Strategi Pembangunan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Di Indonesia
Strategi Pembangunan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Di Indonesia
STRATEGI PENGEMBANGAN
JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
DI INDONESIA
Kutipan:
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (Dit. KKJI). 2013. Strategi
Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Jakarta, 60 hal.
Kontributor utama dalam penyusunan buku ini adalah:
Dr. Ahsanal Kasasiah (Kasubdit Jejaring, Data dan Informasi Konservasi, Dit.
KKJI); Dr. Arisetiarso Soemodinoto (TNC); Dr. Handoko Adi Susanto (MPAG);
Yudi Herdiana (WCS); dan M. Khazali (CI-Indonesia).
ii
KATA PENGANTAR
Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi menjadikan eksploitasi
sumberdaya ikan semakin tidak terkendali. Indikasi tangkap-lebih (overfishing)
telah terjadi di sebagian besar wilayah perairan Indonesia. Untuk itu perlu
upaya komprehensif untuk menahan laju penurunan ketersediaan sumberdaya
ikan serta dalam upaya untuk memastikan kestabilan produksi perikanan.
Pengembangan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) merupakan
salah satu cara yang efektif dalam pengelolaan perikanan yang lestari dan
berkelanjutan.
Jejaring KKP (Marine Protected Areas Network MPAs Network) merupakan
kerjasama pengelolaan dua atau lebih KKP secara sinergis yang memiliki
keterkaitan biofisik, sosial budaya ekonomi, dan/atau tata kelola. Pembentukan
jejaring KKP dapat meningkatkan efisiensi sumberdaya yang dibutuhkan untuk
pengelolaan, utamanya pada aspek sumberdaya manusia dan finansial. Dengan
kata lain bahwa jejaring KKP dibentuk untuk mencapai tujuan konservasi yang
tidak dapat dipenuhi melalui pengelolaan KKP secara individu. Oleh karena
itu, jejaring KKP dapat dilakukan antara dua atau lebih KKP, baik pada tingkat
lokal, nasional, regional maupun global.
Dalam upaya pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP di Indonesia, diperlukan
arahan strategi pengembangan jejaring KKP sebagaimana yang disusun oleh
tim kontributor buku ini. Buku ini juga merupakan pelengkap dari buku Profil
Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia yang disusun berdasarkan
pengalaman dan pembelajaran dalam membentuk dan mengelola jejaring KKP
dari berbagai tempat di Indonesia dan negara-negara lain.
Penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada
kontributor utama penyusunan buku ini, serta kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, sehingga buku Strategi Pengembangan Jejaring Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik.
Jakarta, November 2013
Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Ir. Agus Dermawan, M.Si
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
..................................................................................... iii
DAFTAR ISI
..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR
..................................................................................... vi
iv
....................................................................................53
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Pengelolaan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan .......17
Gambar 2. Rancangan final jejaring KKP yang menampilkan KKP yang
sudah ada dan yang diusulkan serta area-area penting untuk
dipertimbangkan sebagai KKP baru baik untuk habitat pesisir
dan laut dangkal, dan habitat laut dalam dekat-pantai
(Sumber: Wilson et al., 2011) ........................................................27
Gambar 3. Sembilan lokasi/calon lokasi jejaring kawasan konservasi
perairan Bali (Sumber: Mustika et al., 2011) .............................. 30
Gambar 4
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
Kawasan Konservasi didefinisikan oleh IUCN-WCPA (2008) sebagai sebuah kawasan yang memiliki batas geografis
jelas yang diakui, diperuntukkan dan dikelola, baik secara formal maupun tidak formal, agar dalam jangka panjang
melindungi alam berikut jasa-jasa ekosistem dan nilai-nilai budayanya. Menurut UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan. Sementara Peraturan Pemerintah (PP) No. 60/2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan menjelaskan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sebagai kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Kawasan yang dilindungi melalui definisi ini mencakup tidak hanya kawasan laut namun juga perairan
secara umum, termasuk sungai dan danau.
Jejaring KKP secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sejumlah KKP yang berada dalam
suatu wilayah ekosistem yang bertindak secara kooperatif dan sinergistik (Agardy, 2005).
BAB 2
JEJARING KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN
Jejaring KKP diyakini dapat meningkatkan daya tahan dan daya lenting KKP
terhadap dampak pemanasan global, menyebar risiko (spreading risk) manakala
ada gangguan lokal, mengurangi kegagalan pengelolaan, dan memastikan
keberlanjutan sumberdaya yang lebih baik daripada pengelolaan KKP secara
sendiri-sendiri (NRC, 2001). Jejaring dapat dibangun untuk tujuan ekologi yang
berbeda, seperti meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati dan/atau
perbaikan perikanan, serta meningkatkan kemampuan dan ketahanan dalam
menghadapi perubahan iklim global. Jejaring KKP juga memberikan keuntungan
sosial dan ekonomi, dimana akan terjadi kerjasama yang baik antar pengelola,
dan terjadi pertukaran informasi yang baik antar masyarakat di dalam lingkup
jejaring tersebut (Bustamante et al., 2010; White et al., 2006).
Jejaring KKP juga berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan melalui tiga fungsi dan tujuan utamanya yaitu:
1. Ekologis: sebuah jejaring dapat membantu untuk memastikan ekosistem
laut berfungsi yang meliputi skala temporal dan spasial dimana ekosistem
tersebut berada.
2. Sosial: sebuah jejaring dapat membantu menyelesaikan dan mengelola konflik
penggunaan sumberdaya alam dan memastikan bahwa pemanfaatan dapat
berlangsung secara wajar dengan konflik sekecil mungkin.
3. Ekonomi: sebuah jejaring memfasilitasi penggunaan sumberdaya secara
efisien untuk mencegah pengulangan upaya yang umum terjadi pada KKP
yang dikelola secara individual karena masing-masing berusaha untuk
mempertahankan sumberdaya pengelolaan mereka.
