Anda di halaman 1dari 21

Gugatan dalam PTUN

A. Pendahuluan
Salah satu ciri negara hukum moderen adalah adanya perlindungan hukum terhadap hak asasi
manusia termasuk perlindungan hukum terhadap warga negara dari tindakan sewenangwenang penguasa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selalu terjadi interaksi
hubungan antara pejabat negara dan masyarakat. Hubungan interaksi tersebut kebanyakan
biasanya terjadi karena adanya tugas-tugas pemerintahan dan pembanunan yang dilakukan
oleh Pejabat negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara
pejabat administrasi negara sebagai pelaksana urusan pemerintahan dan pembangunan
dengan masyarakat, sering terjadi benturan kepentingan yang melibatkan kedua pihak.
Benturan kepentingan ini biasanya diakibatkan oleh adanya keputusan pejabat negara.
Sesuai prinsip negara hukum, keputusan pejabat negara yang merugikan kepentingan
masyarakat, dapat dilakukan gugatan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat
negara. Tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tidak selamanya sesuai dengan keinginan
masyarakat, walaupun tindakan tersebut dilakukan untuk menjalankan urusan pemerintahan.
Tindakan suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seringkali bertentangan atau merugikan
kepentingan masyarakat. Pertentangan antara keputusan Pejabat Tata Usaha negara dengan
kepentingan masyarakat secara individu seringkali terjadi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Tindakan hukum Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dituangkan dalam bentuk Keputusan
tertulis, dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan. Disatu sisi, keputusan tersebut
diambil atas dasar kewenangan yang diberikan, namun disisi lain, pelaksanaan keputusan
tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara. Setiap keputusan Badan/pejabat Tata Usaha
Negara harus berdasarkan prinsip negara hukum, oleh karena itu, keputusan tersebut tidak
boleh melanggar hak-hak warga negara.
Perlindungan terhadap hak-hak warga negara merupakan salah satu pilar utama negara
hukum. Salah satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak warga negara adalah adanya
Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang untuk menguji keputusan Badan/Pejabat TUN
yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat. Bagi setiap orang yang merasa
kepentinganya dirugikan oleh adanya Keputusan Badan/Pejabat TUN dapat mengajukan
gugatan untuk melindungi hak-hak yang dimilikinya.
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lembaga pelaksanan kekuasaan
kehakiman yang memberi keadilan bagi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Setiap warga negara berhak mengajukan gugatan terhadap
keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, apabila keputusan tersebut merugikan
kepentingan orang yang bersangkutan. Peradilan Tata Usaha Negara yang sebelumnya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dianggap masih belum secara signifikan
melindungi kepentingan masyarakat. Adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004,
memberi perubahan bagi kemajuan hukum yang melindungi kepentingan individu sebagai
warga negara.

Pembahasan makalah ini adalah dasar pengajuan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara
menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Masalah dalam tulisan ini dirumuskan
sebagai berikut: (1) apa yang dimaksud dengan kepentingan yang dirugikan; (2) apa yang
menjadi dasar pengujian KTUN oleh Hakim PTUN.
B. Tinjauan: Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia adalah negara hukum. Dalam prinsip negara hukum demokrasi terdapat adanya
pembagian kekuasaan, dan salah satu kekuasaan dalam pemerintahan adalah kekuasaan
kehakiman (judicative). Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di
bawah Mahkamah Agung. Pentingnya PTUN adalah untuk mengantisipasi kemungkinan
timbulnya sengketa antara pemerintah dengan warga Negara akibat adanya kegiatan
pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. PTUN berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang Tata Usaha Negara (TUN). Sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
C. Tinjauan: perbuatan Badan/Pejabat TUN
Perbuatan pemerintah secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua digolongkan yaitu
perbutan hukum (rechtshandelingen) dan bukan perbuatan hukum (fietelijke handelingen).
Perbuatan pemerintah yang termasuk golongan perbuatan hukum dapat berupa: perbuatan
hukum menurut hukum privat, dan perbuatan hukum menurut hukum publik. Perbuatan
hukum menurut hukum privat oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut
Pejabat TUN) berupa tindakan untuk mengadakan hubungan hukum dengan subyek hukum
lain misalnya sewa menyewa, jual beli, dan sebagainya.
Perbuatan hukum Pejabat TUN menurut hukum publik terdiri atas dua golongan, yaitu
perbuatan yang bersegi satu dan perbuatan yang bersegi dua. Perbutan hukum yang bersegi
satu artinya hukum publik itu lebih merupakan kehendak satu pihak saja yaitu pemerintah.
Perbuatan hukum yang bersegi dua artinya adanya perjanjian menurut hukum publik,
misalnya perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta. Tindakan hukum adminisrasi
negara terdiri empat macam, yaitu: (1) penetapan (bechikking); (2) Rencana (plan); (3)
Norma jabaran (concrete normgeving); dan (4) legislasi semu (pseudo wetgeving).
Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara bersumber pada tiga
hal yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Selain tiga sumber tersebut, Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara diberi kebebasan untuk melakukan tindakan dan keputusan bebas
(discretionary decission) berdasarkan freies ermessen. Pengambilan keputusan secara bebas
dilakukan karena dua hal, yaitu : tidak semua tindakan diatur dalam perundang-undangan,
dan pelaksanaan pemerintahan dalam konsep negara kesejahteraan (walfare state).
D. Tinjauan: asas-asas umum pemerintahan yang baik
Beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (the general principles of good
government (AAUPB) yang telah memperoleh tempat dalam peraturan perundang-undangn

