Anestesi adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesi umum hilangnya rasa sakit terjadi
pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Pada anestesi lokal hilangnya rasa
sakit hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai hilangnya kesadaran. Anestesi umum dapat
diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskuler, subkutan, per-oral, per-rektal. Anestesi lokal
dapat diberikan secara topikal, infiltrasi, field block, blok saraf tepi, intravena (Biers technique),
caudal, epidural dan spinal analgesi.
Obat anestesi inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N2O, cyclopropane dan ethtylene.
Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat anestesi inhalasi yang
berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan halogen hidrokarbon misalnya
halotan dan halogen eter yang contohnya adalah eter, enflurane, isoflurane, desfluran, dan
sevofluran. Teknik anestesi umum inhalasi bisa dilakukan dengan napas spontan dengan sungkup
muka, nafas spontan diintubasi, nafas spontan dengan laringeal mask, nafas spontan dengan
COPA (Cuffed Oropharyngeal Airway) atau nafas kendali diintubasi.
Obat anestesi intravena antara lain : tiopental, propofol, ketamine, etomidate, midazolam,
diazepam, dan sebagainya. Obat anestesi yang dapat diberikan secara intramuskuler adalah
ketamine, diazepam, midazolam. Yang dapat diberikan per-rektal adalah eter oil, ketamine,
pentotal.
Anestesi umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa sakit diseluruh tubuh yang disertai
hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestesi. Pada anestesi umum ada
penekanan Susunan Saraf Pusat yang menurun secara ireguler. Anestesi umum dapat
didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang mana sistim fisiologi tertentu dari tubuh
dibawah kendali pengaturan luar oleh obat-obat anestesi. Urut-urutan Susunan Saraf Pusat yang
terdepresi selama anestesi umum adalah corteks dan pusat psikis, basal ganglia dan serebelum,
medulla spinalis dan terakhir medula oblongata Anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi,
intravena, intra muskuler, per oral dan per rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian
secara inhalasi dan intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskuler dan lebih jarang
lagi yang diberikan secara per rektal atau per oral.
Obat anestesi yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah pentotal, ketamin,
propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara intramuskuler adalah ketamin.
Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam, eter oil. Yang dapat diberikan secara
oral adalah ketamin dan midazolam. Dengan ditemukannya obat-obat anestesi yang baru maka
definisi anestesi umum tidak sesederhana sebagai suatu depresi SSP yang menurun.
Kemampuan untuk memberikan keadaan tidur terpisah dari keadaan analgesia dan relaksasai otot
menyebabkan dikenalnya keadaan yang disebut anestesi seimbang (balans anestesi) yaitu masing
-masing obat untuk setiap komponen anestesi umum.
Risiko Perioperatif
Risiko yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan dalam:
1. risiko yang berhubungan dengan kondisi pasien
2. risiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. risiko yang berhubungan fasilitas termasuk sumber daya manusia di rumah sakit
4. risiko yang berhubungan dengan obat atau teknik anestesia
Tanggapan fisiologi yang terjadi akibat pembedahan :
1. Pengaruh langsung obat anestesi terhadap sekresi hormone-hormon: ACTH,
cortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, sistem renin-angiotensin-aldosteron,
insulin dan metabolisme glukosa.
2. Pengaruh langsung obat anestesi terhadap sistem respirasi dan kardiovaskuler
Penilaian prabedah meliputi:
1. penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya
2. mengidentifikasi faktor-faktor risiko anestesi, dan bila bermakna pasien harus
diberitahu
3. mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesi dan
pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb.
4. menentukan status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)
5. merencanakan teknik anestesi dan pengelolaan perioperatif seperti terapi cairan dan
transfusi darah
6. menmperkenalkan diri kepada pasien agar dapat megurangi kecemasan dan akan
mempermudah dalam melakukan induksi anestesi
7. memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan
8. mempersiapkan obat-obat premedikasi
Instruksi praanestesi kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi:
1. pemeriksaan penunjang tambahan
2. lamanya puasa
3. persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang diperlukan
4. jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari pembedahan
5. terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma
6. pemasangan infus dekstrosa pada pasien diabetes
7. obat premedikasi: dosis, cara dan waktu pemberian
Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan:
1. pemeriksaan darah lengkap
2. urinalisis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)
3. ureum, kreatinin, elektrolit: pada pembedahan besar
4. EKG: umur > 40 tahun
5. Foto toraks: umur > 60 tahun
6. uji fungsi hati: pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun
Pemeriksaan penunjang berdasakan indikasi:
1. Pemeriksaan darah lengkap:
i. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
ii. Gangguan ginjal
iii. Pasien dalam kemoterapi
2.