2.2 Dasar Pengembangan Jejaring KKP
Jejaring KKP dibentuk berdasarkan keterkaitan ekologi, sosial budaya, ekonomi
dan tata-kelola. Keterkaitan ekologi terfokus pada hubungan alami antar suatu
ekosistem di dalam suatu KKP dengan beberapa KKP lainnya; keterkaitan sosialbudaya terjadi karena adanya komunikasi dan hubungan yang terjalin antar pemangku
kepentingan dan masyarakat; sedangkan keterkaitan ekonomi biasanya didasarkan
pada pemanfaatan bersama suatu sumberdaya. Dasar tata-kelola dalam pembentukan
jejaring KKP lebih ditujukan pada kesamaan kepentingan, pengaturan administrasi
yang efektif, dan pelaksanaan pengelolaan yang lebih efisien.
Manfaat sosial
Sebuah jejaring KKP dapat dibangun oleh keterkaitan sosial antar KKP, misalnya
komunikasi dan koordinasi antar pihak pengelola dalam pengaturan dan
perencanaan KKP, membantu memecahkan dan mengelola konflik penggunaan
sumberdaya, serta mencegah duplikasi kegiatan.
9
Manfaat pengelolaan
10
11
(spatially distributed) di seluruh bagian jejaring. Replikasi ini memberi batulompatan bagi spesies yang tersebar di dalam jejaring dan juga memberikan
perlindungan (safeguard) terhadap hilangnya habitat atau punahnya populasi.
Keterkaitan (connectivity) keterkaitan menjelaskan seberapa jauh populasipopulasi yang berada di tempat berbeda saling terkait melalui pertukaran
telur, larva, hewan muda maupun dewasa. Rancangan jejaring KKP
seyogianya mengenali pola keterkaitan dalam dan di antara ekosistem (antara
lain keterkaitan ekologis di antara terumbu karang, lamun dan mangrove).
Sebuah jejaring KKP yang bertujuan untuk melindungi spesies yang
menjelajah secara luas, harus mempertimbangkan semua habitat yang
digunakan oleh spesies tersebut selama siklus hidupnya. Jarak maksimum
antar KKP disarankan berkisar antara 100 200 km. Untuk menjamin
keterkaitan di dalam dan antar KKP, perlu diupayakan untuk memasukkan
kombinasi jenis habitat penting (terumbu karang, lamun, mangrove, muara
sungai). Jarak antar KKP sekitar 100 200 km untuk menjaga keterkaitan
genetik, sedangkan jarak antar zona larang ambil di dalam KKP disarankan
sekitar 15 20 km untuk menjaga keterkaitan ekologis (Wilson et al.,
2011).
Daya lenting (resilience) jejaring KKP harus dirancang untuk menjaga agar
ekosistem selalu berada dalam kondisi alaminya dan mampu untuk bertahan
terhadap gangguan, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan
perubahan dalam skala besar dan dalam jangka waktu panjang seperti
perubahan iklim. Keterwakilan (representativeness) dan daya lenting
(resilience) merupakan kriteria yang saling terkait erat: bila sejumlah habitat terwakili dalam suatu jajaring KKP, maka jejaring tersebut kemungkinan
dapat mengakomodasi perubahan-perubahan pada sebaran spesies,
perbedaan salinitas, perbedaan suhu, dan dinamika ekosistem lain yang sering
dikaitkan dengan pemanasan global.
Kepermanenan (permanence) jejaring KKP harus memberikan
perlindungan jangka panjang agar dapat dengan efektif melestarikan
keanekaragaman hayati dan memperbaiki kondisi sumberdaya. Meski
beberapa perubahan biologis dapat saja terjadi dengan relatif cepat setelah
pembentukan jejaring, manfaat penuh dari KKP dan jejaringnya kemungkinan
baru terlihat setelah beberapa tahun. Perlindungan jangka panjang KKP,
khususnya KKP larang ambil, dapat berdampak positif terhadap jenis ikan
dan perikanan karena penelitian telah membuktikan bahwa biomassa,
kelimpahan, ukuran dan keanekaragaman hayati beberapa spesies ikan
12
13
14
BAB 3
STRATEGI PEMBENTUKAN
JEJARING KKP
Strategi atau cara untuk membentuk jejaring KKP menjadi sebuah kebutuhan
karena beberapa alasan. Pertama, pengembangan jejaring KKP merupakan hal
yang relatif baru dalam konteks pengembangan Sistem KKP Nasional di Indonesia (Susanto, 2011). Kedua, terbatasnya pengalaman yang dimiliki dalam
perencanaan, pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP. Mempertimbangkan
kompleksitas terkait dengan pembentukan jejaring KKP dan aspek-aspek yang
terlibat di dalamnya, bab ini membahas strategi pembentukan jejaring KKP
yang dilengkapi dengan studi kasus tentang pengalaman membangun dan
mengelola jejaring KKP di Indonesia dan negara lain.
3.1 Siklus Pengelolaan Jejaring KKP
Pembentukan jejaring KKP tidak terlepas dari Siklus Pengelolaan Jejaring KKP
(MPA Network Management Cycle), seperti yang disajikan pada Gambar 1. Siklus
Pengelolaan Jejaring KKP (selanjutnya disingkat menjadi Siklus Pengelolaan)
merupakan sebuah siklus yang menunjukkan urutan logis sebuah proses untuk
mendirikan, mengelola dan mengevaluasi jejaring. Siklus Pengelolaan ini berulang
setiap periode waktu tertentu.
Secara ringkas, pendirian jejaring KKP diawali dengan melakukan Kajian
Kebutuhan (needs assessment) yang bertumpu kepada analisis situasi atau konteks
untuk memberi pembenaran (justification) mengapa sebuah jejaring KKP perlu
dibentuk. Langkah selanjutnya adalah membuat Rancangan Jejaring (network
design) sesuai dengan hasil Kajian Kebutuhan, dan melakukan Perencanaan Kerja
(work planning) untuk menyusun rencana kerja berjejaring dan pembagian beban
kerja serta pembiayaan. Dalam membuat Rancangan Jejaring, perlu dilakukan
konsultasi secara intensif dengan para pihak yang berkepentingan langsung, yaitu
masyarakat setempat pengguna sumberdaya, para pengelola KKP, dan para
pemangku kepentingan lainnya. Karena pendirian jejaring harus mempertimbangkan efektivitas penerapannya dan menerapkan pendekatan adaptif,
Rencana Kerja (work plan) yang biasanya dibuat adalah Rencana Kerja Tahunan
(RKT) dan Rencana Kerja Jangka Menengah 5-Tahunan (RKJM).
15
Setelah Rencana Kerja disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan dengan
jejaring, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan semua kegiatan yang sudah
direncanakan. Pada pelaksanaan berjejaring ini melekat erat kegiatan pemantauan
(monitoring) dan analisis (evaluasi formatif) untuk meningkatkan kinerja
berjejaring pada periode waktu yang sedang berjalan.
Untuk meningkatkan efektivitas berjejaring, evaluasi perlu dilakukan secara
periodik dan sangat disarankan untuk dilakukan setiap tahun atau paling tidak
dua tahun sekali. Selain untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan berjejaring,
evaluasi bertujuan untuk: (1) meningkatkan kemampuan tanggap (response)
jejaring untuk segera beradaptasi terhadap perubahan situasi atau konteks;
dan (2) memutuskan apakah berjejaring masih perlu diteruskan atau tidak.
Evaluasi untuk tujuan ke-2, biasanya lebih diarahkan kepada jejaring KKP
yang bertipe sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola.
3.1.1
16
Menyusun Rencana
Kerja Berjenjang
3
Pelaksanaan
berjejaring
Evaluasi Kinerja
dan Efektivitas
Berjejaring
3
Merancang
Jejaring
Kajian Kebutuhan
Berjenjang
1
Waktu
18
3.1.2
Merancang jejaring
Ketika jejaring yang akan didirikan sudah diputuskan, maka hasil kajian kebutuhan
perlu disempurnakan untuk menyediakan data dan informasi yang lebih tajam
dan terorganisasi dengan baik.
Dari jenis-jenis jejaring yang sudah disinggung di atas, kriteria yang paling lengkap
untuk merancangnya adalah jejaring ekologi, dengan berbagai contoh di seluruh
dunia. Jejaring tata kelola merupakan jenis jejaring yang cukup banyak memiliki
data dan informasi. Sementara jejaring sosial-budaya-ekonomi yang melibatkan
masyarakat setempat, meski diyakini sebetulnya banyak sekali dan merupakan
semacam antar-fasa (interphase) antara jejaring ekologi dan jejaring tata kelola,
merupakan jejaring yang paling sedikit memiliki data dan informasi. Meskipun
demikian, akhir-akhir ini semakin banyak laporan tentang jejaring sosial-budayaekonomi berbasis masyarakat (Varney et al., 2010).
Pada sub-bab berikut disajikan kriteria untuk merancang jejaring ekologi, sosialbudaya-ekonomi, dan tata kelola.
3.1.2.1 Jejaring ekologi
Sebuah jejaring disebut jejaring ekologi ketika setiap KKP memberikan kontribusi
kepada tujuan bersama konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (Pet-Soede
et al., 2009). Dalam banyak kasus, setiap KKP yang tergabung dalam jejaring ini
diasumsikan memiliki keterkaitan ekologis antara satu sama lain, atau bahkan
ketika beberapa jejaring KKP memiliki tujuan ekologi yang sama. Sebagai contoh,
jejaring SSME (Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion) adalah sebuah jejaring ekologi
(DeVantier et al., 2004; Miclat et al., 2006) karena di dalamnya terdapat kawasankawasan prioritas yang mencakup ekosistem, spesies dan proses-proses ekologis
yang mewakili wilayah tersebut (Pet-Soede et al., 2009). Pendekatan pengelolaan
dari masing-masing KKP dalam suatu jejaring bisa saja berbeda, dan dalam suatu
jejaring ekologi mungkin saja dijumpai kawasan-kawasan konservasi baik yang
dikelola oleh pemerintah ataupun masyarakat setempat (Pet-Soede et al., 2009).
Dalam skala yang lebih luas, pembentukan jejaring KKP dibentuk dalam skala
regional dan global yang melampaui batas-batas negara. Hal ini diperlukan
untuk mengakomodasi spesies yang memiliki wilayah ruaya atau migrasi sangat
19
20
Sebetulnya tidak ada satu cara baku untuk merancang jejaring ekologi. Dengan
mengacu kriteria yang sudah disampaikan sebelumnya, di bawah ini disampaikan
contoh dari proses perancangan jejaring.
Menurut Pet-Soede et al. (2009) proses merancang jejaring ekologi meliputi
tahapan sebagai berikut:
(i) Menentukan definisi area penting (area-of-interest) yang akan dijadikan
sebagai lokasi dalam membangun sebuah jejaring ekologi. Biasanya areaarea penting ini merupakan bagian dari sebuah ekoregion atau bentanglaut (seascape) atau bagian di dalamnya;
(ii) Melakukan inventarisasi terhadap area-area penting yang dipilih dan
membuat deskripsi spasial peran atau kontribusi dari aspek-aspek ekologi
dan sosial-ekonomi yang tercakup di dalamnya;
(iii) Menentukan sasaran dan kriteria rancangan (misalnya dengan menetapkan
KKP dengan luas minimum 100 km2 dengan 30% dari habitat pantai yang
dikaji tercakup dalam KKP tersebut);
(iv) Melakukan deliniasi jejaring tahapan ini dilakukan setelah semua area
penting dipilih dan dimasukkan ke dalam jejaring yang akan dibuat dibuat
batas-batasnya.
The Nature Conservancy Indonesia Marine Program melakukan langka-langkah
berikut, selama tiga tahun (2006-2009), ketika merancang Jejaring Ekologi
Ekoregion Sunda Kecil (Wilson et al., 2011):
(i) Menentukan tujuan, batas-batas dan prinsip-prinsip perancangan jejaring
KKP;
(ii) Mengidentifikasi dan menyusun informasi area-area penting yang mendapat
prioritas utama;
(iii) Menghimpun semua data dan informasi ke dalam sebuah basis-data Sistem
Informasi Geografi; dan
21
(iv) Merancang jejaring KKP di Ekoregion Sunda Kecil yang berdaya lenting
dengan menggunakan perangkat pengambilan keputusan dengan masukan
dari para pemangku kepentingan.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Wilson et al. (2011) kurang lebih serupa
dengan yang disarankan oleh Green et al. (2008) yang menyatakan bahwa dalam
membangun sebuah jejaring hal-hal berikut perlu dipenuhi:
(i) Adanya tujuan-tujuan bersama jejaring yang jelas;
(ii) Menggunakan sains terbaik yang tersedia (best available science) dan
pendekatan kehati-hatian; serta
(iii) Melibatkan para pemangku kepentingan sejak awal dan sepanjang proses
pembentukan dan pengelolaan.
