Anda di halaman 1dari 41

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT:Koja
Nama Mahasiswa

: Gita Puspitasari

NIM

: 112014147

Tanda Tangan
....................

Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Benyamin S Tambunan, Sp.PD

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. Y
Usia
: 42 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan
: Ibu Rumah tangga
Alamat
: Jl. Kalibaru barat RT 06/06

Jenis Kelamin : Perempuan


Suku Bangsa : Betawi
Agama
: Islam
Pendidikan : SMP
Tanggal masuk : 20 November 2015

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis

Tanggal : 21 November 2015

Jam : 10.00 WIB

Keluhan utama :
Badan terasa lemas sejak 3 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 3 minggu SMRS pasien mengeluh badan terasa lemas, lemas dirasakan diseluruh
badan sehingga untuk aktivitas pasien memerlukan bantuan anggota keluarga yang lain. Badan
lemas dirasakan semakin lama semakin berat hingga pasien tidak dapat melakukan aktivitas dan
hanya berbaring. OS mengaku tidak pernah mengeluh sesak nafas ataupun nyeri dada saat
beraktivitas. OS tidur menggunakan 1 bantal, dan tidak pernah terbangun di malam hari karena
sesak dan juga jarang batuk-batuk di malam hari.

Satu minggu SMRS pasien megeluh bengkak di kedua mata, wajah kemudian juga
bengkak di temukan pada kedua lengan dan kakinya. Bengkak tidak terasa sakit bila ditekan. OS
juga mengatakan merasa mual tetapi tidak sampai muntah keluhan nyeri ulu hati juga di
keluhkan oleh pasien. Menurut pasien BAK sehari frekuensi 6 kali dengan jumlah volume
gelas air mineral, warna urin kuning tidak ada darah, tidak ada batu, tidak berpasir dan tidak ada
keluhan nyeri saat BAK. Keluhan lemas masih di rasakan oleh pasien sehingga keluarga pasien
membawa pasien ke IGD rumah sakit swasta, dari hasil laboratorium di katakan fungsi ginjal
meningkat sehingga pasien harus di lakukan hemodialisa tetapi pasien menolak tindakan
sehingga kembali lagi kerumahnya.
Tiga hari SMRS keluhan lemas masih di rasakan oleh pasien disertai rasa nyeri ulu hati
dan mual tetapi tidak muntah dan rasa kembung sehingga merasa cepat kenyang. OS mengatakan
bengkak di tangan dan kaki sudah mulai sedikit berkurang tetapi bengkak di mata dan wajah
tidak ada perubahan. OS mengatakan nafsu makannya menurun. Volume BAK juga masih
sedikit.
Satu

hari SMRS keluhan lemas seluruh badan dirasakan semakin berat, diseretai

pandangan yang berkunang-kunang dan pusing. Bengkak di kedua mata dan wajah tidak
berkurang dan dirasakan tidak bertambah. BAK masih dengan volume sedikit. Keluhan nyeri ulu
hati, mual, dan masih tetap dirasakan oleh pasien. Dan keluhan sakit kepala menyelruh disertai
rasa pegal di tengkuk juga di rasakan oleh pasien. Os mengaku adanya riwayat hipertensi sejak 7
tahun yang lalu tetapi tidak rutin berobat ke dokter, dan pernah memiliki riwayat stroke 5
tahun yang lalu, menurut pasien keluhan tidak bisa menggerakan tangan dan kaki kananya terjadi
tiba-tiba saat bangun tidur, disertai dengan mulut mencong ke sebalah kanan, tetapi pingsan
sebelum stroke dan muntah di sangkal oleh pasien. OS juga mengatakan memiliki riwayat
melena. Riwayat kencing manis ataupun riwayat sakit jantung, riwayat alergi obat di sangkal.
Riwayat merokok dan alkohol di sangkal. Pasien juga menyangkal menggunakan obat-obatan
jangka panjang, jamu.
Penyakit Dahulu
(-) Cacar

(-) Malaria

(-) Batu ginjal/Sal.kemih

(-) Cacar Air

(-) Disentri

(-) Burut (Hemia)

(-) Difteri

(-) Hepatitis

(-) Penyakit prostate

(-) Batuk Rejan

(-) Tifus Abdominalis(-) Wasir

(-) Campak

(-) Skirofula

(-) Diabetes

(+) Influenza

(-) Sifilis

(-) Alergi
2

(-) Tonsilitis

(-) Gonore

(-) Tumor

(-) Khorea

(+) Hipertensi

(-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut

(-) Ulkus Ventrikuli

(-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia

(-) Ulkus Duodeni

(+) Gastritis

(-) Psikosis

(-) Rhematoid Arthritis

Lain-lain :

(-) Operasi
(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga
Hubungan

Umur
(Tahun)

Kakek (ayah)
Nenek (ayah)
Kakek (ibu)
Nenek (ibu)
Ayah
Ibu
Saudara

Anak anak

Keadaan

Jenis Kelamin

Kesehatan

Penyebab Meninggal

60
70
74
78
60
50
45
43

Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan

Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Sehat
Sehat
Sehat
Sehat

Sakit tua
Hipertensi
Jantung
Sakit tua
-

38

Perempuan

Sehat

35

Laki-laki

Sehat

32

Laki-laki

Sehat

28

Perempuan

Sehat

25

Laki-laki

Sehat

19

Perempuan

Sehat

Adakah Kerabat yang Menderita ?


Penyakit

Ya

Tidak

Hubungan

Alergi

Asma

Tuberkulosis

Artritis

Rematisme

Hipertensi

Nenek

Jantung

Kakek

Ginjal

Lambung

ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul

(-) Rambut

(-) Keringat Malam

(-) Kuku

(-) Kuning/Ikterus

(-) Sianosis

(-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma

(+) Sakit Kepala

(-) Sinkop

(-) Nyeri pada Sinus

(-) Nyeri

(-) Radang

(-) Sekret

(-) Gangguan Penglihatan

(-) Kuning/Ikterus

(-) Ketajaman Penglihatan menurun

Mata
(+) Bengkak

Telinga
(-) Nyeri
(-) Sekret

(-) Gangguan Pendengaran

(-) Tinitus

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung
(-) Trauma

(-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri

(-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret

(-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir kering

(-) Lidah kotor

(-) Gusi berdarah

(-) Gangguan pengecapan

(-) Selaput

(-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan

(-) Perubahan Suara

(-) Nyeri Leher

(-) Benjolan

Leher
Dada ( Jantung / Paru paru )
(-) Nyeri dada

(-) Sesak Napas

(-) Berdebar-debar

(-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe

(-) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )


(+) Rasa Kembung

(-) Wasir

(-) Perut Membesar


4

(+) Mual

(-) Mencret

(-) Muntah

(-) Tinja Darah

(-) Muntah Darah

(-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Sukar Menelan

(-) Tinja Berwarna Ter

(+) Nyeri Ulu hati

(-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria

(-) Kencing Nanah

(-) Stranguria

(-) Kolik

(-) Poliuria

(+) Oliguria

(-) Polakisuria

(-) Anuria

(-) Hematuria

(-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu

(-) Kencing Menetes

(-) Ngompol (tidak disadari) (-) Penyakit Prostat


Saraf dan Otot
(-) Anestesi

(-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi

(-) Ataksia

(+) Otot Lemah

(-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang

(-) Pingsan

(-) Afasia

(-) Kedutan (tick)

(-) Amnesia

(-) Pusing (Vertigo)


(-) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas
(+) Bengkak

(-) Deformitas

(-) Nyeri sendi

(-) Sianosis

Berat Badan :
Berat badan rata rata : 42 kg
Berat tertinggi (kg)

: 55 kg

Berat badan sekarang : 42 kg

RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat lahir : (-) Di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
Ditolong oleh : (-) Dokter

(+) Bidan

(-) Dukun

(-) lain lain

Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis

(+) BCG

(+) Campak (+) DPT

(+) Polio

(+) Tetanus

Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari: 2x sehari

Jumlah / kali : 1 porsi sedang

Variasi / hari: Nasi, sayur, tahu, tempe, ikan

Nafsu makan : menurun

Pendidikan
(-) SD

(+) SLTP

(-) SLTA

(-) Sekolah Kejuruan

(-) Akademi

(-) Universitas

(-) Kursus

(-) Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan

: ada

Pekerjaan

:-

Keluarga

:-

Lain-lain

:-

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan

: 148 cm

Berat Badan

: 42 kg

IMT

: 19,7 kg/m2 (normal)

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan Darah

: 200/110 mmHg

Suhu

: 36,8C

Nadi

: 82 x/menit

Pernafasaan

: 22 x/menit

Keadaan gizi

: baik

Sianosis

: tidak ada

Edema umum

: tidak ada

Habitus

: atletikus

Cara berjalan

: normal

Mobilitas ( aktif / pasif )

: aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa

: sesuai umur
6

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku

: wajar

Alam Perasaan

: biasa

Proses Pikir

: wajar

Kulit
Warna

: sawo matang

Effloresensi

: tidak ada

Jaringan Parut

: tidak ada

Pigmentasi

: tidak ada

Pertumbuhan rambut

: merata, hitam

Pembuluh darah : tidak tampak pelebaran

Suhu Raba

: sama dengan pemeriksa

Lembab/Kering : lembab
Keringat

: umum (+)

Turgor

Ikterus

: tidak ada

Lapisan Lemak

: merata

Edema

: di mata dan wajah

Lain-lain

:-

: baik

Kelenjar Getah Bening


Submandibula

: tidak teraba membesar

Leher : tidak teraba membesar

Supraklavikula

: tidak teraba membesar

Ketiak : tidak teraba membesar

Lipat paha

: tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah

: tenang

Simetri muka

: simetris

Rambut

: merata, hitam, tidak mudah rontok

Pembuluh darah temporal : teraba pulsasi


Mata
Exophthalamus

: tidak ada

Enopthalamus

: tidak ada

Kelopak

: oedem (+)

Lensa

: jernih

Konjungtiva

: anemis (+)

Visus

: normal

Sklera

: ikterik (-)

Gerakan Mata

: aktif

Lapangan penglihatan

: normal

Nistagmus

: tidak ada

Tekanan bola mata

: normal

Telinga
Tuli

: tidak ada

Selaput pendengaran : utuh, intak

Lubang

: lapang

Penyumbatan

: tidak ada

Serumen

: ada

Pendarahan

: tidak ada

Cairan

: tidak ada

Mulut
Bibir

: kering, pucat

Tonsil

: T1 T1 tenang

Langit-langit

: tidak ada kelainan

Bau pernapasan : tidak ada

Gigi geligi

: utuh, karies dentis (+)

Trismus

Faring

: tidak hiperemis

Selaput lendir : tidak ada bercak putih

Lidah

: normal

: tidak ada

Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP)

: 5-2 cmH2O

Kelenjar Tiroid

: tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe

: tidak teraba membesar

Dada
Bentuk

: simetris, sela iga normal

Pembuluh darah : kolateral (-), spider nevi (-), tidak terdapat lesi kulit
Buah dada

: simetris, tidak teraba massa

Paru Paru
Inspeksi
Palpasi

Kiri
Kanan
Kiri

Kanan

Perkusi

Kiri
Kanan
Auskultasi Kiri

Depan
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan

Belakang
Simetris saat statis dan dinamis
Simetris saat statis dan dinamis
Tidak ada benjolan

Fremitus taktil simetris

Fremitus taktil simetris

Nyeri tekan (-)


Tidak ada benjolan

Nyeri tekan (-)


Tidak ada benjolan

Fremitus taktil simetris

Fremitus taktil simetris

Nyeri tekan (-)


Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
Suara vesikuler

Nyeri tekan (-)


Sonor di seluruh lapang paru
Sonor di seluruh lapang paru
Suara vesikuler

Kanan

Wheezing (-) Rhonki (-)


Suara vesikuler

Wheezing (-) Rhonki (-)


Suara vesikuler

Wheezing (-) Rhonki (-)

Wheezing (-) Rhonki (-)

Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus kordis tidak teraba

Perkusi

: Batas atas

: ICS III linea parasternal kiri

Batas kanan : ICS IV linea sternalis kanan


Batas kiri : ICS V 1 cm lateral linea midklavikula kiri
Auskultasi : BJ1-BJ2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis

: Teraba pulsasi

Arteri Karotis

: Teraba pulsasi

Arteri Brakhialis

: Teraba pulsasi

Arteri Radialis

: Teraba pulsasi

Arteri Femoralis

: Teraba pulsasi

Arteri Poplitea

: Teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior

: Teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis

: Teraba pulsasi

Perut
Inspeksi

: Datar, pembuluh darah (-), caput medusa (-), spider nevi (-), dilatasi vena (-)

Palpasi

: Dinding perut: tidak ada rigit, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), defans
muskular (-) , massa (-)

Perkusi

Hati

: tidak teraba

Limpa

: tidak teraba

Ginjal

: ballotemen (-), nyeri ketuk CVA (-)

Lain-lain

: tidak ada

: timpani.

Auskultasi : BU(+) 10x/menit


Refleks dinding perut : baik
Colok Dubur (atas indikasi)
Tidak dilakukan karena tidak ada indikasi
9

Anggota Gerak
Lengan

Kanan

Kiri

Otot
Tonus

:Normotonus

Normotonus

Massa

:Eutrofi

Eutrofi

Sendi

:tidak ada kelainan

tidak ada kelainan

Gerakan

: aktif

aktif

Kekuatan

:5

Lain-lain

:ptekie (-) , oedem (-)

ptekie (-), oedem (-)

Tungkai dan Kaki

Kanan

Kiri

Luka

tidak ada

tidak ada

Varises

tidak ada

tidak ada

Otot (tonus)

normotonus

normotonus

Massa

eutrofi

eutrofi

Sendi

normal

normal

Gerakan

aktif

aktif

Kekuatan

Oedem

tidak ada

tidak ada

Lain-lain

tidak ada

tidak ada

Reflex
Kanan
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif

Refleks Tendon
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis

Kiri
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 20 November 2015, pukul 18:35 di IGD

Darah rutin:
Hb

: 5.9 g/dL

12.5-16.0

Leukosit

: 3.810 /L

4.000-10.500
10

Ht

: 17.1%

37.0-47.0

Trombosit

:350.100/L

182.000-369.000

Na

: 131 mmol/L

135-147

: 3,93 mmol/L

3.5-5.0

Cl

: 99 mmol/L

96-108

Ureum

: 157.0 mg/dL

16.6-48.5

Kreatinin

: 10.27 mg/dL

0.51-0.95

Elektrolit:

Glukosa sewaktu

: 94 mg/dL
Neonatus 1 hari

: 40-60

Neonatus >1 hari

: 50-80

Anak-anak

: 60-100

Dewasa
70-99

: bukan Diabetes Melitus

100-199

: belum pasti Diabetes Melitus

>=200

: Diabetes Melitus

RINGKASAN
Pasien perempuan usia 42 tahun datang ke IGD RSUD koja dengan keluhan lemas
seluruh badan sejak 3 minggu SMRS dan disertai dengan bengkak pada mata dan wajahnya sejak
1 minggu SMRS. Sebelum dibawa ke IGD koja, pasien di bawa ke IGD RS swasta dan dari
pemeriksaan laboratorium hasil fungsi ginjal meningkat dan di anjurkan untuk melakukan
hemodialisa tetapi pasien menolak. BAK 6 kali/ hari dengan volume gelas air mineral.
Keluhan juga disertai dengan nyeri ulu hati, rasa kembung, dan mual tetapi tidak muntah. OS
memiliki riwayat hipertensi sejak 7 tahun lalu, dan stroke , serta riwayat melena. Pemeriksaan
fisik didapatkan : KU TSS, TD 200/110 mmHg, edema pada kelompak mata dan wajah,
konjungtiva anemis +/+, nyeri tekan epigastrium (+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan : Hb:
5.9 g/dL, Ht: 17.1%, Ureum : 157.0 mg/dL, Kreatinin : 10.27 mg/dL.
MASALAH
1.

Chronic Kidney Disease stage V

2.

Anemia ec CKD stage V

3.

Hiperetensi primer grade II

4.

Dispepsia uninvestigated
11

PENGKAJIAN DAN RENCANA TATALAKSANA


1.

Chronic Kidney Disease stage V


CKD pada kasus ini dipikirkan akibat Hipertensi karena dari anamnesis diketahui
pasien

memiliki riwayat hipertensi yang sudah diderita sejak 7 tahun yang lalu.