dan yurisprudensi di Belanda dan dikembangkan oleh ilmu hukum yaitu: (1) asas kepastian
hukum; (2) asas keseimbangan; (3) asas kesamaan dalam mengambil keputusan; (4) asas
bertindak cermat; (5) asas motivasi untuk setiap keputusan; (6) asas jangan mencapuradukan
kewenangan; (7) asas permainan yang layak; (8) asas keadilan atau kewajaran; (9) asas
menanggapi pengharapan yang wajar; (10) asas meniadakan suatu keputusan yang batal; (11)
asas perlindungan atas pandangan hidup; (12) asas kebijaksanaan; (13) asas penyelenggaraan
kepentingan umum.
Asas kepastian hukum (principle of legal security) menghendaki dihormatinya hak yang telah
diperoleh seseorang berdasarkan suatu Keputusan Badan/Pejabat administrasi Negara. Asas
keseimbangan (principle proportionality) menghendaki proporsi yang wajar dalam
penjatuhan hukuman terhadap pegawai yang melakukan kesalahan. Asas kesamaan dalam
mengambil keputusan (principle of equality) menghendaki agar dalam menghadapi kasus
yang sama, pemerintah dapat mengambil tindakan yang sama. Asas bertindak cermat
(principle of carefulness) menghendaki agar pemerintah senantiasa bertindak secara hati-hati
agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.
Asas motivasi (principle of motivation) menghendaki agar dalam mengambil keputusan,
pemerintah dapat bersandar pada alasan atau motivasi yang bersifat benar, adil, dan jelas.
Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence)
menghendaki agar pemerintah dalam mengambil keputusan tidak menggunakan kewenangan
atas kekuasaan diluar maksud pemberian kewenangan itu. Asas permainan yang layak
(principle of fair play) menghendaki agar pemerintah dapat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada warga masyarakat untuk mendapatkan informasi yang adil dan benar.
Asas keadilan/kewajaran (principle of ressonableness or prohibition of arbitratiness)
mengehendaki agar dalam melakukan tindakan, tidak berlaku sewenang-wenang atau berlaku
tidak wajar. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised
expectation) menghendaki agar tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan-harapan
yang wajar bagi yang berkepentingan. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal
(principle of undoing the consequences of an annulled decission) menghendaki agar jika
terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka akibat dari keputusan yang dibatalkan itu harus
dihilangkan sehingga orang yang terkena harus diberikn ganti rugi atau rehabilitasi.
Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protecting the personal way of life)
menghendaki agar setiap pegawai negeri diberi kebebasan atau hak untuk mengatur
kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan (cara) hidup yang dianutnya. Asas
kebijaksanaan (sapientia) menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah
diberi kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi.
Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service) menghendaki dalam
penyelenggaraan tugasnya, pemerintah selalu mengutamakan kepentingan umum.
E. Tinjauan: dasar hukum PTUN
Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Kalimat yang sama, dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan kehakiman. Dalam Undang-Undang ini juga dinyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung adalah meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang. PTUN sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang
berada dibawah Mahkamah Agung, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Alasan perubahan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 dikarenakan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan demi penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menegakan hukum dan keadilan.
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diperbaharui dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 adalah:
1. Pasal 2 tentang batasan ruang lingkup Keputusan TUN
2. Pasal 4, Pasal 6 tentang kedudukan dan tempat PTUN
3. Pasal 12, Pasal 13 tentang tentang pembinaan dan pengawasan hakim
4. Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 tentang syarat pengangkatan dan pemberhentian hakim
5. Pasal 17, Pasal 18 tentang sumpah dan larangan hakim
6. Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 tentang pemberhentian hakim
7. Pasal 26 tentang penahanan hakim
8. Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37, Pasal 38 tentang Panitera
9. Pasal 42, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 tentang Wakil Sekretaris PTUN
10. Pasal 53 tentang alasan pengajuan gugatan
11. Pasal 116 tentang salinan putusan PTUN
Selain itu, terdapat Pasal yang dinyatakan dihapus, yaitu pasal 118 tentang pengajuan gugatan
pihak ketiga. Penambahan Pasal 9A tentang pengkhususan di lingkungan PTUN, Pasal 39A39E tentang Juru Sita, dan 143A tentang masih berlakunya sebagian pasal dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986

F. Tinjauan: kepentingan yang dirugikan


Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi.
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Ada dua hal penting yang menjadi perhatian dalam sengketa TUN, yaitu: (1) adanya
kepentingan bagi seseorang atau badan hukum perdata terhadap obyek keputusan TUN;
dan (2) adanya bentuk kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum perdata. Kata
kepentingan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadiartikan sebagai keperluan atau
kebutuhan, atau dalam bahasa inggris disebut sebagai interest. Interest diartikan sebagai
keuntungan atas barang yang dimiliki (Advantage For It Is Your). Apabila dikaitkan dengan
sengketa hukum, maka kata kepentingan yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) diartikan
sebagai hak yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Pemberian makna kepentingan sebagai hak, terkait dengan penjelasan dalam Pasal
tersebut bahwa, hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek
hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Sebagai subyek hukum, maka
seseorang atau badan hukum perdata berkedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Jadi yang dimaksud dengan kepentingan dalam Pasal 53 ayat (1) adalah hak yang dimiliki
oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Seseorang atau badan hukum perdata melakukan gugatan di PTUN karena haknya dirugikan
oleh adanya KTUN merupakan syarat keharusan dalam mengajukan gugatan. Pihak yang
menggugat harus menunjukkan bahwa ada suatu hak yang dirugikan oleh keluarnya suatu
Keputusan TUN. Kerugian yang menimpah hak seseorang atau badan hukum privat dapat
bersifat materil, immateril, individu, maupun kolektif. Orang atau badan hukum privat yang
kepentingannya dirugikan menurut Indriharto, digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu: (a)
orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu keputusan
TUN; (b) orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga;
dan (c) badan TUN yang lain.
Gugatan dapat dilakukan apabila, dalam keadaan kongkrit, suatu nilai yang harus dilindungi
oleh hukum (hak) terdapat kaitan dengan orang yang melakukan gugatan, dan juga terdapat
kaitan dengan Keputusan TUN yang bersangkutan. Kepentingan (hak) dalam kaitannya
dengan pihak yang berhak mengugat, yaitu: (1) ada hubungannya dengan penggugat sendiri,
artinya seseorang tidak boleh menggugat atas namanya sendiri, padahal yang digugat adalah

mengenai kepentingan orang lain; (2) kepentingan itu harus bersifat pribadi, artinya
penggugat memiliki kepentingan untuk menggugat yang jelas dapat dibedakan dengan
kepentingan orang lain; (3) kepentingan itu harus bersifat langsung, artinya yang terkena
langsung adalah kepentingan si penggugat sendiri dan kepentingan tersebut bukan diperoleh
dari orang lain; (4) kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan baik mengenai luas
maupun instensitasnya.
Kepentingan (hak) dalam hubungannya dengan Keputusan TUN yaitu seseorang harus dapat
menunjukan bahwa keputusan TUN yang digugat itu merugikan dirinya secara langsung.
Hanya keputusan TUN yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki oleh
Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkannya saja yang mempunyai arti untuk digugat.
Mengenai bentuk kerugian, apabila menelaah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991
yang berbunyi bahwa, ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan
hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat. Ganti rugi
dinyatakan dalam bentuk uang yang besarnya sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah hingga
lima juta rupiah, dengan memperhatikan keadaan yang nyata. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah tersebut, maka bentuk kerugian yang diderita oleh penggugat adalah hanya dalam
bentuk materil, dan hanya dengan kerugian materil, seseorang atau badan hukum perdata
dapat melakukan gugatan pada PTUN.
Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang menjadi
tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Ganti rugi, dinyatakan dalam Pasal 120 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986. Menurut Pasal tersebut dinyatakan bahwa salinan putusan Pengadilan
yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam
waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
G. Tinjauan: dasar pengujian Keputusan TUN
Menurut pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, ada 2 (dua) hal yang
dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan di PTUN, yaiu: (1) KTUN bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) KTUN bertentangan dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik.
1. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 bahwa, yang termasuk dalam kelompok Peraturan PerundangUndangan adalah: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden;
dan (5) Peraturan Daerah. Selain 5 (lima) peraturan tersebut sebagai peraturan perundangundangan, keputusan-keputusan lembaga kenegaraan memiliki kedudukan sebagai peraturan
perundang-undangan.
Dalam Pasal 53 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan istilah
Perundang-Undangan Yang Berlaku. Tidak ada penjelasan mengenai istilah tersebut,