Terapi
obat-obatan
seperti
kortikosteroid,
insulin,
obat
4.
5.
6.
7.
Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang
komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.
Tes-tes yang tidak memerlukan peralatan
Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang
direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana
yang dapat dilakukan dalam klinik adalah :
a. Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas
dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30
detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15
detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi.
b. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut.
Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam
satu detik kurang dari satu liter.
Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin
pada pembuluh darah kapiler.
Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi
volume dan karakter gelombang nadi hana dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis.
Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal
5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran
jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting
dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut.
Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara
jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi.
Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik
tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik
murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa
adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik.
Adanya hal-hal tersebut diatas perlu dicatat dan pasien biasanya diperingatkan
adanya kemungkinan untuk rusak
Hipnotik
Analgetik
Relaksasi
Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesi umum inhalasi terjadi blok sensoris, blok motoris,
blok refleks dan blok mental.
Blok sensoris:
Stimuli pada endorgan diblok secara sentral dan stimuli tidak masuk ke dalam cortex
tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III dimana semua sensasi hilang
yang ditekan adalah cortex, hipothalamus, subcortical thalamic nuclei, semua sel sensoris
cranial.
Blok motoris
Yang ditekan adalah premotor dan motor cortex subcortical dan extrapyramidal. Yang
terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot intercostal bawah, lalu otot
intercostal atas, dan kemudian otot diaphragma.
Blok refleks:
Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi adalah
pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronchus. Pada sistem kardiovaskuler adanya
aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan muntah.
Blok mental :
Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan :
1. Tenang.
1. Sedasi (ngantuk).
1. Hipnosis (light sleep).
1. Narkosis (deep sleep).
1. Anestesi penuh (complete anesthesia).
1. Paralisis pada medula (medullary paralysis).
Pada pemberian anestesi umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah :
1. Cortex cerebri dan pusat psikis.
1. Basal ganglia dan cerebellum.
1. Medula spinalis.
1. Medula oblongata.
Teori terjadinya anestesi umum belum jelas benar sehingga terdapat bermacam-macam teori
anestesi antara lain :
1. Colloid Theory (1875).
1. Lipid Solubility Theory (1899)
Parenteral:
Diberikan secara intravena atau Intramuskuler.
2.
Inhalasi:
Untuk obat golongan volatile, dengan cara dihirup.
Potensi obat anestesi inhalasi ditentukan oleh :
-
Koefislen partisi minyak / gas makin tinggi koefislen partisi, makin poten
obat itu
STADIUM ANESTESI.
Pada anestesi umum dikenal stadium anestesi dari Guedel, stadium ini untuk mengetahui
kedalaman anestesi dan lebih jelas bila digunakan eter.
Stadium Anestesi terdiri dari :
Stadium I
:disebut stadium analgesia atau disorientasi. Stadium ini berlangsung mulai induksi
sampai kesadaran hilang. Pada stadium ini rasa nyeri belum hilang sama sekali,
sehingga hanya dapat dilakukan pembedahan ringan. Akhir stadium ini ditandai
oleh hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II : disebut stadium hipersekresi atau eksitasi atau delirium. Dimulai dari hilangnya
kesadaran dan hilangnya refleks bulu mata sampai ventilasi kemball teratur.
Terdapat depresi ganglia basalis sehingga refleks-refleks tidak terkontrol atau reaksi
berlebihan terhadap berbagai rangsangan.
Stadium III : disebut stadium pembedahan. Mulai respirasi teratur sampai apnea.
Stadium ini dibagi menjadi 4 plana :
-
Plana 1: respirasi teratur dan bersifat thorakoabdominal, bola mata terfiksir tapi
kadang eksentris, pupil myosis, refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah hilang, tonus otot mulai menurun.
Plana 4: respirasi tidak teratur dan tidak adekuat (tersendat-sendat) karena otot diafragma
lumpuh dan makin nyata pada akhir plana 4. Tonus otot sangat menurun, pupil midriasis,
refleks spingter ani dan refleks kelenjar air mata hilang.
Stadium IV : disebut stadium paralisis atau kelebihan obat. Mulai henti nafas sampai henti
jantung.
SISTEM SIRKUIT ALAT ANESTESI.
