Final Phantom Pain
Final Phantom Pain
PENDAHULUAN
Sensasi fantom (phantom limb sensation) merupakan istilah untuk sensasi pada anggota
badan sesudah amputasi, sering juga disebut nyeri deaferensiasi. Pasien dengan nyeri fantom
merasakan nyeri dan disestesia. Lebih dari empat abad ang lalu, seorang ahli bedah Perancis
Ambroise Pare sudah melaporkan adanya nyeri fantom yang ditulis pada tahun 1851 dimana
pasien setelah beberapa bulan amputasi tungkai, mengeluh nyeri hebat pada daerah kaki yang
telah diamputasi, pasien seolah olah masih mempunyai kaki (Keynes 1952). Nyeri fantom
juga dilaporkan oleh Herman Melville pad novel Moby Dick tahun 1851.
Deskripsi klasik nyeri fantom, secara terperinci oleh Weir Mitchell pada tahun 1872, ia
menggunakan istilah halusinasi sensoris untuk fenomena tersebut.
Mitchell mencoba
merangsang listrik pada ujung amputasi menimbulkan sensasi seolah olah ada gerakan jari.
Observasi nyeri fantom oleh Mitchell dilanjutkan oleh Hughling Jackson pada akhir abad 19, ia
menyatakan bahwa nyeri fantom biasanya dominan pada tangan atau kaki dimana pasien sadar
akan kehilangan salah satu anggotanya.
kesadaran motoris akibat rangsangan sensoris dari bekas amputasi (Jackson, 1932).
Rasa nyeri fantom dapat ditemukan juga pada mata, hidung, lidah, gigi, dan mammae.
Akan tetapi seringkali lebih banyak ditemukan rasa nyeri phantom ini pada anggota gerak tubuh
sehingga sering disebut dengan phantom limb pain.
definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan dari phantom limb
pain. Phantom limb pain merupakan gejala sisa setelah diamputasi terjadi lebih dari 80 %
pasien. Perubahan pada pusat otak merupakan faktor mayor terjadinya phantom limb pain,
bagaimanapun faktor perifer dan psikologikal dapat mempresipitasi terjadinya rasa nyeri ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Phantom Limb Pain
Amputasi dari anggota gerak tubuh umumnya diikuti dengan adanya sensasi bahwa
anggota tubuh yang hilang masih dapat dirasakan, dikenal sebagai phantom sensation. Sensasi
ini termasuk posisi, bentuk atau gerakan, rasa hangat atau dingin, rasa seperti tersetrum atau
kesemutan. Bila sensasi nyeri dirasakan pada anggota gerak tubuh yang telah diamputasi disebut
sebagai phantom limb pain, hal ini dikemukakan oleh Mitchell pada tahun 1872. 1 Ambrose Pare
seorang ahli bedah militer dari Perancis, pertama kali yang mengemukakan mengenai fenomena
post-amputasi. Dia menyebutkan bahwa orang yang diamputasi dapat mengeluh rasa nyeri yang
tidak enak pada anggota tubuh yang hilang setelah diamputasi, setelah itu baru Mitchell
mempopulerkan istilah phantom limb pain.2
Rasa nyeri ini dapat berhubungan dengan posisi atau gerak tertentu, dapat disebabkan
oleh faktor fisik seperti perubahan tekanan atau suhu pada anggota gerak yang telah diamputasi
dan faktor psikologi seperti stress emosional. Phantom limb pain seringkali disalah artikan
dengan rasa nyeri lainnya yang terjadi di sekitar anggota tubuh yang diamputasi seperti stump
pain.
