A. Komitmen
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi memiliki peranan yang sangat penting dalam
mendorong karyawan yang berbakat untuk memperluas kesempatan dalam
organisasinya.
Ada dua pendekatan dalam merumuskan definisi komitmen dalam
berorganisasi. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengilustrasikan bahwa
komitmen dapat muncul dalam berbagai bentuk, maksudnya arti dari komitmen
menjelaskan perbedaan hubungan antara anggota organisasi dan entitas lainnya (salah
satunya organisasi itu sendiri). Yang kedua melibatkan usaha untuk memisahkan
diantara berbagai entitas di mana individu berkembang menjadi memiliki komitmen.
Kedua pendekatan ini tidak compatible namun dapat menjelaskan definisi dari
komitmen, bagaimana proses perkembangannya dan bagaimana implikasinya
terhadap individu dan organisasi (Meyer & Allen, 1997).
Sebelum munculnya kedua pendekatan tersebut, ada suatu pendekatan lain
yang lebih dahulu muncul dan lebih lama digunakan, yaitu pembedaan berdasarkan
attitudinal commitment atau pendekatan berdasarkan sikap dan behavioral
commitment atau pendekatan berdasarkan tingkah laku (Mowday, Porter, & Steers,
18
19
1982; Reichers; Salancik; Scholl; Staw dalam Meyer & Allen, 1997). Pembedaan
yang lebih tradisional ini memiliki implikasi tidak hanya kepada definisi dan
pengukuran komitmen, tapi juga pendekatan yang digunakan dalam berbagai
penelitian perkembangan dan konsekuensi komitmen. Mowday et al. (Meyer &
Allen, 1997) menjelaskan kedua pendekatan itu sebagai berikut. Attitudinal
commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai memikirkan mengenai
hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya terhadap organisasi.
Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pola pikir di mana individu
memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya sendiri sesuai dengan organisasi di
mana ia berada. Behavioral commitment berhubungan dengan proses di mana
individu merasa terikat kepada organisasi tertentu dan bagaimana cara mereka
mengatasi setiap masalah yang dihadapi.
komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya tingkah laku anggota organisasi
sesuai dengan yang diharapkan (dari perspektif organisasi), seperti anggota organisasi
jarang untuk tidak hadir dan perpindahan ke organisasi lain lebih rendah, dan
produktivitas yang lebih tinggi.
Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen
dalam organisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya
dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki
komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian
dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap
organisasi.
20
perusahaan, di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang
kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tersebut.
Porter dan Mowday (1982) mendefinisikan komitmen sebagai kekuatan yang
bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam
bagian dari organisasi. Hal tersebut ditandai dengan tiga hal, yaitu:
1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama
organisasi.
3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya di dalam organisasi (menjadi
bagian dari organisasi ).
Richard M. Steers (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa
identifikasi (kepercaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (keinginan untuk
berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi ) dan loyalitas (keinginan
untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh
seorang karyawan terhadap organisasinya. Steerss (1982) berpendapat bahwa
komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap
tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya
lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi
dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan
21
22
tinggi memilki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih
dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Komitmen organisasi terdiri atas dimensi affective yang berkenaan dengan
emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan dalam suatu organisasi dan dimensi
continuance yaitu komponen berdasarkan persepsi karyawan tentang kerugian yang
akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi (Walsh dan Taylor, 2002).
Pada kedua dimensi komitmen tersebut, individu tidak terkait secara
psikologis terhadap organisasi melainkan terhadap faktor-faktor instrinsik dan
ekstrinsik yang terdapat pada organisasi dimana individu menemukan pekerjaan
dalam sebuah organisasi yang menawarkan faktor-faktor tersebut yang membuat
individu menjadi terikat atau berkomitmen terhadap organisasinya secara affective &
continually hingga faktor-faktor tersebut tidak lagi dapat diterima atau ada. Ini berarti
bahwa faktor-faktor organisasi tersebut menghubungkan antara ikatan psikologis
individu dengan level komitmen organisasi individu (Walsh & Taylor 2002).
Beberapa teori klasik menerangkan individu dapat berkomitmen terhadap
organisasi yang di dalamnya terdapat tujuan-tujuan yang harus dicapai. Morrow
(Walsh & Taylor, 2002) berpendapat bahwa dalam mengidentifikasikan konstruksi
komitmen individu dapat secara bersamaan berkomitmen pada organisasi, pekerjaan,
karir, dan perserikatannya di mana kekuatan komitmen tersebut akan berbeda diantara
variabel-variabel. Dalam memperkirakan dampak dari target-target pekerjaan yang
harus diselesaikan serta prestasi kerja yang harus dicapai. Ide mengenai pemberian
target-target tersebut telah terbukti lebih kuat dibandingkan pengukuran komitmen
23
secara keseluruhan. Sebagai contoh, Backer (Walsh & Taylor, 2002) menunjukkan
bahwa dengan memberikan beberapa target-target yang harus dipenuhi, prediksi akan
kepuasan, keinginan untuk meninggalkan organisasi, serta perilaku-perilaku sosial
yang ditunjukkan oleh karyawan akan lebih kuat dan mudah terlihat dibandingkan
hanya dengan mengukur komitmen organisasi secara umum. Ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Siders George dan Dhawadkan (Walsh & Taylor, 2002)
mereka menemukan bahwa karyawan yang menampilkan komitmen yang kuat
terhadap tujuan-tujuan internal seperti kepada supervisor mereka, maka akan terlihat
pada produktivitas dan organisasi yang terlihat dalam pertumbuhan dan volume
penjualan. Begitu pula saat karyawan memilki komitmen yang kuat terhadap tujuantujuan eksternal seperti terhadap pelanggan, maka akan terlihat dalam upaya
meningkatkan pelayanan. Walsh (2002) berpendapat bahwa individu terikat tidak
hanya pada organisasi saja tetapi juga terhadap faktor-faktor yang berasal dari
organisasinya yang penting bagi mereka. Selama faktor-faktor tersebut masih ada,
individu akan tetap berkomitmen terhadap organisasinya.
2. Jenis-jenis Komitmen Organisasi
A. Jenis Komitmen Organisasi menurut Mowday, Porter dan Steers
Komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers (1982) dikenal sebagai
pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini memilki dua
komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Sikap mencakup :
1). Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana
pemenerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi karyawan
24
25
dengan
keterikatan
emosional
individu
kepada
kelompoknya
(Kanter,1968). Individu yang terikat secara afektif pada organisasinya serta percaya
akan tujuan-tujuan organisasi, akan mengupayakan secara kuat atas nama perusahaan
untuk tetap menjaga keanggotaanya dalam organisasi (Mowday dkk,1982).
Individu membangun rasa komitmen affective terhadap organisasinya saat
mereka telah berkompeten dalam penampilan kerja mereka serta saat mereka merasa
nyaman dengan peranan mereka sebagai anggota organisasi (Allen & Meyer,1993).
Sementra faktor tingkatan individu seperti kepribadian, orientasi nilai, usia dan
kedudukan telah dianggap memberikan pengaruh terhadap level komitmen. Faktorfaktor organisasi memberikan pengaruh yang sama terhadap level komitmen
26
karyawan. Saat karyawan berada pada tingkatan tingkatan: 1). Mempercayai peranan
dan tujuan-tujuan pekerjaan yang secara jelas digambarkan, dan 2). Menerima
dukungan manajemen dan umpan balik berkenaan dengan penampilan kerja mereka.
Tinkatan-tingkatan tersebut akan membuat karyawan terikat atau berkomitmen secara
affective. Pendapat tersebut didukung oleh Eby, Freeman, Rush dan Lance (Walsh &
Taylor,2002) yang menggunakan komponen model karakteristik pekerjaan dari
Hackman dan Oldman, disarankan adanya variasi keahlian, identitas pekerjaan dan
makna pekerjaan akan membawa motivasi intrinsik pada individu yang lebih besar
dimana hal tersebut juga akan membutuhkan rasa komitmen affective.
Komitmen affective akan muncul pada diri individu saat individu merasakan
keanggotaannya dalam organisasi. (Walsh & Taylor,2002). Sebuah penelitian
mengenai teori identitas sosial dilakukan oleh Tajfel dan Turner (Walsh &
Taylor,2002) menjelaskan bahwa disaat individu merasakan keanggotaannya bersama
kelompok sosialnya, maka mereka akan membangun rasa keanggotaannya. Para
anggota akan saling berbagi tujuan bersama yang membedakan mereka dengan
keanggotaaan organisasi lain di luar kelompok mereka.
Dengan menciptakan rasa perbedaan dengan anggota organisasi lainnya,
individu membangun ikatan sosial yang kuat dengan anggotanya sehingga secara
affective terikat pada kelompoknya (Walsh & Taylor,2002). Dengan demikian,
komitmen affective akan muncul melalui pilihan-pilihan organisasi baik bagi orang
ataupun kelompok yang ada di dalam organisasi.
27
Meyer dan Allen menambahkan bahwa individu akan secara affective terikat
pada organisasi yang menawarkan pada karyawannya untuk mampu mengalami dan
merasakan pekerjaan yang menantang serta memberikan kesempatan untuk belajar
seluas-luasnya dan pekerjaan yang memberikan kesempatan kepada karyawannya
untuk mengembangkan hubungan satu sama lain.
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk
melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian
yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu
melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
2. Komitmen Continuence
Komitmen continuence adalah komitmen berdasarkan persepsi karyawan
tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi (Allen &
Meyer,1993) selanjutnya Allen & Meyer menyebutkan bahwa kerugian tersebut dapat
berupa kehilangan keuntungan secara keseluruhan, pembayaran penuh, jaringan
koneksi, imej khusus yang ditawarkan organisasi dan yang terakhir adalah keharusan
mencari kembali pekerjaan baru.
Bentuk komitmen ini didasarkan atas
karyawan berkontribusi dan diberi penghargaan yang setara dengan peran dan hasil
kerjanya. Sehingga hal tersebut membuat karyawan tetap berada bersama
organisasinya, karena hal itu memberikan keuntungan bagi mereka (Walsh &
Taylor,2002). Dengan demikian, karyawan bukan hanya berkomitmen terhadap
28
29
30
31
Personal
Characteristics
Values
Beliefs
Level of initial
commitment
organizational
Espectations
About Job
Characteristics
Of Job Choice
Volition
Irrevocability
Sacrifice
Insufficient
justification
Initial Work
Experiences
Job
Supervision
Work group
Pay
Organizational
Initial
Commitment
Commitment
during early
Employment
period
Felt
Responsibility
Availability of
Alternative Jobs
32
Length of
service
Investment
Social involvements
Job mobility
sacrificies
Commitment in
later carier
1. Karakteristik individu,
2. Harapan-harapan karyawan pada organisasi
3. Karakteristik pekerjaan
Fase kedua disebut sebagai commitment during early employment. Pada fase ini
karyawan sudah bekerja beberapa tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman kerja yang ia rasakan pada
tahap awal bekerja, bagaimana pekerjaannya, sistem penggajiannya, gaya
supervisinya, hubungan dengan teman sejawat atau hubungan dengan pemimpinnya.
33
Semua faktor ini akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan
pada organisasi yang pada akhirnya akan bermuara pada komitmen karyawan pada
awal memasuki dunia kerja.
Tahap yang ke tiga yang diberi nama commitment during later carier . Faktor
yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi,
mobilitas kerja, hubungan sosial yang tercipta di organisasi dan pengalamanpengalaman selama ia bekerja.
34
35
2. faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal
consistency organizational. Semua faktor ini akan membentuk atau memunculkan
tanggung jawab.
3. Non-organizational faktors, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor
yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya alternatif
pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu karyawan akan meninggalkannya.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen
organisasional adalah:
1. Faktor personal
2. faktor organisasional, dan
3. faktor yang bukan dari dalam organisasi.
5. Membangun Komitmen Karyawan
Bashaw dan Grant (Amstrong, 1994) menjelaskan bahwa komitmen karyawan
merupakan proses berkesinambungan dan merupakan sebuah pengalaman individu
ketika bergabung dalam sebuah organisasi.
Gary Dessler mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk
membangun komitmen karyawan dalam organisasi, yaitu:
1. make it charismatic,
karismatik, sesuatu yang dijadikan pijakan, dasar bagi setiap perilaku, dan
tindakan karyawan.
36
2. Build the tradition, menjadikan segala sesuatu yang baik dalam organisasi sebagai
suatu tradisi yang secara terus-menerus dipelihara, dijaga oleh generasi
berikutnya.
3. Have comprehensive grievence procedures, bila ada keluhan atau komplain dari
pihak luar ataupun dari internal organisasi, maka organisasi harus memiliki
prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut secara menyeluruh.
4. Provide extensive two way communication, adanya komunikasi dua arah antara
pihak organisasi dengan karyawan tanpa memandang rendah bawahan.
5. create a sense of community, menjadikan senua unsure dalam organisasi sebagai
suatu community di mana di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa memiliki,
kerjasama, berbagi, dan lain-lain.
