuti beberapa prinsip :

56

a. Program harus direncanakan, disusun, diatur, dikembangkan dan disesuaikan


dengan situasi kehidupan konseli.
b. Program harus direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan pendekatan rasionalilmiah, dengan mengikutsertakan tenaga-tenaga ahli, koordinasi, serta supervisi
pelaksanaan yang memadai.
c. Program harus mencakup kegiatan bimbingan individual dan kelompok, dalam
proporsi yang wajar, sehingga semua subjek terjangkau.
d. Harus disertai dengan data tentang subjek yang dibimbing, yang diperoleh dengan
metode dan alat yang dapat diandalkan serta harus diolah dan diarsipkan secara
efisien.
e. Program harus mencakup pemberian informasi yang relevan kepada subjek dan
harus menyediakan sumber-sumber informasi untuk dipergunakan pada saat
dibutuhkan.
f. Program harus dievaluasi secara berkala untuk mengetahui tingkat efektivitasnya
dan untuk mengadakan penyesuaian seperlunya.

3. Komponen Program Bimbingan di Lingkungan Industri


Program bimbingan dan konseling mengandung empat komponen pelayanan
(Depdiknas, 2007), yaitu: (a) Pelayanan dasar bimbingan; (b) Pelayanan responsif; (c)
Perencanaan individual, dan (d) Dukungan sistem. Secara lebih rinci dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.

Pelayanan Dasar

57

1) Pengertian Pelayanan Dasar


Pelayanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh
konseli melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau
kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku
panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan
sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan
kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya.
Penggunaan instrumen asesmen perkembangan dan kegiatan tatap muka terjadwal
sangat diperlukan untuk mendukung implementasi komponen ini. Asesmen
kebutuhan diperlukan untuk dijadikan landasan pengembangan pengalaman
terstruktur yang disebutkan.
2) Tujuan Pelayanan Dasar
Pelayanan ini bertujuan untuk membantu semua konseli agar memperoleh
perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh
keterampilan dasar hidupnya, atau dengan kata lain membantu konseli agar mereka
dapat mencapai perkembangannya. Secara rinci tujuan pelayanan ini dapat
dirumuskan sebagai upaya untuk membantu konseli agar (a) memiliki kesadaran
(pemahaman) tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, sosial budaya
dan agama), (b) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi
tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku yang layak bagi penyesuaian diri dan
lingkungannya, (c) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya,
dan (d) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.

58

3) Fokus Pengembangan Pelayanan Dasar


Untuk mencapai tujuan tersebut, fokus perilaku yang dikembangkan
menyangkut aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan karir. Semua ini berkaitan erat
dengan upaya membantu konseli dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya
(sebagai standar kompetensi kemandirian). Materi pelayanan dasar dirumuskan dan
dikemas atas dasar standar kompetensi kemandirian antara lain mencakup
pengembangan: (a) self-esteem; (b) motivasi berprestasi; (c) keterampilan
pengambilan keputusan; (d) keterampilan memecahkan masalah; (e) keterampilan
hubungan antar pribadi atau berkomunikasi; (f) penyadaran keragaman budaya; dan
(g) perilaku bertanggung jawab. Hal-hal yang terkait dalam perkembangan karir
mencakup pengembangan: (a) fungsi agama bagi kehidupan; (b) pemantapan pilihan
pekerjaan; (c) keterampilan kerja professional; (d) kesiapan pribadi (fisik-psikis,
jasmaniah-rohaniah) dalam menghadapi pekerjaan; dan (e) perkembangan dunia
kerja.
b.

Pelayanan Responsif

1) Pengertian Pelayanan Responsif


Pelayanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada konseli yang
menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera,
sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses
pencapaian tugas-tugas perkembangan. Konseling individual, konseling krisis,

59

konsultasi dengan pihak lain adalah ragam yang dapat dilakukan dalam pelayanan
responsif
2) Tujuan Pelayanan Responsif
Tujuan pelayanan responsif adalah membantu konseli agar dapat memenuhi
kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya atau membantu konseli
yang mengalami hambatan, kegagalan dalam mencapai perkembangannya. Tujuan
pelayanan ini dapat juga dikemukakan sebagai upaya untuk mengintervensi masalahmasalah atau kepedulian pribadi konseli yang muncul segera dan dirasakan saat itu,
berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir, dan atau masalah pengembangan
pendidikan.
3) Fokus Pengembangan Pelayanan Responsif
Fokus pelayanan responsif bergantung kepada masalah atau kebutuhan
konseli. Masalah dan kebutuhan konseli berkaitan dengan keinginan untuk
memahami sesuatu hal karena dipandang penting bagi perkembangan dirinya secara
positif. Kebutuhan ini seperti kebutuhan untuk memperoleh informasi yang berharga
akan karir dan hidupnya.
Masalah lainnya adalah yang berkaitan dengan berbagai hal yang dirasakan
mengganggu kenyamanan hidup atau menghambat perkembangan diri konseli, karena
tidak terpenuhinya kebutuhannya, atau gagal dalam mencapai tugas-tugas
perkembangan. Masalah konseli pada umumnya tidak mudah diketahui secara
langsung tetapi dapat dipahami melalui gejala-gejala perilaku yang ditampilkannya.
Masalah (gejala perilaku bermasalah) yang mungkin dialami konseli diantaranya: (a)

60

merasa cemas tentang masa depan; (b) merasa rendah diri; (c) berperilaku impulsive
(kekanak-kanakan atau melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkannya secara
matang); (d) membolos dari pekerjaan; (e) malas bekerja; (f) kurang memiliki
kebiasaan bekerja yang positif; (g) kurang bisa bergaul; (h), prestasi bekerja rendah;
(i) malas beribadah; (j) manajemen stress; dan (k) masalah dalam keluarga.
Untuk memahami kebutuhan dan masalah konseli dapat ditempuh dengan cara
assesment dan analisis perkembangan konseli, dengan menggunakan berbagai teknik,
misalnya inventori tugas-tugas perkembangan, angket konseli, wawancara, observasi,
sosiometri, daftar hadir konseli, tes psikologi, dan daftar masalah konseli atau alat
ungkap masalah.
c.

Perencanaan Individual

1) Pengertian Perencanaan Individual


Perencanaan individual diartikan sebagai bantuan kepada konseli agar mampu
merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa
depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan kekurangan dirinya, serta
pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di lingkungannya.
Pemahaman konseli secara mendalam dengan segala karakteristiknya, penafsiran
hasil assesment, dan penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan
potensi yang dimiliki konseli amat diperlukan sehingga konseli mampu memilih dan
mengambil keputusan yang tepat di dalam mengembangkan potensinya secara
optimal, termasuk keberbakatan dan kebutuhan khusus konseli. Kegiatan orientasi,

61

informasi, konseling individual, rujukan, kolaborasi, dan advokasi diperlukan di


dalam implementasi pelayanan ini.
2) Tujuan Perencanaan Individual
Perencanaan individual bertujuan untuk membantu konseli agar: (a) memiliki
pemahaman tentang diri dan lingkungannya; (b) mampu merumuskan tujuan,
perencanaan, atau pengelolaan terhadap perkembangan dirinya, baik menyangkut
aspek pribadi, sosial, maupun karir, dan; (c) dapat melakukan kegiatan berdasarkan
pemahaman, tujuan, dan rencana yang telah dirumuskannya.
Tujuan perencanaan individual ini dapat juga dirumuskan sebagai upaya
memfasilitasi konseli untuk merencanakan, memonitor, dan mengelola rencana
pendidikan, karir dan pengembangan sosial-pribadi oleh dirinya sendiri. Isi layanan
perencanaan individual adalah hal-hal yang menjadi kebutuhan konseli untuk
memahami secara khusus tentang perkembangan dirinya sendiri. Dengan demikian
meskipun perencanaan individual ditujukan untuk memandu seluruh konseli,
pelayanan yang diberikan lebih bersifat individual karena didasarkan atas
perencanaan, tujuan, dan keputusan yang ditentukan oleh masing-masing konseli.
Melalui

pelayanan

perencanaan

individual,

konseli

diharapkan

dapat:

