Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH SEJARAH

TENTANG SEJARAH BATAM


KAMPUNG VIETNAM

DISUSUN OLEH
DELVIANITA NUR RIZKY
DEWI PURWANTI
LANINA
SELA SAPARINA PUTRI
RIZKY ANUGRAH PUTRA
SMA NEGERI 8 BATAM
TAHUN AJARAN 2015/2016

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................
1.1 Latar Belakang............................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................
1.4 Manfaat Penulisan.........................................................................

2
3
3
3

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kampung Vietnam seluas 80 hektar di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, sejatinya bukan
hanya bekas lokasi penampungan ribuan pengungsi asal Vietnam selama lebih kurang 16 tahun
pada 1979-1995. Keberadaannya beserta berbagai peninggalannya layak dicatat sebagai
monumen kemanusiaan bangsa Indonesia.

Kompas/Frans SarongSalah satu peninggalan bekas kamp pengungsi Vietnam (1979-1995) atau
lazim disebut Kampung Vietnam di Desa Cijantung, Pulau Galang, Batam, adalah pekuburan
berisi 563 makam.
Frans Sarong
Kisahnya berawal dari pergolakan politik yang melanda Vietnam tahun 1970-an. Pergolakan kian
memanas sehingga pecah perang saudara antara kelompok masyarakat bagian selatan dan
kelompok masyarakat bagian utara negara itu.

Karena kondisi semakin tidak menentu dan kian mencekam, ribuan warga bagian selatan
Vietnam lalu memilih meninggalkan negerinya. Dengan hanya menggunakan kapal kayu, mereka
yang juga disebut sebagai manusia perahu pergi mencari kedamaian atau suaka politik ke
sejumlah negara di sekitarnya, termasuk Indonesia.
Khusus perjuangan mencari kedamaian hingga ke Indonesia, mereka nekat mengarungi Laut
Tiongkok Selatan yang dikenal ganas. Setelah melewati pelayaran selama berbulan-bulan,
perahu pertama berpenumpang 75 pengungsi akhirnya tiba di Indonesia, persisnya di Natuna,
Kepulauan Riau, 22 Mei 1975.
"Kehadiran pengungsi asal Vietnam di Natuna sekitar 40 tahun lalu itu serentak menjadi
pemberitaan meluas. Bahkan, Presiden Soeharto melalui menterinya ketika itu langsung
memerintahkan instansi terkait memberikan perhatian berupa bantuan kemanusiaan sepantasnya
bagi para pengungsi," tutur Zaid Adnan, Kepala Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang,
di Kampung Vietnam, Minggu (8/2).
Pemberitaan itu ternyata menjadi panduan bagi ribuan pengungsi lain mengikuti jejak
pendahulunya ke Natuna. Karena jumlah pengungsi terus bertambah, sementara pengamanan
semakin menjadi beban tidak ringan lantaran daya tampung kian terbatas, Presiden Soeharto
ketika itu mulai mempertimbangkan untuk memindahkan para pengungsi ke daerah aman, yakni
kawasan yang benar-benar tertutup dari kemungkinan berinteraksi dengan warga lokal. Setelah
mendiskusikannya dengan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), dicapai
kesepakatan memindahkan para pengungsi ke Pulau Galang, tepatnya di Desa Cijantung, tahun
1979.
Setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto, UNHCR lalu membangun berbagai
fasilitas yang dibutuhkan pengungsi. "Dana seluruhnya dari UNHCR, pengerjaan
pembangunannya melibatkan pengusaha lokal," ungkap H Syukur, anggota staf Museum Wisata
Sejarah Kemanusiaan Galang.
Keberadaan kawasan penampungan itu justru membuat pengungsi manusia perahu dari Vietnam
terus berdatangan. "Jumlah puncaknya sempat mencapai 250.000 jiwa. Mereka semua

ditempatkan dalam kawasan kamp secara terisolasi atau sama sekali tertutup kemungkinan
berhubungan dengan masyarakat luar di sekitarnya," kata Zaid.
Dalam perjalanannya, para pengungsi perlahan diberangkatkan ke sejumlah negara lain yang
merelakan fasilitas suaka politik melalui PBB. Sebagian lain belakangan dipulangkan ke
Vietnam menyusul kondisi negara asal mereka yang berangsur pulih.

Kompas/Frans Sarong
Menurut catatan Zaid, pemulangan terakhir ke Vietnam terjadi tahun 1995, meliputi 4.750
pengungsi. "Suasana kepulangan para pengungsi terakhir itu tanpa rasa ragu karena langsung
dijemput oleh sejumlah pejabat dari Vietnam," ujarnya.
Jejak tertinggal
Walaupun nama Kampung Vietnam tetap melekat, di lokasi yang kini menjadi kawasan hening,
hijau, dan terjaga itu sesungguhnya tidak ada lagi pengungsi yang tersisa. Jejak yang tertinggal di
antaranya lokasi pekuburan berisi 563 makam serta bangunan rumah ibadah, seperti mushala,

wihara, dan gereja (Katolik dan Kristen Protestan). Selain itu, ada sejumlah bangunan yang tidak
lagi terawat, yakni bekas kamp bagi para pengungsi untuk berteduh.
Ada pula bangunan bernama Humanity Statue, yakni monumen kemanusiaan berupa patung
perempuan dalam keadaan tak berdaya. Konon monumen itu khusus untuk mengenang tragedi
yang menimpa seorang perempuan pengungsi bernama Tinh Han Loai. Ia memilih bunuh diri
karena tak kuat menanggung malu setelah diperkosa sejumlah pria sesama pengungsi.
Setelah Kampung Vietnam tidak lagi menyisakan warga pengungsi, PBB melalui UNHCR
mengembalikan kawasan itu kepada Pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Badan Otorita Batam
membenahi kawasan itu, antara lain melengkapinya dengan museum khusus tersebut.
Di sekitarnya juga terpajang dua perahu sebagai monumen khusus untuk mengenang perjuangan
para pengungsi mengarungi lautan demi kedamaian hingga ke Indonesia.
Kini, Kampung Vietnam-sekitar 60 kilometer dari Batam-dipasarkan sebagai obyek wisata
sejarah andalan Batam, bahkan Kepulauan Riau. Khusus pada hari raya atau hari libur,
pengunjungnya bisa mencapai 4.000 orang hingga 5.000 orang.
Tidak sedikit dari para wisatawan itu eks pengungsi atau keluarganya yang kini sudah berhasil
dan menyebar di sejumlah negara. Kunjungan mereka terutama ke lokasi pemakaman.
Rusli (38), pengunjung asal Jakarta, melukiskan, belum ke Batam jika tidak menyempatkan diri
berkunjung ke Kampung Vietnam. "Obyek wisata ini layak dijaga kelestariannya karena
merupakan jejak sejarah kemanusiaan Indonesia," ujar Rusli ketika bersama keluarganya
menjelajahi kawasan Kampung Vietnam.
Rusli dan Zaid benar, bekas kamp pengungsi itu merupakan monumen kemanusiaan bangsa
Indonesia!

BAB II
PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai