Anda di halaman 1dari 9

Eksplorasi dan Pengembangan Migas Non-Konvensional Ramah Lingkungan (Djoko Sunarjanto)

Eksplorasi dan Pengembangan Migas


Non-Konvensional Ramah Lingkungan
Djoko Sunarjanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS
Jl. Ciledug Raya Kav. 109, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
Telepon: 62-21-7394422, Fax: 62-21-7246150
Email: djokosnj@lemigas.esdm.go.id
Teregistrasi I tanggal 6 Juli 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal 25 Juli 2012
Disetujui terbit tanggal : 31 Agustus 2012

ABSTRAK
LEMIGAS sebagai lembaga litbang milik pemerintah telah mengawali pengembangan Gas Metana
Batubara (GMB) di Indonesia. Kegiatan ini telah berhasil dengan baik dan diikuti dengan ditanda-tanganinya
sebanyak 50 kontrak kerjasama pengembangan GMB selama kurun waktu lima tahun terakhir (2008-2012).
Pada akhir tahun 2011, telah berhasil mengkonversi GMB menjadi tenaga listrik yang ramah lingkungan
dalam program CBM to power. Analisis komparatif mengikuti sukses eksplorasi GMB LEMIGAS, saat ini
sedang dilakukan penelitian shale gas di dua cekungan migas, di Cekungan Sumatra Utara dan Cekungan
Barito. Dari ke dua cekungan tersebut akan dipilih satu cekungan untuk dilakukan uji coba (pilot test)
dengan tujuan untuk mengetahui dapat tidaknya potensi shale gas di cekungan tersebut dikembangkan
dalam skala komersial. Diharapkan GMB, shale gas/oil, tight sand gas segera dapat dikembangkan guna
mulai menggantikan migas konvensional.
Kata kunci: eksplorasi, migas non-konvensional, lingkungan
ABSTRACT
LEMIGAS as the government research and development institutions has initiated the development of
Coal Bed Methane (CBM) in Indonesia. This activities has worked well and was followed by the signing
of 50 Production Sharing Contracts of CBM development during the period of ve years (2008-2012).
At the end of 2011, has managed to convert CBM into electricity is environment friendly in the CBM to
Power program. Comparative analysis with following the successful exploration of CBM LEMIGAS,
currently is conducted research on shale gas in two oil and gas basins, in the North Sumatra Basin and
Barito Basin. Of the two basins one will be selected as a pilot basin for trials, conducted with the aim to
determine whether or not the potential of shale gas in the basin can be developed on a commercial scale.
Expected coal methane gas, shale gas/oil, tight sand gas can be developed to initiate the replacement of
conventional oil and gas.
Keywords: exploration, non-conventional oil and gas, environment

I. PENDAHULUAN
Pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) serta
batubara khususnya gas non-konvensional dengan
cerdas dan esien merupakan bagian penting untuk
terlaksananya pembangunan nasional berkelanjutan. Muaranya agar dapat menunjang terwujudnya
suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan

seimbang. Pemanfaatan migas dan batubara pada


dasarnya bertujuan untuk sebesar-besar kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa Indonesia, sehingga bangsa
Indonesia dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain
yang sudah maju.
Tersedia cukup banyak reservoar gas nonkonvensional yang terpendam di bawah permukaan
85

Lembaran Publikasi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 46 No. 2, Agustus 2012: 85 - 93