(a)Mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjutan, merencanakan karir,


dan mengembangkan kemampuan sosial-pribadi, yang didasarkan atas pengetahuan
akan dirinya, informasi tentang instansi, dunia kerja, dan masyarakatnya; (b)
Menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya dalam rangka pencapaian tujuannya;
(c) Mengukur tingkat pencapaian tujuan dirinya; (d) Mengambil keputusan yang

62

merefleksikan perencanaan dirinya; (e) Fokus pengembangan. Fokus pelayanan


perencanaan individual berkaitan erat dengan pengembangan aspek akademik, karir,
dan sosial-pribadi. Secara rinci cakupan fokus tersebut antara lain mencakup
pengembangan aspek: (a) akademik meliputi memanfaatkan keterampilan belajar,
melakukan pemilihan pendidikan lanjutan, memilih kursus dan memahami nilai
belajar sepanjang hayat; (b) karir meliputi mengeksplorasi peluang-peluang karir,
mengeksplorasi latihan-latihan pekerjaan, memahami kebutuhan untuk kebiasaan
bekerja yang positif; dan (c) sosial-pribadi meliputi pengembangan konsep diri yang
positif, dan pengembangan keterampilan sosial yang efektif.

d. Dukungan Sistem
Ketiga komponen diatas, merupakan pemberian bimbingan dan konseling
kepada konseli secara langsung. Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen
pelayanan dan kegiatan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi
Informasi dan Komunikasi), dan pengembangan kemampuan professional konselor
secara berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada konseli
atau memfasilitasi kelancaran perkembangan konseli.
Program ini memberikan dukungan kepada konselor dalam memperlancar
penyelenggaraan pelayanan diatas. Sedangkan bagi personel lainnya adalah untuk
memperlancar penyelenggaraan program kerja di instansi. Dukungan sistem ini
meliputi aspek-aspek: (1) Pengembangan jejaring (networking). Pengembangan
jejaring menyangkut kegiatan konselor yang meliputi: (a) konsultasi dengan pihak

63

lain; (b) menyelenggarakan program kerja sama dengan pihak lain; (c) berpartisipasi
dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan instansi; (d) bekerjasama
dengan personel lainnya dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan konseli; (e) melakukan penelitian tentang masalah-masalah yang
berkaitan erat dengan bimbingan dan konseling, dan; (f) melakukan kerjasama dan
kolaborasi dengan ahli lain yang terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling;
(2) Kegiatan manajemen. Kegiatan manajemen merupakan berbagai upaya untuk
memantapkan, memelihara, dan meningkatkan mutu program bimbingan dan
konseling melalui kegiatan-kegiatan: (a) pengembangan program; (b) pengembangan
staf; (c) pemanfaatan sumber daya, dan pengembangan penataan kebijakan;
(3)Pengembangan profesionalitas. Konselor secara terus menerus berusaha untuk
memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya melalui: (a) in-service training; (b)
aktif dalam organisasi profesi; (c) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah; seperti
seminar dan workshop (lokakarya), atau melanjutkan studi ke program yang lebih
tinggi; (d) Pemberian konsultasi dan berkolaborasi. Konselor perlu melakukan
konsultasi dan kolaborasi dengan pihak lain, dan pihak institusi di luar untuk
memperoleh informasi dan umpan balik tentang pelayanan bantuan yang telah
diberikannya kepada para konseli, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan konseli, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program
bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya
instansi untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang
relevan dengan peningkatan mutu pelayanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti

64

dengan pihak-pihak: (1) instansi pemerintah; (2) instansi swasta; (3) organisasi
profesi; (4) para ahli dalm bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dan
dokter dan (5) Depnaker; (6) manajemen program. Suatu program pelayanan
bimbingan dan konseling tidak mungkin akan terselenggara dan tercapai bila tidak
memiliki suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang bermutu, dalam arti dilakukan
secara jelas, sistematis, dan terarah.
4. Langkah-Langkah Pengembangan Program Bimbingan
Schmidt (1999:40) mengemukakan bahwa terdapat empat fase dalam
pengembangan program bimbingan dan konseling komprehensif, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Perencanaan
Dalam proses perencanaan, penyeleksian dan penetapan tujuan umum maupun
prioritas merupakan hal yang paling esensial, di samping melakukan identifikasi
kebutuhan terhadap karyawan. Pada prinsipnya, tujuan dielaborasi dan ditetapkan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan di lapangan. Selain itu, dalam proses
perencanaan program, konselor harus mulai menentukan dengan tepat arah
pendekatan layanan yang akan diberikan, apakah berprinsip pada langkah preventif,
pengembangan, atau kuratif (remedial).
b. Pengorganisasian
Pada tahap ini konselor mulai menetapkan pembagian tugas dan tanggung
jawab serta wewenang, sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan
sebagai kesatuan untuk mencapai tujuan bersama. Pada tahap pengorganisasian,

65

kesepahaman dan komitmen yang tinggi menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki
tiap personil perusahaan, mulai dari direktur utama, kepala bagian, kepala seksi, dan
staf lainnya. Sosialisasi program bimbingan dilaksanakan pada tahap ini dalam
rangka mencapai keselarasan misi yang diemban oleh perusahaan. Koordinasi dan
konsultasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pengorganisasian
bimbingan sebagai bagian dari langkah pengoptimalisasian fungsi dukungan sistem
yang ada.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan program yang telah disusun dan ditetapkan, serta didukung oleh
personil perusahaan lain turut ditunjang dengan kesiapan konselor sendiri untuk
melaksanakan semua program tersebut, baik kesiapan dalam hal keilmuan, tenaga,
maupun dana. Pada tahapan inilah kinerja dan profesionalisme seorang konselor
mulai tampak, di samping menentukan pula keberhasilan program.
d. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Tahap evaluasi ini merupakan bagian yang sama pentingnya dengan tahapan
lainnya, yaitu sebagai umpan balik terhadap program yang terlaksana. Efektif
tidaknya program yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, tercapai tidaknya
pelaksanaan program dengan kebutuhan karyawan akan layanan bimbingan itu
sendiri.
Selain itu, kegiatan evaluasi juga menghasilkan serangkaian data yang jelas
dan tepat mengenai program apa yang sekiranya dapat digulirkan pada tahun ajaran
berikutnya, apa saja langkah preventif yang dapat dipersiapkan oleh personil

66

perusahaan dalam menghadapi permasalahan atau hambatan yang biasanya muncul


dalam proses pelaksanaan program bimbingan di lapangan.
5. Ciri-ciri Program yang Baik
Natawidjaja (Wibawa, 2006: 10) mengemukakan ciri-ciri program yang baik
sebagai berikut:
a. Program disusun berdasarkan kebutuhan nyata dari para konseli.
b. Kegiatan bimbingan diurut sesuai skala prioritas yang juga ditentukan dari kebutuhan
konseli.
c. Program memiliki tujuan yang ideal tapi realistis dalam pelaksanaannya.
d. Program dikembangkan secara berangsur-angsur dengan melibatkan semua anggota
staf pelaksana.
e. Menggambarkan komponen yang berkesinambungan antar semua anggota pelaksana.
f. Menyediakan fasilitas yang diperlukan.
g. Penyusunan disesuaikan dengan program di instansi.
h. Memberikan kemungkinan pelayanan kepada semua konseli yang bersangkutan.
i. Memperlihatkan peran yang penting dalam memadukan instansi dengan masyarakat.
j. Berlangsung sejalan dengan proses penilaian baik mengenai program itu sendiri
maupun kemajuan konseli yang dibimbing serta mengenai kemajuan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap para petugas pelaksana.
k. Program hendaknya menjamin keseimbangan dan kesinambungan seluruh pelaksana

bimbingan.

Anda mungkin juga menyukai