Pengukuran tekanan darah pada saat pemeriksaan di ketahui 200/110 mmHg. Dipikirkan
adanya CKD stage V bedasarkan keluhan mual, muntah, edema yang didahului pada
palpebra kemudian wajah hingga ke ekstremitas, BAK dengan frekuensi 6 kali perhari
namun volume yang hanya gelas air mineral dan di temukan pada pemeriksaan
laboratorium terdapat peningkatan ureum : 157.0 mg/dL dan kreatinin : 10.27 mg/dL .
berdasarkan nilai CCT (Clearance Creatinine Test) :
*hasil di kali 0.85 jika jenis kelamin perempuan
(140-42) x 42
72 x 10.27

(140-umur) x BB
72 x kreatinin darah

= 5.56 mg/dL x 0.85


= 4.73 mg/menit/ 1,732 m2

Selain itu kemungkinan lain penyebab CKD stage V pada kasus ini adalah
Diabetes melitus namun dari hasil laboratorium tidak mendukung adalah hasil GDS 94
mg/dL dan pasien tidak memiliki riwayat Diabetes melitus. Kemungkinan lain penyebab
CKD stage V pada kasus ini yaitu batu, namun dari hasil anamnesis tidak ada riwayat
keluar batu atapun berpasir pada saat BAK dan tidak ada keluhan nyeri saat BAK.
Rencana diagnostik:
-

Pemeriksaan urin lengkap, untuk melihat proteinuria, sedimen eritrosit dan leukosit

Pemeriksaan ureum kreatinin ulang untuk memantau perkembangan fungsi ginjal

USG abdomen untuk melihat apakah sudah terjadi kelainan struktural pada ginjal,
mengetahui ukuran ginjal dan menyingkirkan kemungkinan CKD ec batu ginjal dan
batu slauran kemih.

Rencana pengobatan

IVFD RL 6 tpm
Diet tinggi kalori dan rendah protien ( 0.8 g/KgBB/Hari 0.8 x 42 = 33.6 g)
Aminefron 3 x 1caps
Terapi pengganti : Hemodialisa cito

Rencana edukasi
12

2.

Kurangi aspuan cairan


Perlu di jelaskan apa saja akibat gagal ginjal
Di jelaskan mengapa perlu cuci darah

Anemia ec CKD stage V


Dicurigai suatu anemia karena penyakit kronik, karena didapatkan hasil
laboratorium 5.9 d/dL dan Ht 17.1%. Dari anamnesis di ketahui pasien mengeluh
lemas, pusing, pandangan berkurang-kunang. Namun pada anamnesis tidak
didapatkan tanda-tanda perdarahan seperti muntah darah, BAB hitam atau BAB
darah. Pada pemerikisaan fisik didapatkan konjungtiva anemis pada kedua mata, bibir
tampak pucat dan kering. Anemia di duga diakibatkan oleh CKD, dimana CKD dapat
menimbulkan anemia karena defisiensi eritropoetin. Namun perlu di bedakan pada
anemia defisiensi besi ditemukan penurunan kadar besi serum <50 mg/dL dan kadar
feritin serum < 20 mg/dL, serta gejala khas dari defisiensi besi adalah adanya
koilonikia (kuku sendok), atrofi papil, stomatitis angularis, disfagia, maupun pica.
Sedangkan pada anemia defisiensi asam folat terdapat pembesaran sel-sel darah
merah dan penurunan kadar asam folat serum < 4 mg/mL.
Rencana diagnostik :
Pemeriksaan kadar SI, TIBC, dan feritin untuk menyingkirkan anemia

defisiensi besi
Pemeriksaan indeks eritrosit (MDT) dan kadar asam folat serum untuk

menyingkirkan anemia defisiensi asam folat


Rencana pengobatan
Transfusi PRC 250 cc perhari samapi mencapai target Hb 10g/dL.

3.

Rencana edukasi
Dijelaskan adanya kemungkinan akan diberikan PRC
Hipertensi primer grade II
Pada kasus ini dipikirkan hipertensi primer dengan data anamnesis OS
mengatakan memiliki riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu, dan mendahului
penyakit CKD. Penyebab hipertensi primer ini sendiri tidak diketahui atau idiopatik.
Dan kalsifikasi derajat hipertensi grade II ini di ketahui dari hasil pemeriksaan fisik
tekanan darah terukur 200/110 mmHg .
Rencana diagnostik :
Rencana diagnostik CKD hanya untuk menegaskan bahwa hipertensi pada kasus ini
adalah hipertensi skunder karena CKD
Rencana pengobatan :
- Losartan tablet 1x 50 mg
- Amlodipin 1x10mg
Rencana edukasi :
13

- Diet DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang mencakup konsumsi


buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak total.
- Penurunan asupan garam. Konsumsi NaCl yang disarankan adalah <6g/hari
- Aktivitas fisik. Target aktivitas fisik yang disarankan minimal 30 menit/hari,
dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu.
4.

Dispepsia univestigated
Dipikirkan dispepsia berdasarkan keluhan pasien yaitu nyeri ulu hati dan mual,
rasa cepat kenyang dan kembung. Tetapi dapat dipikirkan juga berasal dari GERD dan
ulkus peptikum ec H.pylori . Akan tetapi pada diagnosis GERD sulit dibedakan karena
dapat timbul pada bersamaan dengan dispepsia. Pada GERD gejala khas berupa rasa
terbakar di dada disertai dengan adanya regurgitasi (rasa asam pahit dari labung terasa di
lidah) tidak dipatkan. Sedangkan pada ulkus peptiukum ec H. Pylori dapat terlihat
sindrom dispepsia namun yang menonjol adalah rasa nyeri ulu hati dn muntah menonjol.
Rencana diagnostik:
- USG abdomen untuk mengetahui apakah adanya kelainan selain di lambung
- Biopsi abdomen untuk mencari apakah ada kuman H.pylori
- Endoskopi SCBA untuk mengetahui adanya mucosal breaks di esophagus
Rencana pengobatan:
Omeperazol 2 x 40 mg IV

Sukralfat 3 x 10 cc PO

Rencana edukasi:
-

Makan lebih sering dalam porsi lebih kecil dan tidak terlambat makan

Hindari makanan tinggi lemak, pedas, atau asam yang dapat mencetuskan gejala

Tidak merokok, minum alkohol, minum kopi

KESIMPULAN DAN PROGNOSIS


Perempuan berusia 42 tahun menderita Chronic Kidney Disease, dengan anemia,
hipertensi primer grade II dan dispepsia. Tujuan tatalaksana yang diberikan antara lain untuk
mengehambat penurunan LFG, dan mengatasi komplikasi yang ditimbulkan dari CKD.
PROGNOSIS
a. Ad vitam

: dubia ad malam

b. Ad functionam

: dubia ad malam

c. Ad sanationam

: dubia ad malam

CATATAN PERKEMBANGAN
14

Tanggal 22 November 2015


1. CKD Stage V
S:

Pasien masih merasa lemas dan tidak ada perbaikan dibandingkan kemarin. Nyeri
ulu hati (+), mual (+). Bengkak di kedua kaki (-), bengkak di kedua mata (+). BAK

O:

5x/hari, kuning jernih, volume gelas air mineral.


Keadaan umum tampak sakit sedang , lemah tekanan darah 180/90 mmHg, edem
palpebra (+)
Hasil pemeriksaan Ultrasonografi 20 Juni 2015
Hepar: Besar, bentuk normal. Permukaan tidak rata, tepi tumpul, ekostruktur
inhomogen. Vena hepatika melebar, vena porta normal. Saluran empedu intra dan
ekstrahepatik normal. Tidak terlihat SOL
Kandung empedu: Besar, bentuk normal, dinding tidak menebal. Tidak terlihat
batu/SOL
Pankreas: Besar, bentuk normal, duktus pankreatikus normal, tidak terlihat SOL
Lien: Besar, bentuk normal, ekostruktur normal. Tidak terlihat SOL.
Ginjal kanan: Ukuran mulai mengecil, permukaan tidak rata, korteks menipis,
ekostruktur hiperekoik, batas korteks dan medulla tidak jelas. System pelviokalises
tidak melebar, tidak terlihat batu,
Ginjal kiri : Ukuran normal, permukaan tidak rata, korteks menipis, ekostruktur
hiperekoik, batas korteks dan medulla tidak jelas. System pelviokalises tidak
melebar, tidak terlihat batu,
Buli: Besat, bentuk normal, dinding tidak menebal, tidak terlihat batu/SOL
Kesan:

A:

Chronic kidney disease


Penyakit ginjal kronik grade V belum ada perbaikan, dan belum dapat ditegakkan
secara nyata harus di lakukan pemantauan. Namun bila dilihat dari jumlah urine,

belum ada perbaikan dari segi jumlah dan voulme


P : Terapi di lanjutkan
Rencana hemodialisa cito
Pemeriksaan ureum creatinin untuk memantau fungsi ginjal
Pemasangan urine chateter untuk memantau balance cairan
2. Anemia ec CKD grade V
S:

Pasien masih mengeluh lemas, dan pusing, namun mata berkunang-kunang sudah

O:

berkurang.
Keadaan umum tampak sakit sedang, lemah (+), Conjungtiva anemins -/-, dengan

A:

kadar Hb 8.7 g/dL dan Ht 24.3%


Anemia belum ada perbaikan, pasien masih tampak lemah. Dari hasil pemeriksaan
15

darah terdapat perbaikan kadar Hb namun target Hb belum tercapai 10 g/dL.


Anemia defisiensi Fe dan anemia defisiensi asam folat masih belum dapat di
singkirkan karena belum ada pemeriksaan SI, TIBC, dan feritin, MDT, dan asam
folat serum.
Transfusi PRC 250 cc perhari sampai mencapai target Hb 10g/dL.
Periksa darah H2TL untuk mematau kadar Hb
3. Hipertensi primer grade II
P:

S : Pasien masih mengeluh nyeri kepala dan pusing


O : Keadaan umumnya tampak sakit sedang, lemah, tekanan darah 190/90 mmHg
A : Klinis hipertensi sedikit ada perbaikan dengan tekanan darah sebelumnya
P : Terapi di lanjutkan , observasi TTV
4. Dispepsia
S:
O:
A:

Pasien masih merasakan nyeri ulu hati, dan mual. Muntah (-)
Nyeri tekan epigastrium (+)
Masalah dispepsia belum teratasi di karenakan keluahan klinis masih belum
mebaik. Dispepsia ditegakan dispepsia organik dikarenakan CKD. ulkus peptikum
dapat disingkirkan karena belum di lakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai

dispepsia.
P : Terapi di lanjutkan
Tanggal 23 November 2015
1. CKD stage V
S : Pasien post hemodialisa, keluhan lemas sudah berkurang, mual (+), nyeri ulu hati (+).
Frekuensi BAK sering 7x/ hari sebanyak gelas.
O : bengkak di kelopak mata sudah berkurang
A : CKD stage V on HD, sudah terdapat perbaikan klinis dengan kadar ureum 89.1
mg/dL dan kreatinin 7.18 mg/dL.
P : Terapi di lanjutkan
Diet protein 1,2 g/kgBB/hari 1,2 x 42 kg = 50.4 g/hari
2. Anemia ec CKD stage V
S : keluhan lemas sudah berkurang, mata berkunang-kunang (-).
O : conjungtiva anemis -/- , Hb: 10.2 g/dL , Ht: 38%
A : Masalah anemia teratasi dikarenakan setelah transfusi kadar Hb naik sesuai target.
Dan keluhan klinis anemis.
P : Transfusi Stop
3. Hipertensi primer grade II
S : keluhan nyeri kepala dan pusing sudah berkurang
O : Tekanan darah 170/90 mmHg
A : klinis hipertensi sudah membaik
P : Terapi di lanjutkan
4. Dispepsia organik
S : Nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-)
O : nyeri tekan epigastrium (-)
A : klinis dispepsia membaik
P : Omeprazole & sucralfat stop
16

Tanggal 24 November 2015


1. CKD stage V
Keluhan tidak ada , frekuensi BAK 5 x / hari dengan volume 1 gelas air mineral
Edema palpebra (-)
CKD stage V on HD dengan perbaikan klinis
Pasien di pulangkan
Rencana Hemodialisa rawat jalan
Hipertensi primer grade II

S:
O:
A:
P:
2.

S : Keluhan tidak ada


O : Tekanan darah 140/80 mmHg
A : klinis hipertensi sudah membaik
P : pasien di pulangkan
-

Edukasi : Diet rendah garam (< 6g/hari)

Mengkonsumsi cukup buah, sayur, dan produk rendah lemak.

Aktivitas fisik disarankan minimal 30 menit/hari, dilakukan paling tidak 3 hari


dalam seminggu.

17

Tinjauan Pustaka
Penyakit Ginjal Kronik
Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah sutau proses patologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada sutau derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tepat, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik
dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit
ginjal kronik adalah sebagai berikut.1
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


1. Kerusakan gijal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manisfestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisis darah atau
urin, atau kelaianan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73m 2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2)

*)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat 1


18

Derajat
1

Penjelasan
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

LFG (ml/menit/1,73m2)
90

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60 89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30 59

4
5

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15 29
< 15 atau dialisis

Gagal gijal
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus per juta penduduk pertahun dan angka ini meningkat sekiar 8%
setiap tahunnya. Di malaysia, dengan populasi 18 juta, di perkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal pertahunnya. Di negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus perjuta penduduk pertahun. 1 Berdasarkan data survei penduduk di Amerika Serikat ada
paling sedikit 6% dari populasi yang menderita penyakit ginjal kronik (PGK/CKD) derajat I dan
II. Sedangkan 4,5% dari penduduk Amerika Serikat diperkirakan menderita penyakit ginjal
kronik derajat III dan IV. Penyebab penyakit ginjal kronik yang paling sering diderita oleh
penduduk Amerika Utara dan Eropa adalah nefropati diabetik, yang biasanya berhubungan
dengan riwayat diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Pasien yang baru didiagnosis menderita
penyakit ginjal kronik sering juga disertai dengan hipertensi. Bila tidak ada bukti yang jelas
untuk mendukung penyakit glomerulus primer atau penyakit ginjal tubulointerstitial, biasanya
penyebab CKD dikaitkan dengan adanya hipertensi. Meningkatnya insiden CKD pada orang tua
dianggap berasal dari komplikasi sebagian pasien jantung dan serebrovaskular akibat penyakit
atherosklerosis yang angka kematiannya menurun belakangan ini.3 Di Malaysia, dengan populasi
18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.2
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia sebagai berikut.1

Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Th. 2000 1
19

Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan Infeksi
Hipertensi
Sebab lain

Insiden
46,39%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%

Patogenesis
Patogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhinya diikuti
penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor (TGF- ). Beberapa hal juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointestinal. 1,3
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal,
pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti, akan terjadi penurunan fumgsi nefron yang progresif ditandai dengan peningkatan
ureum dan kreatiin serum. Pada stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, pasien
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban dengan
mengadakan tes laju filtrasi glomerulus yang teliti. Sampai pada LFG sebesar 60% pasien ini
masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan ureum dan kreatinin serum. 1,3
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nasfu makan kurang, penurunan berat badan. Stadium kedua ini disebut insufisiensi
ginjal. Peningkatan konsentrasi ureum berbeda-beda, tergantung pada kadar protein dalam
makanan. Pada stadium ini kadar kretainin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal.
Gejala yang timbul sebagai respon terhadap stres dan perubahan makanan atau minuman yang
tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut
hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti. Nokturia
20

didefiniskan sebagai gejala pengeluaran urin waktu malam hari yang menetap samapi sebanyak
700 ml atau pasien terbangun untuk berkemih beberapa kali waktu malam hari. Poliuria berarti
peningkatan volume urin yang terus menerus. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml per hari
dan berubah-ubah dengan jumlah cairan yang diminum. 1,3
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti indeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elktrolit antara lain
natrium dan kalium. 1,3
Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacment therapy) antaralauin dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan in pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal atau end
stage renal disease (ESRD). Kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat
mencolok sebagai respon terhadap LFG yang mengalami penurunan. Pada ESRD ini pasien
merasakan gejala-gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. 1,3
Manisfestasi Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : 1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, lupus eritematosus sitemik, dan lain
sebagainya
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelbihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma .
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium , kalium, klorida)

Pemeriksaan penunjang
Gambaran laboratorium pada penyakit ginjal kronik antara lain : 1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
21