Pada anestesi umum dikenal ada 4 sistem sirkuit :
1. Sistem terbuka (open system):
Digunakan sungkup yang menutup hidung dan mulut. Memakai agent eter atau chloraethyl yang
diteteskan perlahan-lahan pada sungkup tersebut dan dibawah sungkup dialirkan O2. Pada sistem
ini tidak ada rebreathing.
2. Sistem setengah terbuka (semi open) dan sistem setengah tertutup (semi closed):
Kedua sistem ini dapat digunakan untuk anestesi dengan menggunakan sungkup saja maupun
intubasi, dengan nafas spontan maupun kontrol. Diperlukan CO 2 absorber (soda lime). Pada
sistem semi open: terdapat inspirasi dari udara luar sebagian dan rebreathing sebagian. Pada
sistem semi closed: tidak terjadi inspirasi dari udara luar, tetapi terjadi ekspirasi ke udara luar
dan rebreathing.
pada endplate membrane. Disini akan terikat lipoprotein receptor. Karena ada impuls maka
permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ masuk dan
mengadakan depolarisasi secara mendadak dan serabut otot akan mengeluarkan ion K+. Motor
endplate sangat peka terhadap acethylcholine dan mengakibatkan depolarisasi (karena terjadi
electrically negative). Arus depolarisasi ini akan menggerakkan bagian yang berdekatan pada
serabut otot (aksi potensial otot) dan berjalan sepanjang membran serabut otot dan final stimulus
untuk menimbulkan kontraksi pada bagian kontraktil serabut otot. Pelepasan acethylcholine
hanya sebentar karena dihidrolisa oleh acethylcholine esterase pada motor endplate, sehingga
terjadi periode refrakier. Sintesa acethylcholine mengambil tempat utama pada motor nerve
ending oleh transfer acethyl group dari co-enzyme A dibawah pengaruh enzim choline
acethylase. Choline dihasilkan oleh cairan ekstraseluler.
Gangguan transmisi neuromuskuler.
Dapat disebabkan oleh:
1. Hambatan pelepasan acethylcholine pada nerve ending oleh: procaine, antibiotika golongan
aminoglycoside, hipokalsemia, hipermagnesemia dan toksi botulinum.
2. Mencegah penggabungan dengan spesifik receptor pada endplate oleh: tubocurarine,
pancuronium, gallamine dan alcuronium.
3. Menurunkan excitability muscle membrane dekat endplate oleh: suxamethonium dan
decamethonium.
Perbedaan Klinis:
Non depolarizing
1. Tidak terjadi fasikulasi
2. Efek berkurang oleh:
- anticholine esterase
- depolarizing relaxant
- adrenaline
- repeated bursts of titanic stimuli
3. Paralisis meningkat oleh:
- non depolarizing relaxant
- eter
- halothane
- enflurane
- Hypothermia < 30 C
Depolarizing
1.Terjadi fasikulasi
2.Efek berkurang oleh:
- eter
- halothane
- acidosis
- non depolarizing relaxant
3. Potensiasi dengan:
- anticholine esterase
- acethylcholine
- hypothermia
- alkalosis respiratory
4. Duration of action banyak berkurang oleh
Aktivitas autonom : ganglion blockade pada tubucurarine dan tachycardia pada gallamine
2.
3.
Paralise respirasi
4.
Prologed action
Deporizing :
SUCCINYLCHOLINE.
Sifat:
-
depolarizing 4 fasikulasi
histamine release
Kontra indikasi :
a. Absolut :
-
b. Relatif :
-
hepatic dysfunction
cholinesterser rendah (n: 80-120 U), akan terjadi prolonged: liver disease, anemia
gravis malnutrisi dan insektisida organofosfat
Atypical cholinesterase
2.
3.
Jarang terjadi prolonged apnea bila pemberian tidak lebih dari 50 mg. Suatu dosis yang
adekuat untuk pasien ECT dan intubasi tidak akan terjadi prolonged apnea lebih dan 20-30
menit dan bila kadar serum cholinesterase > 25 unit. Kadar serum cholinesterase rendah
pada: liver disease, anemia gravis, secondary carcinomatous, malnutrisi, starvation, whole
body irradiation dan terkontaminasi insektisida organophosphate ( cholinesterase inhibitor).
Kadar menurun menyertai regular ingestion dan beberapa pil kontrasepsi dan procaine,
dimana diperlukan cholinesterase untuk hidrolisa amide linked. Lignocaine dan
promethazine juga menyebabkan prolonged apnea.
Tindakan:- blood transfusion, memakai stored blood berisi 30 unit cholinesterase per ml dan
menyimpan 80% aktivitas cholinesterase setelah disimpan 25 hari pada suhu 6 C.
- 0,5 L fresh blood memperbaiki kadar serum cholinesterase 10 U/ml
Non depolarizing
1.
PANCURONIUM.
Sifat:
-
non depolarizing
long acting
Kontra indikasi :
-
hipertensi
non depolarizing
homolog pancuronium
medium acting
non depolarizing
histamine release
terjadi kumulatif
Kontra indikasi: hipotensi, asthma bronchiale, renal dysfunction, myasthenia gravis, diabetes
mellitus.
untuk induksi
sedasi
Cara pemberian:
-
diteteskan perinfus
1. THIOPENTONE SODIUM.
Nama lain: pentothal, thiopental, penthiobarbiton.
Sifat:
-
larutan 2,5% atau 5% dalam air mempunyal pH 10,81 atau bersifat basa
dalambentuk larutan tidak stabil dan hanya tahan 24-48 jam, serbuk stabil
Farmakologi.
Susunan syaraf pusat :
Seperti barbiturat lainnya, memnyebabkan mengantuk (hipnotik), sedasi dan depresi
pernafasan, tergantung dosis yang diberikan. Konsentrasi obat didalam plasma tidak
menentukan dalamnya anestesi. Gambaran EEG menunjukan gambaran natural sleep.
Menurunkan kebutuhan oksigen dan cerebral blood flow. Merupakan anticovulsani dengan
cara meningkatkan ambang rangsang neuron terhadap eksitasi. Cortex cerebri dan aktivitas
ascending reticular lebih dulu mengalami depresi sebelum medullary center. Tekanan
intracranial dan LCS menurun. Lebih mendepresi tranmisi simpatis dibanding parasimpatis.
Respirasi :
Mendepresi pusat pernafasan secara langsung dan kepekaan terhadap CO2 berkurang.
Rangsang pernafasan terutama berasal dari carotic bodies dan refleks terhadap hipoksia. Pada
dosis 0,5 g dalam waktu 20-25 menit tidak terlihat depresi respirasi, tetapi bila didahulul
premedikasi opiat depresi akan jelas. Anestesi ringan dengan pentothal dapat terjadi
bronchospasme, laryngospasme akibat rangsangan lendir, darah atau menipulasi lain.
Kardiovaskuler :
Langsung
mendepresi
myocardium,
sehingga
kekuatan
kontraksi
menurun
yang
mengakibatkan cardiac output berkurang serta dilatasi jantung, keadaan ini tidak akan terjadi
pada orang dengan kondisi prima. Penyuntikan yang terlalu cepat akan memperbesar
kemungkinan terjadinya aritmia. Denyut ektopik dan aritmia timbul sekunder akibat
hipoksemia yang disebabkan oleh depresi respirasi. Tekanan darah akan turun akibat delatasi
perifer. Penderita hipertensi akan lebih peka, terutama pada larutan pekat dan penyuntikan
terlalu cepat. Vasodilatasi ini dikompensir dengan konstn'ksi pembuluh darah ginual dan
splancnicus.
Laring :
Dapat terjadi .cpasme larynx akibat rangsangan daerah operasi stimuli vagal nerve ending
pada mukosa oleh darah, regurgitasi asam lambung. Dapat pula terjadi bronchospasme.
Pregnant uterus :
Tidak mempengaruhi tonus uterus, dosis kecil dapat diberikan untuk versi luar. Pada dosis
besar akan melewati placenta barriere sehingga dapat mempengaruhi fetus.
Ginjal :
Renal blood flow menurun, filtrasi berkurang dan sekresi ADH meningkat, sehingga produksi
urine berkurang.
Mata :
Terjadi dilatasi pupil. Sensitivitas terhadap cahaya tetap ada sampai pasien tertidur. Tekanan
intraokuler menurun, refleks cornea, conjunctiva , eye lash dan eye lid menghilang.
Redistribusi :
Setelah penyuntikan single dose dengan dosis kecil, kadar didalam plasma cepat menurun
sehingga pasien cepat sadar. Redistribusi ke jaringan lemak lambat. Redistribusi terbanyak
pada viscera dan lean body mass (Otot dll.) 30 menit setelah penyuntikan i.v. Cepat
menembus blood brain barriere dan konsentrasi dalam LCS mendekati konsentrasi plasma
dalam waktu 15 menit. Keseimbangan antara plasma dan otak dicapai dalam waktu 1 menit
setelah pemberian intravena. Kadar kalium plasma sedikit menurun. Dalam jumlah kecil
masih terdapat didalam plasma selama 24 jam. 70% didalam darah terikat oleh protein
plasma dan sisanya dalam bentuk bebas yang tidak aktif. Turunnya pH darah akibat retensi
CO2.
Ekskresi dan metabolisme :
Pemecahan oleh hepar cepat sehingga kadar obat didalam plasma cepat menurun dan pasien
cepat bangun. Penyakit ginjal bukan kontra indikasi, tetapi dosis harus lebih kecil. Pada
keadaan kadar ureum darah yang tinggi akan terjadi prolonged narcosis. Ekskrest lebih cepat
pada dewasa muda sehingga pada usia lanjut dosis harus dikurangi. Gula darah sedikit
meningkat dan dipengaruhi oleh derajat trauma. Gangguan keseimbangan asam-basa akibat
hipoventilasi. Dapat terjadi anaphylactic, skin rash dan hemolisis. Penyuntikan pada jaringan
otot dapat terjadi nekrosis.
Dosis: 5 mg/kg i.v, hamil: 3 mg/kg i.v
Komplikasi :
a. Lokal :
1. Injeksi perivena.
Gejala: sakit, kemerahan , bengkak, hematome, ulcerasi, median nerve injury.
Tindakan: suntikan 10 ml procaine 1% ditempat injeksi.
2. Injeksi intra arteri.
b. Umum :
1. Depresi respirasi: disebabkan oleh relatif over dosis, laryngospasm, lidah jatuh
kebelakang.
2. Sirkulasi collapse: akibat vasodilatasi perifer dan depresi myocardium
Tindakan: naikan kaki, IPPV, infus plasma expander, vasokonstriktor
3. Laringospasme- akibat stimulasi daerah operasi (spingter ani, cervix uteri) brewer
luckard reflex, stimulasi saliva Tindakan: succinylcholine 20-30 mg i.v
4. Lainnya: batuk, vertigo, euphoria, disorientasi dan anaphylactic.
2. BENZODIAZEPINE.
Sifat:
-
hypnotic-sedative
amnesia anterograde
Induksi
i.v drips
0,03-0,2 mg/kg/jam
3. PROPOFOL.
Merupakan campuran 1% obat dalam air dan emulsi, yang berisi: 10% soya bean oil, 1,2%
phosphatide telur dan 2,25% glycerol.
pH: 6-6,8 dan lipid soluble.
Farmakologi.
Respirasi: TV turun, laryngeal reflex depressant
Lain-lain: tak pengaruhi fungsi liver, gula darah sedikit meningkat, tekanan intraokuler
menurun, antiemetic effect dan potensiasi dengan vecuronium
Metabolisme: cepat dan lengkap oleh liver, sebagian besar di eliminasi oleh ginjal. Mula
kerja: 11 detik.
Potensi: 1,6-1,8 kali pentothal.
Dosis : 2-2,5 mg/kg i.v, > 60 tahun: 1,6 mg/kg i.v
4. KETAMIN.
Merupakan rapid acting non barbiturate general anesthesia.
Farmakologi.
Susunan Syaraf Pusat :
Efek analgesik sangat kuat. Efek hypnotic kurang dan disertai penerimaan keadaan
lingkungan yang salah (dissosiative anesthesia). Sering terjadi mimpi buruk, halusinasi,
disorientasi waktu dan tempat, gaduh-gelisah tak terkendali.
Kardiovaskuler :
Tekanan darah meningkat 20-25%, heart rate naik, cardiac output meningkat sampai 20%.
Keadaan ini akibat aktivitas simpatis meningkat dan depresi baroreceptor. Jarang terjadi
aritmia.
Respirasi :
Depresi pernafasan ringan dan hanya sementara, kecuali dosis terlalu besar. Menyebabkan
bronchodilatasi dan bersifat antagonis terhadap bronchoconstrition akibat histamine.
Cerebral :
Cerebral blood flow dan tekanan intracranial meningkat. Pada pemberian jangka lama dapat
terjadi peningkatan scrangan epilepsy.
Mata:
Tekanan intraokuler meningkat. Terjadi gerakan bola mata dan nystagmus.
Terjadi analgesia, sedasi, katalepsi, tonus otot skelet meningkat, stimulir kardiovaskuler,
Laryngopharyngeal reflex menurun sedikit, salvias meningkat sehingga harus diberikan
atropine.
Halusinasi dan gelisah diatasi dengan: mengurangi rangsangan pada periode recovery,
premedikasi dengan opiat dan hyoscine, droperidol i.v segera sebelum operasi selesai,
diazepam 5-10 mg i.v, midazolam atau pentothal 50-100 mg i.v.
Ketamin kerja dengan meningkatkan ion K+ menembus membran. Kadar norepinephrine
plasma meningkat, ini dapat direduksi dengan droperidol. Ketamine mencegah adrenergic
response dari pembuluh darah perifer terhadap stimulir pembedahan.
Penggunaan :
1. Prosedur dimana pengendalian nafas sulit
2. Prosedur diagnostik
3. Tindakan ringan: reposisi tertutup, biopsy
4. Pasien resiko tinggi
5. Minor surgery
6. Penderita asthma bronchiale
7. Tidak tersedia alat anestesi
Kontra indikasi:
1. Hipertensi: > 160/100 mmHg
2. Riwayat cerebrovascular disease
3. Operasi cranium
4. Coronary heart disease
5. Trauma capitis
6. Tekanan intraokuler tinggi
7. Epilepsi
Dosis:
-induksi: 1-2 mg/kg i.v atau 10 mg/kg i.m, hamil: 0,25-0,75 mg/kg i.v
-i.v drips : ~ nafas kontrol: 1-2 mg/kg/jam
~ nafas spontan: 2-3 mg/kg/jam
Ingat :
Ketamin lebih dahulu, baru kemudian Halothane, karena:
-ketamine: stimulir Simpatik
-halothane: simpatik blok dan inotropik negatif sehingga resultante nya inotropik negatif
arrhythmia.
N2O
Nama lain: gas gelak.
Merupakan satu-satunya anestetik organik, sweet smelling dan tidak berwama.
BM 44, titik didih 89 C, titik krisis 36,5 C dan BD 1,5 kali udara. Tidak mudah terbakar,
tetapi merupakan support combustion. Kelarutan dalam plasma 100 kali oksigen atau 15 kali
nitrogen. N2O tidak bereaksi dengan Hb dan jaringan ikat dan diangkut dalam plasma. Zat
ini hampir tidak dimetabolisir tubuh dan dikeluarkan terutama oleh paru-paru. N 2O menekan
susunan syaraf pusat, kemungkinan akibat beralihnya oksigen dari sel-sel otak. Pada
penelitian N2O dapat terkontaminasi oleh NO dan NO2 yang toksik bagi tubuh.
Gejala:
1. Sianosis: terjadi beberapa menit setelah pemberian, karena terbentuk metHb yang
menurunkan kemampuan mengangkut oksigen.
2. Kesukaran bernafas. Karena N2O dan nitric acid yang terbentuk dalam paru
menyebabkan edema non spesifik dan bronchopneumonia.
3. Kegagalan sirkulasi : akibat hipoksia sekunder.
Tindakan :
-
mencegah dan mengatasi chemical pneumonitis dengan antiblotika, steroid dan IPPV
N2O adalah analgetik kuat, tetapi anestetik lemah. Pada pemberian gas murni dapat menekan
sirkulasi sehingga terjadi dilatasi jantung. Kegagalan sirkulasi ini menyebabkan CNS
anoksia, sehingga harus diberikan bersama oksigen. Pengaruh terhadap saluran nafas
minimal, tidak iritasi dan tidak menyebabkan sekresi. Bila diberikan bersama pentothal
dapat terjadi depresi respirasi. Pada anestesi yang lama dapat terjadi mual, muntah dan
lambat bangun. Gejala sisa dapat terjadi bila hipoksia atau alkalosis akibat hiperventilasi.
Gas ini mudah berdifusi melalui membran sel sehingga menembus jaringan atau merangsang
jaringan yang mengakibatkan pneumothorax, pneumoperitonium, pneumoencephal,
kembung dan tuli pasca operasi (karena perubahan tekanan mekanik di telinga tengah).Pada
penderita tetanus dan poliomyelitis dapat terjadi aplasia bone marrow, agranulocytosis dan
thrombocytopenia akan fatal. Mempunyai efek teratogenik pada umur kehamilan 6 minggu.
N2O dalam O2 mempunyai efek sesuai morfin. Konsentrasi optimum untuk efek anakgesik
maksimal adalah 35%. Gas ini dikenal sebagai asphyxiating agent, karena pada konsentrasi
tinggi dapat terjadi asfiksia dan hipoksia. Kebutuhan N2O dipengaruhi oleh respiratory
minute volume, yaitu tidal volume kali respiratory rate. Tidal volume rata-rata 10 ml/kg.
Sehingga bila dengan alat Jackson Rees dibutuhkan 2-3 kali minute volume.
Dosis :
2.
induksi
analgetik
HALOTHAN.
Sifat:
-
hepatotoksik
vasodilatasi hipotensi
bronkhodilator
Indikasi :
-
versi luar
Kontra indikasi :
a. Absolut :
-
malignant hyperthermia
hepatic dysfunction
b. Relatif
1. Hipotensi: akibat dilatasi otot polos pembuluh darah, depresi pusat vasomotor, blockade
sympathic dan depresi miokardium.
2. Disritmia: meningkatkan kepekaan terhadap catecholamine.
3. Hepatotoksik: enzyme glucuronic sulphate transverase.
Keuntungan :
-
bronchodilator
Kerugian :
-
analgetik kurang
hipotensi
terjadi dysrhythmia
kemungkinan hepatotoxic
ENFLURANE
Sifat :
-
depresi miokardium
vasoliditas
Kontra Indikasi :
a. Absolut :
-
renal dysfunction
epilepsi
b. Relatif
-
tidak mual/muntah
Kerugian :
4.
depresi myocardium
hipotensi
shivering on emergence
ISOFLURANE
Merupakan isomer dari enflurane.
Sifat :
5.
MAC: 1,15
tidak hepatotoxic maupun nephrotoxic tidal volume dan respiratory rate menurun
brochodilatasi
ETER
Sifat:
-
bau merangsang
terjadi hyperglycemia
Kontra indikasi :
-
hepatic dysfunction
asthma bronchiale
hyperphyrexia
renal dysfunction
6.
SEVOFLURANE
Seperti Desflurane
KV : depresi miokard minimal
Respirasi : TV , RR , bronchodilator
Cerebral : aliran darah otak dan TIK ringan
Neuromuskular : relaksasi otot
Ginjal : aliran darah renal minimal
Hepar : tidak ada efek
Eliminasi : CO 2 absorber, ginjal
Kontra indikasi : hipovolemi berat, hipertermi maligna, hipertensi intrakranial
7.
DESFLURANE
KV : depresi miokard minimal
Mirip isoflurane
Respirasi : TV , RR , iritasi jalan nafas
Cerebral : aliran darah otak & TIK ( > 1 MAC )
Neuromuskular : relaksasi otot
Ginjal : tidak ada efek
Hepar : tidak ada efek
Eliminasi : CO 2 absorber
Kontra indikasi : hipovolemi berat, hipertermi maligna, hipertensi intrakranial
Faktor yang mempengaruhi dosis obat :
1. Usia.
Merupakan variabel yang penting didalam kerja obat.
Pada usia 40 tahun keatas efek narkotik dan sedative akan meningkat, sedang rasa sakit
berkurang dengan meningkatnya usia. Keadaan ini merupakan akibat dari menurunnya
persepsi nyeri, kepekaan terhadap rangsang sensorik menurun. Aktifitas refleks jalan nafas
menurun.
2. Temperatur.
Setiap kenaikan suhu 1 C maka basal metabolisme akan naik 12%.
3. Emosi.
Kemungkinan merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju basal metabolisme pre anestesi.
Takut dan tegang akan meningkatkan kepekaan terhadap rasa sakit.
4. Penyakit.
Penderita penyakit khronis dan gizi buruk akan mudah mengalami kelebihan dosis obat,
seperti morphine. Pada anemiapun dosis obat harus dikurangi.
KOMPLIKASI ANESTESI.
Komplikasi dapat terjadi durante dan paska anestesi.
A. KOMPLIKASI DURANTE ANESTESI.
1. Respirasi: obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus, spasme
(laringospasme, bronchospasme).
2. Kardiovaskuler: hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai henti jantung.
3. Thermic: hypothermia, hyperthermia
4. Awareness during operation
B. KOMPLIKASI PASCA ANESTESI.
1. Respirasi: atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
2. Kardiovaskuler : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
3. Mata: laserasi cornea, blepharospasm
4. Cairan tubuh: hipovolemia atau hipervolemia
5. Neurologi: kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
6. Menggigil
7. Malignant hyperthermia
8. Mimpi buruk
9. Gaduh-gelisah
10. Muntah
lidah besar
Fisiologi :
1.
Respirasi :
-
Kardiovaskuler :
-
heart rate: pada neonatus 2 kali dewasa, turun secara progresif sampai usia 12 tahun
stroke volume fixed: sehingga cardiac output tergantung heart rate, bradycardia
harus cepat diatasi
3. Temperatur :
-
neonatus sangat peka terhadap heat loss, karena surface area relatif luas, lack of
subcutaneous fat,
hypothermia akan menurunkan dosis obat anestesi, sehingga bila dosis tak
diturunkan akan terjadi depresi kardlovaskuler dan disritmia
Kehilangan panas pada bayi secara radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi
4. Cairan tubuh: pada neonatus total body water 80% dari berat badan, intrasel 40% dan
ekstrasel 40% (plasma 5% dan interstisial 35%)
5. Fungsi ginjal belum sempurna: baru matur pada umur 1 bulan
6. Fungsi hepar belum sempuma
Farmakologi :
1. Fungsi hepar, ren dan CNS belum sempuma sulit menentukan dosis obat
2. Neonatus sangat peka terhadap CNS depressant, setelah usia 1 bulan kurang peka.
3. Up take agent: inhalasi cepat pada neonatus dan anak, i.m tak dapat dipercaya
Patologi :
-
Psikologi :
-
2. Respirasi :
-
fungsi ventilasi terganggu akibat degenerasi jaringan paru, dinding thorax kaku
PaO2 turun: PaO2 = 109 mmHg - 0,43 x umur, tak tahan hipoksia dan hiperkarbia
3. Ginjal :
-
GFR turun
4. Hepar :
-
ekskresi terganggu
Farmakologi :
1. Fungsi hepar menurun : biotransformasi terganggu
2. Fungsi ginjal menurun
3. Protein plasma binding turun kebutuhan obat yang terikat dalam albumin turun
Anatomi :
-
otot atrofi
Patologi :
Fungsi organ menurun kelainan organ
ANESTESI LOKAL
Teori kerja obat lokal anestesi.
1.
Teori reseptor :
obat local anestesi bekerja internal receptor sodium channel yang masuk melalui membukanya
pintu sodium channel atau melalui penetrasi membran lipid (lidocaine derivate).
2. Teori muatan permukaan :
Interaksi bagian molekul lipophylic dengan membran lipid muatan positif (proton Amine
terminal) penetrasi muatan negatif pada external membrane (bagian dalam tidak berubah)
potensial aksi permukaan membran meningkat mencegah aksi impuls dari sekitar yang tak
teranestesi.
3. Teori ekspansi membran :
Interaksi bagian molekul lipophylic dengan membran lipid perubahan organisasi membran
lipid ekspansi membran menjerat sodium channel mencegah sodium masuk ke
channel mencegah depolarisasi (benzocalne derivate).
4. Teori Hille:
Adanya biotoxin dan tetradotoxin berinteraksi dengan reseptor spesifik dipintu keluar sodium
channel, mencapai reseptor dekat pintu keluar sodium channel dan pindah kebagian luar pintu,
sehingga mengganggu permeabilitas terhadap ion Na+.
5. Teori pH dan pKa:
Obat local anestesi berada dalam larutan yang bermuatan atau tidak bermuatan, bentuknya
relatif tergantung pada pH larutan dan pKa tempat suntikan obat.
Obat local anestesi disuntikan (infiltrasi) 4 Ca++ keluar dari reseptor obat anestesi menempati
reseptor terjadi blokade sodium channel terjadi hambatan konduksi ion Na+ terjadi depresi
kecepatan induksi tak dapat mencapal nilai ambang potensial tak terjadi potensial aksi
terjadi blokade konduksi.
Perbedaan :
Procaine
Lidocaine
Grup
Ester
Amide
Aksi
Short
Medium
Potensi
1
3
Toksisitas
1
2
Durasi
45
60-90
Rasio
1
2
Biotransformasi
Plasma
Hepar
Dosis maksimal
12 mg/kg
6 mg/kg
Mula kerja
2-3
5
Teknik local anestesi ada 2 cara: infiltrasi dan blok.
Bupivacaine
Amide
Long acting
15
10
180
10
Hepar
2 mg/kg
15