Anda di halaman 1dari 12

http://definisi.

org/sejarah-perkembangan-fonetik-menurut-para-ahli
Sejarah Perkembangan Fonetik Menurut Para Ahli
March 14,

Filled under Biologi

No Comments

2013

Sejarah Perkembangan Fonetik Menurut Para Ahli - Berikut ini beberapa Sejarah Perkembangan
Fonetik Menurut Para Ahli dan Pengertian Fonetik Menurut Para Ahli
Fonetik merupakan bidang kajian ilmu pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi bahasa
yang dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi bahasa untuk
dianalisis oleh otak manusia (OConnor, 1982: 10-11), (Ladefoged, 1982: 1). Menurut Gorys Keraf
(1978), fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam
tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi dengan alat ucap manusia.
Pengertian Fonetik Menurut Clark dan Yallop (1990), fonetik merupakan bidang yang berkaitan erat
dengan kajian bagaimana cara manusia berbahasa serta mendengar dan memproses ujaran yang
diterima. Lebih lanjut, fonetik ini sangat berguna untuk tujuan-tujuan seperti pengajaran diksi,
penguasaan ujaran bunyi-bunyi bahasa asing, perbaikan kualitas bertutur bagi mereka yang
menghadapi
masalah
kurang
daya
pendengarannya.
Secara umum, fonetik dapat dibagi menjadi tiga bidang kajian, yaitu fonetik fisiologis, fonetik akustik,
dan fonetik auditoris atau fonetik persepsi (Dew dan Jensen, 1977:19).
Fonetik Fisiologis
adalah suatu bidang ilmu oengetahuan yang mengkaji tentang fungsi fisiologis manusia (Liberman,
1977 : 3). Seseorang yang ingin mengkaji bunyi-bunyi behasa harus mengetahuai juga berbagai
struktur mekanisme peraturan, memehami fungsi setiap mekanisme tersebut, dan peranan nya dalam
menggasilkan berbagai bunyi behasa (Singh dan Singh, 1876 : 2). Fonetik yang menkaji tentang
penghasilan bunyi-bunyi bahasa berdasarkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia di
namakan fonetik fidiologis.
Fonetik Akustik
Kajian fonetik akustik bertumpu pada struktur fungsi bunyi-bunyi bahasa dan bagaiman alat
pendengaran manusia memberikan reaksi kepada bunyi-bunyi bahasa yang di teriman (Mallberg,
1963 : 1).ada tiga ciri untama bunyi-bunyi bahasa fonetik akustik, yaitu frekuensi, tempo, kenyaringan.
Fonetik Audiotoris Atau Fonetik Persepsi
Kajian ini meneliti bagaimana seorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang di terima sebagai
bunyu-bunyi yang perlu dip roses sebagai bunyi-bunyi bahasa bermakna, dan apakah cirri bunyibunyi bahasa dianggap penting oleh pendengar dalam usaha untuk membedakan setiap bunyi
bahasa yang di dengar (Singh dan Singh, 1976, 5).
Ketidak lancaran Berujar yang Terkait dengan Kajian Fonetik
Masalah ketidaklancaran berujar oleh penutur ini dapat dilihat dari segi atau keadaan kelemahan
organ pertuturannya, keadaan suaranya (terutama dari segi nada dan kenyaringan), dan
kelancarannya berujar (Thomas dan carmack, 1990:2). Permasalahannya ini bisa disebabkan oleh
kegagapan (stuttering), kelumpuhan saraf otak (cerebral palsied), belahan langit-langit mulut, rusak
pendengaran (hearing impaired).
Kagagapan (Stuttering)
Menurut Ainsworth (1975), gagap merupakan salah satu permasalahan yang berhubungan dengan
ketidak lancaran ketika berbahasa, yang di alamai oleh seorang penutur.
Ciri-ciri kegagapan adalah:

Pemandekan (atau kemendekan) merujuk kapada ketidak mampuan penutur untuk


menggerakan atau mengawali gerak articulator-artkulator pertuturan untuk menghasilkan suatu
perkataan yang di kehendaki.
Pemanjangan merujuk kepada keadaan memanjangkan bunyi dalam jangka waktu yang lebih
lama di bendingkan dengan jangka waktu normal.

Pengulangan merujuk pada keadaan mengulang secara berturut-turut bunyi-bunyi


tertentu dala suku kata, frase atau kalimat ketika d ujarkan dalam suatu percakapan.

Kelumpuhan Saraf Otak (Cerebol Palsied)


Istilah kelumpuhan otak merujuk pada kecederaan di bagian tengah system nervours otak manusia,
yang mengakibatkan proses arahan dan perpisahan dari otak ke saraf penggerek yang mendorong
pergerakan anggota tubuh sangat lemah bahkan tidak berfungsi (Mysak, 1990 : 499-500). Dalam
kasus ini, fonetisi berusaha membantu penutur yang mengalami kelumpuhan saraf otak ini untuk
berlatih menggerakan artikulator-artikulator ke posisi yang tepat sesuai dengan bunyi bahasa yang di
hasilkan
Belahan Langit-Langit Mulut
Berdasarkan pemahaman tentang keadaan articulator dan titik artikulasi serta tekanan dan aliran
rongga mulut/hidung, penutur yang mempunyai belahan lengit-langit mulut ini, ahli fonetik bias
mencoba
membantu
memperbaiki
kualitas
bunyi
yang
di
hasilkan.
Rusak
Pendengaran
(Hearing
Impaired)
Penutur yang mempunyai kualitas pendengaran yang rendah berkemngkinan gagal untuk mengenal
dengan beik bunyi-bunyi yang berfrekuensi tinggi, misalnya bunyi [s] dan [f]. karena itu dia akan
menghadapi masalah ketika memahai perkataan dalam suatu ujaran yang mengandung bunyi-bunyi
yang berfrekuensi tinggi tersebut. (Thomas dan Carmach, 1990 : 24).
Kondisi Kajian Fonetik
1. Kajian fonetik di Barat
Di Barat, kajian linguistik dilakukan dengan cara scientific atau ilmiah. Berbagai alat pemeriksaan,
penyelidikan, dan percobaan diadakan. Banyak hasil diperoleh dari penyelidikan ini. Selama ini,
kajian fonetik ilmiah ini belum berkembang dengan baik. Hasil kajian hanya memberikan penjelasan
kepada kita mengenai bagaimana gerakan alat-alat bicara dan hasil-hasil yang diperolehnya.
Penjelasan-penjelasan ini belum sampai kepada kegunaan praktis dalam kehidupan berbahasa
sehari-hari, termasuk miasalnya bagaimana menangani penutur yang mempunyai cacat wicara.
2. Sejarah Perkembangan kajian fonetik
Pengkajian fonetik ditangani secara serius sejak terbentuknya International Phonetic Assosiation
(IPA) pada tahun 1886 di Barat, walaupun buku-buku yang membicarakan bunyi bahasa telah terbit
sejak
tahun
1569.
Walaupun IPA terbentuk tahun 1886, di Inggris sendiri pengkajian fonetik digeluti secara intensif mulai
tahun 1907, yaitu setelah University of London mengakui usaha-usaha Daniel Jones (seorang pakar
fonetik Inggris terkenal) dan melantiknya sebagai dosen dalam pengkajian fonetik di University
Callage.
Dengan terbentuknya Asosiasi Fonetik Internasional ini banyak kemajuan yang dihasilkan, terutama
antara tahun 1910-1930. di antara mereka merasa perlu pertemuan para fonetesi dunia. Akhirnya,
berlangsunglah kongres pertama dengan nama international Conggress of Phonetic Sciences pada
tahun 1932 di Amsterdam. Kongres yang kedua diadakan di London pada tahun 1935, yang dihadiri
oleh 262 orang ahli dari 29 negara. Kongres ketiga diadakan di Ghent (Belgia) pada tahun 1938 yang
dihadiri 273 orang ahli dari 18 lembaga dan persatuan, 38 universitas, dan 32 negara. Sejak itulah
telah banyak buku dan artikel mengenai fonetik yang terbit. Semua tulisan tersebut berpatokan pada
prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh IPA.
BEBERAPA TOKOH ILMU FONETIK
Pengertian Fonetik Menurut Bertil Malmberg (1968), seorang fonetisi Prancis,
mendefinisikan fonetik sebagai pengkajian bunyi-bunyi bahasa. Fonetik adalah pengkajian yang lebih
menitikberatkan pada ekspresi bahasa, bukan isinya. Yang dipentingkan adalah bunyi-bunyi bahasa
yang dihasilkan penutur, bukan makna yang ingin disampaikan.
Menurut Bertil Malmberg, ilmu fonetik bisa dibagi menjadi empat cabang, yaitu sebagai berikut:

ilmu fonetik umum: mengkaji terhadap penghasilan bunyi-bunyi dan fungsi mekanisme
ucapan.

Ilmu fonetik deskriptif: mengkaji terhadap kelainan atau perbedaan bunyi bagi suatu bahasa
tertentu.

Ilmu fonetik sejarah: mengkaji terhadap perubahan bunyi suatu bahasa berdasarkan sejarah
bahasa tersebut.

Ilmu fonetik normatif: mengkaji terhadap kaidah bunyi yang benar pada suatu bahasa.
Pengertian Fonetik Menurut J.D. OConnor
Menurut OConnor fonetik ialah ilmu yang bersangkut paut dengan bunyi-bunyi ujar yang di hasilkan
oleh alat ucap manusia. Bunyi-bunyi yang dapat didengar ini kemudian diformulasikan sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang terdapat dalam bahasa masyarakat yang bersangkutan.
Seterusnya, formula bunyi-bunyi ini diberi fungsi tertentu sehingga dapat dipakai untuk
menyampaikan
pesan-pesan
tertentu.
Menurut OConnor, tingkah laku berkomunikasi berawal dari otak pembaca. Pada tahap ini, kita bisa
beranggapan bahwa otak penutur mempunyai dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi kreatif (creative
function) dan fungsi saluran (forwarding function).
Pengertian Fonetik Menurut David Abercromcie

David Abererombie (1971) berpendapat bahwa fonetik ialah ilmu yang bersifat teknis. Dalam ilmu ini,
suatu bahasa akan dilihat secara analitis, yaitu tidak saja mendengar percakapan, tetapi juga
menyadari setiap gerak jasmani yang melatarbelakanginya.
Sewaktu kita bernapas misalnya, udara tidak dikeluarkan terus-menerus. Aliran uadara tidak
berkelanjutan. Otot pernapasan tegang dan kendur berulang-ulang dalam satu pernapasan yang
panjang. Rata-rata gerakan tegang-kendur otot pernapasan adalah lima kali dalam satu detik atau
300 kali dalam satu menit. Udara dikeluarkan dari paru-paru setiap kali hembusan.
SKOP (BIDANG CAKUPAN), TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB FONETISI
Fonetisi lebih berminat untuk melihat bagaimana pergerakan udara di hubungkan dengan pergerakan
organ-organ pertuturan dan koordinasi semua pergerakan ini sehingga menghasilkan bunyi. Yang
diperhatikan fonetisi adalah pergerakan lidah, rahang, bibir, dan sebagainya ketika menghasilkan
bunyi
bahasa
dengan
bentuk
alat
sinar-X
(X-ray).
Fonetisi juga berminat bagaimana arus udara bergetar antara mulut penutur dan telinga pendengar.
Bidang fonetik ini berkaitan dengan bidang ilmu fisika yang mengkaji masalah akustik. Alat-alat yang
digunakan adalah alat yang biasa digunakan oleh ahli fisika, yaitu spektogram. Tujuan umum
penggunaan alat ini adalah untuk mengukur kekerapan atau frekuensi dan luas getaran bunyi dalam
jangka waktu tertentu. Pengkajian ini dikenal dengan pengkajian fonetik akustik.

05 MARET 2009

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA


Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Unversitas Negeri Malang
Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah
karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa
berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai
membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi
tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama.
Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi,
apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna
atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon
dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai
perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi
vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan
anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.
A.Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi
yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu
diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi
atau dipengaruhi.
Perhatikan contoh berikut.
1.Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp] dengan [t] apiko-dental. Tetapi,
setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan
[stOp] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan
bahwa [t] pada [stOp] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s]
yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang
diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi
progresif.
2.Kata bahasa Belanda zak kantong diucapkan [zak] dengan [k] velar tidak
bersuara, dan doek kain diucapkan [duk] dengan [d] apiko-dental bersuara.

Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek sapu tangan,
diucapkan [zagduk]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara
karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa [k] pada [zak] disesuaikan atau diasimilasikan artikulasi
dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama bersuara. Jika bunyi
yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan disebut
asimilasi regresif.
3.Kata bahasa Batak Toba holan ho hanya kau diucapkan [holakko], suan hon
diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling
disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h]
pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h]
saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga
menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.
Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi
fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu
fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena
perubahan dari [k] ke [g] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem
yang sama. Sedangkan asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis
karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]),
serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah
dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon dari fo-nem /n/, bunyi
[k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi [h] merupakan alofon
dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata
tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena
bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang
diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga
apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari
fonem yang yang sama.
Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet
vis saya makan ikan, kata vis yang biasa diucapkan [vis] pada kalimat
tersebut diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena
dipengaruhi oleh kata eet [i:t] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar
tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup
dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/,
dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.

B.Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang
sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Perhatikan contoh berikut!
1.Kata bahasa Indonesia belajar [blajar] berasal dari penggabungan prefiks ber
[br] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan
menjadi berajar [brajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang
pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi
[blajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r]
merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/,
maka disebut disimilasi fonemis.
2.Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana
[sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang
pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu
sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan
[r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu disebut disimilasi
fonemis.
3.Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan
bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr]
mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena
perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari
fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga
disebut disimilasi fonemis.
C.Modifikasi Vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh
bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke
dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu
disendirikan.
Perhatkan contoh berikut!
1.Kata balik diucapkan [bal?], vokal i diucapkan [] rendah. Tetapi ketika
mendapatkan sufiks an, sehingga menjadi baikan, bunyi [] berubah menjadi [i]
tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata
balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan
pada kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena
perubahan dari [] ke [I] masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka

perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis.


Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba.
Pada bunyi [], ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik),
sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li
pada ba-li-kan).
2.Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto].
Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt].
Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh
bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua
adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena
perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/,
maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa
diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu. (Coba jelaskan!)
Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke
vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi
oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara
itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang
lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa disebut
harmoni vokal atau keselarasan vokal.
Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang
disebut ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan
vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain
pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis.
Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [s] menyanyi
menjadi sang [s], sung [s]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa disebut
modifikasi internal.
D. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh
lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut.
Dengan cara pasangan minimal [bara] barang [para] parang bisa
disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi
dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal
setidak-tidaknya bermasalah karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya,
fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p]: [adap] dan
[sbap], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap:
[atap] dan [usap]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-

letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika


dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p], sama dengan
realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang
sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat
fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau
toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem,
yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua
fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b
yang paling sedikit dibatasi distribusinya).
E. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan
atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan
bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak
mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang
karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas
penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk
tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi.
Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh
tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan
kehematan, gejala itu terus berlangsung.
Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga bernilai
sama dengan struktur lengkapnya. Misalnya:
- shall not disingkat shant
- will not disingkat wont- is not disingkat isnt
- are not disingkat arent
- it is atau it has disingkat its.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis,
apokop, dan sinkop.
1.Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem
pada awal kata.
Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadipermen, upawasa menjadi p
uasa

2.Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem
pada akhir kata.
Misalnya:president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi,mpulaut menja
di pulau

3.Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem
pada tengah kata.
Misalnya:baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpattimenjadi upeti.
F.Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga
menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata
yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja.
Misalnya: kerikil
menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadibantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari
bahasa Portugis almari,Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari
bahasa Arab arbab.
G.Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua
bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari
vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [agota] diucapkan [agauta], sentosa [sntosa] diucapkan
[sntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap
[au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena
adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata
tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya,
yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:
- teladan [tladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [] menjadi [au]
- topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]
H. Monoftongisasi
Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi

vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong).


Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai
sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [ptai] diucapkan [pte].
Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e].
Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:
- kalau [kalau] menjadi [kalo]
- danau [danau] menjadi [dano]
- satai [satai] menjadi [sate]
- damai [damai] menjadi [dame]
I.Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan
bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan.
Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa
Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster.
Misalnya:
- putra menjadi putera
- putri menjadi puteri
- bahtra menjadi bahtera
- srigala menjadi serigala
- sloka menjadi seloka
Akibat penambahan [] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba.
Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [] menjadi silaba baru
dengan puncak silaba pada []. Jadi, [tra] menjadi [t+ra], [tri] menjadi
[t+ri], [sri] menjadi [s+ri], dan [slo] menjadi [s+lo].
Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis,
dan paragog.
1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata.
Misalnya:
- mpu menjadi empu
- mas menjadi emas
- tik menjadi ketik
2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah
kata. Misalnya:
- kapak menjadi kampak
- sajak menjadi sanjak

- upama menjadi umpama


3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata.

Diposting oleh Masnur Muslichdi 3/05/2009 06:42:00 AM


Label: Artikel

4 komentar:

Misalnya:
- adi menjadi adik
- hulubala menjadi hulubalang
- ina menjadi inang
Bahan Pendalaman:
1.Pada asimilasi progresif, dari mana diketahui bahwa bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan? Berikan alasan yang jelas
beserta contohnya!
2.Peristiwa asimilasi bisa dilihat secara sinkronis dan diakronis. Apa maksudnya?
Berikan ilustrasi yang jelas!
3.Mengapa peristiwa labialisasi dan palatalisasi tidak dimasukkan dalam
asimilasi ?
4.Berikan penjelasan tentang netralisasi atas fonem /g/ dan /k/ dalam bahasa
Indonesia disertai contoh!
5.Secara sinkronis, dari mana bisa diketahui bahwa suatu bunyi itu termasuk
peristiwa zeroisasi? Buktikan!
6.Peristiwa monoftongisasi dilatarbelakangi oleh sikap pemudahan ucapan atas
bunyi-bunyi diftong. Pada peristiwa diftongisasi, apa yang melatarbelakanginya?
Jelaskan dan berikan contoh!
7.Berikan komentar atas kasus-kasus berikut!
(a) auto mobil hanya disebut mobil
(b) bagai ini disebut begini
(c) al salam menjadi assalam
(d) mahardhika menjadi merdeka
(e) in-port menjadi impor

Uraian lebih lanjut silakan baca Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif
Sistem Bunyi Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)

Anda mungkin juga menyukai