Anda di halaman 1dari 21

KOMITMEN ORGANISASI

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Perilaku Organisasional


Yang di Bimbing Oleh
Dr. Sopih, M.Pd, M.M

Oleh.
Gustaf Hermawan 130413604603
Indri Puspita 130413614961
Ika Yana

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2014

KOMITMEN ORGANISASI
Definisi Komitmen Organisasi
Ada dua pendekatan dalam merumuskan definisi komitmen dalam
berorganisasi. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengilustrasikan bahwa
komitmen dapat muncul dalam berbagai bentuk, maksudnya arti dari komitmen
menjelaskan perbedaan hubungan antara anggota organisasi dan entitas lainnya
(salah satunya organisasi itu sendiri). Yang kedua melibatkan usaha untuk
memisahkan diantara berbagai entitas di mana individu berkembang menjadi
memiliki komitmen. Kedua pendekatan ini tidak compatible namun dapat
menjelaskan definisi dari komitmen, bagaimana proses perkembangannya dan
bagaimana implikasinya terhadap individu dan organisasi (Meyer & Allen, 1997).
Sebelum munculnya kedua pendekatan tersebut, ada suatu pendekatan lain
yang lebih dahulu muncul dan lebih lama digunakan, yaitu pembedaan
berdasarkan attitudinal commitment atau pendekatan berdasarkan sikap dan
behavioral commitment atau pendekatan berdasarkan tingkah laku (Mowday,
Porter, & Steers, 1982; Reichers; Salancik; Scholl; Staw dalam Meyer & Allen,
1997). Pembedaan yang lebih tradisional ini memiliki implikasi tidak hanya
kepada definisi dan pengukuran komitmen, tapi juga pendekatan yang digunakan
dalam berbagai penelitian perkembangan dan konsekuensi komitmen. Mowday et
al. (Meyer & Allen, 1997) menjelaskan kedua pendekatan itu sebagai berikut.
Attitudinal commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai
memikirkan mengenai hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya
terhadap organisasi. Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pola
pikir di mana individu memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya sendiri sesuai
dengan organisasi di mana ia berada. Sedangkan behavioral commitment
berhubungan dengan proses di mana individu merasa terikat kepada organisasi
tertentu dan bagaimana cara mereka mengatasi setiap masalah yang dihadapi.
Penelitian mengenai attitudinal commitment melibatkan pengukuran
terhadap komitmen (sebagai sikap atau pola pikir), bersamaan dengan variable
lain yang dianggap sebagai penyebab, atau konsekuensi dari komitmen (Buchanan

& Steers dalam Meyer & Allen, 1997). Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya tingkah laku
anggota organisasi sesuai dengan yang diharapkan (dari perspektif organisasi),
seperti anggota organisasi jarang untuk tidak hadir dan perpindahan ke organisasi
lain lebih rendah, dan produktivitas yang lebih tinggi. Tujuan yang kedua
menunjukkan karakteristik individu dan situasi kondisi seperti apa yang
mempengaruhi perkembangan komitmen berorganisasi yang tinggi.
Dalam behavioral commitment anggota dipandang dapat menjadi
berkomitmen kepada tingkah laku tertentu, daripada pada suatu entitas saja. Sikap
atau tingkah laku yang berkembang adalah konsekuensi komitmen terhadap suatu
tingkah laku. Contohnya anggota organisasi yang berkomitmen terhadap
organisasinya, mungkin saja mengembangkan pola pandang yang lebih positif
terhadap organisasinya, konsisten dengan tingkah lakunya untuk menghindari
disonansi kognitif atau untuk mengembangkan self-perception yang positif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi yang seperti apa yang
membuat individu memiliki komitmen terhadap organisasinya (Kiesler &
Salancik dalam Meyer & Allen, 1997).
Komitmen dianggap sebagai psychological state, namun hal ini dapat
berkembang secara retrospektif (sebagai justifikasi terhadap tingkah laku yang
sedang berlangsung) sebagaimana diajukan pendekatan behavioral, sama seperti
juga secara prospektif (berdasarkan persepsi dari kondisi saat ini atau di masa
depan di dalam organisasi) sebagaimana dinyatakan dalam pendekatan attitudinal
(Meyer & Allen, 1997).
Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen
dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam
berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen
terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi
dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.

Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990) menyatakan bahwa komitmen


memiliki arti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilainilai
perusahaan, di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat
yang kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tersebut.
Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen terhadap organisasi
maka dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga
dimensi utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif
terhadap organisasi, pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan
beban moral untuk terus berada dalam organisasi (Meyer & Allen, 1997).

Dimensi Komitmen Dalam Berorganisasi


Meyer dan Allen (1991) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam
berorganisasi, yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih
tepat dinyatakan sebagai komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi,
daripada jenis-jenis komitmen berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan
anggota organisasi dengan organisasi mencerminkan perbedaan derajat ketiga
dimensi tersebut.

Affective commitment
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota
terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota
dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment
yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang
memiliki keinginan untuk itu (Allen & Meyer, 1997).

Continuance commitment
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi
akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi
dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam

organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi


tersebut (Allen & Meyer, 1997).

Normative commitment
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus
berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang
tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus
berada dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).

Pembentukan Komitmen
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa
faktor,

baik

dari

perkembangannya

organisasi,
affective

maupun

commitment,

dari

individu

continuance

sendiri.

Dalam

commitment,

dan

normative commitment , masing-masing memiliki pola perkembangan tersendiri


(Allen & Meyer, 1997).

Proses Terbentuknya Affective commitment


Ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari affective commitment.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori
tersebut yaitu :

Karakterisitik Organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi


perkembangan affective commitment adalah sistem desentralisasi (bateman
& Strasser, 1984; Morris & Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi
yang adil, dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu
(Allen & Meyer, 1997). Dalam penelitian ini karakteristik organisasi
gereja yang dilihat adalah aliran gereja yang digunakan, bagaimana

praktek kelompok sel dalam gereja tersebut dan bagaimana kedudukan


kelompok sel sebagai strategi gereja.

Karakteristik Individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa


gender mempengaruhi affective commitment, namun ada pula yang
menyatakan tidak demikian (Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu &Zajac
dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu usia juga mempengaruhi proses
terbentuknya affective commitment, meskipun tergantung dari beberapa
kondisi individu sendiri (Allen & Meyer, 1993), organizational tenure
(Cohen; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997), status pernikahan,
tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi
individu mengenai kompetensinya (Allen & Meyer, 1997)

Pengalaman Kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses


terbentuknya affective commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa
karakteristik yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu
(Hackman & Oldham, 1980 dalam Allen & Meyer, 1997). Hal ini
mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan
variasi kemampuan yang digunakan individu. Selain itu peran individu
dalam organisasi tersebut (Mathieu & Zajac, 1990 dalam Allen & Meyer,
1997) dan hubungannya dengan atasan. Pengalaman berorganisasi
individu didapatkan dari pelayanan yang dilakukannya dalam gereja
tersebut dan juga interaksinya dengan anggota gereja lain seperti
pemimpinnya.

Proses Terbentuknya Continuance Commitment


Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai
tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan
organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua
variable, yaitu investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat
mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997).

Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun


uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan
alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses
pertimbangan adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi
dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer,
1997).
Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi gereja
berbeda dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait
dengan kegiatan-kegiatan khas gereja dibandingkan keuntungan materi atau
kedudukan yang bisa didapat dari organisasi profit biasa.

Proses Terbentuknya Normative Commitment


Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative commitment
terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan
individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama
sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu normative
commitment juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat
berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl
dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis
antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen &
Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak
bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen


Faktor-faktor

yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi

karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama


berorganisasi (Allen & Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik
organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan
bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik
pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel
disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan,

tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam
beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis
tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Aven Parker, &
McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997).
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki
anggota organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke dalam
variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang
baik (Buchanan dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu kebutuhan untuk
berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup
ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih
kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman
masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan
motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam
organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor
atau pemimpinnya (Allen & Meyer, 1997).

Indikator Affective commitment


Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan
emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut
akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap
organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan
yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen
dalam organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil
pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan bekerja
lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang

komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997)
menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung
kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment
memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan
hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner;
Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam
Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen &
Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah
laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen &
Meyer, 1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki
tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah.
Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et
al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect.
Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan
memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal
demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka
(loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif
ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk
melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian
yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu
melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi
berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi
(Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen &
Meyer, 1997).

