Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia
merupakan
negara
dengan
mayoritas
penduduk
daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan
sistiserkosis (Handojo dan Margono, 2008b).
Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi
taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu
merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan
penghentian transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).
Prevalensi infeksi Taenia saginata berbeda dengan Taenia solium, infeksi
tertinggi Taenia saginata terdapat pada Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika
Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi
0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand,
India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1%
penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika
Tengah dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).
Epidemiologi sistiserkosis tidak jauh berbeda dengan epidemiologi dari
Taenia sp.. Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas. Lebih dari 50
juta orang menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih diyakini melebihi
jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar 50.000 ribu orang
meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak
(CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling
sering terjadi di Amerika Latin, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan
Afrika Sub Sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999; WHO, 2009). Pada orang
dewasa yang menderita kejang di Negara seperti Meksiko, setengahnya
merupakan penderita neurosistiserkosis.
Afrika, India, dan China bahwa sebagian besar penyakit parasit otak disebabkan
oleh neurosistiserkosis (CFSPH, 2005; Garcia et al., 1999). Telah diketahui
bahwa prevalensi neurosistiserkosis di antara penderita kejang pada daerah
endemis lebih dari 29% (WHO, 2009).
Sistiserkosis dan taeniasis pada Amerika Serikat dan beberapa negara di
Eropa merupakan penyakit yang jarang. Prevalensi di Amerika Serikat kurang
dari 1% karena kebanyakan ternak pada Amerika Serikat bebas dari parasit
(Tolan, 2011). Insidens sistiserkosis pada Amerika Serikat diperkirakan hanya
1.000 kasus setiap tahunnya (Tolan, 2011; CFSPH, 2005; Subahar et al., 2005).
Adanya insidens pada Amerika Serikat diduga karena peningkatan jumlah imigran
dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut (White,
1997).
Negara-negara di benua Asia, Bhutan, India, Nepal, Thailand, dan beberapa
bagian di Indonesia merupakan daerah endemis sistiserkosis (WHO, 2009).
Daerah Korea dan Myanmar diduga juga merupakan daerah endemik, namun
tidak ada data yang mendukung (WHO, 2009). Prevalensi sistiserkosis pada
Papua, di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3-66,7% (Subahar et
al., 2005) sedangkan di Sumatera Utara, prevalensi taeniasis dan sistiserkosis
sejak tahun 1972-2000 dilaporkan berkisar antara 1,9% sampai 2,29%
(Simanjuntak dan Widarso, 2004). Pada penelitian epidemiologi yang diadakan
tahun 2003 sampai 2006 oleh Wandra, dari 240 orang menunjukkan 2,5% positif
terinfeksi Taenia asiatica. Pada tahun 2003, dijumpai 2 orang positif dari 58
orang (3,4%), sedangkan pada tahun 2005 ditemukan 4 dari 182 orang positif
(2,2%) (Wandra et al., 2007).
2.3.
: Animalia
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Cestoidea
Ordo
: Cyclophyllidea
Famili
: Taeniidae
Genus
: Taenia
Spesies
: solium
proglotid matang berbentuk hampir persegi empat (Ideham dan Pusarawati, 2007)
dan berukuran 12 mm x 6 mm (Soedarto, 2008).
Dalam proglotid yang matang terdapat testis berupa folikel yang tersebar
di seluruh dorsal tubuh dan jumlahnya mencapai 150-200. Proglotid matang juga
mempunyai lubang genital yang terletak di dekat pertengahan segmen. Ovarium
terletak di bagian posterior, berbentuk 2 lobus yang simetris dan uterus terletak di
tengah seperti gada (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Pada proglotid gravid, terdapat 5-10 cabang lateral dari uterus di tiap sisi
segmen. Segmen gravid dilepaskan dalam bentuk rantai yang terdiri atas 5-6
segmen setiap kali dilepaskan (Soedarto, 2008).
2.3.2. Biologi dan Morfologi Taenia saginata
Taksonomi dari Taenia saginata (Keas, 1999, Ideham dan Pusarawati,
2007):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Cestoidea
Ordo
: Cyclophyllidea
Famili
: Taeniidae
Genus
: Taenia
Spesies
: saginata
Habitat cacing ini dalam tubuh manusia terletak pada usus halus bagian
atas. Cacing dewasa dapat hidup di dalam usus manusia sampai 10 tahun lamanya
(Soedarto, 2008). Morfologi cacing dewasa berwarna putih, tembus sinar, dan
panjangnya dapat mencapai 4-25 meter, walaupun kebanyakan 5 meter atau
kurang. Mereka dapat hidup 5 sampai dengan 20 tahun, bahkan lebih (CFSPH,
2005).
Skoleks berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan
mempunyai 4 alat isap (sucker). Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks.
Leher Taenia saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5
milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo
dan Margono, 2008a).
Segmen cacing ini dapat mencapai 2000 buah. Segmen matur mempunyai
ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5
cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada
segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen,
mempunyai 1530 cabang di setiap sisi segmen. Segmen gravid dilepaskan satu
demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus. Segmen
gravid Taenia saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan
segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005).
2.3.3. Biologi dan Morfologi Sistiserkus
Sistiserkus adalah fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam
tubuh hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya
mengandung skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih
(Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002).
Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus,
yaitu larva atau fase metacestoda cacing pita. Sistiserkus atau larva Taenia solium
biasanya ditemukan pada ternak babi (Cysticercus cellulosae), sapi (Cysticercus
bovis) dan kadang-kadang ditemukan pada manusia (C. cellulosae). Sistiserkosis
ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes. Sistiserkosis juga
dapat terjadi pada sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (CFSPH, 2005).
Kista Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan
diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Kista paling
sering dijumpai pada otot masseter, jantung, dan pillar dari diafragma, walaupun
mungkin pada hewan yang berat terinfeksi mungkin ditemukan pada otot skeletal
(Soedarto, 2008).
Kista Cysticercus cellulosae memiliki skoleks terletak di satu sisi kista,
terinvaginasi, dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm (Handojo
dan Margono, 2008b). Menurut Garcia et al. (2002), diameter kista hidup
berukuran 10-20 mm. Kista Cysticercus cellulosae mempunyai ukuran dan bentuk
sesuai jaringan sekitarnya. Kista ini biasanya ditemukan pada otot lidah,
punggung, dan pundak babi (Handojo dan Margono, 2008b). Di otak, kista
berbentuk bundar dengan diameter 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan
ketebalan bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di
SSP (Sistem Saraf Pusat) dan mata kurang tebal (Wiria, 2008). Dinding kantong
terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (lapisan
glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung
longgar, dan jaringan kanalikuli (Wiria, 2008).
2.4.
50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et
al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007).
Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari
hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika
pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau
proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007).
Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium
(sistiserkorsis) (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Hal ini dapat
terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi
manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi (Tolan, 2011). Namun, teori ini belum
dibuktikan (CFSPH, 2005). Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik
yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak
secara retrograd dari usus ke lambung (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati,
2007). Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti
dengan sekresi usus (CFSPH, 2005) sehingga setelah terjadi peristaltik yang
bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti
aliran kelenjar getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya
akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat
dan membentuk sistiserkus (Pearson, 2009a; Ideham dan Pusarawati, 2007).
Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung
dari lokasi sistiserkus (Tolan, 2011). Proglotid dari Taenia solium kurang aktif
dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan
pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005).
2.5.
dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk
melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes
selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan
mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan
yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi
onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu
dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah
menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008).
Metacestoda
dapat
mengembangkan
sebuah
mekanisme
untuk
2.6.
neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual,
muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan
perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer,
2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang
dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus
ini jarang (CFSPH, 2005).
Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 (Wiria,
2008):
a.
b.
c.
Neurosistiserkosis
ekstraparenkimal
yang
memiliki
bentuk
neurosistiserkosis ventrikular.
d.
pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum
adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat,
sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah
banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan
kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis
(CFSPH, 2005).
Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan.
Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang
menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).
2.7.
Diagnosa Taeniasis sp
menggunakan pita adhesif yang ditempelkan pada daerah sekitar anus (CFSPH,
2005).
Tabel 2.3 Perbedaan Morfologi Spesies Taenia sp.
Karakteristik
Taenia solium
Sistiserkus
Hospes perantara Babi, manusia,
anjing, babi hutan
Lokalisasi
Ukuran (mm)
Skoleks
Cacing dewasa
Skoleks
Jumlah cabang
uterus pada
proglottid gravid
Ekspulsi dari
manusia
Terutama dalam
kelompok, secara
pasif
(Sumber: Ito et al., 2003)
Taenia asiatica
Taenia saginata
Tanpa rostelum,
tanpa kait
18-32
blot
(EITB),
ELISA,
fiksasi
komplemen,
dan
b.
Kriteria Minor:
a.
Kejang.
b.
c.
d.
Nodul subkutan atau hilangnya lesi setelah pengobatan dengan anti parasit.
Diagnosa dapat ditegakkan apabila dijumpai dua kriteria mayor, atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan (White, 1997).
2.8.
Pencegahan Taeniasis sp
Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan tindakan-
b.
c.
d.
e.
Pada daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang
tidak dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto, 2008).
f.
Hanya meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring,
atau air yang dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008).
g.
h.
Pada babi, dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB).
Bila perlu, vaksinasi dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit
dengan kemoterapi (WHO, 2009).
i.
2.9.
Daging
Daging adalah semua bagian dari hewan yang diinginkan atau telah
ditetapkan aman dan sesuai dengan konsumsi manusia. Daging terdiri dari air,
sedikit karbohidrat, protein dan asam amino, mineral, lemak, vitamin dan
komponen bioaktif lainnya (FAO, 2009b, Heinz dan Hauzinger, 2007).
memberi
warna
yang
berbeda
juga,
ungu
(deoksimioglobin),
merah