Anda di halaman 1dari 31

PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU

EDIBLE FILM
Sub-Tema Daya Saing, Keunggulan dan Penguasaan IPTEKS
Ditujukan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti lomba karya tulis ilmiah Beswan
Djarum 2008-2009

MAULANA KARNAWIDJAJA WAHYU


(Mahasiswa Tingkat 4 Semester 7)
Jl. SariWates I Gg. Sariwates Indah B No. 6 Bandung (40291)

BESWAN DJARUM
RSO BANDUNG
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
2008-2009

PEMANFAATAN PATI SINGKONG SEBAGAI BAHAN BAKU


EDIBLE FILM

ABSTRAK
Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami
penurunan kualitas. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena
tersebut adalah dengan pengemasan yang tepat. Bahan pengemas dari plastik banyak
digunakan dengan pertimbangan ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik
dalam pengawetan. Penggunaan material sintetis tersebut berdampak pada
pencemaran lingkungan, sehingga dibutuhkan penelitian mengenai bahan pengemas
yang dapat diuraikan. Alternatif penggunaan kemasan yang dapat diuraikan adalah
dengan menggunakan edible film. Edible Film didefinisikan sebagai lapisan yang
dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, dapat
memberikan alternatif bahan pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran
lingkungan karena menggunakan bahan yang dapat diperbaharui dan harganya
murah. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
edible film menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan
memberikan karakteristik fisik yang baik. Pembuatan edible film sering menggunakan
metode casting dan pada pembuatannya menggunakan prinsip gelatinisasi.
Penambahan hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik.
Penelitian yang mengenai pembuatan edible film memberikan kesimpulan tidak ada
metode standar dalam pembuatannya sehingga dapat menghasilkan film dengan
fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Edible film
berbasis pati singkong dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga
dapat mempertahan kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan
dodol durian hingga 25-44 hari.
Kata Kunci: Pati singkong, Edible Film, Metode Casting, Hidrokoloid, Plasticizer

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pemanfaatan Pati Singkong
Sebagai Bahan Baku Edible Film yang disusun sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti lomba karya tulis Beswan Djarum 2009 dengan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak
makalah ini tidak akan dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. PT. Djarum yang telah memberikan beasiswa melalui Djarum Bakti
Pendidikan.
2. Ke dua orang tua yang telah memberikan dukungan baik moril maupun
materil.
3. Ibu Popi dan Bapak Tedi yang selalu memberikan semangat kepada penulis
4. Teman-teman Beswan Djarum angkatan 2008-2009 yang telah memberikan
informasi dan saran dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas segala perhatiannya.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Bandung, Juli 2009


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK.................................................................................................

ii

KATA PENGANTAR..............................................................................

iii

DAFTAR ISI.............................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................

vi

DAFTAR TABEL.....................................................................................

vii
1

I.

PENDAHULUAN.........................................................................

II.

SINGKONG

2.1

Botani Singkong.............................................................................

2.2

Komposisi Kimia............................................................................

2.3

Pati Singkong..................................................................................

III.

EDIBLE COATING

3.1

Definisi Edible Film dan Fungsi.....................................................

3.2

Bahan Baku Edible Film.................................................................

10

3.2.1 Hidrokoloid.....................................................................................

11

3.2.2 Lipida..............................................................................................

12

3.2.3 Komposit........................................................................................

13

IV.

EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG

4.1

Metode Pembuatan.........................................................................

14

4.2

Karakteristik Film...........................................................................

16

4.3

Aplikasi...........................................................................................

19

KESIMPULAN.............................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................

21

RIWAYAT HIDUP..................................................................................

24

V.

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul

Halaman

Pohon Singkong.........................................................................

Ubi Singkong..............................................................................

Diagram Alir Ekstraksi Pati dari Umbi Akar.............................

Granula Pati Singkong................................................................

Diagram Alir Pembuatan Larutan Edible Film Berbasis Pati


Singkong.....................................................................................

15

Permukaan flm dari 3% pati singkong tanpa modifikasi


dengan pembesaran SEM 372x, Permukaan film dari 3%
CMA dengan pembesaran SEM 463x, dan Permukaan film
dari 3% amilum 320 dengan pembesaran SEM
405x............................................................................................

