Oleh :
Azelia Talitha M.
(H3513008)
Egydia Narera D.
(H3513012)
Miftahurrohmah S. (H3513027)
Puput Suraningtyas (H3513033)
Rehan Pradipta W. (H3513034)
Risti Setiyorini
(H3513037)
Tabliqiyah K
(H3513044)
BAB I
LATAR BELAKANG
Pada umumnya bahan makanan sagat sensitif dan mudah mengalami kualitas
karena adanya pengaruh lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan
kualitas tersebut dapat dipercepat dengan adanya oksigen, temperatur dan cahaya.
Salah satu cara untuk mencegah penurunan kualias tersebut maka diperlukan suatu
pengemasan yang tepat terhadap bahan makanan. Pengemasan makanan berguna
untuk mempertahankan dan melindungi produk atau makanan hingga sampai ke
tangan konsumen dengan kualitas yang masih baik dan keamanannya dapat
dipertahankan. Beberapa bahan pengemas makanan antara lain plastik, kertas, logam,
dan kaca.
Beberapa bahan pengemas memiliki karakteristik, keunggulan dan kelemahan
yang
berbeda
pula.
mempertimbangkan
Penggunaan
kondisi
ekonomis,
bahan
pengemas
keamanan
bahan
makanan
dan
dengan
perlindungan
pengawetan yang baik bagi makanan. Penggunaan bahan kemasan sintetis dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan suatu kemasan yang
ramah lingkungan, aman bagi kesehatan dan memiliki kemampuan melindungi
makanan secara baik dalam waktu yang relatif lama. Dewasa ini, banyak penelitian
tentang suatu bahan yang dapat memenuhi persyaratan bahan kemasan yang baik dan
aman yaitu bahan kemasan edible film.
Penggunaan kemasan edible film, selain dapat mempertahankan kualitas produk
yang lebih baik dan memperpanjang daya tahan, juga dapat merupakan bahan
pengemas yang ramah lingkungan. Edible film memberikan alternatif bahan
pengemas yang tidak berdampak pada pencemaran lingkungan karena menggunakan
bahan yang dapat diperbaharui dan harganya murah (Bourtoom 2007). Selain itu,
pengemas edible film juga memiliki kelebihan lain yaitu dapat menghambat,
menghentikan dan mengurangi atau memperlambat pertumbuhan mikroorganisme
patogen pada makanan dan bahan kemasan. Polimer sintetis yang digunakan dalam
hal ini adalah pati. Seperti yang dijelaskan Rojas-Grau et al (20009), berbagai
penelitian menunjukkan bahwa edible coating/film dapat berfungsi sebagai pembawa
(carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens antipencoklatan, antimikroba,
pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu.
Pengaplikasian edible film pada produk makanan bukan merupakan konsep
yang baru dan telah lama dipelajari secara ekstensif. Penerapan edible film dapat
memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas dari berbagai produk
makanan (Hui 2006). Penggunaan bahan-bahan alami dalam pengemas edible film
berbahan baku polimer alami akan mengurangi limbah plastik yang berasal dari
polimer sintetis sehingga mengurangi kerusakan lingkungan (Christina et al 2011).
Polimer yang dipakai untuk pembuatan edible film misalnya polisakarida seperti pati,
selulosa serta turunannya, gum, kitosan dan xanthan. Materi polimer untuk edible
film yang paling potensian dan sudah banyak penelitian yang dikembangkan adalah
yang berbasis pati-patian. Selain itu, pengemas edible film dapat digunakan untuk
pengemas buah, pengemas produk makanan misalnya dodol, coklat maupun permen,
dan juga untuk pengemas sosis daging sapi.
BAB II
ISI
A. Pengertian Edible/Coating Film
Menurut Arpah (1997) dikutip Christina (2008), edible packaging pada bahan
pangan pada dasarny dibagi 3 jenis bentuk yaitu edible film, edible coating, dan
enkapsulasi. Hal yang membedakan edible film dan edible coating adalah cara
pengaplikasiannya. Sedangkan edible film pembentukannya tidak secara langsung
dibentuk pada produk yang akan dilapiri/dikemas. Enkapsulasi adalah edible
packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible
film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas
atau di antara komponen makanan (Hui 2006).
Edible film adalah lapisan tipis sebagai pengemas bahan makanan yang dapat
dimakan. Penggunaan edible film dengan kemampuannya sebagai penghambat uap
air, lemak, dan O2 di dalam setiap sistem pangan diharapkan dapat mengurangi
timbulnya sampah dari bahan pengemas (McHugh dan Krochta, 1994). Edible film
juga berfungsi untuk menghambat perpindahan larutan, memperbaiki sifat
mekanik makanan, melindungi senyawa flavor volatil, dan sebagai pembawa
bahan aditif pada makanan. Selain itu, edible film yang terbuat dari lipida dan juga
film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau
polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap
air dibandingkn dengan edible film yang terbuat dari protein dan polisakarida
dikarenakan lebih bersifat hidrofobik (Hui, 2006).
Pembuatan edible film bahan baku yang digunakan memiliki fungsi dan
keunggulan tertentu. Salah satu contohnya yaitu film dari bahan polisakarida dan
protein yang dapat menghambat perpindahan gas, sehingga efektif untuk
mencegah oksidasi lemak. Komponen volatil yang hilang atau yang diserap oleh
produk dapat diatur dengan melakukan pelapisan edible coating atau film
(Hui 2006).
struktur
film
agar
tidak
mudah
hancur
penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan
bersifat nontoksik (Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat
membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein
kacang, keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey susu, karena
sifat dari protein tersebut yang mudah membentuk film. Albumin telur dapat
digunakan sebagai bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan
dengan gluten gandum, dan protein kedelai (Gennadios, McHugh, Weller, dan
Krochta, 1994 dalam Krochta et. al.,1994).
2. Lipida
Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap air,
atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang
gula. Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan
menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik (Dohowe dan Fennema,
1994 dalam Krochta et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak
tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai
cabang, dan polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film antara
lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak,
monogliserida, dan resin (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Jenis lilin
yang masih digunakan hingga sekarang yaitu carnauba. Alasan mengapa lipida
ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat hidrofobik
(Hernandez, 1994 dalam Krochta et. al., 1994).
3. Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari
komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat
berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan
dari hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari
komponen lipida dan hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan
6
terhadap penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film
gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi
buah-buahan dan sayuran yang telah diolah minimal (Dohowe dan Fennema,
1994 dalam Krochta et. al., 1994).
C. Bahan Tambahan Edible Film
Perkembangan edible film atau yang dikenal sebagai bahan pelapis dari suatu
produk
pangan
akhir-akhir
ini
mengalami
kemajuan
dengan
pesat.
Penelitian edible film yang pada awalnya diutamakan formulasi film dan sifat
fisik, sekarang telah meningkat sampai kemungkinan struktur film mempengaruhi
sifat film. Kemungkinan edible film sebagai agen pembawa bahan tambahan
seperti antimikroba yang dapat meningkatkan masa simpan produk dan
mengurangi risiko pertumbuhan bakteri patogen pada permukaan makanan juga
semakin berkembang. Edible film biasanya dibentuk dengan bahan dasar protein,
polisakarida, dan lemak yang sangat berpotensi untuk meningkatkan kualitas
pangan dan mengurangi penggunaan bahan pengemas. Formulasi film biasanya
terdiri atas 3 komponen besar yaitu polimer dengan berat molekul tinggi,
plasticizer dan pelarut. Berikut adalah bahan tambahan yang biasa digunakan
untuk edible film:
a. Gliserol
Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai
jenis
tambahan atau aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa
komponen bukan plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer,
penstabil pangan, pewarna, enyerap UV dan lain-lain. Bahan itu dapat berupa
senyawa organik maupun anorganik yang biasanya mempunyai berat molekul
rendah. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang diberikan pada waktu
proses agar plastik lebih halus dan luwes. Fungsinya untuk memisahkan
bagian-bagian dari rantai molekul yang panjang. Plasticizer adalah bahan non
volatile dengan titik didih tinggi yang apabila ditambahkan ke dalam bahan
lain akan merubah sifat fisik dan atau sifat mekanik dari bahan
7
gliserol
sebagai plasticizerdan
konsentrasinya
meningkatkan
fleksibilitas film.
Molekul plasticizer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan
interaksi intermolekul dan meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya
menyebabkan peningkatan elongasi dan penurunan Tensile strength seiring
dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi intermolekul
dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap
air. Plasticizer menurunkan gaya inter molekuler dan meningkatkan mobilitas
ikatan polimer sehingga memperbaiki fleksibilitas dan extensibilitas film.
Ketika gliserol menyatu, terjadi beberapa modifikasi struktural di dalam
jaringan pati, matriks film menjadi lebih sedikit rapat dan di bawah tekanan,
bergeraknya rantai polimer dimudahkan, meningkatkan fleksibilitas film tanpa
plasticiser amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan suatu
struktur yang bifasik dengan satu daerah kaya amilosa dan amilopektin.
Interaksi-interaksi
antara
molekul-molekul
amilosa
dan
amilopektin
mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku.
Keberadaan
dari plasticizer di
dalam
film
pati
bisa
menyela
polimer yang lebih besar dan stabil. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu
mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam
berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum
atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga
mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna
putih.
Edible film dari tapioka memiliki sifat mekanik yang hampir sama dengan
plastik dan kenampakannya trasparan. Tepung tapioka meskipun dibuat dari
bahan (singkong) dengan kandungan unsur gizi yang rendah, namun masih
memiliki unsur gizi. Tepung tapioka tidak termasuk di dalam golongan
amilopektin, namun tepung tapioka memiliki sifat-sifat yang sangat mirip
dengan amilopektin. Sifat-sifat tepung tapioka tersebut adalah :
1. Sangat jernih. Dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan
kenampakkan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat
mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir.
2. Tidak mudah menggumpal. Pada suhu normal, pasta dari amilopektin
tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras
3. Memiliki daya pemekat yang tinggi. Karena kemampuannya untuk
mudah pekat, maka pemakaian pati dapat dihemat.
4. Tidak mudah pecah atau rusak. Pada suhu normal atau lebih rendah,
pasta tidak mudah kental dan pecah (retak-retak). Dibandingkan
dengan pati biasa, stabilitas amilopektin pada suhu amat rendah juga
lebih tinggi.
5.
10
penghambatan uap air. Pada kondisi kandungan uap air yang tinggi, film
akan menyerap uap air dari lingkungannya.
c. CaSO4
Untuk memperbaiki mutu gel cincau dapat ditambahkan bahan pengikat,
antara lain pati, agar dan CaSO4. Penggunaan pati dengan konsentrat 0,1 %
dari air pengekstrak; atau penambahan agar 0,02 % dari air pengekstrak; atau
penambahan CaSO4 dengan konsentrasi 0,05 % dari bubuk daun cincau
kering akan menghasilkan gel yang baik; baik untuk bubuk daun cincau
kering jemur maupun kering oven.
D. Edible Film sebagai Pengemas Suatu Produk
Penambahan edible film pada produk pascapanen sangat berpengaruh untuk
umur simpan suatu produk. Edible film ini biasanya dilakukan dengan cara
pencelupan, pelapisan (wrapping) atau penyemprotan, selanjutnya bahan
dikeringanginkan dan disimpan. Edible film ini biasanya diaplikasikan pada buahbuahan seperti apel, anggur, papaya, jambu biji, dan belimbing. Penambahan
edible film juga dapat menghindari produk dari kerusakan mikrobia, hal ini sesuai
dengan pernyataan Quintavalla dan Vicini( 2002) yang menyatakan bahwa Edible
film yang bersifat antimikroba berpotensi dapat mencegah kontaminasi patogen
pada berbagai bahan pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan,
sayuran). Kombinasi antimikroba dengan pengemas film untuk mengendalikan
pertumbuhan mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan
memperbaiki mutu pangan.
Zaman semakin berkembang dan penggunaan edible film juga semakin
beragam, yang awalnya hanya bisa di aplikasikan pada buah-buahan namun
sekarang sudah bisa di aplikasikan sebagai Pembungkus primer permen (permen
susu)dan sebagai pengganti pembungkus kapsul , hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh sari dewi anggraeni (2002) yang menyatakan bahwa edible
film yang dihasilkan cukup baik dari segi organoleptic dan sifat mekanik dan
kimianya, sehingga layak untuk digunakan sebagai pengemas primer produk
11
permen ( contohnya permen susu). Formulasi dari permen perlu ditambahkan atau
dimodifikasi untuk meningkatkan fleksibilitasnya dan menurunkan laju transmisi
uap airnya, sehingga menghasilkan barrier yang lebih baik untuk melindungi
produk tersebut dari kerusakan.
Edible film bisa digunakan pada semua produk, tidak hanya produk
pascapanen pertanian, namun juga produk permen, coklat maupun dodol. Hal ini
sesuai
dengan
pernyataan
krochta
(1997)
Yang
mengatakan
bahwa
pengembangan rumput laut jennies Gracilaria Sp. Sebagai bahan kemasan pelapis
permen yang prosesnya diaplikaikan dari pembuatan agar-agar kertas, dan bersifat
edible film atau dapat dimakan, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan
produsen terhadap pemakaian bahan plastic sebagai bahan pengemas untuk pelapis
permen, serta menambah cita rasa pada permen tersebut. Selain itu juga dapat
digunakan sebagai pengemas makanan semi basah seperti dodol, pengemas bumbu
mie instan, pelapis coklat, sosis, buah-buahan dan sayur-sayuran. Bahan kemasan
ini aman terhadap lingkungan dan dapat mempertahankan kualitas produk pangan
dari segi gizi, warna, aroma, rasa, dan penampakan.
Edible coating yang diaplikasikan pada sosis daging sapi dengan formula
kombinasi chitosan-ekstrak daun jati lebih efektif dalam menghambat kerusakan
mikrobiologis dan oksidatif sosis daging sapi selama penyimpanan Hal ini
menunjukkan adanya efek sinergistik antara chitosan dan ekstrak daun jati dalam
menghambat kerusakan mikrobiologis dan oksidatif sosis daging sapi.
E. Pengujian Edible Film
Penggunaan edible film yang telah beragam sebelum dipasarkan terlebih
dahulu melalui proses uji ketahanan. Uji ketahanan ini dimaksud agar edible film
sebagai pengemas produk tidak mudah cepat rusak, sehingga keunggulan edible
film dari bahan lainnya dapat dirasakan. Uji ketahanan edible film terhadap
pengaruh kelembaban udara lingkungan (RH). Percobaan satu faktor, dengan
rancangan dasar RAKL. Perlakuan terdiri atas 65, 75, 85 dan 95% RH pada suhu
ruang. Pengujian dilaku-kan pada pengamatan awal dan akhir penyim-panan.
12
Pengamatan yang dilakukan terhadap karakteristik edible film, yamg meliputi: Aw,
metode Aw meter (ASTM,1983) dan kuat tarik film (ASTM, 1983). Kondisi RH
lingkungan
penyimpanan
terbaik,
kemudian
digunakan
untuk
aplikasi
Menurut
Downhowe
&
Fennema
(1994),
beberapa
uji
telah
Edible memiliki kelebihan yaitu bisa dimakan, terbuat dari bahan alami,
ramah lingkungan, harganya murah, memperpanjang umur simpan, mengurangi
risiko
pertumbuhan
bakteri
patogen
pada
permukaan
makanan,
baik
apabila edible
film tersebut
ditambahkan
senyawa
antimikroorganisme.
Water
vapor
permeability (WVP)
merupakan
kemampuan edible
film dalam menjaga kandungan air dalam produk agar tidak menguap.
13
film berbahan
pertumbuhan Listeria
protein
monocytogenes pada
whey
hot
mampu
dog
menghambat
selama
42
hari
penyimpanan dingin. Hal ini menunjukan bahwa kelebihan dan inovasi dari
edible film sangat banyak.
2. Kekurangan
14
BAB III
PENUTUP
Edible film adalah lapisan tipis sebagai pengemas bahan makanan yang dapat
dimakan. Penggunaan edible film dengan kemampuannya sebagai penghambat uap
air, lemak, dan O2 di dalam setiap sistem pangan diharapkan dapat mengurangi
timbulnya sampah dari bahan pengemas, Edible film juga berfungsi untuk
menghambat perpindahan larutan, memperbaiki sifat mekanik makanan, melindungi
senyawa flavor volatil, dan sebagai pembawa bahan aditif pada makanan. Selain itu,
edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran
yang terbuat dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumya baik digunakan
sebagai penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible film yang terbuat
dari protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik. Komponen
penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: hidrokoloid, lipida, dan
komposit. Edible film bisa digunakan pada semua produk, tidak hanya produk
pascapanen pertanian, namun juga produk permen, coklat maupun dodol. Edible
memiliki kelebihan yaitu bisa dimakan, terbuat dari bahan alami, ramah lingkungan,
harganya murah, memperpanjang umur simpan, mengurangi risiko pertumbuhan
bakteri patogen pada permukaan makanan, mempertahankan kualitasmakanan dengan
cara menahan perpindahan aroma, gas, dan air. Selain keunggulan, edible
coating/film memiliki kelemahan. Film dari bahan seperti pati misalnya, mudah
rusak/sobek karena resistensinya yang rendah terhadap air dan mempunyai sifat
penghalang yang rendah terhadap uap air karena sifat hidrofilik dari pati
15
DAFTAR ISI
Al
ASTM 1983. Standard Test Method for Water Vapor Transmission Rate of Material
(E96). Annual Book of ASTM Standard. Philadelphia : American Society for
Testing and Material.
Bourtoom T 2007. Effect of Some Process Parameters on The Properties of Edible
Film Prepared From Starch. Songkhala : Department of Material Product
Technology.
Christina W, Miskiyah dam Widaningrum 2011. Teknologi Produksi dan Aplikasi
Pengemas Edible Antimikroba Bebasis Pati. Jurnal Litbang Pertanian. 31(3) :
85-93.
Donhowe G, Fennema O 1994. Edible film and coating: Characteristic, formation,
definitions and testing methods. In Krochta, J.M., Baldwin, E.A. and
Nisperos-Carriedo, M.O. (eds.). Edible Coating and Film to Improve Food
Quality. Technomic Publ. Co. Inc. Lancaster, Pennsylvania. 378 pp.
Fennema O.R 1976. Principle of Food Science. New York : Marcel Dekker Inc.
Garcia N L, Ribbon, Dufresne, Aranguren, Goyanes 2011. Effect of glycerol on the
morphology of nanocomposites made from thermoplastic starch and starch
nanocrystals. Carbohydrate Polymers 84(1): 203210.
Gontard, Guilbert, Cuq JL 1993. Water and glycerol as plasticizer effect mechanical
and water vapor barrier properties of an edible wheat gluten film. J. Food. Sci.
58(1): 206210.
Hui Y.H 2006. Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume I.
USA : CRC Press.
Khamir_Yeast , 2010. Artikel Ilmu Dan Teknologi Pangan Gizi Dan Farmasi cara
membuat edible film, edible film, edible film dari pektin, ekstraksi
pektin, pembuatan
edible
film, wrapping
edible
film.
https://yisluth.wordpress.com/2010/12/17/review-lengkap-tentang-edible-filmpembuatannya-dari-bubuk-pektin-cincau-dan-aplikasinya/. Diakses tanggal
26 November 2015
Krocht J M dan Johnston C D M 1997. Edible and biodegredible polimer films. J.
Food Technology. 51(2):61