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, isostenuria.
Gambaran pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : 1
a. Foto polos abdomen , bisa tampak batu radioopak
b. Pielografi intravena jarang dilakukan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksis oleh kontras terhadap
ginjal yang mengalami kerusakan
c. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
d. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dilakukan bila ada indikasi
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal,dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etologi, menetapkan terapi, prognosis,
dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikopntraindikasi pada keadaan
dimana ukuran ginjal yang sudah ,engecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas. 1
Penatalaksanaan
Sebelum tahun 1970, pilihan tera[i bagi pasien gagal ginjal kronik (Chronic Kidney
Disease, CKD) sangat terbatas. Hanya penderita gagal hinjal terminal tanpa penyakit berat
sistemik lainnya yang mendapat kesempatan dialisis, karena fasilitas yang tersedia saat itu hanya
sedikit. Transplantasi ginnjal sebagai terapi pilihan gagal ginjal pada saat itu baru berkembang
karena imunologi transplantasi dan terapi imunosupresifnya belum diketahui secara mendalam,
sehingga harapan hidup penderita gagal ginjal sangatlah buruk. 1
Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik meliputi :

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadaap penyakit kardiovaslular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
22

Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik sesuai degan Derajatnya 1


Derajat
1

LFG (ml/menit/1,73m2)
90

Rencana Tatalaksana
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi

pemburukan

fungsi

ginjal

memperkecil resiko kardiovaskular


2

60 89

Mnghambat pemburukan fungsi ginjal

30 59

Evaluasi dan terapi komplikasi

15 29

Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

< 15

Terapi pengganti ginjal

Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasar


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasar adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehinggga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih
normal secara ultrasonografi, biopsi dan opemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya , bila LFG sudah menurn sampai 20-30%
dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 1
Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksisk, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasar. 1

Menghambat Perburukan Fungsi ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan
asupan protein dan terapi farmakologis. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG
60ml/menit, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0.6-0.8/kgBB/hari, dimana 0.35-0.5 gram diantaranya nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang
teratur terhadap stasus nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein
23

dapat ditingkatkaan. Berbeda dengan karbohidrat dan lemak., kelebihan protein tidak bisa
disimpan dalam tubuh, tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lainnya yang terutama
dieksteksikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen,
fosfat, sulfat dan ion anorganik lain juga dieksreksikan melalui ginjal. Oleh karena itu,
pemberian ditet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan menigkatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliaran darah dan tekanan intraglomerulus
yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berakibat dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasanfosfat perlu untuk mencegah hiperfosfatemia. 1
Terapi farmakologis bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian
obat antihiperensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan keruakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dn hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas
bahwa proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik. 1
Beberapa obat antihipertensi, terutama ACE inhibitor melalui beberapa studi terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. 1
Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovasular merupajan hal yang penting
karena 40-45% kematian pada penyakit ginjhal kronik disebabkan oleh penyakit kardivaskular.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahn dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian
diabetes,

pengendalian

hipertensi,

pengendalian

dislipidemia,

pengendalian

anemia,

pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua in iterkait dengan oencegahan dan terapi terhadap kompilikasi penyakit ginjal
kronik secara keseluruhan . 1
Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manisfestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
24

Tabel 5. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik 1


Derajat
1

Penjelasan
Kerusakan ginjal dengan

LFG (ml/menit)
90

Komplikasi
-

LFG normal
2

Kerusakan ginjal dengan

60 89

Tekanan darah mulai

30 59

Hiperfosfatemia

LFG ringan
3

Kerusakan ginjal dengan


LFG sedang

Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosisteinemia

15 29

Kerusakan ginjal dengan

Malnutrisi
Asidosis metabolik

LFG berat

Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia

< 15

Gagal ginjal

Gagal jantung
Uremia

Pembatasan Cairan dan elektrolit


Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik sangatlah perlu dilakukan. Hal
ini bertujuan unttukl mencegah terjadinya oedem dan komplikasi kardiovaskular, air yang masuk
kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible
water loss. Dengan berasumsi bahwa iar yang keluar melalui insensible water loss antara 5000800ml/hari (sesuai dengan luar permukaan tubuh), maka air yang dianjurkan 500-800ml
ditambah jumlah urin.1
Elektrolit yang garus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,
pemberian oabt-obat yang mengandung kalium dapat dianjurkan 3.5-5.5mEw/lt. Pembatyasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan oedema. Jumlah garam natrium yang
diberikan disesuaikan dengan itngginya tekanan darah dan derajat oedema yang terkendali. 1
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacment Therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5 yaitu pada LFG
<15ml/menit. Terapi penggsnti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, atau
transplantasi ginjal. 1
25

Hipertensi Primer
Definisi
Hipertensi primer adalah tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, pada usia 18 tahun ke
atas dengan penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan dua kali atau lebih dengan
posisi duduk, kemudian diambil reratanya pada 2 kali atau lebih kunjungan. Berdasarkan pada
JNC 7, kalsifikasi tekanan darah adalah : 4
1. Tekanan darah normal , tekanan sistolik <120 mmHg dan diastolik <80 mmHg.
2. Prahipertensi, tekanan sistolik 120-139 mmHg dan diastolik 80-90 mmHg
3. Hipertensi derajat 1 , tekanan sistolik 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg
4. Hipertensi derajat 2, tekanan sistolik lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastolik
lebih atau sama dengan 100 mmHg.
Untuk menghitung secara menyeluruh resiko terjadinya kejadian kardiovaskular, tidak
cukup hanya dengan mengetahui diagnosis tekanan darah seseorang. Diperlukan evaluasi lebih
lanjut temntang penyakit yang menyertainya dan kerusakan organ target yang terjadi. JNC 7
merekopmbinasi intervensi yang bersifat spesifik untuk kesehatan masyarakat berupa penurunan
asupan kalori, asam lemak jenuh dan garam, terutama untuk jenis makanan olahan, serta
meningkatkan aktivitas fisik dilingkungan sekolah dan masyarakat pada berbagai komunitas.
Strategi ini diharapkan dapat menurnkan populasi penderita hipertensi yang akhirnya dapat
menurnkan resiko mortilitas dan morbiditas penderita hipertensi. 4
Patogenesis
26

Hipertensi primer merupakan penyakit yang bukan hanya diseebabkan oleh satu macam
mekanisme, akan tetapi bersifat multifaktorial yang timbul akibat interaksi dari berbagai macam
faktor resiko. Berbagai interaksi dari berbagai macam faktor resiko. Berbagai faktor dan
mekanisme tersebut antara lain, faktor genetik, dan lingkungan, mekanisme neural, renal dan
hormonal dan vaskular. 4
1. Faktor resiko tersebut antara lain : diet dan asupan garam, stress, ras, obesitas , merokok,
dan genetik.
2. Mekanisme neural, aktivitas berlebihn dari sistem saraf simpatis mempunyai peranan
yang penting pada awal terjadinya hipertensi primer. Pada awalnya terjadi penngkatan
denyut jantung, curah jantung, kadar norepinefrin plasma dan urin, berlebihnya NE
ditingkat regional, rangsangan simpatis post ganglion dan reseptor adrenegrik
menyebabkan vasokonstriksi di sirkulasi perifer, meningkatnya aktivitas saraf simpatis
ini sulit di ukur secara klinis. Pengukuran kadar NE plasma dan denyut jantung tdak
dapat dipakai untuk mengukur aktivitas saraf simpatis yang meningkat. Untuk mengukur
aktivitas ini dapat dipakai dengan mengukur kadar NE yang berlebih di tingkat regional
dengan radiotracer dan microneurigraphy. 4
3. Meknaisme renal : ginjal merupakan salah atu faktor yang ikut berperan dalam
patogenesis terjadinya hipertensi. Sebaliknya, hipertensi dapat menyebabkan terjadinya
kelainan pada ginjal. Dasar dsari semua kelainan yang ada pada hipertensi adalah
menurunya kemampuan ginjal untuk mengeksresikan kelebihan natrium pada diet tinggi
garam. Retensi natrium dapat meningkatkan tekanan darah melalui dua cara yaitu : 4
Volume dependent mechanism , autiregulasi dan produksi dari endogenous

quabain like steroid


Volume independent mechanism, anggiotensin memberikan efek oada sistem
saraf pusat, peningkatan aktivitas kontraktilitas sel otot polos pembuluh darah dan
hipertrofi mioblast jantung, peningkatan produksi nuclear factor (NF)-k,
peningkatan ekspresi AT1R diginjal serta peningkatan transforming growth factor

(TGF)- .
4. Mekainsme vasular, perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah kecil dan besar
memegang peranan penting saat mulai terjadinya dan progresifitas hipertensi. Pada
beberapa keadaan didaptkan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer dengan curah
jantung yang normal. Terjadi gangguan keseimbangan antara faktor yang menyebabkan
terjadinya dilatasi dan konstriksi pembuluh darah. 4
Mekanisme vasokonstriksi ditingkat seluler juga berperan pada patogenesis
hipertensi primer meskipun tidak didapatkan kelainan pada ginjal, meningkatnya
27

cytosolic calcium pathway menyebabkan terjadinya kontraksi pada otot polos

pembuluh darah.
Disfungsi endotel , lapisan endotel pembuluh darah merupakan faktor yang sangat
berperan dalam menjaga kesehatan pembuluh darah, dan merupakan lapisa utama
pertahanan terhadap aterosklerosis dan hipertensi. Keseimbangan tonus pembuluh
darah diatur oleh modulator vasodilatasi dan vasokonstriksi. Gangguan pada
kesimbangan tonus ini jiga ikut berperan pada patogenesis hipertensi primer.
Adanya disfungsi endotel merupakan penanda yang kgas dari suatu hipertensi dan
resiko dari suatu kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan
menurunya faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang dihasilkan
oleh endotel, sepertgi nitrit oxide (NO), dan meningkatnya faktor yang
menyebabkan terjadinya vasokonstriksi seperti proinflamasi, protrombik dan

growth factors.
Remodeling vaskular, seiring dengan berjalanya waktu, disfungsi endotelm
aktivitas neurohormonal, inflamasi vaskular dan meningkatnya tekanan darah
akan menyebabkan perubahan pada pemuluh darah yang makin memperberat
hipertensi. Gam,baran khas dari keadaan ini adalah menebalnya dinding media
arteri, sehingga terjadi peningkatan ratio antara media dan lumen, pada arteri
besar dan kecil. Sistem RAA merupakan faktor yang dominan berperan dalam

remodeling ini.
5. Mekanisme hormonal, aktivasi sistem RAA merupakan salah satu mekanisme enting
yang ikut berperan pada retensi natrium oleh ginjal, disfungsi endotel , inflamasi dan
remodeling oembuluh darah juga hipertensi. Renin yang diproduksi terutama oleh sel
juxtaglomerulus yang ada diginjal akan berikatan dengan angiotensinogen yang
diprodeuksi oleh hati, menghasilkan angiotensi 1. Selanjutnya oleh ACE yang terutama
banyak di paru dan juga jatung serta pembuluh darah , AT I akan diubah menjadi AT II.
Selain itu masih ada jalur alternatif lain. Chymase merupakan enzim protease serine akan
merubah AT I menjadi AT ii. Interaksi antara AT II dan reseptor AT I akan mengaktivasi
beberapa mekanisme di tingkat seluler yang ikut berperan dalam terjadinya hipertensi dan
percepatan itu sendiri. Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan target organ
antara lain mengingkatnya produksi reactive oxygen species , inflamasi vaskular,
remodeling jantung dan produksi aldosteron. 3

28

Gambar 1. Faktor faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah 4

Pengobatan
Tujuan pengobatan oenderita hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas
poenyakit kardiovaskular dan ginjal. JNC7 dan guidlines lainnya merekomendasikan untuk
seluruh penderita hipertensi diharuskan tekanan darah sistolik <140mmHg dan diastolik < 90
mmHg. Untuk penderita diabetes melitus dan penyakit ginjal kronis, target tekanan darah adalah
<130/80 mmHg. Oleh karena mekanisme terjadinya hipertensi primer disebabkan oleh interaksi
berbagai faktor resiko yang b ersifat multifaktorial, maka sasaran pengobatan bersifat kombinasi
anraea modifikasi gaya hidup dan berbagai jenis obat anti hipertensi. Selain pengobatan
hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes
melitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing
kondisi. 4
Pengobatan nonfarmakologis
JNC 7 merekomendasikan menurunkan berat badan berlebih atau kegemukan,
pembatasan asupan garam kurang atau sama dengan 100 mEq/L.hari (2.4 gram natrium atau 6
gram natrium klorida), meningkatkan konsumsi buah dan sayur, menurunkan konsumsi alkohol
tidak lebih dari 2 kali minum/hari, meningkatkan aktivitas fisik paling tidak berjalan 30
menit/hari selama 5 hari/minggu serta menghentikan merokok, akan mengurangi resiko kejadian
kardiovaskular. 4
Pengobatan farmakologis
Jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi antara lain : 5
29

Diuretika , terutama jenis Thiazide atau Aldosteron Antagonist (Aldo Ant)


Pada beberapa pasien terjadi peningkatan volume ekstraselular dan akan terlihat hasilnya
bila diberika diiuretik dan akan memberikan efek potensial dengan ACEI, ARB, dan juga
CCB.

Pada penyakit ginjal stadium 4-5 dapat diberikan diuretik loop untuk

menghilangkan kelebihan berat badan untuk mencapai berat badan ideal. Meskipun tidak

terlihat edema tetapi kelebihan ekstraselular dan volume darah sekitar 10-30%. 5
Beta blocker
Penghabat -adrenergik merupakan obat pilihan pertama disamping golongan
penghambat SRAA pada pasien penyakit ginjal menahun dengan penyakit ginjal
menahun

dengan

pneyakit

kardiovaskular.

Penelitian

laiinya

obseravsional menunjukan bahwa penggunaan penghambat

yang

dilakukan

-adrenergik dapat

menurunkan resiko kematian akibat kardiovaskular dan pada pasien tanpa riwayat gagal
jantung, penguinaan obat dapat menurnkan kejadian gagal jantung, kematian kaibat
kardiovaskular dan kematian karena bebagai sebab. Metoprolol di metabolisme di hepar
dan hanya sebagian yang dieksresikan melalui ginjal, sedangkan atenolol sebagian besar
diekresikan melalui ginnjal. Oleh karenas itu penggunaan atenolol dosisnya harus
disesuaikan dengan kondisi ginjal, sedangkan metoprolol tidak perlu adjusted dose.
Secara keseluruhan penghambat -adrenergik dapat ditolerir dengan baik pada pasien

penyakit ginjal menahun. 5


Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
Pemberian CCB pada pasien poenyakit ginjal menahun dengan hipertensi dapar
menurunkan tekanan darah secara efektif. Golongan CCB dihidroperidin sepertii
amlodimin, felodipin dan nicardipin senagt selektif menghambat clacium chanel otot
polos vaskular, sehingga sangat efektif menurnkan resistensi vaskular sistemik.
Penggunaan CCB non dihidroperidin seperti diltiazem, dan verapamil yang bersifat
kardioselektif harus berhati-hati dengan penghambat -adrenergik karena dapat

menimbulkkan baradikardia dan defek konduksi elektrik otot jantung lebih besar. 5
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Banyak dipakai pada pasien hipertensi dengan penyakit gagal ginjal menahun untuk
melindungi kardiorenal, obat ini kurang berhasil pada oengobatan hipertensi dengan
kjelbihan volume daeag tetapi bila disertau dengan diuretik akan memberikan hasil yang
lebih baik. Sebagian besar ACEI secara eklusif diekresikan melalui ginjal pada berbagai
tingkar gangguan filtrasi dan sekresi pada tubuli. ACEI yang diekresikan melalui dua
jalue terutama fisinopril dan trandopil. Ada juga beberapa ACEI yang bertahan lama
konsentrasi tinggi dalam darah sehingga akan mempengaruhi tekana ndarah, eksresi
protein dan metabolisme kalium. 5
30

Angiotensin II reseptor Beta Blocker atau AT, receptror antagonis/blocker (ARB)


Seperti halmya penghambat ACE beberapa penelitian menunjukan penurunan tekanan
darah antara 14-30 mmHg. ARB tidak menyebabkan batuki dan hiperkalemia. Hal ini
menyebabkan ARB merupakan pilihan obat yang cukup efektif untuk melakukan kontrol

terhadap hipertensi pada pasien penyakit ginjal menahun. 5


Direct renin inhibitor (DRI)
Aliskiren merupakan satu-satunya obat penghambat renin. Obat ini dapat mencegah
akivasi angiotensinogen menjadi angiotensi I, sehingga dapat mengahambat
pembentukan angiotensisn II yang dikenal sebagai vasokonstriktor kuat. Samapai saat
belum ada penelitian yang menilai efek penghamabat renin terhdapa pasien yang sedang
dialisis dengan hipertenmsi. Penelitian terbaru menunjukan bahwa penghambat renin
menurnukan aktivitas simpatis dan tekanan darah pada GGK stadium akhir. 5
Masing-masing pengobatan obat anti hipertensi memiliki efektivitas dan keamanaan

dalam pengobatan hipertensi. Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan
hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan
darah itu sendiri, yang terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan.
Pengbatan dimulai secara bertahaap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam
beberapa minggu. Dianurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang
atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pemilihan pengobatan
dengan salah satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada ekanan darah
awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika pengobatan dimulai dengan satu jenis obat dosis rendah,
dan bila tekanan darah belum turun, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat
tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. 5
Efek samping pengobatan antihipertensi bisa dihindari dengan menggunakan dosis
rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Hampir sebagian besar penderita memerlukan
kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Ahir-akhir ini telah beredar
macam-macam obat anti hipertensi yang merupakan kombinasi 2 atau 3 macam obat
antihipertensi yang di sebut single pill combination dan berguna untuk mengingkatkan efisiensi
kepatuhan berobat dan menekan biaya pengeluaran untuk pembelian obat. Kombinasi yang telah
terbukti efektif dan dapat diteloransi penderita : 4
Diuretika dengan ACEI atau ARB
CCB dengan BB
CCB dengan ACEI atau BB
CCB dengan diuretika
AB dengan BB
Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.
31

Pengobatan pada kondisi Khusus


Dari beberapa penelitian yang ada, pemberian ibat antihipertensi bersifat spesifik dan
akan memberikan keuntungan pada kondisi tertentu. JNC7 merekomendasikan pengobatan awal
diseuaikan dengan pada kelompok dengan indikasi memaksa dan kedaan khusus lainnya.
Indikasi yang memaksa meliputi : 4
DM dan hipertensi
Komibinasi faktor resiko DM dan hipertensi akan meningkatkan resiko kejadian
kardiovaskular dan penyakit ginjal kornik secara bermakna, bila dibanding dengan hanya
satu resiko saja. pemberian obat antihipertensi yang menghambat SRAA, seperti ACEI,
ARB, dan DRI yang akan memberikan keuntungan berupa penurunan progresifitas
penyakit ginjal diabetik dan kejadian kardiovaskular dan diindikasikan sebagai pilihan
pertama pada semua penderita DM. Dianjurkan untuk kombinasi dua atau tiga macam
obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg,

sesuai dengan rekomendasi yang ada. 4


Payah jantung kongestif
Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya payah jantung sistolik maupun
diastolik. Hipertrofi ventrikel kiri merupakan hasil antara, sebelum terjadinya penyakit
jantung hipertensi yang ditandai dengan kegagalan pada LV filling dan peningkatan
kekakuan dinding ventrikel, target tekanan darah yang harus dicapai adalah <140/90
mmHg. Pemberian ACEI dan BB akan memperbaiki tekanan darah dan prognosis pasien

dengan penurunan fungsi ventrikel kiri yang asimtomatik. 4


Penyakit jantung koroner
Tareget tekanan darah yang harus dicapai adalah <140/90 mmHg. Pilihan utama pada
penderita hipertensi dengan angina yang stabil adalah BB. Pada penderita dengan
sindroma koroner akut atau post infark miokardm segera harus diberikan ACEI, BB dan
antagonis aldosteron. Rekomendasi tambahan adalah pengobatan dislipidemia (Target

LDL <100 mg/dL) dan antiplatelet dengan aspirin atau dipiridamol. 4


Hipertrofi ventrikel kiri
Rekomendasi untuk keadaan ini adalah pemberian ARB disertai dengan intervensi
lainnya seperti penurunan berat badan, olahraga dan pembatasan asupan garam. Target
tekanan darah <140/90 mmHg, yang diharapkan dapat meregresi hipertrofi ventrikel kiri.
4

Stroke
Pada iskemia kaut, berapa tekanan darah yang optimal masih kontroversi, penurunan
mendadak

dapat

mengganggu

fungsi

neurologis.

Diharapkan

tekanan

darah

160/100mmHg memberikan hasil yang optimal. Pada keadaanh stail, pemberian ACEI
32

dan diuretik golongan thiazide dapat dipergunakan untuk mencapai target tekanan darah

<140/90 mmHg, untuk menghindari terjadinya stroke kembali. 4


Penyakit ginjal kronik
Pemberian obat anti hipertensi pada PGK adalag untuk mencegah progresifitas
penurunan fungsi ginjal dan keadaan kardiovaskular. Obat antihipertensi yang
direkomendasikan adalah ARB dan ACEI sebagai pilihan awal. Oleh karena dari
beberapa penelitian yang ada pada PGK diabetik dan non diabetik obat anti hipertensi
tersebut dapat menghambat progresifitas penurunan fungsi ginjal. Kadar kreatinin serum
kreatinin yang meningkat 35% dari baseline, tidak sera merta menghentikan pengobatan,
oleh karena efek jangka panjang memberikan hasil yag menguntungkan. Bila kadar
serum kreatinin meningkat 35%, perlu dilihat apakah ada obat tambahan seperti NSDAI
yang diberikan bersama dengan obat anti hipertensi tersebut atau keadaan seperti

hipertensi renovasuklar dan status volume tubuh berkurang. 4


Albuminuria atau proteiunuria
Pada penderita hipertensi, albuminuria/proteinuria merupakan petanda faktor resiko
untuk progresifitas penyakit ginjal. Selain itu juga sebagi petanda yang independen untuk
resiko kejadian kardiovaskular. Obat anti hipertensi yang dpaat menurunkan tkanan darah
dan mengurangi albuminuria dapat mengha,bat progresifitas penyakit ginjal dan
perubahan dari mikroalbuminuria menuju PGK. Penurunan >50% albuminuria dari
baseline pada pengobatan selama 6 bulan, akan menurunkan resiko terjadinya penyakit
ginjal pada tahap akhir 72% pasien dalam 5 tahun. Dari pedoman yang ada dan hasil
berbagai penelitian untuk penderita hp[ertensi disertai albuminuria direkomendasikan
obat antihipertensi yang berkerja meghambat SRAA, seperti ACEI, ARB, dan DRI.
Kombinasi kedua jenis obat yang bekerja pada SRAA tersebut dapat menurunkan
albuminutia 30-35%. Golongan CCB nin dihidropiridin seperti verapamil dan diltiazem
juga daat menurunkan proteinuria dan akan memberikan nilai lebih bila di kombinasikan
dengan ACEI. Thiaz, BB, ACEI, ARB. 4

Keadaan khusus lainnya meliputi : 4


Populasi minoritas
Obesitas dan sindrom metabolik
Penyakit arteri perifer hipertensi pada usia lanjut
Hipertensi postural
Demensia
Hipertensi pada perempuan , anak dan dewasa myda
Hipertensi emergensi dan urgensi
33

Tabel 6. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu 4


Indikasi yang memaksa
Gagal jantung

Pilihan terapi awal


Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo Ant

Parca infark miokard

BB, ACEI, Aldo Ant

Resiko Penyakit pembuluh darah koroner

Thiaz, BB, ACEI, CCB

Diabetes

Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB

Penyakit ginjal kronis

ACEI, ARB

Pencegahan stroke berulang

Thiaz, ACEI

Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala bentuk manisfestasi klinik
dari aterosklerosis. Hipertensi dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya kejadian
kardiovaskular dan kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak langsung. Motilitas
meningkat dua kali pada setiap kenaikan tekanan darah sebesar 20/20 mmHg. Pada keadaan
tekanan darah high normal (130-139/85089 mmHg), didapatlan peningkatan kejadian
kardiovaskular 2.5 pada wanita dan 1.6 pada pria bila dibandingkan dengan tekanan darah
normal. Sedang resiko untuk penyakit giinjal, meningkatnya tekanan darah sistolik lebih erat
kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila dibanding denga tekana darah
diastolik terutama pada usia lebih 50 tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan
kerusakan oada pembuluh darah dan parenkim ginjal. Berbagai kerusakan organ target tersebut
antara lain : 4
1. Pada jantung : hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, dan gagal janutng
2.
3.
4.
5.

kongestif
Penyakit ginjal kronik dan oenyakit ginjal tahap akhir
Retinopati
Pada otak : stroke atau transient ischemic attack
Penyakit arteri perifer

34

DISPEPSIA
Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari rasa nyeri/tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, rasa
panas yang menjalar di dada. Dispepsia yang belum diinvestigasikan dinamakan Uninvestigated
dyspepsia (UD). Keluhan dyspepsia pada UD sesuai dengan kriteria Rome III namun belum
dilakukan investigasi seperti pemeriksaan endoskopi. Bila sesuadah endoskopi didapatkan tidak
ada kelainan, maka keluhan dypepsia fungsional dapat ditegakan. 6
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu : 6
Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelianan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tuka (luka) lambung. Usus dua belas jario, radang

pamkreas, radang empedu, dan lain-lain. 6


Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau
gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi,
dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia. 6

Manisfestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan membagi dispepsia
menjadi tiga tipe : 6
a. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus like dyspepsia), dengan gejala :
Nyeri epigastrium terlokalisir
Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
Nyeri saat lapar
Nyeri episodik
b. Dispepsia dengan gejala dismotilitas (dymotility like dyspepsia), dengan hejala :
35

Mudah kenyang
Perut cepat penuh saat makan
Mual
Muntah
Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas )
Rasa tak nyaman bertambah sat makan
c. Dispepsia nonspesifik (tidk adsa gejala seperti kedua tipe diatas)
Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluahn umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Penelitian pada populasi umum mendapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di Amerika Serikat, prevalensi dispepsia fuyngsional
tercatat sebesar 20%.6
Etiologi
Gangguan atau penyakit dalam llumen saluran cerna : tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati,
pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes
mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang
terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural
biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus. 6
Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia fungsional hingga kini belum jelas, namun beberapa terori pernah
diajukan, antara lain : 6
-

Meningkatnya sensitifitas mukosa lambung terhadap asam


Ambang rangsang persepsi lebih rendah
Adanya disfungsi saraf autunom yaitu neuropativagal sehingga ada rasa cepat

kenyang
Adanya stress psikologi
Sedangkan pengaruh aktivitas mioelektrik lambung, pengaruh hromonal, pengaruh
infeksi Helicobacter pylori, hubungan dengan dismotilitas gastrointestinal, pengaruh
diet, dan faktor lingkungan terhadap dispepsia fungsional masih belum jelas.

Gejala Klinis
Konsensus Roma III (2006) mendefinisikan kriteria diagnostik untuk dispepsia
fungsional sebagai berikut: 6

36

Setidaknya selama 3 bulan, mulainya paling tidak sudah 6 bulan, dengan satu atau lebih keluhan
ini:
Nyeri epigastrik (epigastric pain), cepat kenyang (early satiation), rasa penuh dan rasa
terbakar di epigastrium (epigastric burn) serta tidak ditemukan kelainan struktural biokimiawi,
termasuk setelah dilakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi (EGD). 6
Keluhan klinis utama untuk dispepsia fungsional menurut Rome III, adalah nyeri
epigastric, cepat kenyang, rasa penuh, dan rasa terbakar di epigastrium. Lokasi epigastrium
adalah area antara umbilikus dan ujung inferior sternum, di linea midclavicula. Yang dimaksud
dengan nyeri adalah rasa tidak nyaman, dengan atau tanpa rasa terbakar, walau sebagian pasien
tidak menginterpretasikan sebagai nyeri. Rasa penuh adalah rasa tidak nyaman seakan-akan
makanan di lambung menetap lebih lama. Cepat kenyang adalah rasa lambung langsung penuh
walau baru makan sedikit. Rasa terbakar di epigastrium adalah rasa panas yang tidak
menyenangkan di epigastrium. 6
Pemeriksaan penunjang
Bila didapatkan tanda alarm, yaitu mual muntah yang tidak sembuh dengan terapi lazim,
terapi empiris gagal, anemia, melena dan/hematemesis, penurunan berat badan yang signifikan
akibat penyakit, disfagia, maka investigasi yang berupa pemeriksaan laboratorium, radiologik
dan endoskopik harus dijalankan. Selanjutnya terapi disesuaikan dengan hasil temuan
investigasi. Namun bika tidak ditemukan tanda alarm, maka tidak perlu terlalu cepat melakukan
investigasi. Pasien dapat diterapi secara empiris terlebih dahulu. 6
Yang dimaksud dengan terapi empiris adalah terapi yang diberikan berdasarkan hipotesis
diagnosis kerja. Lamanya terapi empiris bervariasi, ada yang menganjurkan selama 1-2 minggu,
ada yang lebih lama yaitu selama 4 minggu. Tidak berhasilnya terapi empiris merupakan salah
satu tanda alarm, sehingga menjadikan kasus tersebut diindikasikan untuk investigasi lanjutan.
Investigasi dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi (leukositosis), pankreatitis (amilase
lipase), hepatitis (SGOT SGPT), keganasan saluran cerna (CEA, Ca19-9, AFP, foto barium),
penyakit batu empedu (USG, CT Scan, MRI atau MRCP, ERCP), infark miokard (CK, CKMB,
troponin), diabetes melitus (glukosa darah), gagal ginjal (ureum, kreatinin), dan yang terpenting
untuk mendeteksi lesi esofagogastroduodenal adalah endoskopi. 6
Setelah investigasi, diagnosis kerja dispepsia dapat berubah sesuai hasil temuan, yaitu1
-

Penyakit esofago-gastro-duodenal (gastritis, tukak peptik, karsinoma gaster, dll)


Penyakit hepato-pankreato-bilier (hepatitis, kolesistitis, pankreatitis)
Infark jantung, diabetes, gagal ginjal
37

Efek samping obat, seperti obat anti inflamasi non steroid (OAINS), teofilin, antibiotik,
dll.

Bila setelah investigasi ternyata tidak ditemukan adanya penyakit organik, dan keluhan menetap
selama 3 bulan atau lebih, maka diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan. 6
Penatalaksanaan
Pengbataan dispepsia mengenal beberapa golongan obat yaitu : 7
1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan meneteralisi sekresi
asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al (OH)3, Mg(OH)2, dan
Mg trisilat. Pemberian anatasi jangan diberikan terus menerus, sifatnya hanya simtomatis
untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisilat dapat dipakai dengan jangka waktu lebih lama,
juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar
akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah
gabungan aluminium hodroksida dan magnesium hidroksida. Alumuinum hidroksida
dapat menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat, magnesium hidroksida bisa
menyebabkan BAB cair. Antasid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox,
merupakan kombinasi aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium
kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan,
hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien
tersebut. 7
2. Antikolinergik
Perlu di perhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif
yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi
asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. 7
3. Antagonis Reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakn untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara
lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. 7
4. Penghambat pompa asam (Proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah 18 jam jadi, bisa dimakan antara
2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi
penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali
omeprazol. 7
38

5. Sitoprotektor
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain
bersifat sitoprotektif, juga menekans ekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan menignkatkan sekresi bikarbnonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan
protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang,
bisa menyebabkan konstipasi (2-3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik.
Dosis standar adalah 1 g per hari. 7
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung. 7
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada
sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan
cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang
muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi. 7
Terapi Dispepsia Fungsional6
a. Farmakologis
Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus berat.
Mungkin perlu pengobatan jangka pendek jika ada keluhan
b. Psikoterapi
Reassurance
Edukasi mengenai penyakitnya
c. Perubahan diit dan gaya hidup
Dianjurkan makan dalam porsi lebih kecil tapi lebih sering
Makanan tinggi lemak dihindari
Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifar terapi simptomatik. Pasien
dengan dispepsia funsional lebih dominan gejala dan keluhan seperti nyeri pad aabdomen bagian
atas bisa diobati dengan PPI. Pasien dengan keluhan tidak jelas dibagian abdomen tas dimana
yang aggal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan Tricyclic antidepressants, walaupun data
yang menyokong masih kurang. Pasien dengan keluhan dismotility like syndrome bisa diobati
39

sama dengan acid suppressive therapy, prokinetic agent, atau 5-HT1 agonist. Metoclopramide dan
domperidon menunjukan antara obat placebo dalam pengobatan dispepsia fungsional. 7

Daftar Pustaka
1. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
MK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6, Volume ke-2.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.2159-65.
2. Bargman JM, Skorecki K. Chronic Kidney Disease. Dalam: Kasper DL, Fauci AS,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal
Medicine. 19th Edition. New York: McGraw Hill Education; 2015.p.1811-20
40

3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6,
Volume ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.h.912-8.
4. Mohani CI. Hipertensi primer. Dalam : Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M,
Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna
publishing; 2014.hlm.2284-93.
5. Soelaeman MR. Hipertensi pada penyakit ginjal menahun. Dalam : Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta : Interna publishing; 2014.h. 2297-8.
6. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Ukrida; 2013.h. 25-37
7. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer
disease. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th. Mc Graw-Hills; 2008.p.287.

41

Anda mungkin juga menyukai