bumi. Indonesia memiliki total sumberdaya GMB


sebesar 453,30 TCF dan shale gas sebesar 570
TCF (Ditjend Migas 2012). Sumberdaya gas nonkonvensional yang telah diketahui adalah sumberdaya gas yang berasal dari batubara dan sumberdaya minyak dan gas bumi yang terjebak di dalam
batuan serpih (shale) tertentu. Khusus yang terakhir,
keberadaannya dianggap banyak karena di Indonesia
sedikitnya telah terbukti memiliki lebih dari 20
cekungan hidrokarbon dan 15 cekungan diantaranya
telah diklasikasikan sebagai cekungan prolic untuk
produksi minyak dan gas bumi konvensional.
Kebutuhan gas domestik yang terus meningkat
dan tantangan untuk mengurangi ketergantungan
pada konsumsi minyak bumi tentunya harus disikapi
dengan melakukan eksplorasi dan pengembangan
sumberdaya gas, termasuk gas non-konvensional.
Energi yang dikenal ramah lingkungan menjadi keuntungan lain bagi pelestarian lingkungan yang tidak
ternilai secara nominal. Selain sumber energi fosil,
inovasi harus terus dilakukan guna mengolah sumber
energi non fosil dan mewujudkannya menjadi sebuah
sumber energi murah yang bisa dikembangkan untuk
saat ini hingga masa depan.
Pemerintah fokus pada pengembangan sumbersumber gas baru non konvensional seperti Gas
Metana Batubara (GMB) dan shale gas. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor:
1669K/30/MPE/1998 menjadi awal landasan hukum
tentang Pelaksanaan Pengembangan GMB. Kemudian Tahun 2006 dikeluarkan Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 33 Tahun
2006 tentang pengusahaan GMB, sebagai landasan
hukum untuk mengembangkan bisnis GMB di Indonesia. Tahun 2012 direncanakan diterbitkan peraturan
tentang pengembangan shale gas termasuk ketentuan
investasinya.
II. PERMASALAHAN DAN METODA
ANALISIS
A. Permasalahan Migas Non-konvensional
Kondisi geologi di Indonesia dikenal cukup
kompleks. Namun secara struktur geologi, stratigra,
thermal, kualitas dan kuantitas material organik memungkinkan dijumpainya shale gas reservoir yang
dapat diproduksi secara ekonomis. Namun masih
diperlukan usaha-usaha dalam rangka penemuan
cadangan gas dari shale gas reservoir. Reservoar

86

tersebut merupakan reservoar non-konvensional


selain dari reservoar konvensional yang selama ini
sudah dikembangkan.
Percepatan eksplorasi dan pengembangan gas
non-konvensional sudah sering diusulkan oleh
berbagai pihak. Direktorat Jenderal Migas sebagai regulator sudah menyiapkan kebijakan untuk
pengembangannya. Sedangkan Badan Penelitian
dan Pengembangan ESDM sudah melakukan pilot
project pemboran eksplorasi dan produksi Gas
Metana Batubara (GMB). Optimasi eksplorasi dan
pengembangan GMB, shale gas/oil, tight sand gas
sebagai upaya atau mencari alternatif solusi guna
mulai menggantikan migas konvensional.
B. Metoda Analisis
Untuk memecahkan permasalahan eksplorasi
dan pengembangan gas non-konvensional, dilakukan dengan berbagai cara termasuk penelitian dan
pengkajian. Salah satunya adalah analisis komparatif
antara eksplorasi GMB, dan shale gas/pasir gas guna
mengembangkan gas non-konvensional pada waktu
yang akan datang. Kompilasi hasil penelitian tentang
GMB sudah dilakukan pada awal kegiatan eksplorasi
shale gas. Hasil identikasi awal dan kompilasi laporan terdahulu disusun menjadi suatu tinjauan (review)
untuk eksplorasi shale gas. Selanjutnya berdasarkan
pengalaman pada waktu eksplorasi GMB, tahun 2011
sudah dilakukan eksplorasi di 2 (dua) wilayah yang
memiliki potensi shale gas, yaitu Cekungan Sumatra
Utara dan Cekungan Barito Kalimantan Selatan.
III. TINJAUAN LITERATUR
A. Sejarah Pengembangan Gas
Non-Konvensional
Umumnya batubara yang mengandung gas bumi
dianggap sangat membahayakan pada penggalian
tambang-dalam batubara. Dalam istilah pertambangan batubara, GMB umum juga disebut sebagai
gas emisi, karena keberadaannya saat itu hanya sebagai pengotor. Telah lama para penambang batubara
membuang GMB untuk keamanan ketika mereka
menambang batubaranya. Jika kandungannya besar,
maka gas emisi tersebut dimanfaatkan sebagai bahan
bakar pembangkit untuk menghidupkan blower dan
penerangan lapangan tambang. Dengan dimanfaatkannya GMB untuk keperluan sendiri, maka akan
menguntungkan para penambang batubara, karena

Eksplorasi dan Pengembangan Migas Non-Konvensional Ramah Lingkungan (Djoko Sunarjanto)

gas emisinya telah habis sehingga lapisan betubara


tersebut aman untuk ditambang.
Sedangkan gas yang terperangkap dalam batuan
shale yang tidak bisa bermigrasi ke dalam perangkap
geologi diperkirakan jumlahnya masih sangat besar.
Denisi lain menyebutkan shale gas adalah gas yang
diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Keberadaan gas tersebut berada
sekurang-kurangnya dalam cekungan hidrokarbon
di Indonesia. Teknologi yang tersedia saat ini masih
terbatas ekonomis jika diaplikasikan di daratan
(on-shore) saja. Oleh karena itu pengembangan gas
non-konvensional saat ini masih dikonsentrasikan
di daratan. Pada saatnya nanti diharapkan secara
bersamaan dikembangkan juga shale gas di lepas
pantai. Penampang keberadaan sumberdaya migas
non-konvensional seperti pada Gambar 1.
Dengan telah dimanfaatkannya gas non-konvensional yang terbukti ekonomis untuk menopang
kebutuhan manusia, maka bisnis pengusahaan gas
non-konvensional di beberapa negara telah berjalan
dengan baik. Keberadaan potensi gas non-konvensional di Indonesia sampai saat ini sedang terus
dikembangkan. Khususnya GMB masih memerlukan evaluasi untuk peningkatan ke tahapan produksi
skala komersial. Hal ini disebabkan karakter reservoir
GMB sangat berbeda dengan reservoar konvensional.
Sehingga produksi gas metana dari reservoar batubara harus diawali dengan kegiatan rekayasa untuk
meningkatkan permeabilitas lapisan reservoarnya
sampai gas metana dapat mengalir ke lobang bor.
Kegiatan rekayasa ini membutuhkan waktu relatif
lama, sehingga para operator maupun investor yang
tidak mampu dapat mengalami apa yang disebut
fatigue management (Sosrowidjojo, 2008). Selain
itu juga kemungkinan dikarenakan Indonesia masih
memiliki cadangan gas konvensional yang cukup
besar.
B. Sumberdaya Gas Non-konvensional
Terminologi non-konvensional dimaksudkan
untuk mendiskripsikan permeabilitas reservoir yang
super kecil. Saat ini ada tiga jenis tight reservoir
yang popular disebut sebagai reservoir gas non-konvensional meliputi batubara, shale dan pasir dengan
permeabilitas sangat rendah. Gambar 2 menunjukkan
jenis play non-konvensional dari tight sand, shale
gas dan GMB.

Gambar 1
Penampang menunjukkan posisi keberadaan
sumberdaya migas non konvensional
(Sumber EIA dalam Tamba, 2011)

Dalam teori pengembangan GMB, batubara


selain sebagai batuan sumber (source rock) dari gas
juga berfungsi sebagai reservoar gas. Sebagai batuan
sumber penghasil gas, semakin tinggi tingkatan atau
rank batubara akan semakin besar gas yang terbentuk. Sehingga salah satu metoda untuk mengetahui
kandungan GMB dapat dengan mengetahui rank
batubara tersebut.
Berhubungan dengan proses pembentukan gas,
maka semakin dalam formasi batubara berada akan
semakin besar juga gas yang terbentuk (Rogers,
1994). Keberadaan GMB yang selama ini sudah
diproduksi pada kedalaman lebih besar dari 200
meter. Demikian juga kedalaman lapisan batuan yang
mempunyai potensi shale gas berkualitas baik diduga
pada kedalaman lebih dalam dari 1.000 meter.
IV. HASIL ANALISIS DAN KAJI ULANG
Sumber energi pada dasarnya dapat dibagi dalam
dua golongan berdasarkan asalnya. Sumber energi
yang berasal dari fosil dan sumber energi yang berasal dari non fosil. Sumber energi yang berasal dari
fosil merupakan sumber energi tak terbarukan seperti
energi berbasis hidrokarbon (minyak dan gas bumi).
Sumber energi ini terdapat di bawah permukaan
setelah mengalami proses pembentukan yang lama
dalam kisaran umur geologi (jutaan tahun). Setelah
terbentuk, sebagian darinya akan berpindah (bermigrasi) akhirnya terperangkap di suatu reservoar yang
disebut reservoar konvensional. Sebagian lainnya
tidak berpindah/ tetap menghuni batuan asalnya yang
saat ini lazim disebut sebagai reservoar non-konven-

87

Lembaran Publikasi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 46 No. 2, Agustus 2012: 85 - 93

sional. Hidrokarbon non-konvensional umumnya


terperangkap di tempat asalnya dan diklasikasikan
sebagai reservoar seperti batubara (GMB), serpih
minyak/gas bumi (shale gas/oil) dan batupasir kompak (tight sand gas, oil sand/oil tight sand).
Kondisi di alam, GMB tetap berada pada lapisan
batubara dan belum bermigrasi seperti halnya pada
minyak/gas bumi. Sehingga proses produksi GMB
dilakukan dengan cara dewatering, berdampak
prosentase debit air di tahap awal cukup besar (gas
relatif kecil). Selanjutnya dalam kurun waktu tertentu
akan berbalik menjadi gas (GMB) besar dan debit air
menjadi kecil.
A. Gas Metana Batubara (GMB)
GMB dikenal sebagai sumber energi ramah lingkungan, dimana gas metana merupakan komponen
utamanya yang terjadi secara alamiah dalam proses
pembentukan batubara (coalication). Dalam kondisi
terperangkap dan terserap (teradsorbsi) di dalam
batubara dan/atau lapisan batubara. GMB sama
seperti gas bumi yang kita kenal saat ini, namun
perbedaannya adalah GMB terbentuk dan tersimpan
dalam batubara yang berfungsi sebagai reservoir
dan batuan sumber (source rock). Sedangkan gas
bumi yang kita kenal saat ini (walaupun ada yang
terbentuk/bersumber dari batubara), tersimpan dan
diproduksikan dari reservoar lain seperti batupasir,
batugamping maupun rekahan batuan beku.
Teknologi penambangan gas metana dari
reservoar batubara telah dinyatakan terbukti
dapat dilakukan secara ekonomis walau melalui
proses rekayasa sebelum produksi berlangsung.
Perkembangan teknologi penambangan GMB baru
dimulai tahun 70-an dan secara intensif dilakukan
pada tahun 80-an. Sebagai contoh di USA, produksi
GMB telah berkontribusi sebesar >10% dari total
produksi gas bumi dalam negerinya. Negara-negara
yang telah mengembangkan GMB selain USA antara
lain Canada, Inggris, Jerman, Australia, Cina, India,
Ukraina, Polandia, Zimbabwe dan Afrika Selatan.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pemerintah,
kondisi pengusahaan GMB di Indonesia lebih
mendekati ke Powder River Basin USA di mana
tingkat kematangan batubara berada pada subbituminus.
Hasil analisis komparatif perbedaan gas
konvensional dengan non-konvensional khususnya
GMB disarikan oleh Sosrowidjojo (2009) ke
dalam Tabel 1. Pada prinsipnya penyimpanan
88

Gambar 2
Jenis play non-konvensional
(Sosrowidjojo, 2009)

GMB dalam reservoar berbeda dengan reservoar


konvensional dimana sebagian besar gas teradsorpsi
pada struktur internal (matriks). Sedangkan untuk gas
konvensional, sepenuhnya bersarang dalam tekanan
di dalam rongga porinya. Disebutkan bahwa pada
kondisi geologi dan kedalaman yang sama, reservoar
batubara mampu menyimpan gas lebih besar sampai
mencapai 2 kali hingga 7 kali jumlah gas pada
konvensional gas. Sebagai komparasi antara prinsip
pengembangan GMB dan gas konvensional, lebih
lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
B. Serpih Gas (Shale Gas)
Shale gas adalah gas alam yang dihasilkan dan
terperangkap dari serpih yang biasanya berfungsi
ganda sebagai reservoar dan sumber untuk gas alam
atau gas bumi. Serpih ini umumnya berasal dari fasies
lumpur laut dangkal dan mengandung mineral getas
yang dominan. Terdapat perbedaan permeabilitas
antara serpih dan batubara, serpih memiliki permeabilitas matriks yang sangat rendah, tidak seperti
batubara yang memiliki sistem rekahan alami (cleat)
yang luas. Shale gas umumnya memiliki jumlah gas
teradsorpsikan lebih sedikit dari batubara. Selain itu
tidak semua play shale gas bumi dapat diproduksikan
dengan baik.
Pada umumnya play shale gas yang produktif
menghasilkan gas setidaknya memiliki 7 (tujuh)
kriteria (Wylie et al., 2008 dalam Sosrowidjojo,
2009). Tabel 2 menjelaskan ketujuh criteria variabel
play. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa
kriteria play shale gas yang dapat berproduksi adalah
fasies serpih hitam berhubungan dengan kandungan
material organik pada lapisan batuan. Total Organic
Carbon (TOC) yang dipersyaratkan >3%, untuk me-

Eksplorasi dan Pengembangan Migas Non-Konvensional Ramah Lingkungan (Djoko Sunarjanto)

Tabel 1
Perbedaan Konsep GMB dengan Gas Konvensional (Sosrowidjojo, 2009)

menuhi tingkat keekonomian minyak dan gas bumi


dan kematangan termal tinggi: Ro > 1.1%, play shale
gas umumnya sudah berada dalam zona pembentukan
gas. Ada pendapat lain yang mensyaratkan TOC>2%,
semuanya sudah memenuhi kriteria kaya material
organik dengan Ro > 1.0% (Jarvie et al., 2007 dalam
Sosrowidjojo, 2012). Di Amerika, seluruh play shale
gas yang terbukti dapat memproduksi gas semua
berasal dari fasies marin (Kerogen: Tipe II).
Selain itu play shale gas idealnya mengandung
lempung 40%, komposisi sisanya terdiri dari mineral getas. Diarahkan pada serpih yang bersifat pasiran
(sandy), tidak elastis atau tidak terlalu banyak mineral
lempungnya. Pada prinsipnya play shale gas yang
ideal selain kaya akan material organik dan kematangan termalnya tinggi, serpih bersifat pasiran yang
tinggi kandungan kwarsanya dengan ketebalan play
minimal 30 meter. Porositas batuan sebesar mungkin
dan idealnya lebih besar dari 5%. Kedalaman play
shale gas setara dengan terbentuk dan tersimpannya
batuan induk pada kedalaman yang bervariasi antara
1.000-4.500 meter. Lebih dalam dari 4.500 meter
umumnya reservoarnya akan panas sekali sehingga
akan lebih mahal operasinya yang berarti dapat mem-

pengaruhi ke-ekonomiannya. Play shale gas akan


lebih baik pada kondisi reservoar kering.
Hasil identifikasi awal yang dilakukan oleh
Badan Geologi (Ditjend Migas, 2012) menunjukkan
bahwa setidaknya play shale gas terdapat di beberapa
lokasi di Indonesia. Lokasi terbanyak berada di
Sumatera, antara lain pada lapangan migas; Baong,
Telisa, dan Gumai. Sedangkan di Pulau Jawa, play
shale gas masing-masing berada di lapangan Jawa
Tengah Utara. Di Kalimantan tersebar di Balikpapan,
Tanjung dan Bangkau. Sedangkan di Papua berada
dalam Formasi Klasafet.
Penyebaran 11 cekungan GMB di Sumatra dan
Kalimantan dan lokasi yang potensial terdapat shale
gas tersebut seperti pada Gambar 3 (Ditjend MIGAS,
2012).
V. PENGEMBANGAN GAS
NON-KONVENSIONAL DI INDONESIA
A. Pengembangan Gas Metana Batubara
Sudah banyak dilakukan, baik penelitian, regulasi, penyiapan kebijakan dan model keekonomian
untuk pengembangan GMB di Indonesia. Khususnya
89

Lembaran Publikasi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 46 No. 2, Agustus 2012: 85 - 93

LEMIGAS sebagai pionir pengembangan sumber


energi non-konvensional GMB telah melakukan
berbagai kegiatan pengembangan GMB. Mulai dari
menyusun pokok-pokok regulasi, mencari partner
yang bersedia meminjamkan lahannya untuk uji
coba pengembangan GMB, melakukan eksplorasi,
mengembangkan simulasi dan teknik produksi dalam
pilot project Lapangan Rambutan, sampai menyusun
studi keekonomian GMB.
Lapangan Rambutan terletak di Kecamatan
Benakat Kabupaten Muaraenim, Provinsi Sumatra

Selatan, pada wilayah konsesi perusahaan migas


PT Medco Energi Energi Internasional Tbk. Hasil
sementara pilot project Lapangan Rambutan mengindikasikan bahwa GMB dapat diusahakan di Indonesia. Analisis data dan simulasi GMB Lapangan
Rambutan, dari data pemboran daerah ini memiliki
5 seam batubara dengan total ketebalan 162,47 meter
pada kedalaman 1.329 s/d 2.921 feet serta penyebaran yang menerus. Memiliki potensi kandungan
gas metana 185.000 MSCF. Pelaksanaan dewatering yang dilakukan terhadap 5 sumur uji GMB di

Tabel 2
Persyaratan ideal play shale gas (Wylie et al., 2008)

Gambar 3
Peta potensi sumberdaya gas non-konvensional Indonesia (Sumber: Ditjend MIGAS, 2012)

90

Eksplorasi dan Pengembangan Migas Non-Konvensional Ramah Lingkungan (Djoko Sunarjanto)