Dalam proses perancangan jejaring, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah
(Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008):
(a) Memasukkan semua komponen keanekaragaman hayati yang ada di wilayah
ekoregion atau bentang laut yang dikaji;
(b) Memastikan semua area-area penting ekologi tercakup di dalam jejaring;
(c) Menjaga perlindungan jangka panjang;
(d) Memastikan keterkaitan ekologi; dan
(e) Memastikan setiap KKP memberikan kontribusi maksimum bagi jejaring.
3.1.4
BOKS 1
Visi dan Misi Jejaring
Kerjasama pengelolaan dalam bentuk jejaring dilaksanakan berdasarkan
kesepakatan antar unit organisasi pengelola KKP (atau kelompokkelompok masyarakat pengelola kawasan).Agar kerjasama pengelolaan
jejaring dapat dilaksanakan secara terarah dan terukur, semua anggota
jejaring harus membuat dan menyepakati Visi dan Misi bersama. Berikut
adalah usulan Visi dan Misi untuk membangun jejaring KKP di Indonesia.
Visi
Terbentuknya jejaring KKP yang komprehensif, berdaya lenting, dan
mewakili ekosistem dan habitat penting, dalam rangka melindungi
keanekaragaman hayati dan kesehatan perairan untuk saat ini dan
generasi mendatang.
Misi
1. Melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati laut, ekosistem
dan habitat penting, tampilan/fitur alami khusus (special natural
features), dan spesies TCMS (Threatened Charismatic Migratory
Species).
2. Memberi kontribusi terhadap upaya perlindungan sumberdaya
ikan dan habitat penting dimana mereka hidup.
3. Memberi kontribusi terhadap kepastian dan stabilitas ekonomi
masyarakat.
4. Memberi perlindungan dan pemeliharaan kawasan yang berpotensi
sebagai daerah pengembangan wisata.
5. Memberi perlindungan dan keberlanjutan pemanfaatan tradisional,
warisan budaya (cultural heritage) dan sumberdaya arkeologi (archaeological resources).
6. Memberi peluang bagi kajian-kajian ilmiah, peningkatan kepedulian
masyarakat, dan pendidikan lingkungan.
24
3.1.5
Studi kasus
Arus ini membawa massa air dari Samudera Pasifik melintasi perairan Indonesia melalui Selat Malaka,Terusan Limafatola,
Laut Banda dan Laut Aru.
25
selama 3 (tiga) tahun sampai 2009. Tim tersebut memiliki beberapa tugas: (i)
mengumpulkan data informasi tentang kondisi ekologi dan sosial-ekonomi guna
mengidentifikasi area-area penting; (ii) membuatan rancangan jejaring; (iii)
meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan melalui pelatihan dan lokakarya;
dan (iv) menyelenggarakan konsultasi publik.
Pengkajian kondisi ekologi meliputi semua data habitat penting dan data
oseanografi. Berbagai habitat seperti terumbu karang, mangrove, dan padang
lamun dipetakan melalui interpretasi visual data satelit Landsat. Selain itu, daerah
migrasi dan tempat makan dari paus, lumba-lumba, manta dan penyu juga
diidentifikasi berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan para ahli.
Pengkajian kondisi sosial-ekonomi mencakup aspek-aspek kependudukan,
pariwisata, daerah kegiatan budidaya, serta kegiatan-kegiatan perikanan.
Beberapa tahapan yang dilalui dalam merancang jejaring ekologi di Ekoregion
Sunda Kecil adalah:
Mengumpulkan dan mengkompilasi semua data yang tersedia terkait dengan
kondisi biologi, oseanografi, spesies, dan sosial-ekonomi kawasan. Semua
data tersebut kemudian disimpan dalam basis-data Sistem Informasi
Geografis.
Mengkaji kawasan konservasi yang sudah ada dan sedang diusulkan, serta
area-area penting yang akan diusulkan menjadi kawasan konservasi baru
dengan menerapkan prinsip-prinsip pengembangan jejaring yang berdaya
lenting.
Menganalisis semua data dan informasi yang sudah dikumpulkan dengan
menggunakan perangkat-lunak Marxan, untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi
kawasan konservasi yang paling sesuai untuk dijadikan KKP.
Melakukan konsultasi publik dengan menggunakan hasil analisis Marxan
untuk menggalang masukan dari para pemangku kepentingan dan para pakar.
Konsultasi publik dilakukan di tingkat provinsi (di Bali, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur).
Dalam merancang jejaring, tim menerapkan prinsip-prinsip daya lenting sebagai
berikut:
Keterwakilan kawasan konservasi yang dikembangkan melindungi 2030% habitat penting.
26
Pengulangan habitat yang dilindungi mencakup dua atau tiga lokasi kawasan
konservasi yang berbeda.
Habitat penting dalam memilih kawasan konservasi, wilayah arus naik
(upwelling), habitat penyu, tempat bertelur ikan, dan daerah migrasi
merupakan daerah prioritas yang dilindungi.
Keterkaitan jarak antar kawasan konservasi berkisar 100-200 km.
Melalui analisis secara ilmiah yang kemudian mendapat masukan dari para ahli
dan dikonsultasikan kepada para pemangku kepentingan, diperoleh rancangan
jejaring ekologi Sunda Kecil. Rancangan tersebut meliputi 100 kawasan
konservasi yang mencakup 86 daerah-daerah konservasi di wilayah pesisir yang
melindungi terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, serta 14 daerah
konservasi laut dalam (deep sea) untuk melindungi spesies terancam seperti
paus dan lumba-lumba (Gambar 2).
Gambar 2 Rancangan final jejaring KKP yang menampilkan KKP yang sudah ada dan yang
diusulkan serta area-area penting untuk dipertimbangkan sebagai KKP baru baik untuk habitat
pesisir dan laut dangkal, dan habitat laut dalam dekat-pantai (Sumber: Wilson et al., 2011).
27
Hal ini penting untuk memberi jaminan bagi adaptasi dan kelentingan terhadap
beragam gangguan lokal dan dampak jangka panjang perubahan iklim.
Perancangan jejaring dan pendekatan yang digunakan
Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Nomor
16 Tahun 2009, menyatakan bahwa Bali merupakan satu kesatuan wilayah
pengembangan ekosistem pulau kecil yang terpadu. Berdasarkan peraturan ini,
Bali perlu dikelola menurut prinsip satu pulau, satu perencanaan dan satu
pengelolaan (one island, one plan, one management). Tujuannya adalah untuk
mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.
Mengacu kepada hal ini, maka pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan
di Bali perlu dilakukan dalam satu perencanaan dan satu pengelolaan melalui
pembentukan jejaring.
Inisiasi pembentukan jejaring KKP Bali diawali dengan lokakarya pada Juni 2010
yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Pemangku
kepentingan yang terlibat dalam lokakarya tersebut mencakup sejumlah dinas
terkait dari seluruh kabupaten/kota, Taman Nasional, BKSDA, universitas, forum lembaga adat, kelompok nelayan, dan LSM. Lokakarya ini menghasilkan
kesepakatan untuk membentuk jejaring KKP Bali, selain berhasil mengidentifikasi
25 lokasi prioritas yang dianggap penting untuk menjadi bagian jejaring KKP
Bali. Sebagian lokasi-lokasi tersebut telah memiliki status seperti TN Bali Barat,
Tahura Mangrove Ngurah Rai, KKPD Nusa Penida di Kabupaten Klungkung,
KKPD Kabupaten Buleleng, dan sebagian lainnya yang belum dibentuk sebagai
kawasan konservasi.
Proses selanjutnya adalah melakukan Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali (Bali
Marine Rapid Assessment Program - MRAP) yang melibatkan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali, Balai Riset Oseanografi dan Kelautan Kementerian
Kelautan dan Perikanan, serta Conservation International Indonesia. Survei
dilakukan di 25 lokasi prioritas yang telah diidentifikasi sebelumnya. Tujuan
dari kajian cepat ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi ekologi dan
sosial-ekonomi yang dapat digunakan sebagai masukan untuk merekomendasikan
29
Gambar 3 Sembilan lokasi/calon lokasi jejaring kawasan konservasi perairan Bali (Sumber:
Mustika et al., 2011)
30
31
32
Gambar 4 Hasil akhir penempatan KKP di Teluk Kimbe, Papua Nugini, berdasarkan analisis
optimisasi dengan menggunakan MARXAN (Sumber: Green et al., 2007)
Informasi lebih rinci tentang jejaring ini bisa dilihat pada laman http://www.medpan.org/en/home
33
jejaring. Mereka inilah yang mengelola 80 KKP yang tersebar di 18 negaranegara yang terletak di Laut Mediterania (Gambar 5).
Gambar 5 Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut di Laut Tengah (Sumber: http://
www.medpan.org/en/medpan)
Dengan dukungan teknis dari WWF Perancis dan 9 anggota pendiri, pada tahun
2008 dibentuk sebuah organisasi nirlaba di (bawah hukum) Perancis. Statuta
organisasi kini terdaftar secara legal di Perancis, dan sejumlah anggota baru
bergabung dengan organisasi MedPAN.
Pada tahun 2009, disusun strategi aksi (action strategy) untuk 2010-2012, yang
ditindaklanjuti dengan pertemuan Majelis Umum pada akhir tahun yang sama.
Pada tahun 2012, jejaring MEdPAN beserta para mitranya menyusun strategi
2013-2015. Pada April 2013, jejaring MedPAN memiliki 52 anggota yang
mengelola lebih dari 80 KKP dan 27 mitra dari 18 negara-negara Laut
Mediterania, yang didukung oleh sebuah kantor Sekretariat Eksekutif.
Beberapa capaian penting dari Jejaring MedPAN, antara lain, adalah (i) tersedianya
dokumen-dokumen strategi jejaring 2013-2017 dan peta jalan (roadmap) menuju
2020; (ii) kegiatan di tingkat regional Laut Mediterania, seperti penyusunan
basis-data KKP, kegiatan penguatan kapasitas, dan forum komunikasi antarpengelola KKP; serta (iii) kegiatan di tingkat sub-regional seperti pemanfaatan
KKP sebagai tujuan ekowisata melalui program MEET (Mediterranean Experience of Eco-Tourism).
Informasi lebih rinci tentang jejaring ini bisa dilihat pada laman: http://campam.gcfi.org/campam.php
36
Gambar 6 Peta kepulauan Karibia dan wilayah di sekitarnya. Lingkaran dengan garis penuh
menunjukkan kawasan-kawasan yang menunjukkan keterkaitan biologi, sementara lingkaran
dengan garis terputus menunjukkan kawasan-kawasan yang kurang terdokumentasi atau
berpotensi menjadi satu unit jejaring. (Sumber: Bustamante et al., 2010)
37
38
tahun 1997. Sejak saat itu, berdasarkan kebutuhan prioritas yang diidentifikasi
oleh para pengelola, CaMPAM telah mengembangkan sejumlah perangkat
komunikasi dan penguatan kapasitas untuk menyebarluaskan praktik-praktik
pengelolaan terbaik (best management practices) dan mendorong kolaborasi di
antara semua KKP yang terdapat di Kepulauan Karibia dan wilayah sekitarnya.
Sejak pendiriannya, CaMPAM telah berevolusi menyesuaikan dengan kebutuhan
yang muncul, disamping juga beradaptasi terhadap sains dan informasi baru
untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan jejaring.
Program CaMPAM untuk menguatkan kapasitas kelembagaan KKP mencakup
kegiatan-kegiatan berikut ini:
Program Pelatihan untuk Pelatih tingkat regional;
Pertukaran kunjungan nelayan dan pengelola KKP untuk menyebarluaskan
praktik-praktik terbaik;
Pemberian hibah untuk mendorong penangkapan ikan secara bertanggung
jawab dan mata-pencaharian alternatif bagi nelayan di dalam dan di sekitar
KKP;
Pembuatan basis data KKP regional; dan
Penyebarluasan informasi melalui Forum CaMPAM, milis, terbitan dan
lokakarya.
39
Kondisi geopolitik dan budaya yang unik dari Kepulauan Karibia dan wilayah
sekitarnya memiliki beberapa ciri khas yang dapat memfasilitasi suatu pendekatan
regional dalam mengelola sumberdaya laut. Ciri khas tersebut meliputi:
Kemiripan iklim dan kondisi oseanografi: arus laut tropika yang memasuki
Laut Karibia dari Samudera Atlantik mengalir keluar di sepanjang pantai
Florida (Gulf Stream).