6. Build value-based homogency, membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya
kesamaan. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama. Sebagai
contoh misalnya untuk promosi maka dasar yang digunakan untuk promosi adalah
kemampuan, keterampilan, minat, motivasi, kinerja, tanpa ada diskriminasi.
7. share and share alike, sebaiknya organisasi membuat kebijakan dimana antara
karyawan level bawah sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau
mencolok dalam kompensasi yang diterima, gaya hidup, penampilan fisik, dan
lain-lain.
8. Emphasize barnraising, cross-utilization, and teamwork.
Organisasi sebagai
suatu komunitas harus bekerjasama, saling bebagi, saling memberi manfaat dan
memberikan kesempatan yang sama pada anggota organisasi. Misalnya perlu
37
adanya rotasi sehingga karyawan yang bekerja di tempat yang basah perlu juga
ditempatkan di tempat yang kering. Semua anggota organisasi merupakan
teamwork. Semuanya harus memberikan kontribusi yang maksimal demi
keberhasilan organisasi tersebut.
9. Get together. Adakan acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi
sehingga kebersamaan bias terjalin. Misalnya, sekali-kali produksi dihentikan dan
semua karyawan terlibat dalam even rekreasi bersama keluarga, pertandingan
olahraga, seni, dan lain-lain yang dilakukan oleh semua anggota organisasi dan
keluarganya.
10. Support employee development. Hasil studi menunjukan bahwa karyawan akan
lebih memiliki komitmen terhadapa organisasi bila organisasi memperhatikan
perkembangan karir karyawan dalam jangka panjang.
11. Commit to actualizing. Setiap karyawan diberikan kesempatan yang sama untuk
mengaktualisasikan diri secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapasitas
masing-masing.
12. Provide first- year job challenge.
38
13. Enrich and empower. Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak monoton
karena rutinitas akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Hal ini tidak
baik karena akan menurunkan kinerja karyawan. Misalnya dengan rotasi kerja,
memberikan tantangan dengan memberikan tugas, kewajiban dan otoritas
tambahan.
14. Prommote from within. Bila ada lowongan jabatan, sebaiknya kesempatan
pertama diberikan kepada pihak intern perusahaan sebelum merekrut karyawan
dari luar perusahaan.
15. provide developmental activities. Bila organisasi membuat kebijakan untuk
merekrut karyawan dari dalam sebagai prioritas maka dengan sendirinya hal itu
akan memotivasi karyawan untuk terus tumbuh dan berkembang personal dan
jabatannya.
16. The question of employee security. Bila karyawan merasa aman, baik fisik
maupun psikis, maka komitmen akan muncul dengan sendirinya. Misalnya,
karyawan merasa aman karena perusahaan membuat kebijakan memberikan
kesempatan karyawan bekerja selama usia produktif. Dia akan merasa aman dan
tidak takut akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia merasa aman karena
keselamatan kerja diperhatikan perusahaan.
17. commite to people-first values. Membangun komitmen karyawan pada organisasi
merupakan proses yang panjang dan tidak bias dibentuk secara instant. Oleh
karena itu, perusahaan harus benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada
39
dan
mengabaikan
karyawan
yang
kurang
memiliki
komitmen
40
41
42
perilaku sebagai anggota organisasi yang lebih tinggi (higher organization citizenship
behavior).
Dampak dari komitmen karyawan terhadap internal foci seperti organisasi dan
supervisor, dan external foci seperti union, profesi, untuk hasil kerja (work outcome),
misalnya kinerja, tingkat absensi, dan turn over telah dilakukan studi oleh Angle and
Perry (1981); Becker, Billings, Eveleth Gilbert (1996); Porter, Crampon & Smith
(1976) dan Wallace (1995).
B. Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri
1. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling di Lingkungan Industri
Bimbingan pada dasarnya merupakan upaya pembimbing untuk membantu
mengoptimalkan individu. Mortensen dan Schmuller (Nurihsan, 2002:9) menyatakan:
Guidance may be defined as that part of the total educational program that helps
provide the personal apportunities and specialized staff services by which each
individual can develop to the fullest of his abilities and capacities in term of the
democratic idea. ASCA (American School Counselor Assosiation) mengemukakan
bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan
sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli, konselor
mempergunakan pengetahuan dan keterampilanmnya untuk membantu konselinya
mengatasi masalah-masalahnya. Secara lebih spesifik menurut Hasibuan (2000:201)
konseling dilingkungan industri adalah pembahasan suatu masalah dengan seorang
43
karyawan, dengan maksud pokok membantu karyawan tersebut agar dapat mengatasi
masalah secara lebih baik.
44
45
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dunia Perusahaan
(World Of Organizations)
Pengawasan (controlling).
Pengalaman bersifat objektif
(objective experience).
Berkenaan dengan pikiran
(thinking/rational).
Bersifat hierarkis (hierarchical).
Bertujuan politis untuk kepentingan
perusahaan (political).
Situasinya kompetitif (competitive).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dunia Konseling
(World Of Counseling)
Bantuan (helping).
Pengalaman bersifat subjektif
(subjective experience).
Berkenaan dengan pikiran dan
perasaan (feeling and thinking).
Bersifat otonomi (autonomous).
Bertujuan untuk memberdayakan
pribadi (personal empowerment).
Situasinya kooperatif
(cooperative).
46
47
pengembangan
dirinya.
Dalam
hal
ini
konselor
berkewajiban
48
Asas kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek
sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli dalam
kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan masa depan atau kondisi
masa lalupun dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan
apa yang diperbuat sekarang.
g. Asas kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu
bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai
dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
h. Asas keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan
oleh konselor maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadu. Untuk
ini kerja sama antara konselor dan pihak-pihak yang berperan dalam
49
Asas keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma
agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan kebiasaan yang
berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat
dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai
dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan
dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli memahami,
menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
j.
Asas keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar
pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas kaidahkaidah professional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan
bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang
bimbingan dan konseling. Keprofesionalan konselor harus terwujud baik dalam
penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling
maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
k. Asas alih tangan kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki
agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling
secara
tepat
dan
tuntas
atas
suatu
permasalahan
konseli
50
51
ini diasosiasikan dengan review kinerja tahunan dan pengembangan kinerja yang
sifatnya berkala.
c. Consulting (konsultasi) tipe konseling ini berbeda dari kedua tipe sebelumnya.
Dalam correcting dan coaching konselorlah yang melihat adanya kebutuhan
untuk pengembangan pada diri karyawan, sementara itu dalam consulting
(konsultasi) fokus permasalahan adalah karyawan. Karyawanlah yang merasa
adanya kebutuhan atau memiliki keinginan untuk mengubah sesuatu. Disini ada
kalanya karyawanlah yang memiliki inisiatif untuk memulai diskusi masalahnya
dengan konselor, namun ada kalanya juga konselorlah yang mengundang
karyawan untuk berdiskusi.
Setiap tipe konseling ini diorientasikan pada pemecahan masalah dan
diharapkan akan menghasilkan pengembangan kompetensi yaitu kompetensi dalam
pemenuhan tugas-tugas, kompetensi mengembangkan kemampuan dan kapabilitas,
kompetensi dalam mengatasi frustasi dan kekecewaan.
Untuk lebih jelasnya terdapat layanan bimbingan dan konseling yang
diasumsikan dapat menunjang kepuasan kerja karyawan, yaitu :
a. Layanan dasar bimbingan dan konseling, meliputi : bimbingan klasikal dan
individual; bimbingan kelompok; kolaborasi dengan manajer.
b. Layanan perencanaan individual, meliputi : penilaian individual; penasihatan
kepada individu dan kelompok.
c. Layanan responsif, meliputi : konsultasi; konseling individual dan kelompok;
konseling krisis; referal; bimbingan teman sebaya.
52
53
kehidupannya, tidak hanya dengan merespon saja namun juga melakukan perubahan;
(c) Konselor sebagai detektif. Dalam proses konseling, konselor harus dapat
mengumpulkan fakta-fakta dan menyatukannya dengan memperhatikan setiap detail
dari yang diungkapkan konseli (karyawan) untuk menemukan permasalahan
sesungguhnya; (d) Konselor sebagai barbarian. Hal ini dimaksudkan ketika konselor
mengkonfrontasikan segala sesuatu yang dianggap tidak rasional dan tidak tepat, ia
harus bersikap tegas akan hal itu; (e) Konselor sebagai waktu. Dengan jadwal atau
tindak lanjut secara periodik pada konselinya, konselor dapat membuat individu
mempersiapkan diri terhadap target waktu atau deadline (contohnya berpikir dengan
tujuan, membuat revolusi, melakukan tindakan, interospeksi diri, dan sebagainya);
(f)Konselor sebagai monitor. Dalam hal ini, konselor menyediakan pandangan dan
penilaian yang independen mengenai kinerja dan mengevaluasi dukungan-dukungan
untuk dijadikan peningkatan kompetensi; (g) Konselor sebagai katalis. Disini,
konselor dapat dijadikan seseorang untuk mengungkapkan masalah dengan cara
diskusi yang berbeda sehingga memberikan perasaan yang lain.
54
umum program dapat diartikan sebagai sebuah rencana dan secara khusus program
diartikan sebagai suatu unit dari satuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi
dari
suatu
kebijakan,
berlangsung
dalam
proses
yang
55
sistematis, terarah dan terpadu untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang
diselaraskan dengan tujuan perusahaan selama periode waktu tertentu.
56
Pelayanan Dasar
57
58
Pelayanan Responsif
59
konsultasi dengan pihak lain adalah ragam yang dapat dilakukan dalam pelayanan
responsif
2) Tujuan Pelayanan Responsif
Tujuan pelayanan responsif adalah membantu konseli agar dapat memenuhi
kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya atau membantu konseli
yang mengalami hambatan, kegagalan dalam mencapai perkembangannya. Tujuan
pelayanan ini dapat juga dikemukakan sebagai upaya untuk mengintervensi masalahmasalah atau kepedulian pribadi konseli yang muncul segera dan dirasakan saat itu,
berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir, dan atau masalah pengembangan
pendidikan.
3) Fokus Pengembangan Pelayanan Responsif
Fokus pelayanan responsif bergantung kepada masalah atau kebutuhan
konseli. Masalah dan kebutuhan konseli berkaitan dengan keinginan untuk
memahami sesuatu hal karena dipandang penting bagi perkembangan dirinya secara
positif. Kebutuhan ini seperti kebutuhan untuk memperoleh informasi yang berharga
akan karir dan hidupnya.
Masalah lainnya adalah yang berkaitan dengan berbagai hal yang dirasakan
mengganggu kenyamanan hidup atau menghambat perkembangan diri konseli, karena
tidak terpenuhinya kebutuhannya, atau gagal dalam mencapai tugas-tugas
perkembangan. Masalah konseli pada umumnya tidak mudah diketahui secara
langsung tetapi dapat dipahami melalui gejala-gejala perilaku yang ditampilkannya.
Masalah (gejala perilaku bermasalah) yang mungkin dialami konseli diantaranya: (a)
60
merasa cemas tentang masa depan; (b) merasa rendah diri; (c) berperilaku impulsive
(kekanak-kanakan atau melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkannya secara
matang); (d) membolos dari pekerjaan; (e) malas bekerja; (f) kurang memiliki
kebiasaan bekerja yang positif; (g) kurang bisa bergaul; (h), prestasi bekerja rendah;
(i) malas beribadah; (j) manajemen stress; dan (k) masalah dalam keluarga.
Untuk memahami kebutuhan dan masalah konseli dapat ditempuh dengan cara
assesment dan analisis perkembangan konseli, dengan menggunakan berbagai teknik,
misalnya inventori tugas-tugas perkembangan, angket konseli, wawancara, observasi,
sosiometri, daftar hadir konseli, tes psikologi, dan daftar masalah konseli atau alat
ungkap masalah.
c.
Perencanaan Individual
61
pelayanan
perencanaan
individual,
konseli
diharapkan
dapat:
62
d. Dukungan Sistem
Ketiga komponen diatas, merupakan pemberian bimbingan dan konseling
kepada konseli secara langsung. Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen
pelayanan dan kegiatan manajemen, tata kerja, infrastruktur (misalnya Teknologi
Informasi dan Komunikasi), dan pengembangan kemampuan professional konselor
secara berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada konseli
atau memfasilitasi kelancaran perkembangan konseli.
Program ini memberikan dukungan kepada konselor dalam memperlancar
penyelenggaraan pelayanan diatas. Sedangkan bagi personel lainnya adalah untuk
memperlancar penyelenggaraan program kerja di instansi. Dukungan sistem ini
meliputi aspek-aspek: (1) Pengembangan jejaring (networking). Pengembangan
jejaring menyangkut kegiatan konselor yang meliputi: (a) konsultasi dengan pihak
63
lain; (b) menyelenggarakan program kerja sama dengan pihak lain; (c) berpartisipasi
dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan instansi; (d) bekerjasama
dengan personel lainnya dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan konseli; (e) melakukan penelitian tentang masalah-masalah yang
berkaitan erat dengan bimbingan dan konseling, dan; (f) melakukan kerjasama dan
kolaborasi dengan ahli lain yang terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling;
(2) Kegiatan manajemen. Kegiatan manajemen merupakan berbagai upaya untuk
memantapkan, memelihara, dan meningkatkan mutu program bimbingan dan
konseling melalui kegiatan-kegiatan: (a) pengembangan program; (b) pengembangan
staf; (c) pemanfaatan sumber daya, dan pengembangan penataan kebijakan;
(3)Pengembangan profesionalitas. Konselor secara terus menerus berusaha untuk
memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya melalui: (a) in-service training; (b)
aktif dalam organisasi profesi; (c) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah; seperti
seminar dan workshop (lokakarya), atau melanjutkan studi ke program yang lebih
tinggi; (d) Pemberian konsultasi dan berkolaborasi. Konselor perlu melakukan
konsultasi dan kolaborasi dengan pihak lain, dan pihak institusi di luar untuk
memperoleh informasi dan umpan balik tentang pelayanan bantuan yang telah
diberikannya kepada para konseli, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan konseli, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program
bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya
instansi untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang
relevan dengan peningkatan mutu pelayanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti
64
dengan pihak-pihak: (1) instansi pemerintah; (2) instansi swasta; (3) organisasi
profesi; (4) para ahli dalm bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dan
dokter dan (5) Depnaker; (6) manajemen program. Suatu program pelayanan
bimbingan dan konseling tidak mungkin akan terselenggara dan tercapai bila tidak
memiliki suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang bermutu, dalam arti dilakukan
secara jelas, sistematis, dan terarah.
4. Langkah-Langkah Pengembangan Program Bimbingan
Schmidt (1999:40) mengemukakan bahwa terdapat empat fase dalam
pengembangan program bimbingan dan konseling komprehensif, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi.
a. Perencanaan
Dalam proses perencanaan, penyeleksian dan penetapan tujuan umum maupun
prioritas merupakan hal yang paling esensial, di samping melakukan identifikasi
kebutuhan terhadap karyawan. Pada prinsipnya, tujuan dielaborasi dan ditetapkan
berdasarkan hasil analisis kebutuhan di lapangan. Selain itu, dalam proses
perencanaan program, konselor harus mulai menentukan dengan tepat arah
pendekatan layanan yang akan diberikan, apakah berprinsip pada langkah preventif,
pengembangan, atau kuratif (remedial).
b. Pengorganisasian
Pada tahap ini konselor mulai menetapkan pembagian tugas dan tanggung
jawab serta wewenang, sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan
sebagai kesatuan untuk mencapai tujuan bersama. Pada tahap pengorganisasian,
65
kesepahaman dan komitmen yang tinggi menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki
tiap personil perusahaan, mulai dari direktur utama, kepala bagian, kepala seksi, dan
staf lainnya. Sosialisasi program bimbingan dilaksanakan pada tahap ini dalam
rangka mencapai keselarasan misi yang diemban oleh perusahaan. Koordinasi dan
konsultasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pengorganisasian
bimbingan sebagai bagian dari langkah pengoptimalisasian fungsi dukungan sistem
yang ada.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan program yang telah disusun dan ditetapkan, serta didukung oleh
personil perusahaan lain turut ditunjang dengan kesiapan konselor sendiri untuk
melaksanakan semua program tersebut, baik kesiapan dalam hal keilmuan, tenaga,
maupun dana. Pada tahapan inilah kinerja dan profesionalisme seorang konselor
mulai tampak, di samping menentukan pula keberhasilan program.
d. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Tahap evaluasi ini merupakan bagian yang sama pentingnya dengan tahapan
lainnya, yaitu sebagai umpan balik terhadap program yang terlaksana. Efektif
tidaknya program yang telah ditetapkan dan diimplementasikan, tercapai tidaknya
pelaksanaan program dengan kebutuhan karyawan akan layanan bimbingan itu
sendiri.
Selain itu, kegiatan evaluasi juga menghasilkan serangkaian data yang jelas
dan tepat mengenai program apa yang sekiranya dapat digulirkan pada tahun ajaran
berikutnya, apa saja langkah preventif yang dapat dipersiapkan oleh personil
66
bimbingan.