Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan professional
yang merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang berdasarkan pada ilmu
dan etika keperawatan.Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan
kesehatan,ikut menentukan mutu dari pelayanan kesehatan.Tenaga keperawatan secara
keseluruhan jumlahnya mendominasi tenaga kesehatan yang ada,dimana keperawatan
memberikan kontribusi yang unik terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu
kesatuan yang relative,berkelanjutan,koordinatif dan advokatif. Keperawatan sebagai
suatu profesi menekankan kepada bentuk pelayanan professional yang sesuai dengan
standar dengan memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga pelayanan yang
diberikan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik dan berkelanjutan.
1.2 Tujuan Penulisan
1) Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
bagaimana ilmu keperawatan dapat berkembang dengan peralatan yang sangat
terbatas pada zaman dahulu hingga dengan peralatan yang sangat lengkap pada
zaman sekarang.
2) Tujuan Khusus
(1) Mahasiswa mengetahui, memahami, dan menjelaskan tentang sejarah
keperawatan nasional dan internasional.
(2) Mahasiswa mampu menjabarkan perkembangan ilmu keperawatan, mulai dari
zaman dahulu hingga zaman sekarang.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Keperawatan Nasional Dan Internasional


Keperawatan sebagai suatu profesi yang sudah ada sejak manusia ada di bumi
ini.Keperawatan terus berkembang sesuai dengan kemajuan peradaban teknologi dan
kebudayaan.Konsep keperawatan dari abad keabad terus berkembang,berikut adalah
perkembangan keperawatan di dunia.
2.1.1

Sejarah Keperawatan di Luar Indonesia


1) Zaman Purba
Pada zaman ini orang percaya bahwa sesuatu yang ada di bumi mempunyai
suatu kekuatan mistik yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan
ini biasa disebut animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang
disebabkan oleh kekuatan alam atau pengaruh kekuatan gaib seperti batu besar,
gunung tinggi, pohon besar, sungai besar. Jiwa yang baik membawa kesehatan, jika
yang jahat membawa kesakitan dan kematian (Calor, taylor, Lilis & Lemone,1997).
Peran tabib dan perawat jelas berbeda, tabib adalah medicineman yang mengobati
penyakit dengan jalan melantunkan nyanyian, memberi semangat dari ketakutan
atau membuka otak untuk menghilangkan jiwa yang jahat (Dolan, Fitzpatrick &
Herman, 1983). Perawat biasanya berperan sebagai ibu yang merawat familinya
sewaktu sakit dengan memberikan perawatan fisik dan memberikan obat dari
tumbuh-tumbuhan. Peran ini diteruskan sampai saat ini.
2) Zaman Keagamaan
Pada zaman ini, kuil menjadi pusat perawatan medis sebab orang percaya
bahwa penyakit disebabkan oleh dosa dan kutukan Tuhan. Pemimpin agama
dijunjung tinggi sebagai tabib, perawat dianggap sebagai budak dan mendapat
penghargaan yang rendah karena pekerjaannya didasarkan perintah dari pempimpin
agama yang berperan sebagai tabib.
3) Permulaan Masehi
Pada permulaan masehi, agama Kristen mulai berkembang. Pada masa ini
keperawatan mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan kepesatan
perkembangan agama Kristen. Organisasi wanita pertama yang dibentuk pada saat
itu dinamakan Deaconesses, mengunjungi orang-orang sakit dan anggota
keagamaan laki-laki memberikan perawatan serta mengubur orang mati. Pada
perang salib perawat laki-laki dan perempuan bertugas merawat orang-orang yang
luka dalam peperangan tersebut.
Kemajuan profesi keperawatan pada masa ini juga terlihat jelas dengan
berdirinya rumah sakit terkenal di Roma yang bernama Monastik hospital. Rumah

sakit ini dilengkapi dengan fasilitas bangsal-bangsal perawatan untuk merawat


orang sakit serta bangsal-bangsal lain sebagai tempat merawat orang cacat, miskin
dan yatim piatu.
Seperti halnya di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi keperawatan
juga berkembang di benua Asia. Tepatnya di timur tengah seiring dengan
perkembangan agama Islam. Tokoh keperawatan yang terkenal di dunia Arab pada
masa ini adalah Rafidah.
4) Permulaan Abad XVI
Struktur dan orientasi masyarakat berubah dari orientasi keagamaan
menjadi orientasi pada kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan alam, serta
perkembangan pengetahuan. Akibatnya banyak gereja dan tempat ibadah ditutup,
padahal tempat ini digunakan oleh ordo-ordo keagamaan untuk merawat orang
sakit. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan keperawatan. Untuk
memenuhi kebutuhan perawat, wanita yang pernah melakukan kejahatan dan telah
berobat dapat diterima bekerja sebagai perawat. Akibat reputasi yang jelek ini,
perawat menerima gaji yang rendah dengan jam kerja lama pada kondisi yang
buruk (Taylor C.,dkk, 1989)
5) Masa Sebelum Perang Dunia II
Florence Nightingale (1820-1910) merupakan tokoh pembaharu perawatan
pada saat itu dan bahkan sering disebut Ibu Perawatan. Pada waktu itu, Florence
Nightingale sudah menyadari pentingnya suatu sekolah untuk mendidik para calon
perawat, agar dapat diberikan pengetahuan, keterampilan dan pembinaan mental
sehingga dihasilkan tenaga perawatan yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan
terampil dalam melaksanakan perawatan. Beliau menetapkan struktur dasar sebagai
prasyarat dalam pendidikan perawat :
a. Mendirikan sekolah perawat
b. Menentukan tujuan pendidikan perawat
c. Menetapkan pengetahuan yang harus dimiliki para calon sebagai dasar
perawatan
Di samping itu, Florence Nightingale telah berpendapat bahwa.
a. Perlu persiapan pendidikan yang berlainan bagi perawat pelaksana dan perawat
administrator atau supervisor.
b. Perlu diperhatikan bahwa harus ada perubahan tentang jam kerja perawat yang
waktu itu berlangsung 12 jam/hari dan 7 hari/minggu.
c. Perlu diperhatikan peningkatan pendapatan perawat setiap 6 bulan, mengingat
beban dan tanggung jawab mereka.

Namun, secara menyeluruh perkembangan perawat dari zaman Florence


Nightingale sampai pecah perang dunia II dinilai sangat kecil atau hampir tidak ada
perubahan. Oleh Karena itu, masa ini sering disebut sebagai masa pemeliharaan.
6) Masa Selama Perang Dunia II
Selama perang, banyak kejadian yang merupakan tekanan bagi setiap
bangsa di dunia. Tekanan perang ini mendorong manusia mengadakan perubahanperubahan. Kemajuan teknologi dimaksudkan untuk berlomba menaklukan dunia.
Penerapan teknologi modern dalam bidang pelayanan orang sakit telah mulai
diperkenalkan waktu itu sebagai jawaban atas kebutuhan pelayanan kesehatan
akibat penderitaan sakit selama perang. Timbulnya penyakit akibat perang,
menyebabkan dibutuhkannya peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga
medis maupun perawat. Kemampuan satu bidang profesi tertentu tidak dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan waktu itu. Inipun
merupakan tantangan baru bagi perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan
bersama dengan profesi lain.
7) Masa Pasca Perang Dunia II
Akibat Perang dunia II yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi
penduduk dunia telah menggugah semua pihak untuk memperbaiki keadaan dunia.
Dasar pemikiran semula, the nurse must give total patient care dalam arti sempit
telah berkembang, dalam arti luas perawat lebih menyadari atas makna totality of
the individual client dari sebelumnya. Oleh karena itu terjadi perubahan dari
perawat bekerja sendiri menjadi bekerja team.
Dalam dekade ini telah dilancarkan perjuangan untuk pengakuan
keperawatan sebagai profesi. Lucille Brown (1948) menulis sebuah laporan tentang
pengakuan perawat sebagai profesi merupakan titik tolak yang besar untuk
kehidupan perawat dan profesi perawat. Ia memperhatikan penghargaan pada
perawat dalam kaitannya dengan tanggung jawab sebagai penyelenggara pelayanan
perawatan yang bermutu. Untuk itu disadari perlunya suatu pengelolaan pelayanan
keperwatan yang baik untuk menjamin mutu dan sekaligus tersedia alat evaluasi
keperawatan tersebut.
8) Sejak Tahun 1950
Dalam mengacu proses profesionalisme, perlu pengembangan pendidikan
keperawatan. Sebenarnya pendidikan keperawatan di tingkat universitas sudah ada
sejak tahun 1909 di Universitas Minesota Amerika. Namun, pengakuan perawat
sebagai profesi, baru terjadi tahun 1950, inipun baru pengakuan saja, belum
memnuhi karakteristik profesi.

