Prolapsus Genitalia
Prolapsus Genitalia
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prolapsus genitalia yaitu turunnya organ genital ke dalam introitus vagina
bahkan bisa hingga keluar dari introitus vagina disebabkan karena lemahnya
ligamentum dan otot-otot penyokong organ genital. Prolapsus genitalia dapat
berupa uretrokel, uretrovesikokel, vesikokel (sistokel), prolapsus uteri,
enterokel dan rektokel (Junizaf, 2002).
Prolapsus uteri adalah pergeseran letak uterus ke bawah sehingga seviks
berada didalam introitus vagina hingga berada diluar introitus atau
keseluruhan uterus berada diluar introitus vagina. Telah banyak dilakukan
penelitian dan diketahui bahwa faktor presdisposisi untuk terjadinya
prolapsus uteri adalah melahirkan karena adanya trauma pada saat persalinan
yang menyebabkan melemahnya otot-otot dan ligamentum penyokong uterus
(Junizaf, 2007).
Studi di Amerika Serikat dengan 16000 pasien menunjukkan frekuensi
prolapsus uteri sebesar 14,2%. Rata-rata usia dilakukannya tindakan bedah
untuk prolapsus uteri adalah 54,6 tahun. Perbedaan frekuensi berdasarkan ras
atau suku bangsa dimungkinkan berhubungan dengan faktor genetik. Sekitar
lebih dari 50% prolapsus uteri paling sering terjadi pada wanita yang sudah
lebih dari sekali melahirkan (multipara) (DeLancey, 2003).
Di Indonesia pendataan prolapsus uteri masih dikelompokkan menjadi
prolapsus genital, dari data rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
pada tahun 1995-2000 telah dirawat 240 kasus prolapsus genitalia. Kasus
tersebut adalah kasus prolasus genitalia yang telah menimbulkan keluhan dan
memerlukan penanganan. Pada penelitian yang dilakukan Djafar Siddik tahun
1968-1970 diperoleh kasus prolapsus genitalia sebesar 65 kasus dari 5371
kasus ginekolgi di rumah sakit Dr. Pringadi Medan, 69% dari temuan kasus
tersebut adalah wanita dengan umur 40 tahun. Sedangkan di rumah sakit
Jamil Padang didapatkan 94 kasus selama kurun waktu 5 tahun (1993-1998)
dan 40,03% terjadi pada wanita dengan grandemultipara (Junizaf, 2002;
Erman, 2001).
Penelitian tahun 1999-2003 yang dilakukan oleh Amir Fauzi dan K.
Anhar telah menjadi lebih spesifik terhadap kejadian prolapsus uteri di
Indonesia dan pada penelitiannya menemukan 43 kasus prolapsus uteri di
rumah sakit Mohd. Hoesin Palembang. Kasus terbanyak yaitu 29 kasus
prolapsus uteri didapatkan pada penderita dengan grandemultipara (47,44%),
dan 14 kasus lainnya pada penderita dengan multipara (32,56%) (Erman,
2001; Junizaf, 2002; Kemas, 2003). Penelitian terbaru yang dilakukan oleh
Said Alfin K pada rumah sakit Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh menemukan
bahwa dari total 2163 pasien ginekologi yg dirawat di RSUZDA dari tahun
2007-2010, 71 diantaranya merupakan penderita prolapsus uteri (Said, 2011).
Walaupun sudah dlakukan di beberapa kota di Indonesia tetapi belum
terdapat penelitian tentang kejadian prolapsus uteri di wilayah kerja rumah
sakit Margono Soekarjo Purwokerto. Sehingga peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap hubungan antara kejadian prolapsus uteri
dengan paritas di rumah sakit Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari
- Desember 2011.
B. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara paritas dengan kejadian prolapsus uteri di RS
Margono Soekarjo Purwokerto periode 01 Januari 2007 31 Desember 2011
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara paritas dengan kejadian prolapsus uteri di
RS Margono Soekarjo Purwokerto periode 01 Januari 2007 31
Desember 2011.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat paritas penderita prolapsus uteri di RS
Margono Soekarjo Purwokerto periode 01 Januari 2007 31
Desember 2011.
b. Mengetahui jumlah kejadian prolapsus uteri di RS Margono
Soekarjo Purwokerto periode 01 Januari 2007 31 Desember 2011.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan dan khasanah ilmu dalam bidang
Obstetri dan Gynekologi terutama tentang kejadian prolapsus
uteri.
b. Menjadi sumber informasi dan data dasar khususnya tentang
kejadian Prolapsus uteri.
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Dapat dijadikan bahan atau bekal bagi tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan terutama dalam upaya pencegahan
berisi
fetus
pada
wanita
hamil
sejak
bulan
ketiga
(Wiknjosastro, 2007).
b. Pelvis minor, yaitu rongga di bawah apertura pelvis superior
tersebut.
1) Mempunyai pintu masuk panggul; apertura pelvis superior dan
pintu keluar; apertura pelvis inferior yang berupa 2 buah segitiga
levator
ani
ini
terbagi
menjadi
iliokoksigeus,
hiatus
genitalis,
dibentuk
oleh
aponeurosis
muskulus
ikat
di
parametrium,
dan
ligamentum-ligamentum
sakrouterinum
sinistrum
dan
dekstrum,
yakni
10
11
12
Lieutaudi bermuara kedua (atau lebih) ureter. Dasar kandung kencing ini
terfiksasi, tidak bergerak atau tidak mengembang seperti bagian atas yang
diliputi oleh serosa. Di septum septum vesiko-uretro-vaginale terdapat
fasia yang dikenal sebagian fasia Halban (Wiknjosastro, 2007).
Dinding kandung kencing mempunyai lapisan otot polos yang kuat,
beranyaman seperti anyaman tikar. Selaput kandung kencing di daerah
kandung kencing di daerah trigonum Lieutaudi licin dan melekat pada
dasarnya. Pada daerah kandung kencing dan bagian atas uretra terdapat
muskulus lissosfingter, terdiri atas otot polos, dan berfungsi menutup
jalan urine setempat (Wiknjosastro, 2007).
Uretra panjangnya 3,5-5 cm berjalan dari kandung kencing kedepan
di bawah dan belakang simfisis, dan bermuara di vulva. Pada wanita
yang berbaring arahnya kurang lebih horisontal. Di sepanjang uretra
terdapat muskulus sfingter. Yang terkuat adalah muskulus lissosfingter
dan muskulus rhabdosfingter. Yang terakhir ini adalah bagian dari
diafragma urogenitale (Wiknjosastro, 2007).
5. Rektum
Rektum berjalan melengkung sesuai dengan lengkungan os sakrum,
dari atas ke anus. Antara rektum dan uterus terbentuk ekskavasio
rektouterina, terkenal sebagai kavum Douglasi, yang diliputi oleh
peritoneum viserale. Dalam klinik rongga ini mempunyai arti penting:
rongga ini menonjol jika ada cairan (darah atau asites) atau ada tumor di
daerah tersebut. Dasar rongga tersebut terletak 5-6 cm di atas anus. Anus
ditutup oleh muskulus sfingter ani eksternus, diperkuat oleh muskulus
13
14
15
3. Patofisiologi
Persalinan per
vaginam
Trauma Obstetri
Usia dan
Menoupose
Berkurangnya kadar
hormon estrogen
Laserasi
Peregangan otot, fascia, dan
ligamentum dasar panggul
Prolapsus Uteri
16
International
Continence
Society
Terminology
17
[TVL2] cm).
The criteria for stage 0 are not met, but the most distal portion of the
Stage I
Stage
prolapse is > 1 cm above the level of the hymen (ie, its quantitation
value is < 1 cm).
The most distal portion of the prolapse is
1 cm proximal to or
II
distal to the plane of the hymen (ie, its quantitation value is
1 cm but
Stage
+1 cm).
The most distal portion of the prolapse is > 1 cm below the plane of
the hymen but protudes no further than 2 cm less than the total vaginal
III
[TVL2] cm).
Essentially, complete eversion of the total length of the lower genital
tract is demonstrated. The distal portion of the prolapse protrudes to at
least (TVL2) cm (ie, its quantitation value is
+[TVL2] cm).
Anamnesis
Gejala yang timbul akan diperberat saat berdiri atau berjalan
dalam waktu lama dan pulih saat berbaring. Pasien merasa lebih
18
nyaman saat pagi hari, dan gejala memberat saat siang hari karena
banyaknya aktifitas (DeLancey, 2003).
b.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan pelvis lengkap, termasuk
pemeriksaan rektovaginal untuk menilai tonus sfingter. Alat yang
digunakan adalah spekulum Sims atau spekulum standar tanpa bilah
anterior. Penemuan fisik dapat lebih diperjelas dengan meminta
pasien meneran atau berdiri dan berjalan sebelum pemeriksaan. Hasil
pemeriksaan fisik pada posisi pasien berdiri dan kandung kemih
kosong dibandingkan dengan posisi supinasi dan kandung kemih
penuh dapat berbeda 1-2 derajat prolaps. Prolaps uteri ringan dapat
dideteksi hanya jika pasien meneran pada pemeriksaan bimanual
(DeLancey, 2003).
Pemeriksaan fisik juga harus dapat menyingkirkan adanya
kondisi serius yang mungkin berhubungan dengan prolaps uteri,
seperti infeksi, strangulasi dengan iskemia uteri, obstruksi saluran
kemih dengan gagal ginjal, dan perdarahan. Jika terdapat obstruksi
saluran kemih, terdapat nyeri suprapubik atau pada pemeriksaan
perkusi kandung kemih berbunyi timpani. Jika terdapat infeksi, dapat
ditemukan discharge serviks purulen (DeLancey, 2003).
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai prolapsus uteri menurut Junizaf.
2007 adalah:
a. Keratinisasi mukosa vagina dan porsio uteri.
19
(inversio), karena itu mukosa vagina dan serviks uteri menjadi tebal
serta berkerut dan berwarna keputih-putihan.
b. Dekubitus.
Jika serviks uteri terus ke luar dari vagina maka ujungnya bergeser
dengan paha pada pakaian dalam, sehingga hal ini dapat
menyebabkan luka dan radang yang lambat laun dapat menjadi ulkus
yang disebut ulkus dekubitus. Dalam keadaan demikian perlu
dipikirkan kemungkinan suatu keganasan, lebih-lebih pada penderita
yang berusia lanjut. Pemeriksaan sitologi biopsi perlu dilakuakan
untuk mendapatkan kepastian akan adanya proses keganasan
tersebut.
c. Hipertrofi serviks uteri dan elongasio kolli.
Jika serviks uteri turun ke dalam vagina sedangkan jaringan penahan
dan penyokong uterus masih kuat maka akibat tarikan ke bawah di
bagian uterus yang turun serta karena pembendungan pembuluh
darah, maka serviks uteri mengalami hipertrofi dan menjadi panjang
pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli. Hipertrofi
ditentukan dengan pemeriksaan pandang dan perabaan. Pada
elongasio kolli serviks uteri pada perabaan lebih panjang dari
biasanya.
d. Gangguan miksi dan stress inkontinensia.
Pada prolapsus uteri tutunnya uterus dapat mengakibatkan
penyempitan pada ureter sehingga dapat menyebabkan terjadinya
hidroureter dan hidronefrosis.
e. Infeksi saluran kencing.
Adanya retensi air kencing akan mudah menimbulkan infeksi.
Sistitis yang terjadi dapat meluas ke atas dan dapat menyebabkan
pielitis dan pielonefritis yang akhirnya keadaan tersebut dapat
menyebabkan gagal ginjal.
f.Infertilitas..
20
Serviks uteri yang turun sampai dekat pada introitus vagina atau
sama sekali ke luar dari vagina sehingga tidak akan mudah terjadi
kehamilan
g. Kesulitan pada waktu persalinan.
Jika wanita dengan prolapsus uteri hamil maka pada waktu
persalinan dapat menimbulkan kesulitan dikala pembukaaan
sehingga kemajuan persalinan jadi terhalang
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanan pada prolapsus uteri bersifat individual, terutama
pada mereka yang telah ditemukan gejala yang menimbulkan keluhan
dan pada pasien prolapsus uteri dengan komplikasi, namun secara umum
penatalaksanan dengan kasus ini terdiri dari dua cara yakni konservatif
dan operatif (Junizaf, 2007; Decherrney, 2007; Schorge, 2008).
a. Pengobatan Konservatif
Pengobatan cara ini tidak seberapa memuaskan tetapi cukup
membantu para penderita dengan prolapsus uteri. Cara ini biasanya
diberikan pada penderita prolapsus ringan tanpa keluhan, pada
penderita yang masih ingin mendapatkan anak lagi, penderita yang
menolak untuk melakukan tindakan operasi dan pada kondisi yang
tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi (Junizaf,
2007).
Tindakan yang dapat diberikan pada penderita antara lain,
adalah:
1) Latihan-latihan otot dasar panggul.
Latihan ini sangat berguna pada penderita prolapsus uteri
ringan terutama yang terjadi pada penderita pasca persalinan
21
mengeluarkan
menghentikannya
air
(Decherrney,
kencing
dan
2007;
Moeloek,
tiba-tiba
2005;
DeLancey, 2003).
2) Stimulasi otot-otot dengan alat listrik.
Kontraksi otot-otot dasar panggul dapat pula ditimbulkan
dengan alat listrik, elektrodenya dapat dipasang di dalam
pessarium yang dimasukkan ke dalam liang vagina (Moeloek,
2005; DeLancey, 2003; Junizaf, 2007).
3) Pengobatan dengan pessarium.
Pengoabatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat
paliatif saja, yakni menahan uterus ditempatnya selama alat
tersebut digunakan. Oleh karena itu jika pessarium diangkat
maka timbul prolapsus kembali. Prinsip pemakaian pessarium
ialah bahwa alat tersebut mengadakan tekanan pada dinding
vagina bagian atas sehingga bagian dari vagina tersebut beserta
uterus tidak dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Jika
pessarium terlalu kecil atau dasar panggulnya terlalu lemah
22
dari
beberapa
faktor,
seperti
umur
penderita,
23
2. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari
satu kali dan kurang dari lima.
3. Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 anak atau lebih
(Varney, 2006).
D. Hubungan Paritas dengan Prolapsus Uteri
Prolapsus uteri terdapat dalam berbagai tingkatan, dari yang paling
ringan sampai prolapsus uteri totalis. Terutama akibat persalinan, khususnya
persalinan per vaginam yang susah dan terdapatnya kelemahan-kelemahan
ligamentum dan otot yang tergolong dalam fascia endopelvis dan fascia dasar
panggul (Decherrney AH, 2007; Junizaf, 2007).
Proses persalinan pervaginam meneyebabkan peregangan dan robekan
ligamentum dan otot-otot pada dasar panggul. Proses persalinan per vaginam
yang berulang kali (lebih dari empat kali) dan terjadi terlampau sering merupakan
faktor utama dan merupakan penyebab paling signifikan dari terjadinya prolaps
uteri pada wanita. Kelainan prolapsus ini dapat menimbulkan gejala ataupun tanpa
menimbulkan gejala tergantung pada beratnya kelainan itu sendiri, ini juga yang
menjadikan salah satu faktor atas indikasi dilakukannya tindakan operatif pada
kasus prolapsus uteri. Selain faktor tersebut masih terdapat beberapa faktor lain
seperti umur penderita, keinginan untuk masih mendapatkan anak dan atau untuk
mempertahankan uterus (Smith, 1989; Norton, 1990; Junizaf, 2007).
24
E. Kerangka Teori
Genetik dan Ras
Massa intraabdominal, berupa cairan (acites), dan atau padat (tumor)
Usia dan Menopause
Batuk kronis dan berulang
Sering mengangkat
berat
Kejadian Prolapsus U
Tekanan intraabdomen
PPOK
Primipara
Multiparitas
Paritas
Grande Multipara
Skema 2.2. Kerangka Teori Penelitian
F. Kerangka Konsep
Paritas
Prolapsus Uteri
25
26
penelitian
ini
menggunakaan
rancangan
analitik
27
n1=n2 =
(Z 2 PQ+ Z P 1Q 1+ P2 Q 2)
2
( P 1P 2)
2
n1=n2=
n1=n2=
0,35
1,922
0,1225
n1=n2= 30,093
Keterangan :
n = Jumlah minimal sampel penelitian
Z = Standar deviasi normal dengan derajat kemaknaan 95%
(1,96)
Z = Kekuatan penelitian (80%) =0,842
OR = Odd Ratio = 5,667
P2 = Proporsi untuk sifat tertentu yang diperkirakan terjadi pada
populasi 50% (0,5)
( ) P2
P1 = ( )
P 2+ ( 1P 2 )
(P 1+P 2)
P=
2
Q =1P
Sampel penelitian yang diambil memenuhi kriteria berikut:
a. Kriteria inklusi untuk kelompok kasus
1) Pernah melahirkan secara per vaginam.
2) Sudah dilakukan tindakan operatif berupa histerektomi
b. Kriteria inklusi kelompok kontrol
1) Pernah melahirkan secara per vaginam.
2) Tidak terdiagnosis prolapsus uteri.
c. Kriteria eksklusi kelompok kasus
28
: Data sekunder
29
Skala
: Kategorikal, Nominal
Kategori
: Terjadi prolaps
Tidak terjadi prolaps
2. Paritas
Adalah seorang wanita yang pernah melahirkan keturunan secara per
vaginam yang mampu hidup tanpa memandang apakah anak tesebut
hidup pada saat lahir.
Sumber data
: Data sekunder
Skala
: Kategorikal, Ordinal
Kategori
: Primipara
Multipara
Grande Multipara
30
31