namun dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Perundang-Undangan yang berlaku
adalah hukum positif. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang telah dicabut,
atau pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Badan/Pejabat yang berwenang, tidak
dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim PTUN untuk melakukan pengujian terhadap
Keputusan Badan/Pejabat TUN.
Mengacu pada pengertian Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004, maka hukum yang tidak tertulis dan dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat yang tidak berwenang, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguji keputusan
Badan/Pejabat TUN.
Kata bertentangan tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Kata
bertentangan dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2a) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, yaitu: (a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan
yang bersifat prosedural (formal); (b) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
perundang-undangan yang bersifat substansial (materil); dan (c) dikeluarkan oleh
Badan/Pejabat yang tidak berwenang.
1. 2. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Sebagian ahli berpendapat bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
merupakan asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan dalam keadaan tertentu dapat ditarik
dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Praktek hukum di Belanda, AAUPB yang
mendapat tempat dalam aturan hukum adalah: (1) asas persaman; (2) asas kepercayaan; (3)
asas kepastian hukum; (4) asas kecermatan; (5) asas pemberian alasan (motivasi); (6) asas
larangan penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir).
Sebelum adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, AAUPB belum
dijadikan sebagai alasan gugatan, namun setelah adanya Undan-Undang Nomor 9 Tahun
2004, AAUPB secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang tersebut sebagai dasar
pengajuan gugatan. Dalam undang-undang ini tidak secara mendetail menyebutkan AAUPB,
karena acuannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam teori hukum, AAUPB terdiri atas 13 (tiga belas bagian) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Marbun dan Mahfud, serta menurut pendapat Ridwan HR, namun dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa, AAUPB hanya meliputi 7 (tujuh)
bagian, yaitu: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan
umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pengertian AAUPB disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999, yaitu:
1. Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan Peraturan
Perundang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
negara.
2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum


dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara.
H. Pembahasan: kepentingannya yang dirugikan
Indriharto mengklasifikasi pihak-pihak yang merasa kepentinganya dirugikan menjadi 3
kelompok, yaitu : (1) pihak yang dituju oleh keputusan Pejabat TUN; (2) pihak ketiga; dan
(3) Badan/Pejabat TUN lain. Kelompok ketiga telah jelas tidak diperbolehkan bertindak
sebagai penggugat, namun bagaimana dengan pihak yang termasuk dalam kelompok kedua?
Pasal 53 ayat (1) terdapat kalimat yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
KTUN dan Pasal 1 butir (3) Undang-Undang PTUN dentang definisi KUTN terdapat
kalimat penetapan tertulis.yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum privat. Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
dinyatakan bahwa, hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena
oleh akibat hukum Keputusan TUN yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan
merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Kalimat dalam penjelasan tersebut (terkena akibat hukum oleh KTUN) berarti hanya
orang/badan hukum privat yang dituju oleh KTUN yang dapat disebut sebagai pihak yang
merasa kepentinganya dirugikan. Apabila ditelaah kedua pasal tersebut, mengandung
kekurangan tentang inisiatif hak menggugat bagi kelompok kedua (pihak lain).
Pasal 1 butir (3) berarti pihak yang berhak mengajukan gugatan adalah hanya mereka yang
dituju oleh KTUN, sedangkan kata yang merasa kepentingannya dirugikan dalam Pasal 53
ayat (1) menunjukan adanya hak inisiatif bagi pihak lain untuk menggugat, karena kata
tersebut memiliki pengertian yang luas, bukan hanya sebatas kerugian sebagai akibat hukum
dikeluarkannya KTUN, tetapi dapat pula mencakup kerugian yang diderita oleh pihak lain,
dan kerugian tersebut terjadi akibat adanya KTUN yang ditujukan pada pihak pertama.
Dalam Udang-Undang Peradilan tata Usaha Negara, terdapat pertentangan antara Pasal 1
butir (3) dengan Pasal 53 ayat (1).
Misalnya, izin yang diberikan pada seseorang untuk usaha peternakan babi, yang akan
menggangu kesehatan anggota masyarakat lain disekitarnya. Dalam penjelasan UndangUndang PTUN sendiri tidak memberi batasan dan definisi apa dan dalam bentuk apa

kerugian tersebut, apakah hanya kerugian yang bersifat secara materil ataukah termasuk
kerugian yang bersifat immateril yang diderita oleh orang lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomnor 43 Tahun 1991 bahwa, bentuk kerugian adalah
kerugian yang secara nyata obyektif, sehingga apabila mengacu pada peraturan pemerintah
tersebut, bentuk kerugian sebagai syarat untuk mengajukan gugatan adalah hanya kerugian
yang berbentuk secara materil, dan kerugian materil tersebut dapat dihitung dengan nilai
nominal uang. Salah satu kekuarangan dalam Undang-Undang PTUN adalah besarnya ganti
kerugian hanya sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan
Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah), tergantung besarnya kerugian yang diderita oleh seseorang
atau badan hukum perdata.
Akibatnya, banyak penggugat yang melakukan gugatan dua kali karena kebanyakan dari
mereka tidak melakukan gugatan ganti rugi di PTUN karena nilai ganti kerugian yang terlalu
kecil, jika dibanding dengan kerugian yang diderita oleh seseorang badan hukum perdata.
Biasanya, penggugat mengajukan gugatan untuk mendapatkan putusan hakim PTUN dengan
maksud sebagai alat bukti untuk mengajukan gugatan ganti rugi pada peradilan umum
sebagai sengketa perdata. Pengajuan gugatan di peradilan umum perdata dimaksudkan untuk
menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Gugatan dengan dasar Pasal 1365 dan Pasal 1246 KUHPerdata dianggap penggantian
kerugian sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita oleh penggugat. Berdasarkan kedua
Pasal tersebut bahwa, kerugian yang diganti oleh Badan/Pejabat TUN bukan hanya kerugian
yang dialami secara nyata (materil), melainkan dapat berupa kerugian imateril (keuntungan
yang seharusnya diperoleh.
I. Pembahasan: dasar pengujian KTUN oleh hakim PTUN
Sebelum perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, alasan kedua untuk mengajukan
gugatan adalah Badan/Pejabat TUN mengeluarkan keputusan telah menggunakan
kewenangannya untuk tujuan lain di luar maksud diberikannya wewenang tersebut. Menurut
Phlipus M. Hadjon, kategori ini disebut sebagai penyalagunaan wewenang, hukum
administrasi negara Perancis disebut dengan detournement de pouvoir.
Alasan ketiga adalah Badan/Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan, setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan
itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut
(berbuat sewenang-wenang). Menurut Philipus M. Hadjon, Pengajuan gugatan dengan alasan
(Detournement de Pouvoir) dan berbuat sewenang-wenang adalah sulit dibuktikan.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sjachran Basah dalam bukunya yang berjudul
eksistensi dan tolak ukur badan peradilan administrasi di Indonesia. Pernyataan Sjachran
Basah:
Memang sulit untuk membantah suatu perbuatan administrasi negara yang merupakan
detournement de pouvoir, karena hal itu perlu dibuktikan..apabila diperhatikan dan
diamati, sering ternyata bahwa perbuatan admnistrasi negara itu lebih berupa suatu beleid
yang didasarkan atas suatu kebijaksanaan pemerintah dari pada suatu perbuatan hukum yang
sungguh-sungguh, disebabkan adanya freies ermessen.Atas dasar hal tersebut sering