17

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul

Halaman

Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan.........................

Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram


Singkong....................................................................................

Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating...............

11

I.

PENDAHULUAN

Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami


penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi.
Penurunan kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, air, cahaya, dan
temperatur. Salah satu cara untuk mencegah atau memperlambat fenomena tersebut
adalah dengan pengemasan yang tepat (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006).
Pengemasan makanan yaitu suatu proses pembungkusan makanan dengan
bahan pengemas yang sesuai. Pengemasan dapat dibuat dari satu atau lebih bahan
yang memiliki kegunaan dan karakteristik yang sesuai untuk mempertahankan dan
melindungi makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan
keamanannya dapat dipertahankan (Komolprasert, 2006 dalam Hui, 2006). Menurut
Robertson (1993), bahan pengemas yang dapat digunakan antara lain plastik, kertas,
logam, dan kaca.
Bahan pengemas dari plastik banyak digunakan dengan pertimbangan
ekonomis dan memberikan perlindungan yang baik dalam pengawetan. Sekitar 60%
dari poliethilen dan 27% dari polyester diproduksi untuk membuat bahan pengemas
yang digunakan dalam produk makanan. Akan tetapi penggunaan material sintetis
tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan (Alvin dan Gil, 1994 dikutip
Henrique, Teofilo, Sabino, Ferreira, Cereda, 2007). Oleh karena itu pada saat ini
dibutuhkan

penelitian

mengenai

bahan

(biodegradable) (Henrique et. al., 2007).

pengemas

yang

dapat

diuraikan

Pengembangan edible film pada makanan selain dapat memberikan kualitas


produk yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan bahan
pengemas yang ramah lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan
pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan
bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah (Tharamathan, 2003 dikutip
Bourtoom, 2007). Pengaplikasian edible film pada produk makanan bukan merupakan
konsep yang baru dan telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edible film
dapat memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari berbagai
produk makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).
Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film
untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan
memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007). Ubi-ubian, serealia, dan
biji polong-polongan merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang
sering dijadikan sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005
dalam Cui, 2005). Pati singkong sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam
industri makanan dan industri yang berbasis pati karena kandungan patinya yang
cukup tinggi (Niba, 2006 dalam Hui, 2006). Kandungan pati pada beberapa bahan
pangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan


Bahan Pangan
Pati (% dalam basis kering)
Biji gandum
67
Beras
89
Jagung
57
Biji sorghum
72
Kentang
75
Ubi jalar
90
Singkong
90
Sumber: Liu (2005) dalam Cui (2005)

Menurut Biro Pusat Statistik (2009), produksi tanaman ubi kayu di Indonesia
pada tahun 2008 sebesar 20.834.241 ton. Melihat kandungan pati pada singkong
sebesar 90%, maka pada tahun tersebut dapat menghasilkan 18.750.816,9 ton pati
singkong. Produksi pati yang tinggi, penanamannya yang mudah, dan mudah
didapatkan di Indonesia menjadikan singkong sangat potensial dijadikan sebagai
bahan dasar edible film.

II.

SINGKONG

2.1

Botani Singkong
Singkong merupakan tanaman perdu yang berasal dari Amerika Selatan

dengan lembah sungai Amazon sebagai tempat penyebarannya (Odigboh, 1983 dalam
Chan 1983). Ubi ini merupakan tanaman dikotil berumah satu yang ditanam untuk
diambil patinya yang sangat layak cerna. Pohon singkong dapat tumbuh hingga 1-4
meter dengan daun besar yang menjari dengan 5 hingga 9 belahan lembar daun.
Batangnya memiliki pola percabangan yang khas, yang keragamannya tergantung
pada kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1995). Gambar pohon singkong dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pohon Singkong


(Sumber: Grahito, 2007)

Bagian dari ubi singkong yang dapat dimakan mencapai 80-90%. Bentuknya
dapat berupa silinder, kerucut, atau oval (Wankhede, Satwadhar, dan Sawate, 1998

dalam Salunkhe dan Kadam, 1998). Panjang ubi berkisar 15 hingga 100 cm dan
diameternya 3 hingga 15 cm. Bobot ubi kayu berkisar beberapa ratus gram hingga 15
kg. Tanaman singkong umumnya menghasilkan sekitar 5-10 ubi (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1995). Ubi singkong yang matang terdiri atas tiga lapisan yang jelas
yaitu; peridermis luar, cortex, dan daging bagian tengah (Odigboh, 1983 dalam Chan
1983). Ubi singkong dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ubi singkong


