Anda di halaman 1dari 4

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

TINJAUAN PUSTAKA

Akreditasi IDI 3 SKP

Acne Vulgaris
Theresia Movita
Erha Clinic & Erha Apothecary, Kelapa Gading, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Acne vulgaris adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea, merupakan dermatosis polimorfik dan memiliki
peranan poligenetik. Patogenesis acne meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular, produksi sebum berlebihan, inflamasi,
dan aktivitas P. acnes. Gejala klinis acne berupa lesi noninflamasi dan lesi inflamasi. Derajat berat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi dapat
digolongkan menjadi acne ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Androgen berperan penting tetapi derajat acne tidak berkorelasi dengan
kadar androgen serum. Pemilihan terapi acne secara topikal dan/atau oral, bergantung pada derajat acne, distribusi lesi, derajat inflamasi, lama
sakit, respons terapi sebelumnya, dan efek psikososial. Merokok dan produk olahan susu memiliki peranan pada acne.
Kata kunci: acne, patogenesis, gambaran klinis, pengobatan, merokok, produk olahan susu

ABSTRACT
Acne vulgaris is a chronic obstructive and inflammative dermatosis in pilosebasea unit. It is a polymorphic dermatosis and has polygenetic
influence. Pathogenesis of acne are follicular hyperproliferation, excessive sebum production, inflammation, and P. acnes activities. Clinical
manifestation of acne are noninflammative and inflammative lessions. Based on type and number of lesions, acne classified as mild, moderate,
severe, and very severe acne. Androgen has important role but acne severity is not correlated with serum androgen level. Choice of treatment,
topical and/or oral treatment, depends on acne severity, distribution of lesions, inflammation severity, duration of illness, previous treatment
respons, and psychosocial effect. Theresia Movita. Acne Vulgaris Clinical Aspects.
Key words: acne, pathogenesis, clinical findings, treatment, smoking, dairy product

PENDAHULUAN
Acne vulgaris atau jerawat, selanjutnya
disebut acne, adalah penyakit kulit obstruktif
dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea
yang sering terjadi pada masa remaja.1,2 Acne
sering menjadi tanda pertama pubertas dan
dapat terjadi satu tahun sebelum menarkhe
atau haid pertama.1 Onset acne pada
perempuan lebih awal daripada laki-laki
karena masa pubertas perempuan umumnya
lebih dulu daripada laki-laki.3 Prevalensi
acne pada masa remaja cukup tinggi, yaitu
berkisar antara 47-90% selama masa remaja.3
Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik
memiliki prevalensi acne tinggi, yaitu 37%
dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia
30%, Kaukasia 24%, dan India 23%.4 Pada ras
Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan
lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan
10% lesi komedonal. Tetapi pada ras Kaukasia,
acne komedonal lebih sering dibandingkan
Alamat korespondensi

acne inflamasi, yaitu 14% acne komedonal,


10% acne inflamasi.4
Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai
dari komedo, papul, pustul, hingga nodus dan
jaringan parut, sehingga disebut dermatosis
polimorfik dan memiliki peranan poligenetik.3
Pola penurunannya tidak mengikuti hukum
Mendel, tetapi bila kedua orangtua pernah
menderita acne berat pada masa remajanya,
anak-anak akan memiliki kecenderungan
serupa pada masa pubertas.3 Meskipun tidak
mengancam jiwa, acne memengaruhi kualitas
hidup dan memberi dampak sosioekonomi
pada penderitanya.3,5
PATOGENESIS
Patogenesis acne meliputi empat faktor,
yaitu hiperproliferasi epidermis folikular
sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi
sebum berlebihan, inflamasi, dan aktivitas

Propionibacterium acnes (P. acnes).1,6,7 Androgen


berperan penting pada patogenesis acne
tersebut.2,5 Acne mulai terjadi saat adrenarke,
yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan
dehidroepiandrosteron
sulfat,
prekursor
testosteron.5 Penderita acne memiliki kadar
androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal, meskipun
kadar androgen serum penderita acne
masih dalam batas normal.1 Androgen akan
meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan
merangsang produksi sebum, selain itu juga
merangsang proliferasi keratinosit pada duktus
seboglandularis dan akroinfundibulum.2,5
Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga
akibat penurunan asam linoleat kulit dan
peningkatan aktivitas interleukin 1 alfa.1,7 Epitel
folikel rambut bagian atas, yaitu infundibulum,
menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit
bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada
muara folikel rambut.1 Selanjutnya di dalam

email: th_movita@yahoo.com

CDK-203/ vol. 40 no. 3,


CDK-202/
4, th. 2013

269

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Tabel 1 Klasifikasi derajat acne berdasarkan jumlah dan tipe lesi10
Derajat

Komedo

Papul/pustul

Nodul, kista, sinus

Inflamasi

Jaringan parut

Ringan

<10

<10

Sedang

<20

>10 - 50

Berat

>20-50

>50-100

<5

++

++

+++

+++

Sangat berat
>50
>100
>5
(-) tidak ada, (+) bisa ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak sekali
Tabel 2 Algoritme internasional untuk pengobatan acne9
Derajat 1 (ringan)

Derajat II-III (sedang)

Derajat IV (berat)

Retinoid topikal

Retinoid topikal

Isotretinoin

Maintenance
Retinoid topikal

Benzoil peroksida atau


antibiotik topikal

Benzoil peroksida atau


antibiotik topikal

atau retinoid topikal,


antibiotik oral, terapi
hormon

Benzoil peroksida atau


antibiotik topikal

Antibiotik oral

GAMBARAN KLINIS
Acne paling banyak terjadi di wajah, tetapi
dapat terjadi pada punggung, dada, dan bahu.
Di badan, acne cenderung terkonsentrasi
dekat garis tengah tubuh. Penyakit ini ditandai
oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu
jenis lesi biasanya lebih mendominasi. Lesi
noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa
komedo terbuka (blackhead comedones)
yang terjadi akibat oksidasi melanin, atau
komedo tertutup (whitehead comedones).1,9
Lesi inflamasi berupa papul, pustul, hingga
nodus dan kista. 1,9 Scar atau jaringan parut
dapat menjadi komplikasi acne noninflamasi
maupun acne inflamasi. 1

Terapi hormon

Tabel 3 Efek terapeutik obat topikal10


Antikomedogenik

Antimikroba

Antiinflamasi

Asam salisilat

Benzoil peroksida

++

+
+

Antibiotik

++

Asam azaleat

Tretinoin

++

Isotretinoin

++

Tazaroten

++

Adapalen

++

Retinaldehid

(-) tidak ada efek, (+) dapat efektif, (+) cukup efektif, (++) efektif

folikel rambut tersebut terjadi akumulasi


keratin, sebum, dan bakteri, dan menyebabkan
dilatasi folikel rambut bagian atas, membentuk
mikrokomedo.1 Mikrokomedo yang berisi
keratin, sebum, dan bakteri, akan membesar
dan ruptur. Selanjutnya, isi mikrokomedo yang
keluar akan menimbulkan respons inflamasi.
Akan tetapi, terdapat bukti bahwa inflamasi
dermis telah terjadi mendahului pembentukan
komedo.1
Faktor keempat terjadinya acne adalah P.
acnes, bakteri positif gram dan anaerob yang
merupakan flora normal kelenjar pilosebasea.
Remaja dengan acne memiliki konsentrasi P.
acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa
acne, tetapi tidak terdapat korelasi antara
jumlah P. acnes dengan berat acne.1 Peranan P.
acnes pada patogenesis acne adalah memecah
trigliserida, salah satu komponen sebum,
menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi
kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi.1,7
Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding
sel P. acnes meningkatkan respons inflamasi