terjadi suatu detournement de pouvoir sebagai akibat dari suatu freies ermessen yang
disalahgunakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yos Johan Utama pada PTUN Kota Semarang, bahwa dalam
Sub sistem pengelolaan perkara, terdapat 25 kegagalan fungsi sistem PTUN dalam
menjalankan peran sebagai akses ke keadilan, diakibatkan beberapa faktor, salah satunya
adalah ketidakjelasan pengertian istilah hukum dalam mekanisme pengelolaan perkara,
seperti: (a) alasan yang layak; (b) AAUPB; (e) alasan yang dapat dipertanggunghjawabkan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 telah mengubah Pasal 53, sehingga alasan kedua dan
ketiga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dihapus, dan diganti dengan alasan
bertentangan dengan AAUPB. Perubahan sebagian Pasal 53 merupakan suatu kemajuan
dalam menjamin keadilan bagi masyarakat, yang sebelumnya tidak tercantum dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986. AAUPB dinyatakan secara tegas dalam Penjelasan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004. Tujuannya adalah untuk mewujudkan penyelenggara negara
yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung
jawab.
Disatu sisi, perubahan Pasal 53 dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 merupakan
suatu tindakan kemajuan dalam rangka melindungi warga negara, namun disisi lain,
pengertian AAUPB dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 masih bersifat umum dan
belum dijelaskan secara kongkrit. Penerapan asas ini, memerlukan penafsiran terhadap kasuskasus yang kongkrit yang bisa saja seorang hakim PTUN salah mengambil putusan (Vonis)
karena tidak ada kriteria yang kongkrit atas AAUPB. Akibatnya akan sulit untuk menentukan
perbuatan Pejabat TUN mana yang termasuk dalam wilayah asas kebebasan bertindak (Freies
Ermessen), dan perbuatan Pejabat TUN mana yang dianggap bertentangan dengan AAUPB.
J. Kesimpulan
1. Adanya suatu kepentingan yang dirugikan, merupakan suatu alasan yang digunakan
oleh orang atau badan hukum privat dapat mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN
untuk menuntut agar KTUN dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pihak yang merasa kepentingannya dirugikan sebagai akibat keluarnya KTUN dan
menggugat KTUN di PTUN. Kepentingan adalah hak yang seharunsya dilindungi
oleh hukum, dan kerugian dalam sengketa tata usaha negara harus dapat diukur secara
materil yang dapat dinilai dengan uang.
2. Dasar pengujian KTUN bagi hakim adalah: (1) Keputusan pejabat TUN itu
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Keputusan
Pejabat TUN bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintaha Yang Baik (the
general principles of good government) sebagaimana yang terdapat dalam UU
1999/28 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme. AAUPB adalah meliputi: (1) kepastian hukum; (2) tertib
penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5)
proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam
UU 1999/28 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
K. Daftar pustaka

A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, cet.2, Malang, 2005.


Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet.1, Jakarta, 2004.
E. Utrecht, Pengantar Hukum Admnistrasi Indonesia, Pustaka Tinta Mas, cet.4, Surabaya,
1994
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jilid 1,
Pustaka Sinar Harapan, cet. 7, Jakarta, 2000
-, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Jilid 2,
Pustaka Sinar Harapan, cet. 8, Jakarta, 2003.
Philipus M. Hadjon et.all, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadja Mada University
Press, cet. 2, Yogyakarta, 1993.
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet. 10, Jakarta, 1995.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.
S.F. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
cet.4, Yogyakarta, 2006.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia,
cet.3, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 245-246
Yos Johan Utama, Menggugat PTUN Sebagai Salah Satu Akses Warga Negara Untuk
Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara, UMS e-jurnals, Vol. 10, No. 1,
Maret 2007, hlm. 40-41
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman

Tinggalkan sebuah Komentar


Ditulis dalam Uncategorized
Oleh: safiudin | 18 Februari 2009

TEORI KEKUASAAN NEGARA DAN PELAKSANAANNYA DALAM


SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Pendahuluan
Kekuasaan negara merupakan obyek telaah oleh para ilmuan hukum dan kenegaraan dari
masa ke masa yang terus berkembang. Istilah kekuasaan negara bukan saja dikaji
berdasarkan konsep teoritis, tapi pengkajian terhadap kekuasaan negara dimaksudkan
bagaimana kekuasaan dalam negara agar suatu negara yang berdaulat dapat menjalankan
fungsi negara dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh seluruh rakyat.
Perkembangan zaman selalu saja mewarnai konsep dan pelaksanaan kekuasaan negara
secara praktis oleh pemerintah sebagai alat perlengkapan negara. Setiap ruang/wilayah dan
waktu/zaman selalu dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, ideologi, serta tujuan dan citacita masyarakat melahirkan kondisi sehingga melahirkan kondisi yang berbeda di setiap
zaman dan tempat yang berbeda. Faktor inilah yang menyebabkan banyaknya konsep tentang
kekuasaan negara terutama mengenai jumlah dan organ pelaksana dari kekuasaan tersebut.
Perbedaan pandangan antara beberapa ahli hukum mengenai kekuasaan negara
disebabkan oleh selain sudut pandangan yang berbeda, juga disebabkan oleh zaman dan
wilayah yang berbeda, oleh karena itu sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjadi acuan
untuk melahirkan konsep baru tentang kekuasaan negara dan bagaimana kekuasaan itu
dijalankan. Kekuasaan negara di Indonesia menurut Jimly Asshiddiqie bahwa ajaran
kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat berlaku secara silmultan dan
pemikiran bangsa Indonesia tentang kekuasaan.
Negara Indonesia memiliki banyak lembaga negara. Lembaga negara tersebut merupakan
implementasi kedaulatan rakyat Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga negara dalam
rangka menjalankan roda pemerintahan untuk mencapai tujuan masyarakat sebagaimana
termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya bahwa
lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara yang dibentuk sebelumnya
tidak cukup untuk menjalankan pemerintahan dan menjamin seluruh kepentingan masyarakat
Indonesia.
Bentuk kewenangan yang dimiliki oleh lembaga negara sebelumnya tidak menjamin
adanya pemerintahan yang demokratis dan mengekang kebebasan hak-hak dasar masyarakat,
sehingga pasca reformasi sistem ketatanegaraan Indonesia berubah secara drastis, salah satu
indikatornya adalah berubahnya struktur ketatanegaraan, wewenang sebagian lembaga negara
serta bertambahnya jumlah lembaga negara yang ada.
Bertambahnya jumlah lembaga negara yang ada melahirkan pemikiran baru yang
menyatakan bahwa teori tradisional yang menyatakan tiga kekuasaan negara sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, termasuk sistem
ketatanegaraan Indonesia yang sudah jauh melenceng dari teori tiga kekuasaan baik yang
sifatnya pemisahan maupun pembagian. Bahkan beberapa negara modern yang demokrasinya
sudah matang seperti: Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Amerika, pelaksanaan kekuasaan
negara dilakukan oleh banyak lembaga negara, yang dikategorikan sebagai lembaga negara
utama (Primary State Organs) dan lembaga negara bantu atau penunjang (Auxiliary State
Organs). Kekuasaan negara seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu fungsi legislative,
fungsi executive, fungsi judicative, fungsi federative atau terkait dengan hubungan luar
negeri, financial, fungsi polisi, fungsi defensive, pada dasarnya telah menjadi bagian dari
tugas pemerintahan dalam negara konstitusional modern.