(Sumber: Grahito, 2007)

Klasifikasi singkong adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae, Divisi :


Spermatophyta, Sub Divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo :
Euphorbiales, Famili : Euphorbiaceae, Genus : Manihot, Spesies : Manihot utilissima
Pohl.; Manihot esculenta Crantz sin (Prihatman, 2000).
Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), spesies dari singkong
dibedakan berdasarkan kandungan HCN, yaitu jenis pahit (Manihot esculenta
Crantz.; M. utilissma Pohl.) dan manis (M. dulcus Baill.; M. palmatta Muell.; M. aipi
Pohl.)

2.2

Komposisi Kimia
Menurut Wankhede et. al. (1998) dalam Salunkhe dan Kadam (1998),

singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia.
Ubi singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai
komponen utamanya. Menurut Odigboh (1983) dalam Chan (1983), singkong relatif
kaya akan kalsium dan asam askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat
langsung dikonsumi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti
pemanasan, perendaman dalam air, penghancuran, atau beberapa proses tradisional
lainnya dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang bersifat
mematikan yang dikandung dari semua varietas singkong. Kandungan kalori dan
komposisi zat gizi dalam 100 gram singkong disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram Singkong
Komposisi Kimia
Jumlah
Air (g)
62,5
Karbohidrat (g)
34,7
Protein (g)
1,2
Lemak (g)
0,3
Ca (mg)
33,0
Fe (mg)
0,7
Thiamin B1 (mg)
0,06
Riboflavin B2 (mg)
0,03
Niacin (mg)
0,6
Vitamin C (mg)
36
Energi (kal)
146,0
Sumber : Odigboh (1983) dalam Chan (1983).

2.3

Pati Singkong
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri

dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut
amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1984). Struktur amilosa
merupakan struktur lurus dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari
struktur bercabang dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan
amilopektin merupakan ikatan -(1,6). Berat molekul amilosa dari beberapa ribu
hingga 500.000, begitu pula dengan amilopektin (Lehninger, 1982).
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan
penggunaan dari pati itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari
ekstraksi terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan
dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi
biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintegrasi dan sentrifugasi dilakukan
untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Liu, 2005 dalam Cui, 2005).
Diagram alir ekstraksi pati dari umbi akar dapat dilihat pada Gambar 3.
Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang
terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi
(Friedman, 1950; Gliksman, 1969 dikutip Odigboh, 1983 dalam Chan, 1983).
Menurut Murphy (2000) dalam Phillips dan Williams (2000), ukuran granula pati
singkong 4-35 m, berbentuk oval, kerucut dengan bagian atas terpotong, dan seperti
kettle drum. Suhu gelatinisasi pada 62-73OC, sedangkan suhu pembentukan pasta
pada 63OC. Menurut Santoso, Saputra, dan Pambayun (2004), pati singkong relatif

mudah didapat dan harganya yang murah. Bentuk granula pati singkong dapat dilihat
pada Gambar 4.
Umbi akar
pencucian, pengupasan, disintegrasi
sedimentasi, pencucian
sentrifugasi

Pati
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi pati dari umbi akar
(Liu, 2005 dalam Cui, 2005)

Gambar 4. Granula Pati Singkong


(Niba, 2006 dalam Hui, 2006)

III.

EDIBLE FILM

Definisi Edible Film dan Fungsi


Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008), edible packaging pada
bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk, yaitu: edible film,
edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang membedakan edible coating dengan edible
film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk,
sedangkan pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang
akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai
pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang
dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan (Lee dan
Wan, 2006 dalam Hui, 2006).
Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat
pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak,
meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Edible film yang
terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat
dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai
penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible film yang terbuat dari
protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik (Lee dan Wan, 2006
dalam Hui, 2006).
Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan
salah satu yang harus diperhatikan untuk mempertahan kualitas produk dan akan