270

melalui aktivasi komplemen.1,7


Enzim 5-alfa reduktase, enzim yang mengubah
testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT),
memiliki aktivitas tinggi pada kulit yang mudah
berjerawat, misalnya pada wajah, dada, dan
punggung.1,7 Pada hiperandrogenisme, selain
jerawat, sering disertai oleh seborea, alopesia,
hirsutisme, gangguan haid dan disfungsi
ovulasi dengan infertilitas dan sindrom
metabolik, gangguan psikologis, dan virilisasi.8
Penyebab utama hiperandrogenisme adalah
sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian
syndrome, PCOS). Sebagian penderita PCOS,
yaitu sebanyak 70%, juga menderita acne.8
Meskipun demikian, sebagian besar acne pada
perempuan dewasa tidak berkaitan dengan
gangguan endokrin.8 Penyebab utama acne
pada kelompok ini adalah perubahan respons
reseptor androgen kulit terhadap perubahan
hormon fisiologis siklus haid. Sebagian besar
perempuan mengalami peningkatan jumlah
acne pada masa premenstrual atau sebelum
haid.8

Derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi


dapat digolongkan menjadi ringan, sedang,
berat, dan sangat berat (tabel 1).
LABORATORIUM
Meskipun androgen berperan penting,
sebagian besar penderita acne tanpa gejala
hiperandrogenisme memiliki kadar androgen
serum normal,2,7 dan derajat berat acne tidak
berkorelasi dengan kadar androgen serum.2
Diduga, androgen hanya sebagai faktor
pemicu acne.2 Klinis acne lebih ditentukan
oleh produksi androgen lokal di kulit yang
berlebihan dan/atau reseptor androgen yang
banyak serta sangat responsif.2
PENGOBATAN
Pemahaman mengenai patogenesis acne
dengan keempat faktor yang berperan
akan mempermudah prinsip penanganan
acne, yaitu memperbaiki keratinisasi folikel,
menurunkan aktivitas kelenjar sebasea,
menurunkan populasi bakteri P. acnes, dan
menekan inflamasi.1,7 Kongres European
Academy of Dermatology and Venerology
ke-9 di Jenewa tahun 2002 mengeluarkan
konsensus tentang pengobatan acne seperti
tercantum pada tabel 2.9
Akan tetapi, penentuan derajat acne untuk
pengobatan tidak hanya berdasarkan jumlah
lesi semata, tetapi juga ditentukan oleh
beberapa faktor lain, misalnya distribusi lesi
lokalisata atau generalisata, derajat inflamasi,
lama sakit, respons terapi sebelumnya, dan
efek psikososial.10 Sebagian besar acne
ringan sampai sedang membutuhkan
terapi topikal. Acne sedang sampai berat
menggunakan kombinasi terapi topikal dan
oral. 10 Pemeriksaan klinis yang baik diperlukan

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


untuk menentukan jenis acne inflamasi,
noninflamasi, atau campuran keduanya,
sehingga dapat memberikan terapi yang
tepat. 10
Terapi acne dimulai dari pembersihan wajah
menggunakan sabun. Beberapa sabun sudah
mengandung antibakteri, misalnya triclosan
yang menghambat kokus positif gram. Selain
itu juga banyak sabun mengandung benzoil
peroksida atau asam salisilat.1
Bahan topikal untuk pengobatan acne
sangat beragam. Sulfur, sodium sulfasetamid,
resorsinol, dan asam salisilat, sering
ditemukan sebagai obat bebas. Asam azaleat
dengan konsentrasi krim 20 persen atau gel
15 persen, memiliki efek antimikroba dan
komedolitik, selain mengurangi pigmentasi
dengan berfungsi sebagai inhibitor kompetitif
tirosinase. Benzoil peroksida merupakan
antimikroba kuat, tetapi bukan antibiotik,
sehingga tidak menimbulkan resistensi.1,7
Antibiotik topikal yang sering digunakan
adalah klindamisin dan eritromisin. Keduanya
dapat digunakan dengan kombinasi bersama
benzoil peroksida dan terbukti mengurangi
resistensi.1,6,7
Retinoid merupakan turunan vitamin A yang
mencegah pembentukan komedo dengan
menormalkan deskuamasi epitel folikular.6
Retinoid topikal yang utama adalah tretinoin,
tazaroten, dan adapalene.6 Tretinoin paling
banyak digunakan, bersifat komedolitik dan
antiinflamasi poten. Secara umum, semua
retinoid dapat menimbulkan dermatitis
kontak iritan. Pasien dapat disarankan
menggunakan tretinoin dua malam sekali
pada beberapa minggu pertama untuk
mengurangi efek iritasi. Tretinoin bersifat
photolabile sehingga disarankan aplikasi
pada malam hari.1
Mekanisme kerja berbagai obat topikal dapat
dilihat pada tabel 3.
Salah satu terapi sistemik acne adalah
antibiotik. Tetrasiklin banyak digunakan
untuk acne inflamasi. Meskipun tidak
mengurangi produksi sebum tetapi dapat
menurunkan konsentrasi asam lemak bebas
dan menekan pertumbuhan P .acnes.1 Akan
tetapi tetrasiklin tidak banyak digunakan
lagi karena angka resistensi P.acnes yang
cukup tinggi.7 Turunan tetrasiklin yaitu

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

doksisiklin dan minosiklin menggantikan


tetrasiklin sebagai terapi antibiotik oral lini
pertama untuk acne 1,7 dengan dosis 50100 mg dua kali sehari.1 Eritromisin dibatasi
penggunaannya, yaitu hanya pada ibu hamil,
karena mudah terjadi resistensi P.acnes
terhadap eritromisin.1 Resistensi dapat
dicegah dengan menghindari penggunaan
antibiotik monoterapi, membatasi lama
penggunaan antibiotik, dan menggunakan
antibiotik bersama benzoil peroksida jika
memungkinkan.1
Isotretinoin oral adalah obat yang paling
efektif untuk acne.1,2 Dosis isotretinoin yang
dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kg/hari dengan
dosis kumulatif 120-150 mg/kg berat badan.1
Obat ini langsung menekan aktivitas kelenjar
sebasea, menormalkan keratinisasi folikel
kelenjar sebasea, menghambat inflamasi,
dan mengurangi pertumbuhan P. acnes
secara tidak langsung.2 Isotretinoin paling
efektif untuk acne nodulokistik rekalsitran
dan mencegah jaringan parut.1,2 Meskipun
demikian, isotretinoin tidak bersifat kuratif
untuk acne. Penghentian obat ini tanpa
disertai terapi pemeliharaan yang memadai,
akan menimbulkan kekambuhan acne.2
Selain itu, penggunaan obat ini harus berhatihati pada perempuan usia reproduksi karena
bersifat teratogenik.2 Penggunaan isotretinoin
dan tetrasiklin bersamaan sebaiknya dihindari
karena meningkatkan risiko pseudotumor
serebri.1
Suntikan glukokortiokoid intralesi dapat
diberikan untuk lesi acne nodular dan cepat
mengurangi inflamasinya.1 Risiko tindakan ini
adalah hipopigmentasi dan atrofi.1 Modalitas
lain yang dapat digunakan untuk mengatasi
acne adalah radiasi ultraviolet yang memiliki
efek antiinflamasi terhadap acne. Radiasi
UVB atau kombinasi UVB dan UVA dapat
bermanfaat untuk acne inflamasi, tetapi perlu
diwaspadai potensi karsinogeniknya.1
PENGARUH MEROKOK DAN MAKANAN
TERHADAP ACNE
Merokok dilaporkan berkontribusi terhadap
prevalensi acne dan derajat acne. Rokok
mengandung banyak asam arakhidonat
dan hidrokarbon aromatik polisiklik yang
menginduksi jalur inflamasi melalui fosfolipase
A2, dan selanjutnya merangsang sintesis
asam arakhidonat lebih banyak. Selain itu,
diduga terdapat reseptor asetilkolin nikotinik

keratinosit yang menginduksi hiperkeratinisasi


sehingga terjadi komedo.3 Perokok pada
umumnya mengkonsumsi makanan yang
banyak mengandung lemak jenuh dan sedikit
lemak tidak jenuh sehingga asupan asam
linoleat lebih sedikit dibandingkan dengan
bukan perokok.5
Banyak
penelitian
belum
dapat
menyimpulkan peranan diet terhadap
acne dan membutuhkan penelitian lebih
lanjut.1 American Academy of Dermatology
mengeluarkan rekomendasi pada tahun
2007 bahwa restriksi kalori tidak memiliki
dampak pada pengobatan acne dan buktibukti yang ada belum cukup kuat untuk
menghubungkan
konsumsi
makanan
tertentu dengan acne.11 Akan tetapi,
beberapa penelitian menemukan bahwa
produk olahan susu memperberat acne.
Produk olahan susu, mungkin juga makanan
lain, mengandung hormon 5 reduktase
dan prekursor DHT lain yang merangsang
kelenjar sebasea. Selain itu, acne dipengaruhi
oleh hormon dan growth factors, terutama
insulin-like growth factor (IGF-1) yang bekerja
pada kelenjar sebasea dan keratinosit folikel
rambut. Produk olahan susu mengandung
enam puluh growth factors, salah satunya
akan meningkatkan IGF-1 langsung melalui
ketidakseimbangan peningkatan gula darah
dan kadar insulin serum. Makanan dengan
indeks glikemik tinggi juga meningkatkan
konsentrasi insulin serum melalui IGF-1 dan
meningkatkan DHT sehingga merangsang
proliferasi sebosit dan produksi sebum.2,11
Bersama dengan terapi antiacne standar,
semua produk olahan susu dan makanan
dengan indeks glikemik tinggi, sebaiknya
dihentikan minimal 6 bulan. Suplementasi
vitamin A dapat mengurangi sumbatan
pori pada individu yang kekurangan asupan
vitamin A. Makanan mengandung asam
lemak esensial omega 3 dapat mengurangi
inflamasi.2,11
PENUTUP
Meskipun acne tidak mematikan, tetapi
penyakit ini memiliki prevalensi yang tinggi
pada usia remaja. Acne disebabkan oleh
multifaktor, karena itu penanganan acne
sebaiknya dilakukan secara menyeluruh
dengan memperhatikan semua faktor
tersebut. Penanganan yang optimal akan
mencegah rekurensi dan sekuele.

271

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


DAFTAR PUSTAKA
1.

Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne vulgaris and acneiform eruption. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, eds. Dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2008:690-703.

2.

Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I, et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and treatment. Experimental Dermatology.
2009; 18: 821-32.

3.
4.

Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliffe WJ, Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:49-68.
Perkins AC, Cheng CE, Hillebrand GG, Miyamoto k, Kimball AB. Comparison of the epidemiology of acne vulgaris among Caucasian, Asian, Continental Indian and African American
women. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2011;25(9):1054-60.

5.

Zouboulis CC, Eady A, Philpott M, Goldsmith LA, Orfanos C, Cunliffe WC, Rosenfield R. What is the pathogenesis of acne. Experimental Dermatology. 2005; 14: 143-52.

6.

Haider A, Shaw JC. Treatment of acne vulgaris. JAMA. 2004;292(6):726-35.

7.

Harper JC. An update on the pathogenesis and management of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol. 2004;51(1):S36-8.

8.

Addor FAS, Schalka S. Acne in adult women. An Bras Dermatol 2010;85(6):789-95.

9.

Jacyk WK. Acne vulgaris. Grades of severity and treatment options. SA Fam Pract. 2003;45(9):32-6.

10. Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Topical therapy. In: Cunliffe WJ, Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:107-14.
11. Pappas A. The relationship of diet and acne-a review. Dermato-endocrinology. 2009;I(5);262-7.

272

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013

Anda mungkin juga menyukai