Oleh.
Gustaf Hermawan 130413604603
Indri Puspita 130413614961
Ika Yana
KOMITMEN ORGANISASI
Definisi Komitmen Organisasi
Ada dua pendekatan dalam merumuskan definisi komitmen dalam
berorganisasi. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengilustrasikan bahwa
komitmen dapat muncul dalam berbagai bentuk, maksudnya arti dari komitmen
menjelaskan perbedaan hubungan antara anggota organisasi dan entitas lainnya
(salah satunya organisasi itu sendiri). Yang kedua melibatkan usaha untuk
memisahkan diantara berbagai entitas di mana individu berkembang menjadi
memiliki komitmen. Kedua pendekatan ini tidak compatible namun dapat
menjelaskan definisi dari komitmen, bagaimana proses perkembangannya dan
bagaimana implikasinya terhadap individu dan organisasi (Meyer & Allen, 1997).
Sebelum munculnya kedua pendekatan tersebut, ada suatu pendekatan lain
yang lebih dahulu muncul dan lebih lama digunakan, yaitu pembedaan
berdasarkan attitudinal commitment atau pendekatan berdasarkan sikap dan
behavioral commitment atau pendekatan berdasarkan tingkah laku (Mowday,
Porter, & Steers, 1982; Reichers; Salancik; Scholl; Staw dalam Meyer & Allen,
1997). Pembedaan yang lebih tradisional ini memiliki implikasi tidak hanya
kepada definisi dan pengukuran komitmen, tapi juga pendekatan yang digunakan
dalam berbagai penelitian perkembangan dan konsekuensi komitmen. Mowday et
al. (Meyer & Allen, 1997) menjelaskan kedua pendekatan itu sebagai berikut.
Attitudinal commitment berfokus pada proses bagaimana seseorang mulai
memikirkan mengenai hubungannya dalam organisasi atau menentukan sikapnya
terhadap organisasi. Dengan kata lain hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pola
pikir di mana individu memikirkan sejauh mana nilai dan tujuannya sendiri sesuai
dengan organisasi di mana ia berada. Sedangkan behavioral commitment
berhubungan dengan proses di mana individu merasa terikat kepada organisasi
tertentu dan bagaimana cara mereka mengatasi setiap masalah yang dihadapi.
Penelitian mengenai attitudinal commitment melibatkan pengukuran
terhadap komitmen (sebagai sikap atau pola pikir), bersamaan dengan variable
lain yang dianggap sebagai penyebab, atau konsekuensi dari komitmen (Buchanan
& Steers dalam Meyer & Allen, 1997). Tujuan dari penelitian ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa komitmen yang kuat menyebabkan terjadinya tingkah laku
anggota organisasi sesuai dengan yang diharapkan (dari perspektif organisasi),
seperti anggota organisasi jarang untuk tidak hadir dan perpindahan ke organisasi
lain lebih rendah, dan produktivitas yang lebih tinggi. Tujuan yang kedua
menunjukkan karakteristik individu dan situasi kondisi seperti apa yang
mempengaruhi perkembangan komitmen berorganisasi yang tinggi.
Dalam behavioral commitment anggota dipandang dapat menjadi
berkomitmen kepada tingkah laku tertentu, daripada pada suatu entitas saja. Sikap
atau tingkah laku yang berkembang adalah konsekuensi komitmen terhadap suatu
tingkah laku. Contohnya anggota organisasi yang berkomitmen terhadap
organisasinya, mungkin saja mengembangkan pola pandang yang lebih positif
terhadap organisasinya, konsisten dengan tingkah lakunya untuk menghindari
disonansi kognitif atau untuk mengembangkan self-perception yang positif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi yang seperti apa yang
membuat individu memiliki komitmen terhadap organisasinya (Kiesler &
Salancik dalam Meyer & Allen, 1997).
Komitmen dianggap sebagai psychological state, namun hal ini dapat
berkembang secara retrospektif (sebagai justifikasi terhadap tingkah laku yang
sedang berlangsung) sebagaimana diajukan pendekatan behavioral, sama seperti
juga secara prospektif (berdasarkan persepsi dari kondisi saat ini atau di masa
depan di dalam organisasi) sebagaimana dinyatakan dalam pendekatan attitudinal
(Meyer & Allen, 1997).
Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen
dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam
berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen
terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi
dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi.
Affective commitment
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota
terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota
dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment
yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang
memiliki keinginan untuk itu (Allen & Meyer, 1997).
Continuance commitment
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi
akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi
dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam
Normative commitment
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus
berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang
tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus
berada dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).
Pembentukan Komitmen
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa
faktor,
baik
dari
perkembangannya
organisasi,
affective
maupun
commitment,
dari
individu
continuance
sendiri.
Dalam
commitment,
dan
tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam
beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis
tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Aven Parker, &
McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997).
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki
anggota organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke dalam
variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang
baik (Buchanan dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu kebutuhan untuk
berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup
ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih
kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman
masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan
motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam
organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor
atau pemimpinnya (Allen & Meyer, 1997).
komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997)
menyatakan individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung
kebijakan perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment
memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan
hasil pekerjaan individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner;
Leong, Randall, & Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam
Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen &
Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah
laku (e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen &
Meyer, 1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki
tingkah laku organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah.
Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et
al. (1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect.
Dalam penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan
memiliki hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal
demi kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka
(loyalty) dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif
ataupun mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk
melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian
yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu
melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi
berkorelasi negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi
(Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen &
Meyer, 1997).
1997).
Continuance
commitment
tidak
berhubungan
dengan
yang tidak berhasil ataupun menerima suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer,
1997). Hal menarik lainnya, semakin besar continuance commitment seseorang,
maka ia akan semakin bersikap pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak
berjalan dengan baik.
performance.
Berdasarkan
hasil
penelitian
normative
commitment
berhubungan positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen &
Meyer, 1997) dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort
& Saks dalam Allen & Meyer, 1997).
Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku
organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan
antara normative commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika
dibandingkan affective commitment.
10
Manfaat Komitmen
Manfaat dengan adanya Komitmen dalam organisasi adalah sebagai berikut :
Memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada organisasi
yang sekarang dan dapat terus memberikan sumbangan bagi pencapaian
tujuan.
11
12
tahu benar kemana organisasi ini akan dibawa, tahu dengan benar bagaimana
cara membawa organisasi mencapai keberhasilannya, bahkan sampai pada
kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam realitas. Pada konteks ini
karyawan akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan perusahaan dalam
mencapai tujuan hingga sukses, kesuksesan inilah yang membawa dampak
kebanggaan pada diri karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa keterlibatan
mereka dalam mencapai kesuksesan itu cukup besar dan sangat dihargai oleh
manajemen.
Luthans (1992) adalah sikap loyal anggota organisasi atau pekerja bawahan
dan merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus mereka
menunjukkan kepedulian dan kelangsungan sukses organisasi. Sedangkan
definisi menurut Robbins (1996) adalah derajat sejauh mana seorang
karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuannya, serta berniat
memelihara keanggotaan dalam organisasi.
Menurut Buchanan (1974), komitmen organisasi terdiri dari tiga sikap,
yaitu : (1) perasaan identifikasi dengan misi organisasi, (2) rasa keterlibatan dalam
tugas-tugas organisasi, (3) rasa kesetiaan dan cinta pada organisasi sebagai tempat
hidup dan bekerja, terlepas dari manfaat dan misi organisasi bagi individu.
Strategi Komitmen
Selanjutnya menurut Armstrong (1991), ada 10 komponen sebagai sebuah
strategi bagi manajemen untuk meningkatkan komitmen anggota terhadap
organisasi dalam mencapai tujuannya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
14
7.
8.
9.
10.
Identifikasi
Identifikasi yang berwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap
keinginan anggotan dalam tujuan organisasi atau organisasi. Hal ini akan
menumbuhkan suasana saling mendukung di antara para anggota dengan
organisasi. Lebih lanjut membuat anggota dengan rela menyumbangkan tenaga,
waktu, dan pikiran bagi tercapainya tujuan organisasi.
b)
Keterlibatan
Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja
Loyalitas
Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna ksesediaan
16
1.
2.
3.
4.
5.
17
KEPUASAN
KERJA
TERHADAP
KOMITMEN
signifikan
terhadap
normatif
komitmen.
Berdasarkan
18
DAFTAR PUSTAKA
Allen, N. J. & Meyer, J. P., 1993, Organizational commitment: Evidence of career
stage effects? Journal of Business Research, 26, 49-61
Curtis, Susan, and Dennis Wright, 2001, Retaining Employees - The Fast Track to
Commitment, Management Research News, Volume 24
Cut Zurnali, 2010, "Learning Organization, Competency, Organizational
Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset
Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad Press,
Bandung
Durkin, Mark, 1999, Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and
Exploring Hidden Dangers, International Journal of Bank Marketing, Vol 17. 3:
124-134.
Hom, P. & Griffeth, R., 1995. Employee turnover, Cincinnati, OH: Southwestern
S.G.A. Smeenk, R.N. Eisinga, J.C. Teelken and J.A.C.M. Doorewaard, 2006, The
effects of HRM practices and antecedents on organizational commitment among
university employees, International Journal. of Human Resource Management 17
Mathieu, J. E., & Zajac, D.M. (1990) A review and meta analysis of the
antecedents,
correlates,
consequences
of
organizational
commitment.
19
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/komitmen-organisasi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Komitmen_organisasi
kepada
karyawan
tanpa
jaminan.
20