Hasil pemikiran mengenai jumlah kekuasaan dalam negara dilahirkan oleh beberapa ahli
hukum dan kenegaraan dengan konsep yang berbeda antara satu sama lain. Teori tentang
adanya kekuasaan dalam negara yang harus dibagi-bagi lahir di Eropa Barat. Pandangan ini
muncul sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolute yang bertujuan untuk mencegah
tumbuhnya kekuasaan di tangan satu orang, selain itu agar terdapat jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia.
Beberapa ahli hukum mengemukakan konsep kekuasaan negara diantaranya adalah John
Locke, Montesquieu, C.F. Strong, C. Van Vollenhoven, dan Logemann. Locke mengatakan
bahwa dalam suatu negara, kekuasaan-kekuasaan dibagi tiga yaitu legislative, eksekutif, dan
federatif. Legislative adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, eksekutif adalah
kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, federatif adalah kekuasaan yang meliputi
kekuasaan yang mengenai perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala
tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. Pemikiran ini ditulis dalam
bukunya yang berjudul two trities on civil government.
Montesquieu mengatakan bahwa disetiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan
yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu legislative power (kekuasaan
untuk membentuk undang-undang), executive power (kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang), dan judicative power (kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undangundang). Ia mengatakan bahwa ketiga jenis kekuasaan tersebut harus dipegang dan dijalankan
oleh sebuah lembaga negara dimana masing-masing lembaga negara harus terpisah antara
satu sama lain baik orang yang duduk dalam lembaga tersebut maupun dalam hal
pelaksanaan kewenangan atau fungsinya. Sebelum Montesquieu fungsi negara itu telah
dikenal sejak lama di negara Perancis pada abad XVI, yang terdiri dari lima yaitu : fungsi
diplomatie, fungsi defencie, fungsi financie, fungsi justicie, fungsi policie.
C.F. Strong mengemukakan bahwa pemerintahan terdiri dari kekuasaan legislative,
eksekutif, dan yudikatif : governmentit must have legislative power, executive power,
and judicial power, which we may call the three departments of government. Ketiga
kekuasaan dalam pemerintahan itu, semuanya berperan dalam pelaksanaan kedaulatan negara
modern. Ketiga kekuasaan tersebut selalu berhubungan erat satu sama lain, bahkan di
beberapa negara hubungan antara ketiganya lebih erat walaupun memiliki perbedaan.
Konsep tentang kekuasaan negara juga dikemukakan Cornelis Van Vollenhoven.
Pemikiran dari sarjana Belanda ini juga terinspirasi oleh pemikiran Montesquieu, akan tetapi
ia memisahkan badan/kekuasaan kepolisian yang terpisah secara khusus. Sedangkan
kekuasaan melaksanakan undang-undang hanya meliputi executive power saja, sehingga
fungsi maupun organ pemerintahan itu menurutnya merupakan catur praja yang terdiri dari :
pertama adalah regeling (tugas legislative) yang berfungsi membuat undang-undang dalam
arti formil maupun materil; Kedua, bestuur (tugas eksekutif) yakni memelihara kepentingan
umum dengan sungguh-sungguh. Eksekutif atau bestuur tidak hanya melaksanakan undangundang saja tetapi secara umum dapat dikatakan memperhatikan secara aktif dan bebas
semua kebutuhan masyarakat; ketiga adalah justitie/recht-spraak (tugas yudikatif) yakni
menyelesaikan tugas pertikaian dalam peradilan perdata dan pidana; dan keempat, politie
(tugas kepolisian) yang merupakan pemisahan khusus dari bestuur, yakni mengawasi
pelaksanaan peraturan-peraturan hukum oleh warga negara individual, mempertahankan hakhak baik secara preventif, menyelesaikan pertikaian dalam peradilan pidana, memelihara
ketentraman dan keamanan.

Dikatakan bahwa kekuasaan itu harus dipisahkan (separation of power), kenyataannya


dalam praktek pelaksanaan ketatanegaraan semua negara tidak dapat melaksanakannya
pemisahan kekuasaan secara penuh. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya perkembangan dan
konsolidasi lembaga negara pasca reformasi menyatakan bahwa konsep trias politika yang
dikemukakan oleh Montesquieu sudah tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat bahwa sangat
tidak mungkin urusan pemerintahan dalam negara hanya dijalankan secara ekslusif oleh salah
satu atau ketiga lembaga negara. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa ketiga cabang
kekuasaan itu mustahil tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan
saling mengendalikan sesuai dengan prinsip Checks and Balances.
Perkembangan kehidupan ketatanegaraan dewasa ini yang cukup berbeda dengan
kehidupan ketatanegaraan pada masa-masa sebelumnya. Struktur organisasi negara termasuk
bentuk-bentuk dan fungsinya mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh beberapa
hal yakni, pertama adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis
dengan menganut sistem Cheeks and Balances yang setara dan seimbang diantara cabangcabang kekuasaan, kedua mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, ketiga menjamin dan
melindungi hak-hak asasi manusia. Keempat adalah dikarenakan perkembangan masyarakat
baik secara ekonomi, politik, dan sosial budaya, serta pengaruh globalisme dan lokalisme.
Sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terlepas dari pengembangan konsep trias politika
yang dikembangkan oleh John Locke, Montesquieu, dan pengaruh dari model ketatanegaraan
negara Belanda. Dalam perkembangan ketatanegaraan, Indonesia menjadi contoh negara
demokrasi bagi negara-negara modern di abad 21, yang memiliki 18 lembaga negara. Ada
beberapa lembaga negara yang disebut sebagai institusi politik (political institutions) dan
beberapa lembaga yang disebut sebagai alat kelengkapan negara. Bertambahnya jumlah
lembaga negara yang ada melahirkan pemikiran baru sebagaimana pendapat Jimly
Asshiddiqie menyatakan bahwa teori tradisional yang menyatakan tiga kekuasaan negara
sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, termasuk sistem
ketatanegaraan Indonesia yang sudah jauh melenceng dari teori tiga kekuasaan baik yang
sifatnya pemisahan maupun pembagian. Jadi jika dikatakan bahwa kekuasaan negara itu
terdiri dari tiga, empat atau juga lima yang dijalankan oleh suatu institusi politik, namun
kenyataannya secara kelembagaan, jumlah lembaga negara di Indonesia yang disebutkan
dalam UUD 1945 melebihi dari lima lembaga negara.
Masalah dalam tulisan ini dibatasi pada dua hal yakni : pertama, fungsi negara menurut
UUD 1945 yang sesuai dengan tujuan berdirinya negara Indonesia, dan kedua adalah
bagaimana fungsi negara tersebut dijalankan melalui lembaga-lembaga negara dan alat-alat
kelengkapan negara. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah mendeskripsikan fungsi negara
berdasarkan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, dan
mendeskripsikan hubungan kekuasaan antarlembaga negara dalam rangka menjalankan
fungsi negara.

B. Pembahasan
Istilah Fungsi dan kekuasaan negara
Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak, artinya jika seseorang
dikatakan mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka orang yang berkuasa itu mampu
untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain itu. Menurut Abu Daud Busroh bahwa

landasan kekuasaan adalah adanya rasa takut oleh setiap orang terhadap ancaman apabila
tidak melakukan sesuatu.
Dalam KBBI istilah kekuasaan mempunyai banyak arti diantaranya adalah
kemampuan orang/sekelompok orang untuk menguasai orang/kelompok lain berdasarkan
wewenang, kharisma, atau kekuatan fisik. Istilah kekuasaan juga diartikan sebagai
kewenangan atas sesuatu untuk memerintah, mewakili, atau mengurus sesuatu.
Menurut Hans Kelsen bahwa kekuasaan mempunyai dua makna yang berbeda, yaitu
Pertama kekuasaan negara terhadap rakyat untuk menundukan diri sebagai validitas dan
efektifitas tata hukum nasional, artinya rakyat harus mengakui eksistensi dari kekuasaan
negara sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi dan pelaksanaan hukum secara
evektivitas dalam suatu negara. Pengertian yang kedua adalah ketika orang berbicara tentang
ketiga kekuasaan negara, maka kekuasaan dipahami sebagai fungsi dari negara.
Jadi istilah kekuasaan adalah pengertian yang terakhir dimana kekuasaan identik
dengan kewenangan atau fungsi. Kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan.
Jadi kekuasaan diwujudkan dalam bentuk adanya kewenangan dan tugas.
Negara adalah suatu organisasi diantara kelompok atau beberapa kelompok manusia yang
bersama-sama mendiami suatu wilayah atau teritorial tertentu dengan mengakui adanya suatu
pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa
kelompok manusia tadi.
Negara menurut H.J.W. Hetherington : Institusi atau seperangkat institusi yang
menyatukan penduduknya dalam satu wilayah teritorial yang ditandai secara jelas dibawah
otoritas tunggal untuk menjamin tercapainya tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama.
Yang dimaksud dengan penyatuan kekuasaan komunitas dan otiritas tunggal dalam
pandangan tersebut adalah kekuasaan (authority) untuk membuat hukum atau undangundang.
Dalam pandangan tradisional seperti yang dikemukakan oleh John Locke, Montesquieu,
Van Vollenhoven, Logemann, Hans Kelsen, dan C.F. Strong, kekuasaan atau kewenangan
negara dianggap sebagai fungsi negara. Fungsi negara diwujudkan dalam bentuk lembagalembaga negara sebagai alat perlengkapan negara. Antara kekuasaan dan negara tidak dapat
dipisahkan. Mengenai hubungan kekuasaan dan negara dikemukakan oleh Strong C.F. Strong
bahwa kekuasaan dalam suatu negara adalah sesuatu yang sangat penting, antara kekuasaan
dan negara merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Negara harus memiliki otoritas atau kekuasaan tertinggi untuk membuat dan
melaksanakan undang-undang. Pemerintah merupakan alat kelengkapan negara, karena
negara tidak dapat eksis tanpa adanya Pemerintah. Pada hakikatnya Pemerintah adalah
kekuasaan yang teroganisir. Oleh karena itu pembentukan lembaga negara selalu terkait
dengan sistem penyelenggaraan negara. Jadi penyelenggaraan negara dilakukan berdasarkan
fungsi/kekuasaan/kewenangan.

Fungsi negara menurut teori hukum

Negara menurut H.J.W. Hetherington adalah Institusi atau seperangkat institusi yang
menyatukan penduduknya dalam satu wilayah territorial yang ditandai secara jelas dibawah
otoritas tunggal untuk menjamin tercapainya tujuan dasar dan kondisi kehidupan bersama.
Adapun tujuan dibentuknya negara adalah untuk rakyat, sebagaimana pendapat strong
tentang keberadaan negara, bahwa : In a properly organized political community the state
exist for society and not society for the state. Pembentukan negara tidal lain untuk
kepentingan rakyat. Jika tujuan negara sebagaimana yang tertera dalam dua pendapat
tersebut, maka tujuan terbentuknya negara Indonesia merupakan tujuan bersama masyarakat
secara kolektif.
Kekuasaan negara secara internal yaitu kekuasaan yang dimiliki oleh negara (yang
diwakili oleh pemerintah dalam arti yang luas) terhadap masyarakat yang ada dalam negara
tersebut. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki negara, dipegang oleh alat-alat
perlengkapan negara atau lembaga/badan/organ negara untuk menjalankan negara tersebut
guna mencapai tujuannya. Biasanya tujuan setiap negara tercantum dalam konstitusi atau
Undang-Undang Dasarnya. Jadi lembaga negara yang lazim disebut dengan alat-alat
perlengkapan negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsifungsi negara.
Tujuan negara sebagai cita-cita politik masyarakat digambarkan dalam konstitusi atau
Undang-Undang Dasar suatu negara. A.A.H. Struycken yang dikutip oleh Sri Sumantri
mengatakan bahwa konstitusi merupakan dokumen formal yang berisi beberapa hal, yaitu :
1. pertama, hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2. Kedua, tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Ketiga, pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik waktu sekarang
maupun untuk masa yang akan datang.
4. Keempat, suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin. Demikian halnya dengan isi UUD 1945, memuat empat unsur
sebagaimana yang dikemukakan oleh Struycken.
Ada empat tujuan utama dibentuknya negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam
alinea keempat pembukaan UUD 1945, yakni : pertama melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum,
Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat yaitu ikut melaksanakan ketertiban
dunia.
Berdasarkan tujuan tersebut, maka fungsi atau kekuasaan negara dalam konteks Indonesia
adalah :
1. fungsi atau kekuasaan untuk melindungi bangsa Indonesia baik wilayah maupun
rakyatnya.
2. fungsi atau kekuasaan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat secara keseluruhan.

3. fungsi atau kekuasaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal ini
masyarakat.
4. fungsi atau kekuasaan untuk melaksanakan ketertiban dunia.
Untuk mencapai keempat tujuan tersebut, negara membentuk alat-alat kelengkapan
guna menjalankan roda pemerintahan. Alat-alat kelengkapan negara berbentuk lembaga
negara yang dibentuk oleh UUD 1945. Kedaulatan diberikan oleh masyarakat agar negara
menjalankan tugas dan kewenangan dalam rangka mencapai tujuan yang dicita-citakan
bersama. Dalam menjalankan tugas dalam rangka menegakkan kepentingan masyarakat,
maka negara memerlukan kekuasaan. Kekuasaan negara merupakan kedaulatan yang
diperoleh dari masyarakat dan diwujudkan melalui tugas dan kewenangan alat-alat
perlengkapan atau organ negara.

Pelaksanaan fungsi negara menurut UUD 1945


Kekuasaan tertinggi (kedaulatan) negara Indonesia berada ditangan rakyat sebagaimana
pasal 1 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan bahwa : kedaulatan berada di tangan rakyat, dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pelaksanaan kekuasaan rakyat itu dilakukan
menurut UUD 1945. Undang-Undang Dasar telah membentuk sebanyak 18 lembaga negara,
masing-masing lembaga negara ada yang disebutkan kewenangannya dalam UUD 1945 dan
ada juga kewenangannya diatur dengan undang-undang.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa alat-alat perlengkapan suatu negara atau yang
disebut dengan lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan
fungsi-fungsi negara. Jadi Perlu ditekankan disini bahwa yang dimaksudkan dengan
kekuasaan negara adalah kekuasaan negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara,
pelaksanaan kekuasaan negara oleh lembaga/organ negara dalam rangka menjamin sistem
pemerintahan yang demokratis untuk mencapai tujuan negara sebagai cita-cita masyarakat
secara kolektif.
Jadi yang dimaksud kekuasaan negara adalah kewenangan yang dimiliki oleh lembaga
dalam pengertian bukan hanya institusi politik tetapi dalam pengertian lembaga negara utama
(primary state organ) dan lembaga negara penunjang (auxiliary state organ) yang terwujud
dalam tugas dan kewenangannya masing-masing. Sehingga untuk menentukan jumlah
kekuasaan negara kita akan meninjau dari aspek tugas dan wewenang yang dimiliki oleh
setiap lembaga negara, baik lembaga negara utama maupun lembaga negara yang sifatnya
penunjang.
Strong menganggap pemerintah (government) sebagai kekuasaan yang terorganisir,
sebagai pemegang kekuasaan untuk menjalankan negara. Jadi pemerintah memiliki
pengertian yang lebih luas dan mempunyai beberapa kekuasaan yang diberikan, dalam rangka
menjaga keamanan dan pertahanan di dalam di luar negeri, sehingga pemerintah bukan hanya
memiliki kekuasaan bidang legislative, eksekutif, dan yudikatif saja, tapi juga harus memiliki
kekuatan militer dan kekuasaan financial.
Kekuasaan negara adalah kemampuan negara untuk mempengaruhi orang atau
kelompok masyarakat. Kekuasaan negara berarti kemampuan negara untuk mengurus sesuatu
dalam bidang pemerintahan. Pihak yang melaksanakan kekuasaan negara adalah pemerintah

dalam arti luas. Jadi kekuasaan negara terwujud dalam tugas dan wewenang yang dimiliki
oleh pemerintah. Kekuasaan negara adalah kekuasaan yang tertinggi yang disebut kedaulatan.
Negara Indonesia merupakan manifestasi dari konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan
rakyat, dan kedaulatan hukum yang berlaku secara simultan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Konsep bernegara dalam masyarakat Indonesia dilandasi oleh kesadaran atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Negara Indonesia terbentuk karena adanya kesadaran tentang persamaan
senasib oleh rakyat Indonesia, sehingga melahirkan perjanjian bersama diantara berbagai
suku untuk membentuk negara yakni negara Indonesia. Oleh karena itu kekuasaan negara
dalam konteks ke-Indonesiaan diperoleh dari rakyat Indonesia secara keseluruhan dan
dilaksanakan berdasarkan hukum.
Pemerintahan Indonesia juga dibentuk berdasarkan atas persetujuan dari wakil-wakil
dari seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah Indonesia dibentuk dengan empat tujuan utama
yaitu pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua,
memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Proses pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh pemerintah
dalam arti yang luas yang berdasarkan hukum sebagai implementasi dari konsep negara
hukum. Proses pelaksanaan sistem pemerintahan juga dilakukan atas dasar prinsip-prinsip
demokratis.
Pemerintah dalam arti luas adalah lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga
yudikatif yang juga disebut sebagai lembaga negara. Ada 18 lembaga atau organ negara yang
dibentuk dengan UUD 1945, yaitu : Majelis Permusyawaratan Rakyat (the peoples
consultative assembly), Dewan Perwakilan Rakyat (the peoples representative council),
Dewan Perwakilan Daerah (the council of representative of the regions), Lembaga
Kepresidenan (the executive power) terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah
Konstitusi (constitutional court), Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (supreme
audit board), Komisi Yudisial, Kementrian negara (ministers of state) terdiri dari departemendepartemen dan non departemen, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten
dan kota, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, komisi pemilihan umum, bank sentral
(central bank), Tentara Nasional Indonesia (the Indonesian national military), Kepolisian
Negara Republik Indonesia (the Indonesian national police), dan Dewan Pertimbangan
Presiden. Masing-masing lembaga atau organ tersebut menjalankan fungsi atau kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau sebagian termasuk dalam kategori lembaga eksekutif,
lembaga eksekutif, atau juga lembaga yudikatif.
Pimpinan tertinggi lembaga atau organ eksekutif adalah Presiden yang dibantu oleh
wakil Presiden. Dalam proses pelaksanaan pemerintahan ada beberapa lembaga atau organ
yang berada dibawah Presiden, yaitu lembaga Kementrian negara yang terdiri dari
departemen dan non departemen, POLRI, TNI. Kementrian negara diantaranya adalah
Departemen pertahanan, Kepolisian negara Republik Indonesia, Departemen dalam negeri,
Departemen luar negeri, Departemen keuangan, departemen pendidikan nasional, dan lainlain. Walaupun departemen-departemen tersebut berada dibawah eksekutif, namun Masingmasing menjalankan fungsi yang berbeda antara satu sama lain. TNI dan POLRI tidak disebut
sebagai kekuasaan tersendiri karena pelaksanaan tugas kedua lembaga tersebut tergantung
dari Presiden sehingga disebut bagian dari lembaga eksekutif. Demikian juga dengan
departemen luar negeri yang menjalankan kekuasaan hubungan luar negeri, departemen
keuangan yang menjalankan kekuasaan di bidang financial, dan masih banyak departemendepartemen lain yang menjalankan fungsi yang berbeda satu sama lain.

Fungsi atau kekuasaan negara yang berada dibawah kendali Lembaga Eksekutif
tertinggi adalah Fungsi pertahanan, keamanan, keuangan, educative, federative, dan
administrasi. Lembaga Eksekutif juga memiliki kewenangan legislatif yaitu melalui
pembuatan peraturan pemerintah, peraturan Presiden, atau pembentukan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang. Pemikiran Kelsen bahwa legislatif pada zaman
Romawi merupakan Legis Lasio yaitu kewenangan membentuk hukum. Kata hukum
berarti meliputi semua peraturan perundang-undangan, baik undang-undang yang bersifat
umum maupun peraturan-peraturan yang mengatur hal-hal yang bersifat khusus.
Lembaga-lembaga atau organ legislatif adalah MPR, DPR, dan DPD. Lembagalembaga tinggi negara ini juga menjalankan fungsi atau kekuasaan membentuk undangundang atau kewenangan legislatif, selain itu DPR dan DPD masing-masing mempunyai
fungsi atau kekuasaan memberi pertimbangan atau consultative, pengawasan atau
controlling, dan memberi pertimbangan atau Consultative. Fungsi legislatif dari MPR adalah
mengubah dan menetapkan UUD, fungsi legislatif dari DPR dan DPD adalah membentuk
undang-undang bersama Presiden. Fungsi konsultatif dari DPR adalah memberi
pertimbangan dan persetujuan pada Presiden dalam menetapkan kebijakan strategis misalnya
pengangkatan duta dan konsul, menyatakan perang dan damai, dan lain-lain. Fungsi
konsultatif dari DPD adalah memberi pertimbangan terhadap DPR dalam membentuk
undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Fungsi controlling dari
DPR adalah kewenangannya untuk mengawasi Presiden beserta menteri-menterinya dalam
melaksanakan undang-undang, sedangkan fungsi controlling dari DPD adalah
kewenangannya untuk mengawasi eksekutif atas pelaksanaan undang-undang yang terkait
dengan otonomi daerah.
Lembaga atau organ yudikatif adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan
Komisi Yudisial. Sebenarnya komisi yudisal hanyalah lembaga penunjang dalam bidang
yudikatif karena fungsinya bersifat tidak mengadili. Lembaga MA selain memiliki fungsi atau
kekuasaan yudikatif, lembaga ini juga mempunyai kekuasaan legislatif misalnya ketika
memutuskan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD dengan menafsirkan
muatan UUD. Lembaga MA selain memiliki fungsi yudikatif, lembaga ini juga mempunyai
fungsi di bidang legislatif yaitu ketika memutus kasus kongkrit yang berdasarkan kebiasaan,
atau putusannya dijadikan yurisprudensi. Menurut Kelsen bahwa vonis pengadilan yang
berdasarkan hukum kebiasaan dan putusan yang menjadi yurisprudensi adalah proses yang
sama dengan pembentukan undang-undang oleh Lembaga Legislatif.
Fungsi atau kekuasaan negara yang diwakili oleh pemerintah melalui lembagalembaga negara di Indonesia adalah:
1. Fungsi legislative yaitu kekuasaan membuat hukum. Kekuasaan ini dijalankan oleh
lembaga atau organ negara berupa MPR, Presiden, DPR, DPD, MA dan lembaga
peradilan yang berada dibawahnya, Mahkamah Konstitusi, serta lembaga-lembaga atau
organ lainnya yang dibentuk berdasarkan UUD.
2. Fungsi executive dalam arti khusus, yaitu kekuasaan melaksanakan hukum dalam
pengertian pengambilan kebijakan tingkat tertinggi yang dilakukan oleh Presiden dan
wakil Presiden atau para Menteri.

3. Fungsi administrative yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tata administrasi dalam


pemerintahan. Kekuasaan ini dijalankan oleh pegawai negara yang berada pada
departemen-departemen pemerintahan.
4. Fungsi judicative yaitu kekuasaan mengadili terhadap setiap orang yang melanggar hukum.
Kekuasaan ini berada di tangan Mahkamah Agung dan seluruh peradilan yang berada
dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi.
5. Fungsi financial, yaitu kekuasaan untuk mengatur keuangan negara yang dilakukan oleh
Bank Indonesia sebagai bank sentral dan penggunaan keuangan negara dilakukan melalui
departemen keuangan sebagai bagian dari lembaga eksekutif.
6. Fungsi politie atau kemanan, yaitu kekuasaan untuk menjaga ketertiban hukum dalam
masyarakat dengan tujuan menjamin keamanan dan ketentraman warga negara.
Kekuasaan ini berada di tangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sebagai
bagian dari Lembaga eksekutif.
7. Fungsi defensive yaitu kekuasaan di bidang pertahanan negara dalam rangka menjaga
kedaulatan negara secara eksternal berupa invansi oleh negara lain. Kekuasaan ini
dipegang oleh Tentara Nasional Indonesia yang juga merupakan bagian dari Lembaga
Eksekutif.
8. Fungsi federative yaitu kekuasaan untuk mengadakan hubungan kerja sama dengan negaranegara lain, baik di bidang ekonomi, politik, terutama untuk menciptakan perdamaian
dunia. Kekuasaan ini dijalankan oleh departemen luar negeri dan kedutaan besar yang
berada dibawah lembaga Eksekutif.
9. Fungsi educative sebagaimana tujuan negara Indonesia. Fungsi ini dilakukan oleh
departemen pendidikan nasional yang berada dibawah kendali Presiden.

Daftar Pustaka
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,
cet.1, Jakarta, 1983.
Arifin, Firmansyah dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara,
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, cet.1, Jakarta, 2005.
Ateng Syafrudin, Hand Out and Course Materials Hukum Pemerintahan Daerah, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Unpad, Bandung.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Sidwick & Jackson Limited, London, 1963.
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945, FH-UII Press, cet. 2, Jogyakarta, 2005.
,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006.

John Locke, Concerning Civil Government, Second Essay: An Essay Concerning the True
Original Extent and End of Civil Government, the Pennsylvania State University,
1690.
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1981.
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
HTN FH-UI, cet.7, Jakarta, 1988.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bhakti, cet.5, Bandung, 2000.
Sjachran Basah, Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan), PT. Citra
Aditya Bhakti, cet.8. Bandung, 1997.
Strong, C.F., Modern Political Constitution, Sidwig & Jhon Limited, London, 1966.
Titi Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, cet.2, Jakarta, 2006.
W. Friedman, Legal Theory, Stevens and Sons Limited, London, 1960
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Dian Rakyat, cet.6,
Jakarta, 1989.
https://safiudin.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai