Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGEMAS EDIBLE FILM

Oleh :
Azelia Talitha M.

(H3513008)

Egydia Narera D.

(H3513012)

Miftahurrohmah S. (H3513027)
Puput Suraningtyas (H3513033)
Rehan Pradipta W. (H3513034)
Risti Setiyorini

(H3513037)

Tabliqiyah K

(H3513044)

PROGRAM DIPLOMA III AGROFARMAKA


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

BAB I
LATAR BELAKANG
Pada umumnya bahan makanan sagat sensitif dan mudah mengalami kualitas
karena adanya pengaruh lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan
kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, temperatur dan cahaya.
Salah satu cara untuk mencegah penurunan kualias tersebut maka diperlukan suatu
pengemasan yang tepat terhadap bahan makanan. Pengemasan makanan berguna
untuk mempertahankan dan melindungi produk atau makanan hingga sampai ke
tangan konsumen dengan kualitas yang masih baik dan keamanannya dapat
dipertahankan. Beberapa bahan pengemas makanan antara lain plastik, kertas, logam,
dan kaca.
Beberapa bahan pengemas memiliki karakteristik, keunggulan dan kelemahan
yang

berbeda

pula.

mempertimbangkan

Penggunaan

kondisi

ekonomis,

bahan

pengemas

keamanan

bahan

makanan
dan

dengan

perlindungan

pengawetan yang baik bagi makanan. Penggunaan bahan kemasan sintetis dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan suatu kemasan yang
ramah lingkungan, aman bagi kesehatan dan memiliki kemampuan melindungi
makanan secara baik dalam waktu yang relatif lama. Dewasa ini, banyak penelitian
tentang suatu bahan yang dapat memenuhi persyaratan bahan kemasan yang baik dan
aman yaitu bahan kemasan edible film.
Penggunaan kemasan edible film, selain dapat mempertahankan kualitas produk
yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan bahan
pengemas yang ramah lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan
pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan
bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah (Bourtoom 2007). Selain itu,
pengemas edible film juga memiliki kelebihan lain yaitu dapat menghambat,
menghentikan dan mengurangi atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen pada makanan dan bahan kemasan. Polimer sintetis yang digunakan dalam

hal ini adalah pati. Seperti yang dijelaskan Rojas-Grau et al (20009), berbagai
penelitian menunjukkan bahwa edible coating/film dapat berfungsi sebagai pembawa
(carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens antipencoklatan, antimikroba,
pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu.
Pengaplikasian edible film pada produk makanan bukan merupakan konsep
yang baru dan telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edible film dapat
memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari berbagai produk
makanan (Hui 2006). Penggunaan bahan-bahan alami dalam pengemas edible film
berbahan baku polimer alami akan mengurangi limbah plastik yang berasal dari
polimer sintetis sehingga mengurangi kerusakan lingkungan (Christina et al 2011).
Polimer yang dipakai untuk pembuatan edible film misalnya polisakarida seperti pati,
selulosa serta turunannya, gum, kitosan dan xanthan. Materi polimer untuk edible
film yang paling potensian dan sudah banyak penelitian yang dikembangkan adalah
yang berbasis pati-patian. Selain itu, pengemas edible film dapat digunakan untuk
pengemas buah, pengemas produk makanan misalnya dodol, coklat maupun permen,
dan juga untuk pengemas sosis daging sapi.

BAB II
ISI
A. Pengertian Edible/Coating Film
Menurut Arpah (1997) dikutip Christina (2008), edible packaging pada bahan
pangan pada dasarny dibagi 3 jenis bentuk yaitu edible film, edible coating, dan
enkapsulasi. Hal yang membedakan edible film dan edible coating adalah cara
pengaplikasiannya. Sedangkan edible film pembentukannya tidak secara langsung
dibentuk pada produk yang akan dilapiri/dikemas. Enkapsulasi adalah edible
packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible
film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas
atau di antara komponen makanan (Hui 2006).
Edible film adalah lapisan tipis sebagai pengemas bahan makanan yang dapat
dimakan. Penggunaan edible film dengan kemampuannya sebagai penghambat uap
air, lemak, dan O2 di dalam setiap sistem pangan diharapkan dapat mengurangi
timbulnya sampah dari bahan pengemas (McHugh dan Krochta, 1994). Edible film
juga berfungsi untuk menghambat perpindahan larutan, memperbaiki sifat
mekanik makanan, melindungi senyawa flavor volatil, dan sebagai pembawa
bahan aditif pada makanan. Selain itu, edible film yang terbuat dari lipida dan juga
film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau
polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap
air dibandingkn dengan edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida
dikarenakan lebih bersifat hidrofobik (Hui, 2006).
Pembuatan edible film bahan baku yang digunakan memiliki fungsi dan
keunggulan tertentu. Salah satu contohnya yaitu film dari bahan polisakarida dan
protein yang dapat menghambat perpindahan gas, sehingga efektif untuk
mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang atau yang diserap oleh
produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible coating atau film
(Hui 2006).

B. Bahan Baku Edible Film


Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
hidrokoloid, lipida, dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa
protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida
yang biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit
merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid (Dohowe dan Fennema, 1994
dalam Krochta et. al., 1994). Edible film dan coating dapat diklasifikasikan
berdasarkan kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang sesuai, yaitu :
a. Lipida, komposit penggunaan untuk menghambat penyerapan gas.
b. Hidrokoloid, lipida, atau komposit penggunaan untuk menghambat penyerapan
gas.
c. Hidrokoloid penggunaan untuk menghambat penyerapan minyak dan lemak.
d. Hidrologi, Lipida, atau komposit penggunaan untuk menghambat penyerapan
zat-zat larut, meningkatkan kekuatan struktur atau memberi kemudahan
penanganan, menahan zat-zat volatil, pembawa bahan tambahan makanan.
1. Hidrokoloid
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein
atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum
(seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi
secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat
menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum,
dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai
penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki
karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan untuk
memperbaiki

struktur

film

agar

tidak

mudah

hancur

(Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al.,1994).


Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk
mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada
larutan edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat
5

penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan
bersifat nontoksik (Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat
membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein
kacang, keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey susu, karena
sifat dari protein tersebut yang mudah membentuk film. Albumin telur dapat
digunakan sebagai bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan
dengan gluten gandum, dan protein kedelai (Gennadios, McHugh, Weller, dan
Krochta, 1994 dalam Krochta et. al.,1994).
2. Lipida
Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap air,
atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang
gula. Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan
menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik (Dohowe dan Fennema,
1994 dalam Krochta et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak
tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai
cabang, dan polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film antara
lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak,
monogliserida, dan resin (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Jenis lilin
yang masih digunakan hingga sekarang yaitu carnauba. Alasan mengapa lipida
ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat hidrofobik
(Hernandez, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
3. Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari
komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat
berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan
dari hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari
komponen lipida dan hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan
6

terhadap penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film
gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi
buah-buahan dan sayuran yang telah diolah minimal (Dohowe dan Fennema,
1994 dalam Krochta et. al., 1994).
C. Bahan Tambahan Edible Film
Perkembangan edible film atau yang dikenal sebagai bahan pelapis dari suatu
produk

pangan

akhir-akhir

ini

mengalami

kemajuan

dengan

pesat.

Penelitian edible film yang pada awalnya diutamakan formulasi film dan sifat
fisik, sekarang telah meningkat sampai kemungkinan struktur film mempengaruhi
sifat film. Kemungkinan edible film sebagai agen pembawa bahan tambahan
seperti antimikroba yang dapat meningkatkan masa simpan produk dan
mengurangi risiko pertumbuhan bakteri patogen pada permukaan makanan juga
semakin berkembang. Edible film biasanya dibentuk dengan bahan dasar protein,
polisakarida, dan lemak yang sangat berpotensi untuk meningkatkan kualitas
pangan dan mengurangi penggunaan bahan pengemas. Formulasi film biasanya
terdiri atas 3 komponen besar yaitu polimer dengan berat molekul tinggi,
plasticizer dan pelarut. Berikut adalah bahan tambahan yang biasa digunakan
untuk edible film:
a. Gliserol
Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai

jenis

tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa
komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer,
penstabil pangan, pewarna, enyerap UV dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa
senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul
rendah. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu
proses agar plastik lebih halus dan luwes. Fungsinya untuk memisahkan
bagian-bagian dari rantai molekul yang panjang. Plasticizer adalah bahan non
volatile dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan
lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan
7

tersebut. Plasticizer ditambahkan untuk mengurangi gaya intermolekul antar


partikel penyusun pati yang menyebabkan terbentuknya tekstur edible
film yang mudah patah (getas).
Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan 3 buah
gugus hidroksil dalam satu molekul (alcohol trivalent). Rumus kimia gliserol
adalah C3H8O3, dengan nama kimia 1,2,3 propanatriol. Berat molekul
gliserol adalah 92,1 massa jenis 1,23 g/cm2 dan titik didihnya 209C. Gliserol
memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan,
mengikat air, dan menurunkan Aw. Gliserol merupakan plasticizer yang
bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat
hidrofobik seperti pati. Ia dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air.
Peran

gliserol

sebagai plasticizerdan

konsentrasinya

meningkatkan

fleksibilitas film.
Molekul plasticizer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan
interaksi intermolekul dan meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya
menyebabkan peningkatan elongasi dan penurunan Tensile strength seiring
dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi intermolekul
dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap
air. Plasticizer menurunkan gaya inter molekuler dan meningkatkan mobilitas
ikatan polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.
Ketika gliserol menyatu, terjadi beberapa modifikasi struktural di dalam
jaringan pati, matriks film menjadi lebih sedikit rapat dan di bawah tekanan,
bergeraknya rantai polimer dimudahkan, meningkatkan fleksibilitas film tanpa
plasticiser amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan suatu
struktur yang bifasik dengan satu daerah kaya amilosa dan amilopektin.
Interaksi-interaksi

antara

molekul-molekul

amilosa

dan

amilopektin

mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku.
Keberadaan

dari plasticizer di

dalam

film

pati

bisa

menyela

pembentukan double helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu


8

mengurangi interaksi antara molekulmolekul amilosa dan amilopektin,


sehingga meningkatkan fleksibilitas film pati.
Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti
pektin, pati, gel, dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis
protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang relatif kecil dan
mudah disisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen
dengan gugus amida dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan
interaksi langsung dan kedekatan antar rantai protein. Selain itu, laju transmisi
uap air yang melewati film gluten yang dilaporkan meningkat seiring dengan
peningkatan kadar gliserol dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis
protein.
b. Pati tapioca
Semua pati yang terdapat secara alami tersusun dari dua macam molekul
pektin (amilosa dan amilopektin). Amilosa merupakan polimer berantai lurus,
1-4 glukosidik, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan
1-6 glukosidik. Molekul-molekul berrantai lurus, yaitu amilosa yang
berdekatandan bagian rantai yang lurus pada bagian luar atau ujungujung
amilopektin tersusun dengan arah sejajar. Susunan tersebut membentuk
bangunan yang kristalin dan kompak. Molekulmolekul bercabang, yaitu
amilopektin mempunyai susunan yang kurang kompak/amorf, sehingga lebih
mudah dicapai oleh air dan enzim. Pati mempunyai peranan yang sangat besar
dalam menentukan sifat-sifat produk pangan. Pati mampu berinteraksi dengan
senyawa-senyawa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
berpengaruh pada aplikasi proses, mutu, dan penerimaan produk.
Karena kemampuannya, pati dijadikan bahan pelapis yang dapat dimakan
(edible film).Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang terbuat dari
bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi komponen makanan
(coating) atau diletakkan di antara komponen makanan (film). Prinsip
pembentukan edible film adalah interaksi rantai polimer menghasilkan agregat
9

polimer yang lebih besar dan stabil. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu
mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam
berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum
atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga
mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna
putih.
Edible film dari tapioka memiliki sifat mekanik yang hampir sama dengan
plastik dan kenampakannya trasparan. Tepung tapioka meskipun dibuat dari
bahan (singkong) dengan kandungan unsur gizi yang rendah, namun masih
memiliki unsur gizi. Tepung tapioka tidak termasuk di dalam golongan
amilopektin, namun tepung tapioka memiliki sifat-sifat yang sangat mirip
dengan amilopektin. Sifat-sifat tepung tapioka tersebut adalah :
1. Sangat jernih. Dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan
kenampakkan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat
mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir.
2. Tidak mudah menggumpal. Pada suhu normal, pasta dari amilopektin
tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras
3. Memiliki daya pemekat yang tinggi. Karena kemampuannya untuk
mudah pekat, maka pemakaian pati dapat dihemat.
4. Tidak mudah pecah atau rusak. Pada suhu normal atau lebih rendah,
pasta tidak mudah kental dan pecah (retak-retak). Dibandingkan
dengan pati biasa, stabilitas amilopektin pada suhu amat rendah juga
lebih tinggi.
5.

Suhu gelisasi lebih rendah. Dengan demikian juga menghemat


pemakaian energy.

Edible film dari pati tapioka termasuk ke dalam kelompok hidrokoloid,


yang bersifat higroskopis. Umumnya film dari hidrokoloid mempunyai
struktur mekanis yang cukup bagus, namun kurang bagus terhadap

10

penghambatan uap air. Pada kondisi kandungan uap air yang tinggi, film
akan menyerap uap air dari lingkungannya.
c. CaSO4
Untuk memperbaiki mutu gel cincau dapat ditambahkan bahan pengikat,
antara lain pati, agar dan CaSO4. Penggunaan pati dengan konsentrat 0,1 %
dari air pengekstrak; atau penambahan agar 0,02 % dari air pengekstrak; atau
penambahan CaSO4 dengan konsentrasi 0,05 % dari bubuk daun cincau
kering akan menghasilkan gel yang baik; baik untuk bubuk daun cincau
kering jemur maupun kering oven.
D. Edible Film sebagai Pengemas Suatu Produk
Penambahan edible film pada produk pascapanen sangat berpengaruh untuk
umur simpan suatu produk. Edible film ini biasanya dilakukan dengan cara
pencelupan, pelapisan (wrapping) atau penyemprotan, selanjutnya bahan
dikeringanginkan dan disimpan. Edible film ini biasanya diaplikasikan pada buahbuahan seperti apel, anggur, papaya, jambu biji, dan belimbing. Penambahan
edible film juga dapat menghindari produk dari kerusakan mikrobia, hal ini sesuai
dengan pernyataan Quintavalla dan Vicini( 2002) yang menyatakan bahwa Edible
film yang bersifat antimikroba berpotensi dapat mencegah kontaminasi patogen
pada berbagai bahan pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan,
sayuran). Kombinasi antimikroba dengan pengemas film untuk mengendalikan
pertumbuhan mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan
memperbaiki mutu pangan.
Zaman semakin berkembang dan penggunaan edible film juga semakin
beragam, yang awalnya hanya bisa di aplikasikan pada buah-buahan namun
sekarang sudah bisa di aplikasikan sebagai Pembungkus primer permen (permen
susu)dan sebagai pengganti pembungkus kapsul , hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh sari dewi anggraeni (2002) yang menyatakan bahwa edible
film yang dihasilkan cukup baik dari segi organoleptic dan sifat mekanik dan
kimianya, sehingga layak untuk digunakan sebagai pengemas primer produk
11

permen ( contohnya permen susu). Formulasi dari permen perlu ditambahkan atau
dimodifikasi untuk meningkatkan fleksibilitasnya dan menurunkan laju transmisi
uap airnya, sehingga menghasilkan barrier yang lebih baik untuk melindungi
produk tersebut dari kerusakan.
Edible film bisa digunakan pada semua produk, tidak hanya produk
pascapanen pertanian, namun juga produk permen, coklat maupun dodol. Hal ini
sesuai

dengan

pernyataan

krochta

(1997)

Yang

mengatakan

bahwa

pengembangan rumput laut jennies Gracilaria Sp. Sebagai bahan kemasan pelapis
permen yang prosesnya diaplikaikan dari pembuatan agar-agar kertas, dan bersifat
edible film atau dapat dimakan, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan
produsen terhadap pemakaian bahan plastic sebagai bahan pengemas untuk pelapis
permen, serta menambah cita rasa pada permen tersebut. Selain itu juga dapat
digunakan sebagai pengemas makanan semi basah seperti dodol, pengemas bumbu
mie instan, pelapis coklat, sosis, buah-buahan dan sayur-sayuran. Bahan kemasan
ini aman terhadap lingkungan dan dapat mempertahankan kualitas produk pangan
dari segi gizi, warna, aroma, rasa, dan penampakan.
Edible coating yang diaplikasikan pada sosis daging sapi dengan formula
kombinasi chitosan-ekstrak daun jati lebih efektif dalam menghambat kerusakan
mikrobiologis dan oksidatif sosis daging sapi selama penyimpanan Hal ini
menunjukkan adanya efek sinergistik antara chitosan dan ekstrak daun jati dalam
menghambat kerusakan mikrobiologis dan oksidatif sosis daging sapi.
E. Pengujian Edible Film
Penggunaan edible film yang telah beragam sebelum dipasarkan terlebih
dahulu melalui proses uji ketahanan. Uji ketahanan ini dimaksud agar edible film
sebagai pengemas produk tidak mudah cepat rusak, sehingga keunggulan edible
film dari bahan lainnya dapat dirasakan. Uji ketahanan edible film terhadap
pengaruh kelembaban udara lingkungan (RH). Percobaan satu faktor, dengan
rancangan dasar RAKL. Perlakuan terdiri atas 65, 75, 85 dan 95% RH pada suhu
ruang. Pengujian dilaku-kan pada pengamatan awal dan akhir penyim-panan.
12

Pengamatan yang dilakukan terhadap karakteristik edible film, yamg meliputi: Aw,
metode Aw meter (ASTM,1983) dan kuat tarik film (ASTM, 1983). Kondisi RH
lingkungan

penyimpanan

terbaik,

kemudian

digunakan

untuk

aplikasi

penyimpanan tahap berikutnya.


McHugh & Krochta (1994) menyatakan bahwa penting sekali mengetahui
sifat-sifat edible film sebelum diaplikasikan untuk mengemas suatu produk
pangan.

Menurut

Downhowe

&

Fennema

(1994),

beberapa

uji

telah

dikembangkan untuk menentukan sifat permeabilitas, karakteristik fisik, dan


karakteristik mekanik edible film yang didasarkan pada metode uji standar untuk
nonedible films. Uji-uji tersebut di antaranya, sifat permeabilitas uap air, sifat
permeabilitas zat terlarut, dan sifat permeabilitas lemak, kuat tarik dan persen
elongasi, berat dasar, ketebalan film, dan uji-uji lainnya.
F. Kelebihan dan Kekurangan Edible Film
1. Kelebihan

Edible memiliki kelebihan yaitu bisa dimakan, terbuat dari bahan alami,
ramah lingkungan, harganya murah, memperpanjang umur simpan, mengurangi
risiko

pertumbuhan

bakteri

patogen

pada

permukaan

makanan,

mempertahankan kualitasmakanan dengan cara menahan perpindahan aroma,


gas, dan air. Semua kelebihan itu dikarenakan edible film terbuat dari bahan
bahan organik, seperti pati, gliserol, tepung jagung, bahkan ada juga inovasi
edible film yang terbuat dari pati ganyong. Edible filem tidak hanya digunakan
untuk melapisi buah dan sayuran saja, edible filem juga dapat digunakan untuk
pengemasan pada daging. Sesuai dengan penelitiankhotibul (2010) edible
film yang berasal dari protein dan polisakarida ternyata mampu menghambat
pertumbuhan Salmonella pada permukan daging ayam, penghambatan ini akan
lebih

baik

apabila edible

film tersebut

ditambahkan

senyawa

antimikroorganisme.
Water

vapor

permeability (WVP)

merupakan

kemampuan edible

film dalam menjaga kandungan air dalam produk agar tidak menguap.
13

Penguapan ini menyebabkan terjadinya penyusutan berat yang pada umumnya


merugikan baik dari segi ekonomi maupun kualitas produk itu sendiri. Masalah
ini berhubungan dengan sifat dari edible film apakah hidrofilik atau
hidrofobik.pelapisan edible filmmenghalangi penguapan kelembaban dan
transfer panas dari karkas selama 24 jam pertama
Berdasarkan penelitian. Ditambahkan pada penelitian Wong (1996)
bahwa edible

film berbahan

pertumbuhan Listeria

protein

monocytogenes pada

whey
hot

mampu
dog

menghambat

selama

42

hari

penyimpanan dingin. Hal ini menunjukan bahwa kelebihan dan inovasi dari
edible film sangat banyak.
2. Kekurangan

Selain keunggulan, edible coating/film memiliki kelemahan. Film dari


bahan seperti pati misalnya, mudah rusak/sobek karena resistensinya yang
rendah terhadap air dan mempunyai sifat penghalang yang rendah terhadap uap
air karena sifat hidrofilik dari pati (Garcia et al. 2011). Sifat mekanik lapisan
film dari pati juga kurang baik karena mempunyai elastisitas yang rendah,
untuk meningkatkan karakteristiknya, biasanya pati dicampur dengan
biopolimer yang bersifat hidrofobik atau bahan tahan air seperti kitosan. Salah
satu komponen yang ditambahkan dalam pem buatan edible film adalah
plasticizer. Penambahan plasticizer pada edible film ini penting untuk
mengatasi sifat rapuh film yang disebabkan kekuatan intermolekul ekstensif.
Jenis plasticizer yang paling banyak digunakan antara lain poliglikol,
monosakarida, mono oligosakarida, di oligosakarida, lipid dan turunannya
seperti gliserol, dan beeswax (Gontard et al., 1993). Selain itu kekurangannya
yaitu kegunaannya dalam bentuk murni sebagai film terbatas, karena integritas
dan ketahanannya rendah. Edible film dari komposit (gabungan hidrokoloid dan
lipid) dapat meningkatkan kelebihan dari film hidrokoloid dan lipid, serta
mengurangi kelemahannya (Downhowe & Fennema, 1994).

14

BAB III
PENUTUP

Edible film adalah lapisan tipis sebagai pengemas bahan makanan yang dapat
dimakan. Penggunaan edible film dengan kemampuannya sebagai penghambat uap
air, lemak, dan O2 di dalam setiap sistem pangan diharapkan dapat mengurangi
timbulnya sampah dari bahan pengemas, Edible film juga berfungsi untuk
menghambat perpindahan larutan, memperbaiki sifat mekanik makanan, melindungi
senyawa flavor volatil, dan sebagai pembawa bahan aditif pada makanan. Selain itu,
edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran
yang terbuat dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumya baik digunakan
sebagai penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible film yang terbuat
dari protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik. Komponen
penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: hidrokoloid, lipida, dan
komposit. Edible film bisa digunakan pada semua produk, tidak hanya produk
pascapanen pertanian, namun juga produk permen, coklat maupun dodol. Edible
memiliki kelebihan yaitu bisa dimakan, terbuat dari bahan alami, ramah lingkungan,
harganya murah, memperpanjang umur simpan, mengurangi risiko pertumbuhan
bakteri patogen pada permukaan makanan, mempertahankan kualitasmakanan dengan
cara menahan perpindahan aroma, gas, dan air. Selain keunggulan, edible
coating/film memiliki kelemahan. Film dari bahan seperti pati misalnya, mudah
rusak/sobek karena resistensinya yang rendah terhadap air dan mempunyai sifat
penghalang yang rendah terhadap uap air karena sifat hidrofilik dari pati

15

DAFTAR ISI
Al

Awwaly, Khotibul Umam, dkk. 2010. Jurnal Universitas Brawijaya


(Pembuatan Edible Film ProteinWhey: Kajian Rasio Protein dan Gliserol
Terhadap Sifat Fisik dan Kimia).

ASTM 1983. Standard Test Method for Water Vapor Transmission Rate of Material
(E96). Annual Book of ASTM Standard. Philadelphia : American Society for
Testing and Material.
Bourtoom T 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible
Film Prepared From Starch. Songkhala : Department of Material Product
Technology.
Christina W, Miskiyah dam Widaningrum 2011. Teknologi Produksi dan Aplikasi
Pengemas Edible Antimikroba Bebasis Pati. Jurnal Litbang Pertanian. 31(3) :
85-93.
Donhowe G, Fennema O 1994. Edible film and coating: Characteristic, formation,
definitions and testing methods. In Krochta, J.M., Baldwin, E.A. and
Nisperos-Carriedo, M.O. (eds.). Edible Coating and Film to Improve Food
Quality. Technomic Publ. Co. Inc. Lancaster, Pennsylvania. 378 pp.
Fennema O.R 1976. Principle of Food Science. New York : Marcel Dekker Inc.
Garcia N L, Ribbon, Dufresne, Aranguren, Goyanes 2011. Effect of glycerol on the
morphology of nanocomposites made from thermoplastic starch and starch
nanocrystals. Carbohydrate Polymers 84(1): 203210.
Gontard, Guilbert, Cuq JL 1993. Water and glycerol as plasticizer effect mechanical
and water vapor barrier properties of an edible wheat gluten film. J. Food. Sci.
58(1): 206210.
Hui Y.H 2006. Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume I.
USA : CRC Press.
Khamir_Yeast , 2010. Artikel Ilmu Dan Teknologi Pangan Gizi Dan Farmasi cara
membuat edible film, edible film, edible film dari pektin, ekstraksi
pektin, pembuatan
edible
film, wrapping
edible
film.
https://yisluth.wordpress.com/2010/12/17/review-lengkap-tentang-edible-filmpembuatannya-dari-bubuk-pektin-cincau-dan-aplikasinya/. Diakses tanggal
26 November 2015
Krocht J M dan Johnston C D M 1997. Edible and biodegredible polimer films. J.
Food Technology. 51(2):61

Krochta, J. M., E. A. Baldwin, dan M. O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating


and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company,New
York, NY.
McHugh TH, Krochta 1994. Permeability properties of edible films. In Krochta, J.M.,
Baldwin, E.A. and Nisperos-Carriedo, M.O. (eds.). Edible Coating and Film
to Improve Food Quality. Lancaster-Basel.p. 139187.
Quintavalla, S. and L. Vicini. 2002. Antimicrobial Food Packaging In Meat Industry.
Meat Sci. 62: 373380.
Rojas-Grau, M.S Tapia, F.D Rodriguez, A.J Carmona 2007. Alginate and gellan
based edible coatings as support of antibrowning agent applied on fresh cut
Fuji apple. Food Hydrocolloids 21 : 118-127.
Wong, W. S.; Camirond, W. M.; Pavlath, A. E., 1996. Structures and functionality of
milk proteins. Critical Reviews in Food Science and Nutrition, v.36, n.8, p.
807-844

Anda mungkin juga menyukai