Katanya
Written By Irfanda Siagian on Rabu, 06 November 2013 | 08.41
Judul Film
Sutradara
Produksi
Films
Tayang Perdana
Durasi
: Tanah Surga...Katanya
: Herwin Novianto
: PT.Demigisela Cita Sinema & PT. Gatot Brajamusti
: 11 AGUSTUS 2012
: 90 menit
Haris mengajak ayahnya untuk pindah ke Malaysia karena kondisinya lebih baik
dengan adanya fasilitas kesehatan, mudah cari kerja dan lain-lain. Namun Haris
menolaknya dengan alasan Indonesia adalah tanah surga dan lebih makmur
serta alasan sejarah juga patriotisme bangsa. Haris hanya berhasil mengajak
Salina saja sedangkan Salman tetap tinggal dengan sang kakek.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi disama lebih buruk dari Malaysia. Di sana
tidak ada listrik dan penerangan masih memakai obor tetapi di Serawak sudah
ada listrik dan lampu. Di sana jalanan masih bebatuan tetapi di Serawak jalanan
sudah beraspal. Disana tidak ada toko yang berdagang tetapi di Serawak banyak
toko yang menyediakan segala keperluan. Bahkan mata uang disana memakai
ringgit mengikuti mata uang Malaysia.
Fasilitas pendidikan juga sangat minim dengan hanya ada satu guru saja yang
bernama Astuti (Astri Nurdin) yang mengajar rangkap kelas tiga dan kelas empat.
Bahkan sempat vakum selama satu tahun karena tidak ada gurunya. Fasilitas
kesehatan juga sempat kosong dan untunglah datang dokter Anwar (Ringgo
Agus Rahman) yang dipanggil dengan sebutan dokter Intel. Dokter Anwar
sempat naksir pada Astuti sampai-sampai memberikan hadiah shampo,
maklumlah shampo saja sulit di dapat di desa tersebut. Keduanya menunjukkan
pengorbanan dan cintanya akan penduduk desa.
Astri Nurdin dapat berperan dengan baik sesuai porsinya sebagai seorang guru
yang menunjukkan wibawanya dan bijaknya. Raut wajah dan bicaranya cocok
sebagai orang Melayu. Agus Ringgo bermain biasa-biasa saja seperti peranperan yang dilakoni sebelumnya. Mungkin orang sudah sering melihat karakter
yang agak lucu dan karakter tersebut melekat juga dalam film ini. Fuad Idris juga
bagus dalam memerankan sosok tua yang mencintai negeri yang bernama
Indonesia. Gurat-gurat wajah yang menahan emosi serta pertentangan batinnya
dapat terlihat dengan baik. Osa Aji Santoso terlihat potensinya namun masih
harus banyak jam terbangnya untuk menjadi aktor cilik berbakat.
Kekurangan dalam film ini yaitu tidak tampak murid-murid kelas satu, kelas
dua, kelas lima dan kelas enam apa dan bagaimana mereka. Sayangnya sang
sutradara kurang mengeksplorasi keindahan alam dan nuansa desa yang
seharusnya dapat lebih maksimal. Menurut penulis sudut pengambilan gambar
kurang kreatif sehingga beberapa adegan terutama di malam hari terlihat gelap.
Juga alur cerita yang tidak berujung sehingga tidak ada greget akhir yang ingin
dicapai.
Kelebihan dalam film ini adalah tema yang diangkat patut diacungi jempol
dari pada tema horsex alias horor sexy yang ada selama ini. Jarang sekali film
yang mengangkat rasa nasionalisme bangsa dengan cara unik tanpa perang dan
darah seperti ini. Termasuk posisi Indonesia digambarkan kalah dalam film ini
sebagai bentuk sindirin terhadap pemerintah pusat, pejabat daerah dan kita
semua. Suatu bentuk kejujuran atas realita yang ada.
Sinopsis Film
Poster film
Herwin Novianto
Deddy Mizwar
Produser
Gatot Brajamusti
Bustal Nawawi
Penulis
Danial Rifki
Osa Aji Santoso
Fuad Idris
Ence Bagus
Pemeran
Astri Nurdin
Tissa Biani Azzahra
Ringgo Agus Rahman
Andre Dimas Apri
Studio
Demi Gisela Citra Sinema
Distributor
Citra Sinema
Tanggal rilis
15 Agustus 2012
Lokasi
Kalimantan
Durasi
90 menit
Negara
Indonesia
Bahasa
Bahasa Indonesia
Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 hidup
dengan kesendiriannya. Setelah istri tercintanya meninggal, ia memutuskan
untuk tidak menikah dan tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga
menduda Haris dan dua orang anak Haris bernama Salman dan Salina. Hidup di
perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena masih
didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi. Masyarakat perbatasan harus berjuang setengah mati untuk
mempertahankan hidup mereka, termasuk keluarga Hasyim, namun kesetiaan
dan loyalitasnya pada bangsa dan Negara membuat Hasyim bertahan tinggal.
Sutradara
Haris anak Hasyim, memilih hidup di Malaysia karena menurutnya Malaysia jauh
lebih memberi harapan bagi masa depannya. Dia juga bermaksud mengajak
seluruh keluarga pindah ke Malaysia termasuk bapaknya. Astuti, seorang guru
membawa Hasyim kerumah sakit ketika di perjalanan bensin yang ada pada
deasel perahu yang ditumpangi habis. ketika dipertengahan Hasyim meninggal.
Pelajaran yang bisa dipetik dari film Tanah Surga.. Katanya, berikut beberapa hal
yang patut jadi renungkan kita semua sebagai warga negara NKRI mengenai
kondisi sosial masyarakat perbatasan :
1. Keadaan di perbatasan Malaysia jauh lebih ramai dan modern, disana ada
pasar dan sarana prasarana yang lengkap, sedang di perbatasan RI sangat
memprihatinkan.
2. Saat berada di patok perbatasan, disisi Malaysia jalanannya sudah diaspal
mulus, di RI masih tanah kerontang, kalau hujan jadi berlumpur dan becek.
3. Sinyal komunikasi di perbatasan RI masih sulit, sebaliknya di Malaysia lancar.
4. Sarana Pendidikan di Perbatasan RI hanya ada 1 SD, dengan bangunan kumuh
dan hanya ada 1 guru.
5. Ringgit lebih laku ketimbang Rupiah. Masyarakat perbatasan RI lebih banyak
berbisnis di pasar malaysia.
6. Masyarakat di Perbatasan lebih mengenal lagu2 di Radio ketimbang lagu
Kebangsaannya Sendiri.
7. Bendera Merah Putih hampir tak dianggap lagi.
8. Sarana Transportasi di Perbatasan RI sangat Sulit, masih memakai perahu
melewati sungai2 mirip hutan belantara Amazon, sedang malaysia? di film
terlihat banyak kendaraan bermotor seperti YZF150 (vixion), bebek, dan
mobil.
9. Keadaan Papan, Sandang, dan pangannya sangat memprihatinkan.
10. Sarana Kesehatannya nyaris Nihil. Tak ada klinik atau ke Puskesmas, lokasi
Rumah sakit hanya ada di kota Kabupaten.
UNSUR INSTRINSIK
*Tema : Nasionalisme / Semangat Kebangsaan, Cinta Terhadap Tanah Air Indonesia
*Setting : Lokasi berada di Perbatasan Antara Negara Malaysia dan Indonesia,
*Sudut Pandang:
Sudut pandang menceritakan tentang kehidupan sehari hari Salman. Bagaimana
cara ia berjuang, mendapatkan uang untuk Kakeknya pergi berobat, dan bagaimana
kehidupan sekolahnya. Serta sedikit membahas tentang hubungan Dokter Anwar
dan Ibu Astuti.
*Alur : maju
*Pesan / Amanat: Kita harus mempunyai Jiwa Nasional yang Tinggi, Patriotisme
yang Tinggi, serta harus cinta terhadap tanah air. bagaimana cara kita menyikapi
tentang betapa kurangnya negeri ini jika dibandingkan dengan bangsa lain.
Suatu saat Bu Astuti hendak keluar kota mengambil gaji. Sehingga harus
meninggalkan tugasnya mengajar di sekolah itu. Sebagai gantinya ia meminta
dokter Anwar untuk menjadi guru, dalam waktu sehari. Dengan keterpaksaannya
sang dokter mengiyakan permintaan sang guru yang dikaguminya.
Hari pertama mengajar, Dokter Anwar meminta para siswa menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia. Dan tahukah anda, miris diri ini ketika serempak anakanak itu dengan lantang menyanyi:
menceritakan kejadian hari itu. Bu Astuti malah tertawa kecil, menyadari bahwa
ia lupa mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Maklum, ia memang baru
2 bulan mengajar di dusun tersebut. Lebih ironis lagi saat bu Astuti dan dokter
Anwar hendak mengajarkan upacara kepada anak didiknya. Tak ada satupun
warga yang mempunyai bendera merah putih. Bahkan Pak Gani sebagai kepala
dusun. Hanya kakek Salman yang punya bendera tersebut. Ia selalu menjaga
sang saka merah putih dan selalu mengajarkan pada Salman untuk menghormati
sang saka.
Salman Ke Malaysia
Beberapa hari tak masuk sekolah, bukan karena malas, tapi Salman bekerja
untuk membawa kakeknya berobat ke rumah sakit. Bersama puluhan anak-anak
lain yang tak sekolah, mereka merantau melintasi batas negara Indonesia. Ia ke
Malaysia hanya dengan berjalan kaki. Tujuannya hanya satu, mencari uang
untuk berobat sang kakek. Sesampainya di salah satu pasar, Salman melihat satu
pedagang dengan alas kain merah putih. Dengan gigih ia meminta kepada orang
tersebut agar tidak menginjak merah putih, tapi malah caci yang dia dapati.
Jauh kaki melangkah membawa Salman tak sengaja bertemu dengan adiknya
Salina. Mereka bertemu di kedai sang ayah yang sudah menikah dengan warga
Malaysia. Istri baru Haris adalah pemilik jasa pengiriman. Ia diperlakukan tidak
seperti layaknya seorang suami oleh istrinya. Setiap hari Haris menyapu lantai
dan membuka kedainya. Perlakuannya lebih mirip seperti majikan dan
pembantu. Namun, Haris tak pernah merasa bahwa ia diperlakukan seperti
pembantu oleh istrinya.
Beberapa hari menginap di rumah sang ayah, Salman akhirnya pulang membawa
cukup uang untuk membawa kakeknya ke rumah sakit. Tidak lupa Salman
membelikan dua helai sarung baru untuk kakeknya. Namun ada rasa haru
menyelimuti, tatkala Salman dalam perjalanan pulang. Dia melihat ada seorang
pedagang yang menutupi barang dipanggulnya dengan sehelai kain merah
putih. Dengan sigap Salman menghampiri orang tersebut. Dengan sopan ia
meminta kain penutup, tapi tidak diijinkan. Tak berpikir lama, Salman menukar
kain sarung yang dibelinya untuk kakek dengan selembar kain merah putih.
Meskipun sedih tak bisa membawa pulang sarung untuk kakek, Salman bangga
telah menyelamatkan bendera Indonesia. Berlari mengibarkan bendera merah
putih dengan kedua tangannya merupakan kegembiraan tersendiri baginya.
Sungguh mengharukan
Kakek Hasyim Meninggal
Salman pulang. Sakit yang semakin parah membuat dokter Anwar dan Bu Astuti
berinisiatif membawa sang kakek ke rumah sakit. Bu Astuti, Salman, dan Dokter
Anwar membawa kakek ke rumah sakit dengan bantuan perahu mesin kecil
untuk menyusuri sungai dan rawa menuju ke rumah sakit paling dekat. Mereka
berangkat pagi, dan sampai petang belum juga sampai daratan, petaka malah
datang menghampiri mereka saat mesin perahu yang mereka tumpangi mati.
Padahal hari sudah gelap.
Sementara itu Haris mengajak jalan-jalan Salina, adik Salman. Mereka berdua
mampir di kedai untuk menonton sepakbola. Malam itu spesial match antara
Malaysia dan Indonesia. Salina yang tak tertarik hanya duduk menggambar saja.
Berbeda dengan ayahnya, Haris saat itu sudah tak ada cinta untuk negerinya,
Indonesia. Terbukti ia bersorak gembira saat tim kesebelasan Malaysia
memenangkan pertandingan.
Judul film
Sutradara
Produksi
: Citra Sinema
Durasi
: 90 menit
bandung.
Dalam perannya Astri Nurdin cukup baik, ia bersikap layaknya seorang guru
yang bijak, lembut dan tegas. Gaya bicaranya melayu, cocok dengan
lingkungannya. Agus berkarakter casual, diselingi guyon khasnya. Selanjutnya
untuk aktor dan artis cilik disini juga cukup mampu memerankan perannya,
terutama Osa Aji yang memiliki peran lebih banyak, mulai dari ia bekerja untuk
pengobatan sang kakek sampai ia menukarkan kain yang baru dibeli dengan
hasil kerjanya, lalu ia tukarkan dengan bendera Indonesia yang dijadikan kain
pembungkus dagangan salah seorang pedangang yang berada di Serawak.
Selain itu, ekspresi dan emosi Fuad Idris juga sangat jelas tergambar ketika
memerankan seseorang yang memiliki sikap nasionalisme tinggi.
Judul Film : Tanah Surga Katanya
Sutradara : Herwin Novianto
Bintang : Osa Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Ringgo Agus Rahman, Astri
Nurdin
Rated : **** (Excellent)
Bukan lautan hanya kolam susu katanya/Tapi kata kakekku hanya orang kaya
yang minum susu/Tiada badai tiada topan yang kau temui/ kain dan jala cukup
menghidupimu/Tapi kata kakekku ikannya diambil negara asing/ ikan dan
udang menghampiri dirimu..katanya/Tapi kata kakekku ssh..ada udang di balik
batu/Orang bilang tanah kita tanah surga..katanya/Tapi kata dokter Intel yang
punya surge hanya pejabat-pejabat
Puisi yang dibacakan Salman (Osa Aji Santoso) menghentak di tengah seremoni
kunjungan para pejabat di sebuah desa terpencil di Kalimantan Barat dekat
perbatasan Malaysia. Wajah pejabat (yang diperankan oleh Deddy Mizwar )
begitu gusar namun berupaya menyembunyikan ketersinggungannya. Puisi itu
adalah pesan film besutan Herwin Novianto dan diproduseri oleh Deddy Mizwar
bersama Gatot Brajamusti.
Intinya negara tidak saja gagal menjamin kebutuhan dasar masyarakat, tapi juga
lalai membangun identitas kolektif bernama bangsa di daerah perbatasan.
Hidup di perbatasan Indonesia Malaysia membuat persoalan tersendiri, karena
masih didominasi oleh keterbelakangan dalam pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi.
Konflik indetitas pun terjadi. Haris (Ence Bagus) duda beranak dua berupaya
mengajak kedua anaknya Salman dan Salina (Tissa Biani Azahra) dan ayahnya
Hasyim (Fuad Idris) untuk pindah ke Malaysia yang di matanya adalah surga. Di
sana dia mengklaim sudah punya kedai bahkan sudah menikahi seorang wanita
Malaysia. Namun Hasyim mantan sukarelawan Indonesia yang terlibat dalam
konfrontasi Indonesia-Malaysia 1960-an silam menampik mentah-mentah.
Mengapa tidak sekalian kau pindahkan kuburan ibu dan istrimu? Cetus Hasyim
dengan berang berang. Bagi dia Indonesia tetap surga sekalipun Haris
membantahnya dan bilang surga adalah milik Jakarta. Akhirnya hanya salina
yang ikut ayahnya. Salman memilih tinggal bersama kakeknya.
Tokoh lain dalam film ini adalah Astuti (Astri Nurdin) seorang guru yang
ditempatkan di desa itu mendapatkan kenyataan sekolah yang tidak layak.
Sebuah ruangan dibagi dua dengan sekat menjadi kelas tiga dan kelas empat
SD. Yang paling menyedihkan bukan hanya bangunan yang lantai jebol, tetapi
sebagain besar anak-anak tidak tahu bendera Merah Putih seperti apa.
Anwar (Ringgo Agus) juga begitu. Dokter yang emngabdi di desa terpencil ini
bingung penduduk lebih mengenal ringgit, ketika dia diminta mengajar anakanak mendapatkan bahwa mereka tidak tahu lagu Indonesia Raya dan lebih
kenal Kolam Susu-nya Koes Plus. Ternyata sekolah satu-satunya itu pernah
vakum selama setahun. Dokter Anwar juga menyadari untuk ke rumah sakit
butuh waktu dan biaya tinggi dengan perahu ketiak ia hendak membawa Hasyim
ke rumah sakit.