berakibat pula terhadap umur simpan produk. Film yang terbuat dari protein dan
polisakarida pada umumnya sangat baik sebagai penghambat perpindahan gas,
sehingga efektif untuk mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang atau
yang diserap oleh produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible coating
atau film (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).
Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan substansi
lain untuk mempertinggi kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, untuk
mengontrol pertumbuhan mikroba, serta untuk meningkatkan seluruh kenampakan.
Asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, potasium sorbat, dan asam propionat
merupakan beberapa antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk
menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sitrat, asam askorbat, dan ester lainnya,
Butylated Hydroxyanisole (BHA), Buthylated Hydroxytoluen (BHT), Tertiary
Butylated Hydroxyquinone (TBHQ) merupakan beberapa antioksidan yang
ditambahkan pada edible film untuk meningkatkan kestabilan dan mempertahankan
komposisi gizi dan warna makanan dengan mencegah oksidasi ketengikan, degradasi,
dan pemudaran warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam Krochta, Baldwin, Dan
Nisperos-Carriedo, 1994).

Bakan Baku Edible Film


Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu;
hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa
protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida yang

biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit


merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam
Krochta et. al., 1994).
Edible film dan coating dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan
penggunaannya dan jenis film yang sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating
Penggunaan
Jenis film yang sesuai
Menghambat penyerapan uap air
Lipida, komposit
Menghambat penyerapan gas
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Menghambat penyerapan minyak dan Hidrokoloid
lemak
Menghambat penyerapan zat-zat larut
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Meningkatkan kekuatan struktur atau Hidrokoloid, lipida, atau komposit
memberi kemudahan penanganan
Menahan zat-zat volatil
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Pembawa bahan tambahan makanan
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta et. al. (1994).

3.2.1 Hidrokoloid
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein atau
karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum (seperti
contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi secara kimia.
Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin,
kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum, dan protein jagung. Film yang
terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen,
karbondioksida, dan lemak, serta memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik,

sehinggga sangat baik digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah
hancur (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk
mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan
edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting
karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat nontoksik
(Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat
membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein kacang,
keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey susu, karena sifat dari protein
tersebut yang mudah membentuk film. Albumin telur dapat digunakan sebagai bahan
pembetuk film yang baik yang dikombinasikan dengan gluten gandum, dan protein
kedelai (Gennadios, McHugh, Weller, dan Krochta, 1994 dalam Krochta et. al.,
1994).

3.2.2

Lipida
Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap air,

atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula.
Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan
kekuatan struktur film yang kurang baik (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta
et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak tergantung pada berat
molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang, dan polaritas. Lipida

yang sering digunkan sebagai edible film antara lain lilin (wax) seperti parafin dan
carnauba, kemudian asam lemak, monogliserida, dan resin (Lee dan Wan, 2006
dalam Hui, 2006). Jenis lilin yang masih digunakan hingga sekarang yaitu carnauba.
Alasan mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat
hidrofobik (Hernandez, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

3.2.3

Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari

komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa
gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokolid
dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan
hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan
hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan antara lipida dan
hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran yang telah
diolah minimal (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).

IV.

EDIBLE FILM BERBASIS PATI SINGKONG

4.1

Metode Pembuatan
Metode casting merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk

membuat film. Pada metode ini protein atau polisakarida didispersikan pada
campuran air dan plasticizer, yang kemudian diaduk. Setelah pengadukan dilakukan
pengaturan pH, lalu sesegera mungkin campuran tadi dipanaskan dalam beberapa
waktu dan dituangkan pada casting plate. Setelah dituangkan kemudian dibiarkan
mengering dengan sendirinya pada kondisi lingkungan dan waktu tertentu. Film yang
telah mengering dilepaskan dari cetakan (casting plate) dan kemudian dilakukan
pengujian terhadap karakteristik yang dihasilkan. (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,
2006).
Pembuatan edible film berbasis pati pada dasarnya menggunakan prinsip
gelatinisasi. Dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu
yang tinggi, maka akan terjadi gelatinisasi. Gelatinisasi mengakibatkan ikatan
amilosa akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses
pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat dari lepasnya air,
sehingga gel akan membentuk film yang stabil (Careda, Henrique, Oliveira, Ferraz,
dan Vicentini, 2000).
Menurut Sarmento (1997) dikutip Careda et. al. (2000), suhu dimulainnya
gelatinisasi pati yang digunakan pada suhu 60,5OC hingga 65,8OC, dan pada suhu
61,2OC hingga 66,5OC merupakan rentan suhu pengentalan. Pada suhu pendinginan

