Anda di halaman 1dari 7

STUDI PERUBAHAN GARIS PANTAI BERDASARKAN SKENARIO KENAIKAN

PERMUKAAN AIR LAUT DI PESISIR KABUPATEN CILACAP


Anang Widhi Nirwansyah
Program Studi Pendidikan Geografi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Email : anang.gisser@gmail..com

Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah dengan fenomena geofisik yang kompleks. Secara
genetik wilayah kepesisiran (coastal area) merupakan bentang lahan yang dimulai dari garis
batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah gelombang (breakers
zone) ke arah darat hingga pada suatu bentang lahan yang secara genetik pembentukannya
masih dipengaruhi oleh aktivitas marine, seperti dataran alluvial kepesisiran (CERC, 1984). Pada
wilayah yang merupakan pertemuan daratan dan lautan ini, masyarakat tumbuh dan
berkembang dengan jumlah populasi yang cukup besar. Kota-kota besar banyak tumbuh di
daerah pesisir karena daya dukung wilayah terhadap kebutuhan manusia yang cukup besar.
Diperkirakan sebanyak 38% penduduk dunia tinggal di wilayah dengan jarak kurang dari 100 km
dari garis pantai (Cohen et.al., 1997; Pratomoatmojo dan Nirwansyah, 2011).
Pesisir merupakan wilayah yang dinamis dengan berbagai aspek fisik sebagai
pendorongnya. Perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dipengaruhi oleh energi gelombang,
angin dan pasang surut (Zeverbergen et.al. 2004). Indikasi paling mudah dilihat dari perubahan
yang terjadi di pesisir adalah fenomena perubahan garis pantai. Perubahan garis saat ini juga
dipicu oleh kenaikan muka air laut (sea-level rise) sebagai dampak perubahan iklim dan
pemanasan global. Beberapa kajian menyebutkan bahwa kenaikan muka air laut
mengakibatkan peningkatan erosi pesisir dan ancaman terhadap masyarakat yang tinggal di
daerah pesisir.
Bagian selatan Jawa Tengah merupakan merupakan wilayah pesisir dengan dinamika
garis pantai yang cukup besar. Besarnya gelombang dan letaknya yang langsung berhadapan
dengan samudra memiliki potensi terhadap perubahan garis pantai yang tinggi. Selain itu,
potensi tsunami karena letaknya yang dekat dengan zona pertemuan lempeng Eurasia dan
Indo-Australia menyebabkan wilayah pesisir selatan Pulau Jawa menjadi perlu mendapat
perhatian khususnya bagi penelitian kepesisiran. Beberapa kota di selatan Jawa Tengah
diantaranya Purworejo, Kebumen dan Cilacap merupakan memiliki bagian pesisir yang
berbatasan langsung dengan samudra, dan juga merupakan wilayah dengan perekonomian
pesisir yang cukup berkembang dengan tingginya angka populasi di wilayah kecamatan pesisir
dan infrastruktur pendukung kehidupan masyarakat yang cukup lengkap.
Permasalahan
Kajian mengenai potensi perubahan garis pantai dengan menggunakan skenario
kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim dapat dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi Sistem Informasi Geografis berbasis raster. Beberapa kajian telah dilakukan
diantaranya Nirwansyah (2012); Pratomoatmojo (2012); Marfai dkk (2011) yang masih fokus

pada lokasi penelitian di wilayah pantai utara Jawa. Wilayah pesisir Kabupaten Cilacap perlu
mendapat perhatian dimana wilayah ini merupakan wilayah pusat ekonomi dalam kawasan
Barlingmascakeb dengan kontribusi ekonomi yang cukup tinggi di wilayah pesisir. Beberapa
industri termasuk minyak, semen, serta pariwisata pantai yang cukup berkembang. Kondisi
demikian
Tujuan penelitian
Studi perubahan garis pantai dengan menggunakan skenario kenaikan muka air laut
IPCC dilakukan dengan tujuan untuk melakukan elaborasi terhadap kemampuan integrasi
teknologi sistem informasi geografis dan remote sensing. Secara khusus tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui perubahan garis pantai pesisir Kabupaten Cilacap dengan menggunakan
skenario kenaikan muka air laut
2. Membangun pemodelan genangan berdasarkan skenario kenaikan muka air laut

Landasan Teori
Kenaikan muka air laut merupakan efek jangka panjang dari perubahan iklim
(Nirwansyah, 2012). Proyeksi kenaikan muka air laut perlu dilakukan untuk memperhitungkan
dampak terhadap wilayah pesisir dan melakukan penilaian terhadap kesinambungan dari
permukiman di wilayah pesisir di seluruh dunia (IPCC, 2010). Hingga saat ini kenaikan muka air
laut merupakan permasalahan yang serius khususnya bagi kota-kota di pesisir akibat kenaikan
muka air dan kejadian badai yang bisa menyebabkan kerusakan perumahan, mengungsinya
penduduk, dan kerusakan sarana transportasi termasuk rusaknya ekosistem rawa. Kenaikan
suhu udara telah dimodelkan dalam laporan IPCC (2007) yang mengetengahkan data kenaikan
suhu dari tahun 2000 hingga tahun 2100, dengan mendasarkan dari perhitungan data sejak
tahun 1980. Gambar berikut ini merupakan model prediksi kenaikan muka air laut global
dengan beberapa skenario kenaikan suhu.

Gambar 1. Proyeksi kenaikan rata-rata muka air laut (m) berdasarkan kenaikan suhi selama
abad 21 secara relative dari tahun 1980 hingga 1999 berdasarkan skenario emisi A1B, A2, dan
BI. Perbedaan warna menggambarkan perbedaan model iklim global (sumber IPCC,2007 dalam
Nirwansyah, 2012)

Pemanasan global menyebabkan naiknya permukaan laut ketika lautan meluas, dan
membuat pola badai yang lebih aktif. Konsekuensi dari proses tersebut akan mempengaruhi
pola garis pesisir dunia melalui penggenangan dan peningkatan erosi (Kelik, 2010).
Penggenangan pesisir lebih mudah untuk diramalkan dibanding erosi karena penggenangan
dapat diperkirakan menggunakan bentuk, elevasi dan lereng pesisir (Srivastav, 2001).
Tanggapan pantai terhadap kenaikan muka laut sebenarnya tidaklah terlihat langsung dan
pantai yang hilang dinyatakan secara akumulatif sepanjang waktu. Cowell dan Roy (1995, dalam
Asthon dkk, 2007) menggunakan model pemunduran garis pantai berdasar ekuilibrium
geometris yang digunakan untuk menghitung dampak jangka panjang pantai terhadap kenaikan
muka laut berdasarkan lereng setempat.
Penelitian model prediksi pemunduran garis pantai dan daerah genangan karena
pengaruh kenaikan muka laut juga dilakukan di Indonesia oleh Sutrisno (2005) yang
menggunakan SIG (Sistim Informasi Geografis) dalam beberapa skenario. Penelitian dilakukan di
Pulau Muaraulu yang terletak di Delta Mahakam Provinsi Kalimantan Timur. Tujuan khusus
penelitian adalah untuk memvisualisasikan secara spasial dampak dari kenaikan muka laut di
masa yang akan datang. Dasar pemodelan memodifikasi rumusan Hennecke, dkk (2004)
didasarkan atas perhitungan sedimentasi arus susur pantai pada pesisir semi tertutup dan
menambahkan komponen sedimentasi secara terpisah (tidak dalam satu persamaan) sehingga
dapat memperlihatkan dampak positif atau negatif dari naiknya muka laut atau sedimentasi
pada perubahan garis pantai. Namun demikian, model ini belum mempertimbangkan
komponen ketidakpastian (uncertainty) dan kajian fisik masih bersifat statis.
Penelitian perubahan garis pantai juga dilakukan oleh Pratomoatmojo dan Nirwansyah
(2011) yang memfokuskan pada teknik intepretasi citra landsat dan analisis transek
menggunakan DSAS (Digital Shoreline Analysis) Extension di ArcGIS. Perhitungan matematis
dengan nilai rerata masing-masing transek dilakukan untuk menganalisis perubahan garis
pantai yang terjadi selama kurun waktu 1972-2010. Penggunaan data citra ini dapat dilakukan
sebagai bahan peta dasar yang kemudian dilakukan dijitasi onscreen serta analisis luasan
berbasis vektor.
Terkait dengan penelitian perubahan garis pantai di Cilacap juga telah dilaksanakan
oleh Putra (2007) dengan memanfaatkan citra landsat untuk menganalisis perubahan garis
pantai terdampak tsunami pada tahun 2006. Pengambilan data dilakukan dengan data
perekaman tanggal 5 September 1999, 19 Januari 2003 dan data pasca tsunami tahun 2006.
Metodologi Penelitian
Area penelitian
Kabupaten Cilacap yang terletak pada 7o3000-7o4520 LS dan 108o430-109o3030
BT dengan elevasi 0-9 mdpl. Kabupaten Cilacap memiliki luas wilayah mencapai 225.360,84
hektar yang terdiri dari 24 Kecamatan. Adapun lokasi kajian merupakan kecamatan yang
terletak dikawasan pesisir yakni terdiri dari wilayah Teluk Penyu Kecamatan Cilacap Selatan,
Pantai Bunton Kecamatan Adipala, dan Pantai Widarapayung Kecamatan Binangun.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan komputer yang
dilengkapi dengan Software SIG berupa ArcGIS 10 dengan dilengkapi ekstensi Digital Shoreline