Satu wilayah biogeografi dengan beberapa ekoregion: meski Kepulauan
Karibia dan wilayah sekitarnya memiliki hampir semua populasi spesies
laut yang serupa (ikan, invertebrata, penyu, tumbuhan, mamalia), wilayahnya
sendiri kemungkinan terbagi menjadi beberapa ekoregion atau unit yang
berbeda, tetapi saling terkait karena adanya arus yang menahan larva yang
berasal dari samudera (oceanic larvae).
Ekonomi berbasis pariwisata pesisir: di hampir semua negara, pariwisata
pesisir merupakan industri yang dominan.
Keragaman bahasa yang rendah: bahasa-bahasa Inggris dan Spanyol adalah
bahasa yang dominan, meski bahasa-bahasa Perancis, Belanda, Creole dan
Papiamento juga dipakai di beberapa pulau.
Kemiripan warisan sejarah dan budaya: kolonialisme dan perbudakan
membantu pembentukan budaya Karibia pada abad ke-16 dan 18.
Kedekatan geografis: 38 negara di dalam sebuah basin seluas 1,2 juta km2.
Perjanjian antar pemerintah regional dalam bidang sumberdaya pesisir dan
laut: Konvensi Cartagena Tahun 1981 dan protokolnya memberikan kerangka
legal untuk menangani persoalan perlindungan dan pembangunan
berkelanjutan lingkungan laut. Semua negara Kepulauan Karibia dan wilayah
sekitarnya saat ini berpartisipasi dalam program tersebut.
Meski ada beragam hal yang mendukung di atas, banyak tantangan yang dihadapi
untuk melakukan pengelolaan secara efektif sumberdaya laut lintas-batas dan
lintas-ekoregion. Sistem-sistem KKP nasional dan sub-regional yang mencakup
daerah larang ambil dan perikanan bertanggung jawab, dipadukan dengan
perangkat pengelolaan lainnya (untuk daerah pesisir dan dataran tinggi), dapat
membantu memaksimumkan layanan lingkungan laut bagi Kepulauan Karibia
dan wilayah sekitarnya di abad ke-21.
40
BAB 4
STRATEGI PENGELOLAAN
JEJARING KKP
41
Kesadaran dan dukungan politik sangat penting bagi proses pengembangan dan
pengelolaan jejaring KKP. Implementasi rencana pengelolaan biasanya melibatkan
beberapa tindakan legislatif atau dasar hukum lainnya. Politisi dan pembuat
kebijakan harus sering dilibatkan sejak awal proses perencanaan untuk
membangun dukungan mereka. Dukungan politik yang kuat dapat sangat
membantu jejaring KKP yang diusulkan memperoleh persetujuan yang
diperlukan berdasarkan perundang-undangan dan untuk menggalang pendanaan.
Membangun dukungan politik secara luas merupakan hal yang sangat penting
untuk mendapatkan kepastian pendanaan pengelolaan, serta memastikan sistem
dan kebijakan yang dibutuhkan untuk membangun tata kelola jejaring KKP yang
lebih baik. Hal ini juga penting untuk menyesuaikan usulan anggaran dan
kompromi kegiatan pengelolaan. Dalam banyak kasus, lebih baik berkompromi
dan mencapai hasil konservasi yang masuk akal daripada mempertahankan tujuan
ideal jejaring tetapi tidak mendapat dukungan secara politis.
Kepemimpinan yang kuat dan efektif juga penting untuk mengembangkan dan
mengelola jejaring KKP yang efektif. Banyak program perencanaan kelautan di
seluruh dunia yang lebih menekankan pentingnya pengetahuan ilmiah tetapi
kurang melibatkan masyarakat dan para pengambil keputusan dalam setiap
tahapan prosesnya. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kaum terpelajar
merupakan sasaran utama yang perlu dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan untuk merencanakan dan mengelola jejaring KKP.
4.2 Pendidikan Publik dan Komunikasi
Pendidikan dan penyuluhan dapat meningkatkan pemahaman dan mengubah
perilaku masyarakat, dari tidak mendukung menjadi mendukung jejaring KKP.
Program pendidikan dapat menangani masalah-masalah pengelolaan sumberdaya
tertentu, membantu pencapaian tujuan pengelolaan, dan mempromosikan jasa
penting jejaring lainnya seperti penelitian, pemantauan dan penegakan hukum.
Dalam mengembangkan rencana komunikasi, para perencana dan pengelola
harus terlebih dahulu mengidentifikasi pemangku kepentingan utama, termasuk
lembaga pengelola, serta masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya maupun
sektor swasta.
43
Banyak cerita sukses terkait pengelolaan KKP merupakan hasil kerja di bidang
pendidikan, penyuluhan/penjangkauan dan komunikasi6. Pendidikan, penyuluhan/
penjangkauan dan komunikasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat serta meningkatkan kesadaran, pemahaman dan partisipasi mereka
dalam pengembangan dan pengelolaan jejaring KKP. Upaya penjangkauan yang
luas, misalnya, dapat meningkatkan pemahaman tentang manfaat keseluruhan
jejaring KKP. Sementara itu, program-program yang lebih spesifik dapat mengatasi
masalah sumberdaya tertentu dan mempromosikan layanan penting lainnya
seperti penelitian, pemantauan dan penegakan hukum. Upaya pendidikan juga
dapat memperkuat komitmen para pembuat kebijakan.
Pengembangan rencana komunikasi harus menetapkan pesan pendidikan dan
penjangkauan yang konsisten. Pesan yang disampaikan harus sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai serta perlu membangun peluang-peluang kemitraan
baru. Pada tahap awal, materi pendidikan dapat difokuskan pada tujuan
pengelolaan, sedangkan pada tahap selanjutnya materi dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan jejaring KKP yang dikelola. Sebuah rencana komunikasi
yang efektif juga harus memperkuat kemitraan dan meningkatkan kerjasama
antar jejaring KKP. Strategi pendidikan dan komunikasi yang disarankan meliputi:
(Ebanks et al., 2009; Green et al., 2008; White et al., 2006)
Menggunakan cara-cara non-formal untuk mendorong partisipasi dan
interaksi yang lebih intensif;
Melibatkan para akademisi, penyelam, nelayan, pemilik resor dan lainnya
untuk berbagi pengalaman dan membangkitkan minat serta semangat
masyarakat lokal;
Membangun pusat pembelajaran untuk berbagi pangalaman dari lapangan
serta pembelajaran dari tempat lain;
Menyediakan informasi dari hasil pemantauan (monitoring) sebagai bahan
untuk menyusun program pendidikan dan sekaligus menggambarkan
perubahan ekologi, keanekaragaman hayati, kualitas dan kuantitas ekosistem/
spesies; dan
Memahami kondisi dan permasalahan secara lebih detil guna membuat
pilihan-pilihan untuk melakukan pengelolaan.
Penyuluhan/penjangkauan, pendidikan dan komunikasi merupakan padanan bebas dari IEC atau Information, Education and Communication. Pada praktiknya, penyuluhan (extension) berbeda dari penjangkauan (outreach).
44
4.3.1
masyarakat dimana suatu jejaring KKP berada. Beberapa aspek berikut ini
membantu memastikan berjalannya kepatuhan dan penegakan hukum yang
efektif dalam pengelolaan jejaring KKP.
Aspek kepatuhan dan penegakan hukum atau aturan sudah
dibangun sejak tahap perencanaan jejaring KKP
Pertimbangan utama meliputi kelayakan, keterjangkauan, pemahaman publik
untuk melindungi kawasan yang paling rentan terhadap dampak negatif
dari aktivitas manusia.
49
50
BAB 5
Evaluasi
terhadap
kinerja dan efektivitas
pengelolaan jejaring
KKP perlu dilakukan
secara periodik antara 3
atau 5 tahun sekali.
Berbeda dari evaluasi
formatif yang melekat
dengan pemantauan
b e r ke s i n a m b u n g a n
terhadap pelaksanaan
kegiatan-kegiatan
pengelolaan jejaring, evaluasi kinerja dan efektivitas dilakukan setelah satu
periode waktu yang disepakati oleh para pengelola jejaring (cf. Ebanks et al.,
2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008;White
et al., 2006).Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk: (i) menilai kinerja pengelolaan,
apakah komponen mendasar seperti sumberdaya manusia dan pendanaan
dikelola dan bekerja secara efisien sehingga memberikan efek positif terhadap
kegiatan-kegiatan pengelolaan; dan (ii) menilai efektivitas pengelolaan jejaring,
apakah pengelolaan mencapai tujuan-tujuan bersama dalam bidang biofisik dan
sosial-ekonomi, serta memberikan dampak positif yang diharapkan terhadap
komponen biofisik dan sosial-ekonomi jejaring. Kedua tujuan ini sesuai dengan
tujuan dari evaluasi efektivitas pengelolaan7 yang tercantum pada Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (SK Dirjen
KP3K) No. 44/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Kawasan
Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K).
Efektivitas Pengelolaan didefinisikan sebagai tingkat/level/peringkat sejauh mana upaya pengelolaan kawasan konservasi
memberikan hasil positif terhadap aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang
berdampak pada peningkatan kinerja pengelolaan (SK Dirjen KP3K No. 44/2012 tentang Pedoman Teknis E-KKP3K).
51
Menurut Gleason et al., 2013 dan Green et al., 2008, hampir tidak ada upaya
evaluasi efektivitas terhadap pengelolaan jejaring KKP. Hal ini terjadi mengingat:
(i) pengembangan jejaring KKP masih relatif baru, dan (ii) tidak adanya perangkat
untuk melakukan evaluasi kinerja efektivitas pengelolaan jejaring KKP. Ketiadaan
perangkat tersebut memberi peluang untuk membuat sebuah perangkat evaluasi
yang sesuai.
52
BAB 6
PENUTUP
Saat ini pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP merupakan suatu kebutuhan
untuk mengelola sumberdaya perikanan menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Untuk mengembangkan jejaring KKP dibutuhkan strategi pembentukan dan
pengelolaan berdasarkan pengalaman, pembelajaran, dan praktek-praktek terbaik
(best practices) yang ada baik di Indonesia maupun negara lain.
Pendirian suatu jejaring KKP yang efektif harus mempertimbangkan pentingnya
aspek-aspek ekologi, sosial-budaya-ekonomi, dan tata-kelola. Aspek ekologi
merupakan komponen utama dalam pembentukan sebuah jejaring KKP. Adapun
aspek sosial-budaya-ekonomi dan tata-kelola memegang peranan penting dalam
menentukan keberhasilan pengelolaan sebuah jejaring KKP.
Pencapaian tujuan konservasi dan efektivitas pengelolaan jejaring KKP akan
dapat cepat terwujud jika dirancang dengan baik dan dikelola dengan basis
ilmiah yang kuat. Bukti-bukti manfaat dari keberadaan jejaring KKP perlu terus
53
54
DAFTAR PUSTAKA
Agardy, T. (2005). Global marine policy versus site-level conservation: the mismatch of scale and its implications. Marine Ecology Progress Series,
300: 242-248.
Agardy, T. & Wolfe, L. (2002). Institutional options for integrated management
of a North American MPAs network. Montreal: Commission for
Environmental Cooperation.
Balmford, A., Gravestock, P., Hockley, N. McClean, C.J. & Roberts, C.M. (2004).
The worldwide costs of marine protected areas. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 101(26): 9694-9697.
Bohnsack, J.A., Causey, B., Crosby, M.P., Griffis, R.B., Hixon, M.A., Hourigan, T.F.,
Koltes, K.H., Maragos, J.E., Simons, A. & Tilmant, J.T. (2000). A rationale for minimum 20-30% no-take protection. Proceeding of the 9th
International Coral reef Symposium, 23-27 October 2000, Bali, Indonesia.
Bustamante, G., Gombos, M., Hermann, H., Schmidt, K. & Vanzella-Khouri. A.
(2010). Institutional Networks of Marine Protected Areas Connecting People to Protect Places. Current, the Journal of Marine Education, 26(2): 12-19.
Claudet, J., Pelletier, D., Jouvenel, J.Y., Bachet, F. & Galzin, R. (2006).Assessing the
Effects of Marine Protected Area (MPA) on a Reef Fish Assemblage
In a Northwestern Mediterranean Marine Reserve: Identifying Community-Based Indicators. Biological Conservation, 130 : 349-369.
Cooney, R. (2004). The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation
and Natural Resource Management:An issues paper for policy-makers, researchers and practitioners. Gland, Switzerland & Cambridge,
UK: IUCN, xi + 51 pp.
Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food security (CTICFF). (2013). Coral Triangle Marine Protected Areas System Framework
and Action Plan. CTI-CFF, USAID-CTSP, and US-NOAA. Cebu City,
Philippines.
55
DeVantier, L., Alcala, A. & Wilkinson, C. (2004). The Sulu-Sulawesi sea: environmental and socioeconomic status, future prognosis and ameliorative policy options. Ambio, 33: 88-97.
Ebanks,A.E., Miller, M. & Mahon, R. (2009). Best Management Practices for Marine
Protected Areas od the Wider Caribbean Region. CERMES Technical Report No. 17, Centre for Resource Management and Environmental
Studies, University of the West Indies, Cave Hill Campus, Barbados,
40 pp.
Fernandes, L., Green, A., Tanzer, J., White, A., Alino, P.M., Jompa, J., Lokani, P.,
Soemodinoto, A., Knight, M., Pomeroy, B., Possingham, H. & Pressey,
B. (2012). Biophysical principles for designing resilient networks of marine
protected areas to integrate fisheries, biodiversity and climate change objectives in the Coral Triangle. Report prepared by The Nature Conservancy for the Coral Triangle Support Partnership, 152 pp.
Gaines, S. & Airame, S. (2010). Why are ecological networks of Marine Protected Areas important? Current, the Journal of Marine Education, 26(2):
20-23.
Garrod, B. & Wilson, J.C. (2004). Nature on the edge? Marine ecotourism in
peripheral coastal areas. Journal of Sustainable Tourism, 12(2): 95-99.
Gleason, M., Fox, E.,Ashcraft, S.,Vasques, J.,Whitemane, E., Serpa, P., Saarman, E.,
Caldwell, M., Frimodig, A., Miller-Henson, M., Kirlin, J., Ota, B., Pope,
E., Weber, M. & Wiseman, K. (2013). Designing a network of marine
protected areas in California: Achievements, costs, lessons learned,
and challenges ahead. Ocean & Coastal Management, 74: 90-101.
Gleason, M., McCreary, S., Miller-Henson, M., Ugoretz, J., Fox, E., Merrifield, M.,
McClintock, W., Serpa, P. & Hoffman, K. (2010). Science-based and
stakeholder-driven marine protected area network planning: A successful case study from north central California. Ocean & Coastal
Management, 53: 52-68.
Green, A., Lokani, P., Sheppard, S., Almany, J., Keu, S., Aitsi, J., Warku Karvon, J.,
Hamilton, R. & Lipsett-Moore, G. (2007). Scientific Design of a Resilient Network of Marine Protected Areas. Kimbe Bay, West New
Britian, Papua New Guinea. TNC Pacific Island Countroes Report
No. 2/07, x + 60 pp.
Green, A., White, A. & Kilarski, S. (Eds.) (2013). Designing marine protected area
networks to achieve fisheries, biodiversity, and climate change objectives in
56
57
Pet-Soede, L., Cesar, H., Beukering, P.v.,Willsteed, E. & Mous, P.J. (2009). Benefits
of Marine Protected Area networks: an overview in support of of the Coral
Triangle Initiative. WWF Report, 145 pp.
Pressey, R.L., Cabeza, M., Watts, M.E., Cowling, R.M. & Wilson, K.A. (2007).
Conservation planning in a changing world. TRENDS in Ecology and
Evolution, 22(11): 583-592.
Roberts, C.M. (1997). Connectivity and management of Caribbean coral reefs.
Science, 278: 1454-1457.
Roberts, C.M., Halpern, B., Palumbi, S.R. & Warner, R.R. (2001). Designing marine reserve networks: why small, isolated protected areas are not
enough? Conservation in Practice, 2: 10-17.
Salafsky, N. & Margoluis, R. (1999).Threat reduction assessment: a practical and
cost-effective approach to evaluating conservation and development
projects. Conservation Biology, 13(4): 830-841.
Salm, R.V., Clark, J.R. & Siirila, E. (2000). Marine and coastal protected areas A
guide for planners and managers, third edition. Gland, Switzerland: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources,
xi + 370 pp.
Schwenke, S., Wenzel, L. & Wowk, K. (2010). Networks of Marine Protected
Areas: what are they and why are they needed? Current, the Journal of
Marine Education, 26(2): 2-6.
Secretariat of the Convention on Biological Diversity. (2006). Global Biodiversity
Outlook 2. Montreal, vii + 81 pp.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Nomor KEP.44/KP3K/2012 (SK Dirjen KP3K No. 44/2012) tentang
Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Susanto, H.A. (2011). Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi
PerairanIndonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership
(CTSP), Jakarta, 35 hal.
58
Syakur, A., Wibowo, J. T., Firmansyah, F., Azam, I. & Linkie, M. (2012). Ensuring
local stakeholder support for marine conservation: establishing a
locally managed marine area network in Aceh. Oryx, 46: 516-524
UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Networks of Marine Protected Areas: A Review of Progress. Cambridge: UNEP-WCMC, v + 144 pp.
Varney, A., Christie, P., Eisma-Osorio, R.-L., Labrado, G., Pinsky, M. & White, A.
(2010). Designing and planning a network of community-based Marine Protected Areas. Seattle, Washington, US & Cebu City, Philippines: University of Washington, School of Marine Affairs &Coastal
Cosnervation and Education Foundation, viii + 74 pp.
White, A.T., Alio, P.M. & Meneses, A.T. (2006). Creating and managing marine
protected areas in the Philippines. Fisheries Improved for Sustainable Harvest, Coastal and Community Environment Foundation, and
the University of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City,
Philippines, 83 pp.
Wilson, J., Darmawan,A., Subijanto, J., Green,A. & Sheppard, S. (2011). Rancangan
Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh. Ekoregion Sunda
Kecil, Segitiga Terumbu Karang. Program Kelautan Asia Pasifik Laporan
No. 2/11, 96 hal.
59
60