Lapangan Rambutan Sumatra Selatan, hanya sumur


GMB 1 yang memiliki produksi air cukup besar yaitu
sekitar 200 barel per hari. Keempat sumur lainnya
relatif tidak terlalu besar produksi airnya. Hasil
analisis kimia terhadap komposisi air yang dihasilkan
menunjukkan bahwa air yang diproduksikan dapat
digolongkan sebagai payau yang mendekati tawar
dengan kandungan Cl sebesar 260 ppm. Dari hasil uji
LC50 termasuk ke dalam golongan non-toksik (tidak
beracun), serta kandungan unsur logam beratnya
masih dibawah ambang yang dipersyaratkan dalam
PP No. 85 tahun 1999 tentang baku mutu limbah yang
dipersyaratkan (Syahrial, dkk., 2008).
Setelah dilakukan produksi gas di Lapangan
Rambutan terdapat senyawa yang mengganggu peralatan produksi seperti pada sumur GMB 03, salah
satu penyebabnya diduga karena kandungan sulda
(FeS2) yang tinggi. Sulda tersebut muncul dalam
bentuk pirit dan markasit, kombinasi keduanya dikenal sebagai sulfur piritik. Secara genetik terbentuk
selama proses penggambutan (pirit syngenetik). Dan
pirit yang terbentuk setelah atau saat terjadi pembatubaraan (pirit epigenetik).
Cleat berkaitan dengan permeabilitas dan porositas batubara, dimana cleat berfungsi sebagai rongga
pori, tempat akumulasi, dan lalunya gas metana atau
saluran pokok perpindahan gas metana di reservoir
batubara. Porositas makro mewakili bukaan batubara dan merupakan bagian dari cleat atau rekahan.
Terdapat hubungan antara cleat dan sulfur karena
sulfur berada pada rongga cleat. Mengingat eratnya
keterkaitan gas dan cleat, maka teori dan metoda yang
mempelajari cleat juga diperlukan dalam pengembangan GMB. Analisis pola cleat bermanfaat untuk
menentukan strategi eksplorasi dan pemanfaatan
GMB. Menggunakan analisis cleat dapat direkayasa
peralatan produksi yang sesuai dan dapat mengatasi
gangguan produksi.
Tahun 2010 telah berhasil disepakati pemangku
kepentingan dan dicanangkan oleh Direktur Jenderal
Migas Program CBM to power. Tahun 2011 pilot
project pengembangan GMB di Lapangan Rambutan
sudah berhasil dikonversikan menjadi tenaga listrik
untuk penerangan, yang berasal dari sumur CBM
4 (Gambar 4). Sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS) termasuk Pertamina saat ini juga
sedang mengembangkan gas non-konvensional.
Hasil kajian yang nyata sebagai kontribusi kepada

negara adalah bergulirnya bisnis eksplorasi GMB


di Indonesia. Sampai awal tahun 2012 terdapat 50
Wilayah Kerja GMB. Wilayah kerja GMB tersebar
di tiga cekungan hidrokarbon, Cekungan Sumatra
Selatan, Cekungan Kutei, dan Cekungan Barito.
Beberapa lapangan milik KKKS di Wilayah Sumatra
Selatan dan Kalimantan Timur sudah pada tahapan
persiapan produksi.
B. Pengembangan Shale Gas
Shale gas di Indonesia belum dikembangkan
secara optimal sebagai sumber energi alternatif.
Tahapan yang sedang dilakukan sampai saat ini
adalah studi potensi sumberdaya yang dilakukan
secara sporadis oleh beberapa perusahaan industri
migas, termasuk lembaga riset milik pemerintah.
Penelitian yang dilakukan dibagi dalam dua katagori
yakni penelitian potensi sumberdaya shale gas secara
regional dan yang lain difokuskan pada evaluasi lahan
yang lebih sempit.
Dari pihak industri, HIS CERA melakukan kajian
potensi sumberdaya shale gas di Pulau Sumatra.
Dengan mengasumsikan bahwa potensi sumberdaya
shale gas dari target play Tersier kira-kira 1.000 TCF

Gambar 4
Pengembangan GMB di Lapangan Rambutan
Sumatra Selatan berhasil dikonversikan menjadi
tenaga listrik pada Tahun 2011

91

Lembaran Publikasi Minyak Dan Gas Bumi Vol. 46 No. 2, Agustus 2012: 85 - 93

lebih yang tersebar dalam 9 (sembilan) play shale gas


di Pulau Sumatra. Sebagian lain seperti Pertamina,
Sugico dan lain sebagainya juga sedang meneliti
potensi shale gas di beberapa lokasi di Indonesia. Eksplorasi migas yang sudah dilakukan pihak lain, dari
data pemboran menunjukkan terdapat potensi shale
gas di daerah frontier wilayah Indonesia Timur.
Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral telah melakukan kajian potensi
sumberdaya gas di Indonesia dengan target 7 (tujuh)
play Miosen yang tersebar di Sumatra, Kalimantan
dan Papua. Hasil kajian Badan Geologi tercatat
bahwa potensi sumberdaya shale gas di 7 (tujuh)
play tersebut sebesar 500 TCF lebih. Selain Badan
Geologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Energi
dan Sumber Daya Mineral juga melakukan penelitian
sumberdaya shale gas di dua Cekungan Sumatra
Utara dan Cekungan Barito. Hasil eksplorasi terbaik
dari keduanya akan dipilih untuk dilakukan uji coba
(pilot test) pengembangan shale gas yang pertama
di Indonesia.
1. Penelitian Shale Gas Daerah Sumatra Utara
Formasi yang prospek mengandung Shale Gas di
daerah Sumatra Utara adalah batuan serpih dari Formasi Bampo, Formasi Belumai dan Formasi Baong.
Khusus pada Formasi Bampo di bagian utara memenuhi kriteria untuk dikembangkan (Sosrowidjojo.,
2011). Sedimen ini diendapkan selama transgresi
dalam lingkungan euxinic sampai pelagic dan selaras di atas Formasi Parapat (Ruswandi dkk., 2011).
Ketebalannya dari 36 meter sampai lebih dari 2.700
meter. Sekuen lanau Formasi Bampo mengandung
sisa bahan organik dan kemungkinan dapat menjadi
potensial untuk batuan induk hidrokarbon Cekungan
Sumatra Utara.
Formasi Bampo menunjukkan kualitas potensi
shale gas yang baik, komposisi mineralogi yang
cukup getas dengan tingkat kegetasan (BI) yaitu
0.70-0.74, mengandung material organik (TOC) sedang antara 0.76% dan 0.84%. Tingkat kematangan
mencapai matang (Tmax 425 C dan 440 C). Faktor
yang memperkecil kualitas adalah tingginya kandungan smectite yang relatif besar (10-15%) berpotensi
dapat mengembang akibat terkena air hingga dapat
menyumbat pori rekahan pada saat fracturing.
2. Shale Gas Daerah Kalimantan Selatan
Formasi yang prospek mengandung Shale Gas
di daerah Barito, Kalimantan Selatan adalah batuan
92

shale dari Formasi Tanjung dan lempung karbonatan


dari anggota Formasi Berai Bagian Bawah. Hasil
analisis yang dilakukan terhadap sampel permukaan
kurang menggembirakan. Tercatat dari hasil analisis
bahwa kandungan material organik (TOC) antara
0.26% dan 0.35%, dengan tingkat kematangan
yang hampir matang (Tmax 432C sampai 434
C). Tingkat kegetasan dikategorikan sebagai getas
dengan BI berkisar antara 0.6-0.82. Faktor yang
meningkatkan kualitas kegetasan adalah rendahnya
kandungan smectite (0-2%). Kadar smectite sekitar
2% umumnya dapat membuat rekahan batuan akan
tetap terbuka pada saat dilakukan fracturing.
Pada tahun 2012 dipilih diantara dua cekungan
yang berpotensi menghasilkan gas dari play shale
gas. Guna mendapatkan gambaran yang lebih baik
maka, penelitian dilanjutkan dengan menganalisis
lebih banyak sampel agar didapat hasil yang memadai
untuk digunakan dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya akan dilakukan pemodelan cekungan
2-D secara komprehensif agar didapatkan gambaran
penyebaran kematangan termal yang lebih baik serta
penyebaran distribusi play shale gas yang potensial
menghasilkan gas dari play shale tersebut.
VI. KESIMPULAN
Sumberdaya energi fosil yang berasal dari
reservoar non-konvensional telah berkontribusi
secara signifikan di beberapa negara yang telah
mengembangkannya. Di Indonesia tersedia beragam
macam sumberdaya migas non-konvensional
yang belum dikembangkan dan dimanfaatkan.
LEMIGAS telah mengawali pengembangan GMB
di Indonesia. Pengembangan tersebut diikuti dengan
telah ditanda-tanganinya sebanyak 50 kontrak
kerjasama pengembangan GMB selama kurun waktu
lima tahun terakhir. Tahun 2011, telah berhasil
dikonversikan GMB menjadi tenaga listrik yang
ramah lingkungan dalam program CBM to power.
Tahapan pengembangan dan produksi GMB sekala
komersial masih terus dilakukan dan dievaluasi.
Keberadaan sumberdaya energi non-konvensional
selain GMB, adalah shale gas. Hasil penelitian
LEMIGAS 2011, shale gas berpotensi di Cekungan
Sumatra Utara dan Cekungan Barito. Formasi yang
prospek mengandung Shale Gas di Sumatra Utara
adalah batuan serpih dari Formasi Bampo, Formasi
Belumai dan Formasi Baong. Khusus pada Formasi
Bampo di bagian utara memenuhi kriteria untuk

Eksplorasi dan Pengembangan Migas Non-Konvensional Ramah Lingkungan (Djoko Sunarjanto)

dikembangkan. Sedangkan formasi batuan yang


prospek mengandung Shale Gas di Cekungan Barito,
Kalimantan Selatan adalah batuan shale Formasi
Tanjung dan lempung karbonatan dari anggota
Formasi Berai Bagian Bawah. Tahapan berikutnya
akan ditentukan salah satu cekungan yang akan
digunakan sebagai tempat uji coba pengembangan
shale gas di Indonesia.
Guna mempercepat pemanfaatan shale gas,
diperlukan pengembangannya secara komprehensif.
Selain eksplorasi dan pengembangan, secara bersamaan harus dilakukan pembuktian secara komersial.
Karakter reservoar shale gas yang berbeda dengan
reservoar konvensional, pada posisi yang lebih dalam
dari GMB atau lebih dalam dari 1.000 meter, diperlukan teknologi yang kompleks, waktu lama dan relatif
mahal. Diharapkan faktor waktu proses pengembangan yang lama, para operator maupun investor tetap
tertarik dan bersemangat mengembangkan shale gas
di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan pengembangan shale gas di darat dan lepas pantai dilakukan
secara bersamaan.
VII. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada DR. Imam B. Sosrowidjojo, dan DR Adiwar.
Keduanya Peneliti Madya pada PPPTMGB LEMIGAS,
sebagai peneliti senior migas, yang telah mengoreksi dan
memberikan saran/masukan kepada penulis untuk kesempurnaan tulisan ini.
KEPUSTAKAAN
1. DIRECTORATE GENERAL OF OIL AND GAS,
2012, Indonesiaa Unconventional Oil & Gas : Policies, Regulation and Opportunities on Upstream Oil

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

& Gas Business Development, www.migas.esdm.


go.id.
Ruswandi, Andi, dkk., 2011, Proyek Percontohan
Penemuan Cadangan Tight Shale Gas Reservoir,
PPPTMGB LEMIGAS, Laporan Kegiatan Tahun
2011. (Laporan Penelitian, Tidak dipublikasikan).
Rogers, Rudy E., 1994, Coalbed methane: principles
and practice, PTR Prentice Hall, Printed in the USA,
ISBN 0-13-016353-8.
Sosrowidjojo, Imam B., 2008, Regulasi Teknis dan
Implikasinya Terhadap Keekonomian CBM, Majalah
Mineral dan Energi, Litbang Energi dan Sumber Daya
Mineral, Vol. 6/No. 3 September 2008, ISSN : 1693
4121, hal. 40 45.
Sosrowidjojo, Imam B., 2009, Evaluating and Developing Coalbed Methane Resources, Bahan Kursus
(Tidak dipublikasikan).
Sosrowidjojo, Imam B., 2011, Teknik Identikasi
Shale Gas: Prospek Shale Gas di Cekungan Sumatra
Utara, disampaikan dalam Workshop Kapasitas Sumberdaya Manusia dalam Penguasaan Teknologi Shale
Gas, Badan Litbang ESDM, PPPTMGB LEMIGAS,
Jakarta 22 Nopember 2011.
Syahrial, E., Fakhriyadi Saptono, Hadi Purnomo,
2008, Simulasi Potensi CBM: Pilot Project CBM
Lapangan Rambutan, Sumatera Selatan, Majalah
Mineral dan Energi, Litbang Energi dan Sumber Daya
Mineral, Vol. 6/No. 3 September 2008, ISSN : 1693
4121, hal. 12 28.
Tamba, Richard H., 2011, Potential for shale gas
development in Indonesia: Pertaminas Progress,
disampaikan dalam Workshop Kapasitas Sumberdaya
Manusia dalam Penguasaan Teknologi Shale Gas, Badan Litbang ESDM, PPPTMGB LEMIGAS, Jakarta
22 Nopember 2011.

93

Anda mungkin juga menyukai