Anda di halaman 1dari 9

Gejala Klinis dan Penatalaksanaan Dakriosistitis

Angeline Bongelia Friska


102012347
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat, DKI Jakarta 11510
angelinefriska94@yahoo.com
ABSTRAK
Dakriosistitis merupakan peradangan pada sakus lakrimalis yang merupakan kantung air
mata. Dakriosistitis biasa menyerang anak atau dewasa lebih dari 40 tahu. Pada dewasa
dakriosistitis disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus -haemolyticus. Pada
infeksi akut, daerah di sekitar kantong air mata terasa nyeri, berwarna merah, dan membengkak.
Daerah di sekitar mata menjadi merah dan mata berair, serta bisa mengeluarkan nanah.
Penekanan ringan pada kantong air mata dapat mendorong cairan kental atau nanah keluar.
Terkadang bisa terjadi infeksi berat dan menyebabkan timbulnya demam.
Kata Kunci : Gejala Klinis, Penatalaksanaan Dakriosistitis
ABSTRACT
Dacryocystitis is an inflammation of the lacrimal sac. Dacryocystitis usually affect
children or adults over 40th. In adults dacryocystitis caused by Staphylococcus aureus and
Streptococcus - haemolyticus. In acute infection , the area around the bag tears painful, red ,
and swollen . The area around the eyes become red and watery and pus is exist . Mild emphasis
on the bag tears can push viscous fluid or pus. Sometimes severe infections can occur and cause
fever .
Keywords : Clinical Symptoms , Treatment of dacryocystitis

PENDAHULUAN
Sistem lakrimal terdiri dari dua bagian, yaitu sistem sekresi yang berupa kelenjar lakrimal
dan sistem ekskresi yang terdiri dari punctum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal,
duktus nasolakrimal. Sistem eksresi lakrimal cenderung mudah terjadi infeksi dan inflamasi
karena berbagai sebab. Membran mukosa pada saluran ini terdiri dari dua permukaan yang saling
bersinggungan, yaitu mukosa konjungtiva dan mukosa nasal, di mana pada keadaan normal pun
sudah terdapat koloni bakteri. Tujuan fungsional dari sistem ekskresi lakrimal adalah
mengalirkan air mata dari kelenjar air mata menuju ke cavum nasal. Tersumbatnya aliran air
mata secara patologis menyebabkan terjadinya peradangan pada sakus lakrimal yang biasa
disebut dengan dakriosistitis.
1
Dakriosistitis dapat berlangsung secara akut maupun kronis. Dakriosistitis akut ditandai
dengan nyeri yang muncul secara tiba-tiba dan kemerahan pada regio kantus medial, sedangkan
pada inflamasi maupun infeksi kronis dari sakus lakrimal ditandai dengan adanya epifora, yaitu
rasa nyeri yang hebat di bagian sakus lakrimal dan disertai dengan demam. Selain dakriosistitis
akut dan kronis, ada juga dakriosistitis kongenital yang merupakan bentuk khusus dari
dakriosistitis. Patofisiologinya berhubungan erat dengan proses embriogenesis dari sistem eksresi
lakrimal. Dakriosistitis umumnya terjadi pada dua kategori usia, yaitu anak-anak dan orang
dewasa di atas 40 tahun dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun. Dakriosistitis

pada bayi yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari jumlah kelahiran yang ada.
Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa sekitar 70-83% kasus dakriosistitis dialami oleh
wanita, sedangkan pada dakriosistitis kongenital jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan
perempuan.
1
ISI
ANATOMI SISTEM LAKRIMAL
Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata. Sistem
eksresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal,
dan meatus inferior. Sistem lakrimal terdiri dari 2 bagian yaitu sistem produksi atau glandula
lakrimal yang terletak di temporo antero superior rongga orbita dan sistem eksresi yang terdiri
atas pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, dan duktus nasolakrimal. Sakus
lakrimal terletak di bagian depan rongga orbita, air mata dari duktus lakrimal akan mengalir ke
dalam rongga hidung di dalam meatus inferior.
1
Film air mata sangat berguna untuk kesehatan mata. Air mata akan masuk ke dalam sakus
lakrimal melalui pungtum lakrimal. Bila pungtum lakrimal tidak menyinggung bola mata, maka
air mata akan keluar melalui margo palpebra yang disebut epifora. Epifora juga akan terjadi
akibat pengeluaran air mata yang berlebihan dari kelenjar lakrimal. Untuk melihat adanya
sumbatan pada duktus nasolakrimal, maka sebaiknya dilakukan penekanan pada sakus lakrimal.
Bila terdapat penyumbatan yang disertai dakriosistitis, maka cairan berlendir kental akan keluar
melalui pungtum lakrimal.
1
Refleks sekresi air mata dapat berupa refleks sekresi dasar ataupun sekresi terkait
stimulasi. Pada saat mengedipkan mata (blinking), air mata akan diproduksi dan terbentuk
lapisan air mata (musin-air mata-lipid) kemudian diratakan oleh palpebra. Sekresi dasar ini
dimediasi oleh nukleus lacrimalis N. Facialis sebagai saraf sekretomotoris parasimpatis. Sekresi
lain disebabkan oleh stimulasi kornea dan konjungtiva berupa pecahnya lapisan air mata (tear
break up) dan pembentukan titik kering (dry spot). Ini berada di bawah kendali sistem
parasimpatis. Stimulasi ini terjadi ketika terdapat benda asing/korpus allienum pada mata.
Setelah disekresi, air mata akan mengalir membasahi kornea dan konjungtiva kemudian
berkumpul di dalam lakuna lakrimalis melalui pungtum lakrimal superior dan inferior.
Kanalikuli lakrimalis berjalan ke medial dan bermuara ke dalam sakus lakrimalis, yang terletak
di dalam fossa lakrimalis di belakang ligamentum palpebra medial dan merupakan ujung atas
yang buntu dari duktus nasolakrimalis.
2
Duktus nasolakrimalis memiliki panjang lebih kurang 13 mm dan keluar dari ujung
bawah sakus lakrimalis. Duktus berjalan ke bawah, belakang dan lateral di dalam kanalis osseosa
dan bermuara ke dalam meatus nasi inferior. Muara ini dilindungi oleh plika lakrimalis. Air mata
diarahkan ke dalam pungtum oleh isapan kapiler, gaya berat dan berkedip. Kekuatan dari isapan
kapiler dalam kanalikuli, gaya berat, berkedip dan kerja memompa dari otot Horner meneruskan

aliran air mata ke bawah melalui duktus nasolakrimalis kemudian masuk ke rongga hidung
melalui meatus nasi inferior.
2
Air mata membentuk suatu lapisan tipis setebal 7-10 m yang menutupi epitel kornea
dan konjungtiva. Fungsi air mata untuk membuat permukaan kornea halus dan licin optik dengan
meniadakan ketidakteraturan permukaan epitel, membasahi dan melindungi permukaan epitel
kornea dan konjungtiva, menghambat pertumbuhan mikroorganisme serta memberi substansi
nutrisi yang diperlukan kornea. Film air mata terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan superfisial,
lapisan akuos tengah dan lapisan musin. Volume air mata normal diperkirakan 7 2 L pada
setiap mata. Albumin merupakan 60% dari protein total dalam air mata, sisanya globulin dan
lisozim. Terdapat IgA, IgG dan IgE. PH rata-rata air mata adalah 7,35. Dalam keadaan normal
cairan air mata adalah isotonik dan dengan tekanan osmotik kira-kira ekivalen dengan NaCl
0,9%. Osmolalitas film air mata bervariasi dari 295-309 mosm/L.
2
ANAMNESIS
Pada anamnesis pasien biasanya mengeluh mata berair, kadang disertai dengan sekret
yang lengket. Mata terlihat putih, gejala dapat diperburuk dengan terkenanya angin pada mata
atau pada cuaca dingin. Mungkin didapatkan riwayat trauma sebelumnya.
3
PEMERIKSAAN FISIK
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik yang digunakan untuk
memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus nasolakrimalis adalah dye dissapearance
fluorescence test dan John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluorescein
2% sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak obstruksinya dapat digunakan probing
test dan anel test.
3
Dye dissapearance fluorescence test dilakukan dengan meneteskan zat fluorescein 2%
pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian permukaan kedua mata dilihat dengan slit
lamp. Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji
ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test II. Pada Jones Test I mata pasien yang
dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2%
sebanyak 1-2 tetes. Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal
inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna hijau berarti tidak
ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones Test II, caranya hampir sama dengan
Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5 tidak didapatkan kapas dengan bercak berwarna
hijau maka dilakukan irigasi pada sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna
hijau pada kapas, maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam keadaan baik. Bila
lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama sekali setelah
dilakukan irigasi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem lakrimalnya sedang terganggu.
3

Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi ekskresi air mata ke dalam
rongga hidung. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan larutan saline hangat yang
diinjeksikan melalui lubang pungtum lakrimalis di sudut mata dekat hidung. Bila terlihat adanya
reaksi menelan berarti garam fisiologik masuk tenggorokan menunjukkan fungsi sistem ekskresi
lakrimal normal, bila tidak ada refleks menelan dan terlihat garam fisiologik keluar melalui
pungtum lakrimal atas berarti fungsi apparatus lakrimal tidak ada atau duktus nasolakrimal
tertutupl. Probing test bertujuan untuk menentukan letak obstruksi pada saluran ekskresi air mata
dengan cara memasukkan sonde ke dalam saluran air mata. Pada tes ini, pungtum lakrimal
dilebarkan dengan dilator, kemudian probe dimasukkan ke dalam sakus lakrimal. Jika probe
yang bisa masuk panjangnya lebih dari 8 mm berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika
yang masuk kurang 8 mm berarti ada obstruksi.
3
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan penegakkan diagnosis
dakriosistitis. CT scan sangat berguna untuk mencari tahu penyebab obstruksi pada dakriosistitis
terutama akibat adanya suatu massa atau keganasan. Dacryocystography (DCG) sangat berguna
untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi pada sistem drainase lakrimal. Dakriosistografi yaitu
suatu pemeriksaan imaging dengan menggunakan media kontras. Cara ini relatif mahal dan
memerlukan keterampilan ahli radiologi untuk mendapatkan foto yang baik. Pemeriksaan
dilakukan terlebih dahulu dengan meneteskan pantokain pada mata dan kemudian dilakukan
dilatasi pungtum lakrimal. Ke dalam kantung lakrimal dimasukkan kontras sebanyak 0.5-1 ml
dan ditunggu selama 30 menit. Biasanya kontras akan mengalir ke dalam hidung dan akan
menghilang dari sakus setelah 20 menit pemeriksaan radiologik. Kontras dapat dilihat dalam
sistem ekskresi ini karena bersifat radioopak pada pemeriksaan radiologik.
3
DIAGNOSIS KERJA
Dakriosistitis adalah suatu infeksi pada kantong air mata (sakus lakrimalis). Dakriosistitis
adalah kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada kantung nasolakrimal (air mata)
yang terletak diantara ujung kelopak mata sebelah dalam dan hidung; secara khas hal ini terjadi
akibat penyumbatan saluran air mata. Penyumbatan menyebabkan pertumbuhan bakteri yang
tidak terkontrol dan menyebabkan kantung air mata menjadi terinfeksi dan meradang tetapi
kondisi ini biasanya hanya mengenai satu mata.
1
DIAGNOSIS BANDING
Dakrioadenitis
Peradangan kelenjar lakrimal atau dakrioadenitis merupakan penyakit yang jarang
ditemukan dan dapat dalam bentuk unilateral ataupun bilateral. Radang kelenjar air mata,
biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Gejala termasuk mata kering, merah atau
merah muda kelopak mata, pembengkakan tutup atau di sekitar mata dan ptosis. Dakrioadenitis
dapat berjalan akut maupun kronis. Pasien dakrioadenitis biasanya mengeluh sakit di daerah
glandula lakrimal yaitu di bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata yang
bengkak, konjungtiva kemotik dengan belek. Pada infeksi akan terlihat bila mata bergerak akan
memberikan sakit dengan pembesaran kelenjar preaurikel. Bila kelopak mata dibalik tampak

pembengkakan berwarna merah di bawah kelopak mata atas temporal (Gambar 3). Pada keadaan
menahun terdapat gambaran yang hampir sama dengan keadaan akut tetapi tidak disertai dengan
nyeri. Apabila pembengkakan cukup besar, bola mata akan terdorong ke bawah nasal tetapi
jarang terjadi proptosis.
1
Obstruksi Duktus Nasolakrimalis (Dakriosbtruksi)
Penyumbatan duktus nasolakrimal dapat diakibatkan tertutupnya mebran di daerah
meatus inferior pada neonatus. Pada bayi obstruksi ini terjadi akibat kelainan bawaan, sedang
pada orang dewasa disebabkan oleh infeksi hidung menahun, infeksi mata berat berulang, patah
tulang hidung atau wajah dan tumor. Dalam keadaan normal, air mata dari permukaan mata
dialirkan ke dalam hidung melalui duktus nasolakrimal. Jika saluran ini tersumbat, air mata akan
menumpuk dan mengalir secara berlebihan ke pipi. Penyumbatan dapat bersifat parsial
(sebagian) atau total. Manifestasi obstruksi nasolakrimal yang paling sering adalah mata berair
(tearing), yang berkisar dari sekedar mata basah (peningkatan cekungan air mata, penimbunan
atau kubangan) sampai banjir air mata yang jelas (epifora), penimbunan cairan mukoid atau
mukopurulen dan kerak. Mungkin ada eritema atau maserasi kulit karena iritasi dan gesekan oleh
tetes-tetes air mata dan cairan.
1
GEJALA KLINIS
Pada infeksi akut, daerah di sekitar kantong air mata terasa nyeri, berwarna merah, dan
membengkak. Daerah di sekitar mata menjadi merah dan mata berair, serta bisa mengeluarkan
nanah. Penekanan ringan pada kantong air mata dapat mendorong cairan kental atau nanah
keluar. Terkadang bisa terjadi infeksi berat dan menyebabkan timbulnya demam. Infeksi
berulang bisa menyebabkan penebalan dan kemerahan diatas kantong air mata. Jika infeksi
ringan atau infeksi berulang berlangsung lama maka sebagian besar gejala mungkin dapat
menghilang, tetapi pembengkakkan ringan bias menetap. Kadang infeksi menyebabkan
tertahannya air mata di dalam kantong air mata sehingga terbentuk kantong yang berisi cairan
(mukokel) di bawah kulit.
3
KLASIFIKASI
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu akut,
kronik, dan kongenital.
Pada dakriosistitis akut pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun
jarang menimbulkan kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan abses pada sakus
lakrimalis dan penyebaran infeksinya. Pada dakriosistitis kronis morbiditas utamanya
berhubungan dengan lakrimasi kronis yang berlebihan dan terjadinya infeksi dan peradangan
pada konjungtiva. Dakriosistitis kongenital merupakan penyakit yang sangat serius sebab
morbiditas dan mortalitasnya juga sangat tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat
menimbulkan selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis, hingga kematian. Dakriosistitis
kongenital dapat berhubungan dengan amniotocele (pecahnya air ketuban), di mana pada kasus
yang berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Dakriosistitis kongenital yang indolen
sangat sulit didiagnosis dan biasanya hanya ditandai dengan lakrimasi kronis, ambliopia, dan

kegagalan perkembangan.
3
ETILOGI
Dakriosistitis terjadi karena obstruksi duktus nasolakrimal. Obstruksi bisa disebabkan
oleh stenosis inflamasi idiopatik (primary acquired nasolacrimal duct obstruction) atau sebab
sekunder akibat dari trauma, infeksi, inflamasi, neoplasma, atau obstruksi mekanik. Obstruksi
duktus nasolakrimalis menyebabkan penyumbatan aliran air mata yang berhubungan dengan
sistem drainase air mata yang mengakibatkan dakriosistitis. Dakriosistitis akut biasanya sering
disebabkan oleh bakteri kokus gram negatif, sedangkan dakriosistitis kronik disebabkan oleh
campuran bakteri gram negatif maupun positif. Bakteri yang sering ditemukan umumnya
didominasi oleh Streptokokus pneumoniae dan Staphilokokus sp. Infeksi jamur biasanya oleh
Candida albicans dan Aspergillus sp, biasanya infeksi akibat jamur jarang ditemukan.
Dakriosistitis akut pada anak-anak sering disebabkan oleh Haemophylus influenzae, sedangkan
pada orang dewasa sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus haemolyticus.
4
Obstruksi dari bagian bawah duktus nasolakrimalis seringkali ditemukan pada orang
dewasa yang terkena Dakriosistitis. Karena hubungan yang erat antara duktus nasolakrimalis
dengan hidung dan sinus paranasal, struktus ini seringkali berhubungan dengan etiologi
terjadinya Dakriosistitis. Beberapa penyakit hidung yang bisa menyebabkan terjadinya
Dakrisistitis antara lain Sinusitis (maksilaris, ethmoidalis), Rinitis Vasomotor, Rinitis Hipertrofi,
Rinitis Ozaena, trauma hidung, tumor cavum nasi, dan masih banyak lainnya.
EPIDEMIOLOGI
Infeksi pada sakus lakrimalis umumnya ditemukan pada 2 kategori usia, pada infant dan
orang dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun. Dakriosistitis akut pada bayi baru lahir jarang
ditemukan, terjadi pada kurang dari 1% dari semua kelahiran. Dakriosistitis didapat secara
primer terjadi pada wanita dan lebih sering pada pasien dengan usia di atas 40 tahun, dengan
puncak insidensi pada usia 6070 tahun. Kebanyakan penelitian mendemonstrasikan sekitar 70
83% kasus dakriosistitis terjadi pada wanita, sementara dakriosistitis kongenital memiliki
frekuensi yang sama antara pria dan wanita.
4
Pada individu dengan kepala berbentuk brachycepalic memiliki insidensi yang tinggi
mengalami dakriosistitis dibandingkan dengan individu dengan kepala berbentuk
dolichocephalic atau mesosephalic. Hal ini dikarenakan pada tengkorak berbentuk
brachycephalic memiliki diameter lubang yang lebih sempit ke dalam duktus nasolakrimalis,
duktus nasolakrimalis lebih panjang, dan fossa lakrimalis lebih sempit. Pasien dengan hidung
yang datar dan wajah sempit memiliki resiko lebih tinggi terkena Dakriosistitis karena sempitnya
tulang kanal nasolakrimalis. Orang berkulit hitam lebih jarang terkena dakriosistitis dikarenakan
ostium nasolakrimalisnya besar, selain itu lebih pendek dan lurus dibandingkan orang berkulit
putih.
4
PATOFISIOLOGI

Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada anak-anak biasanya akibat tidak
terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada
salurannya, misal adanya polip hidung. Obstruksi pada duktus nasolakrimalis ini dapat
menimbulkan penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang
merupakan media pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
4
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat diketahui dengan
melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan tersebut antara lain tahap
onstruksi, infeksi, dan sikatrik. Pada tahap obstruksi, terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis,
sehingga yang keluar hanyalah air mata yang berlebihan. Pada tahap infeksi yang keluar adalah
cairan yang bersifat mukus, mukopurulen, atau purulent tergantung pada organisme
penyebabnya. Pada tahap sikatrik sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini
dikarenakan sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga membentuk suatu kista.
4
PENATALAKSANAAN MEDIKAMENTOSA
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat diberikan antibiotik
amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan dapat pula
diberikan antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau azithromycin 1%) atau
menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari.
5
Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan kompres hangat
pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering. Amoxicillin dan
chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6 jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik
yang baik untuk orang dewasa. Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik oral
(acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian
antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap 8 jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi
dan drainase. Dakriosistitis kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan
irigasi dengan antibiotik. Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan cara
pembedahan jika sudah tidak radang lagi.
5
PENATALAKSANAAN NON MEDIKAMENTOSA
Penatalaksaan dakriosistitis dapat juga dilakukan dengan pembedahan, yang bertujuan
untuk mengurangi angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada
dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat suatu
hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara melakukan
bypass pada kantung air mata. Setelah infeksi sembuh, pasien akan memerlukan operasi
perbaikan penyumbatan saluran nasolakrimal. Operasi ini disebut Dakriosistorhinostomi (DCR),
dimana saluran baru dibuat untuk memungkinkan air mata mengalir keluar kembali, melalui
hidung. Operasi spesifik tergantung pada bagian yang menyumbat. DCR dapat dilakukan dengan
cara sayatan terbuka atau endoskopi.
5
KOMPLIKASI

Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air mata sehingga
membentuk fistel. Bisa juga terjadi abses kelopak mata, ulkus, bahkan selulitis orbita.
Komplikasi pada dakriosistitis lebih kepada komplikasi terapi bedah.
Dakriosistorinostomi bila dilakukan dengan baik merupakan prosedur yang cukup aman dan
efektif. Namun, seperti pada semua prosedur pembedahan, komplikasi berat dapat terjadi.
Perdarahan merupakan komplikasi tersering dan dilaporkan terjadi pada 3% pasien. Selain itu,
infeksi juga merupakan komplikasi serius dakriosistorinostomi. Beberapa ahli menyarankan
pemberian antibiotik drop spray pada hidung setelah pembedahan. Kegagalan
dakriosistorinostomi paling sering disebabkan oleh osteotomi atau penutupan fibrosa pada
pembedahan ostium yang tidak adekuat. Komplikasi lainnya meliputi nyeri transient pada
segmen superior os.maxilla, hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi
yang tampak jelas.
6
PROGNOSIS
Pengobatan dakriosistitis dengan antibiotik biasanya dapat memberikan kesembuhan
pada infeksi akut. Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi
terjadi kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat, sehingga
prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan tetapi, jika dilakukan pembedahan baik itu dengan
dakriosistorinostomi eksternal atau dakriosistorinostomi internal, kekambuhan sangat jarang
terjadi sehingga prognosisnya dubia ad bonam. Jika stenosis menetap lebih dari 6 bulan maka
diindikasikan pelebaran duktus dengan probe. Satu kali tindakan efektif pada 75% kasus.
6
PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan higienitas pada palpebra ,termasuk
melakukan kompres air hangat dan membersihkan silia. Selain itu, higienitas nasal dengan spray
salin dapat mencegah obstruksi aliran lakrimal bagian distal.
KESIMPULAN
TINJAUAN PUSTAKA
12
Dakriosistitis merupakan peradangan sakus lakrimalis yang ditandai dengan gejala mata
terasa nyeri, berwarna merah, dan membengkak, berair, serta bisa mengeluarkan nanah.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu akut, kronik,
dan kongenital. Dakriosistitis pada dewasa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus -haemolyticus. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan fluorescein clearance test
dan John's dye test, probing test dan anel test. Pada pemeriksaan penunjang, Dacryocystography
(DCG) sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi pada sistem drainase lakrimal.
Penatalaksanaan dakriosistitis dapat diberikan antibiotik dan analgesik serta melakukan drainase
pus pada sakus lakrimal. Penatalaksaan dakriosistitis dapat juga dilakukan dengan pembedahan,
yang bertujuan untuk mengurangi angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan
pada dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Prognosis dakriosistitis baik jika
dilakukan pembedahan dakriositorinostomi segera. Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
higenitas pada palpebra

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2015.p.1,107-9.
2. Vaughan DG; Asbury T.; Eva P.R. eds. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika; 1996.
P. 92-3
3. Wagner P, Lang GK. Lacrimal system. In : ophtalmology. New York: Thieme Stuttgart;
2010. P. 56-60
4. Langston, Pavan D. Manual of ocular diagnosis and therapy. 5
th
Edition. USA: Lippincott,
Williams&Wilkins; 2012.p.159-61
5. Bruce, Chris, and Anthony. Oftalmologi. Edisi ke -9. Jakarta: Penerbit Erlangga;2010.h.27341
6. Wijana, Nana SD. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Abadi Tegal;2012.h.42-50.

Anda mungkin juga menyukai