Syok Anafilaktik
Syok Anafilaktik
PENDAHULUAN
Dalam sejarah kasus reaksi anafilaktik sudah dikenal sejak 2641 SM dari catatan
Mesir kuno yang menyebutkan bahwa Raja Menes meninggal dunia mendadak akibat
sengatan serangga. Istilah anafilaktik sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Portier
dan Richet, ilmuwan Perancis, pada tahun 1902 ketika mereka mengawasi reaksi akut
dan fatal dari anjing yang mendapat suntikan ulang toksin anemone laut.
Insiden reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1 % pada penderita, sedangkan pada
pembedahan angka kejadiannya 0,01 %. Di Australia reaksi anafilaktik terjadi 1 :
5000, dan kejadian penderita yang dianestesi sebanyak 1 : 25.000 dengan angka
kematian 3,4 %. Di Inggris reaksi reaksi anafilaktik menyebabkan kematian sebanyak
4,3 % dan menyebabkan kerusakan otak sebanyak 5,6 %.
SYOK ANAFILAKTIK
Reaksi alergi merupakan interaksi antara antigen atau benda asing dengan sistem
imun. Molekul antigen yang dapat berupa salah satunya adalah obat dengan kurang
dari 1000 dalton jarang menyebabkan reaksi alergi, tetapi biasanya bergabung dengan
protein sehingga molekul obat menjadi besar dan dapat menyebabkan reaksi alergi.
Pada pemberian obat yang pertama, tubuh membentuk antibodi spesifik, pemberian
obat berikutnya menyebabkan reaksi alergi.
Reaksi ini terjadi karena ikatan antigen dan antibodi yang telah terikat
dengan sel mast atau basofil. Ikatan ini menyebabkan rusaknya sel
mast, sehingga mengeluarkan mediator untuk menimbulkan reaksi
alergi. Akibat pelepasan mediator menyebabkan urtikaria, edema
laring, dengan atau tanpa kolapsnya kardiovaskuler.
Antigen dan antibodi yang telah terikat beredar dalam tubuh, kemudian
terikat pada jaringan, komplemen, lekosit polimorfonuklear. Hal ini
akan menyebabkan pelepasan enzim dari pagosit sel. Enzim ini
menyebabkan kerusakan jaringan. Reaksi tipe III terjadi dalam 7 14
hari setelah terpapar antigen terus menerus. Contoh reaksi alergi tipe
III ini adalah serum sickness dan drug fever.
Reaksi ini tidak diperankan oleh antibodi, tapi oleh limposit T. Pada
reaksi ini reseptor sel T akan melepaskan sitokin, yang akan
menyebabkan limfosit dan mononuclear berpoliferasi. Contoh reaksi
ini adalah tes tuberkulin dan kontak dermatitis.
Definisi anafilaktik adalah sindroma klinik (kompleks gejala) yang timbul secara
mendadak sebagai akibat perubahan permeabilitas vaskuler dan hiperaktivitas
bronkial karena kerja dari mediator mediator endogen yang dihasilkan oleh sel sel
mast dan basofil akibat stimuli antigen. Jadi anafilaktik merupakan reaksi antigen
antibodi ( reaksi hipersensitivitas ). Penderita yang mengalami syok anafilaktik
termasuk dalam kegawatan medis dan harus segera ditangani karena dapat segera
jatuh kesituasi yang membahayakan bahkan fatal.
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak melalui
kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi anafilaksis
kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui suntikan .
Fase sensitisasi
o Antigen yang masuk kedalam tubuh akan diikat oleh protein yang spesifik.
Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan dengan
segera merangsang membran sel makrofag untuk melepaskan sel prekursor
pembentuk reagen antibodi imunoglobulin E atau reaginic ( Ig E ) antibody
forming precursor cell. Sel sel prekursor ini lalu mengadakan mitosis dan
menghasilkan serta membebaskan antibodi Ig E yang spesifik. Ig E yang
dibebaskan ini segera di ikat oleh reseptor sesuai yang berada pada dinding sel
mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini
berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama.
Fase hipersensitivitas .
o Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang serupa, maka
antigen ini akan segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan di
ikat membentuk ikatan Ig E Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel
mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator
mediaotor endogen seperti histamin, kinin, serotonin, platelet activating faktor
( PAF ). Mediator mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel
sel target yaitu sel otot polos.
o Pelepasan mediator endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut
dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak
dapat diatasi dengan pemberian antihistamin. Pada saat fase akut ini
berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain.
Fosfolipid yang terdapat dimembran sel mast dan basofil oleh pengaruh enzim
fosfolipase berubah menjadi asam arakhidonat dan kemudian menjadi
prostaglandin, tromboksan dan lekotrin / SRS-A ( slow reacting substance of
anaphylaxis ) yang juga merupakan mediator mediator endogen anafilaktik.
Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka
disebut dengan fase lambat anafilaksis.
o Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk kedalam tubuh dapat
langsung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamin oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan Ig
E dan reaksi ikatan Ig E-antigen. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang
memberikan gejala dan dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi
anafilaktik.
Histamin
o Histamin adalah amin dengan berat molekul rendah, tersimpan dominan dalam
jaringan mast sel dan basofil. Menyebabkan dilatasi kapiler dan vena serta
meningkatkan permeabilitas vaskuler. Histamin bekerja pada reseptor H1 dan
H2 yang responsibel terhadap penurunan tahanan vaskuler dan meningkatkan
permeabilitas venula-venula. Histamin juga menyebabkan vasokontriksi
koroner ( efek H1 ) dan respon vaskuler vasodilatasi daan reaksi lokal kulit
melalui reseptor H1 dan H2. reseptor H2 menyebabkan respon kronotropik.
Histamin secara cepat dikeluarkan melalui jaringan vaskuler oleh sel-sel
endotelial vaskuler. Histamin meningkatkan siklik AMP.
Prostaglandin
o Prostaglandin adalah asam lemak unsaturated, yang disintesa pada saat ada
stimulus inflamasi. Juga merupakan produk dari asam arakidonat melalui
siklus siklooksigenasi. Prostaglandin adalah mediator yang poten dan dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler, bronkospasme, hipertensi pulmonal dan
vasodilatasi perifer.
Kinins
o Kinins adalah peptida dengan BM rendah dimana meningkatkan permeabilitas
kapiler, dilatasi pembuluh darah, kontraksi otot-otot halus dan menyebabkan
leukotaktik. Proses dari Ig E sendiri dapat menghasilkan kinins.
Pada reaksi anafilaktik, histamin dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan
dapat berupa :
1. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relatif.
2. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia urin, kontraksi uterus menyebabkan diare.
3. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstitiel dan menyebabkan
hipovolemi intra vaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di
kulit, bronkus epiglotis dan laring.
4. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium,
bila hal ini terjadi dengan hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Gejala dan tanda yang timbul akibat reaksi anafilaktik sangat bervariasi dan berbeda
beda pada tiap individu, tergantung cara antigen masuk, jumlah dan kecepatan
absorbsi dan tingkat hipersensitivitas tubuh. Dapat terjadi dalam beberapa menit
setelah terpapar atau 1-2 jam setelah terpapar. Antigen yang masuk melalui parenteral
akan lebih cepat memberikan reaksi dibandingkan melalui cara yang lain dan reaksi
yang terjadi dapat bersifat sementara atau terus berlanjut.
Eritema
Urtikaria
Flushing
Gatal
Angioedema
Pucat
Sianosis
o Pada Gastrointestinal
Mual
Muntah
Diare
Abdominal cramps
Suara serak
Sesak
Distress pernafasan
Batuk
Whezing
Rinitis
Spasme bronkus
Edema laring
Takikardia
Hipotensi
Disritmia
Miokard infark
o Lain- lain
Rasa cemas
Parestesi
Kejang-kejang
Kesadaran menurun
DIAGNOSA
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, sedikit lebih mahal
dan lebih mudah mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan
skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure
dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius yang akan
datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 :
1.000.000 dari dosis initial.
Anafilaktik merupakan kompleks gejala yang timbul secara mendadak sebagai akibat
perubahan permeabilitas vaskuler dan hiperaktivitas bronkial karena kerja dari
mediator mediator endogen yang dihasilkan oleh sel sel mast dan basofil akibat
stimuli antigen. Jadi anafilaktik merupakan reaksi antigen antibodi ( reaksi
hipersensitivitas ). Penderita yang mengalami syok anafilaktik termasuk dalam
kegawatan medis dan harus segera ditangani karena dapat segera jatuh kesituasi yang
membahayakan bahkan fatal.
Berbagai obat yang digunakan dalam terapi anafilaktik umumnya ditujukan untuk:
1. Menghambat sintesis dan lepasnya mediator\
2. Blokade reseptor jaringan terhadap mediator yang lepas
3. Mengembalikan fungsi organ terhadap pengaruh mediator
Skema penghambatan obat-obat terhadap reaksi anafilaktik dapat dilihat pada gambar
1 dan 2. Untuk menjamin keberhasilan penanganan anafilaktik diperlukan suatu
persiapan yang matang dan adanya rencana terapi yang jelas.perlu dipikirkan pula
bahwa dalam melakukan suatu tindakan, kemungkinan yang terburuk (anafilaktik)
dapat saja terjadi. Jadi dengan kesiapan menghadapi hal tersebut, akibat buruk dari
anafilaktik dapat dikurangi.
Infus set
Tabung oksigen beserta regulator, flow meter, selang dan kanula nasal/
masker bila mungkin
3. Persiapan obat-obatan :
o Adrenalin siap dalam semprit
o Simpatomimetik lain : efedrin, metaraminol, dopamin
o Antihistamin : difenhidramin
o Kortikosteroid : hidrokortison, prednisolon, deksametason
o Cairan kristaloid : RL, Na Cl 0,9 %
o Cairan koloid ( bila memungkinkan ) : dekstran, hemasel, albumin.
TERAPI AWAL
o Dianjurkan pada penderita yang mengalami syok dilakukan posisi syok yaitu
dengan tidur terlentang dan kaki diangkat 30 40 0. Pasien sebaiknya
dimonitor sampai dengan kondisi stabil dan status haemodinamiknya menjadi
stabil.
o Menghentikan alergen yang dicurigai
o Mempertahankan jalan nafas dan Pemberian oksigen 100%
Prosedur ini dilakukan jika pasien ada pada perawatan rumah sakit dan
sedang menggunakan obat-obatan anasthesia. Agen anestesi
mempunyai sifat negatif inotropik dan dapat menurunkan tahanan
vaskular sistemik. Agen anestesi harus dihentikan untuk menghindari
hipotensi. Halotan, enfluran, dan atau isofluran bukan merupakan
bronkodilator pada anafilaksis.
o Memberikan efinefrin
TERAPI SEKUNDER
Antihistamin
o Histamin merupakan salah satu mediator utama pada manifestasi akut reaksi
anafilaktik atau anafilaktoid, efek vasodilator histamin pada reseptor H1 dan
H2, kedua reseptor tersebut akan terblok bila semua secara potensial
berpengaruh pada kardiovaskular efek histamin diantagonis. Pada penelitian
terapi pendahuluan pada pasien sebelum histamin dikeluarkan menunjukkan
tidak efektif mencegah atau mengurangi efek respon kardiopulmonari bila
digunakan antagonis reseptor H1 dan H2. Meskipun histamin satu-satunya
mediator yang dikeluarkan pada reaksi anafilaktik dan anafilaktoid, jumlahnya
banyak pada manifestasi awal.
o Tidak ada bukti bahwa pemberian antihistamin efektif pada pengobatan reaksi
anafilaktik bila mediator telah dikeluarkan. Pemberian antihistamin
direkomendasikan hanya sebagai terapi sekunder pada reaksi anafilaktik dan
anafilaktoid akut. (dosis yang dianjurkan : difenhidramin 1 mg/ Kg ; atau
chlorpheniramine 0,1 mg/Kg sebagai H1 bloker ; dan 4 mg/Kg sebagai H2
bloker)
Aminofilin
Katekolamin
o Bila masih terjadi bronkospasme, isoproterenol digunakan sebagai suatu betaadrenergik agonis murni dan bronkodilator. Obat ini juga baik digunakan bila
dikombinasi dengan epinefrin pada pasien yang mendapat obat blok reseptor
beta-adrenergik. Efek beta-2-adrenergik isoproterenol menyebabkan
vasodilatasi dan hipotensi, terutama pada pasien yang telah mendapat
vasodilator atau kehilangan darah.
o Takikardi merupakan efek yang tidak diinginkan dari isoproterenol, sebab
isoproterenol mengakibatkan dilatasi arteri pulmonalis, hal ini digunakan
untuk peningkatan resisten vaskular paru pada reaksi anafilaktik berat bila ada
masalah oksigenasi atau terjadinya disfungsi ventrikel kanan. ( dosis awal
untuk bronkospasme persisten adalah 0,5 1 g / menit / 70 KgBB ).
Efinefrin
o Bila masih terjadi hipotensi dan bronkospasme, efinefrin drip dapat digunakan
setelah manipulasi volume darah dan setelah pemberian bolus epinefrin. Dosis
efinefrin dimulai dari 1 2 g / menit / 70 KgBB dan dititrasi sampai efeknya
tercapai.
Norepinefrin (levoped)
o Norefinefrin digunakan untuk mempertahankan tekanan darah pada pasien
yang cendering hipotensi sampai manipulasi volume tercapai. Meskipun
secara teoritis obat alfa-adrenergik merangsang pelepasan mediator, hipotensi
mengakibatkan terganggunya perfusi ke cerebral dan coroner yang harus
diterapi lebih agresif.
Steroid
o Meskipun kortikosteroid merupakan obat yang dianjurkan dan harus diberikan
pada reaksi yang berat seperti shock dengan bronkospasme dan hipotensi yang
refrakter, tidak ada bukti tentang dosis dan preparat yang tepat. Akan tetapi, di
percaya bahwa 2 gr hidrokortison fosfat (atau ekivalen) adalah tepat untuk
disfungsi kardiopulmoner. Dosis besar metilprednison (35 mg/Kg) dapat
menghambat agregasi complemen-induced polymorphonuclear sel dan
pelepasan enzim lisosom in vitro.
o Kortikosteroid dapat menurunkan pelepasan mediator vasoaktive dan
metabolit asam arachidonat pada anafilaksis melalui stabilisasi membran
fosfolipid atau melalui perangsangan macrocortin yang menghambat
pembelahan fosfolipid.
Natrium bikarbonat
o Bila hipotensi yang terjadi resisten terhadap pengobatan, dapat diberikan 0,5
1 mEq / Kg dan monitor keseimbangan asam-basa.
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan
anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin,
NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah,
latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
Faktor pemicu
Pemicu yang sering antara lain bisa dari gigitan atau sengatan serangga, makanan, dan obatobatan.Makanan merupakan pemicu tersering pada anak dan dewasa muda. Obat-obatan dan
gigitan atau sengatan serangga merupakan pemicu yang sering ditemukan pada orang dewasa
yang lebih tua.Penyebab yang lebih jarang diantaranya adalah faktor fisik, senyawa biologi
(misalnya air mani), lateks, perubahan hormonal, bahan tambahan makanan (misalnya
monosodium glutamat dan pewarna makanan), dan obat-obatan yang dioleskan pada kulit
(pengobatan topikal).
Worm, M (2010). "Epidemiology of anaphylaxis.". Chemical immunology and allergy 95:
1221
Faktor risiko
Seseorang dengan penyakit atopi seperti asma, eksim, atau rinitis alergi mempunyai risiko
tinggi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, lateks, dan agen radiokontras. Mereka ini
tidak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap obat injeksi ataupun sengatan.
Lee, JK; Vadas, P (2011 Jul). "Anaphylaxis: mechanisms and management.". Clinical and
experimental allergy : journal of the British Society for Allergy and Clinical Immunology 41
(7): 92338.