hingga 50OC akan sedikit menaikkan kekentalan, kecenderungan untuk terjadi


retrogradasi kecil, dan juga kecil kemungkinannya terjadi kristalisasi. Ketebalan film
dapat diatur dengan memperhatikan rasio luas cetakan dengan larutan edible film
yang digunakan. Pembuatan larutan edible film komposit antara bahan bersifat
hidrofobik dengan hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan akan lebih
stabil (Santoso dkk., 2004). Proses pembuatan edible film dari pati singkong dapat
dilihat pada Gambar 5.
Larutan Pati Singkong 3%

Pemanasan dan pengadukan pada suhu


70OC selama 15-20 menit

Pendinginan pada suhu 25OC

Larutan edible film

Pencetakan pada Polystyrene plates


berdiameter 10 cm
Pengeringan pada suhu 50OC selama 24
jam

edible film
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Larutan Edible Film Berbasis Pati Singkong
(Careda et. al., 2000)

4.2

Karakteristik Film
Pati yang digunakan sebagai edible film dapat pati singkong murni atau pati

yang telah dimodifikasi. Dari setiap bahan tersebut akan mengasilkan karakteristik
film yang berbeda-beda. Menurut Careda et. al. (2000), konsentrasi 3% pati singkong
tanpa modifikasi akan menghasilkan pori-pori yang kecil, yang mungkin disebabkan
gelembung-gelembung kecil dari udara terlarut ketika pemanasan. Pori-pori yang
kecil mengakibatkan edible film dari pati singkong memiliki laju transmisi rendah
terhadap uap air dan gas (Santoso dkk., 2004). Sedangkan pati yang diestrifikasi
(CMA) dengan konsentrasi 3% menunjukkan adanya granula-granula pati dengan
struktur yang kecil yang saling berdempetan. Pati singkong yang dioksidasi (Amilum
320) dengan konsentrasi 3% menunjukkan struktur granula yang utuh dan tidak
hancur dalam air (Careda et. al., 2000). Perbedaan ketiga jenis film tadi yang
dianalisis menggunakan SEM (Scaning Electron Microscopy) dapat dilihat pada
Gambar 6.
Menurut Henrique et. al. (2007), film dari CMA dengan konsentrasi 5% sulit
larut dan cenderung lebih permeabel dan lebih tebal. Sedangkan dengan konsentrasi
3% cenderung memiliki ketebalan yang kecil dan lebih larut. Permebilitas, kelarutan,
dan ketebalan film merupakan karakteristik yang pada umumnya dipengaruhi oleh
konsentrasi bahan keringnya.

(a)

(b)

(c)
Gambar 6. (a) Permukaan film dari 3% pati singkong tanpa modifikasi dengan pembesaran SEM 372x,
(b) Permukaan film dari 3% CMA dengan pembesaran SEM 463x, (c) Permukaan film dari 3% amilum
320 dengan pembesaran SEM 405x
(Careda et. al, 2000)

Menurut Flores et. al. (2006) dalam Bourtoom (2007), tidak ada metode
standar dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan fungsi
dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan dalam pembuatan edible film berbasis pati seringnya dilakukan
penambahan hidrokoloid dan plasticizer agar didapatkan karakteristik film yang baik.
Hidrokoloid berfungsi untuk membentuk struktur film agar tidak mudah hancur.
Plasticizer berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dari film dengan mengurangi
derajat ikatan hidrogen dan meningkatkan jarak antar molekul dari polimer (Lee dan
Wan, 2006 dalam Hui 2006). Penggunaan plasticizer yang terlampau banyak akan

meningkatkan permeabilitas terhadap uap air (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam
Krochta et. al., 1994; Lee dan Wan 2006 dalam Hui, 2006 ). Menurut Santoso dkk.
(2004), Pembuatan larutan edible film komposit antara bahan bersifat hidrofobik
dengan hidrofilik, harus ditambahkan emulsifier agar larutan lebih stabil.
Film dari pati dengan penambahan sorbitol sebagai plasticizer memiliki
permebilitas yang rendah terhadap uap air dibandingkan dengan glikol, gliserol,
polietilen glikol, maupun sukrosa pada konsentrasi yang sama (McHugh et. al., 1994
dikutip Bourtoom, 2007). Jenis dan konsentrasi dari plasticizer akan berpengaruh
terhadap kelarutan dari film berbasis pati. Semakin banyak penggunaan plasticizer
maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plasticizer yang
bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol
memberikan kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible film
berbasis pati (Bourtoom, 2007).
Suhu pemanasan yang digunakan ditentukan berdasarkan bahan dasar yang
digunakan dan akan berpengaruh terhadap elastisitas, persentase pemanjangan,
permeabilitas terhadap uap air, dan kelarutan edible film atau coating. Edible film dari
pati singkong menggunakan suhu pemanasan 95OC selama 5 menit akan
menghasilkan kuat tarik (tensile strength) yang maksimum. Peningkatan suhu
pemanasan juga akan menurunkan perentase pemanjangan dari edible film.
Permeabilitas terhadap uap air dan kelarutan akan cenderung menurun seiring dengan
naiknya suhu pemanasan (Bourtoom, 2007).

4.3

Aplikasi
Edible film berbasis pati singgkong dapat diaplikasikan untuk mengemas apel

yang telah dipotong-potong untuk meminimalkan susut bobot dan menghambat reaksi
pencoklatan. Formulasi 1% pektin(b/v), CaCl2 1,6% (b/b pektin), gliserol 1% (b/v),
2% (b/v) pati singkong, dan 0,04% (b/v) asam palmitat dapat mempertahan kecerahan
warna apel sama dengan apel yang dikemas menggunakan plastik polietilen. Akan
tetapi penurunan berat pada apel yang dikemas dengan menggunakan edible film pati
singkong-pektin tersebut lebih besar dibandingkan dengan apel yang dikemas dengan
plastik polietilen. Hal ini disebabkan karena edible film pati singkong-pektin
memiliki nilai laju transmisi uap air yang besar, sehingga tidak mampu menahan
transmisi uap air dari dalam wadah ke luar dan selanjutnya terjadi pula transmisi uap
air dari dalam ke permukaan buah (Layuk, Djagal, dan Haryadi, 2002)
Edible film komposit dari gliserol, CMC, beeswax, dan pati singkong dapat
digunakan sebagai bahan pengemas primer dodol durian. Dodol durian yang tidak
dikemas hanya memiliki umur simpan hingga tiga hari yang kemudian ditumbuhi
jamur. Penggunaan kemasan tradisional (kertas minyak) hanya tahan hingga hari
penyimpanan selama tujuh hari, selain itu juga kertas minyak lengket dengan bahan
yang dikemas. Penggunaan edible film komposit pati singkong-CMC-beeswax
menghasilkan ketebalan film sebesar 1,12 mm dan dapat mempertahankan umur
simpan dodol durian hingga 25-44 hari (Harris, 2001).

V.

KESIMPULAN

Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang


ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan, berfungsi sebagai penghambat
perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma,
mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai
pembawa zat aditif. Bahan baku pembentuk edible film dapat berasal dari pati
singkong. Pati singkong dapat membentuk pasta yang bening dan kecil kemungkinan
untuk terjadi retrogradasi. Kelebihan lain dari pati ini adalah mudah didapatkan dan
relatif murah.
Metode pembuatan edible film yang sering digunakan yaitu metode casting,
yaitu dengan mendispersikan bahan baku edible film, pengaturan pH larutan,
pemanasan larutan, pencetakan, pengeringan, dan pelepasan dari cetakan. Tidak ada
metode standar dalam pembuatan edible film sehingga dapat dihasilkan film dengan
fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Namun pada
umumnya dilakukan penambahan hidrokoloid untuk membentuk struktur film yang
tidak mudah hancur dan plasticizer untuk meningkatkan elastisitas.
Lapisan film yang dibentuk memiliki pori-pori yang lebih kecil sehingga laju
transmisi terhadap uap air dan gas juga rendah. Edible film berbasis pati singkong
dapat diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan
kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian hingga
25-44 hari.

DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia; Harvested Area, Yield Rate and
Production of Cassava by Province. Available at : http://www.datastatistikindonesia.com/component/option,com_tabel/kat,1/idtabel,111/Itemid,165
(diakses tanggl 6 Januari 2009)
Bourtoom, T. 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible
Film Prepared From Starch. Department of Material Product Technology,
Songkhala. (on line) Avaliable at: http://vishnu.sut.ac.th/iat/food_innovation/
up/rice%20starch%20film.doc
Careda, M. P., C. M. Henrique, M. A. de Oliveira, M. V. Ferraz, N. M. Vincentini.
2000. Characterization of Edible Films of Cassava Starch by Electron
Microscopy. Braz. J. Food Technol 3 : 91-95 (on line). Avaliable at :
http://www.ital.sp.gov.br/bj/artigos/bjft/2000/p0040.pdf (diakses tanggal 27
Februari 2009)
Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc., New York
and Bassel.
Cristsania. 2008. Pengaruh Pelapisan Dengan Edible Coating Berbahan Baku
Karagenan Terhadap Karakteristik Buah Stroberi (Fragaria nilgerrensis)
Selama Penyimpanan Pada Suhu 5OC + 2 OC. Skripsi. Teknologi Industri
Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Cui, S. W. 2005. Food Carbohidrates Chemistry, Physical Properties, adn
Aplications. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Singapore
Grahito, A. 2007. Root And Tuber Crops. Available at: http://indonesian-foodforage.blogspot.com/2007/12 (diakses tanggal 27 Februari 2009)
Harris, H. 2001. Kemungkinan Penggunaan Edible Film Dari Pati Tapioka Untuk
Pengemas Lempuk. Jurnal Ilmu-Ilmu pertanian Indonesia 3 (2) : 99-106

Henrique, C. M., R. F. Teofilo, L. Sabino, M. M. C. Ferreira, dan M. P. Cereda.


2007. Classification of Cassava Starch Film by Physicochemical Properties
and Water Vapor Permeability Quantification by FTIR and PLS. Journal of
Food
Science.
74:
E184-E189
(on
line).
Avaliable
at:
http://chipre.iqm.unicamp.br/~marcia/Pub104.pdf (diakses tanggal 27
Februari 2009)
Hui, Y. H. 2006, Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume
I. CRC Press, USA
Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating
and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company, New
York, NY.
Layuk, P., Djagal W. M., Haryadi. 2002 Karakteristik Komposit Film Edible Pektin
Daging Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) dan Tapioka. Jurnal Teknol dan
Industri Pangan XIII (2).
Lehninger, A., L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Penterjemah: M. Thenawijaya.
Erlangga, Jakarta
Phillips, G. O., P. A. Williams. 2000. Starch. Dalam: Handbook of Hydrocolloids.
CRC Press, Cambridge, London.
Prihatman, K. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Available at:
http://www.ristek.go.id (diakses tangga 6 Februari 2009)
Rubatzky, V. E., and M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia 1. Penerjemah : Catur
Herison. Penerbit ITB, Bandung
Salunkhe, D. K., S. S. Kadam. 1998. Handbook of Vegetable Science and
Technology : Production, Composition, Storage, and Processing Food Science
and Technology. Marcel Dekker Inc., New York, Basel, Hongkong.
Santoso, B., D. Saputra, dan Pambayun, R. 2004. Kajian Teknologi Edible Coating
dari Pati dan Aplikasinya Untuk Pengemas Primer Lempok Durian. Jurnal
Teknol dan Industri Pangan XV (3).

Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1987 di Bandung, Jawa Barat. Anak ke 3 dari
3 bersaudara dari pasangan Bapak Endang Wachyu BSc. dan Ibu Apong Amanah
S.Pd. Pada Tahun 1993 penulis masuk Sekolah Dasar Negeri Merdeka V/4 Bandung
dan selesai pada tahun 1999. Selanjutnya penulis masuk Sekolah Menengah Pertama
Negeri 27 Bandung dan lulus tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melenjutkan
ke Sekolah Menengah Umum Negeri 12 Bandung dan lulus pada tahun 2005. Pada
tahun 2006 penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan diterima
sebagai mahasiswa di Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi
Industri Pangan, Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai