Anda di halaman 1dari 3

GROWTH MINDSET

Oleh: Afrizal Faisal Ali (*)


Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Prof. Rhenald Kasali, Ph.D
mengatakan Manusia memiliki dua jenis mindset (pola pikir), pertama growth mindset dan
kedua fixed mindset. Orang-orang yang memiliki setting-an fixed mindset cenderung sangat
mementingkan ijazah (hasil IPK) dan gelar sekolah, sedangkan mereka yang memiliki
setting-an growth mindset tetap menganggap dirinya bodoh.
Sebelum menulis artikel ini, saya membaca sebuah berita tentang latar belakang dan
perilaku orang-orang terkenal. Salah satunya siapa lagi kalau bukan mendiang Steve Jobs.
Laporan mengenai Steve Jobs terbaca jelas, ditulis oleh analis yang terkesan tidak senang
terhadap mendiang. Namun demikian, penulis berita berusaha memberikan data-data objektif
sehingga terkesan mendiang Steve Jobs bukan seorang yang cerdas. Meski terkenal, ia hanya
punya indeks prestasi kumulatif (IPK) 2,65. Angka tersebut jelas objektif dan tidak diambil
dari pikiran penulis berita. Kalau Anda membaca berita ini jauh sebelum Jobs terkenal,
mungkin Anda termasuk orang yang menilai bahwa orang ini (Jobs) tidak cerdas. Tetapi,
karena kita membacanya sekarang, paling Anda mengatakan apa urusannya IPK dengan
karya yang sudah dibangun oleh mendiang. Bukankah impact jauh lebih penting daripada
paper dan IPK?
Bagi mereka yang memiliki setting-an growth mindset, ijazah dan IPK hanya langkah
kemarin, sedangkan masa depan adalah soal impact: apa yang bisa Anda berikan atau
lahirkan. Maka, Bapak Rhenald Kasali pernah mangatakan kepada anak didiknya Pintar itu
bagus, tetapi Impact jauh lebih penting daripada kepintaran. Celakanya, universitas banyak
dikuasai orang-orang bermental ijazah dan asal sekolah sehingga mereka terkurung dalam
penjara yang mereka set sendiri, yaitu fixed mindset. Bagi mereka, impact itu sama dengan
paper atau kertas karya, terlepas dari apakah bisa dijalankan atau tidak.
Orang

yang

memiliki

growth

mindset

percaya

bahwa

kecerdasan

dapat

dikembangkan, bahwa otak adalah seperti otot yang dapat dilatih. Ini mengarah pada
keinginan untuk memperbaiki. Demikian pula hambatan-hambatan yang terjadi, citra diri
orang growth mindset tidak terlihat oleh sebuah kesuksesan, melainkan bagaimana akan
terlihat untuk orang lain. Kegagalan adalah kesempatan belajar, dan apapun yang terjadi

Anda menang. Bapak Rhenald Kasali mengatakan Di satu pihak saya senang memiliki anakanak cerdas, namun di pihak lain saya gelisah kalau mereka yang ber-IPK tinggi itu produk
setting-an fixed mindset. IPK tinggi tetapi terlalu membanggakan jejak sejarah, Ijazah.
Menurut Prof. Carol Dweck, seorang pakar psikolog dari Stanford University berpendapat
bahwa Orang yang memiliki setting-an fixed mindset biasanya memiliki sifat menolak
tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, dan tidak senang menerima kritik (umpan
balik negatif). Juga bila ada orang lain yang lebih hebat darinya, ia sangat sinis dan
menganggap mereka sebagai ancaman. Orang-orang seperti itu biasanya menjadi arogan dan
sering membanggakan apa yang sudah ia capai. Prestasi akademis pada masa lalu bisa
menjadi pemicu.
Padahal, kita semua butuh orang pintar. Bahkan, salah satu sebuah perguruan tinggi di
Amerika Serikat, ada kalimat ini: Beauty is nothing without brain. Benar, cantik saja tidak
berarti apa-apa bila tidak cerdas. Tetapi, studi yang dilakukan Prof. Dweck memberikan
jawaban yang melengkapi: Pintar yang kita butuhkan bukanlah pintar yang sudah selesai,
melainkan yang di-setting untuk tumbuh (growth mindset).
Apa ciri-ciri mereka? Mereka itu merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa.
Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras
itu penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi, dan bila ada pihak yang
hebat darinya, ia akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar. Orang-orang seperti
itulah yang menjadi sasaran untuk direkrut. Maka, seperti di Harvard University, mereka
tidak terlalu mengandalkan tes-tes tertulis sebagai segala-galanya. Nilai akademis masa lalu
peserta ujian boleh tinggi, tetapi mereka dalami dalam wawancara yang dilakukan orangorang berpengalaman. Dari situ, pihak Harvard mendapatkan insight, bahkan tidak jarang
orang yang memiliki hasil tes yang tinggi bterpaksa digugurkan karena peserta ujian terlanjur
terkunci dalam ruang gelap yang di-setting fixed mindset (pola pikir tetap).
Ini tugas berat bagi para pendidik. Merombak cara berpikir agar anak dididik tumbuh,
bukan sekedar mendapat ijazah. Jadi ke-40 anak muda yang lulus cum laude itu tentu masih
ingat bahwa musuh besar mereka adalah kebanggan yang berlebihan terhadap prestasi yang
sudah dicapai kemarin, ujar Prof. Rhenald Kasali dalam acara yudisium di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia pada hari Sabtu 11 Februari 2012. Diantara mereka ada dua
diantaranya lulus dengan IPK sempurna (4,0). Bahkan salah seorang yang lulus dengan IPK
sempurna itu (keduanya perempuan) berusia paling muda (21,5 tahun).

Ke depan indonesia butuh lebih banyak manusia yang adaptif, bukan orang-orang
kaku yang merasa pintar sendiri. Untuk melahirkan manusia-manusia unggul, diperlukan
kualitas intake yang baik, di samping proses yang mampu menempa mereka menjadi insan
yang tumbuh (growth mindset). Maka, proses seleksi sangatlah penting di awal, di tengah dan
di akhir. Bila dulu saya gelisah memandang lulusan yang meraih cum laude yang hanya
bermanfaat bagi diri mereka sendiri, sekarang saya bisa bernapas lega karena Prof. Dweck
telah membukakan jalan bahwa itu bisa diatasi dengan setting-an pikiran yang tepat, ujar
Prof. Rhenald Kasali.
Sebagai penutup, pada fixed mindset setiap kesalahan/kegagalan dihadapi dengan
menncari excuse atau alasan. Dicontohkan oleh Pak Andreas Harefa, petenis John Mc
Conroe. Jika kalah dlam pertandingan (karena tidak mungkin menang selamanya), maka dia
akan selalu beralasan, karena sedang sakitlah, cuaca tidak baiklah, penonton tidak
bersahabatlah yang merusak konsentrasinya, dan lain-lain. Ini membuat kita tidak pernah bisa
belajar dari kesalahan/kegagalan kita. Sebaliknya, dengan growth mindset, kita akan belajar
dari setiap kesalahan atau kegagalan yang kita jumpai dalam perjalanan kita. Kita tidak akan
antipati terhadap kritik dan masukan dari orang lain. Pelajaran tersebut akan kita gunakan
untuk berkembang dan meningkatkan performa ke arah yang lebih baik.
So, karena mind control your body, then your mindsite will control your head, your
goals. Selamat memilih mindset yang tepat.

(*)

Mahasiswa D3 Jurusan Teknik Konversi Energi


Politeknik Negeri Bandung

Anda mungkin juga menyukai