Anda di halaman 1dari 5

1.

Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah :


a. Metode C-Peptida
Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide.
Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga
bisa digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas.
Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pankreas atau
transplantasi sel-sel pulau pankreas. (Sudoyo,2006)
Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6-12 jam sebelum diambil
darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti
yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus
dihabiskan dalam waktu 15--20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya
untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.(Sudoyo,2006)
Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar
glukosanya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu),
darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride,
dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu.
Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat
menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan
akan

menyebabkan

kesalahan

dalam

penatalaksanaan

penderita

DM.

(Sudoyo,2006)
2. Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa
Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan
lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode
glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase. (Sudoyo,2006)
Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik
(karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan
interferen (tak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin,
asam urat, dan asam askorbat. (Sudoyo,2006)
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa.Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari
konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998).

3. Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM


Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan
pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan
fruktosamin. Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena
pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan
lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan
sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi
urin. (Sudoyo,2006)
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk
yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil
dan ireversibel. Metode pemeriksaan HbA1C: ion-exchange chromatography,
HPLC (high performance liquid chromatography), Electroforesis, Immunoassay,
Affinity chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri. (Sudoyo,2006)
a. Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu
reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang
mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil
negatif palsu.
b. Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa
diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini
juga direkomendasikan menjadi metode referensi.
c. Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi
presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu,
tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada
metode ini.
d. Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C
yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.
e. Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil
dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak
dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit
mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated
hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari
metode HPLC.

f. Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak
dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu
lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi,
yaitu m mol/L.
Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena
itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada
penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA 1C-nya )
sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih intensif
untuk menghindari komplikasi. (Sudoyo,2006)
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA 1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi,
HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau
belum.1,18 Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan
sekali. (Sudoyo,2006)
4. Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM
Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati.
Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari
komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi nefropati dan
gangguan aterosklerosis. (Sudoyo,2006)
Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta
heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan).Pemeriksaan lainnya
yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi
ginjal. (Sudoyo,2006)
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau
sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi
makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan
yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat dapat memperbaiki
mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati
bisa diperlambat. Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan
menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor
pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah
cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay
(RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry.

Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range yang mirip, serta
semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin. Sampel yang
digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam. (Sudoyo,2006)
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria
normal

(<20

mg/menit),

mikroalbuminuria

(20--200

mg/menit),

Overt

Albuminuria (>200 mg/menit). Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan


minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM usia > 12 tahun. (Sudoyo,2006)
Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid,
yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density
lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.
Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam
(karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6 jam
setelah makan). (Sudoyo,2006)
Pemeriksaan untuk Komplikasi Lainnya
Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin.
Pemeriksaan ini bisa untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada
penderita DM. (Sudoyo,2006)
Untuk

pemeriksaan

laboratorium

infeksi,

sering

dibutuhkan

kultur

(pembiakan), misalnya kultur darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain
yang juga seringkali dibutuhkan adalah pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2
jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah atau tidak. Kadangkadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi dari
DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis
metabolik maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah.
Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies,
misalnya aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta hidroksi
butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih
dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte
Antigen) serta pemeriksaan genetik lain. (Sudoyo,2006)

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. 2006.

Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai