Komplikasi Regional Anestesi Ade
Komplikasi Regional Anestesi Ade
PENDAHULUAN
Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai
keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal
menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respons stress secara lebih
sempurna.1
___________________________________________________________________________
* Coassistant Anestesi FK TRISAKTI 30 Januari 2012 3 Maret 2012
** Dokter Spesialis Anestesiologi di BLU RSUD Kota Semarang
1
Namun demikian tanpa keterampilan dan pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi
lokal, komplikasi dan manajemennya, serta pencegahan dan persiapannya akan membahayakan
karena datangnya komplikasi sangat cepat dan tak terduga. Bila pemahaman teori kurang
memadai bisa berakibat fatal karena tidak terdeteksi dan terantisipasi dengan cepat dan tepat.2
PEMBAGIAN ANESTESI REGIONAL
1. Blok sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf) misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena, dan lain-lainnya.
ANALGESIA SPINAL
Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke ruang subaraknoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif, dan mudah dikerjakan.3
ANALGESIA EPIDURAL
Analgesia epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural
(peridural, ekstradural). Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan duramater. Bagian
atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah dengan selaput
sakrokoksigeal. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman
maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestesi lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal yang
terletak di bagian lateral. Awal kerja anestesia epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal,
sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.3
ANALGESIA KAUDAL
Analgesia kaudal sebenarnya sama dengan anestesia epidural karena kanalis kaudalis
adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus
sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog degan
gabungan antara ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum
flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale, dan kantong dura.3
FARMAKOKINETIK
Absorpsi dan distribusi
Absorpsi anestetik lokal dari tempat penyuntikan ke dalam sirkulasi sitemik dipengaruhi
oleh:
1. Tempat penyuntikan dan dosis
2. Penggunaan epinefrin
3. Karakteristik farmakologis
Konsentrasi dalam plasma ditentukan oleh kecepatan distribusi jaringan dan klirens obat.3
Absorpsi anestetik lokal ke berbagai jaringan sebagai berikut:
-
Kulit: tidak tembus sehingga tidak efektif digunakan pada kulit yang utuh.
Mata: efektif dapat menembus konjungtiva, dapat digunakan sebagai obat tetes atau
suntikan sub konjungtiva.
Membran mukosa: absorpsi pada mukosa hidung, faring, trakea bronkus, dan alveolus
secepat intravena.
Kanalis spinalis: pada dosis anestesi spinal, absorpsi ke darah berjalan lambat, level
dalam darah jarang terdeteksi. Vasokonstriktor (epinefrin, fenilefrin) memperlambat
absorpsi dan meingkatkan durasi anestesi sampai 60%.
Ruang epidural: menyebar secara difus sepanjang saraf melewati foramen intravertebra.
Absorpsi mirip seperti jaringan subkutan dan penambahan vasokonstrikor akan
memperlambat absorps.
Distribusi
-
Ekstraksi oleh paru: paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidokain,
bupivakain, dan prilokain dari sirkulasi.
Transfer plasenta: distribusi dalam jaringan akhrinya akan mencapai plasenta. Ikatan
protein plasma mempengaruhi kecepatan dan derajat difusi obat melewati plasenta.
Bupivakain yang mempunyai ikatan protein tinggi (95%) dibanding lidokain yang hanya
70%. Golongan ester karena cepat terhidrolisa, tidak bermakna melewati plasenta.
Asidosis fetus akibat persalinan yang lama akan menghasilkan akumulasi obat pada fetus.
Klirens
Klirens dan eliminasi waktu paruh amid-amid terutama di hepar, ekskresi oleh ginjal
dalam bentuk tak berubah adalah minimal.
Toksisitas
Efek toksis anestetik lokal terutama berakibat pada sistem kardiovaskular dan susunan
saraf pusat (SSP). Konsentrasi yang sangat tinggi dalam darah menyebabkan depresi otot jantung
dan dilatasi pembuluh darah perifer.
Metabolisme
Degradasi masing-masing anestetik lokal bervariasi dan tergantung enzim-enzim dalam
darah dan hepar. Produk-produknya akan dieliminasi oleh ginjal sebagian dalam bentuk tak
berubah.
Ikatan ester dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh ester dalam sirkulasi sangat
pendek, sekitar 1 menit. Produk degradasi metabolism ester adalah p-aminobenzoic acid.
Ikatan amid dipecah lewat N-dealkylation diikuti dengan hidrolisis yang terjadi terutama
di hepar. Penderita penyakit hepar lebih mudah terkena reaksi yang merugikan dari amid.
Eliminasi waktu paruh golongan amid 2-3 jam.3
KOMPLIKASI DAN PENATALAKSANAANNYA
Penyulit mungkin saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Akan tetapi apabila
pelaksanaannya telah disiapkan dengan matang, maka sebagian besar penyulit dapat diatasi.4
Gambar 3. Efek Samping Fisiologis dan Komplikasi Regional Anestesi (Dikutip dari 4)
1. Komplikasi lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup
besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembuluh
darah, maka dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan membentuk abses.
Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa
meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konsevatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila telah
terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end artery
dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.4
2. Komplikasi sistemik
Penyulit ini terjadi akibat masuknya anestetik lokal ke dalam sirkulasi sistemik.4
Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa sebab:
a. Overdosis
Penyuntikan yang berulang-ulang tanpa memperhatikan volume dan konsentrasi yang
dipakai merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya overdosis. Hal ini sering
terjadi pada penderita yang menjalani operasi yang cukup luas, dimana penderita kurang
kooperatif. Operator sering tanpa menyadari berapa banyak obat anestesi lokal yang telah
disuntikkan. Asisten operator berkewajiban mengingatkan volume yang sudah
disuntikkan.
b. Hiperabsorbsi
Penyuntikan anestesi lokal di daerah yang kaya pembuluh darah menyebabkan
anestetik lokal cepat diabsorbsi dan beredar ke sirkulasi sistemik.
c. Hipersensitif
Dengan dosis yang masih jauh dari maksimal penderita sudah menunjukkan gejala
terjadinya komplikasi karena penderita memang hipersensitif. Sangat sulit dibedakan
antara hipersensitif dengan alergi akibat reaksi imunologi.
d. Intravasasi
Komplikasi terjadi akibat anestetik lokal langsung masuk ke dalam pembuluh darah saat
penyuntikan dilakukan. Hal ini dapat dihindari dengan cara melakukan aspirasi setiap
akan menyuntikkan obat.4
Gejala Komplikasi Sistemik
1. Susunan saraf pusat
a. Korteks serebri
Pada tingkat korteks serebri manifestasinya dapat berupa stimulasi maupun depresi.
-
Stimulasi dapat berupa gelisah, agitasi, dan bahkan sampai kejang. Tindakannya
adalah dengan menjaga jalan nafas, memberikan oksigen 100% serta memberikan
suntikan anti konvulsi yang tersedia, misal thiopental atau diazepam. Thiopental
dapat diberikan 1-2 mg/kgBB atau 50 mg pada dewasa. Diazepam dapat diberikan
sebesar 5-1 mg. Keduanya diberikan secara intravena.
Depresi dari korteks serebri manifestasinya dapat sebagai kantuk, lemas, kesadaran
yang menurun. Berikan oksigen 100% dan segeralah berikan infus larutan NaCl,
Ringer Laktat, atau 2A.
b. Medulla
Pada tingkat medulla efek sistemik dari anestetik lokal dapat berupa stimulasi
maupun depresi tergantung tinggi rendahnya kadar anestetik lokal dalam plasma.
-
Stimulasi pada pusat respirasi akan tampak berupa hiperventilasi yang apabila
berlebihan memerlukan pemberian obat seperti pethidin atau morfin. Akan tetapi
apabila pusat respirasi mengalami depresi berupa hipoventilasi, maka tindakan yang
tepat adalah pemberian bantuan nafas serta oksigen.
10
2. Efek perifer
-
Pembuluh darah: terjadi vasodilatasi pembuluh akibat efek samping dari obat anestesi
lokal pada otot polos pembuluh darah.
berikan O2, posisi syok, dan infus cairan. Aminofilin adalah obat nomor satu yang lain.
Kortikosteroid dan antihistamin adalah obat penyerta berikutnya. 4
4. Lain-lain
Komplikasi lain yang kadang terjadi adalah menggigil dan disarthri yang penanganannya
juga bersifat konservatif berupa pemberian oksigen dan penenang seperti diazepam.4
Komplikasi dini
1. Hipotensi
2. Blok spinal tinggi / total
3. Mual dan muntah
4. Penurunan panas tubuh5
Komplikasi lanjut
1. Post dural Puncture Headache (PDPH)
2. Nyeri punggung (Backache)
3. Sindrom Cauda Equina
4. Retensi urin
5. Meningitis
6. Spinal hematom
7. Kehilangan penglihatan pasca operasi5
Mekanisme Komplikasi Dini Spinal Anestesi
1. Hipotensi. Blok saraf simpatis menyebabkan terjadinya vasodilatasi, sehingga venous
return meningkat, preload menurun, cardiac output ikut menurun, terjadilah hipotensi.6
Terapi:
-
12
Jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopressr langsung atau
tidak langsung dapat diberikan, seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus iv.
Usahakan jalan nafas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan nafas lewat face mask.
Jika depresi pernafasan makin berat perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan
kontrol ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat. Bantuan sirkulasi dengan
dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung.
Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari
maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin.
13
3. Mual, muntah. Terjadi karena hipotensi, adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan
peningkatan peristaltik usus, tarikan nervus dan pleksus khususnya nervus vagus, adanya
empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pilorus dan sfingter duktus bilaris, faktor
psikologis, maupun hipoksia.6
Terapi:
-
Untuk menangani hipotensi: loading cairan 10-20 ml/kgBB kristaloid atau pemberian
bolus efedrin 5-10 mg iv.
4. Penurunan panas tubuh. Terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi
panas oleh metabolisme berkurang, maupun adanya vasodilatasi pada anggota tubuh
bawah.6
14
Terapi:
-
Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan <24) dan menggunakan jarum non
cutting pencil point.
15
Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan
terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena
maupun oral, oksigenasi adekuat.
Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau
kafein benzoate 500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID.
Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch:
a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural
b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml
c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukkan darah secara perlahan-lahan
d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan mobilisasi
e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan mengejan
2. Nyeri punggung. Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot, dan ligamentum dapat
menyebabkan nyeri punggung. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai
anestesi umum, biasanya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bisa
menutup anestesi ini. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat
menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit
punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya
setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif.6
Penanganan:
-
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada daerah
nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine.
3. Sindrom Cauda Equina. Terjadi ketika cauda equina terbuka atau tertekan. Penyebab
adalah trauma dan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatik intraneural,
16
diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan obat ini bisa
menjadi kontaminan seperti antiseptik atau bahan pengawet yang berlebihan.6
Penanganan:
-
penggunaan obat anestesi lokal yang tidak neurotoksik terhadap cauda equina
merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari
trauma pada cauda equina waktu melakukan penusukan jarum spinal.
4. Retensi urin. Blokade sentral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin
di vesika urinaria jadi banyak. Blokade simpati eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan
tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin. Spinal anestesi menurunkan 5-10% filtrasi
glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien hipovolemia.6
Penanganan:
-
6. Hematom spinal. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla
spinalis. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan
medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologis dan paraplegi.6
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi:
1. Mati rasa
17
2. Kelemahan otot
3. Kelainan BAB
4. Kelainan sfingter kandung kemih
5. Sakit pinggang yang berat
Faktor resiko: abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang
tidak tepat posisinya, penusukan berulang-ulang.
Penanganan:
-
Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan
dan dikonsultasikan ke ahli saraf.
Banyak perbaikan neurologis pada pasien spinal hematom yang segera mendapatkan
dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam.
7.
Buta kortikal.
18
Terjadi karena emboli atau proses obstruksi yang berlangsung lambat, hipotensi berat
yang berakibat infark pada watershed zone parietal dan oksipital.
Oklusi arteri sentralis (CRAO).
Sering disebabkkan oleh emboli yang terbentuk dan plak aterosklerotik yang berulserasi
pada arteri karotis ipsilateral.
Obstruksi vena oftalmika sentralis (CRVO).
Dapat terjadi pada intraoperatif jika posisi pasien menyebabkan penekanan pada bagian
luar mata.6
Pencegahan:
-
19
c. Menggunakan konsentrasi yang paling kecil yang masih efektif lidokain 1% atau prokain
2%.
d. Memberikan suntikan dengan hati-hati selalu melakukan aspirasi setiap memasukkan 2
ml bat anestesi akan mencegah kemungkinan masuknya obat ke pembuluh darah.
3. Anamnesa yang baik untuk menentukan anestetik lokal yang dipilih.
4. Monitor selalu keadaan pasien.
Bercakap-cakap denga penderita selama operasi bermanfaat untuk mengetahui perubahan
sensorium secara dini.
Seorang penderita yang mula-mula tidak kooperatif kemudian mendadak tenang, dapat
merupakan tanda awal dari reaksi sistemik.
5. Pakai anestetik lokal yang telah dicampur dengan adrenalin 1:200.000 apabila tidak ada
kontraindikasi. Selain dapat memperpanjang durasi, dapat pula mengurangi perdarahan serta
memperlambat absorbs obat.
Segera hentikan suntikan bila dijumpai gejala reaksi yang paling ringan sekalipun. Segera
minta bantuan bila reaksi berat.7,8
KESIMPULAN
Anestesi regional terbagi menjadi blok sentral dan blok perifer. Blok sentral meliputi blok
spinal, epidural, dan kaudal. Blok perifer terdiri dari blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia
regional intravena, dan lain-lain. Setiap tindakan dari anestesi regional beresiko terjadi
komplikasi, untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai farmakologi obat-obat
anestesi regional. Komplikasi terdiri dari komplikasi lokal dan sistemik. Gejala komplikasi
sistemik bisa terjadi pada susunan saraf pusat, efek perifer, maupun dari reaksi alergi.
Komplikasi juga terbagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Tatalaksana apabila
terjadi komplikasi bisa dilakukan secara konservatif ataupun dengan bantuan obat-obatan.
20
Diperlukan pencegahan dan persiapan yang baik untuk mencegah timbulnya komplikasi yang
tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th
ed. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books; 2006, 151-52.
2. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP. Semarang; 2010. 309.
3. Latief SA, Suryadi K. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI. Jakarta; 2002. 107-20.
4. Anaesthesia UK. Complications
of
Regional
Anesthesia.
Available
at:
21