Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati, bertekad
berjerih payah, berkorban dan bertanggung jawab demi mencapai tujuan dirinya dan tujuan
organisasi atau perusahaan yang telah disepakati atau ditentukan sebelumnya.
Komitmen memiliki peranan penting terutama pada kinerja seseorang ketika bekerja,
hal ini disebabkan oleh adanya komitmen yang menjadi acuan serta dorongan yang membuat
mereka lebih bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
Namun kenyataannya banyak organisasi atau perusahaan yang kurang memperhatikan
mengenai komitmen/ loyalitas karyawannya/ Anggotanya sehingga kinerja mereka kurang
maksimal.
Seharusnya organisasi atau perusahaan ketika melakukan perekrutan hendaknya
mereka memilih calon–calon yang komitmennya tinggi pada perusahaan, ini dimaksudkan
untuk mendeteksi sejak dini pekerja yang kurang maksimal sehingga tidak terjadi hal yang
dapat merugikan organisasi atau perusahaan.
Melihat begitu pentingnya komitmen, maka kami akan membahas lebih jauh
mengenai komitmen dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Komitmen?
2. Apa saja aspek-aspek dalam Komitmen?
3. Apa saja Dimensi Komitmen dalam Organisasi?
4. Apa manfaat Komitmen dalam Organisasi?
5. Bagaimana pembentukan Komitmen dalam Organisasi?
6. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen?
7. Bagaimana cara membentuk Komitmen dalam Organisasi?
8. Bagaiamana strategi Komitmen dalam Organisasi?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Komitmen.
2. Untuk mengetahui aspek-aspek Komitmen.
3. Untuk mengetahui dimensi Komitmen dalam Organisasi.
4. Untuk mengetahui manfaat Komitmen dalam Organisasi.
5. Untuk mengetahui cara pembentukan Komitmen dalam Organisasi.
6. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen.
7. Untuk mengetahui cara membentuk Komitmen dalam Organisasi.
8. Untuk mengetahui strategi Komitmen dalam Organisasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komitmen Organisasi


Robbins dan Judge, (2008:100-101) memberikan definisi bahwa ”Komitmen
organisasi adalah suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta
tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi
tersebut.” terwujudnya situasi yang kondusif manakala karyawan dan organisasi memiliki
sinergi yang sama dalam orientasi pencapaian tujuan, berusaha keras mencapai target yang
ditentukan adalah suatu kemestian ketika seorang karyawan memihak pada organisasi.
Komitmen organisasi amat dibutuhkan dalam hal ini.

2.2 Aspek – Aspek Komitmen


a) Identifikasi
Identifikasi yang berwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi.
Guna menumbuhkan identifikasi dilakukan dengan memodifikasi tujuan
organisasi/organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para anggota atau
dengan kata lain organisasi memasukan pula kebutuhan dan keinginan anggotan
dalam tujuan organisasi atau organisasi. Hal ini akan menumbuhkan suasana saling
mendukung di antara para anggota dengan organisasi. Lebih lanjut membuat anggota
dengan rela menyumbangkan tenaga, waktu, dan pikiran bagi tercapainya tujuan
organisasi.
b) Keterlibatan
Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk
diperhatikan karena adanya keterlibatan anggota menyebabkan mereka bekerja sama,
baik dengan pimpinan atau rekan kerja. Cara yang dapat dipakai untuk memancing
keterlibatan anggota adalah dengan memasukan mereka dalam berbagai kesempatan
pembuatan keputusan yang dapat menumbuhkan keyakinan pada anggota bahwa apa
yang telah diputuskan adalah keputusan bersama. Juga anggota merasakan bahwa
mereka diterima sebagai bagian dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka
merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang telah mereka putuskan, karena
adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan. Hasil yang dirasakan
bahwa tingkat kehadiran anggota yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya
akan selalu disiplin dalam bekerja.

3
c) Loyalitas
Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna ksesediaan seseorang untuk
bisa melanggengkan hubungannya dengan organisasi kalau perlu dengan
mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apa pun. Keinginan
anggota untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang dapat
menunjang komitmen anggota terhadap organisasi di mana mereka bekerja. Hal ini di
upayakan bila anggota merasakan adanya keamanan dan kepuasan dalam tempat
kerjanya.

2.3 Dimensi Komitmen Dalam Berorganisasi


Meyer dan Allen (1991) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi,
yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih tepat dinyatakan sebagai
komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi, dari pada jenis-jenis komitmen
berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota organisasi dengan organisasi
mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi tersebut.
1. Affective commitment
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap
organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan
kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi
akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan
untuk itu (Allen & Meyer, 1997).
2. Continuance commitment
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan
mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan
continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi
karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut (Allen
& Meyer, 1997).
3. Normative commitment
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada
dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi
akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada
dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).