Pendidikan perawat pada tingkat Bachelor dimulai tahun 1919. Pada


tahun 1977 telah terdapat 3830 orang lulusan master di bidang keperawatan dan
pada tahun 1972 terdapat 9 institusi yang melaksanakan program Doktor di bidang
keperawatan. Di Thailand pendidikan keperawatan pada tingkat Bachelor
dimulai tahun 1966, dan pada tingkat Master dimulai tahun 1986.
Proses keperawatan yang dimulai tahun 1950 dianggap sebagai stadium
embrio. Pada saat itu proses keperawatan belum dipahami dan juga belum bisa
diterima, tetapi sudah dilakukan sehari-hari. Baru pada tahun 1955 Lydia Hall
memberikan presentasinya tentang Perawatan adalah suatu proses. Pada
hakikatnya keperawatan menyangkut empat hal pokok yaitu :
a. Nursing at the patient
b. Nursing to the patient
c. Nursing for the patient
d. Nursing with the patient
Fase dalam proses keperawatn diidentifikasi oleh para dosen keperawatan
Universitas Katolik Amerika pada tahun 1967 meliputi : pengkajian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi.
Pengertian keperawatan menurut International Council of Nurses (ICN)
pada tahun 1973 adalah, Fungsi yang unik dari perawat adalah menolong sesorang
yang sakit atau sehat dalam usaha-usaha menjaga kesehatan atau penyembuhan
atau untuk menghadapi sakaratul maut dengan tenang, yaitu usaha yang dapat
dilakukan oleh pasien sendiri apabila dia cukup kuat, berkemampuan atau sadar
dan melakukannya sedemikian rupa sehingga si pasien dalam waktu singkat dapat
mandiri.
Untuk memperoleh pengakuan sebagai suatu profesi, menurut Taylor C, et al.
(1997) keperawatan harus memiliki:
a. Perumusan body of knowledge yang baik
b. Berorientasi pada pelayanan yang kuat
c. Pengakuan keahlian oleh sebuah kelompok profesional
d. Kode etik
e. Organisasi profesi yang menetapkan standar
f. Pengembangan diri secara terus menerus
g. Otonomi
2.1.2

Sejarah Keperawatan di Indonesia


1) Masa Sebelum Kemerdekaan
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk
pribumi yang disebut Verpleger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga
orang sakit. Mereka bekerja pada rumah sakit Binnen Hospital di Jakarta yang
didirikan pada tahun 1799 untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda.

Usaha pemerintah Belanda pada masa itu antara lain membentuk Dinas Kesehatan
Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Pendirian rumah sakit ini termasuk usaha
Deandels mendirikan rumah sakit di Semarang dan Surabaya. Karena tujuannya
hanya untuk kepentingan tentara belanda, maka tidak diikuti perkembangan
keperawatan.
Sebaliknya, Gubernur Jenderal Inggris, Raffless, sangat memperhatikan
kesehatan rakyat. Semboyannya adalah kesehatan adalah milik manusia, ia
melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk
pribumi antara lain mengadakan pencacaran umum, membenahi cara perawatan
pasien gangguan jiwa serta memperhatikan kesehatan dan perawatan para tahanan.
Setelah pemerintah kolonial kembali ke tangan Belanda, usaha-usaha
peningkatan kesehatan penduduk mengalami kemajuan. Pada tahun 1819 di Jakarta
didirikan beberapa rumah sakit, salah satu diantaranya adalah Rumah Sakit
Stadverband berlokasi di Glodok Salemba yang sekarang bernama Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat ini RSCM menjadi rumah sakit pusat rujukan
nasional dan pendidikan nasional. Pada kurun waktu 1816-1942 berdiri bebrapa
rumah sakit swasta milik Misionaris Katolik dan Zending Protestan antara lain
Rumah sakit PGI Cikini, Rumah Sakit St. Carolus Salemba, Rumah Sakit St.
Boromeus Bandung dan Rumah Sakit Elisabeth Semarang. Bersamaan dengan
berdirinya rumah sakit diatas, didirikan sekolah perawat. RS PGI Cikini tahun 1906
menyelenggarakan

pendidikan

juru

rawat,

RSCM

tahun

1912

ikut

menyelenggarakan pendidikan juru rawat. Itulah sekolah perawat pertama yang


berdiri di Indonesia meskipun baru pendidikan okupasional.
Kekalahan tentara sekutu dan kedatangan tentara Jepang tahun 1942-1945
menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami kemunduran karena pekerja
perawat pada masa Belanda dan Inggris sudah dikerjakan oleh perawat yang telah
dididik, maka pada masa Jepang tugas perawat dilakukan oleh mereka yang tidak
dididik untuk menjadi perawat.
2) Masa Setelah Kemerdekaan
(1) Periode tahun 1945-1962
Tahun 1945-1950 merupakan

periode

awal

kemerdekaan

dan

merupakan masa transisi Pemerintah Republik Indonesia sehingga dapat


dimaklumi jika masa ini boleh dikatakan tidak ada perkembangan. Demikian
pula tenaga perawat yang digunakan diunit-unit pelayanan keperawatan adalah

tenaga yang ada, pendidikan tenaga keperawatan masih meneruskan sistem


pendidikan yang telah ada (lulusan pendidikan Perawat Pemerintah Belanda).
Pendidikan keperawatan dari awal kemerdekaan sampai tahun 1953
masih berpola pada pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sebagai contoh, sampai dengan tahun 1950 pendidikan tenaga
keperawatan yang ada adalah pendidikan tenaga keperawatan dengan dasar
pendidikan umum Mulo +3 tahun untuk mendapatkan ijazah A (perawat umum)
dan ijazah B untuk perawat jiwa. Ada juga pendidikan perawat dengan dasar
sekolah rakyat +4 tahun pendidikan yang lulusannya disebut mantri juru rawat.
Baru pada tahun 1953 dibuka sekolah pengatur rawat dengan tujuan untuk
menghasilkan tenaga keperawatan yang lebih berkualitas. Namun, pendidikan
dasar umum tetap SMP yang setara dengan Mulo dengan lama pendidikan tiga
tahun. Pendidikan ini dibuka di tiga tempat (yaitu di Jakarta, di Bandung dan di
Surabaya), kecuali pendidikan perawat di Bandung, keduanya berada dalam
institusi rumah sakit.
Tahun 1955 di buka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan
pendidikan dasar umum sekolah rakyat ditambah pendidikan satu tahun dan
Sekolah Pengamat Kesehatan yaitu sebagai pengembangan SDK ditambah
pendidikan satu tahun. Ditinjau dari aspek pengembangannya sampai dengan
tahun 1955 ini tampak pengembangan keperawatan tidak berpola, baik tatanan
pendidikannya maupun pola ketenagaan yang diharapkan.
Tahun 1962 dibuka Akademi Perawatan, yaitu pendidikan tenaga
keperawatan dengan dasar pendidikan umum SMA di Jakarta, di RSUP Cipto
Mangunkusumo yang sekarang kita kenal sebagai Poltekkes Jurusan
Keperawatan Jakarta yang berada di Jalan Kimia No. 17 Jakarta Pusat.
Sekalipun sudah ada keinginan bahwa pendidikan tenaga perawat berada pada
pendidikan tinggi, namun konsep-konsep pendidikan tinggi belum tampak. Hal
ini dapat ditinjau dari kelembagaannya yang berada dalam organisasi rumah
sakit, kegiatan institusi yang belum mencerminkan konsep pendidikan tinggi
yaitu kemandirian dan pelaksanaan fungsi perguruan tinggi yang disebut Tri
Dharma Perguruan Tinggi, di samping itu Akademi Keperawatan tidak berada
dalam sistem pendidikan tinggi nasional namun, berada dalam struktur
organisasi institusi pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit. Demikian juga

penerapan kurikulumnya yang masih berorientasi pada keterampilan tindakan


dan belum dikenalkannya konsep-konsep keperawatan.
(2) Periode tahun 1963-1982
Pada masa tahun 1963 hingga 1982 tidak terlalu banyak perkembangan
di bidang keperawatan, sekalipun sudah banyak perubahan dalam pelayanan,
tempat tenaga lulusan Akademi Keperawatan banyak diminati oleh rumah
sakit-rumah sakit, khususnya rumah sakit besar.
(3) Periode tahun 1983-sekarang
Sejak adanya kesepakatan pada lokakarya nasional (Januari 1983)
tentang pengakuan dan diterimanya keperawatan sebagai suatu profesi,
dan pendidikannya berada pada pendidikan tinggi, terjadi perubahan mendasar
dalam pandangan tentang pendidikan keperawatan. Pendidikan keperawatan
bukan lagi menekankan pada penguasaan keterampilan, tetapi lebih pada
penumbuhan, pembinaan sikap dan keterampilan profesional keperawatan,
disertai dengan landasan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.
Tahun 1983 merupakan tahun kebangkitan profesi keperawatan di
Indonesia, sebagai perwujudan lokakarya tersebut di atas pada tahun 1984
diberlakukan kurikulum nasional untuk Diploma III Keperawatan.
Dari sinilah awal pengembangan profesi keperawatan Indonesia, yang
sampai saat ini masih perlu perjuangan, karena keperawatan di Indonesia sudah
diakui sebagai suatu profesi maka pelayanan atau asuhan keperawatan yang
diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan. Hal ini sejalan
dengan tuntutan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, terutama pada
pasal 32 yang berbunyi :
Ayat 3: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Ayat 4: Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Tahun 1985 dibuka Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas
Kedokteran

Universitas

Indonesia

dan

kurikulum

pendidikan

tenaga

keperawatan jenjang S1 juga disahkan.


Tahun 1992 merupakan tahun penting bagi profesi keperawatan karena
pada tahun ini secara hukum keberadaan tenaga keperawatan sebagai profesi
diakui dalam undang-undang yaitu yang dikenal dengan Undang-Undang No.

23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun


1996 tentang Tenaga Kesehatan sebagai penjabarannya.
Tahun 1995 dibuka lagi Program Studi Keperawatan di Indonesia, yaitu
di Universitas Padjajaran Bandung dan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia berubah menjadi Fakultas Keperawatan.
Tahun 1998 dibuka kembali program Keperawatan yang ketiga yaitu
Program Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kurikulum Ners disahkan, digunakannya kurikulum ini merupakan hasil
pembaharuan kurikulum S1 Keperawatan tahun 1985.
Tahun 1999 Program S1 kembali dibuka, yaitu Program Studi Ilmu
Keperawatan (PSIK) di Universitas Airlangga Surabaya, PSIK di Universitas
Brawijaya Malang, PSIK di Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, PSIK di
Universitas Sumatera Utara, PSIK di Universitas Diponegoro Jawa Tengah,
PSIK di Universitas Andalas, dan dengan SK Mendikbud No. 129/D/0/1999
dibuka juga Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) di St. Carolus Jakarta.
Pada tahun ini juga (1999) kurikulum DIII Keperwatan selesai diperbaharui dan
mulai didesiminasikan serta diberlakukan secara nasional.
Tahun 2000 diterbitkan SK Menkes No. 647 tentang Registrasi dan
Praktik Perawat sebagai regulasi praktik keperawatan sekaligus kekuatan
hukum bagi tenaga perawat dalam menjalankan praktik keperawatan secara
professional.
2.1.3 Perkembangan Pendidikan Keperawatan
Selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pendidikan keperawatan tahap
demi tahap mengalami peningkatan baik jenjang maupun mutu pendidikan. Pendidikan
keperawatan yang dahulu hanya merupakan pendidikan dasar atau menengah, kini telah
ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Variasi jenjang pendidikan keperawatan yang
ada saat ini seringkali membingungkan masyarakat, perawat, maupun para pejabat. Jenjang
utama pendidikan keperawatan di Indonesia saat ini adalah Sekolah Perawat Kesehatan,
Akademi atau Pendidikan Ahli Madya Keperawatan/Politeknik Kesehatan dengan tiga
tahun program diploma keperawatan, dan Program strata satu keperawatan dan program
S2 yang terkait dengan keperawatan.
Pendidikan tenaga keperawatan di Indonesia secara umum bertujuan untuk menyediakan
tenaga kesehatan dalam jumlah dan jenis yang sesuai, yang memiliki cirri-ciri berbudi
luhur, tangguh, serdas, terampil, mandiri, memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras,

10

produktif, kreatif, inovatif, disiplin, serta berorientasi ke masa depan sesuai dengan asas
profesionalismenya masing-masing (Pusdiknakes, 2001).
Walaupun jumlah perawat dari pendidikan tinggi telah meningkat, namun kita perlu
mencatat bahwa sebagian besar perawat berlatar belakang pendidikan menengah. Jumlah
perawat di Indonesia menurut data dari Depkes RI (Republika, 2004) adalah sekitar 180
ribu orang dengan latar belakang pendidikan: 76,65 persen lulusan Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK), 22 persen perawat lulusan D3 Keperawatan, dan 2,35 persen lulusan S1. Jumlah bidan adalah sekitar 70.600 orang dan 98 persen di antaranya adalah lulusan
Program Pendidikan Bidan.
Perkembangan pendidikan keperawatan pada saat ini dipengaruhi berbagai faktor nasional
maupun internasional. Dari kaca mata nasional, situasi politik di tanah air dan kesadaran
masyarakat terhadap hak-haknya telah memicu reformasi di berbagai bidang termasuk
pendidikan. Maraknya ide desentralisasi/otonomi daerah juga telah memengaruhi
bagaimana pengelolaan pendidikan keperawatan dan penempatan kerja lulusan harus
diselenggarakan. Sementara tantangan dari kaca mat internasional telah mendorong
kesadaran kita dalam upaya menyiapkan tenaga keperawatan yang handal dengan
kompetisi global. Untuk ini undang-undang harus disesuaikan di antaranya undang-undang
tentang registrasi dan praktik keperawatan dan penyesuaian pendidikan sesuai dengan
sistem pendidikan nasional yang baru (Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003).
Bagian berikut akan membahas jenis pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia, yaitu:
Sekolah Perawat Kesehatan, Pendidikan Ahli Madya Keperawatan (Politeknik Kesehatan),
Program Sarjana, dan Pasca- Sarjana Keperawatan.
1) Sekolah Perawat Kesehatan
Dari beberapa jenis jenjang pendidikan keperawatan, Sekolah Perawat Kesehatan
(SPK) merupakan institusi yang telah menyumbang tenaga keperawatan dalam jumlah
paling besar. Ini karena mayoritas pendidikan keperawatan di Indonesia pada saat
didirikan adalah SPK. SPK sebelumnya bernama SPR (Sekolah Pengatur Rawat) yang
mulai dirintis pada tahun 1960. Pada tahun yang sama juga mulai didirikan pendidikan
dengan jenjang lebih tinggi, yaitu akademi perawatan yang saat ini menawarkan
program diploma tiga keperawatan.
Dasar pendidikan keperawatan pada awal kemerdekaan adalah sekolah dasar ditambah
keperawatan yang lamanya bervariasi. Kemudian pada tahun 1960 mulai
dikembangkan Sekolah Perawat Kesehatan (SPR) dengan latar belakang pendidikan
SMP yang sekarang ini bernama SPK (Jahmono, 1993). Tujuan pendidikan SPK adalah

11

meluluskan perawat kesehatan yng mampu sebagai pelaksana maupun pengelola


keperawatan. Lama pendidikan dirancang tiga tahun. Pada masa tersebut pendirian
SPK merupakan jawaban tepat bagi pemerintah untuk mencukupi kebutuhan jumlah
tenaga keperawatan. Karena kebutuhan tenaga keperawatan masih sangat dibutuhkan,
lulusan SPK rata-rata tidak mengalami kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Hal ini
yang menyebabkan salah satu animo untuk mendaftarkan diri ke SPK cukup besar
pada masa itu.
Permasalahan kesehatan lain kemudian muncul, tidak saja upaya untuk memenuhi
tenaga keperawatan, tetapi juga penyediaan tenaga bidan. Untuk mencukupi tenaga
bidan, pemerintah menyelenggarakan program pendidikan bidan satu tahun yang
pesertanya diambil dari lulusan SPK. Penyelenggaraan ini diharapkan dapat
menghasilkan tenaga bidan untuk ditempatkan di desa-desa (bidan desa).
Sistem Kesehatan Nasional (2004) menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan
vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertama adalah institusi pendidikan tenaga
kesehatan yang telah diakreditasi oleh asosiasi institusi pendidikan kesehatan yang
bersangkutan. Penyelenggaraan pendidikan profesi tingkat lanjutan adalah institusi
pendidikan (university based) dan institusi pelayanan kesehatan (hospital based) yang
diakreditasi oleh kolegium profesi yang bersangkutan.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003)
dijelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan akademik, profesi dan vokasi yang
semuanya diselenggarakan melalui pendidikan tinggi. Bila dilihat dari pernyataan
dalam Sistem Pendidikan Nasional, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan SPK
sudah tidak sesuai lagi.
Adanya tuntutan bahwa perawat harus dipersiapkan melalui pendidikan tinggi seperti
tercantum dalam SKN yang lama dan yang baru (diatas) telah lama ditanggapi antara
lain dengan mengonversikan SPK menjadi jenjang pendidikan diploma tiga dan
menunjuk AKPER yang melaksanakan program ini (Nugroho Imam Santosa, 1992)
dan dengan memberi kesempatan kepada perawat lulusan SPK untuk melanjutkan
pendidikannya tanpa harus meninggalkan pekerjaannya. Namun, seperti diakui oleh
beberapa pengelola dari Pusdiknakes bahwa daya serap upaya ini masih mengalami
kendala.
2) Program Diploma Tiga Keperawatan
Penyelenggaraan program diploma tiga keperawatan merupakan salah satu upaya
antisipasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan. Program ini pertama-tama
diselenggarakan pada tahun 1960-an, yaitu dengan berdirinya Akper Bandung.

12

Persyaratan peserta adalah lulusan SMU atau lulusan SPR/SPK yang sudah bekerja.
Tahun demi tahun pendirian Akper semakin berkembang dan untuk saat ini institusi
pendidikan ini dapat ditemukan di setiap provinsi. Seperti halnya SPK, secara
administrative program diploma tiga dibawah koordinasi Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan, Departemen Kesehatan. Pada beberapa tahun lalu, kurikulum program
diploma tiga adalah kurikulum inti yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, kurikulum yang disusun telah dikembangkan dengan Community
Oriented Nursing Education atau pendidikan keperawatan yang berorientasi kepada
masyarakat.
Tujuan dari program diploma tiga keperawatan adalah menghasilkan tenaga perawat
professional pemula yang mendapat sebutan ahli madya keperawatan yang merupakan
manajer menengah dalam keperawatan yang diharapkan mampu sebagai pelaksana,
pengelola, pendidik, dan partisipasi aktif dalam penelitian ilmiah. Peserta yang
mengikuti program diploma terdiri dari peserta umum (lulusan SMU) dan peserta
lulusan SPK. Untuk meningkatkan karier, para lulusan diploma setelah memenuhi
persyaratan tertentu dapat melanjutkan ke program sarjana keperawatan.
Adanya berbagai pendidikan kesehatan yang menawarkan berbagai program di
lingkungan Depkes telah dinilai tidak efisien sehingga pada pertengahan tahun 1990an. Departemen Kesehatan mulai mengembangkan system Multy-stream academy
dengan berbagai institusi pendidikan dalam dalam lingkungan atau lokasi yang sama
dipadukan menjadi pendidikan satu atap. Untuk mengadakan pengkajian/pendataan
secara lebih mendalam, Departemen Kesehatan bekerja sama dengan P4D Departemen
Pendidikan Nasional pada tahun 1999-2000. Hasil dari pendataan ini dijadikan
landasan untuk mengembangkan sistem pengelolaan akademi-akademi kesehatan
menjadi politeknik kesehatan. Pembentukan politeknik kesehatan dikukuhkan dengan
diterbitkannya Keputusan dari Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Nomor
298/Menkes-Kesos/SK/IV/2001 (Pusdiknakes, 2004).
Dalam keputusan Menkes Dan Kesejahteraan Sosial RI di atas dijelaskan bahwa
pelaksanaan teknis institusi pendidikan ini tetap di bawah Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial dan pimpinan institusi adalah direktur yang secara administratif
bertanggung jawab kepada Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial. Program yang dapat diselenggarakan adalah program diploma
I,II, III dan IV.
3) Program S1 dan Pendidikan Keperawatan Lebih Tinggi

13

Pendidikan pada tahap ini bersifat pendidikan akademik profesional (pendidikan


keprofesian), menekankan pada penguasaan landasan keilmuan, yaitu ilmu
keperawatan dan ilmu-ilmu penunjang, penumbuhan serta pembinaan sikap dan
keterampilan profesional dalam keperawatan. Pada jenjang pendidikan ini,
menghasilkan perawat generalis, terdapat dua tahap program, yaitu tahap program
akademik yang pada akhir pendidikan mendapat gelar akademik Sarjana Keperawatan
(S.Kep.) dan tahap program keprofesian yang pada akhir pendidikan mendapat sebutan
profesi Ners (Ns).
Penyelenggaraan program sarjana keperawatan pada awalnya merupakan perwujudan
dari Peraturan Pemerintah No. 27/1991, SK Mendikbud No. 0211/V/1982 dan
0212/U/1982 serta Direktorat Pendidikan Tinggi No. 048/DJ/Kep/1982, yang
menyatakan tentang Pendidikan Tinggi. Penyelenggaraan ini juga sesuai dengan hasil
salah satu lokakarya nasional, yaitu di bulan Januari 1983 yang menghasilkan
consensus nasional tentang perawat sebagai profesi, sehingga tenaga keperawatan
harus disiapkan melalui pendidikan tinggi.
Program Strata 1 atau Sarjana Keperawatan mulai diselenggarakan pada tahun 1985
oleh Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
yang sejak tahun 1995 menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK UI) berdasarkan SK
Mendikbud RI No. 0332/0/1995 (FIK-UI, 2005). Karena kebutuhan tenaga
keperawatan dari lulusan pendidikan tinggi yang mendesak, kemudian program S1
Keperawatan juga diselenggarakan oleh berbagai universitas yang lain, misalnya
Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998 mendirikan Program Studi Ilmu
keperawatan. Salah satu kelebihan dari PSIK UGM adalah digunakannya Problem
Based Learning sebagai metode pembelajaran. Tidak lama kemudian diselenggarakan
program serupa di Universitas Airlangga yang pendiriannya berdasarkan SK Dirjen
Dikti No. 122/Dikti/Kep/1999 tanggal 7 April 1999. Untuk saat ini beberapa
universitas dan juga Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan telah menawarkan program S1
Keperawatan.
Beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan dari penyelenggaraan pendidikan
tingkat sarjana keperawatan adalah bagaimana kita secara tepat mampu mengelola
sumber daya tenaga tingkat sarjana ini setelah mereka menyelesaikan pendidikannya
dan hal yang lain adalah bagaimana kita meningkatkan dan mempertahankan mutu
pendidikan dan penelitian.
Untuk mencetak perawat dengan kemampuan kepemimpinan, manajerial dan
penelitian yang andal,, Universitas Indonesia melalui Program Studi Magister Ilmu

14

keperawatan juga telah menawarkan Program S2 dengan kekhususan kepemimpinan


dan manajemen keperawatan. Lama program ini adalah dua tahun (empat semester). Di
masa mendatang kita berharap bahwa universitas di tanah air juga mampu
menyelenggarakan program S2 keperawatan ini dengan berbagai peminatan termasuk
peminatan klinis guna menyiapkan perawat dengan kompetensi klinis tingkat tinggi
(advanced nursing practice) dan perawat peneliti melalui program S3 keperawatan.
4) Pendidikan Spesialis Bidang Keperawatan
Dalam memenuhi atau menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat dan pembangunan
kesehatan di masa depan, dan bertolak pada pandangan bahwa setiap saat dan tahap
pengembangan perlu diupayakan untuk meningkatkan relevasi dan mutu asuhan
keperawatan kepada masyarakat, maka dikembangkan pendidikan keperawatan pada
jenjang spesialis. Pendidikan jenjang ini lebih merupakan pendidikan yang
memperdalam pengetahuan dan keterampilan keprofesian. Sifat memperdalam ilmu
pengetahuan keperawatan, walaupun lebih mengutamakan ilmu keperawatan klinik,
namun tidak dapat dipisahkan sepenuhnya dengan perkembangan kelompok-kelompok
ilmu dasar dan penunjang, termasuk ilmu dasar keperawatan.
Jenis pendidikan pada jenjang pendidikan ini didasarkan pada tuntutan kebutuhan
pelayanan keperawatan, dan perkembangan ilmu keperawatan, khususnya keperawatan
klinis. Dalam pengembangan jenjang pendidikan ini dicegah terjadinya fragmentasi
yang berlebihan yang dapat merugikan masyarakat dan perkembangan profesi
keperawatan. Penetapan jenis spesialisasi seyogyanya dilakukan secara bersama-sama
oleh pihak yang bertanggung jawab terhadap pengembangan pendidikan tinggi
keperawatan, pelayanan keperawatan dan kesehatan, serta organisasi profesi
keperawatan.
Program Pendidikan Spesialis bidang keperawatan yang ada saat ini adalah program
pendidikan spesialis maternitas dan kedepan akan dikembangkan program spesialis
lain sesuai dengan kebutuhan.
5) Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan
Perawat diwajibkan mempertahankan kemampuannya dalam menjalankan asuhan
keperawatan yang bermutu tinggi sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan
terbaru, menyesuaikan dengan perubahan peran dan fungsi sesuai dengan kewenangan
keperawatan, mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru dan memodifikasi
perilaku dan pemahaman profesionalismenya. Untuk itu, setiap perawat yang masih
aktif menjalankan tugasnya harus senantiasa mempertahankan dan meningkatkan
kemampuannya antara lain dengan mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan.

15

Pendidikan keperawatan berkelanjutan pada prinsipnya tidak selalu harus ditempuh


dengan pendidikan formal, tetapi dapat pula ditempuh dengan mengikuti kursus jangka
pendek atau pelatihan yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan tinggi atau
belajar mandiri/informal dengan mengikuti berbagai kesempatan yang diberikan oleh
organisasi profesi atau badan lain yang berwenang.
Dalam SK Menkes No. 674/Menkes/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000 tentang
registrasi dan praktik keperawatan, dinyatakan dengan jelas bahwa setiap perawat
diwajibkan selalu meningkatkan kemampuan keilmuwan dan/keterampilan bidang
keperawatan melalui pendidikan dan/atau pelatihan; baik diselenggarakan oleh
pemerintah maupun organisai profesi.
Di masa mendatang kita berharap

bahwa

pendidikan

keperawatan

berkelanjutan/pelatihan bagi perawat akan dapat ditata secara lebih terkendali dan
terencana dan tidak dijalankan hanya secara sporadik dan secara kebetulan. Tidak
berlebihan bila untuk sekedar gambaran, penatalaksanaan pendidikan keperawatan
berkelanjutan

di

Inggris

sudah

banyak

ditawarkan

sebagian

besar

oleh

universitas/college bagi yang ingin mengikuti jalur formal baik berupa study days
ataupun mengikuti modul-modul tertentu. Mereka tidak dapat menghindar dari
kegiatan ini, karena seperti yang dipersyaratkan oleh NMC (the Nursing and
Midwifery Council), perawat tidak dapat memperpanjang surat izin praktiknya bila
tidak ada bukti bahwa mereka telah cukup mengikuti pendidikan keperawatan
berkelanjutan. Perawat juga dapat mengikuti pendidikan berkelanjutan dengan cara
belajar mandiri dari paket-paket yang terakreditasi yang ditawarkan oleh RCN (The
Royal College of Nurses). Banyak perawat yang mengambil modul ini dalam rangka
untuk mendapatkan ijazah S1-nya melalui degree pathways tetapi banyak juga yang
hanya mengambil modul tanpa ingin memperoleh ijazah S1. Tentu saja hal-hal seperti
ini membutuhkan kebijakan dan perangkat yang memadai. Barangkali gagasan seperti
ini dapat kita terapkan di Indonesia, sehingga perawat kita dapat meningkatkan
ilmunya sementara mereka masih tetap dapat bekerja, sehingga institusi pelayanan
tidak dirugikan dan kesejahteraan keluarga bagi perawat juga dapat dipertahankan
karena mereka tidak perlu meninggalkan keluarga mereka. Terlepas dari jenjang
pendidikan yang ditawarkan, sepertinya ada beberapa hal umum yang dihadapi oleh
semua pendidikan keperawatan baik menengah atau tinggi. Hal ini antara lain
disebabkan oleh berbagai perubahan sosial dan politik yang sama di tanah air kita.

16

Berbagai persoalan yang kiranya dapat kita pakai sebagai bahan kajian kita bersama
adalah:
(1) Upaya dalam mempertahankan mutu pendidikan keperawatan. Dalam 15 tahun
terakhir, jumlah institusi pendidikan keperawatan di Indonesia meningkat dengan
cepat dan sering kali hal ini menyulitkan kita untuk mengendalikan dan
mempertahankan mutu pendidikan. Walaupun sudah ada sistem akreditasi bagi
institusi pendidikan kesehatan, namun upaya ini dirasa masih jauh dari yang kita
harapkan.
(2) Arah dan kurikulum pendidikan keperawatan. Dalam situasi global saat ini, kita
berharap dapat mencetak tenaga keperawatan yang berkompetensi tinggi. Namun
dampaknya, arah pendidikan sering kali menjadi kabur dan muatan kurikulum
menjadi tidak jelas. Kurikulum seharusnya disusun dengan mendasarkan isi
program pendidikan secara seimbang untuk memenuhi kebutuhan setempat
(provinsi/daerah), nasional dan nternasional.
(3) Kesempatan untuk mengikuti pelatihan/pendidikan semakin meningkat secara
umum, namun tidak semua perawat dapat mengakses kesempatan ini karena
berbagai faktor antara lain persyaratan administratif, cara pengusulan, batasan usia
dan pembatasan jumlah peserta yang dapat diterima serta keterbatasan dana dan
komitmen dengan keluarga.
(4) Keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitas klinik. Jumlah doktor dan master
keperawatan masih sangat terbatas untuk kebutuhan pengajaran program sarjana
keperawatan. Di pengajaran jenjang diploma, penyediaan jumlah tenaga pengajar
dengan kualifikasi master (S2) dan sarjana keperawatan belum memadai. Hal ini
juga terjadi di jenjang pendidikan SPK. Selain keterbatasan tenaga pengajar,
sumber fasilitas pendidikan belum juga memadai seperti lahan praktik, peralatan
laboratorium, dan buku-buku keperawatan dan akses mahasiswa dalam
menggunakan sarana elektronik (mis., jurnal-jurnal keperawatan).
(5) Siswa/mahasiswa keperawatan semakin dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum, membuat aturan/kebijakan dan evaluasi program. Upaya ini walau
nampaknya berjalan lambat tetapi tetap mendapat perhatian. Perubahan sosial dan
kedewasaan mahasiswa, dengan tuntutan mereka untuk mempunyai bagian dalam
program pendidikan menyebabkan beberapa mahasiswa ikut aktif dalam
pengendalian pengajaran maupun administratif.
2.1.4 Perkembangan Teori Keperawatan

17

Perkembangan sistematik dari keperawatan menuju kepada keperawatan sebagai


profesi, bermula dari pandangan dan pernyataan dari Florence Nightingale yang
mempunyai visi yang sangat maju tentang keperawatan. Dalam perkembangan teori
keperawatan selanjutnya, muncul nama-nama besar ilmuwan keperawatan yang
memberikan sumbangan yang sangat bermakna dalam perkembangan keperawatan.
1) Hildegard E. Peplau (1952)
Teori yang dikembangkannya, yaitu keperawatan psikodinamik (psychodynamic
nursing), sangat dipengaruhi oleh model hubungan interpersonal, khususnya model
psikoanalitik. Ia melihat bahwa keperawatan adalah suatu proses interpersonal yang
bersifat terapeutik (significant therapeutic interpersonal process).
Menurut Peplau, keperawatan adalah therapeutic yang mempunyai seni penyembuhan
dalam membantu orang yang sakit atau orang yang membutuhkan perawatan
kesehatan. Keperawatan dapat dianggap sebagai proses interpersonal sebab melibatkan
interaksi antara 2 atau lebih individu dengan tujuan tertentu.
Peplau mengenali 4 fase dalam hubungan interpersonal perawat-klien yang meliputi :
(1) Fase orientasi
Fokusnya adalah fase menentukan atau menemukan masalah. Pertama kali perawat
dan pasien bertemu masih sebagai orang yang asing satu sama lain, pasien dan
keluarganya memiliki perasaan butuh bantuan profesional walaupun kebutuhan ini
kadang-kadang tidak dapat dikenali atau dimengerti oleh mereka. Pada fase ini
paling penting adalah perawat bekerja sama secara kolaborasi dengan pasien dan
keluarganya dalam menganalisis situasi yang kemudian bersama-sama mengenali,
memperjelas dan menentukan masalah yang ada. Setelah masalahnya diketahui,
diambil keputusan bersama untuk menentukan tipe/jenis bantuan apa yang
diperlukan. Perawat sebagai fasilitator dapat merujuk klien ke ahli lain sesuai
dengan kebutuhan.
(2) Fase identifikasi
Fase ini fokusnya memilih bantuan profesional yang sesuai. Pada fase ini pasien
merespon secara selektif ke orang-orang yang dapat memenuhi kebutuhannya,
setiap pasien mempunyai respons berbeda-beda pada fase ini. Respons pasien
terhadap keperawatan adalah :
a. Berpartisipasi dan interdependen dengan perawat,
b. Otonomi dan independen dari perawat,
c. Pasif dan dependen pada perawat.
(3) Fase ekploitasi
Fase ini fokusnya adalah menggunakan bantuan profesional untuk alternatif
pemecahan masalah. Pelayanan yang diberikan berdasarkan minat dan kebutuhan
dari pasien, pasien mulai merasa sebagai bagian integral dari lingkungan

18

pelayanan. Pada fase ini pasien mulai menerima informasi-informasi yang


diberikan padanya tentang penyembuhannya, mungkin berdiskusi atau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan pada perawat, mendengarkan penjelasan-penjelasan dari
perawat, mendengarkan penjelasan-penjelasan dari perawat dan sebagainya.
(4) Fase resolusi
Fokusnya adalah mengakhiri hubungan profesional. Pasien dan perawat dalam fase
ini perlu untuk mengakhiri hubungan therapeutik mereka.
2) Florence Nightingale (1959)
Nightingale sebagai pioner era modern dalam pengembangan keperawatan,
mengembangkan teori keperawatan yang sangat dipengaruhi oleh pandangan
filosofinya tentang interaksi manusia/klien dengan lingkungannya. Ia melihat penyakit
sebagai proses pergantian atau perbaikan (reparative process). Upaya membantu
proses perbaikan atau pergantian tersebut dapat dilakukan dengan mengadakan
manipulasi lingkungan eksternal. Manusia mempunyai kemampuan alamiah terhadap
proses penyembuhan.
3) Faye G. Abdellah (1960)
Abdella mendefinisikan keperawatan (nursing) sebagai pelayanan kepada individu dan
keluarga serta masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang
membentuk/menciptakan sikap dan kemampuan intelektual serta keterampilan teknik
dari individu sehingga mempunyai keinginan yang dalam dan kemampuan untuk
menolong manusia, baik sakit maupun sehat agar mampu menangani kebutuhan
kesehatan.
4) Ida Jean Orlando (1961)
Ia menggunakan hubungan interpersonal sebagai landasan teorinya. Perhatian
utamanya adalah sifat unik dari setiap individu/klien, yaitu ekpresi klien, baik verbal
maupun nonverbal, menunjukkan/mengisyaratkan kebutuhan. Kegiatan atau tindakan
keperawatan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien. Teori keperawatan dari
Orlando yang dikenal sebagai disciplined professional respons theory, menekankan
pada hubungan timbal balik (reciprocal relationship) antara perawat dan pasien.
5) Ernestine Wiedenbach (1964)
Perhatian utamanya adalah aspek kiat atau aspek praktik dari keperawatan. Menurut
Wiedenbach keperawatan klinik (clinical nursing) mempunyai empat komponen, yaitu
filsafat (philosophy), kemanfaatan/kegunaan (purpose), praktik, dan kiat (art).
Pandangan ini yang melandasi pendapatnya bahwa pada praktik keperawatan terdapat
tiga komponen, yaitu:
(1) Mengidentifikasi kebutuhan klien/pasien;
(2) Melaksnakan bantuan yang diperlukan; dan

19

(3) Mengevaluasi dan menyatakan (mensahkan) bahwa bantuan yang diberikan


memang bermanfaat.
Teori keperawatan dari Wiedenbach ini kemudian dikenal sebagai the helping art of
clinical nursing.
6) Virginia Henderson (1966)
Teori Henderson berfokus pada individu yang berdasarkan pandangannya, yaitu bahwa
jasmani (body) dan rohani (mind) tidak dapat dipisahkan. Menurut pendapat
Henderson, manusia adalah unik dan tidak ada dua manusia yang sama. Kebutuhan
dasar individu tercermin dalam 14 komponen dari asuhan keperawatan dasar (basic
nursing care).
Virginia Henderson (1966) mengidentifikasi 14 komponen dalam asuhan keperawatan
dasar (basic nursing care) pada tingkat asuhan individual, mengacu kepada aktivitas
dalam kehidupan sehari-hari dari seseorang; perawat membantunya dengan fungsifungsi ini, atau membuat kondisi sehingga memungkinkan ia melakukan hal-hal
berikut ini :
(1) Bernafas normal
(2) Minum dan makan secukupnya/adekuat
(3) Eliminasi melalui berbagai cara eliminasi
(4) Bergerak dan menjaga sikap/memelihara postur tubuh yang menyenangkan
(berjalan, duduk, berbaring, dan bertukar dari suatu posisi ke posisi lain)
(5) Tidur dan istirahat
(6) Memilih pakaian yang sesuai, berpakaian dan tidak berpakaian
(7) Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal melalui penyesuaian pakaian dan
memodifikasi lingkungan
(8) Menjaga tubuh bersih, terawat baik, dan melindungi kulit
(9) Menghindari bahaya di lingkungan dan menghindari membahayakan orang lain
(10)Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi, kebutuhan,
kecemasan, dan lain sebagainya.
(11) Mengerjakan sesuatu yang memberikan perasaan menyelesaikan sesuatu (sense of
accopmlishment)
(12) Melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya
(13) Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi
(14) Belajar menemukan atau memenuhi rasa ingin tahu yang menuju kepada
pertumbuhan normal dan sehat.
7) Mira Estrin Levine (1967)
Levine melihat individu sebagai makhluk utuh (holistic beings) yang memiliki
kemampuan merespons secara organismik sebagai upaya mengadaptasi diri terhadap
lingkungan. Menurut pandangannya, intervensi keperawatan adalah bantuan terhadap

20

klien secara holistik dan merupakan pusat kegiatan keperawatan, mempercepat proses
adaptasi yang turut berperan dalam proses penyembuhan dan pemulihan kesehatan.
Pada tahun 1973 ia mengemukakan 4 prinsip konservasi (conservation principles),
yaitu:
a. Conservation of energy,
b. Conservation of structural integrity,
c. Conservation of personal integrity, dan
d. Conservation of social integrity.
8) Martha E. Roger (1970)
Dasar teori Roger adalah ilmu tentang asal usul manusia dan alam semesta seperti
antropologi, sosiologi, agama, filosofi, perkembangan sejarah dan mitologi. Teori
Roger berfokus pada proses kehidupan manusia secara utuh. Ilmu keperawatan adalah
ilmu yang mempelajari manusia, alam dan perkembangan manusia secara langsung.
Lima asumsi yang mendasari teori Roger, adalah sebagai berikut :
a. Manusia adalah kesatuan yang utuh, masing-masing mempunyai sifat dan karakter
yang berbeda serta mempunyai proses hidup yang dinamis.
b. Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan; manusia adalah sistem terbuka, ia
akan memengaruhi dan dipengaruhi lingkungan sekitarnya.
c. Proses kehidupan manusia berjalan lambat, tidak dapat diubah dan tidak terarah,
jalan hidup tiap individu berbeda.
d. Identitas individu merupakan gambaran dari seluruh proses kehidupannya sehingga
perkembangan manusia dapat dilihat dari tingkah lakunya.
e. Manusia diciptakan dengan karakteristik dan keunikan tersendiri.
9) Dorothea E. Orem (1971)
Orem melihat individu suatu kesatuan utuh yang terdiri atas suatu yang bersifat fisik,
psikologik dan sosial, dengan derajat kemampuan mengasuh diri sendiri (self care
ability) yang berbeda-beda. Berdasarkan pandangan ini, ia berpendapat bahwa kegiatan
atau tindakan keperawatan ditujukan kepada upaya memacu kemampuan mengasuh
diri sendiri. Ia menyatakan bahwa teorinya, yaitu self-care deficit theory of nursing,
merupakan teori umum (general theory).
Pada teori, ia menggambarkan kapan keperawatan diperlukan, keperawatan diberikan
jika :
a. Kemampuan kurang dibandingkan dengan kebutuhan,
b. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan, tetapi diprediksi untuk masa yang akan
datang kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
Lima metode bantuan menurut Orem :
a. Bertindak untuk orang lain
b. Membimbing
c. Memberikan dukungan fisik maupun psikis
d. Menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan personal dalam
memenuhi kebutuhan saat ini dan yang akan datang

21

e. Mengajarkan
10) Imogene F. King (1971)
King memandang bahwa klien/pasien sebagai sistem perorangan (personal system) di
dalam lingkungan, sebagai makhluk yang mempunyai daya bereaksi (reacting beings),
makhluk yang berorientasi pada waktu (time-oriented beings), dan makhluk sosial
(social beings) yang mempunyai kemampuan untuk mempersepsikan berpikir,
memilih, menetapkan tujuan, dan memiliki kegiatan untuk mencapai tujuan, serta
membuat keputusan. Keperawatan dilihat sebagai aksi, reaksi, interaksi dan transaksi
dari proses interpersonal. King mendefinisikan keperawatan sebagai proses interaksi
manusia (process of human interactions) antara perawat dan klien yang berkomunikasi
untuk menentukan tujuan, mengeksplorasi sumber yang diperlukan untuk mencapai
tujuan, mengeksplorasi sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan, serta
menyepakati sumber-sumber yang digunakan dalam mencapai tujuan. Teori King
dikenal sebagai theory of goal attainment.
11) Betty Newman (1972)
Newman mengemukakan model sistem (system model) dalam pendidikan dan praktik
keperawatan. Newman menggunakan pendekatan manusia utuh (total person
approach), dengan memasukkan konsep holistik, pendekatan sistem terbuka (open
system), dan konsep stressor.
Model ini menganalisis interaksi empat variabel penunjang komunitas yang meliputi
fisik, psikologi, sosial kultural dan spiritual. Adapun tujuan keperawatan adalah
stabilitas klien dan keluarga dalam lingkungan yang dinamis.
Empat konsep mayor dari teori newman :
a. Manusia. Manusia merupakan suatu sistem terbuka yang selalu mencari
keseimbangan yang harmoni dan merupakan satu kesatuan dari variable-variabel
fisiologis, psikologis, sosiokultural, perkembangan, dan spiritual.
b. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kekuatan, baik internal dan eksternal yang
dapat memengaruhi hidup dan perkembangan klien atau sistem klien.
c. Keperawatan. Secara umum, keperawatan merupakan profesi yang unik, mencakup
tentang respons manusia terhadap stresor yang merupakan konsep yang utama
untuk mencapai stabilitas pasien. Newman mendefinisikan parameter dari
keperawatan adalah individu, keluarga dan kelompok dalam mempertahankan
tingkat yang maksimal dari sehat dengan intervensi untuk menghilangkan stres dan
menciptakan kondisi yang optimal bagi pasien intervensi keperawatan bertujuan
untuk menurunkan stresor melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
d. Kesehatan. Kesehatan adalah keadaan yang adekuat dalam suatu sistem stabilitas
yang merupakan keadaan yang baik. Sehat adalah kondisi terbebasnya dari

22

gangguan pemenuhan kebutuhan dan sehat merupakan keseimbangan yang dinamis


sebagai dampak dari keberhasilan menghindari atau mengatasi stresor.
12) Faye G. Abdellah (1973)
Kontribusi Abdellah dalam teori keperawatan adalah pemanfaatan secara sistematik
dari data riset dalam merumuskan dan memfasilitasi 21 masalah keperawatan. Model
keperawatannya berdasarkan metode pemecahan masalah.
13) Sister Callista Roy (1976)
Roy memandang individu sebagai makhluk bio-psiko-sosial yang harus dilihat sebagai
suatu kesatuan utuh yang secara terus menerus berinteraksi dengan lingkungan,
berespons terhadap lingkungan, dan beradaptasi dengan lingkungan. Keperawatan
dilihat sebagai kegiatan atau tindakan yang ditujukan pada upaya menghilangkan
stimuli dan memacu kemampuan adaptasi dari individu. Model keperawatan yang
dikembangkannya selanjutnya dikenal sebagai adaptation model.
14) Madeleine Leiniger (1981)
Leiniger menekankan bahwa mengasuh (caring) adalah tema sentral dari asuhan
keperawatan, serta pengetahuan dan praktik keperawatan. Teorinya tentang
keperawatan berdasarkan antropologi, adalah teori keperawatan lintas-budaya
(Transcultural care theory) yang menekankan bahwa perilaku, nilai dan keyakinan
individual dan kelompok berdasarkan kebutuhan kulturalnya harus diperhatikan, agar
asuhan keperawatan yang diberikan kepadanya efektif dan memuaskan.
Dari uraian sepintas di atas digambarkan teori dalam keperawatan yang terjadi dengan
pesat. Dan hal ini akan terus berlangsung, bahkan mungkin dalam kecepatan yang
lebih tinggi, mengingat bahwa perkembangan ilmu-ilmu yang menopang ilmu
keperawatan juga berkembang dengan pesat.
2.1.5 Perawat Ke Arah Individu
1) Praktik Keperawatan Mandiri
Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan adalah tindakan
mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang bersifat kolaboratif baik
dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam upaya memberikan asuhan keperawatan
yang holistic sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan,
termasuk praktik keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik
yang mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan pengetahuan
teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu keperawatan sebagai

23

landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai pendekatan dalam melakukan


asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS, 2002).
2) Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri
Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru diupayakan
pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga dan masyarakat,
perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.
Praktik keperawatan meliputi lima area yang terkait dengan kesehatan (kozier & Erb,
1999), yaitu :
(1) Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan. Kesadaran diri
klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan penggunaan semua sumber
yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang di berikan oleh perawat. Peningkatan
kesehatan membantu masyarakat dalam mengembangkan sumber untuk memelihara
atau meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin
diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus peningkatan
kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan umum individu
keluarga dan komunitas.
(2) Pencegahan penyakit
Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko penyakit,
untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk mempertahankan
fungsi individu secara optimal.
(3) Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)
Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan yang membantu
klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat melakukan
aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status kesehatannya.
(4) Pemulihan kesehatan (Health Restoration)

24

Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan kesehatan


setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.
(5) Perawatan pasien menjelang ajal
Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa nyaman dan
merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat dilakukan di rumah
sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.
3) Unsur - Unsur Praktik Keperawatan Mandiri
Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu merespon
terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-kebutuhan
perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996), unsur-unsur inti
keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :
(1) Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya meliputi
pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status kesehatan setiap saat
bekerjasama dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Perawatan mengkaji
kesehatan klien, mendeteksi penyakit yang akut atau kronis, melakukan penelitian
dan menginterpretasikannya, memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang
cocok, dan melakukan semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring.
Perawat harus bisa memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus
dirujuk ke profesi lain.
(2) Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung jawab
terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor kemampuan
sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi pekerjaan-pekerjaan
personil yang kurang terampil dan berkonsultasi dengan orang yang tepat. Karena
ruang

lingkup

dan

kompleksitas

praktik

keperawatan

maka

diperlukan

keterampilan-keterampilan dan pemecahan masalah, berfikir kritis serta bertinfak


etis dan legal terhadap kualitas pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.
(3) Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting dalam
praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana penyembuhan,
memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan klien melalui asuhan

25

keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin partisipasi penuh dari klien


dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan treatmen dan asuhan yang diberikan.
Perawat memberikan informasi penting mengenai proses penyakit, gejalagejalanya, dan efek samping pengobatan.
(4) Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat mengenai
masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam keperawatan.
(5) Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat berpartisipasi
dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan, ini termasuk
menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan staf, menghadapi
birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik, dan mendapatkan asuhan
spesialis untuk pasien. Perawat bekerja intersektoral dengan rumah sakit,
puskesmas, institusi pelayanan kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan
harus mempengaruhi strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional
maupun internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian
dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada semua
level.
4) Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)
Di beberapa negara maju, home care (perawatan di rumah), bukan merupakan
konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon sejak tahun 1859
yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke
rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit.
Dari beberapa literatur pengertian home care adalah perawatan di rumah merupakan
lanjutan asuhan keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana
pemulangan (discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah
sakit semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan
khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam
pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun oleh PPNI
dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasien
individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan, disediakan oleh pemberi
pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan di rumah melalui staf atau
pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).

26

Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.


Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan perinatal,
asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan keperawatan dewasa,
dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan jiwa dilaksanakan sesuai
dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya. Keperawatan yang dapat
dilakukan dengan :
(1) Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian biopsiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung, melakukan
observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah keperawatan, membuat
perencanaan, dan melaksanakan tindakan keperawatan yang memerlukan
ketrampilan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang menyimpang,
baik tindakan-tindakan keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang
(terapi medis), memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan
evaluasi.
(2) Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada klien,
dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan tanggung gugat untuk
perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa pelayanan keperawatan yang
diberikan.
(3) Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara
berkelompok.
(4) Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi kebutuhan
asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk tindak lanjut
kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan sesuai dengan standart
dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan pelayanan atau asuhan yang diterima
oleh klien.
(5) Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah dilakukan,
mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di lakukan.

27

2.1.6 Kemajuan Segi Pelayanan


Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang komprehensif, di tujukan kepada
individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju
kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.
1) Kualitas Pelayanan Keperawatan
Kualitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh banyak institusi kesehatan
hampir selalu dapat memuaskan pasien, maka dari itu sering disebut sebagai pelayanan
kesehatan yang berkualitas. Salah satu definisi menyatakan bahwa kualitas pelayanan
kesehatan biasanya mengacu pada kemampuan rumah sakit, memberi pelayanan yang
sesuai dengan standar profesi kesehatan dan dapat diterima oleh pasiennya.
Aspek-aspek kualitas pelayanan keperawatan
Menurut Parasuraman (dalam Tjiptono, 1997) aspek-aspek mutu atau kualitas
pelayanan adalah :
(1) Keandalan (reliability). Yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan segera, akurat dan memuaskan, jujur, aman, tepat waktu, ketersediaan.
Keseluruhan ini berhubungan dengan kepercayaan terhadap pelayanan dalam
kaitannya dengan waktu.
(2) Ketanggapan (responsiveness). Yaitu keinginan para pegawai atau karyawan
membantu konsumen dan memberikan pelayanan itu dengan tanggap terhadap
kebutuhan konsumen, cepat memperhatikan dan mengatasi kebutuhan-kebutuhan.
(3) Jaminan (assurance) Mencangkup kemampuan, pengetahuan, kesopanan dan sifat
dapat dipercaya yang dimiliki pada karyawan, bebas dari bahaya, resiko, keraguraguan, memiliki kompetensi, percaya diri dan menimbulkan keyakinan kebenaran
(obyektif).
(4) Empati atau kepedulian (emphaty). Meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan konsumen yang

28

terwujud dalam penuh perhatian terhadap setiap konsumen, melayani konsumen


dengan ramah dan menarik, memahami aspirasi konsumen, berkomunikasi yang
baik dan benar serta bersikap dengan penuh simpati.
(5) Bukti langsung atau berujud (tangibles). Meliputi fasilitas fisik, peralatan pegawai,
kebersihan (kesehatan), ruangan baik teratur rapi, berpakaian rapi dan harmonis,
penampilan karyawan atau peralatannya dan alat komunikasi.
Sedangkan menurut Depkes RI (dalam Onny, 1985) telah menetapkan bahwa
pelayanan perawatan dikatakan berkualitas baik apabila perawat dalam memberikan
pelayanan kepada pasien sesuai dengan aspek-aspek dasar perawatan. Aspek dasar
tersebut meliputi aspek penerimaan, perhatian, tanggung jawab, komuniksi dan
kerjasama. Selanjutnya masing-masing aspek dijelaskan sebagai berikut:
(1) Aspek penerimaan. Aspek ini meliputi sikap perawat yang selalu ramah, periang,
selalu tersenyum, menyapa semua pasien. Perawat perlu memiliki minat terhadap
orang lain, menerima pasien tanpa membedakan golongan, pangkat, latar belakang
sosial ekonomi dan budaya, sehingga pribadi utuh. Agar dapat melakukan
pelayanan sesuai aspek penerimaan perawat harus memiliki minat terhadap orang
lain dan memiliki wawasan luas.
(2) Aspek perhatian. Aspek ini meliputi sikap perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan perlu bersikap sabar, murah hati dalam arti bersedia memberikan
bantuan dan pertolongan kepada pasien dengan sukarela tanpa mengharapkan
imbalan, memiliki sensitivitas dan peka terhadap setiap perubahan pasien, mau
mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan pasien.
(3) Aspek komunikasi. Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan
komunikasi yang baik dengan pasien, dan keluarga pasien. Adanya komunikasi
yang saling berinteraksi antara pasien dengan perawat, dan adanya hubungan yang
baik dengan keluarga pasien.
(4) Aspek kerjasama. Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan
kerjasama yang baik dengan pasien dan keluarga pasien.

29

(5) Aspek tanggung jawab. Aspek ini meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam
tugas, mampu mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten
serta tepat dalam bertindak.
Joewono (2003) menyebutkan adanya delapan aspek yang perlu diperhatikan dalam
pelayanan yaitu:
(1) Kepedulian, seberapa jauh perusahaan memperhatikan emosi atau perasaan
konsumen.
(2) Lingkungan fisik, aspek ini menunjukkan tingkat kebersihan dari lingkungan yang
akan dinikmati konsumen, ketika mereka menggunakan produk.
(3) Cepat tanggap, aspek yang menunjukkan kecepatan perusahaan dalam menanggapi
kebutuhan konsumen.
(4) Kemudahan bertransaksi, seberapa mudah konsumen melakukan transaksi dengan
pemberi servis.
(5) Kemudahan memperoleh informasi, seberapa besar perhatian perusahaan untuk
menyajikan informasi siap saji.
(6) Kemudahan mengakses, seberapa mudah konsumen dapat mengakses penyedia
servis pada saat konsumen memerlukannya.
(7) Prosedur, seberapa baik prosedur yang harus dijalankan oleh konsumen saat
berurusan dengan perusahaan.
(8) Harga, aspek yang menentukan nilai pengalaman servis yang dirasakan oleh
konsumen saat berinteraksi dengan perusahaan.
Sedangkan Soegiarto (1999) menyebutkan lima aspek yang harus dimiliki Industri jasa
pelayanan, yaitu :
(1) Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal sama dengan batas
waktu standar. Merupakan batas waktu kunjung dirumah sakit yang sudah
ditentukan waktunya.

30

(2) Tepat, kecepatan tanpa ketepatan dalam bekerja tidak menjamin kepuasan
konsumen. Bagaimana perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien yaitu
tepat memberikan bantuan dengan keluhan-keluhan dari pasien.
(3) Aman, rasa aman meliputi aman secara fisik dan psikis selama pengkonsumsian
suatu poduk atau. Dalam memberikan pelayanan jasa yaitu memperhatikan
keamanan pasien dan memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pasien
sehingga memberikan rasa aman kepada pasien.
(4) Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan pada saat
pelanggan menyampaikan keluhan. Perawat selalu ramah dalam menerima keluhan
tanpa emosi yang tinggi sehingga pasien akan merasa senang dan menyukai
pelayanan dari perawat.
(5) Nyaman, rasa nyaman timbul jika seseorang merasa diterima apa adanya. Pasien
yang membutuhkan kenyaman baik dari ruang rawat inap maupun situasi dan
kondisi yang nyaman sehingga pasien akan merasakan kenyamanan dalam proses
penyembuhannya.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
kualitas pelayanan keperawatan adalah sebagai berikut :
(1) Penerimaan meliputi sikap perawat yang selalu ramah, periang, selalu tersenyum,
menyapa semua pasien. Perawat perlu memiliki minat terhadap orang lain,
menerima pasien tanpa membedakan golongan, pangkat, latar belakang sosial
ekonomi dan budaya, sehingga pribadi utuh. Agar dapat melakukan pelayanan
sesuai aspek penerimaan perawat harus memiliki minat terhadap orang lain dan
memiliki wawasan luas.
(2) Perhatian, meliputi sikap perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan perlu
bersikap sabar, murah hati dalam arti bersedia memberikan bantuan dan
pertolongan kepada pasien dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan, memiliki
sensitivitas dan peka terhadap setiap perubahan pasien, mau mengerti terhadap
kecemasan dan ketakutan pasien.

31

(3) Komunikasi, meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan komunikasi yang
baik dengan pasien, dan keluarga pasien. Adanya komunikasi yang saling
berinteraksi antara pasien dengan perawat, dan adanya hubungan yang baik dengan
keluarga pasien.
(4) Kerjasama, meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan kerjasama yang
baik dengan pasien dan keluarga pasien.
(5) Tanggung jawab, meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas, mampu
mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten serta tepat dalam
bertindak.
1. Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah
Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :
(1) Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling banyak di
laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa
perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan keperawatan
untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat keparahan sehingga tidak
perlu dirawat di rumah sakit.
(2) Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi dan
prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana bayinya
setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh kembang anak, mengajarkan
lansia beradaptasi terhadap proses menua, serta tentang diit mereka.
(3) Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada penyakitpenyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis seperti diabet, stroke,
hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan pada anak.

32

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan pelayanan
kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat. Keperawatan ternyata sudah ada
sejak manusia ada dan hingga saat ini profesi keperawatan berkembang dengan pesat.
Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia tidak hanya berlangsung di tatanan
praktik tetapi juga dalam hal layanan keperawatan di dunia pendidikan keperawatan.
pendidikan keperawatan memberi pengaruh yang besar terhadap kualitas layanan
keperawatan. Karenanya, perawat juga harus terus meningkatkan kompetensi dirinya,
melalui pendidikan keperawatan yang berkelanjutan yang berbasis internasional.
B. Saran
Kita sebagai calon perawat atau perawat harus terus meningkatkan kompetensi.
Salah satunya melalui pendidikan keperawatan yang berkelanjutan, sehingga kita tidak
kalah saing dengan keperawatan internasional karena di tahun 2016 ini warga negara
asing sudah bisa bekerja di indonesia secara bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik prosedural keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien.
Jakarta: salemba medika.
Aziz Alim Hidayat (2004). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Salemba Medika,
Jakarta.
Kusnanto, S.Kp, M. Kes (2004). Pengantar Profesi & Praktik Keperawatan Profesional,
EGC, Jakarta Erickson, H. C., Tomlin, E. M., and Swain, M.A.P. 2000. Modeling
and Role Modeling :A Theory and paradigm for nursing.Fifth edition. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall
Kusnanto,S.Kp, M.Kes. 2003.Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.
Jakarta : EGC
Priharjo, Robert. 2008. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai