Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH REHABILITASI MEDIK

Gangguan gaya berjalan (gait disorder) terhadap instabilitas


postural

OLEH :
NISSA RIZKIANI BASRI
1111103000005
Pembimbing:
dr. Marina Indriasari, Sp.KFR

STASE GERIATRI
PERIODE 4-31 Mei 2015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Salawat serta salam tidak
lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
Adapun judul dari makalah ini adalah Gangguan gaya berjalan (gait disorder) terhadap
intsabilitas postural yang merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Biodang Geriatri
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
periode 4 Mei 31 Mei 2015.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
penulisan makalah ini. Penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun
bagi penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi pembaca.

Jakarta,

Januari 2015

Penulis

Gangguan gaya berjalan (gait disorder) terhadap instabilitas


postural
Fisiologi berjalan (Gait Phase)
Berjalan/gait ada suatu proses kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah mekanisme
tubuh dan merupakan hasil dari kerjasama dari berbagai jenis refleks. Gangguan berjalan dapat
dijumpai pada berbagai keadaan. Faktor-faktor mekanis seperti penyakit pada otot, tulang,
tendon, dan sendi berperan penting pada terjadinya gangguan berjalan. Penyakit pada susunan
saraf sangat sering menyebabkan gangguan berjalan, dan kadang-kadang hanya dengan
memperhatikan cara berjalan saja dapat ditentukan adanya penyakit pada susunan saraf.
Gangguan berjalan dapat merupakan akibat gangguan sistem motorik dari berbagai tingkatan
(korteks motorik dan jaras dosendensnya, kompleks ekstra piramidal, serebelum, sel-sel kornu
enterior, saraf motorik perifer atau otot). Gangguan lain yang juga dapat menyebabkan
gangguan/perubahan cara berjalan adalah gangguan psiko motor (hiteria dan malingering),
gangguan kompleks vestibuler, gangguan pada saraf sensorik, kolumna posterior, dan jaras
averen serebeler

ANATOMI DAN FISIOLOGI BERJALAN


Proses berjalan merupakan suatu proses yang kompleks yang membutuhkan keutuhan
berbagai struktur dan mekanisme saraf. Struktur dan mekanisme saraf ini menyelenggarakan
pengaturan untuk proses berjalan.
Korteks motorik
Korteks motorik primer (area Brodmann 4) terletak pada gyrus presentalis lobus frontalis,
terbentang dari fisura lateralis hingga batas dorsal hemisfer dan sebagian permukaan media lobus
frontalis rostal dari lobulus parasentralis. Korteks motorik primer berhubungan dengan
penampilan gerakan. Disebelah rostal area motorik primer tedapat kortesk premotor (area
Brodmann 6). Pada permukaan lateral hemisper yang berhubungan dengan pemuliaan (inisiasi)
gerakan. Area motorik tambahan terdapat pada aspek medial dari area 6 pada penampang sagital,
rostal dari lobulus parasentral. Area ini aktif selama persiapan gerakan setelah inisasi gerakan.

Fungsi area ini terutama berhubungan dengan gerakan kompleks pada anggota gerak termasuk
gerakan anggota gerak bersama pada kedua sisi tubuh.
Jaras jaras desenden dari korteks serebri yang mempengaruhi aktivitas motoric adalah:

Traktus piramidalis
Traktus kortikorubral dan rubrospinal
Traktus vestibulospinal
Serebelum
Basal ganglia
Medulla spinalis

SIKLUS BERJALAN
Satu siklus berjalan/gait dimulai dari tumit salah satu kaki mengenai lantai (heel strike)
hingga heel strike berikutnya pada kaki yang sama, disebut 100% total siklus berjalan. Titik-titik
tertentu dari siklus ini dapat diamati yaitu:
0 % : heel strike pada permulaan fase berdiri (stance phase)
15% : kaki bagian depan menyentuh lantai, disebut juga foot flat
30% : tumit terangkat dari lantai (heel off)
45% : lutut dan panggul menekuk untuk mempercepat kaki kedepan
dalam antisipasi fase mengayun (swing phase) disebut knee band
60% : jari-jari terangkat dari lantai, akhir dari fase berdiri untuk
mengawali fase mengayun, disebut toe off. Pada pertengahan ayunan
diperlukan dorsofleksi kaki untuk mencegah jari-jari menyentuh lantai.
100% : tumit kaki yang sama kembali menyentuh lantai.
Selama total siklus berjalan, fase berdiri meliputi 60% total siklus dan fase mengayun 40%.
Fase-fase dari siklus berjalan:
0 15% : fase heel strike
15 30% : fase mid stance
30 - 45% : fase push off
45 60% : fase acceleration of the swing leg
Pada akhir dari fase berdiri dari satu kaki dan permulaan fase berdiri kaki lainnya
terdapat suatu saat dimana tubuh ditopang oleh kedua tungkai. Fase double support ini
berlangsung selama 11% dari siklus. Panjang langkah (stide length) adalah jarak dari satu
hell strike ke heel strike berikutnya dari kaki yang sama, rata-rata 156 cm. Step length
adalah jarak antara heel strike kaki yang satu dengan kaki lainnya, rata-rata separuh dari
jarak stride length. Lebar langkah (stride width) ditentukan dari jarak antara kedua garis

tengah kedua kaki, rata-rata 8 lebih kuran 3,5 cm. Sudut kaki (foot angle) adalah sudut
yang terbentuk pada saat melangkah dimana sumbu kaki memotong garis arah berjalan,
rata-rata 6,7 6,8 0. Lamanya satu siklus jalan adalah lebih dari 1 detik (1,03 lebih
kurang 3,5). Jumlah langkah (step) 117/menit, stride 60/menit. Dari angka-angka tersebut
diatas bisa terdapat berabagai variasi.

Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan. Keseimbangan,
kekuatan dan fleksibilitas diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga
elemen itu merupakan dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu.
Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh ganggguan musculoskeletal dan ini
berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai pergerakan normal, yaitu:

Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan dan pergerakan
melangkah ke depan
Posisi tegak karena pusat gravitasi berada di vertebra sacral 2 anterosuperior
Posisi tegak membutuhkan sedikit energy untuk menjaga keseimbangan saat berdiri.
Stabilitas mekanik dipertahankan sepanjang jalur gravitasi yang melewati dasar
penyangga di antara kedua kaki.
Selain pergerakan normal, juga harus diperhatikan terkait dengan mekanime pergerakan
maju yaitu:
Berhubungan dengan fiksasi serta panggul sedikit berputar keluar, lutut fleksi dan kaki
dorsi fleksi
Tumit menyentuh lantai
Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat gravitasi di depan
Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan pelvis dan ekstremitas
bawah.
Dampak dari pergerakan maju akan menghasilkan pola jalan. Pada lansia ada beerapa
perubahan yang mungkin terjadi, diantaranya sebagai berikut:
a. Kecepatan verjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian dalam tiap
decade menurun kecepatannya 15 % untuk kecepatan berjalan biasa dan 20 %
untuk kecepatan berjalan maksimal
b. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki (double stance phase) sehingga
menurunkan momentum pada fase mengayun kaki dan langkah menjadi pendek
c. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%. Merupakan
adaptasi tubuh adar didapati keseimbangan lateral
d. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur conthnya ankle plantar fleksor
yang menurun walaupun kemampuan maksimal dari ankle plantar dorsofleksi
tidak berubah
e. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis pada lansia yang
berkurang kekuatannya dan tidak bisa menghasilkan plantar fleksi yang optimal
f. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak atas.
Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak.
g. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang seperti hilangnya
ayunan tangan saat berjalan
h. Penurunan rotasi badan terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi
i. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun
j. Penurunan sudut antara tumis dan lantai hal ini disebabkan karena lemahnya
fleksibilitas plantar fleksor.

Selain pergerakan normal, bisa juga ditemukan gangguan gaya berjalan yang terjadi
akibat proses menua yang dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain: kekakuan
jaringan penghubung, berkurangnya masa otot, perlambatan konduksi saraf, penurunan
visus atau lapang pandang, kerusakan propioseptif. Disamping itu biasanya juga dijumpai
pada lansia yaitu kelemahan otot quadriceps femoris, stenosis spinal, stroke, neuropati
perifer, osteoarthritis, osteoporosis, penyakit Parkinson dan keadaan patologi dari sendi
panggul.
Semua perubahan tersebut mengakibatkan antara lain:
Kelambanan atau keterlambatan dalam gerak
Langkah yang pendek
Penurunan irama
Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang
goyah (postural sway)
Dari

perubahan

tersebut

mengakibatkan

lansia

susah

atau

terlambat

mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba-tiba


yang menyebabkan mudah jatuh.
Ada beberapa gangguan gaya berjalan yang sering ditemukan pada lansia yaitu:
a. Gangguan gaya berjalan hemiplegik (hemiplegic gait)
Pada hemiplegik terdapat kelemahan dan spastisitas ekstremitas
unilateral dengan fleksi pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah
dalam keadaan ekstensi. Ekstremitas bawah dalam keadaan ekstensi
sehingga mengakibatkan kaki memanjang. Pasien harus mengayunkan
sambil memutar kakinya untuk melangkah ke depan. Jenis gangguan
berjalan ini ditemukan pada lasi tipe Upper Motor Neuron (UMN).

b. Gangguan gaya berjalan diplegik (diplegic gait)


Pada gangguan gaya berjalan diplegik terdapat spastisitas
ekstremitas bawah lebih berat dibanding ekstremitas atas. Pangkal paha
dan lutut dalam keadaan fleksi dan adduksi dengan pergelangan kaki
dalam keadaan ekstensi dan rotasi interna.

c. Gangguan gaya berjalan neuropathy (neuropathic gait)


Gangguan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan pada
penyakit saraf perifer dimana ekstremitas bawah bagian distal lebih sering
diserang. Karena terjadi kelemahan dalam dorsofleksi kaki, maka pasien
harus mengangkat kakinya lebih tinggi untuk menghindari pergeseran
ujung jari kaki dengan lantai
d. Gangguan gaya berjalan myopathy (myopathic gait)
Dengan adanya kelainan otot, otot-otot proksimal pelvic girdle
(tulang pelvis yang meyokong pergerakan ekstremitas bawah) menjadi
lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila melangkah
ke depan, sehingga pelvis miring ke kaki sebelahnya, akibatnya terjadi
goyangan dalam berjalan dalam hal ini pasien mengalami intabilitas
postural.

e. Gangguan gaya berjalan parkinsonian (parkinsonian gait)


Pada penyakit Parkinson dimana terjadi rigiditas dan bradikinesia
dalam berjalan, hal ini diakibatkanya adanya gangguan di ganglia basalis.
Pada pasien Parkinson tipe berjalannya adalah tubuh membungkuk ke
depan, langkah memendek, laman dan terseret disertai dengan ekspresi
wajah seperti topeng.

f. Gangguan gaya berjalan khoreoform (choreiform gait)


Gangguan gaya berjalan khoreoform merupakan gangguan gaya
berjalan dengan hyperkinesia akibat gangguan ganglia basalis tipe

tertentu. Terdapat pergerakan yang ireguler seperti ular dan involunter


baik pada ekstremitas bawah maupun atas.
g. Gangguan gaya berjalan ataxia (ataxic gait)
Pada gangguan ataxia ini terdapat langkah berjalan menjadi lebar,
tidak stabil dan mendadak, akiatnya badan memutar ke samping dan jika
berat, pasien akan jatuh. Jenis gangguan berjalan ini dijumpai pada
gangguan cerebellum.

Menurut penelitian sebelumnya dikatakan bahwa dari 33 lansia di panti


werdha wening diperoleh hasil bahwa adanya hubungan antara kecepatan berjalan
dengan keseimbangan berdiri, artinya bahwa dengan kecepatan berjalan yang
teratur maka keseimbangan beridiri akan stabil, begitu juga sebaliknya jika
kecepatan berjalan tidak teratur maka keseimbangan berdiri akan terganggu
sehingga dapat menyebabkan lansia jatuh. Dalam hal ini berarti dapat diberi
kesimpulan bahwa pada lansia yang mengalami gangguan berjalan (yang
termasuk ke dalam faktor intrinsik) sehingga dapat menyebabkan terganggunya

keseimbangan berdiri yang mana dapat menyebabkan instabilitas postural yang


termasuk ke dalam geriatric sindrom.

Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu alat untuk mempercepat pemulihan pasien
dari cedera dan penyakit yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakangerakan aktif maupun pasif. Hal serupa juga dikatakan Kwakkel, et. al, (2004)
bahwa terapi latihan merupakan kegiatan fisik yang reguler dan dilakukan dengan
tujuan meningkatkan atau mempertahankan kebugaran fisik atau kesehatan dan
termasuk didalamnya fisioterapi dan okupasional terapi.
ROM exercise
Latihan Range of Motion (ROM) merupakan sebuah teknik dasar yang
digunakan untuk pemeriksaan gerak dan sebagai permulaan program intervensi
terapeutik. Range of Motion (ROM) merupakan tindakan atau latihan otot atau
persendian yang diberikan kepada pasien yang mengalami kterbatasan mobilitas
sendi karena penyakit, disabilitas, atau trauma. Terdapat tiga tipe latihan ROM
yaitu (Kisner dan Colby, 2007):
1. Passive ROM (PROM)
Passive ROM (PROM) adalah sebuah gerakan dimana energi yang
digunakan berasal dari luar, sehingga tidak ada kontraksi otot secara volunter.
Sumber energi dapat berasal dari grafitasi, mesin, orang lain, ataupun bagian
tubuh lain dari pasien itu sendiri.
Tujuan dari PROM adalah:

1) Untuk menjaga fisiologis dari sendi dan jaringan ikat


2) Mencegah kontraktur karena imobilisasi
3) Menjaga elastisitas sendi
4) Membantu sirkulasi dan vascular dynamic
5) Membantu pergerakan cairan sinovial untuk nutrisi kartilago
6) Mengurangi nyeri.

2. Aktive ROM (AROM)


Aktive ROM (AROM) adalah gerakan sebuah segmen dimana tenaganya
berasal dari kontraksi otot-otot penggerak segmen tersebut.
Manfaat dari AROM adalah:
1) Menjaga sifat fisiologis, elastisitas, dan kontraktilitas dari otot
2) Memberikan sensori feedback dari kontraksi otot
3) Memberikan stimulus untuk integritas tulang dan jaringan
4) Meningkatkan sirkulasi dan mencegah adanya thrombus
5) Meningkatkan koordinasi dan kemampuan motorik untuk aktivitas
fungsional.

3. Aktive-Assistive ROM (A-AROM)


Aktive-Assistive ROM (A-AROM) merupakan salah satu jenis AROM
dimana otot penggerak mengalami kelemahan sehingga memerlukan bantuan
bantuan untuk dapat melakukan gerakan. Bantuan dapat berasal dari orang lain,
mesin, ataupun bagian lain dari tubuh pasien sendiri.

KESIMPULAN

Gangguan gaya berjalan (gait disorder) pada lansia dapat menyebabkan


ketidakseimbangan dalam hal berdiri sehingga dapat menyebabkan lansia jatuh.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada lansia yang mengalami gangguan
berjalan (yang termasuk ke dalam faktor intrinsik) dapat menyebabkan
terganggunya keseimbangan berdiri yang mana dalam hal ini dapat menyebabkan
instabilitas postural yang termasuk ke dalam geriatric sindrom.
Tatalaksana dapat dilakukan dengan latihan Range of Motion (ROM)
merupakan sebuah teknik dasar yang digunakan untuk pemeriksaan gerak dan
sebagai permulaan program intervensi terapeutik. Range of Motion (ROM)
merupakan tindakan atau latihan otot atau persendian yang diberikan kepada
pasien yang mengalami kterbatasan mobilitas sendi karena penyakit, disabilitas,
atau trauma. Terdapat tiga tipe latihan ROM yaitu: Passive ROM (PROM), Aktive
ROM (AROM) dan Aktive-Assistive ROM (A-AROM).

DAFTAR PUSTAKA

1) Brooke, salzman, MD. Gait and balance disorders in older adults.


American family physician. July vol 82 num 1. Philadelphia. 2010
2) M Jeffrey, Neil . gait disorders evaluation and management.
University of Michigan. 2005
3) Aru w,Sudoyo, et al. Buku ajar ilmu penyakit Dalam Jilid III edisi V.
Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI. 2006
4) Darmojo, boedhi dan Hadi martono.Buku Ajar Boedhi-Darmojo
Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).Edisi ke-4.Jakarta:Balai
Penerbit FKUI. 2009
5) R.K.Y Chong. Diagnostic value of the rapid assessment of postural
instability in parkinsons disease (RAPID) questionnaire. 2012
6) Janusz w, at all. Postural stability and fractal dynamics. Poland. 2001
7) Patel, mitesh. Postural control and adaptation to threats to balance
stability. Lund university faculty of medicine. 2009

Anda mungkin juga menyukai