Indikator Continuance Commitment


Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan
dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran
dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan
organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat
diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada
organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada
tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang
dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan
bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau memiliki hubungan yang
negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil pekerjaan
selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali
mempengaruhi hasil pekerjaan.
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan
dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance
commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle &
Lawson; Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan
beberapa penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang
sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam
organisasi.
Continuance commitment tidak berhubungan dengan tingkah laku
organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan
dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Continuance
commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism
ataupun compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam
organizational citizenship ataupun extra-role.
Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi
merespon ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen &
Meyer,

1997).

Continuance

commitment

tidak

berhubungan

dengan

kecenderungan seorang anggota organisasi untuk mengembangkan suatu situasi

yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer,
1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang,
maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak
berjalan dengan baik.

Indikator Normative commitment


Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan
dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer &
Allen (1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu
untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi
organisasi. Namun adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan
yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work
attendance, dan organizational citizenship. Normative commitment akan
berdampak kuat pada suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang
jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki
hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al.,
dalam Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam
Allen & Meyer, 1997).
Sedikit sekali penelitian yang mengukur normative commitment dan rolejob

performance.

Berdasarkan

hasil

penelitian

normative

commitment

berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen &
Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort
& Saks dalam Allen & Meyer, 1997).
Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku
organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan
antara normative commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika
dibandingkan affective commitment.

10

Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment,


normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress
anggota organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly &
Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara
komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan
actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen &
Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment,
terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable
diantara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar
organisasi menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan
dalam organisasi saja.

Manfaat Komitmen
Manfaat dengan adanya Komitmen dalam organisasi adalah sebagai berikut :

Para pekerja yang benar-benar menunjukkan komitmen tinggi terhadap


organisasi mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk
menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi dalam organisasi.

Memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada organisasi
yang sekarang dan dapat terus memberikan sumbangan bagi pencapaian
tujuan.

Sepenuhnya melibatkan diri pada pekerjaan mereka, karena pekerjaan


tersebut adalah mekanisme kunci dan saluran individu untuk memberikan
sumbangannya bagi pencapaian tujuan organisasi.

Cara Membentuk Komitmen


Tidak ada satu pimpinan organisasi manapun yang tidak menginginkan
seluruh jajaran anggotanya tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap
organisasi/perusahaan mereka. Bahkan sampai sejauh ini banyak pimpinan
organisasi sedang berusaha menggiatkan peningkatan komitmen anggotanya

11

terhadap organisasi. Menurut Martin dan Nicholls (dalam Armstrong, 1991)


menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar untuk membentuk komitmen seseorang
terhadap organisasi, yaitu:
1. Menciptakan rasa kepemilikan terhadap organisasi, untuk menciptakan
kondisi ini orang harus mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk
mempercayai bahwa ada guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, untuk
merasakan kenyamanan didalamnya, untuk mendukung nilai-nilai, visi, dan
misi organisasi dalam mencapai tujuannya. Salah satu faktor penting dalam
menciptakan rasa kepemilikan ini adalah meningkatkan perasaan seluruh
anggota organisasi bahwa perusahaan (organisasi) ini adalah benar-benar
merupakan milik mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam bentuk
kepemilikan saham saja (meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang
cukup membantu), namun lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh
anggota organisasi bahwa mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh
manajemen sebagai bagian dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan
untuk itu, mengajak mereka anggota organisasi untuk terlibat memutuskan
penciptaan dan pengembangan produk baru, terlibat memutuskan perubahan
rancangan kerja dan sebagainya. Bila mereka anggota organisasi merasa
terlibat dan semua idenya dipertimbangkan maka muncul perasaan kalau
mereka ikut berkontribusi terhadap pencapaian hasil. Apalagi ditambah
dengan kepercayaan kalau hasil yang diperoleh organisasi akan kembali pada
kesejahteraan mereka pula.
2. Menciptakan semangat dalam bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan
lebih mengkonsentrasikan pada pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik
dan menggunakan berbagai cara perancangan pekerjaan. Menciptakan
semangat kerja bawahan bisa dengan cara membuat kualitas kepemimpinan
yaitu menumbuhkan kemauan manajer dan supervisor untuk memperhatikan
sepenuhnya motivasi dan komitmen bawahan melalui pemberian delegasi
tanggung jawab dan pendayagunaan ketrampilan bawahan.
3. Keyakinan dalam manajemen, cara ini mampu dilakukan manakala
organisasi benar-benar telah menunjukkan dan mempertahankan kesuksesan.
Manajemen yang sukses menunjukkan kepada bawahan bahwa manajemen

12

tahu benar kemana organisasi ini akan dibawa, tahu dengan benar bagaimana
cara membawa organisasi mencapai keberhasilannya, bahkan sampai pada
kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam realitas. Pada konteks ini
karyawan akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan perusahaan dalam
mencapai tujuan hingga sukses, kesuksesan inilah yang membawa dampak
kebanggaan pada diri karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa keterlibatan
mereka dalam mencapai kesuksesan itu cukup besar dan sangat dihargai oleh
manajemen.

Macam Macam Bentuk Komitmen


Komitmen dibedakan menjadi dalam tiga tingkatan atau derajat, sebagai
berikut (Thomson dan Mabey, 1994) :
1. Komitmen pada tugas (Job Commitment), Merupakan komitmen yang
berhubungan dengan aktivitas kerja. Komitmen pada tugas dipengaruhi oleh
karakteristik pribadi seperti kesesuaian orang dengan pekerjaannya dan
karakteristik tugas seperti variasi keterampilan, identitas pekerjaan, tingkat
kepentingan pekerjaan, otonomi, dan umpan balik pekerjaan. Penelitian
Hackman dan Oldham (1980) menyimpulkan bahwa motivasi kerja terbentuk
oleh tiga kondisi, yaitu apabila pekerja merasakan pekerjaannya berarti,
pekerja merasa bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya, dan pekerja
memahami hasil pekerjaannya.
2. Komitmen pada karir (Career Commitment), komitmen pada karir lebih
luas dan kuat dibandingkan dengan komitmen pada pekerjaan tertentu.
Komitmen ini lebih berhubungan dengan bidang karir daripada sekumpulan
aktivitas dan merupakan tahap dimana persyaratan suatu pekerjaan tertentu
memenuhi aspirasi karir individu. Ada kemungkinan individu yang memiliki
komitmen yang tinggi pada karir akan meninggalkan organisasi untuk meraih
peluang yang lebih tinggi lagi.
3. Komitmen pada organisasi (Organizational Commitment), merupakan
jenjang komitmen yang paling tinggi tingkatannya. Porter dan Steers (1991)
mendefinisikan komitmen organisasi sebagai derajat keterikatan relatif dari
individu terhadap organisasinya. Definisi komitmen organisasi menurut
13

Luthans (1992) adalah sikap loyal anggota organisasi atau pekerja bawahan
dan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus mereka
menunjukkan kepedulian dan kelangsungan sukses organisasi. Sedangkan
definisi menurut Robbins (1996) adalah derajat sejauh mana seorang
karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuannya, serta berniat
memelihara keanggotaan dalam organisasi.
Menurut Buchanan (1974), komitmen organisasi terdiri dari tiga sikap,
yaitu : (1) perasaan identifikasi dengan misi organisasi, (2) rasa keterlibatan dalam
tugas-tugas organisasi, (3) rasa kesetiaan dan cinta pada organisasi sebagai tempat
hidup dan bekerja, terlepas dari manfaat dan misi organisasi bagi individu.

Strategi Komitmen
Selanjutnya menurut Armstrong (1991), ada 10 komponen sebagai sebuah
strategi bagi manajemen untuk meningkatkan komitmen anggota terhadap
organisasi dalam mencapai tujuannya, yaitu:
1.

Definisikan dan diseminasikan misi dan nilai-nilai organisasi;

2.

Sebarkan tujuan organisasi dengan cara meningkatkan pemahaman tiap


orang akan strategi organisasi dan ajak anggota organisasi untuk
berpartisipasi dalam menterjemahkan tujuan ke dalam strategi;

3.

Mengajak anggota organisasi untuk terlibat dalam mendefinisikan


persoalan dan ikut terlibat dalam pemecahan sampai mereka merasa
langkah itu adalah merupakan miliknya;

4.

Berikan pola kepemimpinan transformasional yaitu memberikan anggota


organisasi inspirasi ide yang mengarah pada masa depan;

5.

Gunakan setiap media komunikasi yang ada untuk menyampaikan pesan


secara tepat tentang misi, nilai, dan stratgei organisasi;

6.

Berikan contoh-contoh dan pelatihan yang merupakan perwujudan dari


gaya manajemen organisasi dalam meningkatkan keterlibatan dan
kerjasama anggota;

14

7.

Kembangkan proses dan iklim organisasi yang mampu meningkatkan


perkembangan ketrampilan orang dalam mencapai tujuan prestasi yang
lebih tinggi;

8.

Kenalkan kepada anggota organisasi keuntungan (profit) organisasi dan


rencana pencapaian profit untuk tahun-tahuan mendatang;

9.

Gunakan program pelatihan yang ada untuk meningkatkan impresi yang


bagus dari karyawan terutama karyawan baru terhadap organisasi;

10.

Gunakan workshop atau jenis pelatihan lainnya untuk mengajak semua


orang mendiskusikan isu-isu penting yang dihadapi organisasi dan berikan
kesempatan pada mereka untuk memberikan kontribusi ide. Bahkan kalau
perlu ambil tindakan mengenai ide ide bagus mereka.

Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen


Komitmen pegawai pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui
proses yang cukup panjang dan bertahap. Steers (dalam Sopiah, 2008)
menyatakan tiga faktor yang mempengaruhi komitmen antara lain :

Ciri pribadi pekerja termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan

variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan.

Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan

rekan sekerja; dan

Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan

cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya


tentang organisasi.

Aspek Aspek Komitmen


a)

Identifikasi
Identifikasi yang berwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap

organisasi. Guna menumbuhkan identifikasi dilakukan dengan memodifikasi


tujuan organisasi/organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para
anggota atau dengan kata lain organisasi memasukan pula kebutuhan dan
15

keinginan anggotan dalam tujuan organisasi atau organisasi. Hal ini akan
menumbuhkan suasana saling mendukung di antara para anggota dengan
organisasi. Lebih lanjut membuat anggota dengan rela menyumbangkan tenaga,
waktu, dan pikiran bagi tercapainya tujuan organisasi.
b)

Keterlibatan
Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja

penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan anggota menyebabkan


mereka bekerja sama, baik dengan pimpinan atau rekan kerja. Cara yang dapat
dipakai untuk memancing keterlibatan anggota adalah dengan memasukan mereka
dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan yang dapat menumbuhkan
keyakinan pada anggota bahwa apa yang telah diputuskan adalah keputusan
bersama. Juga anggota merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian dari
organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk
melaksanakan bersama apa yang telah mereka putuskan, karena adanya rasa
keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. Hasil yang dirasakan bahwa tingkat
kehadiran anggota yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya akan selalu
disiplin dalam bekerja.
c)

Loyalitas
Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna ksesediaan

seseorang untuk bisa melanggengkan hubungannya dengan organisasi kalau perlu


dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apa pun.
Keinginan anggota untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah
hal yang dapat menunjang komitmen anggota terhadap organisasi di mana mereka
bekerja. Hal ini di upayakan bila anggota merasakan adanya keamanan dan
kepuasan dalam tempat kerjanya.

Perilaku Karyawan Yang Terkait Dengan Perusahaan


Banyak para ahli mengemukakan arti dari komitmen terhadap organisasi.
Armstrong (1991) menyatakan bahwa pengertian komitmen mempunyai ada 3
(tiga) area perasaan atau perilaku terkait dengan perusahaan tempat seseorang
bekerja:

16

1.

Kepercayaan, pada area ini seseorang melakukan penerimaan bahwa

organisasi tempat bekerja atau tujuan-tujuan organisasi didalamnya merupakan


sebuah nilai yang diyakini kebenarannya.
2.

Keinginan untuk bekerja atau berusaha di dalam organisasi sebagai

kontrak hidupnya. Pada konteks ini orang akan memberikan waktu,


kesempatan dan kegiatan pribadinya untuk bekerja diorganisasi atau
dikorbankan ke organisasi tanpa mengharapkan imbalan personal.
3.

Keinginan untuk bertahan dan menjadi bagian dari organisasi.

Hasil Komitmen Organisasi


Ringkasan penelitian dari dulu sampai sekarang menunjukkan hubungan
yang positif antara komitmen organisasi dan hasil yang diinginkan seperti kinerja
tinggi, tingkat pergantian karyawan yang rendah, dan tingkat ketidakhadiran yang
rendah.

Pedoman untuk Meningkatkan Komitmen Organisasi


1.

Berkomitmen pada nilai utama manusia

2.

Memperjelas dan mengkomunikasikan misi Anda

3.

Menjamin keadilan organisasi

4.

Menciptakan rasa komunitas

5.

Mendukung perkembangan karyawan

17

Studi Kasus Komitmen Organisasi


PENGARUH

KEPUASAN

KERJA

TERHADAP

KOMITMEN

ORGANISASI (STUDI KASUS PT DUTA PRIMA MEDAN)


Dalam penelitian ini faktor-faktor kepuasan kerja yang dikaji adalah
gaji, supervisi, kondisi kerja dan rekan kerja, dan komitmen organisasi yang
terdiri dari afektif komitmen, kontiniu komitmen dan normatif komitmen.
Faktor-faktor tersebut merupakan tolok ukur rasa puas karyawan dalam
melakukan tugasnya. Masalah yang dibahas adalah bagaimana pengaruh
faktor kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi di PT Duta Prima.
Secara parsial supervisi dan kondisi kerja berpengaruh signifikan terhadap
afektif komitmen. Sedangkan gaji dan rekan kerja tidak berpengaruh
signifikan terhadap afektif komitmen. Secara simultan gaji, supervisi,
kondisi kerja dan rekan kerja berpengaruh signifikan terhadap afektif
komitmen. Secara parsial gaji dan kondisi kerja berpengaruh signifikan
terhadap kontiniu komitmen. Sedangkan supervisi dan rekan kerja tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kontiniu komitmen. Secara simultan
variabel gaji, supervisi, kondisi kerja, rekan kerja berpengaruh signifikan
terhadap kontiniu komitmen. Secara parsial hanya kondisi kerja yang
berpengaruh signifikan terhadap normatif komitmen. Sedangkan gaji,
supervisi dan rekan kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap normatif
komitmen. Secara simultan variabel gaji, kondisi kerja dan rekan kerja
berpengaruh

signifikan

terhadap

normatif

komitmen.

Berdasarkan

kanonikal korelasi yang dilakukan diperoleh hasil dari keempat variabel


gaji, supervisi, kondisi kerja dan rekan kerja, hanya variabel gaji yang
memiliki kaitan erat. Hubungan tersebut menunjukkan hubungan searah,
dimana semakin tinggi gaji yang diterima karyawan, maka afektif
komitmen, kontiniu komitmen dan normatif komitmen karyawan semakin
tinggi.

18

DAFTAR PUSTAKA
Allen, N. J. & Meyer, J. P., 1993, Organizational commitment: Evidence of career
stage effects? Journal of Business Research, 26, 49-61
Curtis, Susan, and Dennis Wright, 2001, Retaining Employees - The Fast Track to
Commitment, Management Research News, Volume 24
Cut Zurnali, 2010, "Learning Organization, Competency, Organizational
Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset
Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad Press,
Bandung
Durkin, Mark, 1999, Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and
Exploring Hidden Dangers, International Journal of Bank Marketing, Vol 17. 3:
124-134.
Hom, P. & Griffeth, R., 1995. Employee turnover, Cincinnati, OH: Southwestern
S.G.A. Smeenk, R.N. Eisinga, J.C. Teelken and J.A.C.M. Doorewaard, 2006, The
effects of HRM practices and antecedents on organizational commitment among
university employees, International Journal. of Human Resource Management 17
Mathieu, J. E., & Zajac, D.M. (1990) A review and meta analysis of the
antecedents,

correlates,

consequences

of

organizational

commitment.

Psychological bulletin. 108, 171-194.


Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace theory research
and application. California: Sage Publications.
Mowday, R. T., Porter, L. W., & Steeras, R. (1982). Organizational linkages : the
psychology of commitment, absenteeism, and turnover. San Diego, California :
Academic Press.
Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey : Prentice
Hall.
Sopiah (2008)

19

http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/komitmen-organisasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Komitmen_organisasi

kepada

karyawan

tanpa

jaminan.

20

Anda mungkin juga menyukai