Diantaranya dikenal sebagai phantom limb pain dan stump pain. Phantom limb pain diartikan
sebagai sensasi dimana anggota tubuh yang telah diamputasi, dirasakan pasien masih ada dan
nyeri. Stump pain yaitu rasa nyeri yang terdapat pada lokasi amputasi.3
2.2 Epidemiologi
Phantom limb pain pernah dianggap cukup jarang angka kejadiannya akibat keengganan
pasien untuk meyebutkan rasa sakit karena takut dikucilkan. Terdapat banyak laporan mengenai
insidensi dari phantom pain, salah satunya ada survei dari 590 pasien yang telah diamputasi,
sebanyak 55 % mengeluh adanya phantom pain dan 56 % mengeluh stump pain. Sherman
menemukan bahwa 70 % pasien mengeluh rasa phantom limb pain dalam 2 tahun pertama
setelah diamputasi. Lebih dari 80 % pasien yang menjalani hemipelviktomi menderita phantom
limb pain. Roth dan Sugarbaker menyimpulkan bahwa amputasi pada tingkat yang lebih tinggi
dari tungkai bawah, semakin meningkatkan insidensi.3
Jensen et al melaporkan bahwa phantom limb pain terjadi dalam 8 hari setelah amputasi
pada 72 % pasien dewasa. Nikolajsen et al menyebutkan insidensi phantom pain tidak menurun
dalam 6 bulan setelah amputasi, walaupun terdapat penurunan durasi nyeri yang intermitten.
Sebanyak 3 10 % pasien mengeluh nyeri yang kronik dan parah. 3 Sensasi dari phantom pain
terdapat pada 85 98 % pasien dalam 3 minggu setelah diamputasi dan sebanyak kurang lebih 8
% pasien tidak mengalami sensasi tersebut sampai 12 bulan setelah amputasi. Sebagian besar
sensasi tersebut menghilang setelah 2 3 tahun tanpa pengobatan. Phantom limb pain dirasakan
paling kuat pada amputasi di atas siku dan paling lemah pada amputasi di bawah lutut, paling
sering terjadi bila diamputasi keduanya. Ada penelitian yang menyatakan bahwa insidensi
phantom limb pain bervariasi antara 0 88 %, pada amputasi ekstremitas bawah terjadi sebanyak
72 % dan 51 % pada amputasi ekstremitas atas. Prevalensi pada amputasi di bawah lutut 0 %
dibandingkan di atas lutut sebanyak 19 %. Phantom limb pain dilaporkan terjadi secepat paling
cepat 1 minggu setelah amputasi dan paling lama 40 tahun setelah amputasi. Rasa nyeri yang
dialami satu tahun setelah amputasi terjadi pada 10 % pasien. Sebanyak 50 88 % pasien
dengan phantom pain juga mengalami stump pain.2
Insiden phantom limb pain lebih rendah pada anak dari dewasa. Dalam penelitian
retrospektif dari 75 pasien anak, 48 % anak yg harus diamputasi akibat kanker dan 12 % anak
akibat trauma menderita phantom limb pain. Melzack et al meneliti sekelompok pasien anak
yang mengalami kelainan kongenital anggota gerak tubuh atau yang telah diamputasi sebelum
umur 6 tahun. Sensasi dari phantom limb terdapat pada 20 % akibat kongenital dan 42 % akibat
traumatik. Terdapat juga penelitian pada anak anak berumur 5 19 tahun yang diamputasi
3
sebelum umur 10 tahun ditemukan 50 % mengalami nyeri. Dalam penelitian Melzack et al,
pasien anak yang diamputasi mengalami sensasi phantom pain pada umur rata rata 2.3 tahun.
Sebanyak 35 % anak mengalami perbaikan selama 10 tahun setelah diamputasi dan 67 % pasien
anak menurun sensasi phantom pain tersebut.
Nyeri fantom seringkali dirasakan segera setelah dilakukan amputasi, sebelum terbentuk
neuroma. Hal ini menandakan bahwa mungkin terdapat sumber aktivitas ektopik lain pada sistem
saraf perifer pada tingkat yang lebih proksimal dari anggota gerak yang tersisa. Sumber lepas
muatan ektopik lainnya adalah ganglion radiks dorsalis (GRD). Lepas muatan ektopik dari GRD
dapat bergabung dengan aktiitas ektopik yang berasal dari neuroma. Proses crossexcitation dapat
menyebabkan depolarisasi dan aktivasi neuron di sekitarnya, sehingga memperkuat pelepasan
muatan ektopik secara keseluruhan. Sistem saraf simpatis dapat memicu dan memperkuat
aktivitas neuronal ektopik yang berasal dari neuroma dan juga yang berasal dari GRD. Hal ini
dapat menjelaskan timbulnya nyeri phantom saat seseorang merasakan stress emosional. Faktor
lain seperti suhu, tingkat oksigenasi, dan inflamasi lokal pada neuroma dan GRD juga dapat
berperan.5
Pada beberapa pasien, peran sistem saraf simpatis pada timbulnya nyeri fantom didukung
oleh fakta bahwa agen penghambat adrenergik dapat mengurangi nyeri fantom dan injeksi
adrenalin pada neuroma dapat memperhebat nyeri fantom dan parestesia pada beberapa pasien.5
Dapat disimpulkan bahwa kerusakan dan reorganisasi ujung saraf yang disertai
perubahan aktivitas pada GRD menjadi sumber yang potensial dari nyeri dan menimbulkan
aktivitas abnormal, termasuk nyeri fantom.5
seperti sensitisasi dapat pula dipicu oleh kerusakan saraf, seperti yang terjadi pada amputasi.
Hubungan antara medula spinalis dengan kerusakan saraf meliputi peningkatan rangsangan
terhadap neuron pada radiks dorsalis, perubahan struktural pada ujung sentral dari neuron
sensorik primer dan menurunnya proses inhibisi medula spinalis.5
Proses pada sistem saraf pusat yang dapat berperan pada terjadinya hipereksitabilitas
medula spinalis yang terjadi setelah kerusakan saraf adalah downregulation dari reseptor opioid,
baik pada ujung saraf aferen primer maupun pada neuron spinalis. Hal ini menambah proses
disinhibisi akibat penurunan jumlah aktivitas inhibitor GABA dan glycine. Sebagai tambahan,
kolesistokinin, inhibitor endogen dari reseptor opiat, mengalami upregulasi pada saraf yang
rusak, sehingga menambah efek disinhibisi. Perubahan medula spinalis yang diakibatkan karena
kerusakan saraf salah satunya adalah serabut aferen yang memiliki ambang rangsang rendah
menjadi terhubung dengan neuron spinal asendens yang menghantarkan informasi nosiseptif
menuju supraspinal. Normalnya, substansi P hanya diekspresikan oleh serabut C aferen dan A
aferen, yang kebanyakan adalah nosiseptor. Ekspresi substansi P oleh serabut A yang dipicu
karena kerusakan saraf membuat ny menjadi seperti nosiseptor. Sebagai contoh, aktivitas normal
atau ektopik dari serabut A dapat memicu dan mempertahankan sensitisasi pusat. Ketika hal ini
terjadi, input serabut A normal yang berasal dari perifer, input ektopik dan input dati aferen
berambang rangsang rendah yang masih utuh dapat berperan dalam menimbulkan nyeri fantom.5
Mekanisme yang dapat dihubungkan dengan terjadinya nyeri phantom adalah invasi area
medula spinalis yang secara fungsional ditempati oleh serabut aferen yang rusak. Sebagai
contoh, pada percobaan terhadap neuroma pada kucing dan tikus, terdapat perluasan area
receptive pada kulit yang bedekatan dengan bagian yang mengalami denervasi pada anggota
gerak, dan juga perubahan aktivitas pada area yang berdekatan ini menuju area pada medula
spinalis yang sebelumnya mewakili bagian tubuh yang secara fungsional mengalami
deaferensiasi oleh karena terjadi lesi pada serabut saraf. Pada pasien yang diamputasi, tanda
hipereksitabilitas dapat ditemukan pada dermatom yang berdekatan dengan bagian anggota gerak
yang mengalami denervasi, yang mungkin menunjukkan penyebaran hipereksitabilitas spinal
dari segmen denervasi menuju segmen yang berada di rostral dan kaudal dari area denervasi.
Reorganisasi pemetaan spinal anggota gerak juga terjadi pada batang otak dan kortikal.5
2.4.3 Perubahan Sentral : Batang otak, Thalamus, dan Korteks
7
Beberapa pengamatan yang dilakukan pada pasien yang diamputasi menunjukkan bahwa
perubahan yang terjadi pada tingkat supraspinal merupakan hal yang perlu diperhatikan. Sebagai
contoh, pasien dengan paraplegia yang mengalami kerusakan setinggi medula spinalis dapat
mengalami nyeri pada bagian bawah tubuhnya, walaupun relevansi fenomena ini dengan nyeri
fantom belum jelas.5
Perubahan supraspinal yang berkaitandengan terjadinya nyeri fantom melibatkan batang
otak, thalamus, dan korteks serebri. Terdapat bukti bahwa axonal sprouting pada korteks terlibat
dalam perubahan reorganisasional yang diamati pada percobaan pada monyet. Stimulasi
thalamus membuktikan bahwa reorganisasi mungkin juga terjadi pada tingkat thalamus dan
berhubungan erat dengan persepsi anggota gerak fantom dan juga nyeri fantom. Percobaan pada
monyet menunjukkan bahwa perubahan pada korteks berasal dari batang otak dan thalamus.
Perubahan pada tingkat subkortikal dapat juga berawal dari korteks, yang mempunyai hubungan
eferen yang kuat dengan thalamus dan struktur di bawahnya.5
2.4.3.1 Reorganisasi Kortikal
Pandangan baru terhadap nyeri phantom datang dari penelitian yang menunjukkan
adanya perubahan pada fungsi dan struktur arsitektural korteks somatosensori primer
yang diakibatkan amputasi dan deaferensiasi pada monyet. Pons dkk melaporkan bahwa
terjadi reorganisasi kortikal yang lebih besar setelah deaferensiasi radiks dorsalis, dengan
area yang merepresentasikan pipi pada korteks somatosensorik mengambil alih area yang
mewakili lengan dan tangan dalam hitungan sentimeter.5
Dari dasar inilah, Ramachandran dkk mengatakan bahwa sensasi yang dirasakan
pada bagian tubuh fantom berhubungan dengan proses reorganisasi pada korteks
somatosensori. Mereka menyebut fenomena ini sebagai topographical remapping.
Sensasi alih fantom pada pasien yang diamputasi tangannya dapat ditimbulkan dari ibu
jari kaki, yang mempunyai area somatosensorik yang jauh dari area tangan pada korteks
somatosensorik. Hal ini menunjukkan bahwa area lain dapat terlibat dalam terjadinya
sensasi alih. Telah dilaporkan bahwa sensasi alih fantom hanya muncul pada sebagian
kecil pasien yang diamputasi, sedangkan nyeri fantom lebih umum terjadi. Hal ini
8
menunjukkan bahwa sensasi alih fantom dan nyeri fantom berhubungan dengan proses
sentral yang berbeda. Halligan dkk memebuktikan bahwa topographical remapping dapat
berubah dari waktu ke waktu. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien yang dilakukan
amputasi anggota gerak atasnya menunjukkan pergeseran dari area mulut menuju tangan
pada korteks somatosensori. Penelitian lain menunjukkan bukti bahwa perubahan korteks
ini kurang berhubungan dengan sensasi alih fantom, dan lebih berkaitan dengan nyeri
fantom. Semakin besar pergeseran area mulut ke arah area yang sebelumnya mewakili
area lengan, semakin jelasa nyeri fantom yang dirasakan.5
2.4.3.2 Perubahan umpan balik sensorik dan motorik
Sensasi
nyeri
abnormal
dapat
berhubungan
dengan
ketidaksesuaian
(incongruence) antara input motorik dengan umpan balik sensorik dan aktivasi yang
saling berkaitan antara lobus frontalis dan parietalis. Sesuai dengan fakta tersebut, sebuah
penelitian menggunakan cermin untuk menciptakan perbedaan antara gerakan yang
sebenarnya dengan gerakan yang terlihat (gerakan yang terlihat di cermin berbeda dengan
gerakan di belakang cermin jika kedua lengan melakukan gerakan yang berbeda). Peneliti
melaporkan adanya parestesia yang disertai dengan rasa nyeri dan yang tidak disertai rasa
nyeri
sebagai
akibat
dari
ketidaksesuaian
gerakan
dan
mengusulkan
bahwa
Gambar 1. Telescoping
Nikolajsen, L, and T.S Jensen. "Phantom Limb Pain." Br J Anaesth, 2001: 107-16.
somatosensori, deaferensiasi yang terjadi kemudian dan invasi zona yang diamputasi oleh
input dari sekitarnya dapat mengaktivasi neuron yang mengkode nyeri. karena area
korteks yang menerima input dari perifer tampaknya tetap sesuai dengan area asalnya,
aktivitas pada area korteks yang mewakili anggota tubuh yang diamputasi dialihkan
menuju anggota tubuh ini dan dapat diinterpretasikan sebagai sensasi fantom dan nyeri
fantom.5
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nyeri kronik yang dirasakan sebelum
dilakukan amputasi dapat memprediksi nyeri fantom yang akan terjadi kemudian, yang
mendukung hipotesis pain memory. Tetapi, sampel penelitian ini mengikutsertakan hanya
sedikit amputasi traumatik dan kebanyakan adalah pasien yang diamputasi karena
mengalami nyeri dalam jangka waktu lama. Pada pasien tersebut ingatan akan nyeri
sudah terbentuk sejak waktu yang lama. Pada pasien yang mengalami amputasi
traumatik, faktor-faktor tambahan yang berhubungan dengan operasi, seperti jenis
anestesi dan nyeri pre- dan paska operasi dapat berperan. Didasarkan pada fakta bahwa
input nosiseptif tidak sepenuhnya dihalangi dengan anestesia sentral, anestesi perifer
ditambahkan saat sebelum dan selama operasi berlangsung untuk mencegah sensitisasi
sentral. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa analgesia tidak secara signifikan
mengurangi angka kejadian nyeri fantom. Untuk itu hipotesis pain memory masih harus
dibuktikan lebih lanjut.5
Dapat disimpulkan bahwa penjelasan di atas menandakan bahwa terdapat
berbagai macam mekanisme yang terjadi sehingga dapat menyebabkan timbulnya nyeri
fantom dan di dalamnya termasuk bagian perifer, medula spinalis dan otak. Proses ini
bermula dari perifer, kemudian berlanjut ke struktur yang lebih tinggi sampai ke korteks
serebri. Keterlibatan korteks serebri dapat mungkin dapat menjelaskan nyeri fantom yang
pada beberapa pasien dirasakan sangat nyata.5
11
2.5 Diagnosis
12
Diagnosis nyeri fantom belum ada yang spesifik. Pada umunya diagnosis ditegakkan melalui
anamnsesis riwayat pasien, gejala yang timbul,dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Namun,
keadaan sebelum maupun sesudah amputasi juga ikut menentukan faktor risiko dan prognosis
dari nyeri fantom ini. Gejala yang timbul dapat berupa sensasi kesemutan, kram, panas, dan
dingin di bagian ekstremitas yang telah teramputasi.7 Pemeriksaan penunjang lain dilakukan
untuk memastikan adanya penyebab lain dari nyeri yang ditimbulkan selain nyeri karena
ekstrimitas yang teramputasi. Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan seperti CT scan dan
MRI.
2.6 Penatalaksanaan
13
Tatalakasana pada nyeri fantom belum ada yang spesifik. Pada umunya penatalaksanaan
ini melibatkan terapi psikologis juga. Namun secara garis besar dibagi menjadi tatalaksana non
medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan bedah.
2.6.1 Penatalaksanaan medikamentosa
Tatalaksana medikamentosa meliputi pengunaan obat-obatan terutama golongan
analgetik, neuroleptik, anticonvulsants, antidepressants, beta-blockers.
2.6.1.1 Antidepresan.
Pada umumnya antidepresan yang digunakan adalah golongan trisiklik. Cara kerja
antidepresan trisiklik ini adalah dengan memodifikasi neurotransmitter yang dapat
menyebabkan nyeri. Selain itu juga dapat memberikan aefek penenang dan membatu
tidur. Contoh obat golongan ini seperti amitriptilin dan nortiptilin. 8 Amitriptyline
biasanya digunakan sebagai antidepresan tetapi menurut penelitian obat ini juga efektif
dalam mengatasi rasa nyeri fantom. Namun dapat terjadi efek samping dari
penggunaannya seperti mulut kering, konstipasi, berkeringat, kesulitan buang air kecil,
gangguan penglihatan, dan sakit kepala. Efek samping ini akan berangsur-angsur
menghilang setelah penggunaan selama 7-10 hari karena tubuh sudah mulai terbiasa.
Sebuah penelitian pernah menemukan salah satu efek dari amitriptilin adalah perubahan
kepribadian bahkan pernah dilaporkan beberapa orang yang mengkonsumsi obat ini
cenderung ingin meyakiti dirinya sendiri dan memiliki keinginan bunuh diri.9
2.6.1.2 Antikonvulsan.
Obat Epilepsi seperti gabapentin (Neurontin) dan carbamazepine (Carbatrol,
Tegretol)
sering digunakan
untuk
mengobati
nyeri.
Mereka
bekerja dengan
memperlambat kerusakan saraf atau mencegah sinyal nyeri yang tidak terkontrol.
Karbamazepin adalah obat lain yang sering digunakan dan awalnya merupakan obat
epilepsi. Karbamazepin dapat membantu mengurangi aktivitas sistem saraf dimana dapat
mengurangi sinyal rasa sakit. Efek samping dari karbamazepin adalah pusing, kelelahan,
gangguan keseimbangan, kesulitan mengendalikan gerakan, mual muntah, sakit kepala,
14
Dalam tatalaksana non medikamentosa dapat dibagi menjadi 2 yaitu tatalaksana non
invasive dan invasive.
2.6.2.1 Tatalaksana non-medikamentosa non-invasif
2.6.2.1.1
Anggota tubuh buatan yang disebut prostesis myoelectric dikendalikan oleh sinyalsinyal listrik yang terjadi selama aktivasi otot motorik volunteer di anggota tubuh yang
tersisa. Maka prostesis myoelectric dapat mengurangi nyeri fantom. 16
2.6.2.1.3
Mirror Box.
Perangkat ini berisi cermin dimana orang tersebut kemudian melakukan latihan
simetris, sambil menonton bergerak anggota tubuh utuh dan membayangkan bahwa mereka
benar-benar menggerakkan bagian tubuh yang teramputasi atau sudah tidak ada. Studi telah
menemukan bahwa latihan ini membantu mengurangi nyeri fantom pada sejumlah besar
orang. Jadi terapi Mirror box ini akan memunculkan ilusi gerakan dan sentuhan pada
anggota tubuh yang sudah tidak ada dengan menginduksi jalur somatosensori dan motorik
antara ekstrimitas yang teramputasi dan ekstrimitas yang masih ada.17 Anggota tubuh yang
16
utuh ditempatkan pada satu sisi cermin, dan di hadapan pasien, sedangkan anggota badan
diamputasi ditempatkan di sisi lain dari pandangan. Pasien melihat ekstrimitas yang utuh
melalui cermin dan mengirim perintah motor kepada kedua ekstrimitas untuk membuat
gerakan simetris. Gerakan ini memberikan umpan balik otak positif bahwa esktrimitas telah
bergerak. Menurut Penelitian Rogers-Ramachandran percaya bahwa jika otak menerima
umpan balik visual dari ekstrimitas yang bergerak, maka anggota tubuh yang teramputsi
akan menjadi seakan-akan tidak lumpuh. Dari penelitian juga didapatkan 8 dari 10 pasien
yag mengalami nyeri fantom telah berkurang intensitas nyerinya dengan teknik mirror box
ini.18,19
2.6.2.1.4
Akupunktur.
Spinal cord stimulation. Teknik ini dilakukan dengan cara memasukkan elektroda
kecil di sepanjang sumsum tulang belakang kemudian sebuah arus listrik kecil
dikirimkan ke sumsum tulang belakang yang kadang-kadang bisa meringankan rasa
sakit.8
Deep-brain stimulation adalah teknik bedah yang digunakan untuk mengurangi nyeri
fantom. Sebelum operasi, pasien menjalani imaging otak seperti scan PET dan MRI
untuk menentukan lokasi di mana rasa sakit berasal. Operasi kemudian dilakukan dengan
bius lokal, karena umpan balik pasien selama operasi diperlukan. Dalam studi yang
dilakukan oleh Bittar dkk., Frekuensi radio elektroda dengan empat titik kontak
ditempatkan pada otak.21 Setelah elektroda berada di tempat, lokasi kontak ditempatkan
sesuai dengan di mana pasien merasa rasa sakit berkurang. Setelah lokasi ditentukan,
elektroda ditanamkan. Setelah operasi primer, operasi sekunder dengan anestesi umum
dilakukan. Sebuah aliran generator subkutan ditanamkan ke dada di bawah klavikula
untuk merangsang elektroda. Ditemukan bahwa semua tiga pasien diteliti telah
merasakan penurunan intesitas nyeri yang memuaskan dari stimulasi otak dalam. Sakit
belum sepenuhnya dihilangkan, namun intensitas telah berkurang lebih dari 50%. 22
18
2.7 Prognosis
Prognosis terutama tergantung pada awal terapi. Jika terapi dimulai pada hari-hari
pertama atau minggu setelah amputasi, tingkat keberhasilan akan menjadi 80-90%, jika terapi
dimulai kemudian tingkat keberhasilan diharapkan hanya 30%, jadi harus dimulai sedini
mungkin, idealnya sebelum operasi.23 Untuk bagian bawah kaki anestesi spinal atau epidural
19
adalah pilihan yang baik, sedangkan untuk anggota tubuh bagian atas, blok saraf regional dapat
diterapkan. Keuntungan ini tidak hanya untuk pengobatan profilaksis rasa nyeri fantom, tetapi
juga merupakan analgesia pascaoperasi yang nyaman. Jika nyeri fantom sangat tajam, terapi
anticonvulsive dapat ditambahkan. Pilihan lainnya adalah penggunaan TENS. Namun, studi
Gnezdilov 6 pada 24 pasien dengan nyeri phantom menunjukkan bahwa hanya 25% dari pasien
yang merasakan adanya penurunan intensitas nyeri dengan menggunakan TENS.24
Awal pengobatan nyeri fantom pada pasien setelah amputasi dapat mengurangi insiden nyeri
kronis dari 60-85% menjadi 10 - 20%. Sebuah terapi sebanding menggunakan bupivakain akan
menyebabkan konsentrasi plasma beracun. Ropivacaine tidak hanya kurang beracun tetapi juga
memberikan keuntungan dari blokade motor yang kurang intensif sehingga dapat membatasi
bahaya blok saraf frenikus. 25
BAB III
20
KESIMPULAN
Phantom limb pain diartikan sebagai sensasi dimana anggota tubuh yang telah
diamputasi, dirasakan pasien masih ada dan nyeri. Phantom limb pain seringkali disalahartikan
dengan rasa nyeri lainnya yang terjadi di sekitar anggota tubuh yang diamputasi seperti stump
pain. Insidensi phantom limb pain bervariasi antara 0 88 %, pada amputasi ekstremitas bawah
terjadi sebanyak 72 % dan 51 % pada amputasi ekstremitas atas. Faktor yang menyebabkan
nyeri fantom ini dapat berasal dari faktor luar maupun dalam tubuh. Terdapat berbagai macam
mekanisme yang terjadi sehingga dapat menyebabkan timbulnya nyeri fantom dan di dalamnya
termasuk bagian perifer, medula spinalis dan otak. Proses ini bermula dari perifer, kemudian
berlanjut ke struktur yang lebih tinggi sampai ke korteks serebri. Keterlibatan korteks serebri
dapat mungkin dapat menjelaskan nyeri fantom yang pada beberapa pasien dirasakan sangat
nyata.
Pada umunya diagnosis ditegakkan melalui anamnsesis riwayat pasien, gejala yang
timbul,dan pemeriksaan fisik dan penunjang. Tatalakasana pada nyeri fantom belum ada yang
spesifik. Pada umunya penatalaksanaan ini melibatkan terapi psikologis juga. Namun secara
garis besar dibagi menjadi tatalaksana non medikamentosa, medikamentosa, dan tindakan bedah.
Prognosis terutama tergantung pada awal terapi. Jika terapi dimulai pada hari-hari pertama atau
minggu setelah amputasi, tingkat keberhasilan akan menjadi 80-90%, jika terapi dimulai
kemudian tingkat keberhasilan diharapkan hanya 30% jadi harus dimulai sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Lancet. Phantom limb pain : characteristics, causes and treatment. The Lancet Neurology
Vol 1, July 2002.
2. Manchikanti L, Singh V. Managing Phantom Pain. Pain Physician Vol 7, No3, 2004.
3. Rhodes, Lee-Ann. "Phantom Limb Pain." Malawer, 2001: 369-378.
4. Nikolajsen, L, and T.S Jensen. "Phantom Limb Pain." Br J Anaesth, 2001: 107-16.
5. Flor, Herta, Lone Nikolajsen, and T.S Jensen. "Phantom limb pain: a case of maladaptive
CNS plasticity?" Nature Reviews, 2006: 873-881.
6. Sumitani, Masahiko, et.al. "Phantom limb pain in the primary motor cortex: topical
review." J Anesth, 2010: 24:337341.
7. Holten, Keith B. 2008. Managing chronic pain: Whats the best approach? journal of
family practice medicine. December 2008 Vol. 57, No. 12: 806-811
8. Black, Lance M. 2009. What is the best way to manage phantom limb pain? Journal of
Family Practice, 58(3) 2009: 155+.
9. Maarten Van Kleef MD.2009. Evidence-Based Guidelines for Interventional Pain
Medicine according to Clinical Diagnoses. Volume 9, Issue 4, pages 247251,
July/August 2009
10. 21 Elliott F, Little A, Milbrandt W. Carbamazepine for phantom limb phenomena. N Engl
J Med 1976; 295: 678
11. Bone M.2002. Gabapentin in postamputation phantom limb pain: a randomized,
double-blind, placebo-controlled, cross-over study. Reg Anesth Pain Med. 2002 SepOct;27(5):481-6.
12. Halbert, J.; Crotty, M.; Cameron, I. D. (2002), "Evidence for the optimal management
of acute and chronic phantom pain: A systematic review", Clinical Journal of Pain 18
(2): 8492
22
13. Jaeger H, Maier C. Calcitonin in phantom limb pain: a doubleblind study. Pain 1992; 48:
2127
14. Nikolajsen L, Ilkjaer S, Christensen JH, Kroner K, Jensen TS. Randomized trial of
epidural bupivacaine and morphine in prevention of stump and phantom pain in lowerlimb amputation. Lancet. 1997;350:13537.
15. Katz J. Melzack R. Auricular transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) reduces
phantom limb pain. J Pain Symptom Manage 1991; 6: 7383
16. Murray, C. (2009), Amputation, Prosthesis Use, and Phantom Limb Pain
17. MacLachlan, Malcolm; McDonald, Dympna; Waloch, Justine (2004), "Mirror
Treatment of Lower Limb Phantom Pain: A Case Study", Disability and Rehabilitation
26 (14/15): 901904
18. Ramachandran, V. S.; Hirstein, William (2008), "The Perception of Phantom
Limbs: The D. O. Hebb Lecture", Brain 121 (1): 1603163
19. Ramachandran, V. S.; Rogers-Ramachandran, D. (April 1996), "Synaesthesia in
Phantom Limbs Induced with Mirrors", Proceedings of the Royal Society of London BBiological Sciences 263 (1369): 377386
20. Sherman RA, Glenda GM. Concurrent variation of burning phantom limb and stump pain
with near surface blood flow in the stump. Orthopedics 1987; 10: 1395402
21. Saris SC, Iacono RP, Nashold BS Jr. Successful treatment of phantom pain with dorsal
root entry zone coagulation. Appl Neurophysiol 1988; 51: 18897
22. Bittar, Richard G.; Otero, Sofia; Carter, Helen; Aziz, Tipu Z. (May 2005), "Deep Brain
Stimulation for Phantom Limb Pain", Journal of Clinical Neuroscience 12 (4): 399404
23. Kooijman CM, Dijkstra PU, Geertzen JHB, Elzinga A, Schans CP. Phantom pain and
phantom sensations in upper limb amputees: an epidemiological study. Pain 2000; 87:
3341
23
24. Lundeberg T. Relief of pain from nine phantom limbs by peripheral stimulation. J Neurol
1985; 232: 7982
25. Lierz P, Schroegendorfer K, Choi S, Felleiter P, Kress HG. Continous blockade of both
brachial plexus with ropivacaine in phantom pain: a case report. Pain 1998; 78: 1357
24