4
2.4 Manfaat Komitmen dalam Organisasi
Manfaat dengan adanya Komitmen dalam organisasi adalah sebagai berikut :
 Para pekerja yang benar-benar menunjukkan komitmen tinggi terhadap organisasi
mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk menunjukkan tingkat
partisipasi yang tinggi dalam organisasi
 Memiliki keinginan yang lebih kuat untuk tetap bekerja pada organisasi yang
sekarang dan dapat terus memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuan
 Sepenuhnya melibatkan diri pada pekerjaan mereka, karena pekerjaan tersebut adalah
mekanisme kunci dan saluran individu untuk memberikan sumbangannya bagi
pencapaian tujuan organisasi
 Keyakinan tentang pentingnya komitmen dalam kaitannya dengan efektivitas
organisasi tampak sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang dilakukan para ahli.
Ivancevich dan Matteson (2002:206) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Chow dan Holden (1997:275-298) menyimpulkan bahwa : “Research evidence
indicates that the absence of commitment can reduce organizational effectiveness”.
Penelitian yang dilakukan oleh Hom, Katerberg dan Dunham (1987:163-178)
memberikan temuan yang sama bahwa, komitmen terhadap organisasi memiliki
hubungan yang negatif, baik dengan kemangkiran kerja maupun dengan tingkat
keluarnya karyawan. Penelitian Mathieu dan Zajac (1990:171-199) maupun penelitian
De Cottis dan Summers (1987:445-470), sama-sama menemukan bahwa komitmen
individu terhadap organisasi memiliki hubungan yang positif dengan tingkat
performansi kerja. Hasil penelitian Mayer dan Schoorman (1992:671-684) terhadap
330 karyawan perusahaan keuangan di Amerika Serikat menemukan terdapat korelasi
positif yang signifikan antara komitmen individu terhadap organisasi dengan tingkat
kinerja maupun dengan tingkat kepuasan kerja. Penelitian Chow (1994) sebagaimana
dikutip Johnson (1995:70) terhadap perusahaan di Jepang menyimpulkan bahwa,
tingginya produktivitas perusahaan di Jepang didukung secara signifikan oleh
tingginya komitmen sumber daya manusianya.
Dari paparan di atas memberikan indikasi bagaimana pentingnya variabel
komitmen organisasi dalam kaitannya dengan fenomena tingkat kinerja. Sehubungan
dengan hal tersebut, Steers (1985:144) berdasarkan pada hasil studi meta analisis
terhadap berbagai hasil penelitian yang pernah dilakukan para ahli sebelumnya,

5
berhasil mengemukakan sebuah model tentang komitmen dalam kaitannya dengan
efektivitas organisasi.

2.5 Pembentukan Komitmen dalam Organisasi


Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor, baik
dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Dalam perkembangannya affective
commitment, continuance commitment, dan normative commitment, masing-masing
memiliki pola perkembangan tersendiri (Allen & Meyer, 1997).
1. Proses terbentuknya Affective commitment
Ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari affective commitment.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori
tersebut yaitu :
 Karakterisitik Organisasi
Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perkembangan affective
commitment adalah sistem desentralisasi (bateman & Strasser, 1984; Morris &
Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara menyampaikan
kebijakan organisasi kepada individu (Allen & Meyer, 1997). Dalam
penelitian ini karakteristik organisasi kepemudaan yang dilihat adalah aliran
organisasi yang digunakan, bagaimana praktek kelompok sel dalam organisasi
tersebut dan bagaimana kedudukan kelompok sel sebagai strategi organisasi.
 Karakteristik Individu
Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender mempengaruhi
affective commitment, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian
(Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu &Zajac dalam Allen & Meyer, 1997).
Selain itu usia juga mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment,
meskipun tergantung dari beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer,
1993), organizational tenure (Cohen; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer,
1997), status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi,
etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya (Allen & Meyer,
1997)
 Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses terbentuknya affective
commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa karakteristik yang

6
menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980
dalam Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan,
tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang digunakan individu.
Selain itu peran individu dalam organisasi tersebut (Mathieu & Zajac, 1990
dalam Allen & Meyer, 1997) dan hubungannya dengan atasan. Pengalaman
berorganisasi individu didapatkan dari pelayanan yang dilakukannya dalam
organisasi tersebut dan juga interaksinya dengan anggota organisasi lain
seperti pemimpinnya.
2. Proses terbentuknya Continuance commitment
Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan
atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi.
Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variable, yaitu
investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi
individu (Allen & Meyer, 1997).
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun
uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan
alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan
adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan
bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997).
Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi organisasi
berbeda dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait
dengan kegiatan-kegiatan khas organisasi dibandingkan keuntungan materi atau
kedudukan yang bisa didapat dari organisasi profit biasa.
3. Proses terbentuknya Normative commitment
Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative commitment terhadap
organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama
proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru
masuk ke dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang
karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak
dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor
lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya
(Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah
kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik
memberi.

7
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen
Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi karakteristik
pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi (Allen &
Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi,
desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut
disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel
demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status
pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam
beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan
komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa
hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Aven Parker, & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen
& Meyer, 1997).
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota
organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional
ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang baik (Buchanan dalam Allen &
Meyer, 1997). Selain itu kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi individu mengenai
kompetensinya sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini
memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya
perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer,
1997).
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi
anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi tersebut, dan
hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya (Allen & Meyer,
1997).
1. Indikator Affective commitment
Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan
emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan
memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap
organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan
yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam
organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil
pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan bekerja lebih

8
keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang
komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997) menyatakan
individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung kebijakan
perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment memiliki
hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan
individu (e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, &
Cote; Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen &
Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah laku
(e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer,
1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki tingkah laku
organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah.
Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al.
(1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect. Dalam
penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan memiliki
hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal demi
kemajuan (voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty)
dan berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun
mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk
melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian
yang berwenang dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu
melaporkan kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi berkorelasi
negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka;
Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).
2. Indikator Continuance commitment
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam
organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam
individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi.
Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk
memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu
tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu
tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang

9
buruk. Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa continuance commitment tidak
berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi
atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job
retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan.
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan
dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance
commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson;
Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa
penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan
seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.
Continuance commitment tidak berhubungan dengan tingkah laku
organizational citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan
dalam penelitian lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Continuance
commitment juga dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism ataupun
compliance, di mana kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam organizational
citizenship ataupun extra-role.
Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon
ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Continuance commitment tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota
organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima
suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar
continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau
membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.
3. Indikator Normative commitment
Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan
dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen
(1991) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk
bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi.
Namun adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif
dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan
organizational citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada
suasana pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang
jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki

10
hubungan dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam
Allen & Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam Allen &
Meyer, 1997).
Sedikit sekali penelitian yang mengukur normative commitment dan role-job
performance. Berdasarkan hasil penelitian normative commitment berhubungan
positif dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997)
dan pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam
Allen & Meyer, 1997).
Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku
organizational citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan
antara normative commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika
dibandingkan affective commitment.
Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment,
normative commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota
organisasi (Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam
Allen & Meyer, 1997).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara
komitmen terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan
actual turnover (Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen &
Meyer, 1997). Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment,
terdapat pula hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable
diantara ketiga dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi
menginginkan anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi
saja.

2.7 Cara Membentuk Komitmen Organisasi


Tidak ada satu pimpinan organisasi manapun yang tidak menginginkan seluruh
jajaran anggotanya tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi/perusahaan
mereka. Bahkan sampai sejauh ini banyak pimpinan organisasi sedang berusaha menggiatkan
peningkatan komitmen anggotanya terhadap organisasi. Menurut Martin dan Nicholls (dalam
Armstrong, 1991) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar untuk membentuk komitmen
seseorang terhadap organisasi, yaitu:

11
1) Menciptakan rasa kepemilikan terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini
orang harus mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa
ada guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan
didalamnya, untuk mendukung nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam mencapai
tujuannya. Salah satu faktor penting dalam menciptakan rasa kepemilikan ini adalah
meningkatkan perasaan seluruh anggota organisasi bahwa perusahaan (organisasi) ini
adalah benar-benar merupakan “milik” mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam
bentuk kepemilikan saham saja (meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang
cukup membantu), namun lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh anggota
organisasi bahwa mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh manajemen sebagai
bagian dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu, mengajak mereka
anggota organisasi untuk terlibat memutuskan penciptaan dan pengembangan produk
baru, terlibat memutuskan perubahan rancangan kerja dan sebagainya. Bila mereka
anggota organisasi merasa terlibat dan semua idenya dipertimbangkan maka muncul
perasaan kalau mereka ikut berkontribusi terhadap pencapaian hasil. Apalagi
ditambah dengan kepercayaan kalau hasil yang diperoleh organisasi akan kembali
pada kesejahteraan mereka pula.
2) Menciptakan semangat dalam bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih
mengkonsentrasikan pada pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik dan
menggunakan berbagai cara perancangan pekerjaan. Menciptakan semangat kerja
bawahan bisa dengan cara membuat kualitas kepemimpinan yaitu menumbuhkan
kemauan manajer dan supervisor untuk memperhatikan sepenuhnya motivasi dan
komitmen bawahan melalui pemberian delegasi tanggung jawab dan pendayagunaan
ketrampilan bawahan.
3) Keyakinan dalam manajemen, cara ini mampu dilakukan manakala organisasi benar-
benar telah menunjukkan dan mempertahankan kesuksesan. Manajemen yang sukses
menunjukkan kepada bawahan bahwa manajemen tahu benar kemana organisasi ini
akan dibawa, tahu dengan benar bagaimana cara membawa organisasi mencapai
keberhasilannya, bahkan sampai pada kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam
realitas. Pada konteks ini karyawan akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan
perusahaan dalam mencapai tujuan hingga sukses, kesuksesan inilah yang membawa
dampak kebanggaan pada diri karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa keterlibatan
mereka dalam mencapai kesuksesan itu cukup besar dan sangat dihargai oleh
manajemen.

12
2.8 Strategi Komitmen
Selanjutnya menurut Armstrong (1991), ada 10 komponen sebagai sebuah strategi
bagi manajemen untuk meningkatkan komitmen anggota terhadap organisasi dalam mencapai
tujuannya, yaitu:
1. Definisikan dan diseminasikan misi dan nilai-nilai organisasi;
2. Sebarkan tujuan organisasi dengan cara meningkatkan pemahaman tiap orang akan
strategi organisasi dan ajak anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam
menterjemahkan tujuan ke dalam strategi;
3. Mengajak anggota organisasi untuk terlibat dalam mendefinisikan persoalan dan ikut
terlibat dalam pemecahan sampai mereka merasa langkah itu adalah merupakan
“milik”nya;
4. Berikan pola kepemimpinan transformasional yaitu memberikan anggota organisasi
inspirasi ide yang mengarah pada masa depan;
5. Gunakan setiap media komunikasi yang ada untuk menyampaikan pesan secara tepat
tentang misi, nilai, dan stratgei organisasi;
6. Berikan contoh-contoh dan pelatihan yang merupakan perwujudan dari gaya
manajemen organisasi dalam meningkatkan keterlibatan dan kerjasama anggota;
7. Kembangkan proses dan iklim organisasi yang mampu meningkatkan perkembangan
ketrampilan orang dalam mencapai tujuan prestasi yang lebih tinggi;
8. Kenalkan kepada anggota organisasi keuntungan (profit) organisasi dan rencana
pencapaian profit untuk tahun-tahuan mendatang;
9. Gunakan program pelatihan yang ada untuk meningkatkan impresi yang bagus dari
karyawan terutama karyawan baru terhadap organisasi;
10. Gunakan workshop atau jenis pelatihan lainnya untuk mengajak semua orang
mendiskusikan isu-isu penting yang dihadapi organisasi dan berikan kesempatan pada
mereka untuk memberikan kontribusi ide. Bahkan kalau perlu ambil tindakan
mengenai ide – ide bagus mereka.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kompleksitas komitmen organisasi ditentukan oleh sejumlah variabel dai personal
dan organisasi seperti umur, disposisi yaitu perasaan positif dan negatif keluar masuk
organisasi,tanggung jawab, hubungan dengan atasan, rasa diperlakukan adil,dan kesemptan
kerja lain. Untuk memahami sifat kompleksitas dari komitmen organisasi dipecah dalam
komponen-komponen dasar,antara lain komponen yang menjadi perahatian koimtmen
menurut Greenberg(1997);karyawan dapat menjadi komit pada berbagai entiti dalam
organisasi. contohnya karyawan mempunyai berbagi derajat komitmen pada teman-teman
sekerja, bawahan dan atasan.
Dan dalam membentuk komitmen dibutuhkan beberapa faktor seperti perasaan
memiliki perusahaan, persaan bergairah akan organisasi dan memiliki persaan akan memiliki.

3.2 Saran
Pemakalah menyarankan jika seseorang ingin berhasil dalam suatu organisasi hal
yang sangat perlu dimiliki yang paling utama adalah komitmen organisasi.

14

Anda mungkin juga menyukai