Anda di halaman 1dari 16

Resensi Film Tanah Surga..

Katanya
Written By Irfanda Siagian on Rabu, 06 November 2013 | 08.41

Judul Film
Sutradara
Produksi
Films
Tayang Perdana
Durasi

: Tanah Surga...Katanya
: Herwin Novianto
: PT.Demigisela Cita Sinema & PT. Gatot Brajamusti
: 11 AGUSTUS 2012
: 90 menit

Sudah menjadi pemandangan umum bila banyak warga negara Indonesia


merantau dan bekerja di Malaysia, sebuah negara yang diklaim sebagai
serumpun dan sebahasa. Sesuai dengan pepatah mengatakan rumput halaman
tetangga lebih hijau dari rumput halaman sendiri maka banyak orang-orang
Indonesia yang bekerja atau bahkan pindah dan menjadi warga negara di sana.
Sebuah fenomena yang sering terdengar namun tiada pernah teratasi. Untuk
itulah film ini sedikit menguak sisi kehidupan lain sebuah keluarga di sebuah
desa kecil pada perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.
Film yang bergenre drama satire ini diproduseri oleh Deddy Mizwar dan
Brajamusti yang akrab dipanggil Aa Gatot. Istilah satire mempunyai arti sindiran
terhadap suatu keadaan atau seseorang. Mereka berdua juga tampil sebagai
cameo yaitu menjadi seorang pejabat dan asistennya yang sedang berkunjung
didesa. Herwin Novianto menyutradarai ini sebagai aksi keduanya setelah Jagad
x code.
Cerita dimulai dengan kedatangan Haris (Ence Bagus) dari Serawak Malaysia,
seorang duda yang mempunyai dua orang anak yaitu Salman (Osa Aji santoso)
dan Salina (Tissa Biani Azzahra). Selama ini Haris bekerja di Serawak dan
sesekali baru pulang ke kampung halamannya. Kedua anaknya dititipkan kepada
ayahnya yang bernama Hasyim (Fuad Idris) yang sudah sakit-sakitan. Dia adalah
mantan pejuang operasi dwikora yaitu perang melawan Malaysia.

Haris mengajak ayahnya untuk pindah ke Malaysia karena kondisinya lebih baik
dengan adanya fasilitas kesehatan, mudah cari kerja dan lain-lain. Namun Haris
menolaknya dengan alasan Indonesia adalah tanah surga dan lebih makmur
serta alasan sejarah juga patriotisme bangsa. Haris hanya berhasil mengajak
Salina saja sedangkan Salman tetap tinggal dengan sang kakek.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi disama lebih buruk dari Malaysia. Di sana
tidak ada listrik dan penerangan masih memakai obor tetapi di Serawak sudah
ada listrik dan lampu. Di sana jalanan masih bebatuan tetapi di Serawak jalanan
sudah beraspal. Disana tidak ada toko yang berdagang tetapi di Serawak banyak
toko yang menyediakan segala keperluan. Bahkan mata uang disana memakai
ringgit mengikuti mata uang Malaysia.
Fasilitas pendidikan juga sangat minim dengan hanya ada satu guru saja yang
bernama Astuti (Astri Nurdin) yang mengajar rangkap kelas tiga dan kelas empat.
Bahkan sempat vakum selama satu tahun karena tidak ada gurunya. Fasilitas
kesehatan juga sempat kosong dan untunglah datang dokter Anwar (Ringgo
Agus Rahman) yang dipanggil dengan sebutan dokter Intel. Dokter Anwar
sempat naksir pada Astuti sampai-sampai memberikan hadiah shampo,
maklumlah shampo saja sulit di dapat di desa tersebut. Keduanya menunjukkan
pengorbanan dan cintanya akan penduduk desa.
Astri Nurdin dapat berperan dengan baik sesuai porsinya sebagai seorang guru
yang menunjukkan wibawanya dan bijaknya. Raut wajah dan bicaranya cocok
sebagai orang Melayu. Agus Ringgo bermain biasa-biasa saja seperti peranperan yang dilakoni sebelumnya. Mungkin orang sudah sering melihat karakter
yang agak lucu dan karakter tersebut melekat juga dalam film ini. Fuad Idris juga
bagus dalam memerankan sosok tua yang mencintai negeri yang bernama
Indonesia. Gurat-gurat wajah yang menahan emosi serta pertentangan batinnya
dapat terlihat dengan baik. Osa Aji Santoso terlihat potensinya namun masih
harus banyak jam terbangnya untuk menjadi aktor cilik berbakat.
Kekurangan dalam film ini yaitu tidak tampak murid-murid kelas satu, kelas
dua, kelas lima dan kelas enam apa dan bagaimana mereka. Sayangnya sang
sutradara kurang mengeksplorasi keindahan alam dan nuansa desa yang
seharusnya dapat lebih maksimal. Menurut penulis sudut pengambilan gambar
kurang kreatif sehingga beberapa adegan terutama di malam hari terlihat gelap.
Juga alur cerita yang tidak berujung sehingga tidak ada greget akhir yang ingin
dicapai.
Kelebihan dalam film ini adalah tema yang diangkat patut diacungi jempol
dari pada tema horsex alias horor sexy yang ada selama ini. Jarang sekali film
yang mengangkat rasa nasionalisme bangsa dengan cara unik tanpa perang dan
darah seperti ini. Termasuk posisi Indonesia digambarkan kalah dalam film ini
sebagai bentuk sindirin terhadap pemerintah pusat, pejabat daerah dan kita
semua. Suatu bentuk kejujuran atas realita yang ada.
Sinopsis Film

Tanah Surga... Katanya

Setelah meninggalnya istri tercinta, Hasyim, mantan


sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun
1965, memutuskan tidak menikah. Ia tinggal
bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga
menduda, Haris, dan dua cucunya: Salman dan
Salina. Hidup di perbatasan Indonesia dan Malaysia
merupakan persoalan tersendiri bagi mereka, karena
keterbelakangan pembangunan dan ekonomi.
Masyarakat perbatasan harus berjuang untuk
mempertahankan hidup mereka, termasuk keluarga
Hasyim yang tetap tinggal di Indonesia karena
loyalitas pada bangsa. Haris mencoba membujuk
ayahnya untuk pindah ke Malaysia dengan alasan di
sana lebih menjanjikan secara ekonomi
dibandingkan tetap tinggal di wilayah Indonesia.
Astuti, guru sekolah dasar di kota, datang tanpa
direncanakan. Ia mengajar di sekolah yang hampir
rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama
berselang datang pula Dr. Anwar, dokter muda yang
datang karena tidak mampu bersaing sebagai dokter
professional di kota. Salman dan Salina gembira
hatinya karena kedatangan Astuti dan Dr. Anwar.
Diam-diam Dr. Anwar menyukai Astuti. Luluhkah hati
Hasyim dengan bujukan Haris pindah ke Malaysia?
Bagaimana kisah kasih Dr. Anwar dan Astuti?
Directed by: Herwin Novianto
Cast: Aji Santosa, Fuad Idris, Ringgo Agus Rahman,
Astri Nurdin, Ence Bagus, Deddy Mizwar
Duration: 91 min

Tanah Surga... Katanya


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tanah Surga... Katanya

Poster film
Herwin Novianto
Deddy Mizwar
Produser
Gatot Brajamusti
Bustal Nawawi
Penulis
Danial Rifki
Osa Aji Santoso
Fuad Idris
Ence Bagus
Pemeran
Astri Nurdin
Tissa Biani Azzahra
Ringgo Agus Rahman
Andre Dimas Apri
Studio
Demi Gisela Citra Sinema
Distributor
Citra Sinema
Tanggal rilis
15 Agustus 2012
Lokasi
Kalimantan
Durasi
90 menit
Negara
Indonesia
Bahasa
Bahasa Indonesia
Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 hidup
dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan
untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga
menduda Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di
perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih
didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi. Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk
mempertahankan hidup mereka, termasuk keluarga Hasyim, namun kesetiaan
dan loyalitasnya pada bangsa dan Negara membuat Hasyim bertahan tinggal.

Sutradara

Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh
lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak
seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. Astuti, seorang guru

sekolah dasar di kota datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di sekolah


yang hampir roboh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang dr.
Anwar, seorang dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu bersaing
sebagai dokter professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya karna
kedatangan guru Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan
sebutan dokter intel.Baru diketahui bahwa Hasyim mengidap penyakit yang
membahayakan bagi hidupnya dan dokter intel mengharapkan Hasyim di bawa
pengobatan yang lebih layak .Salman berusaha memenuhi kebutuhan di
perjalanannya 400 ringgit adalah uang yang diperlukan. Suatu hari ketika Salina
bersama Ayah kandungnya berada di Malaysia,Sakit yang di diderita Hasyim
kambuh, Salmanpun bingung dan memanggil dokter intel. Salman dan dr. Intel
membawa Hasyim kerumah sakit ketika di perjalanan bensin yang ada pada
deasel perahu yang ditumpangi habis. ketika dipertengahan Hasyim meninggal.
Resensi Film Tanah Surga.. Katanya *
Posted on June 18, 2013

Oleh: Agus Rudianto, S.Kom **


Lirik Lagu Koes Plus : Kolam Susu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Sinopsis Film
Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 hidup
dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan
untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga
menduda Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di
perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih
didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi. Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk
mempertahankan hidup mereka, termasuk keluarga Hasyim, namun kesetiaan
dan loyalitasnya pada bangsa dan Negara membuat Hasyim bertahan tinggal.
Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh
lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak
seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. Astuti, seorang guru
sekolah dasar di kota datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di sekolah
yang hampir rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang dr.
Anwar, seorang dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu bersaing
sebagai dokter professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya karna
kedatangan guru Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan
sebutan dokter intel. Baru diketahui bahwa Hasyim mengidap penyakit yang
membahayakan bagi hidupnya dan dokter intel mengharapkan Hasyim di bawa
pengobatan yang lebih layak .Salman berusaha memenuhi kebutuhan di
perjalanannya 400 ringgit adalah uang yang diperlukan. Suatu hari ketika Salina
bersama Ayah kandungnya berada di Malaysia,Sakit yang di diderita Hasyim
kambuh, Salmanpun bingung dan memanggil dokter intel. Salman dan dr. Intel

membawa Hasyim kerumah sakit ketika di perjalanan bensin yang ada pada
deasel perahu yang ditumpangi habis. ketika dipertengahan Hasyim meninggal.
Pelajaran yang bisa dipetik dari film Tanah Surga.. Katanya, berikut beberapa hal
yang patut jadi renungkan kita semua sebagai warga negara NKRI mengenai
kondisi sosial masyarakat perbatasan :
1. Keadaan di perbatasan Malaysia jauh lebih ramai dan modern, disana ada
pasar dan sarana prasarana yang lengkap, sedang di perbatasan RI sangat
memprihatinkan.
2. Saat berada di patok perbatasan, disisi Malaysia jalanannya sudah diaspal
mulus, di RI masih tanah kerontang, kalau hujan jadi berlumpur dan becek.
3. Sinyal komunikasi di perbatasan RI masih sulit, sebaliknya di Malaysia lancar.
4. Sarana Pendidikan di Perbatasan RI hanya ada 1 SD, dengan bangunan kumuh
dan hanya ada 1 guru.
5. Ringgit lebih laku ketimbang Rupiah. Masyarakat perbatasan RI lebih banyak
berbisnis di pasar malaysia.
6. Masyarakat di Perbatasan lebih mengenal lagu2 di Radio ketimbang lagu
Kebangsaannya Sendiri.
7. Bendera Merah Putih hampir tak dianggap lagi.
8. Sarana Transportasi di Perbatasan RI sangat Sulit, masih memakai perahu
melewati sungai2 mirip hutan belantara Amazon, sedang malaysia? di film
terlihat banyak kendaraan bermotor seperti YZF150 (vixion), bebek, dan
mobil.
9. Keadaan Papan, Sandang, dan pangannya sangat memprihatinkan.
10. Sarana Kesehatannya nyaris Nihil. Tak ada klinik atau ke Puskesmas, lokasi
Rumah sakit hanya ada di kota Kabupaten.

Nasionalisme atau Kesejahteraan? sebuah pilihan dilematis dalam keadaan yang


serba kekurangan.
Analisis Film "Tanah Surga, Katanya"
SINOPSIS

Kakek Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun


1965 hidup dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia
memutuskan untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya
yang juga menduda Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina.
Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih
didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk mempertahankan hidup
mereka, termasuk keluarga Hasyim, namun kesetiaan dan loyalitasnya pada bangsa
dan Negara membuat Hasyim bertahan tinggal.

Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia


jauh lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak
seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. Astuti, seorang guru
sekolah dasar di kota datang tanpa direncanakannya. Ia mengajar di sekolah yang
hampir rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang dr. Anwar, seorang
dokter muda datang ke daerah itu, karena tidak mampu bersaing sebagai dokter
professional di kota. Salman dan Salina gembira hatinya karna kedatangan guru
Astuti dan dr. Anwar, yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan dokter intel.

UNSUR INSTRINSIK
*Tema : Nasionalisme / Semangat Kebangsaan, Cinta Terhadap Tanah Air Indonesia
*Setting : Lokasi berada di Perbatasan Antara Negara Malaysia dan Indonesia,

Tepatnya Dipulau Kalimantan.


*Penokohan :
1. Kakek Hasyim : Jiwa Patriotisme dan Nasionalisme-nya Tinggi, walaupun ia hidup
pas-pasan di Indonesia, namun ia tetap bertahan dan tidak mau mengikuti anaknya,
Haris, untuk tinggal di Malaysia.
2. Haris : anak dari Kakek Hasyim ini lebih memilih tinggal, menetap dan
berkewarganegaraan Malaysia. ia merasa bahwa hidup diMalaysia lebih sejahtera
daripada harus tinggal di Indonesia.
3. Salman : Cucu Laki-laki dari kakek Hasyim ini sangat senang terhadap cerita
Kakek Hasyim ketika dahulu berperang. Jiwa Nasionalisme-nya Tinggi dan Terus
Berkobar. Ia Bahkan menolak untuk pergi bersama ayahnya tinggal diMalaysia, dan
lebih memilih tinggal bersama Kakeknya di Indonesia.
4. Salina : Adik Perempuan dari Salman ini senang bermain balon gelembung,
biasanya bermain bersama kakaknya di kebun. Salina terpaksa harus berpisah dari
Salman, kakaknya, karena ia terpaksa ikut ayahnya, Haris, untuk menetap di
Malaysia.
5. Ibu Guru Astuti : Ibu guru ini adalah seorang guru yang tidak sengaja terpiih,
bisa dibilang ketidaksengajaan, untuk mengajar Salman dan teman-temannya
dikelas 5 Sekolah Dasar. Ibu guru ini selalu mengajarkan Jiwa Nasionalisme kepada
murid-muridnya agar mereka tidak melupakan bangsa Indonesia, termasuk Salman.
6. Dokter Intel / Anwar : Dokter ini datang ke Kalimantan untuk menggantikan
seorang dokter lama yang telah meninggal dunia. Dipanggil sebagai dokter intel
akibat kesalahpahaman seorang anak, teman Salman. Dokter ini pindah ke
Kalimantan karena di Bandung, Asalnya, sudah terlalu banyak dokter saingan.
Dokter Anwar pernah menggantikan Ibu Astuti sebagai guru untuk sehari. Ia juga
terkejut mendengarkan lagu nasional yang dinyanyikan murid-murid tersebut, yaitu
Kolam Susu ciptaan Koes Plus.
7. Teman Salman : anak tertubuh memal ini sangat polos, ia juga yang pertama kali
memanggil Dokter Anwar sebagai Dokter Intel yang akhirnya menumbuhkan
kesalah-pahaman kepada Pemerintah Daerah setempat. Tingkahnya terkadang
membuat penonton tertawa terbahak-bahak atas kepolosannya.

*Sudut Pandang:
Sudut pandang menceritakan tentang kehidupan sehari hari Salman. Bagaimana
cara ia berjuang, mendapatkan uang untuk Kakeknya pergi berobat, dan bagaimana
kehidupan sekolahnya. Serta sedikit membahas tentang hubungan Dokter Anwar
dan Ibu Astuti.
*Alur : maju
*Pesan / Amanat: Kita harus mempunyai Jiwa Nasional yang Tinggi, Patriotisme
yang Tinggi, serta harus cinta terhadap tanah air. bagaimana cara kita menyikapi
tentang betapa kurangnya negeri ini jika dibandingkan dengan bangsa lain.

HAL YANG MENARIK dari Film Ini :

menurut saya, ada beberapa hal menarik dari film ini:


1. Salman dilahirkan diambang 2 pikiran keluarga. Maksudnya, ia harus memilih
untuk ikut ayahnya ke Malaysia atau terus di Indonesia bersama kakeknya.
2. Film ini termasuk kedalam golongan film nasionalisme, namun dikemas menarik
dengan beberapa komedi, termasuk kelucuan dari Teman Salman.
3. Menceritakan bagaimana cara Salman untuk mencari uang 400 RM (ringgit
malaysia) untuk kakeknya berobat.
4. Di daerah Salman tidak mengenal rupiah, mereka terbiasa menggunakan Ringgit.
Padahal, ini masih Republik Indonesia. sebabnya adalah orang sana kebanyakan
berdagang di Malaysia, jadi banyak terjadi transaksi dengan Warga Negara Malaysia
pula.
5. Lagu Indonesia Raya kalah saing dengan Lagu Kolam Susu milik Koes Ploes.
sebabnya karena Lagu Indonesia Raya jarang sekali didengar anak-anak di Radio,
mereka selalu mendengarkan lagu Kolam Susu milik Koes Plus. Akhirnya Ibu Astuti
mengajarkan Lagu Indonesia Raya kepada muridnya, karena saran dari Dokter
Anwar.
6. Mulai ada rasa ketertarikan antara Dokter Anwar dengan bu Astuti.
7. Salman harus bolak-balik Indonesia-Malaysia untuk mengantarkan barang. Dia
juga menyempatkan diri untuk bertemu adiknya, Salina di Malaysia.
8. Salman sangat menghargai Bendera Sang Saka Merah Putih. bahkan ia
mengorbankan kain sarung hasil jeripayahnya untuk ditukarkan dengan Bendera
Merah Putih yang kusam milik Juragannya.
9. dll
miris dengan fenomena warga negara Indonesia perbatasan. Menelisik kehidupan
nyata antara rasa cinta tanah air dan kenyataan sulitnya mencari penghidupan di
negara sendiri, terutama di daerah perbatasan.
Para Pemain

Berikut para pemain film Tanah Surga Katanya :


Osa Aji Santoso berperan sebagai Salman (Anak laki-laki dari Haris, Putra
Hasyim)
Fuad Idris berperan sebagai Hasyim (Kakek Salman, Ayah dari Haris)
Ence Bagus berperan sebagai Haris (Ayah dari Salman)
Astri Nurdin berperan sebagai Astuti (Guru didaerah tersebut)
Tissa Biani Azzahra berperan sebagai Salina (Adik Salman, Puteri Haris)
Norman Akyuwen berperan sebagai Gani (Kepala Dusun) dan Agus Ringgo
Mereka adalah para tokoh utama dalam film tersebut. Dan ada satu lagi aktor
senior sebagai pemain sekaligus orang yang berada dibalik suksesnya film Tanah
Surga Katanya, Dedy Mizwar.
Isi Cerita

Film ini mengambil lokasi disebuah desa terpencil di perbatasan Indonesia


Malaysia, tepatnya berada di pulau Kalimantan. Di desa tersebut terdapat satusatunya sekolahan yang digunakan untuk belajar anak-anak usia SD. Bentuk
sekolahannya hanya satu ruangan dengan dinding triplek. Sekolah tersebut
hanya mempunyai dua kelas dan antas kelas hanya disekat oleh papan. Bu
Astuti sebagai satu-satunya guru di sekolah tersebut. Mengajarnya pun

bersamaan, Bu Astuti berada di tengah-tengah sekat. Kelas sebelah disuruh


nulis, maka Bu Astuti pindah sebelahnya lagi, begitu seterusnya #miris. Oiya,
setiap pulang sekolah, anak-anak sangat suka dan selalu mendengarkan lagu
berjudul kolam susu.
Di dusun yang dikepalai Bapak Gani inilah tinggal seorang kakek renta bersama
dua cucunya Salman dan Salina. Hasyim adalah seorang penjuang yang sangat
cinta kepada negeri tanah kelahirannya, NKRI. Saking cintanya kakek itu dengan
Indonesia sampai -sampai setiap hari ia menularkan rasa cinta tanah air kepada
dua cucunya melalui cerita. Kedua bocah itu bukan tak punya orangtua, mereka
mempunyai Haris, ayahnya. Haris sudah bertahun-tahun meninggalkan
Indonesia merantau ke negeri seberang, Malaysia.
Saat Haris datang, Hasyim mengusirnya, sebab kedatangannya bertujuan untuk
memboyong keluarga ke Malaysia. Hasyim tak rela ke Malaysia, negeri yang
sempat menjadi saingan Indonesia itu. Meskipun Haris telah membujuknya
dengan janji kemewahan hidup berada di Negeri Jiran.
Sementara Salman dan Salina yang sejak kecil di tinggal sang ayah, tentu lebih
memilih kakeknya daripada mengikuti sang ayah ke Malaysia. Terlebih lagi kakek
Hasyim telah mendoktrin mereka agar selalu cinta kepada bangsa dan NKRI
dimanapun berada. Namun, namanya masih anak-anak, mereka kalap juga
dengan bujukan sang ayah. Hanya Salman yang tetap pada pendiriannya, tinggal
di Indonesia bersama sang kakek. Salina, ikut ayahnya ke Malaysia dengan
iming-iming akan dibelikan boneka besar.
Ditengah-tengah konflik antara Haris dan Hasyim datanglah dokter muda
bernama Anwar ke dusun tersebut. Dokter Anwar disambut gembira oleh warga,
karena sekarang warga bisa gampang mendapatkan perawatan ketika sakit. Sang
Sutradara menyelipkan sedikit humor melalui peran Agus Ringgo. Saat dimana
Dokter Anwar tiba-tiba suka kepada Bu Astuti karena ketulusannya mengajar di
sekolah terpencil. Padahal sebenarnya Bu Astuti mengajar di sana bukan
keinginan pribadi. Ia ditugaskan di tempat tersebut karena tak sengaja
mengangkat tangan gara-gara gatal ketika rapat sedang berlangsung.
Kolam Susu Lagu Kebangsaan Indonesia?

Suatu saat Bu Astuti hendak keluar kota mengambil gaji. Sehingga harus
meninggalkan tugasnya mengajar di sekolah itu. Sebagai gantinya ia meminta
dokter Anwar untuk menjadi guru, dalam waktu sehari. Dengan keterpaksaannya
sang dokter mengiyakan permintaan sang guru yang dikaguminya.
Hari pertama mengajar, Dokter Anwar meminta para siswa menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia. Dan tahukah anda, miris diri ini ketika serempak anakanak itu dengan lantang menyanyi:

Bukan lautan tapi kolam susu


Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada ombak kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Hmm.. Tak ubahnya seperti Dokter Anwar dalam perannya, saya pun ikut
tercengang. Demi kegembiraan anak-anak, dokter Anwar menyemangati mereka
dengan lagu kolam susu. Malam sepulangnya Bu Astuti, dokter Anwar

menceritakan kejadian hari itu. Bu Astuti malah tertawa kecil, menyadari bahwa
ia lupa mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Maklum, ia memang baru
2 bulan mengajar di dusun tersebut. Lebih ironis lagi saat bu Astuti dan dokter
Anwar hendak mengajarkan upacara kepada anak didiknya. Tak ada satupun
warga yang mempunyai bendera merah putih. Bahkan Pak Gani sebagai kepala
dusun. Hanya kakek Salman yang punya bendera tersebut. Ia selalu menjaga
sang saka merah putih dan selalu mengajarkan pada Salman untuk menghormati
sang saka.
Salman Ke Malaysia

Beberapa hari tak masuk sekolah, bukan karena malas, tapi Salman bekerja
untuk membawa kakeknya berobat ke rumah sakit. Bersama puluhan anak-anak
lain yang tak sekolah, mereka merantau melintasi batas negara Indonesia. Ia ke
Malaysia hanya dengan berjalan kaki. Tujuannya hanya satu, mencari uang
untuk berobat sang kakek. Sesampainya di salah satu pasar, Salman melihat satu
pedagang dengan alas kain merah putih. Dengan gigih ia meminta kepada orang
tersebut agar tidak menginjak merah putih, tapi malah caci yang dia dapati.
Jauh kaki melangkah membawa Salman tak sengaja bertemu dengan adiknya
Salina. Mereka bertemu di kedai sang ayah yang sudah menikah dengan warga
Malaysia. Istri baru Haris adalah pemilik jasa pengiriman. Ia diperlakukan tidak
seperti layaknya seorang suami oleh istrinya. Setiap hari Haris menyapu lantai
dan membuka kedainya. Perlakuannya lebih mirip seperti majikan dan
pembantu. Namun, Haris tak pernah merasa bahwa ia diperlakukan seperti
pembantu oleh istrinya.
Beberapa hari menginap di rumah sang ayah, Salman akhirnya pulang membawa
cukup uang untuk membawa kakeknya ke rumah sakit. Tidak lupa Salman
membelikan dua helai sarung baru untuk kakeknya. Namun ada rasa haru
menyelimuti, tatkala Salman dalam perjalanan pulang. Dia melihat ada seorang
pedagang yang menutupi barang dipanggulnya dengan sehelai kain merah
putih. Dengan sigap Salman menghampiri orang tersebut. Dengan sopan ia
meminta kain penutup, tapi tidak diijinkan. Tak berpikir lama, Salman menukar
kain sarung yang dibelinya untuk kakek dengan selembar kain merah putih.
Meskipun sedih tak bisa membawa pulang sarung untuk kakek, Salman bangga
telah menyelamatkan bendera Indonesia. Berlari mengibarkan bendera merah
putih dengan kedua tangannya merupakan kegembiraan tersendiri baginya.
Sungguh mengharukan
Kakek Hasyim Meninggal

Salman pulang. Sakit yang semakin parah membuat dokter Anwar dan Bu Astuti
berinisiatif membawa sang kakek ke rumah sakit. Bu Astuti, Salman, dan Dokter
Anwar membawa kakek ke rumah sakit dengan bantuan perahu mesin kecil
untuk menyusuri sungai dan rawa menuju ke rumah sakit paling dekat. Mereka
berangkat pagi, dan sampai petang belum juga sampai daratan, petaka malah
datang menghampiri mereka saat mesin perahu yang mereka tumpangi mati.
Padahal hari sudah gelap.
Sementara itu Haris mengajak jalan-jalan Salina, adik Salman. Mereka berdua
mampir di kedai untuk menonton sepakbola. Malam itu spesial match antara
Malaysia dan Indonesia. Salina yang tak tertarik hanya duduk menggambar saja.
Berbeda dengan ayahnya, Haris saat itu sudah tak ada cinta untuk negerinya,
Indonesia. Terbukti ia bersorak gembira saat tim kesebelasan Malaysia
memenangkan pertandingan.

Berbeda dengan Haris yang diselimuti kegembiraan, Salman dan rombongan


justru berlinang air mata. Salman baru saja mendengar pesan terakhir dari sang
kakek

Salman, apapun yang terjadi, kamu tidak boleh melupakan Indonesia


Kurang lebih itu pesan kakek sebelum mengucap kalimat tahlil dan
menghembuskan nafas terakhirnya. Salman menjerit histeris, kakek satu-satunya
yang merawat dan hidup bersama, kini telah tiada. Semua rombongan menjadi
sedih. Malam yang sangat gelap itu semakin sendu. Dengan terisak, Salman
menghubungi ayahnya menggunakan handphone dokter Anwar.
Mendengar berita duka dari Salman, Haris shock. Seketika itu ia tak bisa berkata,
hanya bisa menitihkan air mata penyesalan.
Demikian review film Tanah Surga Katanya dari saya. Film ini memberikan
gambaran nyata hidup di Indonesia. Negeri dengan sumber daya alam yang
begitu kaya, tapi masih banyak warganya yang terlunta. Terlebih penduduk
perbatasan NKRI. Sehingga jangan salahkan WNI yang lebih memilih tinggal
diluar daripada di Indonesia.
Namun demikian bukan berarti hidup di luar negeri itu semuanya enak. Bisa jadi
enak yang dimaksud sama dengan nasib Haris. Haris memang lebih banyak
uang setelah merantau dan beristri orang luar negeri. Namun kehidupannya tak
berbeda dengan jauh dengan para kuli di negeri sendiri yang hanya menjadi
pesuruh. Diluar sana masih banyak orang yang melihat rumput tetangga lebih
hijau hanya dari luarnya saja.
Tanah Surga Katanya, Gambaran Tanah Tak Bertuan

Judul film
Sutradara

: Tanah Surga Katanya

: Deddy Miswar dan Herwin Novianto

Produksi

: Citra Sinema

Durasi

: 90 menit

Tanggal Rilis : 15 Agustus 2012


Film bertemakan nasionalisme ini mengulas seputar luputnya bangsa
memperhatikan setanah daerah yang masih menjadi bagian dari negara. Berlatar
di suatu daerah terpencil yang berada diperbatasan antara negeri Indonesia dan
Malaysia, tepatnya di pulau Kalimantan Barat yang sepatutnya hidup di bawah
naungan negara namun kenyataannya masih terbengkalai dan sangat ironi.
Seakan masyarakat didalamnya hidup tanpa mengenal tanah airnya sendiri.
Bahkan mata uang yang digunakan bukan mata uang Negara Indonesia,
melainkan ringgit yang merupakan mata uang negara tetangga, yaitu Malaysia.
Begitu pula dengan bendera yang menjadi lambang negara pun terlihat asing
dan tak dikenali oleh anak-anak bangsa yang seharusnya memiliki peranan
penting bagi kelangsungan bangsa di masa yang akan datang.
Keadaan tersebut seakan menjadi lelucon sekaligus mengundang senyuman
pahit, sinema yang disutradari oleh Deddy Mizwar dan Herwin Novianto ini
seakan menguak fakta bahwa Indonesia yang telah berumur 67 tahun ini belum
cukup mampu merangkul seluruh masyarakat bangsa untuk mengenal dan
menghargai negerinya. Cerita ini dimulai dengan kehidupan suatu keluarga yaitu
Hasyim (Fuad Idris) salah seorang mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia
Malaysia tahun 1965 yang tinggal bersama kedua cucunya, Salman (Osa Aji
santoso) dan Salina (Tissa Biani Azzahra) yang merupakan anak dari Haris (Ence
Bagus). Haris yang telah bekerja di Serawak (Malaysia) suatu ketika kembali ke
rumah untuk mengajak keluarganya pindah ke Serawak dengan alasan
memperoleh kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan menjanjikan.
Memang jika dibandingkan dengan desanya yang masih memakai obor sebagai
penerang karena belum dialiri listrik, minimnya berbagai fasilitas umum seperti
rumah sakit, juga perbedaan yang cukup mencolok seperti jalan yang masih
bebatuan. Namun, sang ayahanda yang memiliki sejarah patriotisme bangsa dan
mengutarakan bahwa negeri Indonesia cukup makmur menolak ajakan tersebut.
Meski Haris telah mengutarakan pendapatnya dengan mengatakan daerah
mereka cukup tertinggal sehingga tidak ada yang bisa diharapkan dari
pemerintah. Dengan tegas Hasyim mengatakan Aku mencintai negeri ini
bukan untuk pemerintah tapi untuk bangsaku sendiri! sebagai kalimat
kepastian bahwa ia tidak akan merubah pikirannya, dan akan tetap tinggal.
Akhirnya Haris hanya berhasil mengajak Salina saja sedangkan Salman memilih
untuk tetap tinggal dengan sang kakek.
Film berdurasi satu setengah jam ini menyajikan sedikit kisah asmara kocak
antara seorang guru dan dokter yang mengabdikan diri mereka untuk kehidupan
penduduk desa meski alasan awalnya untuk berada ditempat itu cukup unik. Di
desa yang hanya memiliki satu sekolah dan juga memiliki satu orang guru, Astuti
(Astri Nurdin). Ia mengajar semua mata pelajaran. Selain itu mereka hanya
memiliki sepetak bangunan yang dibelah menjadi dua ruangan, kelas tiga dan
empat.
Pernah pula kegiatan mengajar berhenti selama satu tahun karena tidak
memiliki pengajar. Begitu pun bagian fasilitas kesehatan, desa tersebut bahkan
sempat tidak memiliki dokter dan akhirnya diisi oleh kedatangan dokter Anwar
(Ringgo Agus Rahman) yang disapa dengan dokter intel yang berasal dari

bandung.
Dalam perannya Astri Nurdin cukup baik, ia bersikap layaknya seorang guru
yang bijak, lembut dan tegas. Gaya bicaranya melayu, cocok dengan
lingkungannya. Agus berkarakter casual, diselingi guyon khasnya. Selanjutnya
untuk aktor dan artis cilik disini juga cukup mampu memerankan perannya,
terutama Osa Aji yang memiliki peran lebih banyak, mulai dari ia bekerja untuk
pengobatan sang kakek sampai ia menukarkan kain yang baru dibeli dengan
hasil kerjanya, lalu ia tukarkan dengan bendera Indonesia yang dijadikan kain
pembungkus dagangan salah seorang pedangang yang berada di Serawak.
Selain itu, ekspresi dan emosi Fuad Idris juga sangat jelas tergambar ketika
memerankan seseorang yang memiliki sikap nasionalisme tinggi.
Judul Film : Tanah Surga Katanya
Sutradara : Herwin Novianto
Bintang : Osa Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Ringgo Agus Rahman, Astri
Nurdin
Rated : **** (Excellent)

Bukan lautan hanya kolam susu katanya/Tapi kata kakekku hanya orang kaya
yang minum susu/Tiada badai tiada topan yang kau temui/ kain dan jala cukup
menghidupimu/Tapi kata kakekku ikannya diambil negara asing/ ikan dan
udang menghampiri dirimu..katanya/Tapi kata kakekku ssh..ada udang di balik
batu/Orang bilang tanah kita tanah surga..katanya/Tapi kata dokter Intel yang
punya surge hanya pejabat-pejabat
Puisi yang dibacakan Salman (Osa Aji Santoso) menghentak di tengah seremoni
kunjungan para pejabat di sebuah desa terpencil di Kalimantan Barat dekat
perbatasan Malaysia. Wajah pejabat (yang diperankan oleh Deddy Mizwar )
begitu gusar namun berupaya menyembunyikan ketersinggungannya. Puisi itu
adalah pesan film besutan Herwin Novianto dan diproduseri oleh Deddy Mizwar
bersama Gatot Brajamusti.
Intinya negara tidak saja gagal menjamin kebutuhan dasar masyarakat, tapi juga
lalai membangun identitas kolektif bernama bangsa di daerah perbatasan.
Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena
masih didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi.
Konflik indetitas pun terjadi. Haris (Ence Bagus) duda beranak dua berupaya
mengajak kedua anaknya Salman dan Salina (Tissa Biani Azahra) dan ayahnya
Hasyim (Fuad Idris) untuk pindah ke Malaysia yang di matanya adalah surga. Di
sana dia mengklaim sudah punya kedai bahkan sudah menikahi seorang wanita
Malaysia. Namun Hasyim mantan sukarelawan Indonesia yang terlibat dalam
konfrontasi Indonesia-Malaysia 1960-an silam menampik mentah-mentah.
Mengapa tidak sekalian kau pindahkan kuburan ibu dan istrimu? Cetus Hasyim
dengan berang berang. Bagi dia Indonesia tetap surga sekalipun Haris
membantahnya dan bilang surga adalah milik Jakarta. Akhirnya hanya salina
yang ikut ayahnya. Salman memilih tinggal bersama kakeknya.
Tokoh lain dalam film ini adalah Astuti (Astri Nurdin) seorang guru yang
ditempatkan di desa itu mendapatkan kenyataan sekolah yang tidak layak.

Sebuah ruangan dibagi dua dengan sekat menjadi kelas tiga dan kelas empat
SD. Yang paling menyedihkan bukan hanya bangunan yang lantai jebol, tetapi
sebagain besar anak-anak tidak tahu bendera Merah Putih seperti apa.
Anwar (Ringgo Agus) juga begitu. Dokter yang emngabdi di desa terpencil ini
bingung penduduk lebih mengenal ringgit, ketika dia diminta mengajar anakanak mendapatkan bahwa mereka tidak tahu lagu Indonesia Raya dan lebih
kenal Kolam Susu-nya Koes Plus. Ternyata sekolah satu-satunya itu pernah
vakum selama setahun. Dokter Anwar juga menyadari untuk ke rumah sakit
butuh waktu dan biaya tinggi dengan perahu ketiak ia hendak membawa Hasyim
ke rumah sakit.

Salah satu adegan Tanah SurgaKatanya (Kredit Foto Database.blogspot)

Tanah SurgaKatanya lebih tepat sebuah film fiksi dengan pendekatan


dokumenter. Banyak adegan yang menyentuh bagi mereka yang punya hati
untuk bangsa ini. Saya tersentuh ketika Slman berkeras menebus bendera
Merah Putih yang dipakai kain pembungkus barang seoarng penduduk pribumi
di kawasan Mayasia dengan kain sarung. Bendera itu kemudian di bawahnya
sambil berlari ke negerinya diiringi lagu Tanah Air-nya Ibu Sud. Adegan ini
mengingatkan saya pada ending film besutan Deddy Mizwar juga Alangkah
Lucu-nya Negeri ini yang juga menggunakan lagu ini.
Tanah Surga Katanya sarat menggambarkan pandangan nasionalisme ala
Deddy Mizwar. Adegan ketika Hasyim berdiri tegak ketika bendera Merah Putih
dikerek diiringi lagu Indonesia Raya mengingatkan saya pada adegan ketika
Naga Bonar tetap tegak meski tubuhnya mau limbung ketika bendera ditegakan
dalam film Naga Bonar Jadi 2. Sama-sama menyuarakan kecintaan terhadap
bangsa dan negri ini. Herwin mengadopsi adegan itu tampaknya.
Ada bumbu romantis tetapi tidak berlebihan antara Anwar dan Astuti. Cukup
lewat pemberian sebotol shampoo dan pujian terhadap rambut Astuti yang
panjang oleh dokter itu.
Namun adegan yang paling dahsyat ialah ketika Haris bersorak-sorak bersama
ratusan warga Malyasia menyaksikan kesebesalan itu menekuk Squad Garuda, di
seberang sana Hasyim menhembuskan nafasnya terakhir dalam perjalanan yang
sulit ke rumah sakit dengan perahu di antar Anwar, Salman dan Astuti.
Sementara Salina menggambar Haris, dia, Salman dan Kakeknya berdiri tegak
dengan bendera Merah Putih di depan sebuah rumah.
Dalam keadaan apa pun jangan kehilangan kecintaan pada negeri ini. Salina
tetap mencintai Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai