Anda di halaman 1dari 75

MAKALAH

“SEJARAH KEPERAWATAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL”


Ditujukan untuk memenuhi tugas Ilmu Keperawatan
Dasar Dosen Pengampu : Puji Purwaningsih,S.Kep.,Ns

Disusun Oleh :
1. Lalu Suhaeri W (010111a066)
2. Risti Nurhidayati (010111a098)
3. Rizal Marzuki (010111a099)
4. Rizki Yulaeni (010111a100)
5. Saiman Jayadi (010111a101)
6. Sri Wahyuningsih (010111a109)
7. Wahyu Rindiantika (010111a123)

PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2011

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ...................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2
A. Sejarah Keperawatan di luar Indonesia .................................... 2
B. Sejarah Keperawatan di Indonesia ........................................... 7
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 12
A. Kesimpulan ............................................................................... 12
B. Saran .......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Keperawatan merupakan suatu bentuk layanan kesehatan
professional yang merupakan bagian integral dari layanan kesehatan yang
berdasarkan pada ilmu dan etika keperawatan.Keperawatan sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan,ikut menentukan mutu dari pelayanan
kesehatan.Tenaga keperawatan secara keseluruhan jumlahnya mendominasi
tenaga kesehatan yang ada,dimana keperawatan memberikan kontribusi yang
unik terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang
relative,berkelanjutan,koordinatif dan advokatif.Keperawatan sebagai suatu
profesi menekankan kepada bentuk pelayanan professional yang sesuai
dengan standar dengan memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga
pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik dan
berkelanjutan.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui bagaimana ilmu keperawatan dapat berkembang dengan
peralatan yang sangat terbatas pada zaman dahulu hingga dengan peralatan
yang sangat lengkap pada zaman sekarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui, memahami, dan menjelaskan tentang sejarah
keperawatan nasional dan internasional.
b. Mahasiswa mampu menjabarkan perkembangan ilmu keperawatan,
mulai dari zaman dahulu hingga zaman sekarang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SEJARAH KEPERAWATAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL


Keperawatan sebagai suatu profesi yang sudah ada sejak manusia ada di
bumi ini.Keperawatan terus berkembang sesuai dengan kemajuan peradaban
teknologi dan kebudayaan.Konsep keperawatan dari abad keabad terus
berkembang,berikut adalah perkembangan keperawatan di dunia.
A. Sejarah Keperawatan di Luar Indonesia
1. Zaman Purba
Pada zaman ini orang percaya bahwa sesuatu yang ada di bumi
mempunyai suatu kekuatan mistik yang dapat memengaruhi kehidupan
manusia. Kepercayaan ini biasa disebut animisme. Mereka meyakini
bahwa sakitnya seseorang disebabkan oleh kekuatan alam atau pengaruh
kekuatan gaib seperti batu besar, gunung tinggi, pohon besar, sungai besar.
Jiwa yang baik membawa kesehatan, jika yang jahat membawa kesakitan
dan kematian (Calor, taylor, Lilis & Lemone,1997). Peran tabib dan
perawat jelas berbeda, tabib adalah medicineman yang mengobati
penyakit dengan jalan melantunkan nyanyian, memberi semangat dari
ketakutan atau membuka otak untuk menghilangkan jiwa yang jahat
(Dolan, Fitzpatrick & Herman, 1983). Perawat biasanya berperan sebagai
ibu yang merawat familinya sewaktu sakit dengan memberikan perawatan
fisik dan memberikan obat dari tumbuh-tumbuhan. Peran ini diteruskan
sampai saat ini.
2. Zaman Keagamaan
Pada zaman ini, kuil menjadi pusat perawatan medis sebab orang
percaya bahwa penyakit disebabkan oleh dosa dan kutukan Tuhan.
Pemimpin agama dijunjung tinggi sebagai tabib, perawat dianggap sebagai
budak dan mendapat penghargaan yang rendah karena pekerjaannya
didasarkan perintah dari pempimpin agama yang berperan sebagai tabib.
3. Permulaan Masehi
Pada permulaan masehi, agama Kristen mulai berkembang. Pada
masa ini keperawatan mengalami kemajuan yang berarti seiring dengan
kepesatan perkembangan agama Kristen. Organisasi wanita pertama yang
dibentuk pada saat itu dinamakan Deaconesses, mengunjungi orang-orang
sakit dan anggota keagamaan laki-laki memberikan perawatan serta
mengubur orang mati. Pada perang salib perawat laki-laki dan perempuan
bertugas merawat orang-orang yang luka dalam peperangan tersebut.
Kemajuan profesi keperawatan pada masa ini juga terlihat jelas
dengan berdirinya rumah sakit terkenal di Roma yang bernama Monastik
hospital. Rumah sakit ini dilengkapi dengan fasilitas bangsal-bangsal
perawatan untuk merawat orang sakit serta bangsal-bangsal lain sebagai
tempat merawat orang cacat, miskin dan yatim piatu.
Seperti halnya di Eropa, pada pertengahan abad VI masehi
keperawatan juga berkembang di benua Asia. Tepatnya di timur tengah
seiring dengan perkembangan agama Islam. Tokoh keperawatan yang
terkenal di dunia Arab pada masa ini adalah Rafidah.
4. Permulaan Abad XVI
Struktur dan orientasi masyarakat berubah dari orientasi
keagamaan menjadi orientasi pada kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi
kekayaan alam, serta perkembangan pengetahuan. Akibatnya banyak
gereja dan tempat ibadah ditutup, padahal tempat ini digunakan oleh ordo-
ordo keagamaan untuk merawat orang sakit. Kondisi ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan keperawatan. Untuk memenuhi
kebutuhan perawat, wanita yang pernah melakukan kejahatan dan telah
berobat dapat diterima bekerja sebagai perawat. Akibat reputasi yang jelek
ini, perawat menerima gaji yang rendah dengan jam kerja lama pada
kondisi yang buruk (Taylor C.,dkk, 1989)
5. Masa Sebelum Perang Dunia II
Florence Nightingale (1820-1910) merupakan tokoh pembaharu
perawatan pada saat itu dan bahkan sering disebut Ibu Perawatan. Pada
waktu itu, Florence Nightingale sudah menyadari pentingnya suatu
sekolah untuk mendidik para calon perawat, agar dapat diberikan
pengetahuan, keterampilan dan pembinaan mental sehingga dihasilkan
tenaga perawatan yang berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil
dalam melaksanakan perawatan. Beliau menetapkan struktur dasar sebagai
prasyarat dalam pendidikan perawat :
a. Mendirikan sekolah perawat
b. Menentukan tujuan pendidikan perawat
c. Menetapkan pengetahuan yang harus dimiliki para calon sebagai dasar
perawatan
Di samping itu, Florence Nightingale telah berpendapat bahwa.
a. Perlu persiapan pendidikan yang berlainan bagi perawat pelaksana dan
perawat administrator atau supervisor.
b. Perlu diperhatikan bahwa harus ada perubahan tentang jam kerja
perawat yang waktu itu berlangsung 12 jam/hari dan 7 hari/minggu.
c. Perlu diperhatikan peningkatan pendapatan perawat setiap 6 bulan,
mengingat beban dan tanggung jawab mereka.
Namun, secara menyeluruh perkembangan perawat dari zaman
Florence Nightingale sampai pecah perang dunia II dinilai sangat kecil
atau hampir tidak ada perubahan. Oleh Karena itu, masa ini sering disebut
sebagai masa pemeliharaan.
6. Masa Selama Perang Dunia II
Selama perang, banyak kejadian yang merupakan “tekanan” bagi
setiap bangsa di dunia. Tekanan perang ini mendorong manusia
mengadakan perubahan-perubahan. Kemajuan teknologi dimaksudkan
untuk berlomba menaklukan dunia. Penerapan teknologi modern dalam
bidang pelayanan orang sakit telah mulai diperkenalkan waktu itu sebagai
jawaban atas kebutuhan pelayanan kesehatan akibat penderitaan sakit
selama perang. Timbulnya penyakit akibat perang, menyebabkan
dibutuhkannya peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga medis
maupun perawat. Kemampuan satu bidang profesi tertentu tidak dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan waktu itu.
Inipun merupakan tantangan baru bagi perawat dalam memberikan
pelayanan kesehatan bersama dengan profesi lain.
7. Masa Pasca Perang Dunia II
Akibat Perang dunia II yang mengakibatkan banyaknya
penderitaan bagi penduduk dunia telah menggugah semua pihak untuk
memperbaiki keadaan dunia. Dasar pemikiran semula, “the nurse must
give total patient care” dalam arti sempit telah berkembang, dalam arti
luas perawat lebih menyadari atas makna totality of the individual client
dari sebelumnya. Oleh karena itu terjadi perubahan dari perawat bekerja
sendiri menjadi bekerja team.
Dalam dekade ini telah dilancarkan perjuangan untuk pengakuan
keperawatan sebagai profesi. Lucille Brown (1948) menulis sebuah
laporan tentang pengakuan perawat sebagai profesi merupakan titik tolak
yang besar untuk kehidupan perawat dan profesi perawat. Ia
memperhatikan penghargaan pada perawat dalam kaitannya dengan
tanggung jawab sebagai penyelenggara pelayanan perawatan yang
bermutu. Untuk itu disadari perlunya suatu pengelolaan pelayanan
keperwatan yang baik untuk menjamin mutu dan sekaligus tersedia alat
evaluasi keperawatan tersebut.
8. Sejak Tahun 1950
Dalam mengacu proses profesionalisme, perlu pengembangan
pendidikan keperawatan. Sebenarnya pendidikan keperawatan di tingkat
universitas sudah ada sejak tahun 1909 di Universitas Minesota Amerika.
Namun, pengakuan perawat sebagai profesi, baru terjadi tahun 1950,
inipun baru pengakuan saja, belum memnuhi karakteristik profesi.
Pendidikan perawat pada tingkat “Bachelor” dimulai tahun 1919.
Pada tahun 1977 telah terdapat 3830 orang lulusan master di bidang
keperawatan dan pada tahun 1972 terdapat 9 institusi yang melaksanakan
program Doktor di bidang keperawatan. Di Thailand pendidikan
keperawatan pada tingkat “Bachelor” dimulai tahun 1966, dan pada
tingkat “Master” dimulai tahun 1986.
Proses keperawatan yang dimulai tahun 1950 dianggap sebagai
stadium embrio. Pada saat itu proses keperawatan belum dipahami dan
juga belum bisa diterima, tetapi sudah dilakukan sehari-hari. Baru pada
tahun 1955 Lydia Hall memberikan presentasinya tentang “Perawatan
adalah suatu proses”. Pada hakikatnya keperawatan menyangkut empat hal
pokok yaitu :
a. Nursing at the patient
b. Nursing to the patient
c. Nursing for the patient
d. Nursing with the patient
Fase dalam proses keperawatn diidentifikasi oleh para dosen
keperawatan Universitas Katolik Amerika pada tahun 1967 meliputi :
pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Pengertian keperawatan menurut International Council of Nurses
(ICN) pada tahun 1973 adalah, ”Fungsi yang unik dari perawat adalah
menolong sesorang yang sakit atau sehat dalam usaha-usaha menjaga
kesehatan atau penyembuhan atau untuk menghadapi sakaratul maut
dengan tenang, yaitu usaha yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri
apabila dia cukup kuat, berkemampuan atau sadar dan melakukannya
sedemikian rupa sehingga si pasien dalam waktu singkat dapat mandiri”.
Untuk memperoleh pengakuan sebagai suatu profesi, menurut Taylor C, et
al. (1997) keperawatan harus memiliki:
a. Perumusan body of knowledge yang baik
b. Berorientasi pada pelayanan yang kuat
c. Pengakuan keahlian oleh sebuah kelompok profesional
d. Kode etik
e. Organisasi profesi yang menetapkan standar
f. Pengembangan diri secara terus menerus
g. Otonomi
B. Sejarah Keperawatan di Indonesia
1. Masa Sebelum Kemerdekaan
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari
penduduk pribumi yang disebut Verpleger dengan dibantu Zieken Oppaser
sebagai penjaga orang sakit. Mereka bekerja pada rumah sakit Binnen
Hospital di Jakarta yang didirikan pada tahun 1799 untuk memelihara
kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah Belanda pada masa
itu antara lain membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan
Rakyat. Pendirian rumah sakit ini termasuk usaha Deandels mendirikan
rumah sakit di Semarang dan Surabaya. Karena tujuannya hanya untuk
kepentingan tentara belanda, maka tidak diikuti perkembangan
keperawatan.
Sebaliknya, Gubernur Jenderal Inggris, Raffless, sangat
memperhatikan kesehatan rakyat. Semboyannya adalah kesehatan adalah
milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat
kesehatan penduduk pribumi antara lain mengadakan pencacaran umum,
membenahi cara perawatan pasien gangguan jiwa serta memperhatikan
kesehatan dan perawatan para tahanan.
Setelah pemerintah kolonial kembali ke tangan Belanda, usaha-
usaha peningkatan kesehatan penduduk mengalami kemajuan. Pada tahun
1819 di Jakarta didirikan beberapa rumah sakit, salah satu diantaranya
adalah Rumah Sakit Stadverband berlokasi di Glodok Salemba yang
sekarang bernama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Saat ini
RSCM menjadi rumah sakit pusat rujukan nasional dan pendidikan
nasional. Pada kurun waktu 1816-1942 berdiri bebrapa rumah sakit swasta
milik Misionaris Katolik dan Zending Protestan antara lain Rumah sakit
PGI Cikini, Rumah Sakit St. Carolus Salemba, Rumah Sakit St. Boromeus
Bandung dan Rumah Sakit Elisabeth Semarang. Bersamaan dengan
berdirinya rumah sakit diatas, didirikan sekolah perawat. RS PGI Cikini
tahun 1906 menyelenggarakan pendidikan juru rawat, RSCM tahun 1912
ikut menyelenggarakan pendidikan juru rawat. Itulah sekolah perawat
pertama yang berdiri di Indonesia meskipun baru pendidikan okupasional.
Kekalahan tentara sekutu dan kedatangan tentara Jepang tahun
1942-1945 menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami
kemunduran karena pekerja perawat pada masa Belanda dan Inggris sudah
dikerjakan oleh perawat yang telah dididik, maka pada masa Jepang tugas
perawat dilakukan oleh mereka yang tidak dididik untuk menjadi perawat.
2. Masa Setelah Kemerdekaan
a. Periode tahun 1945-1962
Tahun 1945-1950 merupakan periode awal kemerdekaan dan
merupakan masa transisi Pemerintah Republik Indonesia sehingga
dapat dimaklumi jika masa ini boleh dikatakan tidak ada
perkembangan. Demikian pula tenaga perawat yang digunakan diunit-
unit pelayanan keperawatan adalah tenaga yang ada, pendidikan tenaga
keperawatan masih meneruskan sistem pendidikan yang telah ada
(lulusan pendidikan “Perawat” Pemerintah Belanda).
Pendidikan keperawatan dari awal kemerdekaan sampai tahun
1953 masih berpola pada pendidikan yang dilaksanakan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Sebagai contoh, sampai dengan tahun
1950 pendidikan tenaga keperawatan yang ada adalah pendidikan
tenaga keperawatan dengan dasar pendidikan umum Mulo +3 tahun
untuk mendapatkan ijazah A (perawat umum) dan ijazah B untuk
perawat jiwa. Ada juga pendidikan perawat dengan dasar sekolah
rakyat +4 tahun pendidikan yang lulusannya disebut mantri juru rawat.
Baru pada tahun 1953 dibuka sekolah pengatur rawat dengan tujuan
untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang lebih berkualitas.
Namun, pendidikan dasar umum tetap SMP yang setara dengan Mulo
dengan lama pendidikan tiga tahun. Pendidikan ini dibuka di tiga
tempat (yaitu di Jakarta, di Bandung dan di Surabaya), kecuali
pendidikan perawat di Bandung, keduanya berada dalam institusi
rumah sakit.
Tahun 1955 di buka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan
pendidikan dasar umum sekolah rakyat ditambah pendidikan satu
tahun dan Sekolah Pengamat Kesehatan yaitu sebagai pengembangan
SDK ditambah pendidikan satu tahun. Ditinjau dari aspek
pengembangannya sampai dengan tahun 1955 ini tampak
pengembangan keperawatan tidak berpola, baik tatanan pendidikannya
maupun pola ketenagaan yang diharapkan.
Tahun 1962 dibuka Akademi Perawatan, yaitu pendidikan
tenaga keperawatan dengan dasar pendidikan umum SMA di Jakarta,
di RSUP Cipto Mangunkusumo yang sekarang kita kenal sebagai
Poltekkes Jurusan Keperawatan Jakarta yang berada di Jalan Kimia
No. 17 Jakarta Pusat. Sekalipun sudah ada keinginan bahwa
pendidikan tenaga perawat berada pada pendidikan tinggi, namun
konsep-konsep pendidikan tinggi belum tampak. Hal ini dapat ditinjau
dari kelembagaannya yang berada dalam organisasi rumah sakit,
kegiatan institusi yang belum mencerminkan konsep pendidikan tinggi
yaitu kemandirian dan pelaksanaan fungsi perguruan tinggi yang
disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi, di samping itu Akademi
Keperawatan tidak berada dalam sistem pendidikan tinggi nasional
namun, berada dalam struktur organisasi institusi pelayanan kesehatan
yaitu rumah sakit. Demikian juga penerapan kurikulumnya yang masih
berorientasi pada keterampilan tindakan dan belum dikenalkannya
konsep-konsep keperawatan.
b. Periode tahun 1963-1982
Pada masa tahun 1963 hingga 1982 tidak terlalu banyak
perkembangan di bidang keperawatan, sekalipun sudah banyak
perubahan dalam pelayanan, tempat tenaga lulusan Akademi
Keperawatan banyak diminati oleh rumah sakit-rumah sakit,
khususnya rumah sakit besar.
c. Periode tahun 1983-sekarang
Sejak adanya kesepakatan pada lokakarya nasional (Januari
1983) tentang pengakuan dan diterimanya keperawatan sebagai suatu
profesi, dan pendidikannya berada pada pendidikan tinggi, terjadi
perubahan mendasar dalam pandangan tentang pendidikan
keperawatan. Pendidikan keperawatan bukan lagi menekankan pada
penguasaan keterampilan, tetapi lebih pada penumbuhan, pembinaan
sikap dan keterampilan profesional keperawatan, disertai dengan
landasan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan.
Tahun 1983 merupakan tahun kebangkitan profesi keperawatan
di Indonesia, sebagai perwujudan lokakarya tersebut di atas pada tahun
1984 diberlakukan kurikulum nasional untuk Diploma III
Keperawatan.
Dari sinilah awal pengembangan profesi keperawatan
Indonesia, yang sampai saat ini masih perlu perjuangan, karena
keperawatan di Indonesia sudah diakui sebagai suatu profesi maka
pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan harus didasarkan
pada ilmu dan kiat keperawatan. Hal ini sejalan dengan tuntutan UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, terutama pada pasal 32 yang
berbunyi :
Ayat 3: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan
ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan atau cara lain yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Ayat 4: Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu.
Tahun 1985 dibuka Program Studi Ilmu Keperawatan di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kurikulum pendidikan
tenaga keperawatan jenjang S1 juga disahkan.
Tahun 1992 merupakan tahun penting bagi profesi keperawatan
karena pada tahun ini secara hukum keberadaan tenaga keperawatan
sebagai profesi diakui dalam undang-undang yaitu yang dikenal
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
sebagai penjabarannya.
Tahun 1995 dibuka lagi Program Studi Keperawatan di
Indonesia, yaitu di Universitas Padjajaran Bandung dan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia berubah menjadi Fakultas
Keperawatan.
Tahun 1998 dibuka kembali program Keperawatan yang ketiga
yaitu Program Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Kurikulum Ners disahkan, digunakannya kurikulum ini
merupakan hasil pembaharuan kurikulum S1 Keperawatan tahun 1985.
Tahun 1999 Program S1 kembali dibuka, yaitu Program Studi
Ilmu Keperawatan (PSIK) di Universitas Airlangga Surabaya, PSIK di
Universitas Brawijaya Malang, PSIK di Universitas Hasanuddin Ujung
Pandang, PSIK di Universitas Sumatera Utara, PSIK di Universitas
Diponegoro Jawa Tengah, PSIK di Universitas Andalas, dan dengan
SK Mendikbud No. 129/D/0/1999 dibuka juga Sekolah Tinggi Ilmu
Keperawatan (STIK) di St. Carolus Jakarta. Pada tahun ini juga (1999)
kurikulum DIII Keperwatan selesai diperbaharui dan mulai
didesiminasikan serta diberlakukan secara nasional.
Tahun 2000 diterbitkan SK Menkes No. 647 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat sebagai regulasi praktik keperawatan sekaligus
kekuatan hukum bagi tenaga perawat dalam menjalankan praktik
keperawatan secara professional.
PENDIDIKAN KEPERAWATAN

Selaras dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pendidikan keperawatan tahap


demi tahap mengalami peningkatan baik jenjang maupun mutu pendidikan.
Pendidikan keperawatan yang dahulu hanya merupakan pendidikan dasar atau
menengah, kini telah ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Variasi jenjang
pendidikan keperawatan yang ada saat ini seringkali membingungkan masyarakat,
perawat, maupun para pejabat. Jenjang utama pendidikan keperawatan di
Indonesia saat ini adalah Sekolah Perawat Kesehatan, Akademi atau Pendidikan
Ahli Madya Keperawatan/Politeknik Kesehatan dengan tiga tahun program
diploma keperawatan, dan Program strata satu keperawatan dan program S2 yang
terkait dengan keperawatan.

Pendidikan tenaga keperawatan di Indonesia secara umum bertujuan untuk


menyediakan tenaga kesehatan dalam jumlah dan jenis yang sesuai, yang
memiliki cirri-ciri berbudi luhur, tangguh, serdas, terampil, mandiri, memiliki rasa
kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif, inovatif, disiplin, serta
berorientasi ke masa depan sesuai dengan asas profesionalismenya masing-masing
(Pusdiknakes, 2001).

Walaupun jumlah perawat dari pendidikan tinggi telah meningkat, namun kita
perlu mencatat bahwa sebagian besar perawat berlatar belakang pendidikan
menengah. Jumlah perawat di Indonesia menurut data dari Depkes RI (Republika,
2004) adalah sekitar 180 ribu orang dengan latar belakang pendidikan: 76,65
persen lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), 22 persen perawat lulusan D3
Keperawatan, dan 2,35 persen lulusan S-1. Jumlah bidan adalah sekitar 70.600
orang dan 98 persen di antaranya adalah lulusan Program Pendidikan Bidan.

Perkembangan pendidikan keperawatan pada saat ini dipengaruhi berbagai faktor


nasional maupun internasional. Dari kaca mata nasional, situasi politik di tanah air
dan kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya telah memicu reformasi di
berbagai bidang termasuk pendidikan. Maraknya ide desentralisasi/otonomi
daerah juga telah memengaruhi bagaimana pengelolaan pendidikan keperawatan
dan penempatan kerja lulusan harus diselenggarakan. Sementara tantangan dari
kaca mat internasional telah mendorong kesadaran kita dalam upaya menyiapkan
tenaga keperawatan yang handal dengan kompetisi global. Untuk ini undang-
undang harus disesuaikan di antaranya undang-undang tentang registrasi dan
praktik keperawatan dan penyesuaian pendidikan sesuai dengan sistem pendidikan
nasional yang baru (Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003).

Bagian berikut akan membahas jenis pendidikan keperawatan yang ada di


Indonesia, yaitu: Sekolah Perawat Kesehatan, Pendidikan Ahli Madya
Keperawatan (Politeknik Kesehatan), Program Sarjana, dan Pasca- Sarjana
Keperawatan.

1. Sekolah Perawat Kesehatan


Dari beberapa jenis jenjang pendidikan keperawatan, Sekolah Perawat
Kesehatan (SPK) merupakan institusi yang telah menyumbang tenaga
keperawatan dalam jumlah paling besar. Ini karena mayoritas pendidikan
keperawatan di Indonesia pada saat didirikan adalah SPK. SPK sebelumnya
bernama SPR (Sekolah Pengatur Rawat) yang mulai dirintis pada tahun 1960.
Pada tahun yang sama juga mulai didirikan pendidikan dengan jenjang lebih
tinggi, yaitu akademi perawatan yang saat ini menawarkan program diploma
tiga keperawatan.
Dasar pendidikan keperawatan pada awal kemerdekaan adalah sekolah dasar
ditambah keperawatan yang lamanya bervariasi. Kemudian pada tahun 1960
mulai dikembangkan Sekolah Perawat Kesehatan (SPR) dengan latar belakang
pendidikan SMP yang sekarang ini bernama SPK (Jahmono, 1993). Tujuan
pendidikan SPK adalah meluluskan perawat kesehatan yng mampu sebagai
pelaksana maupun pengelola keperawatan. Lama pendidikan dirancang tiga
tahun. Pada masa tersebut pendirian SPK merupakan jawaban tepat bagi
pemerintah untuk mencukupi kebutuhan jumlah tenaga keperawatan. Karena
kebutuhan tenaga keperawatan masih sangat dibutuhkan, lulusan SPK rata-rata
tidak mengalami kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Hal ini yang
menyebabkan salah satu animo untuk mendaftarkan diri ke SPK cukup besar
pada masa itu.
Permasalahan kesehatan lain kemudian muncul, tidak saja upaya untuk
memenuhi tenaga keperawatan, tetapi juga penyediaan tenaga bidan. Untuk
mencukupi tenaga bidan, pemerintah menyelenggarakan program pendidikan
bidan satu tahun yang pesertanya diambil dari lulusan SPK. Penyelenggaraan
ini diharapkan dapat menghasilkan tenaga bidan untuk ditempatkan di desa-
desa (bidan desa).
Sistem Kesehatan Nasional (2004) menyatakan bahwa penyelenggaraan
pendidikan vokasi, sarjana, dan profesi tingkat pertama adalah institusi
pendidikan tenaga kesehatan yang telah diakreditasi oleh asosiasi institusi
pendidikan kesehatan yang bersangkutan. Penyelenggaraan pendidikan profesi
tingkat lanjutan adalah institusi pendidikan (university based) dan institusi
pelayanan kesehatan (hospital based) yang diakreditasi oleh kolegium profesi
yang bersangkutan.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003) dijelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan akademik, profesi dan
vokasi yang semuanya diselenggarakan melalui pendidikan tinggi. Bila dilihat
dari pernyataan dalam Sistem Pendidikan Nasional, dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan SPK sudah tidak sesuai lagi.
Adanya tuntutan bahwa perawat harus dipersiapkan melalui pendidikan tinggi
seperti tercantum dalam SKN yang lama dan yang baru (diatas) telah lama
ditanggapi antara lain dengan mengonversikan SPK menjadi jenjang
pendidikan diploma tiga dan menunjuk AKPER yang melaksanakan program
ini (Nugroho Imam Santosa, 1992) dan dengan memberi kesempatan kepada
perawat lulusan SPK untuk melanjutkan pendidikannya tanpa harus
meninggalkan pekerjaannya. Namun, seperti diakui oleh beberapa pengelola
dari Pusdiknakes bahwa daya serap upaya ini masih mengalami kendala.
2. Program Diploma Tiga Keperawatan
Penyelenggaraan program diploma tiga keperawatan merupakan salah satu
upaya antisipasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan. Program ini
pertama-tama diselenggarakan pada tahun 1960-an, yaitu dengan berdirinya
Akper Bandung. Persyaratan peserta adalah lulusan SMU atau lulusan
SPR/SPK yang sudah bekerja. Tahun demi tahun pendirian Akper semakin
berkembang dan untuk saat ini institusi pendidikan ini dapat ditemukan di
setiap provinsi.
Seperti halnya SPK, secara administrative program diploma tiga dibawah
koordinasi Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Departemen Kesehatan. Pada
beberapa tahun lalu, kurikulum program diploma tiga adalah kurikulum inti
yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kurikulum yang
disusun telah dikembangkan dengan Community Oriented Nursing Education
atau pendidikan keperawatan yang berorientasi kepada masyarakat.
Tujuan dari program diploma tiga keperawatan adalah menghasilkan tenaga
perawat professional pemula yang mendapat sebutan ahli madya keperawatan
yang merupakan manajer menengah dalam keperawatan yang diharapkan
mampu sebagai pelaksana, pengelola, pendidik, dan partisipasi aktif dalam
penelitian ilmiah. Peserta yang mengikuti program diploma terdiri dari peserta
umum (lulusan SMU) dan peserta lulusan SPK. Untuk meningkatkan karier,
para lulusan diploma setelah memenuhi persyaratan tertentu dapat
melanjutkan ke program sarjana keperawatan.
Adanya berbagai pendidikan kesehatan yang menawarkan berbagai program
di lingkungan Depkes telah dinilai tidak efisien sehingga pada pertengahan
tahun 1990-an. Departemen Kesehatan mulai mengembangkan system Multy-
stream academy dengan berbagai institusi pendidikan dalam dalam
lingkungan atau lokasi yang sama dipadukan menjadi “pendidikan satu atap.”
Untuk mengadakan pengkajian/pendataan secara lebih mendalam, Departemen
Kesehatan bekerja sama dengan P4D Departemen Pendidikan Nasional pada
tahun 1999-2000. Hasil dari pendataan ini dijadikan landasan untuk
mengembangkan sistem pengelolaan akademi-akademi kesehatan menjadi
politeknik kesehatan. Pembentukan politeknik kesehatan dikukuhkan dengan
diterbitkannya Keputusan dari Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI
Nomor 298/Menkes-Kesos/SK/IV/2001 (Pusdiknakes, 2004).
Dalam keputusan Menkes Dan Kesejahteraan Sosial RI di atas dijelaskan
bahwa pelaksanaan teknis institusi pendidikan ini tetap di bawah Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial dan pimpinan institusi adalah direktur
yang secara administratif bertanggung jawab kepada Kepala Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Program yang dapat
diselenggarakan adalah program diploma I, II, III dan IV.
3. Program S1 dan Pendidikan Keperawatan Lebih Tinggi
Pendidikan pada tahap ini bersifat pendidikan akademik profesional
(pendidikan keprofesian), menekankan pada penguasaan landasan keilmuan,
yaitu ilmu keperawatan dan ilmu-ilmu penunjang, penumbuhan serta
pembinaan sikap dan keterampilan profesional dalam keperawatan. Pada
jenjang pendidikan ini, menghasilkan perawat generalis, terdapat dua tahap
program, yaitu tahap program akademik yang pada akhir pendidikan mendapat
gelar akademik Sarjana Keperawatan (S.Kp.) dan tahap program keprofesian
yang pada akhir pendidikan mendapat sebutan profesi “Ners” (Ns).
Penyelenggaraan program sarjana keperawatan pada awalnya merupakan
perwujudan dari Peraturan Pemerintah No. 27/1991, SK Mendikbud No.
0211/V/1982 dan 0212/U/1982 serta Direktorat Pendidikan Tinggi No.
048/DJ/Kep/1982, yang menyatakan tentang Pendidikan Tinggi.
Penyelenggaraan ini juga sesuai dengan hasil salah satu lokakarya nasional,
yaitu di bulan Januari 1983 yang menghasilkan consensus nasional tentang
perawat sebagai profesi, sehingga tenaga keperawatan harus disiapkan melalui
pendidikan tinggi.
Program Strata 1 atau Sarjana Keperawatan mulai diselenggarakan pada tahun
1985 oleh Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, yang sejak tahun 1995 menjadi Fakultas Ilmu
Keperawatan (FIK UI) berdasarkan SK Mendikbud RI No. 0332/0/1995 (FIK-
UI, 2005). Karena kebutuhan tenaga keperawatan dari lulusan pendidikan
tinggi yang mendesak, kemudian program S1 Keperawatan juga
diselenggarakan oleh berbagai universitas yang lain, misalnya Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1998 mendirikan Program Studi Ilmu keperawatan.
Salah satu kelebihan dari PSIK UGM adalah digunakannya Problem Based
Learning sebagai metode pembelajaran. Tidak lama kemudian
diselenggarakan program serupa di Universitas Airlangga yang pendiriannya
berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 122/Dikti/Kep/1999 tanggal 7 April 1999.
Untuk saat ini beberapa universitas dan juga Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
telah menawarkan program S1 Keperawatan.
Beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan dari penyelenggaraan
pendidikan tingkat sarjana keperawatan adalah bagaimana kita secara tepat
mampu mengelola sumber daya tenaga tingkat sarjana ini setelah mereka
menyelesaikan pendidikannya dan hal yang lain adalah bagaimana kita
meningkatkan dan mempertahankan mutu pendidikan dan penelitian.
Untuk mencetak perawat dengan kemampuan kepemimpinan, manajerial dan
penelitian yang andal,, Universitas Indonesia melalui Program Studi Magister
Ilmu keperawatan juga telah menawarkan Program S2 dengan kekhususan
kepemimpinan dan manajemen keperawatan. Lama program ini adalah dua
tahun (empat semester). Di masa mendatang kita berharap bahwa universitas
di tanah air juga mampu menyelenggarakan program S2 keperawatan ini
dengan berbagai peminatan termasuk peminatan klinis guna menyiapkan
perawat dengan kompetensi klinis tingkat tinggi (advanced nursing practice)
dan perawat peneliti melalui program S3 keperawatan.
4. Pendidikan Spesialis Bidang Keperawatan
Dalam memenuhi atau menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan kesehatan di masa depan, dan bertolak pada pandangan bahwa
setiap saat dan tahap pengembangan perlu diupayakan untuk meningkatkan
relevasi dan mutu asuhan keperawatan kepada masyarakat, maka
dikembangkan pendidikan keperawatan pada jenjang spesialis. Pendidikan
jenjang ini lebih merupakan pendidikan yang memperdalam pengetahuan dan
keterampilan keprofesian. Sifat memperdalam ilmu pengetahuan keperawatan,
walaupun lebih mengutamakan ilmu keperawatan klinik, namun tidak dapat
dipisahkan sepenuhnya dengan perkembangan kelompok-kelompok ilmu
dasar dan penunjang, termasuk ilmu dasar keperawatan.
Jenis pendidikan pada jenjang pendidikan ini didasarkan pada tuntutan
kebutuhan pelayanan keperawatan, dan perkembangan ilmu keperawatan,
khususnya keperawatan klinis. Dalam pengembangan jenjang pendidikan ini
dicegah terjadinya fragmentasi yang berlebihan yang dapat merugikan
masyarakat dan perkembangan profesi keperawatan. Penetapan jenis
spesialisasi seyogyanya dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang
bertanggung jawab terhadap pengembangan pendidikan tinggi keperawatan,
pelayanan keperawatan dan kesehatan, serta organisasi profesi keperawatan.
Program Pendidikan Spesialis bidang keperawatan yang ada saat ini adalah
program pendidikan spesialis maternitas dan kedepan akan dikembangkan
program spesialis lain sesuai dengan kebutuhan.
5. Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan
Perawat diwajibkan mempertahankan kemampuannya dalam menjalankan
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi sesuai dengan perkembangan ilmu
dan pengetahuan terbaru, menyesuaikan dengan perubahan peran dan fungsi
sesuai dengan kewenangan keperawatan, mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan baru dan memodifikasi perilaku dan pemahaman
profesionalismenya. Untuk itu, setiap perawat yang masih aktif menjalankan
tugasnya harus senantiasa mempertahankan dan meningkatkan
kemampuannya antara lain dengan mengikuti pendidikan keperawatan
berkelanjutan.
Pendidikan keperawatan berkelanjutan pada prinsipnya tidak selalu harus
ditempuh dengan pendidikan formal, tetapi dapat pula ditempuh dengan
mengikuti kursus jangka pendek atau pelatihan yang diselenggarakan oleh
institusi pendidikan tinggi atau belajar mandiri/informal dengan mengikuti
berbagai kesempatan yang diberikan oleh organisasi profesi atau badan lain
yang berwenang.
Dalam SK Menkes No. 674/Menkes/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000
tentang registrasi dan praktik keperawatan, dinyatakan dengan jelas bahwa
setiap perawat diwajibkan selalu meningkatkan kemampuan keilmuwan
dan/keterampilan bidang keperawatan melalui pendidikan dan/atau pelatihan;
baik diselenggarakan oleh pemerintah maupun organisai profesi.
Di masa mendatang kita berharap bahwa pendidikan keperawatan
berkelanjutan/pelatihan bagi perawat akan dapat ditata secara lebih terkendali
dan terencana dan tidak dijalankan hanya secara sporadik dan secara
kebetulan. Tidak berlebihan bila untuk sekedar gambaran, penatalaksanaan
pendidikan keperawatan berkelanjutan di Inggris sudah banyak ditawarkan
sebagian besar oleh universitas/college bagi yang ingin mengikuti jalur formal
baik berupa study days ataupun mengikuti modul-modul tertentu. Mereka
tidak dapat menghindar dari kegiatan ini, karena seperti yang dipersyaratkan
oleh NMC (the Nursing and Midwifery Council), perawat tidak dapat
memperpanjang surat izin praktiknya bila tidak ada bukti bahwa mereka telah
cukup mengikuti pendidikan keperawatan berkelanjutan. Perawat juga dapat
mengikuti pendidikan berkelanjutan dengan cara belajar mandiri dari paket-
paket yang terakreditasi yang ditawarkan oleh RCN (The Royal College of
Nurses). Banyak perawat yang mengambil modul ini dalam rangka untuk
mendapatkan ijazah S1-nya melalui degree pathways tetapi banyak juga yang
hanya mengambil modul tanpa ingin memperoleh ijazah S1. Tentu saja hal-hal
seperti ini membutuhkan kebijakan dan perangkat yang memadai. Barangkali
gagasan seperti ini dapat kita terapkan di Indonesia, sehingga perawat kita
dapat meningkatkan ilmunya sementara mereka masih tetap dapat bekerja,
sehingga institusi pelayanan tidak dirugikan dan kesejahteraan keluarga bagi
perawat juga dapat dipertahankan karena mereka tidak perlu meninggalkan
keluarga mereka.
Terlepas dari jenjang pendidikan yang ditawarkan, sepertinya ada beberapa
hal umum yang dihadapi oleh semua pendidikan keperawatan baik menengah
atau tinggi. Hal ini antara lain disebabkan oleh berbagai perubahan sosial dan
politik yang sama di tanah air kita. Berbagai persoalan yang kiranya dapat kita
pakai sebagai bahan kajian kita bersama adalah:
a. Upaya dalam mempertahankan mutu pendidikan keperawatan. Dalam 15
tahun terakhir, jumlah institusi pendidikan keperawatan di Indonesia
meningkat dengan cepat dan sering kali hal ini menyulitkan kita untuk
mengendalikan dan mempertahankan mutu pendidikan. Walaupun sudah
ada sistem akreditasi bagi institusi pendidikan kesehatan, namun upaya ini
dirasa masih jauh dari yang kita harapkan.
b. Arah dan kurikulum pendidikan keperawatan. Dalam situasi global saat
ini, kita berharap dapat mencetak tenaga keperawatan yang berkompetensi
tinggi. Namun dampaknya, arah pendidikan sering kali menjadi kabur dan
muatan kurikulum menjadi tidak jelas. Kurikulum seharusnya disusun
dengan mendasarkan isi program pendidikan secara seimbang untuk
memenuhi kebutuhan setempat (provinsi/daerah), nasional dan
nternasional.
c. Kesempatan untuk mengikuti pelatihan/pendidikan semakin meningkat
secara umum, namun tidak semua perawat dapat mengakses kesempatan
ini karena berbagai faktor antara lain persyaratan administratif, cara
pengusulan, batasan usia dan pembatasan jumlah peserta yang dapat
diterima serta keterbatasan dana dan komitmen dengan keluarga.
d. Keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitas klinik. Jumlah doktor dan
master keperawatan masih sangat terbatas untuk kebutuhan pengajaran
program sarjana keperawatan. Di pengajaran jenjang diploma, penyediaan
jumlah tenaga pengajar dengan kualifikasi master (S2) dan sarjana
keperawatan belum memadai. Hal ini juga terjadi di jenjang pendidikan
SPK. Selain keterbatasan tenaga pengajar, sumber fasilitas pendidikan
belum juga memadai seperti lahan praktik, peralatan laboratorium, dan
buku-buku keperawatan dan akses mahasiswa dalam menggunakan sarana
elektronik (mis., jurnal-jurnal keperawatan).
e. Siswa/mahasiswa keperawatan semakin dilibatkan dalam pengembangan
kurikulum, membuat aturan/kebijakan dan evaluasi program. Upaya ini
walau nampaknya berjalan lambat tetapi tetap mendapat perhatian.
Perubahan sosial dan kedewasaan mahasiswa, dengan tuntutan mereka
untuk mempunyai bagian dalam program pendidikan menyebabkan
beberapa mahasiswa ikut aktif dalam pengendalian pengajaran maupun
administratif.
PERKEMBANGAN TEORI KEPERAWATAN

Perkembangan sistematik dari keperawatan menuju kepada keperawatan sebagai


profesi, bermula dari pandangan dan pernyataan dari Florence Nightingale yang
mempunyai visi yang sangat maju tentang keperawatan. Dalam perkembangan
teori keperawatan selanjutnya, muncul nama-nama besar ilmuwan keperawatan
yang memberikan sumbangan yang sangat bermakna dalam perkembangan
keperawatan.
1. Hildegard E. Peplau (1952)
Teori yang dikembangkannya, yaitu keperawatan psikodinamik
(psychodynamic nursing), sangat dipengaruhi oleh model hubungan
interpersonal, khususnya model psikoanalitik. Ia melihat bahwa keperawatan
adalah suatu proses interpersonal yang bersifat terapeutik (significant
therapeutic interpersonal process).
Menurut Peplau, keperawatan adalah therapeutic yang mempunyai seni
penyembuhan dalam membantu orang yang sakit atau orang yang
membutuhkan perawatan kesehatan. Keperawatan dapat dianggap sebagai
proses interpersonal sebab melibatkan interaksi antara 2 atau lebih individu
dengan tujuan tertentu.
Peplau mengenali 4 fase dalam hubungan interpersonal perawat-klien yang
meliputi :
a. Fase orientasi
Fokusnya adalah fase menentukan atau menemukan masalah. Pertama kali
perawat dan pasien bertemu masih sebagai orang yang asing satu sama
lain, pasien dan keluarganya memiliki perasaan butuh bantuan profesional
walaupun kebutuhan ini kadang-kadang tidak dapat dikenali atau
dimengerti oleh mereka. Pada fase ini paling penting adalah perawat
bekerja sama secara kolaborasi dengan pasien dan keluarganya dalam
menganalisis situasi yang kemudian bersama-sama mengenali,
memperjelas dan menentukan masalah yang ada. Setelah masalahnya
diketahui, diambil keputusan bersama untuk menentukan tipe/jenis
bantuan apa yang diperlukan. Perawat sebagai fasilitator dapat merujuk
klien ke ahli lain sesuai dengan kebutuhan.
b. Fase identifikasi
Fase ini fokusnya memilih bantuan profesional yang sesuai. Pada fase ini
pasien merespon secara selektif ke orang-orang yang dapat memenuhi
kebutuhannya, setiap pasien mempunyai respons berbeda-beda pada fase
ini. Respons pasien terhadap keperawatan adalah :
1) Berpartisipasi dan interdependen dengan perawat,
2) Otonomi dan independen dari perawat,
3) Pasif dan dependen pada perawat.
c. Fase ekploitasi
Fase ini fokusnya adalah menggunakan bantuan profesional untuk
alternatif pemecahan masalah. Pelayanan yang diberikan berdasarkan
minat dan kebutuhan dari pasien, pasien mulai merasa sebagai bagian
integral dari lingkungan pelayanan. Pada fase ini pasien mulai menerima
informasi-informasi yang diberikan padanya tentang penyembuhannya,
mungkin berdiskusi atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada
perawat, mendengarkan penjelasan-penjelasan dari perawat,
mendengarkan penjelasan-penjelasan dari perawat dan sebagainya.
d. Fase resolusi
Fokusnya adalah mengakhiri hubungan profesional. Pasien dan perawat
dalam fase ini perlu untuk mengakhiri hubungan therapeutik mereka.
2. Florence Nightingale (1959)
Nightingale sebagai pioner era modern dalam pengembangan keperawatan,
mengembangkan teori keperawatan yang sangat dipengaruhi oleh pandangan
filosofinya tentang interaksi manusia/klien dengan lingkungannya. Ia melihat
penyakit sebagai proses pergantian atau perbaikan (reparative process). Upaya
membantu proses perbaikan atau pergantian tersebut dapat dilakukan dengan
mengadakan manipulasi lingkungan eksternal. Manusia mempunyai
kemampuan alamiah terhadap proses penyembuhan.
3. Faye G. Abdellah (1960)
Abdella mendefinisikan keperawatan (nursing) sebagai pelayanan kepada
individu dan keluarga serta masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan yang membentuk/menciptakan sikap dan kemampuan intelektual
serta keterampilan teknik dari individu sehingga mempunyai keinginan yang
dalam dan kemampuan untuk menolong manusia, baik sakit maupun sehat
agar mampu menangani kebutuhan kesehatan.

4. Ida Jean Orlando (1961)


Ia menggunakan hubungan interpersonal sebagai landasan teorinya. Perhatian
utamanya adalah sifat unik dari setiap individu/klien, yaitu ekpresi klien, baik
verbal maupun nonverbal, menunjukkan/mengisyaratkan kebutuhan. Kegiatan
atau tindakan keperawatan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien. Teori
keperawatan dari Orlando yang dikenal sebagai “disciplined professional
respons theory”, menekankan pada hubungan timbal balik (reciprocal
relationship) antara perawat dan pasien.
5. Ernestine Wiedenbach (1964)
Perhatian utamanya adalah aspek kiat atau aspek praktik dari keperawatan.
Menurut Wiedenbach keperawatan klinik (clinical nursing) mempunyai empat
komponen, yaitu filsafat (philosophy), kemanfaatan/kegunaan (purpose),
praktik, dan kiat (art). Pandangan ini yang melandasi pendapatnya bahwa
pada praktik keperawatan terdapat tiga komponen, yaitu:
a. Mengidentifikasi kebutuhan klien/pasien;
b. Melaksnakan bantuan yang diperlukan; dan
c. Mengevaluasi dan menyatakan (mensahkan) bahwa bantuan yang
diberikan memang bermanfaat.
Teori keperawatan dari Wiedenbach ini kemudian dikenal sebagai “the
helping art of clinical nursing”.
6. Virginia Henderson (1966)
Teori Henderson berfokus pada individu yang berdasarkan pandangannya,
yaitu bahwa jasmani (body) dan rohani (mind) tidak dapat dipisahkan.
Menurut pendapat Henderson, manusia adalah unik dan tidak ada dua manusia
yang sama. Kebutuhan dasar individu tercermin dalam 14 komponen dari
asuhan keperawatan dasar (basic nursing care).
Virginia Henderson (1966) mengidentifikasi 14 komponen dalam asuhan
keperawatan dasar (basic nursing care) pada tingkat asuhan individual,
mengacu kepada aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dari seseorang;
perawat membantunya dengan fungsi-fungsi ini, atau membuat kondisi
sehingga memungkinkan ia melakukan hal-hal berikut ini :
a. Bernafas normal
b. Minum dan makan secukupnya/adekuat
c. Eliminasi melalui berbagai cara eliminasi
d. Bergerak dan menjaga sikap/memelihara postur tubuh yang
menyenangkan (berjalan, duduk, berbaring, dan bertukar dari suatu posisi
ke posisi lain)
e. Tidur dan istirahat
f. Memilih pakaian yang sesuai, berpakaian dan tidak berpakaian
g. Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal melalui penyesuaian
pakaian dan memodifikasi lingkungan
h. Menjaga tubuh bersih, terawat baik, dan melindungi kulit
i. Menghindari bahaya di lingkungan dan menghindari membahayakan orang
lain
j. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengekspresikan emosi,
kebutuhan, kecemasan, dan lain sebagainya.
k. Mengerjakan sesuatu yang memberikan perasaan menyelesaikan sesuatu
(sense of accopmlishment)
l. Melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya
m. Bermain atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi
n. Belajar menemukan atau memenuhi rasa ingin tahu yang menuju kepada
pertumbuhan normal dan sehat.
7. Mira Estrin Levine (1967)
Levine melihat individu sebagai makhluk utuh (holistic beings) yang memiliki
kemampuan merespons secara organismik sebagai upaya mengadaptasi diri
terhadap lingkungan. Menurut pandangannya, intervensi keperawatan adalah
bantuan terhadap klien secara holistik dan merupakan pusat kegiatan
keperawatan, mempercepat proses adaptasi yang turut berperan dalam proses
penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Pada tahun 1973 ia mengemukakan 4
prinsip konservasi (conservation principles), yaitu:
a. Conservation of energy,
b. Conservation of structural integrity,
c. Conservation of personal integrity, dan
d. Conservation of social integrity.
8. Martha E. Roger (1970)
Dasar teori Roger adalah ilmu tentang asal usul manusia dan alam semesta
seperti antropologi, sosiologi, agama, filosofi, perkembangan sejarah dan
mitologi. Teori Roger berfokus pada proses kehidupan manusia secara utuh.
Ilmu keperawatan adalah ilmu yang mempelajari manusia, alam dan
perkembangan manusia secara langsung.
Lima asumsi yang mendasari teori Roger, adalah sebagai berikut :
a. Manusia adalah kesatuan yang utuh, masing-masing mempunyai sifat dan
karakter yang berbeda serta mempunyai proses hidup yang dinamis.
b. Manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan; manusia adalah sistem
terbuka, ia akan memengaruhi dan dipengaruhi lingkungan sekitarnya.
c. Proses kehidupan manusia berjalan lambat, tidak dapat diubah dan tidak
terarah, jalan hidup tiap individu berbeda.
d. Identitas individu merupakan gambaran dari seluruh proses kehidupannya
sehingga perkembangan manusia dapat dilihat dari tingkah lakunya.
e. Manusia diciptakan dengan karakteristik dan keunikan tersendiri.
9. Dorothea E. Orem (1971)
Orem melihat individu suatu kesatuan utuh yang terdiri atas suatu yang
bersifat fisik, psikologik dan sosial, dengan derajat kemampuan mengasuh diri
sendiri (self care ability) yang berbeda-beda. Berdasarkan pandangan ini, ia
berpendapat bahwa kegiatan atau tindakan keperawatan ditujukan kepada
upaya memacu kemampuan mengasuh diri sendiri. Ia menyatakan bahwa
teorinya, yaitu “self-care deficit theory of nursing”, merupakan teori umum
(general theory).
Pada teori, ia menggambarkan kapan keperawatan diperlukan, keperawatan
diberikan jika :
a. Kemampuan kurang dibandingkan dengan kebutuhan,
b. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan, tetapi diprediksi untuk masa
yang akan datang kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan
peningkatan kebutuhan.
Lima metode bantuan menurut Orem :
a. Bertindak untuk orang lain
b. Membimbing
c. Memberikan dukungan fisik maupun psikis
d. Menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan
personal dalam memenuhi kebutuhan saat ini dan yang akan datang
e. Mengajarkan

10. Imogene F. King (1971)


King memandang bahwa klien/pasien sebagai sistem perorangan (personal
system) di dalam lingkungan, sebagai makhluk yang mempunyai daya
bereaksi (reacting beings), makhluk yang berorientasi pada waktu (time-
oriented beings), dan makhluk sosial (social beings) yang mempunyai
kemampuan untuk mempersepsikan berpikir, memilih, menetapkan tujuan,
dan memiliki kegiatan untuk mencapai tujuan, serta membuat keputusan.
Keperawatan dilihat sebagai aksi, reaksi, interaksi dan transaksi dari proses
interpersonal. King mendefinisikan keperawatan sebagai proses interaksi
manusia (process of human interactions) antara perawat dan klien yang
berkomunikasi untuk menentukan tujuan, mengeksplorasi sumber yang
diperlukan untuk mencapai tujuan, mengeksplorasi sumber yang diperlukan
untuk mencapai tujuan, serta menyepakati sumber-sumber yang digunakan
dalam mencapai tujuan. Teori King dikenal sebagai “theory of goal
attainment”.
11. Betty Newman (1972)
Newman mengemukakan model sistem (system model) dalam pendidikan dan
praktik keperawatan. Newman menggunakan pendekatan manusia utuh (total
person approach), dengan memasukkan konsep holistik, pendekatan sistem
terbuka (open system), dan konsep “stressor”.
Model ini menganalisis interaksi empat variabel penunjang komunitas yang
meliputi fisik, psikologi, sosial kultural dan spiritual. Adapun tujuan
keperawatan adalah stabilitas klien dan keluarga dalam lingkungan yang
dinamis.
Empat konsep mayor dari teori newman :
a. Manusia. Manusia merupakan suatu sistem terbuka yang selalu mencari
keseimbangan yang harmoni dan merupakan satu kesatuan dari variable-
variabel fisiologis, psikologis, sosiokultural, perkembangan, dan spiritual.
b. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kekuatan, baik internal dan
eksternal yang dapat memengaruhi hidup dan perkembangan klien atau
sistem klien.
c. Keperawatan. Secara umum, keperawatan merupakan profesi yang unik,
mencakup tentang respons manusia terhadap stresor yang merupakan
konsep yang utama untuk mencapai stabilitas pasien. Newman
mendefinisikan parameter dari keperawatan adalah individu, keluarga dan
kelompok dalam mempertahankan tingkat yang maksimal dari sehat
dengan intervensi untuk menghilangkan stres dan menciptakan kondisi
yang optimal bagi pasien intervensi keperawatan bertujuan untuk
menurunkan stresor melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
d. Kesehatan. Kesehatan adalah keadaan yang adekuat dalam suatu sistem
stabilitas yang merupakan keadaan yang baik. Sehat adalah kondisi
terbebasnya dari gangguan pemenuhan kebutuhan dan sehat merupakan
keseimbangan yang dinamis sebagai dampak dari keberhasilan
menghindari atau mengatasi stresor.
12. Faye G. Abdellah (1973)
Kontribusi Abdellah dalam teori keperawatan adalah pemanfaatan secara
sistematik dari data riset dalam merumuskan dan memfasilitasi 21 masalah
keperawatan. Model keperawatannya berdasarkan metode pemecahan
masalah.
13. Sister Callista Roy (1976)
Roy memandang individu sebagai makhluk bio-psiko-sosial yang harus dilihat
sebagai suatu kesatuan utuh yang secara terus menerus berinteraksi dengan
lingkungan, berespons terhadap lingkungan, dan beradaptasi dengan
lingkungan. Keperawatan dilihat sebagai kegiatan atau tindakan yang
ditujukan pada upaya menghilangkan stimuli dan memacu kemampuan
adaptasi dari individu. Model keperawatan yang dikembangkannya
selanjutnya dikenal sebagai “adaptation model”.
14. Madeleine Leiniger (1981)
Leiniger menekankan bahwa mengasuh (caring) adalah tema sentral dari
asuhan keperawatan, serta pengetahuan dan praktik keperawatan. Teorinya
tentang keperawatan berdasarkan antropologi, adalah teori keperawatan lintas-
budaya (Transcultural care theory) yang menekankan bahwa perilaku, nilai
dan keyakinan individual dan kelompok berdasarkan kebutuhan kulturalnya
harus diperhatikan, agar asuhan keperawatan yang diberikan kepadanya efektif
dan memuaskan.
Dari uraian sepintas di atas digambarkan teori dalam keperawatan yang terjadi
dengan pesat. Dan hal ini akan terus berlangsung, bahkan mungkin dalam
kecepatan yang lebih tinggi, mengingat bahwa perkembangan ilmu-ilmu yang
menopang ilmu keperawatan juga berkembang dengan pesat.
PERAWAT KE ARAH INDIVIDU

1. Praktik Keperawatan Mandiri


Menurut konsorsium ilmu-ilmu kesehatan (1992) praktek keperawatan
adalah tindakan mandiri perawat profesional atau ners melalui kerjasama yang
bersifat kolaboratif baik dengan klien maupun tenaga kesehatan lain dalam
upaya memberikan asuhan keperawatan yang holistic sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan, termasuk praktik
keperawatan individu dan berkelompok. Sementara pengetahuan teoritik yang
mantap dan tindakan mandiri perawat profesional dengan menggunakan
pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh mencakup ilmu dasar dan ilmu
keperawatan sebagai landasan dan menggunakan proses keperawatan sebagai
pendekatan dalam melakukan asuhan keperawatan (pojok keperawatan CHS,
2002).

2. Tujuan Praktik Keperawatan Mandiri


Tujuan praktik keperawatan sesuai yang dicanangkan WHO (1985) haru
diupayakan pada pencegahan primer, peningkatan kesehatan pasien, keluarga
dan masyarakat, perawatan diri, dan peningkatan kepercayaan diri.
Praktik keperawatan meliputi lima area yang terkait dengan kesehatan (kozier
& Erb, 1999), yaitu :
a. Peningkatan kesehatan (Health Promotion)
Peningkatan Kesehatan adalah kerangka aktivitas keperawatan.
Kesadaran diri klien, kesadaran kesehatan, keterampilan kesehatan dan
penggunaan semua sumber yang dipertimbangkan sebagai perawatan yang
di berikan oleh perawat. Peningkatan kesehatan membantu masyarakat
dalam mengembangkan sumber untuk memelihara atau meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan mereka. Tujuan kesehatan yang ingin
diwujudkan adalah mencapai derajat kesehatan yang optimal. Fokus
peningkatan kesehatan diarahkan untuk memelihara atau meningkatkan
kesehatan umum individu keluarga dan komunitas.
b. Pencegahan penyakit
Aktivitas pencegahan penyakit secara objektif untuk mengurangi risiko
penyakit, untuk meningkatkan kebiasaan kesehatan yang baik dan untuk
mempertahankan fungsi individu secara optimal.
c. Pemeliharaan kesehatan (Health Maintenance)
Kegiatan keperawatan dalam pemeliharaan kesehatan adalah kegiatan
yang membantu klien memelihara status kesehatan mereka. Perawat
melakukan aktivitas untuk membantu masyarakat mempertahankan status
kesehatannya.
d. Pemulihan kesehatan (Health Restoration)
Pemulihan kesehatan berarti perawat membantu pasien meningkatkan
kesehatan setelah pasien memiliki masalah kesehatan atau penyakit.
e. Perawatan pasien menjelang ajal
Area praktik keperawatan ini mencakup perawat memberikan rasa
nyaman dan merawat orang dalam keadaan menjelang ajal. Kegiatan dapat
dilakukan di rumah sakit, rumah, dan fasilitas kesehatan lainnya.

3. Unsur - Unsur Praktik Keperawatan Mandiri


Walaupun praktik keperawatan itu kompleks, ia juga dinamis, selalu
merespon terhadap perubahan kebutuhan kesehatan, dan terhadap kebutuhan-
kebutuhan perubahan sistem pelayanan kesehatan. Menurut WHO (1996),
unsur-unsur inti keperawatan tergambarkan dalam kegiatan-kegiatan berikut :
1. Mengelola kesehatan fisik dan mental serta kesakitan, kegiatannya
meliputi pengkajian, monitoring, koordinasi dan mengelola status
kesehatan setiap saat bekerjasama dengan individu, keluarga maupun
masyarakat. Perawatan mengkaji kesehatan klien, mendeteksi penyakit
yang akut atau kronis, melakukan penelitian dan menginterpretasikannya,
memilih dan memonitor interprensi tarapeutik yang cocok, dan melakukan
semua ini dalam hubungan yang suportif dan carring. Perawat harus bisa
memutuskan kapan klien dikelola sendiri dan kapan harus dirujuk ke
profesi lain.
2. Memonitor dan menjamin kualitas praktik pelayanan kesehatan. Tanggung
jawab terhadap kegiatan-kegiatan praktik professional, seperti memonitor
kemampuan sendiri, memonitor efek-efek intervensi medis, mensupervisi
pekerjaan-pekerjaan personil yang kurang terampil dan berkonsultasi
dengan orang yang tepat. Karena ruang lingkup dan kompleksitas praktik
keperawatan maka diperlukan keterampilan-keterampilan dan pemecahan
masalah, berfikir kritis serta bertinfak etis dan legal terhadap kualitas
pelayanan yang diberikan dan tidak diskriminatif.
3. Memberikan bantuan dan caring. Caring adalah bagian yang terpenting
dalam praktik keperawatan. Bantuan termasuk menciptakan suasana
penyembuhan, memberikan kenyamanan membangun hubungan dengan
klien melalui asuhan keperawatan. Peran membantu seharusnya menjamin
partisipasi penuh dari klien dalam perencanaan asuhan, pencegahan, dan
treatmen dan asuhan yang diberikan. Perawat memberikan informasi
penting mengenai proses penyakit, gejala-gejalanya, dan efek samping
pengobatan.
4. Penyuluhan-penyuluhan kepada individu, keluarga maupun masyarakat
mengenai masalah-masalah kesehatan adalah fungsi penting dalam
keperawatan.
5. Mengorganisir dan mengola sistem pelayanan kesehatan. Perawat
berpartisipasi dalam membentuk dan mengola sistem pelayanan kesehatan,
ini termasuk menjamin kebutuhan klien terpenuhi, mengatasi kekurangan
staf, menghadapi birokrasi, membangun dan memelihara tim terapeutik,
dan mendapatkan asuhan spesialis untuk pasien. Perawat bekerja
intersektoral dengan rumah sakit, puskesmas, institusi pelayanan
kesehatan lain, dan sekolah. Profesi keperawatan harus mempengaruhi
strategi kebijaksanaan kesehatan, baik tingkat local, regional maupun
internasional, aktif terlibat dalam program perencanaan, pengalokasian
dana, mengumpulkan, menganalisis dan memberikan informasi kepada
semua level.
4. Praktik Keperawatan di Rumah (Home Versing Practice / Home Care)
Di beberapa negara maju, “home care” (perawatan di rumah), bukan
merupakan konsep yang baru tapi telah dikembangkan oleh William Rathbon
sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah dalam bentuk
kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit
dan tidak bersedia dirawat di rumah sakit. Dari beberapa literatur pengertian
“home care” adalah perawatan di rumah merupakan lanjutan asuhan
keperawatan di rumah sakit yang sakit termasuk dalam rencana pemulangan
(discharge planning) dan dapat dilaksanakan oleh perawat dari rumah sakit
semula, oleh perawat komunitas dimana pasien berada, atau tim keperawatan
khusus yang menangani perawatan di rumah. Menurut Warola, 1980 dalam
pengembangan Model Praktik Mandiri Keperawatan di rumah yang disusun
oleh PPNI dan Depkes, home care adalah pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien individu dan keluarga, direncanakan, dikoordinasikan,
disediakan oleh pemberi pelayanan yang diorganisir untuk memberi pelayanan
di rumah melalui staf atau pengaturan berdasarkan kerja (kotrak).
Mekanisme Perawatan Kesehatan Di Rumah
Pasien atau klien yang memperoleh pelayanan keperawatan di rumah dapat
merupakan rujukan dari klinik rawat jalan, unit rawat inap rumah sakit,
maupun puskesmas. Namun pasien atau klien dapat langsung menghubungi
agensi pelayanan keperawatan di rumah atau praktik keperawatan perorangan
untuk memperoleh pelayanan.

Mekanisme yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :


1. Pasien atau klien pasca rawat inap atau rawat jalan harus diperiksa terlebih
dahulu oleh dokter untuk menentukan apakah secara medis layak untuk di
rawat di rumah atau tidak.
2. Selanjutnya apabila dokter telah menetapkan bahwa klien layak dirawat di
rumah, maka di lakukan pengkajian oleh koordinator kasus yang
merupakan staf dari pengelola atau agensi perawatan kesehatan dirumah,
kemudia bersama-sama klien dan keluarga, akan menentukan masalahnya,
dan membuat perencanaan, membuat keputusan, membuat kesepakatan
mengenai pelayanan apa yang akan diterima oleh klien, kesepakatan juga
mencakup jenis pelayanan, jenis peralatan, dan jenis sistem pembayaran,
serta jangka waktu pelayanan.
3. Selanjutnya klien akan menerima pelayanan dari pelaksanaan keperawatan
dirumah baik dari pelaksana pelayanan yang dikontrak atau pelaksana
yang direkrut oleh pengelola perawatan di rumah. Pelayanan dikoordinir
dan dikendalikan oleh koordinator kasus, setiap kegiatan yang
dilaksanakan oleh tenaga pelaksana pelayanan harus diketahui oleh
koordinator kasus.
4. Secara periodik koordinator kasus akan melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap pelayanan yang diberikan apakah sudah sesuai dengan
kesepakatan.

Persayaratan pasien atau klien yang menerima pelayanan perawatan dirumah :


1. Mempunyai keluarga atau pihak lain yang bertanggung jawab atau
menjadi pendamping bagi klien dalam berinteraksi dengan pengelola.
2. Bersedia menandatangai persetujuan setelah diberikan informasi
(Informed Consent).
3. Bersedia melakukan perjanjian kerja dengan pengelola perawatan
kesehatan dirumah untuk memenuhi kewajiban, tanggung jawab, dan
haknya dalam menerima pelayanan.

5. Lingkup Praktik Keperawatan Di Rumah.


Lingkup praktik keperawatan mendiri meliputi asuhan keperawatan
perinatal, asuhan keperawatan neonantal, asuhan keperawatan anak, asuhan
keperawatan dewasa, dan asuhan keperawatan maternitas, asuhan keperawatan
jiwa dilaksanakan sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya.
Keperawatan yang dapat dilakukan dengan :
1. Melakukan keperawatan langsung (direct care) yang meliputi pengkajian
bio-psiko-sosio-spiritual dengan pemeriksaan fisik secara langsung,
melakukan observasi, dan wawancara langsung, menentukan masalah
keperawatan, membuat perencanaan, dan melaksanakan tindakan
keperawatan yang memerlukan ketrampilan tertentu untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia yang menyimpang, baik tindakan-tindakan
keperawatan atau tindakan-tindakan pelimpahan wewenang (terapi medis),
memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan dan melakukan evaluasi.
2. Mendokumentasikan setiap tindakan pelayanan yang di berikan kepada
klien, dokumentasi ini diperlukan sebagai pertanggungjawaban dan
tanggung gugat untuk perkara hukum dan sebagai bukti untuk jasa
pelayanan keperawatan yang diberikan.
3. Melakukan koordinasi dengan tim yang lain kalau praktik dilakukan secara
berkelompok.
4. Sebagai pembela atau pendukung (advokat) klien dalam memenuhi
kebutuhan asuhan keperawatan klien di rumah dan bila diperlukan untuk
tindak lanjut kerumah sakit dan memastikan terapi yang klien dapatkan
sesuai dengan standart dan pembiayaan terhadap klien sesuai dengan
pelayanan atau asuhan yang diterima oleh klien.
5. Menentukan frekwensi dan lamanya keperawatan kesehatan di rumah
dilakukan, mencakup berapa sering dan berapa lama kunjungan harus di
lakukan.
SEGI PELAYANAN

Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang


merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-soiso-spiritual yang
komprehensif, di tujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik sakit
maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan
keperawatan yang di berikan berupa bantuan karena adaya kelemahan fisik dan
mental, keterbatasan pengetahuan dan kurangnya kemauan menuju kepada
kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri.

1. Kualitas Pelayanan Keperawatan


Kualitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh banyak institusi
kesehatan hampir selalu dapat memuaskan pasien, maka dari itu sering disebut
sebagai pelayanan kesehatan yang berkualitas. Salah satu definisi menyatakan
bahwa kualitas pelayanan kesehatan biasanya mengacu pada kemampuan
rumah sakit, memberi pelayanan yang sesuai dengan standar profesi kesehatan
dan dapat diterima oleh pasiennya.

Aspek-aspek kualitas pelayanan keperawatan


Menurut Parasuraman (dalam Tjiptono, 1997) aspek-aspek mutu atau kualitas
pelayanan adalah :
a. Keandalan (reliability)
Yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera,
akurat dan memuaskan, jujur, aman, tepat waktu, ketersediaan.
Keseluruhan ini berhubungan dengan kepercayaan terhadap pelayanan
dalam kaitannya dengan waktu.
b. Ketanggapan (responsiveness)
Yaitu keinginan para pegawai atau karyawan membantu konsumen dan
memberikan pelayanan itu dengan tanggap terhadap kebutuhan konsumen,
cepat memperhatikan dan mengatasi kebutuhan-kebutuhan.
c. Jaminan (assurance)
Mencangkup kemampuan, pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat
dipercaya yang dimiliki pada karyawan, bebas dari bahaya, resiko, keragu-
raguan, memiliki kompetensi, percaya diri dan menimbulkan keyakinan
kebenaran (obyektif).
d. Empati atau kepedulian (emphaty)
Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik
dan memahami kebutuhan konsumen yang terwujud dalam penuh
perhatian terhadap setiap konsumen, melayani konsumen dengan ramah
dan menarik, memahami aspirasi konsumen, berkomunikasi yang baik dan
benar serta bersikap dengan penuh simpati.
e. Bukti langsung atau berujud (tangibles)
Meliputi fasilitas fisik, peralatan pegawai, kebersihan (kesehatan), ruangan
baik teratur rapi, berpakaian rapi dan harmonis, penampilan karyawan atau
peralatannya dan alat komunikasi.
Sedangkan menurut Depkes RI (dalam Onny, 1985) telah menetapkan
bahwa pelayanan perawatan dikatakan berkualitas baik apabila perawat dalam
memberikan pelayanan kepada pasien sesuai dengan aspek-aspek dasar
perawatan. Aspek dasar tersebut meliputi aspek penerimaan, perhatian,
tanggung jawab, komuniksi dan kerjasama. Selanjutnya masing-masing aspek
dijelaskan sebagai berikut:
a. Aspek penerimaan
Aspek ini meliputi sikap perawat yang selalu ramah, periang, selalu
tersenyum, menyapa semua pasien. Perawat perlu memiliki minat terhadap
orang lain, menerima pasien tanpa membedakan golongan, pangkat, latar
belakang sosial ekonomi dan budaya, sehingga pribadi utuh. Agar dapat
melakukan pelayanan sesuai aspek penerimaan perawat harus memiliki
minat terhadap orang lain dan memiliki wawasan luas.
b. Aspek perhatian
Aspek ini meliputi sikap perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan perlu bersikap sabar, murah hati dalam arti bersedia
memberikan bantuan dan pertolongan kepada pasien dengan sukarela
tanpa mengharapkan imbalan, memiliki sensitivitas dan peka terhadap
setiap perubahan pasien, mau mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan
pasien.

c. Aspek komunikasi
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan komunikasi
yang baik dengan pasien, dan keluarga pasien. Adanya komunikasi yang
saling berinteraksi antara pasien dengan perawat, dan adanya hubungan
yang baik dengan keluarga pasien.
d. Aspek kerjasama
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan kerjasama
yang baik dengan pasien dan keluarga pasien.
e. Aspek tanggung jawab
Aspek ini meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas, mampu
mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten serta
tepat dalam bertindak.
Joewono (2003) menyebutkan adanya delapan aspek yang perlu diperhatikan
dalam pelayanan yaitu:
a. Kepedulian, seberapa jauh perusahaan memperhatikan emosi atau
perasaan konsumen.
b. Lingkungan fisik, aspek ini menunjukkan tingkat kebersihan dari
lingkungan yang akan dinikmati konsumen, ketika mereka menggunakan
produk.
c. Cepat tanggap, aspek yang menunjukkan kecepatan perusahaan dalam
menanggapi kebutuhan konsumen.
d. Kemudahan bertransaksi, seberapa mudah konsumen melakukan transaksi
dengan pemberi servis.
e. Kemudahan memperoleh informasi, seberapa besar perhatian perusahaan
untuk menyajikan informasi siap saji.
f. Kemudahan mengakses, seberapa mudah konsumen dapat mengakses
penyedia servis pada saat konsumen memerlukannya.
g. Prosedur, seberapa baik prosedur yang harus dijalankan oleh konsumen
saat berurusan dengan perusahaan.
h. Harga, aspek yang menentukan nilai pengalaman servis yang dirasakan
oleh konsumen saat berinteraksi dengan perusahaan.
Sedangkan Soegiarto (1999) menyebutkan lima aspek yang harus dimiliki
Industri jasa pelayanan, yaitu :
a. Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal sama dengan
batas waktu standar. Merupakan batas waktu kunjung dirumah sakit yang
sudah ditentukan waktunya.
b. Tepat, kecepatan tanpa ketepatan dalam bekerja tidak menjamin kepuasan
konsumen. Bagaimana perawat dalam memberikan pelayanan kepada
pasien yaitu tepat memberikan bantuan dengan keluhan-keluhan dari
pasien.
c. Aman, rasa aman meliputi aman secara fisik dan psikis selama
pengkonsumsian suatu poduk atau. Dalam memberikan pelayanan jasa
yaitu memperhatikan keamanan pasien dan memberikan keyakinan dan
kepercayaan kepada pasien sehingga memberikan rasa aman kepada
pasien.
d. Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan pada saat
pelanggan menyampaikan keluhan. Perawat selalu ramah dalam menerima
keluhan tanpa emosi yang tinggi sehingga pasien akan merasa senang dan
menyukai pelayanan dari perawat.
e. Nyaman, rasa nyaman timbul jika seseorang merasa diterima apa adanya.
Pasien yang membutuhkan kenyaman baik dari ruang rawat inap maupun
situasi dan kondisi yang nyaman sehingga pasien akan merasakan
kenyamanan dalam proses penyembuhannya.
Berdasarkan pandangan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-
aspek kualitas pelayanan keperawatan adalah sebagai berikut :
a. Penerimaan meliputi sikap perawat yang selalu ramah, periang, selalu
tersenyum, menyapa semua pasien. Perawat perlu memiliki minat terhadap
orang lain, menerima pasien tanpa membedakan golongan, pangkat, latar
belakang sosial ekonomi dan budaya, sehingga pribadi utuh. Agar dapat
melakukan pelayanan sesuai aspek penerimaan perawat harus memiliki
minat terhadap orang lain dan memiliki wawasan luas.
b. Perhatian, meliputi sikap perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan perlu bersikap sabar, murah hati dalam arti bersedia
memberikan bantuan dan pertolongan kepada pasien dengan sukarela
tanpa mengharapkan imbalan, memiliki sensitivitas dan peka terhadap
setiap perubahan pasien, mau mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan
pasien.
c. Komunikasi, meliputi sikap perawat yang harus bisa melakukan
komunikasi yang baik dengan pasien, dan keluarga pasien. Adanya
komunikasi yang saling berinteraksi antara pasien dengan perawat, dan
adanya hubungan yang baik dengan keluarga pasien.
d. Kerjasama, meliputi sikap perawat yang harus mampu melakukan
kerjasama yang baik dengan pasien dan keluarga pasien.
e. Tanggung jawab, meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam tugas,
mampu mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam tugas, konsisten
serta tepat dalam bertindak.

2. Jenis Pelayanan Keperawatan Di Rumah


Jenis pelayanan keperawatan di rumah di bagi tiga kategori yaitu :
a. Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis yang paling
banyak di laksanakan pada pelayanan keperawatan di rumah sesuai dengan
alasan kenapa perlu di rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan
asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah tingkat
keparahan sehingga tidak perlu dirawat di rumah sakit.
b. Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang fokusnya pada pomosi
dan prevensi. Pelayanannya mencakup mempersiapkan seorang ibu
bagaimana bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh
kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap proses menua,
serta tentang diit mereka.
c. Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan pada
penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-penyakit kronis
seperti diabet, stroke, hipertensi, masalah-masalah kejiwaan, dan asuhan
pada anak.
PERJALANAN KEPERAWATAN

Dalam perjalanan keprofesionalismeannya, ternyata keprofesionalismean


keperawatan sulit tercapai bila pendidikan vocational lebih banyak dari pada
pendidikan yang bersifat profesionalisme, dalam hal ini pendidikan tinggi
keperawatan. Oleh karena itu, diperlukan adanya standarisasi kebijakan tentang
pendidikan keperawatan yang minimal berbasis S1 Keperawatan.
Terkait hal tersebut, Direktorat Pendidikan Tinggi mengeluarkan SK No 427/
dikti/ kep/ 1999, tentang landasan dibentuknya pendidikan keperawatan di
Indonesia berbasis S1 Keperawatan. SK ini didasarkan karena keperawatan yang
memiliki “body of knowladge” yang jelas, dapat dikembangkan setinggi-
tingginya karena memilki dasar pendidikan yang kuat. Selain itu, jika ditelaah
lagi, penerbitan SK itu sendiri tentu ada pihak-pihak yang terkait yang
merekomendasikannya, dalam hal ini yakni Departemen Kesehatan ( DepKes) dan
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Jika dilihat dari hal ini, maka dapat
disimpulkan adanya kolaborasi yang baik antara Depkes dan PPNI dalam rangka
memajukan dunia keperawatan di Indonesia.
Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Banyak sekali kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh Depkes yang sangat merugikan dunia
keperawatan, termasuk kebijakan mengenai dibentuknya pendidikan keperawatan
DIV di Politeknik-politeknik kesehatan (Poltekes), yang disetarakan dengan S1
Keperawatan, dan bisa langsung melanjutkan ke pendidikan strata dua (S2) dan
juga. Padahal beberapa tahun lalu telah ada beberapa Program Studi Ilmu
Keperawatan di negeri ini seperti PSIK Univesitas Sumatera Utara dan PSIK
Universitas Diponegoro yang telah membubarkan dan menutup pendidikan DIV
Keperawatan karena sangat jelas menghambat perkembangan profesi
keperawatan.
Selain itu masih beraktivitasnya poltekes-poltekes yang ada di Indonesia
sekarang ini yang sebetulnya melanggar hukum Sistem Pendidikan Nasional yang
ada tentang pendirian Poltekes, yakni Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang
Pendidikan Kedinasan, di mana pendirian Poltekes yang langsung berada dalam
wewenang Depkes bertujuan dalam rangka mendidik pegawai negeri atau calon
pegawai negeri di bidang kesehatan, sehingga setelah lulus, lulusan-lulusan
Poltekes tersebut akan langsung diangkat menjadi pegawai negeri. Sedangkan saat
ini, Poltekes bukan lagi merupakan Lembaga Pendidikan Kedinasan, sehingga
para lulusannya tidak lagi mendapat ikatan dinas menjadi pegawai negeri. Oleh
karena itu seharusnya Poltekes-poltekes yang sekarang ada ini tidak dapat lagi
melakukan aktivitasnya memberikan pendidikan keperawatan.
Selain itu akhir-akhir ini Depkes telah membuat kebijakan yang
mengghentikan utilisasi S1 Keperawatan, dan walaupun masih ada, mereka
dijadikan perawat-perawat S1 yang siap dikirim ke luar negeri. Hal ini bertujuan
untuk ”menggoalkan” DIV Keperawatan. Profesi Keperawatan secara sedikit
demi sedikit melalui cara-cara yang sistematis dibawa pada jurang kehancuran.
Tentunya kita sebagai calon-calon perawat profesional di masa depan tidak akan
membiarkan profesi kita tidak dihargai di masa depan dan pelayanan kesehatan
yang diterapkan sangat jauh dari pelayanan kesehatan standar yang seharusnya
didapat oleh bangsa ini.
Kini bangsa Indonesia diantara derasnya Reformasi, profesi perawat masih
harus segera membeli seperangkat “alat material” untuk membenahi tatanan
kehidupan baru dengan suara yang satu semangat solidaritas. Profesi kita sedang
diuji dari zaman kezaman terus saja menimpa profesi kita, kini puncak akumulasi
permasalahan telah tiba mari kita rubah, tengoklah beberapa fakta yang terjadi
dulu hingga kini :

Pertama, Perawat masih dijadikan warga kelas dua dinegeri sendiri dengan bukti
masih banyaknya tenaga perawat yang menjalani tenaga Honorer atau tenaga
kontrak (PKWT).cobalah anda Check sendiri fakta ini di rumah-rumah sakit,
poliklinik, tambang-tambang, pengeboran minyak, puskesmas dan sarana-sarana
Agency penyedia jasa tenaga kerja ( outsourching ) yang nota bene penyalur
perawat di berbagai kota besar di Indonesia.masih saja menjalani praktek –
praktek tak senonoh berbentuk perbudakan moden ( modern slavery ) ini jelas
melanggar konstitusi kita, amanat UU No.13 tahun 2003 dan KepMenakerTrans
No.100 tahun 2004 melarang untuk melakukan tindakan kontrak/honor atau
bahkan PHL ( Pekerja Harian Lepas ). Tenaga kontrak sesungguhnya hanya
diperuntukkan bagi buruh yang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajakan itu pun hanya berlaku 2 tahun plus satu tahun sedangkan tenaga
harian lepas untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam waktu dan volume
pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran. Praktek-praktek ini masih
banyak menimpa para perawat Indonesia karena lemahnya posisi tawar
(bargaining position ) perlu diketahui bahwa perawat haram hukumnya untuk
dikontrak terlebih menggunakan pihak ketiga, perawat secara tupoksi
mengerjakan pekerjaan tetap dengan frekwensi terus-menerus dan bukan
mengerjakan barang yang sedang diuji cobakan.perawat adalah seorang yang telah
menempuh serta lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang
program pendidikannya telah disyahkan oleh pemerintah. (AD/ART PPNI/INNA
Munas VII manado) ia adalah tenaga professional dibidang perawatan kesehatan,
ia bertanggung jawab atas perawatan, perlindungan dan pemulihan, ia berperan
dalam pemeliharaan pasien gawat darurat yang mengancam nyawa, dan ia terlibat
dalam riset medis dan perawatan sementara keperawatan adalah bentuk pelayanan
professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan
berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan. Ini adalah bentuk bantuan karena adanya
kelemahan fisik dan atau mental dan bantuan atas ketidakmampuan melakukan
kegiatan sehari-hari.

Kedua, Harga diri perawat kian hari kian diinjak-injak tanpa pengakuan sama
sekali, perawat bekerja secara terus-menerus 24 Jam dengan 2-3 Shift dengan
segala resiko yang mengancam, norma-norma kesehatan dan keselamatan kerja
( UU 13/2003 pasal 85/86 ) tidak dijalankan oleh pemerintah melalui instansi-
instansi yang mempekerjakan perawat hal ini diperparah lagi dengan sistem
jaminan sosial yang tidak pernah merata, antara resiko dan pendapatan tidak
berimbang, penghasilan/financial perawat dari dahulu hingga kini tak banyak
mengalami suatu perubahan yang signifikan. Ini artinya professi perawat
Indonesia lagi-lagi termarginalkan. Jika kita ingat kembali memori lama kita
tentang peristiwa bencana alam / korban masal yang silih berganti menimpa
bangsa kita justru tenaga Perawatlah yang dijadikan ujung tombak dalam garda
medis bencana alam, berapa juta kasus yang sudah perawat tangani hinggi kini tak
pernah dilihat oleh pemerintah namun mereka rasakan, mereka merasakan ketika
keluarga mereka sedang dirawat, mereka rasakan ketika suatu beban pekerjaan
mereka dapat terselesaikan oleh perawat sehingga tak jarang karir dan jabatan
mereka meroket karena jasa perawat. Berapa banyak pula kasus-kasus yang
diangkat dipermukaan menyangkut kesejahteraan perawat di Rumah-rumah sakit,
di Jakarta sudah terjadi Di RSU UKI, RS HAJI, RS Mata, AGD 118, RS DUREN
SAWIT dan masih banyak lagi ibarat fenomena gunung es, yang menyoalkan
masalah kesejahteraan, kejadian ini akan terus berlanjut sampai kapanpun
sebelum nasib perawat dan keluarganya diperhatikan dan dibuatkan suatu aturan
secara definitive untuk kesejahteraan para perawat.suatu perbandingan perawat
Indonesia dengan perawat Kuwait yang mendapat gaji berkisar antara Rp.10 juta
s/d 14 juta perbulan, sedangkan rekan sejawat yang bekerja di Indonesia
maksimum hanya Rp.800.000 s/d 1,5 jt perbulan ( data ketua PPNI yang bekerja
dikuwait ),sekarang marilah kita tengok perbandingan gaji DPR disenayan,
mereka sudah seringkali meneriakkan persetaraan gaji / study dengan DPR di
jepang dan korea padahal gaji mereka sudah melebihi dari kebutuhan hidup,
mengapa kita para perawat Indonesia tidak meneriakkan hal yang serupa??
Mungkin ini salah satu penyebab mengapa profesi lain memandang sebelah mata
profesi perawat, selayaknya sesama tenaga kesehatan dengan standart pendidikan
yang setara harus bersanding berdiri sejajar dengan profesi lain, kalau mereka bisa
kenapa perawat tidak? ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut harus ada upaya
kuat dan sama-sama kita perjuangkan dengan beberapa cara diantaranya dengan
menggulirkan Upah Minimum sector Provinsi ( UMSP ) dibidang keperawatan,
UU Ketenangakerjaan nomor 13 tahun 2003 telah mengamanatkan bahwa upah
minimum harus didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Justru
pemerintah telah melanggar ketentuan ini. Melalui Peraturan Menteri Nomor 17,
tahun 2005 PER-17/MEN/VIII/2005, komponen KHL hampir tidak pernah
diterapkan di keperawatan,bahkan masih banyak perawat dengan gaji dibawah
rata-rata UMP/R/S Akhirnya Kepmen 17/2005 menjadikan UPAH LAYAK bagi
perawat, hanyalah omong kosong belaka. Perawat Indonesia harus mendapatkan
kesejahteraan yang sama Seperti halnya upah PNS, TNI dan Polri, Upah Layak ini
berlaku secara nasional. Pengabdian perawat sama dengan mereka bahkan lebih
berat dari mereka. Upah Layak perawat selain memenuhi kebutuhan sandang dan
pangan, Apakah tuntutan ini berlebihan? TIDAK!!. Kemudian segera bentuk unit-
unit organisasi yang efektif untuk melakukan perlawanan yang serius.selain dari
pada itu standart kompetensi melalui pengesahan UU praktik
keperawatan.kemudian dibuka pintu eksodus selebar-lebarnya keluar negeri bagi
perawat, dengan eksodus maka profesi perawat akan dipandang unggul dan
dibutuhkan Negara , sebagaimana yang telah terjadi di Philipine dimana seorang
dokter spesialis, pengacara, arsitek, profesi lainya berbondong-bondong kuliah
keperawatan karena profesi ini pandang unggul dan terhormat (data PPNI) maka
dari itu ayo bangkit dan lawan ketidak adilan ini.

Ketiga, Lemahnya perlindungan Hukum dan persamaan pengakuan profesi


dimata Publik. UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan menegaskan bahwa ada
pengakuan profesi keperawatan, ada suatu perbedaan kewenangan profesi antara
dokter dan perawat. Hal ini seyogyanya menjadi acuan dalam penguatan Legal
aspek profesi perawat dimata publik, namun rasanya UU dan keputusan menteri
kesehatan tersebut belum lah cukup menjawab semua tantangan global yang saat
ini mengancam sendi kehidupan segenap anak bangsa, perawat memberikan
kontribusi yang begitu besar terhadap bangsa ini,tokoh keperawatan Dunia
Florence nightingle dan Siti Rufaidah telah merubah dunia dengan konsep kasih
sayangnya secara holistic ditengah-tengah kecamuk perang dunia ke II waktu itu.
Lemahnya perlindungan Hukum terhadap perawat Indonesia sangat jelas terlihat
ketika para tenaga peawat yang sedang mengalami gugatan Hukum tak terbela,
misalnya perawat AGD Dinkes DKI Jakarta yang sedang menjalankan tugas
kemanusiaan dini hari ( 1-6-08 ) di tabrak oleh oknum artis ibukota dan hingga
kini kasusnya gantung di Pengadilan tinggi negeri jaksel tanpa ada advokasi dari
pemerintah, itu adalah contoh kecil yang terjadi dan barangkali masih banyak
kasus baik di dalam maupun diluar negri yang tak terungkap akibat sikap
kelalaian pemerintah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan
pelayanan kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat.Keperawatan
ternyata sudah ada sejak manusia ada dan hingga saat ini profesi keperawatan
berkembang dengan pesat.Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia
tidak hanya berlangsung di tatanan praktik,dalam hal ini layanan
keperawatan,tetapi juga di dunia pendidikan keperawatan.Tidak asing lagi
pendidikan keperawatan memberi pengaruh yang besar terhadap kualitas
layanan keperawatan.Karenanya,perawat harus terus meningkatkan
kompetensi dirinya,salah satunya melalui pendidikan keperawatan yang
berkelanjutan.

B. Saran
Dari kesimpulan yang ada maka kita sebagai calon perawat atau
perawat harus terus meningkatkan kompetensi dirinya.Salah satunya melalui
pendidikan keperawatan yang berkelanjutan,sehingga kita tidak mengalami
ketertinggalan dari keperawatan internasional.
DAFTAR PUSTAKA

Kusnanto,S.Kp, M.Kes. 2003.Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan


Profesional. Jakarta : EGC
Priharjo, Robert. 2008. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional.
Jakarta : EGC
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kualitas-pelayanan-keperawatan/
http://oknurse.wordpress.com/2009/09/02/praktik-mandiri-perawat/
http://te-in.facebook.com/topic.php?uid=52607945966&topic=12634

47
48
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan
Keperawatan merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan
pelayanan kesehatan guna meningkatkan kesehatan masyarakat.Keperawatan
ternyata sudah ada sejak manusia ada dan hingga saat ini profesi keperawatan
berkembang dengan pesat.Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia
tidak hanya berlangsung di tatanan praktik,dalam hal ini layanan
keperawatan,tetapi juga di dunia pendidikan keperawatan.Tidak asing lagi
pendidikan keperawatan memberi pengaruh yang besar terhadap kualitas
layanan keperawatan.Karenanya,perawat harus terus meningkatkan
kompetensi dirinya,salah satunya melalui pendidikan keperawatan yang
berkelanjutan.

D. Saran
Dari kesimpulan yang ada maka kita sebagai calon perawat atau
perawat harus terus meningkatkan kompetensi dirinya.Salah satunya melalui
pendidikan keperawatan yang berkelanjutan,sehingga kita tidak mengalami
ketertinggalan dari keperawatan internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Kusnanto,S.Kp, M.Kes. 2003.Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta : EGC
Priharjo, Robert. 2008. Konsep dan Perspektif Praktik Keperawatan Profesional.
Jakarta : EGC
http://klinis.wordpress.com/2007/12/28/kualitas-pelayanan-keperawatan/
http://oknurse.wordpress.com/2009/09/02/praktik-mandiri-perawat/
http://te-in.facebook.com/topic.php?uid=52607945966&topic=12634

Anda mungkin juga menyukai