: Gita Puspitasari
NIM
: 112014147
Tanda Tangan
....................
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. Y
Usia
: 42 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan
: Ibu Rumah tangga
Alamat
: Jl. Kalibaru barat RT 06/06
ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis
Keluhan utama :
Badan terasa lemas sejak 3 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 3 minggu SMRS pasien mengeluh badan terasa lemas, lemas dirasakan diseluruh
badan sehingga untuk aktivitas pasien memerlukan bantuan anggota keluarga yang lain. Badan
lemas dirasakan semakin lama semakin berat hingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas dan
hanya berbaring. OS mengaku tidak pernah mengeluh sesak nafas ataupun nyeri dada saat
beraktivitas. OS tidur menggunakan 1 bantal, dan tidak pernah terbangun di malam hari karena
sesak dan juga jarang batuk-batuk di malam hari.
Satu minggu SMRS pasien megeluh bengkak di kedua mata, wajah kemudian juga
bengkak di temukan pada kedua lengan dan kakinya. Bengkak tidak terasa sakit bila ditekan. OS
juga mengatakan merasa mual tetapi tidak sampai muntah keluhan nyeri ulu hati juga di
keluhkan oleh pasien. Menurut pasien BAK sehari frekuensi 6 kali dengan jumlah volume
gelas air mineral, warna urin kuning tidak ada darah, tidak ada batu, tidak berpasir dan tidak ada
keluhan nyeri saat BAK. Keluhan lemas masih di rasakan oleh pasien sehingga keluarga pasien
membawa pasien ke IGD rumah sakit swasta, dari hasil laboratorium di katakan fungsi ginjal
meningkat sehingga pasien harus di lakukan hemodialisa tetapi pasien menolak tindakan
sehingga kembali lagi kerumahnya.
Tiga hari SMRS keluhan lemas masih di rasakan oleh pasien disertai rasa nyeri ulu hati
dan mual tetapi tidak muntah dan rasa kembung sehingga merasa cepat kenyang. OS mengatakan
bengkak di tangan dan kaki sudah mulai sedikit berkurang tetapi bengkak di mata dan wajah
tidak ada perubahan. OS mengatakan nafsu makannya menurun. Volume BAK juga masih
sedikit.
Satu
hari SMRS keluhan lemas seluruh badan dirasakan semakin berat, diseretai
pandangan yang berkunang-kunang dan pusing. Bengkak di kedua mata dan wajah tidak
berkurang dan dirasakan tidak bertambah. BAK masih dengan volume sedikit. Keluhan nyeri ulu
hati, mual, dan masih tetap dirasakan oleh pasien. Dan keluhan sakit kepala menyelruh disertai
rasa pegal di tengkuk juga di rasakan oleh pasien. Os mengaku adanya riwayat hipertensi sejak 7
tahun yang lalu tetapi tidak rutin berobat ke dokter, dan pernah memiliki riwayat stroke 5
tahun yang lalu, menurut pasien keluhan tidak bisa menggerakan tangan dan kaki kananya terjadi
tiba-tiba saat bangun tidur, disertai dengan mulut mencong ke sebalah kanan, tetapi pingsan
sebelum stroke dan muntah di sangkal oleh pasien. OS juga mengatakan memiliki riwayat
melena. Riwayat kencing manis ataupun riwayat sakit jantung, riwayat alergi obat di sangkal.
Riwayat merokok dan alkohol di sangkal. Pasien juga menyangkal menggunakan obat-obatan
jangka panjang, jamu.
Penyakit Dahulu
(-) Cacar
(-) Malaria
(-) Disentri
(-) Difteri
(-) Hepatitis
(-) Campak
(-) Skirofula
(-) Diabetes
(+) Influenza
(-) Sifilis
(-) Alergi
2
(-) Tonsilitis
(-) Gonore
(-) Tumor
(-) Khorea
(+) Hipertensi
(-) Pneumonia
(+) Gastritis
(-) Psikosis
Lain-lain :
(-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan
Umur
(Tahun)
Kakek (ayah)
Nenek (ayah)
Kakek (ibu)
Nenek (ibu)
Ayah
Ibu
Saudara
Anak anak
Keadaan
Jenis Kelamin
Kesehatan
Penyebab Meninggal
60
70
74
78
60
50
45
43
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Sehat
Sehat
Sehat
Sehat
Sakit tua
Hipertensi
Jantung
Sakit tua
-
38
Perempuan
Sehat
35
Laki-laki
Sehat
32
Laki-laki
Sehat
28
Perempuan
Sehat
25
Laki-laki
Sehat
19
Perempuan
Sehat
Ya
Tidak
Hubungan
Alergi
Asma
Tuberkulosis
Artritis
Rematisme
Hipertensi
Nenek
Jantung
Kakek
Ginjal
Lambung
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul
(-) Rambut
(-) Kuku
(-) Kuning/Ikterus
(-) Sianosis
(-) Lain-lain
Kepala
(-) Trauma
(-) Sinkop
(-) Nyeri
(-) Radang
(-) Sekret
(-) Kuning/Ikterus
Mata
(+) Bengkak
Telinga
(-) Nyeri
(-) Sekret
(-) Tinitus
Hidung
(-) Trauma
(-) Nyeri
(-) Sekret
(-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering
(-) Selaput
(-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan
(-) Benjolan
Leher
Dada ( Jantung / Paru paru )
(-) Nyeri dada
(-) Berdebar-debar
(-) Ortopnoe
(-) Batuk
(-) Wasir
(+) Mual
(-) Mencret
(-) Muntah
(-) Benjolan
(-) Stranguria
(-) Kolik
(-) Poliuria
(+) Oliguria
(-) Polakisuria
(-) Anuria
(-) Hematuria
(-) Parestesi
(-) Ataksia
(-) Kejang
(-) Pingsan
(-) Afasia
(-) Amnesia
Ekstremitas
(+) Bengkak
(-) Deformitas
(-) Sianosis
Berat Badan :
Berat badan rata rata : 42 kg
Berat tertinggi (kg)
: 55 kg
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : (-) Di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
Ditolong oleh : (-) Dokter
(+) Bidan
(-) Dukun
Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis
(+) BCG
(+) Polio
(+) Tetanus
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari: 2x sehari
Pendidikan
(-) SD
(+) SLTP
(-) SLTA
(-) Akademi
(-) Universitas
(-) Kursus
Kesulitan
Keuangan
: ada
Pekerjaan
:-
Keluarga
:-
Lain-lain
:-
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan
: 148 cm
Berat Badan
: 42 kg
IMT
Keadaan umum
Kesadaran
: compos mentis
Tekanan Darah
: 200/110 mmHg
Suhu
: 36,8C
Nadi
: 82 x/menit
Pernafasaan
: 22 x/menit
Keadaan gizi
: baik
Sianosis
: tidak ada
Edema umum
: tidak ada
Habitus
: atletikus
Cara berjalan
: normal
: aktif
: sesuai umur
6
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku
: wajar
Alam Perasaan
: biasa
Proses Pikir
: wajar
Kulit
Warna
: sawo matang
Effloresensi
: tidak ada
Jaringan Parut
: tidak ada
Pigmentasi
: tidak ada
Pertumbuhan rambut
: merata, hitam
Suhu Raba
Lembab/Kering : lembab
Keringat
: umum (+)
Turgor
Ikterus
: tidak ada
Lapisan Lemak
: merata
Edema
Lain-lain
:-
: baik
Supraklavikula
Lipat paha
Kepala
Ekspresi wajah
: tenang
Simetri muka
: simetris
Rambut
: tidak ada
Enopthalamus
: tidak ada
Kelopak
: oedem (+)
Lensa
: jernih
Konjungtiva
: anemis (+)
Visus
: normal
Sklera
: ikterik (-)
Gerakan Mata
: aktif
Lapangan penglihatan
: normal
Nistagmus
: tidak ada
: normal
Telinga
Tuli
: tidak ada
Lubang
: lapang
Penyumbatan
: tidak ada
Serumen
: ada
Pendarahan
: tidak ada
Cairan
: tidak ada
Mulut
Bibir
: kering, pucat
Tonsil
: T1 T1 tenang
Langit-langit
Gigi geligi
Trismus
Faring
: tidak hiperemis
Lidah
: normal
: tidak ada
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP)
: 5-2 cmH2O
Kelenjar Tiroid
Kelenjar Limfe
Dada
Bentuk
Pembuluh darah : kolateral (-), spider nevi (-), tidak terdapat lesi kulit
Buah dada
Paru Paru
Inspeksi
Palpasi
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Perkusi
Kiri
Kanan
Auskultasi Kiri
Depan
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan
Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan
Kanan
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas atas
: Teraba pulsasi
Arteri Karotis
: Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis
: Teraba pulsasi
Arteri Radialis
: Teraba pulsasi
Arteri Femoralis
: Teraba pulsasi
Arteri Poplitea
: Teraba pulsasi
: Teraba pulsasi
: Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi
: Datar, pembuluh darah (-), caput medusa (-), spider nevi (-), dilatasi vena (-)
Palpasi
: Dinding perut: tidak ada rigit, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), defans
muskular (-) , massa (-)
Perkusi
Hati
: tidak teraba
Limpa
: tidak teraba
Ginjal
Lain-lain
: tidak ada
: timpani.
Anggota Gerak
Lengan
Kanan
Kiri
Otot
Tonus
:Normotonus
Normotonus
Massa
:Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Gerakan
: aktif
aktif
Kekuatan
:5
Lain-lain
Kanan
Kiri
Luka
tidak ada
tidak ada
Varises
tidak ada
tidak ada
Otot (tonus)
normotonus
normotonus
Massa
eutrofi
eutrofi
Sendi
normal
normal
Gerakan
aktif
aktif
Kekuatan
Oedem
tidak ada
tidak ada
Lain-lain
tidak ada
tidak ada
Reflex
Kanan
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif
Refleks Tendon
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis
Kiri
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 20 November 2015, pukul 18:35 di IGD
Darah rutin:
Hb
: 5.9 g/dL
12.5-16.0
Leukosit
: 3.810 /L
4.000-10.500
10
Ht
: 17.1%
37.0-47.0
Trombosit
:350.100/L
182.000-369.000
Na
: 131 mmol/L
135-147
: 3,93 mmol/L
3.5-5.0
Cl
: 99 mmol/L
96-108
Ureum
: 157.0 mg/dL
16.6-48.5
Kreatinin
: 10.27 mg/dL
0.51-0.95
Elektrolit:
Glukosa sewaktu
: 94 mg/dL
Neonatus 1 hari
: 40-60
: 50-80
Anak-anak
: 60-100
Dewasa
70-99
100-199
>=200
: Diabetes Melitus
RINGKASAN
Pasien perempuan usia 42 tahun datang ke IGD RSUD koja dengan keluhan lemas
seluruh badan sejak 3 minggu SMRS dan disertai dengan bengkak pada mata dan wajahnya sejak
1 minggu SMRS. Sebelum dibawa ke IGD koja, pasien di bawa ke IGD RS swasta dan dari
pemeriksaan laboratorium hasil fungsi ginjal meningkat dan di anjurkan untuk melakukan
hemodialisa tetapi pasien menolak. BAK 6 kali/ hari dengan volume gelas air mineral.