Analysis (DSAS) versi academik. Spesifikasi komputer dengan kapasitas hardisk sebesar 250 GB
dan processor setingkat dengan dual-core dan kartu grafis onboard diperlukan dalam rangka
mengolah data citra serta melakukan processing dalam lingkungan kerja sistem informasi
geografis. GPS juga akan digunakan untuk melakukan verifikasi ketinggian tempat di lapangan.
Tipe GPS yang digunakan adalah GPS handheld 76x dari laboratorium SIG Prodi Pendidikan
Geografi UMP.
Bahan yang digunakan dalam penelitian untuk mengkaji perubahan garis pantai
dengan memanfaatkan SIG dan skenario kenaikan muka air laut adalah sebagai berikut
1. Data topografi / elevasi dengan akurasi tinggi yang diperoleh dari derivasi data digital
Peta Rupa Bumi.
2. Peta batas administrasi kecamatan pesisir yang diperoleh dari data pemerintah
Kabupaten Cilacap dengan dikolaborasikan dengan Peta Rupa Bumi.
3. Data skema kenaikan muka air laut IPCC selama kurun waktu hingga 2050.
4. Data statistik kecamatan di wilayah Kabupaten Cilacap khususnya kecamatan pesisir.
Metode analisis
Skenario kenaikan muka air laut
Untuk mengembangkan model perubahan garis pantai di kawasan pesisir Cilacap maka
diperlukan data digital elevation model (DEM), yang berisikan informasi ketinggian dan
karakterisitik topografi, dalam hal ini data ketinggian adalah dalam kedetilan yang cukup tinggi.
Data DEM akan dibangun dengan menggunakan teknologi SIG berbasis raster menggunakan
ArcGIS 10. Analisis ketetanggaan (Neighborhood analysis) dan teknik iterasi (iteration
technique) menggunakan fungsi algoritma pada software SIG akan diaplikasikan untuk
membangun model. Adapun algorithma yang digunakan adalah model yang dikembangkan
dalam Marfai dkk (2011); Nirwansyah (2012) dengan pengembangan menyesuaikan dengan
estimasi kondisi fisik yang ada.
wd=con(con([dem] <= x, x, 0) ! 0, con([dem] <= x, x, 0) - [dem], 0)
dimana wd merupakan area genangan yang direpresentasikan sebagai area yang tergenang
akibat kenaikan muka air laut, kemudian con merupakan simbolisasi dari kondisional (if), x
merupakan nilai ketinggian genangan yang akan diskenariokan, dem merupakan data digital
elevation model/ketinggian.
Skema kenaikan muka air laut IPCC dimodelkan dengan perhitungan linier matematis
berdasarkan ketinggian topografi suatu wilayah di pesisir. Adapun rumus penggunaan kenaikan
muka air laut digunakan dari penelitian Hidayatullah (2013); Nirwansyah (2012). Tahun
pemodelan akan difokuskan pada potensi kejadian hingga tahun 2050, yakni pada tahun 2030,
2040 dan 2050.
IA = con ([dem] <= x, x, 0) ! 0
Dimana IA adalah area genangan (inundated area) yang diasumsikan akan menjadi
batas garis pantai dimana kenaikan muka air laut terjadi. Hal ini dapat menjadi dasar
perhitungan untuk melakukan deliniasi garis pantai pada tiap skenario tahun yang dimodelkan,
tentu saja dengan asumsi tidak ada kejadian yang dapat menyebabkan perubahan garis pantai
terjadi secara drastis seperti tsunami atau pembangunan infrastruktur di pantai yang
menyebabkan pergeseran garis pantai dalam skala yang besar.

Proses ekstraksi titik ketinggian menggunakan data titik elevasi untuk diubah menjadi
distribusi area. Pemanfaatan model ini diarahkan untuk dapat menvisualisasikan data titik,
sehingga dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Grid model elevasi digital/DEM digunakan
metode Kriging sebagaimana disebutkan oleh Prahasta (2008) dalam Hidayatullah (2013)
bahwa penggunaan metode kriging untuk ekstrapolasi data titik dapat dilakukan pada sebaran
data yang tidak teratur.
Perubahan garis pantai
Analisis perubahan garis pantai dilakukan dengan metode statistik matematis dengan
memanfaatkan hasil model kenaikan muka air laut IPCC yang sebelumnya dibuat. Deliniasi yang
dilakukan dari perubahan tinggi muka air yang diasumsikan sebagai garis pantai baru dilakukan
dengan ekstensi DSAS termasuk pembuatan transek perpotongan dengan jarak masing-masing
transek sepanjang 1 km untuk mengoptimalkan kedetilan analisis. Hasil deliniasi ini kemudian
akan dirata-rata hingga menghasilkan angka rata-rata potensi perubahan garis pantai pada
tahun pemodelan 2030, 2040 dan 2050. Hasil analisis ini akan dikaji secara deskriptif dengan
melakukan analisis keruangan terhadap distribusi perubahan garis pantai dan melakukan
identifikasi terhadap potensi luasan genangan yang ada dengan parameter kondisi eksisting
saat ini.
Alur penelitian yang mengkombinasikan model kenaikan muka air laut dan perubahan
garis pantai ini dapat digambarkan pada diagram alir di bawah ini.

Gambar 2. Alur penelitian

Waktu penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 6 bulan mulai dari tahap penyusunan proposal
hingga diseminasi pada akhir periode penelitian. Berikut ini agenda kegiatan penelitian yang
disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Jadwal Rencana Penelitian
Bulan ke
Kegiatan
1
2
3
4
5
6
Proposal
Studi literatur dan inventarisasi data
Tahap lapangan dan Pemodelan IPCC
Monitoring
Pemodelan Garis Pantai
Laporan dan diseminasi

Daftar Pustaka
Ashton, A.D, Donelly, J.P, and Evan, R.L (2007) A Discussion of the Potential Impacts of Climate
Change on the Shorelines of the Northeastern USA, Woods Hole Oceanographic
Institution MS #22, 360 Woods Hole Rd., MS#22 Woods Hole, MA 02543
CERC (1984). Shore Protection Manual, Vol. II. Department of the Army, US Army Corp of
Engineers, Washington DC.
Cohen, J.E., Small, C., Mellinger, J., Gallup, A. and Sachs, J. (1997) Estimates of Coastal
Populations, Science 278(5341): 120913. [Ref type: Journal]
Hennecke, W.G, Greve, C.A, Cowell, P.J and Thom, B.G, 2004, GIS-Based Modeling of Sea-Level
Rise Impacts for Coastal Management in Southeastern Australia, 4th International
Conference on Integrating GIS and Environmental Modeling, Alberta, Canada
Hidayatullah, Taufik (2013) Evaluasi Ekonomi Wilayah Tambak Dan Mangrove Pasca Bencana
Lumpur Di Muara Sungai Porong Kabupaten Sidoarjo. Master Thesis. Fakultas Geografi.
Universitas Gadjah Mada
IPCC (2007) Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers,
Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007. http://www.ipcc.ch/
IPCC (2010) Workshop on Sea Level Rise and Ice Sheet Instabilities. Workshop in Kuala Lumpur
2124
June
2010.
Downloaded
from
http://www.ipcc.ch/pdf/supportingmaterial/SLW_WorkshopReport_kuala_lumpur.pdf.
Accessed on March, 2nd 2012
Marfai, M.A., Pratomoadmojo, N.A., Hidayatullah, T., Nirwansyah, A.W., Gomarreuzaman, M.
2011. Model Kerentanan Wilayah Pesisir Berdasarkan Perubahan Garis Pantai dan Banjir
Pasang. MPPDAS Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta
Nirwansyah, Anang W (2012) Damage exposure Estimation Due to Coastal Flood and Sea Level
Rise In Pekalongan Municipal Using Participatory Gis Method To Support Spatial Planning.
Master Thesis. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada

Pratomoatmojo and Nirwansyah, Anang W. (2011) Shoreline Change Evaluation To Improve


Spatial Planning In Waterfront Cities Case Study: Surabaya-Indonesia. Paper. Proceeding.
in International Seminar On Urban And Regional Planning 2011. July 13, 2011. Makassar,
Indonesia
Pratomoatmojo. Nursakti, A. (2012) Land Use Change Modeling Under Tidal Flood Scenario By
Means Of Markov-cellular Automata In Pekalongan Municipal. Master Thesis. Fakultas
Geografi. Universitas Gadjah Mada
Putra, A.H. Novianto (2007) Aplikasi Citra Landsat ETM 7+ Untuk Perubahan Garis Pantai dan
Penutupan Lahan di Selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Pra dan Pasca Tsunami
Tahun 2006. Skripsi. Institut Pertanian Bogor
Srivastav, S.K (2001) Managing Natural Disasters in Coastal Areas - An Overview, India
Meteorological Department, India
Sutrisno, D (2005) Pemodelan Kerentanan Pulau - Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka Laut,
Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal, Bogor
Zeverbergen LW, Lagasse PF, dan Edge BL. 2004. Tydal Hydrology, Hydraulics and Scour at
Bridges (First Edition). Federal Highway Administration.

Anda mungkin juga menyukai