Keluhan juga disertai dengan nyeri ulu hati, rasa kembung, dan mual tetapi tidak muntah. OS
memiliki riwayat hipertensi sejak 7 tahun lalu, dan stroke , serta riwayat melena. Pemeriksaan
fisik didapatkan : KU TSS, TD 200/110 mmHg, edema pada kelompak mata dan wajah,
konjungtiva anemis +/+, nyeri tekan epigastrium (+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan : Hb:
5.9 g/dL, Ht: 17.1%, Ureum : 157.0 mg/dL, Kreatinin : 10.27 mg/dL.
MASALAH
1.
2.
3.
4.
Dispepsia uninvestigated
11
memiliki riwayat hipertensi yang sudah diderita sejak 7 tahun yang lalu.
Pengukuran tekanan darah pada saat pemeriksaan di ketahui 200/110 mmHg. Dipikirkan
adanya CKD stage V bedasarkan keluhan mual, muntah, edema yang didahului pada
palpebra kemudian wajah hingga ke ekstremitas, BAK dengan frekuensi 6 kali perhari
namun volume yang hanya gelas air mineral dan di temukan pada pemeriksaan
laboratorium terdapat peningkatan ureum : 157.0 mg/dL dan kreatinin : 10.27 mg/dL .
berdasarkan nilai CCT (Clearance Creatinine Test) :
*hasil di kali 0.85 jika jenis kelamin perempuan
(140-42) x 42
72 x 10.27
(140-umur) x BB
72 x kreatinin darah
Selain itu kemungkinan lain penyebab CKD stage V pada kasus ini adalah
Diabetes melitus namun dari hasil laboratorium tidak mendukung adalah hasil GDS 94
mg/dL dan pasien tidak memiliki riwayat Diabetes melitus. Kemungkinan lain penyebab
CKD stage V pada kasus ini yaitu batu, namun dari hasil anamnesis tidak ada riwayat
keluar batu atapun berpasir pada saat BAK dan tidak ada keluhan nyeri saat BAK.
Rencana diagnostik:
-
Pemeriksaan urin lengkap, untuk melihat proteinuria, sedimen eritrosit dan leukosit
USG abdomen untuk melihat apakah sudah terjadi kelainan struktural pada ginjal,
mengetahui ukuran ginjal dan menyingkirkan kemungkinan CKD ec batu ginjal dan
batu slauran kemih.
Rencana pengobatan
IVFD RL 6 tpm
Diet tinggi kalori dan rendah protien ( 0.8 g/KgBB/Hari 0.8 x 42 = 33.6 g)
Aminefron 3 x 1caps
Terapi pengganti : Hemodialisa cito
Rencana edukasi
12
2.
defisiensi besi
Pemeriksaan indeks eritrosit (MDT) dan kadar asam folat serum untuk
3.
Rencana edukasi
Dijelaskan adanya kemungkinan akan diberikan PRC
Hipertensi primer grade II
Pada kasus ini dipikirkan hipertensi primer dengan data anamnesis OS
mengatakan memiliki riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu, dan mendahului
penyakit CKD. Penyebab hipertensi primer ini sendiri tidak diketahui atau idiopatik.
Dan kalsifikasi derajat hipertensi grade II ini di ketahui dari hasil pemeriksaan fisik
tekanan darah terukur 200/110 mmHg .
Rencana diagnostik :
Rencana diagnostik CKD hanya untuk menegaskan bahwa hipertensi pada kasus ini
adalah hipertensi skunder karena CKD
Rencana pengobatan :
- Losartan tablet 1x 50 mg
- Amlodipin 1x10mg
Rencana edukasi :
13
Dispepsia univestigated
Dipikirkan dispepsia berdasarkan keluhan pasien yaitu nyeri ulu hati dan mual,
rasa cepat kenyang dan kembung. Tetapi dapat dipikirkan juga berasal dari GERD dan
ulkus peptikum ec H.pylori . Akan tetapi pada diagnosis GERD sulit dibedakan karena
dapat timbul pada bersamaan dengan dispepsia. Pada GERD gejala khas berupa rasa
terbakar di dada disertai dengan adanya regurgitasi (rasa asam pahit dari labung terasa di
lidah) tidak dipatkan. Sedangkan pada ulkus peptiukum ec H. Pylori dapat terlihat
sindrom dispepsia namun yang menonjol adalah rasa nyeri ulu hati dn muntah menonjol.
Rencana diagnostik:
- USG abdomen untuk mengetahui apakah adanya kelainan selain di lambung
- Biopsi abdomen untuk mencari apakah ada kuman H.pylori
- Endoskopi SCBA untuk mengetahui adanya mucosal breaks di esophagus
Rencana pengobatan:
Omeperazol 2 x 40 mg IV
Sukralfat 3 x 10 cc PO
Rencana edukasi:
-
Makan lebih sering dalam porsi lebih kecil dan tidak terlambat makan
Hindari makanan tinggi lemak, pedas, atau asam yang dapat mencetuskan gejala
: dubia ad malam
b. Ad functionam
: dubia ad malam
c. Ad sanationam
: dubia ad malam
CATATAN PERKEMBANGAN
14
Pasien masih merasa lemas dan tidak ada perbaikan dibandingkan kemarin. Nyeri
ulu hati (+), mual (+). Bengkak di kedua kaki (-), bengkak di kedua mata (+). BAK
O:
A:
Pasien masih mengeluh lemas, dan pusing, namun mata berkunang-kunang sudah
O:
berkurang.
Keadaan umum tampak sakit sedang, lemah (+), Conjungtiva anemins -/-, dengan
A:
Pasien masih merasakan nyeri ulu hati, dan mual. Muntah (-)
Nyeri tekan epigastrium (+)
Masalah dispepsia belum teratasi di karenakan keluahan klinis masih belum
mebaik. Dispepsia ditegakan dispepsia organik dikarenakan CKD. ulkus peptikum
dapat disingkirkan karena belum di lakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai
dispepsia.
P : Terapi di lanjutkan
Tanggal 23 November 2015
1. CKD stage V
S : Pasien post hemodialisa, keluhan lemas sudah berkurang, mual (+), nyeri ulu hati (+).
Frekuensi BAK sering 7x/ hari sebanyak gelas.
O : bengkak di kelopak mata sudah berkurang
A : CKD stage V on HD, sudah terdapat perbaikan klinis dengan kadar ureum 89.1
mg/dL dan kreatinin 7.18 mg/dL.
P : Terapi di lanjutkan
Diet protein 1,2 g/kgBB/hari 1,2 x 42 kg = 50.4 g/hari
2. Anemia ec CKD stage V
S : keluhan lemas sudah berkurang, mata berkunang-kunang (-).
O : conjungtiva anemis -/- , Hb: 10.2 g/dL , Ht: 38%
A : Masalah anemia teratasi dikarenakan setelah transfusi kadar Hb naik sesuai target.
Dan keluhan klinis anemis.
P : Transfusi Stop
3. Hipertensi primer grade II
S : keluhan nyeri kepala dan pusing sudah berkurang
O : Tekanan darah 170/90 mmHg
A : klinis hipertensi sudah membaik
P : Terapi di lanjutkan
4. Dispepsia organik
S : Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
O : nyeri tekan epigastrium (-)
A : klinis dispepsia membaik
P : Omeprazole & sucralfat stop
16
S:
O:
A:
P:
2.
17
Tinjauan Pustaka
Penyakit Ginjal Kronik
Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah sutau proses patologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada sutau derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tepat, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik
dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit
ginjal kronik adalah sebagai berikut.1
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
*)
Derajat
1
Penjelasan
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
LFG (ml/menit/1,73m2)
90
60 89
30 59
4
5
15 29
< 15 atau dialisis
Gagal gijal
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus per juta penduduk pertahun dan angka ini meningkat sekiar 8%
setiap tahunnya. Di malaysia, dengan populasi 18 juta, di perkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus perjuta penduduk pertahun. 1 Berdasarkan data survei penduduk di Amerika Serikat ada
paling sedikit 6% dari populasi yang menderita penyakit ginjal kronik (PGK/CKD) derajat I dan
II. Sedangkan 4,5% dari penduduk Amerika Serikat diperkirakan menderita penyakit ginjal
kronik derajat III dan IV. Penyebab penyakit ginjal kronik yang paling sering diderita oleh
penduduk Amerika Utara dan Eropa adalah nefropati diabetik, yang biasanya berhubungan
dengan riwayat diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Pasien yang baru didiagnosis menderita
penyakit ginjal kronik sering juga disertai dengan hipertensi. Bila tidak ada bukti yang jelas
untuk mendukung penyakit glomerulus primer atau penyakit ginjal tubulointerstitial, biasanya
penyebab CKD dikaitkan dengan adanya hipertensi. Meningkatnya insiden CKD pada orang tua
dianggap berasal dari komplikasi sebagian pasien jantung dan serebrovaskular akibat penyakit
atherosklerosis yang angka kematiannya menurun belakangan ini.3 Di Malaysia, dengan populasi
18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.2
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai berikut.1
Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Th. 2000 1
19
Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan Infeksi
Hipertensi
Sebab lain
Insiden
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
Patogenesis
Patogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhinya diikuti
penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor (TGF- ). Beberapa hal juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointestinal. 1,3
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti, akan terjadi penurunan fumgsi nefron yang progresif ditandai dengan peningkatan
ureum dan kreatiin serum. Pada stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, pasien
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban dengan
mengadakan tes laju filtrasi glomerulus yang teliti. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien ini
masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan ureum dan kreatinin serum. 1,3
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nasfu makan kurang, penurunan berat badan. Stadium kedua ini disebut insufisiensi
ginjal. Peningkatan konsentrasi ureum berbeda-beda, tergantung pada kadar protein dalam
makanan. Pada stadium ini kadar kretainin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Gejala yang timbul sebagai respon terhadap stres dan perubahan makanan atau minuman yang
tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti. Nokturia
20
didefiniskan sebagai gejala pengeluaran urin waktu malam hari yang menetap samapi sebanyak
700 ml atau pasien terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam hari. Poliuria berarti
peningkatan volume urin yang terus menerus. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml per hari
dan berubah-ubah dengan jumlah cairan yang diminum. 1,3
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti indeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elktrolit antara lain
natrium dan kalium. 1,3
Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacment therapy) antaralauin dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan in pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal atau end
stage renal disease (ESRD). Kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat
mencolok sebagai respon terhadap LFG yang mengalami penurunan. Pada ESRD ini pasien
merasakan gejala-gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. 1,3
Manisfestasi Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : 1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, lupus eritematosus sitemik, dan lain
sebagainya
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelbihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma .
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium , kalium, klorida)
Pemeriksaan penunjang
Gambaran laboratorium pada penyakit ginjal kronik antara lain : 1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
21
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, isostenuria.
Gambaran pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : 1
a. Foto polos abdomen , bisa tampak batu radioopak
b. Pielografi intravena jarang dilakukan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksis oleh kontras terhadap
ginjal yang mengalami kerusakan
c. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
d. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dilakukan bila ada indikasi
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal,dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etologi, menetapkan terapi, prognosis,
dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikopntraindikasi pada keadaan
dimana ukuran ginjal yang sudah ,engecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas. 1
Penatalaksanaan
Sebelum tahun 1970, pilihan tera[i bagi pasien gagal ginjal kronik (Chronic Kidney
Disease, CKD) sangat terbatas. Hanya penderita gagal hinjal terminal tanpa penyakit berat
sistemik lainnya yang mendapat kesempatan dialisis, karena fasilitas yang tersedia saat itu hanya
sedikit. Transplantasi ginnjal sebagai terapi pilihan gagal ginjal pada saat itu baru berkembang
karena imunologi transplantasi dan terapi imunosupresifnya belum diketahui secara mendalam,
sehingga harapan hidup penderita gagal ginjal sangatlah buruk. 1
Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik meliputi :
LFG (ml/menit/1,73m2)
90
Rencana Tatalaksana
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi
pemburukan
fungsi
ginjal
60 89
30 59
15 29
< 15
dapat ditingkatkaan. Berbeda dengan karbohidrat dan lemak., kelebihan protein tidak bisa
disimpan dalam tubuh, tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lainnya yang terutama
dieksteksikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen,
fosfat, sulfat dan ion anorganik lain juga dieksreksikan melalui ginjal. Oleh karena itu,
pemberian ditet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan menigkatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliaran darah dan tekanan intraglomerulus
yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berakibat dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasanfosfat perlu untuk mencegah hiperfosfatemia. 1
Terapi farmakologis bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian
obat antihiperensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan keruakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dn hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas
bahwa proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik. 1
Beberapa obat antihipertensi, terutama ACE inhibitor melalui beberapa studi terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. 1
Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovasular merupajan hal yang penting
karena 40-45% kematian pada penyakit ginjhal kronik disebabkan oleh penyakit kardivaskular.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahn dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian
diabetes,
pengendalian
hipertensi,
pengendalian
dislipidemia,
pengendalian
anemia,
pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua in iterkait dengan oencegahan dan terapi terhadap kompilikasi penyakit ginjal
kronik secara keseluruhan . 1
Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manisfestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
24
Penjelasan
Kerusakan ginjal dengan
LFG (ml/menit)
90
Komplikasi
-
LFG normal
2
60 89
30 59
Hiperfosfatemia
LFG ringan
3
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosisteinemia
15 29
Malnutrisi
Asidosis metabolik
LFG berat
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
< 15
Gagal ginjal
Gagal jantung
Uremia
Hipertensi Primer
Definisi
Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18 tahun ke
atas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan dua kali atau lebih dengan
posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada 2 kali atau lebih kunjungan. Berdasarkan pada
JNC 7, kalsifikasi tekanan darah adalah : 4
1. Tekanan darah normal , tekanan sistolik <120 mmHg dan diastolik <80 mmHg.
2. Prahipertensi, tekanan sistolik 120-139 mmHg dan diastolik 80-90 mmHg
3. Hipertensi derajat 1 , tekanan sistolik 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg
4. Hipertensi derajat 2, tekanan sistolik lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik
lebih atau sama dengan 100 mmHg.
Untuk menghitung secara menyeluruh resiko terjadinya kejadian kardiovaskular, tidak
cukup hanya dengan mengetahui diagnosis tekanan darah seseorang. Diperlukan evaluasi lebih
lanjut temntang penyakit yang menyertainya dan kerusakan organ target yang terjadi. JNC 7
merekopmbinasi intervensi yang bersifat spesifik untuk kesehatan masyarakat berupa penurunan
asupan kalori, asam lemak jenuh dan garam, terutama untuk jenis makanan olahan, serta
meningkatkan aktivitas fisik dilingkungan sekolah dan masyarakat pada berbagai komunitas.
Strategi ini diharapkan dapat menurnkan populasi penderita hipertensi yang akhirnya dapat
menurnkan resiko mortilitas dan morbiditas penderita hipertensi. 4
Patogenesis
26
Hipertensi primer merupakan penyakit yang bukan hanya diseebabkan oleh satu macam
mekanisme, akan tetapi bersifat multifaktorial yang timbul akibat interaksi dari berbagai macam
faktor resiko. Berbagai interaksi dari berbagai macam faktor resiko. Berbagai faktor dan
mekanisme tersebut antara lain, faktor genetik, dan lingkungan, mekanisme neural, renal dan
hormonal dan vaskular. 4
1. Faktor resiko tersebut antara lain : diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas , merokok,
dan genetik.
2. Mekanisme neural, aktivitas berlebihn dari sistem saraf simpatis mempunyai peranan
yang penting pada awal terjadinya hipertensi primer. Pada awalnya terjadi penngkatan
denyut jantung, curah jantung, kadar norepinefrin plasma dan urin, berlebihnya NE
ditingkat regional, rangsangan simpatis post ganglion dan reseptor adrenegrik
menyebabkan vasokonstriksi di sirkulasi perifer, meningkatnya aktivitas saraf simpatis
ini sulit di ukur secara klinis. Pengukuran kadar NE plasma dan denyut jantung tdak
dapat dipakai untuk mengukur aktivitas saraf simpatis yang meningkat. Untuk mengukur
aktivitas ini dapat dipakai dengan mengukur kadar NE yang berlebih di tingkat regional
dengan radiotracer dan microneurigraphy. 4
3. Meknaisme renal : ginjal merupakan salah atu faktor yang ikut berperan dalam
patogenesis terjadinya hipertensi. Sebaliknya, hipertensi dapat menyebabkan terjadinya
kelainan pada ginjal. Dasar dsari semua kelainan yang ada pada hipertensi adalah
menurunya kemampuan ginjal untuk mengeksresikan kelebihan natrium pada diet tinggi
garam. Retensi natrium dapat meningkatkan tekanan darah melalui dua cara yaitu : 4
Volume dependent mechanism , autiregulasi dan produksi dari endogenous
(TGF)- .
4. Mekainsme vasular, perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah kecil dan besar
memegang peranan penting saat mulai terjadinya dan progresifitas hipertensi. Pada
beberapa keadaan didaptkan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer dengan curah
jantung yang normal. Terjadi gangguan keseimbangan antara faktor yang menyebabkan
terjadinya dilatasi dan konstriksi pembuluh darah. 4
Mekanisme vasokonstriksi ditingkat seluler juga berperan pada patogenesis
hipertensi primer meskipun tidak didapatkan kelainan pada ginjal, meningkatnya
27
pembuluh darah.
Disfungsi endotel , lapisan endotel pembuluh darah merupakan faktor yang sangat
berperan dalam menjaga kesehatan pembuluh darah, dan merupakan lapisa utama
pertahanan terhadap aterosklerosis dan hipertensi. Keseimbangan tonus pembuluh
darah diatur oleh modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi. Gangguan pada
kesimbangan tonus ini jiga ikut berperan pada patogenesis hipertensi primer.
Adanya disfungsi endotel merupakan penanda yang kgas dari suatu hipertensi dan
resiko dari suatu kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan
menurunya faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan
oleh endotel, sepertgi nitrit oxide (NO), dan meningkatnya faktor yang
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi seperti proinflamasi, protrombik dan
growth factors.
Remodeling vaskular, seiring dengan berjalanya waktu, disfungsi endotelm
aktivitas neurohormonal, inflamasi vaskular dan meningkatnya tekanan darah
akan menyebabkan perubahan pada pemuluh darah yang makin memperberat
hipertensi. Gam,baran khas dari keadaan ini adalah menebalnya dinding media
arteri, sehingga terjadi peningkatan ratio antara media dan lumen, pada arteri
besar dan kecil. Sistem RAA merupakan faktor yang dominan berperan dalam
remodeling ini.
5. Mekanisme hormonal, aktivasi sistem RAA merupakan salah satu mekanisme enting
yang ikut berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungsi endotel , inflamasi dan
remodeling oembuluh darah juga hipertensi. Renin yang diproduksi terutama oleh sel
juxtaglomerulus yang ada diginjal akan berikatan dengan angiotensinogen yang
diprodeuksi oleh hati, menghasilkan angiotensi 1. Selanjutnya oleh ACE yang terutama
banyak di paru dan juga jatung serta pembuluh darah , AT I akan diubah menjadi AT II.
Selain itu masih ada jalur alternatif lain. Chymase merupakan enzim protease serine akan
merubah AT I menjadi AT ii. Interaksi antara AT II dan reseptor AT I akan mengaktivasi
beberapa mekanisme di tingkat seluler yang ikut berperan dalam terjadinya hipertensi dan
percepatan itu sendiri. Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan target organ
antara lain mengingkatnya produksi reactive oxygen species , inflamasi vaskular,
remodeling jantung dan produksi aldosteron. 3
28
Pengobatan
Tujuan pengobatan oenderita hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas
poenyakit kardiovaskular dan ginjal. JNC7 dan guidlines lainnya merekomendasikan untuk
seluruh penderita hipertensi diharuskan tekanan darah sistolik <140mmHg dan diastolik < 90
mmHg. Untuk penderita diabetes melitus dan penyakit ginjal kronis, target tekanan darah adalah
<130/80 mmHg. Oleh karena mekanisme terjadinya hipertensi primer disebabkan oleh interaksi
berbagai faktor resiko yang b ersifat multifaktorial, maka sasaran pengobatan bersifat kombinasi
anraea modifikasi gaya hidup dan berbagai jenis obat anti hipertensi. Selain pengobatan
hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes
melitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing
kondisi. 4
Pengobatan nonfarmakologis
JNC 7 merekomendasikan menurunkan berat badan berlebih atau kegemukan,
pembatasan asupan garam kurang atau sama dengan 100 mEq/L.hari (2.4 gram natrium atau 6
gram natrium klorida), meningkatkan konsumsi buah dan sayur, menurunkan konsumsi alkohol
tidak lebih dari 2 kali minum/hari, meningkatkan aktivitas fisik paling tidak berjalan 30
menit/hari selama 5 hari/minggu serta menghentikan merokok, akan mengurangi resiko kejadian
kardiovaskular. 4
Pengobatan farmakologis
Jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi antara lain : 5
29
Pada penyakit ginjal stadium 4-5 dapat diberikan diuretik loop untuk
menghilangkan kelebihan berat badan untuk mencapai berat badan ideal. Meskipun tidak
terlihat edema tetapi kelebihan ekstraselular dan volume darah sekitar 10-30%. 5
Beta blocker
Penghabat -adrenergik merupakan obat pilihan pertama disamping golongan
penghambat SRAA pada pasien penyakit ginjal menahun dengan penyakit ginjal
menahun
dengan
pneyakit
kardiovaskular.
Penelitian
laiinya
yang
dilakukan
-adrenergik dapat
menurunkan resiko kematian akibat kardiovaskular dan pada pasien tanpa riwayat gagal
jantung, penguinaan obat dapat menurnkan kejadian gagal jantung, kematian kaibat
kardiovaskular dan kematian karena bebagai sebab. Metoprolol di metabolisme di hepar
dan hanya sebagian yang dieksresikan melalui ginjal, sedangkan atenolol sebagian besar
diekresikan melalui ginnjal. Oleh karenas itu penggunaan atenolol dosisnya harus
disesuaikan dengan kondisi ginjal, sedangkan metoprolol tidak perlu adjusted dose.
Secara keseluruhan penghambat -adrenergik dapat ditolerir dengan baik pada pasien
menimbulkkan baradikardia dan defek konduksi elektrik otot jantung lebih besar. 5
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Banyak dipakai pada pasien hipertensi dengan penyakit gagal ginjal menahun untuk
melindungi kardiorenal, obat ini kurang berhasil pada oengobatan hipertensi dengan
kjelbihan volume daeag tetapi bila disertau dengan diuretik akan memberikan hasil yang
lebih baik. Sebagian besar ACEI secara eklusif diekresikan melalui ginjal pada berbagai
tingkar gangguan filtrasi dan sekresi pada tubuli. ACEI yang diekresikan melalui dua
jalue terutama fisinopril dan trandopil. Ada juga beberapa ACEI yang bertahan lama
konsentrasi tinggi dalam darah sehingga akan mempengaruhi tekana ndarah, eksresi
protein dan metabolisme kalium. 5
30
dalam pengobatan hipertensi. Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan
hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan
darah itu sendiri, yang terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan.
Pengbatan dimulai secara bertahaap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam
beberapa minggu. Dianurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang
atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pemilihan pengobatan
dengan salah satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada ekanan darah
awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika pengobatan dimulai dengan satu jenis obat dosis rendah,
dan bila tekanan darah belum turun, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat
tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. 5
Efek samping pengobatan antihipertensi bisa dihindari dengan menggunakan dosis
rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Hampir sebagian besar penderita memerlukan
kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Ahir-akhir ini telah beredar
macam-macam obat anti hipertensi yang merupakan kombinasi 2 atau 3 macam obat
antihipertensi yang di sebut single pill combination dan berguna untuk mengingkatkan efisiensi
kepatuhan berobat dan menekan biaya pengeluaran untuk pembelian obat. Kombinasi yang telah
terbukti efektif dan dapat diteloransi penderita : 4
Diuretika dengan ACEI atau ARB
CCB dengan BB
CCB dengan ACEI atau BB
CCB dengan diuretika
AB dengan BB
Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.
31
Stroke
Pada iskemia kaut, berapa tekanan darah yang optimal masih kontroversi, penurunan
mendadak
dapat
mengganggu
fungsi
neurologis.
Diharapkan
tekanan
darah
160/100mmHg memberikan hasil yang optimal. Pada keadaanh stail, pemberian ACEI
32
dan diuretik golongan thiazide dapat dipergunakan untuk mencapai target tekanan darah
Diabetes
ACEI, ARB
Thiaz, ACEI
Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala bentuk manisfestasi klinik
dari aterosklerosis. Hipertensi dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya kejadian
kardiovaskular dan kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak langsung. Motilitas
meningkat dua kali pada setiap kenaikan tekanan darah sebesar 20/20 mmHg. Pada keadaan
tekanan darah high normal (130-139/85089 mmHg), didapatlan peningkatan kejadian
kardiovaskular 2.5 pada wanita dan 1.6 pada pria bila dibandingkan dengan tekanan darah
normal. Sedang resiko untuk penyakit giinjal, meningkatnya tekanan darah sistolik lebih erat
kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila dibanding denga tekana darah
diastolik terutama pada usia lebih 50 tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan
kerusakan oada pembuluh darah dan parenkim ginjal. Berbagai kerusakan organ target tersebut
antara lain : 4
1. Pada jantung : hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, dan gagal janutng
2.
3.
4.
5.
kongestif
Penyakit ginjal kronik dan oenyakit ginjal tahap akhir
Retinopati
Pada otak : stroke atau transient ischemic attack
Penyakit arteri perifer
34
DISPEPSIA
Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari rasa nyeri/tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, rasa
panas yang menjalar di dada. Dispepsia yang belum diinvestigasikan dinamakan Uninvestigated
dyspepsia (UD). Keluhan dyspepsia pada UD sesuai dengan kriteria Rome III namun belum
dilakukan investigasi seperti pemeriksaan endoskopi. Bila sesuadah endoskopi didapatkan tidak
ada kelainan, maka keluhan dypepsia fungsional dapat ditegakan. 6
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu : 6
Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelianan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tuka (luka) lambung. Usus dua belas jario, radang
Manisfestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan membagi dispepsia
menjadi tiga tipe : 6
a. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus like dyspepsia), dengan gejala :
Nyeri epigastrium terlokalisir
Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
Nyeri saat lapar
Nyeri episodik
b. Dispepsia dengan gejala dismotilitas (dymotility like dyspepsia), dengan hejala :
35
Mudah kenyang
Perut cepat penuh saat makan
Mual
Muntah
Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas )
Rasa tak nyaman bertambah sat makan
c. Dispepsia nonspesifik (tidk adsa gejala seperti kedua tipe diatas)
Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluahn umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Penelitian pada populasi umum mendapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di Amerika Serikat, prevalensi dispepsia fuyngsional
tercatat sebesar 20%.6
Etiologi
Gangguan atau penyakit dalam llumen saluran cerna : tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati,
pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes
mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang
terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural
biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus. 6
Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia fungsional hingga kini belum jelas, namun beberapa terori pernah
diajukan, antara lain : 6
-
kenyang
Adanya stress psikologi
Sedangkan pengaruh aktivitas mioelektrik lambung, pengaruh hromonal, pengaruh
infeksi Helicobacter pylori, hubungan dengan dismotilitas gastrointestinal, pengaruh
diet, dan faktor lingkungan terhadap dispepsia fungsional masih belum jelas.
Gejala Klinis
Konsensus Roma III (2006) mendefinisikan kriteria diagnostik untuk dispepsia
fungsional sebagai berikut: 6
36
Setidaknya selama 3 bulan, mulainya paling tidak sudah 6 bulan, dengan satu atau lebih keluhan
ini:
Nyeri epigastrik (epigastric pain), cepat kenyang (early satiation), rasa penuh dan rasa
terbakar di epigastrium (epigastric burn) serta tidak ditemukan kelainan struktural biokimiawi,
termasuk setelah dilakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi (EGD). 6
Keluhan klinis utama untuk dispepsia fungsional menurut Rome III, adalah nyeri
epigastric, cepat kenyang, rasa penuh, dan rasa terbakar di epigastrium. Lokasi epigastrium
adalah area antara umbilikus dan ujung inferior sternum, di linea midclavicula. Yang dimaksud
dengan nyeri adalah rasa tidak nyaman, dengan atau tanpa rasa terbakar, walau sebagian pasien
tidak menginterpretasikan sebagai nyeri. Rasa penuh adalah rasa tidak nyaman seakan-akan
makanan di lambung menetap lebih lama. Cepat kenyang adalah rasa lambung langsung penuh
walau baru makan sedikit. Rasa terbakar di epigastrium adalah rasa panas yang tidak
menyenangkan di epigastrium. 6
Pemeriksaan penunjang
Bila didapatkan tanda alarm, yaitu mual muntah yang tidak sembuh dengan terapi lazim,
terapi empiris gagal, anemia, melena dan/hematemesis, penurunan berat badan yang signifikan
akibat penyakit, disfagia, maka investigasi yang berupa pemeriksaan laboratorium, radiologik
dan endoskopik harus dijalankan. Selanjutnya terapi disesuaikan dengan hasil temuan
investigasi. Namun bika tidak ditemukan tanda alarm, maka tidak perlu terlalu cepat melakukan
investigasi. Pasien dapat diterapi secara empiris terlebih dahulu. 6
Yang dimaksud dengan terapi empiris adalah terapi yang diberikan berdasarkan hipotesis
diagnosis kerja. Lamanya terapi empiris bervariasi, ada yang menganjurkan selama 1-2 minggu,
ada yang lebih lama yaitu selama 4 minggu. Tidak berhasilnya terapi empiris merupakan salah
satu tanda alarm, sehingga menjadikan kasus tersebut diindikasikan untuk investigasi lanjutan.
Investigasi dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi (leukositosis), pankreatitis (amilase
lipase), hepatitis (SGOT SGPT), keganasan saluran cerna (CEA, Ca19-9, AFP, foto barium),
penyakit batu empedu (USG, CT Scan, MRI atau MRCP, ERCP), infark miokard (CK, CKMB,
troponin), diabetes melitus (glukosa darah), gagal ginjal (ureum, kreatinin), dan yang terpenting
untuk mendeteksi lesi esofagogastroduodenal adalah endoskopi. 6
Setelah investigasi, diagnosis kerja dispepsia dapat berubah sesuai hasil temuan, yaitu1
-
Efek samping obat, seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS), teofilin, antibiotik,
dll.
Bila setelah investigasi ternyata tidak ditemukan adanya penyakit organik, dan keluhan menetap
selama 3 bulan atau lebih, maka diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan. 6
Penatalaksanaan
Pengbataan dispepsia mengenal beberapa golongan obat yaitu : 7
1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan meneteralisi sekresi
asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al (OH)3, Mg(OH)2, dan
Mg trisilat. Pemberian anatasi jangan diberikan terus menerus, sifatnya hanya simtomatis
untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisilat dapat dipakai dengan jangka waktu lebih lama,
juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar
akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah
gabungan aluminium hodroksida dan magnesium hidroksida. Alumuinum hidroksida
dapat menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat, magnesium hidroksida bisa
menyebabkan BAB cair. Antasid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox,
merupakan kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium
kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan,
hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien
tersebut. 7
2. Antikolinergik
Perlu di perhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi
asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. 7
3. Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakn untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara
lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. 7
4. Penghambat pompa asam (Proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah 18 jam jadi, bisa dimakan antara
2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi
penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali
omeprazol. 7
38
5. Sitoprotektor
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekans ekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan menignkatkan sekresi bikarbnonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan
protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang,
bisa menyebabkan konstipasi (2-3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik.
Dosis standar adalah 1 g per hari. 7
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung. 7
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada
sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan
cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang
muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi. 7
Terapi Dispepsia Fungsional6
a. Farmakologis
Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus berat.
Mungkin perlu pengobatan jangka pendek jika ada keluhan
b. Psikoterapi
Reassurance
Edukasi mengenai penyakitnya
c. Perubahan diit dan gaya hidup
Dianjurkan makan dalam porsi lebih kecil tapi lebih sering
Makanan tinggi lemak dihindari
Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifar terapi simptomatik. Pasien
dengan dispepsia funsional lebih dominan gejala dan keluhan seperti nyeri pad aabdomen bagian
atas bisa diobati dengan PPI. Pasien dengan keluhan tidak jelas dibagian abdomen tas dimana
yang aggal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan Tricyclic antidepressants, walaupun data
yang menyokong masih kurang. Pasien dengan keluhan dismotility like syndrome bisa diobati
39
sama dengan acid suppressive therapy, prokinetic agent, atau 5-HT1 agonist. Metoclopramide dan
domperidon menunjukan antara obat placebo dalam pengobatan dispepsia fungsional. 7
Daftar Pustaka
1. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
MK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6, Volume ke-2.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.2159-65.
2. Bargman JM, Skorecki K. Chronic Kidney Disease. Dalam: Kasper DL, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 19th Edition. New York: McGraw Hill Education; 2015.p.1811-20
40
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6,
Volume ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.h.912-8.
4. Mohani CI. Hipertensi primer. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna
publishing; 2014.hlm.2284-93.
5. Soelaeman MR. Hipertensi pada penyakit ginjal menahun. Dalam : Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna publishing; 2014.h. 2297-8.
6. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Ukrida; 2013.h. 25-37
7. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer
disease. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th. Mc Graw-Hills; 2008.p.287.
41