Anda di halaman 1dari 8

1

Dosimetri Boron Neutron Capture Cancer Therapy untuk Perencaaan Uji Invivo Pada Kanker Payudara
dengan Menggunakan Perangkat Lunak Monte Carlo N-Particle eXtended (MCNP-X)
oleh
Muhammad Ilma Muslih Arrozaqi
14/372592/PPA/4734
Akan dilakukan penelitian tentang dosimetri Boron Neutron Capture Therapy (BNCT) sebagai dasar
perencanaan uji in vivo untuk kanker payudara. Komponen dosis yang diperhitungkan dalam penelitian ini
meliputi dosis hasil aktivasi boron, dosis recoil proton, dosis hamburan dari neutron cepat dan neutron
epitermal, serta dosis gamma yang berasal dari interaksi neutron termal dengan hidrogen. 10B akan
diaktivasi sumber neutron terkolimasi yang keluar dari beam port tembus reaktor nuklir kartini 100 kW. Berkas
neutron tersebut memiliki spesifikasi fluks neutron epitermal 5,03 x 108 n/cm2s, rasio dosis neutron cepat
terhadap fluks neutron epitermal 2,17 x 10-13 Gy cm2/n, rasio dosis terhadap fluks neutron epitermal 1,16 x 10-13
Gy cm2/n, rasio fluks neutron termal terhadap neutron epitermal 0,120 dan rasio arus neutron terhadap fluks
total adalah 0,835. Kolimator dari beam port tembus radial akan dimodifikasi terlebih dahulu agar bidang
irradiasi lebih luas. Baik sumber radiasi maupun organisme uji in vivo dimodelkan menggunakan perangkat
lunak Monte Carlo N-Particle eXtended (MCNPX) dan keseluruhan perhitungan dosis didekati melalui proses
simulasi jejak partikel oleh perangkat lunak tersebut. Hasil dosimetri berupa konsentrasi boron dan waktu
irradiasi optimum sehingga diperoleh dosis terapeutik yang sesuai.
Kata kunci : BNCT, Dosimetri, MCNPX, Invivo
__________________________________________________________________________________________
1.

Introduction

Prevalensi kanker yang tercatat selama kurun lima


tahun (2007-2012) menunjukkan bahwa dari 32,5
juta penderita kanker, ada 6,3 juta jiwa penderita
kanker payudara. Kemudian disusul oleh penderita
kanker prostat sebanyak 3,9 juta jiwa, kanker
colorectum sebanyak 3,5 juta jiwa dan kanker paruparu sebanyak 1,9 juta jiwa. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa kanker payudara
merupakan salah satu kanker dengan jumlah
penderita rata-rata terbanyak setiap tahunnya (Bray,
et al., 2013).
Perhimpunan Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
mencatat bahwa jumlah pusat fasilitas radioterapi di
Indonesia tidak lebih dari 30 unit. Padahal untuk satu
pasien saja bisa membutuhkan beberapa kali terapi.
Jumlah pasien dan pesawat radioterapi yang tidak
seimbang ini mengakibatkan daftar tunggu hingga
mencapai satu tahun. Pada kurun waktu selama itu,
stadium kanker sudah meningkat, sehingga yang
mampu tertangani hanya sekitar 60%. Hal inilah yang
mendasari perlunya alat terapi kanker baru yang lebih
efisien.
Alasan dilakukannya terapi yang berulang seperti
dalam radioterapi (LINAC, Telecobalt, dll) dan
kemoterapi adalah karena baik sel sehat maupun sel
kanker sama-sama mengalami kerusakan. Dengan
mengambil prinsip As low As reasonably Achivable
(ALARA), umumnya terapi tersebut dilakukan
sedikit demi sedikit dengan fraksi tertentu yang
berfokus pada sel kanker. Hal ini karena
keterbatasan
kemampuan
sel
sehat
untuk
beregenerasi (Alotiby, 2012). Oleh karena itu, telah
dikembangkan beberapa metode terapi kanker lain
berbasis radiasi neutron yaitu Boron Neutron Capture
Therapy (BNCT). Terapi tersebut merupakan bentuk

biner (gabungan antara kemoterapi dan radioterapi)


sehingga diharapkan dapat menutup kelemahan
beberapa metode di atas.
BNCT menggunakan neutron termal dan epitermal
yang memiliki energi di bawah 2 MeV. Neutron
tersebut dapat dihasilkan dari berbagai sumber antara
lain, Reaktor termal (~2 MeV), 252Cf atau melalui
reaksi 9Be (p,d) 8Be kemudian 3H(d,n)4He
(Anonim(C), 2014). BNCT menggunakan radiasi
sekunder yang hanya akan muncul jika neutron
termal berinteraksi dengan 10B, menghasilkan berkas
radiasi dan 7Li. Jangkauan radiasi ini berkisar
antara 4,5-10 m dalam air (phantom) atau jaringan
tubuh manusia. Dengan demikian, energi yang
terdeposisi dalam medium hanya terbatas pada
diameter sel tunggal (<10 m) (Sauerwein, et al.,
2011). Kelebihan dari terapi BNCT dibandingkan
terapi konvensional adalah kemampuannya untuk
merusak sel tumor dengan radius destruksi yang
relatif kecil, sehingga efek samping terhadap jaringan
sehat di sekitarnya rendah . Hal ini karena dalam
terapi ini melibatkan radiasi yang memiliki Linear
Energi Transfer (LET) tinggi.
10
B merupakan salah satu agen terapeutik dari BNCT
yang non-toksik dan non-radioaktif, sehingga efek
samping yang ditimbulkan saat diinjeksikan ke dalam
tubuh jauh lebih kecil dibandingkan dengan
kemoterapi (Sauerwein, et al., 2011). Agar terapi ini
berhasil dengan sukses, agen terapeutik tersebut
harus berupa senyawa yang memenuhi beberapa
syarat berikut, yaitu: secara selektif terakumulasi
pada sel tumor, rasio minimal konsentrasi 10B antara
tumor dengan darah adalah 3:1, dan memenuhi
konsentrasi terapeutik dalam sel (20 g 10B/g tumor).
Senyawa pembawa 10B juga harus memenuhi
beberapa persyaratan umum, yaitu memiliki

2
toksisitas rendah dan cepat dikeluarkan dari dalam
tubuh. Karena permasalahan tersebut, saat ini sedang
dikembangkan senyawa pembawa 10B yang berbasis
analog (turunan) curcumin. Senyawa tersebut akan
mengenali reseptor spesifik HER2 yang ada pada
kanker payudara sehingga hanya akan terdeposisi di
jaringan tersebut (Meiyanto, et al., 2014).
Sebelum senyawa analog curcumin pembawa 10B
diaplikasikan secara klinis terhadap manusia, perlu
dilakukan uji coba praklinis terlebih dahulu yang
salah satunya berupa uji in vivo. Uji ini merupakan
uji coba langsung terhadap organisme sampel yang
memiliki sifat biologis mirip manusia, sehingga efek
farmakologik dan efek radiasinya dapat diketahui
secara langsung. Organisme yang diuji adalah berupa
tikus yang telah diinjeksi tumour jenis T47D dimana
Tumor ini akan tumbuh secara spesifik di dalam
kelenjar payudara.
Sebagai persiapan pelaksanaan uji in vivo tersebut,
harus disusun terlebih dahulu sebuah perencanaan
penelitian (Experimental Setup) terkait radiasi yang
meliputi dosimetri radiasi. Dosimetri untuk terapi
BNCT
terhadap
kanker
payudara
telah
diperhitungkan secara komputasional oleh Novianti
(2013) dengan sumber neutron Kolom termal Reaktor
Kartini melalui simulasi menggunakan Monte Carlo
N Particle (MCNP) versi 5. Dalam versi ini, fitur
yang tersedia terbatas pada berkas radiasi foton,
neutron dan elektron (Anonim(E), 2003). Padahal
interaksi partikel dalam BNCT melibatkan radiasi
sekunder berupa ion berat (partikel dan recoil 7Li).
Pada penelitian tersebut, dosimetri untuk ion berat
tidak menggunakan metode komputasi numerik dari
MCNP namun didekati dengan analisis perhitungan
dosis yang hanya mengacu pada fluks neutron dan
foton, sehingga akurasinya rendah (Novianti, 2013).
Versi lanjutan yang melengkapi MCNP5
adalah MCNP-eXtended (MCNPX), dimana versi ini
mampu menganalisis jejak interaksi partikel secara
lebih komprehensif karena dapat menyimulasikan 35
macam berkas radiasi termasuk ion berat (Pelowitz,
2008). Dengan menggunakan perangkat lunak
tersebut, diharapkan perencanaan dosimetri untuk uji
in vivo dapat dihitung secara lebih akurat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis memilih
topik ini sebagai bahan penelitian untuk
menyelesaikan permasalahan di atas.
2.

Basic Principle
2.1. Dosimetry

Dosimetri adalah salah satu aspek yang penting untuk


dianalisa dalam terapi berbasis radiasi. Sel-sel atau
jaringan yang terinfeksi kanker atau tumor harus
menerima dosis di atas batas dosis lethal agar tidak
ada perkembangan sel kanker sekunder, sedangkan
sel-sel atau jaringan sehat harus menerima dosis di
bawah ambang keselamatan, sehingga sel atau
jaringan tersebut tidak mengalami kerusakan. Dalam
uraian ini akan dibahas tentang dosis serap dan dosis
ekuivalen.

Dosis serap didefinisikan sebagai jumlah energi yang


dideposisikan oleh berkas radiasi ke dalam medium
per satuan masa. Berdasarkan definisi tersebut,
satuan SI yang digunakan adalah J/kg. Namun,
khusus untuk dosis serap satuan ini biasa diwakili
dengan Gray (Gy), dimana
1 Gy 1 J / kg
.
Karena efek kerusakan pada jaringan tubuh yang
menerima radiasi berbeda-beda untuk jenis radiasi
yang berbeda meskipun menerima dosis serap yang
sama, perlu diperkenalkan konsep dosis ekuivalen.
Dosis ekuivalen didefinisikan sebagai dosis yang
mengakibatkan kerusakan yang sama pada suatu
jaringan untuk berbagai jenis radiasi. Oleh karena itu,
Dosis ekuivalen bisa diperoleh dengan mengalikan
dosis serap dengan faktor kualitas radiasi yang
mewakili Efektivitas Biologis Relatif
radiasi
(Relative Biological Effectiveness - RBE) , sebagai
berikut :
DE Ds Q
MERGEFORMAT ()
Dimana DE adalah dosis ekuivalen, Ds adalah dosis
serap dan Q adalah faktor kualitas. Untuk kasus
tertentu, diperlukan faktor lain berupa faktor
modifikasi yang disesuaikan dengan metode
penyinaran yang digunakan, sehingga dari persamaan
(1) diperoleh persamaan dosis radiasi terbobot
(weighted dose) sebagai berikut
Dw Ds Q N m
()
dengan Nm adalah faktor modifikasi. Perkalian antara
faktor kualitas dengan faktor modifikasi, biasanya
diwakili dengan w yaitu faktor kualitas terbobot,
seperti persamaan (3.21)
w Q Nm
33\* MERGEFORMAT ()
Dengan demikian dosis terbobot menjadi
Dw Ds w
.
44\* MERGEFORMAT ()
Pada banyak kasus, nilai Nm =1 sehingga nilai w sama
dengan Q (Ahmad, 2007).
Satuan internasional dosis ekuivalen adalah Sievert
(Sv). Namun dalam aplikasi praktis BNCT, secara
umum tetap menggunakan Gy (tidak pernah
menggunakan gray-equivalent atau RBE-gray).
Dalam ICRU Report 78 (2007) secara jelas
dinyatakan bahwa Penggunaan Dosis Ekuivalen
yang
telah
didefinisikan
di
atas
tidak
direkomendasikan untuk aplikasi terapiutik,
sehingga hanya boleh digunakan untuk tujuan
proteksi radiasi. Sama seperti paper-paper BNCT,
secara umum untuk keperluan praktis dalam berbagai
publikasi terapi proton, satuan dosis ekuivalen tidak
menggunakan Sievert, tetapi menggunakan grayequivalent atau cobalt gray equivalent dengan
simbol CGE atau GyE. Mengacu pada satuan SI,

3
satuan tersebut tetap tidak direkomendasikan. ICRU
menganjurkan untuk mengganti istilah dosis
ekuivalen menjadi dosis serap RBE terbobot (RBEWeighted Absorbed dose) dan menggunakan satuan
Gy. Meskipun keduanya memiliki konsep yang
hampir sama, namun memiliki tujuan yang berbeda.
Hal yang penting dan wajib adalah setiap kuantitas
yang terlibat harus dijabarkan secara jelas untuk
menghindari risiko kerancuan (Sauerwein, et al.,
2011).
Mengingat efektivitas dan keselamatan radioterapi
sangat bergantung pada dosis radiasi yang diterima
oleh tumor dan jaringan sehat, perhitungan distribusi
dosis radiasi atau dosimetri sangat diperlukan sebagai
bagian dari perencanaan penelitian uji in vivo
(Koivunoro, 2012). Perhitungan tersebut meliputi
penentuan konsentrasi senyawa 10B dalam sel tumor
dan waktu paparan optimal. Dengan demikian
diperoleh dosis radiasi maksimal pada tumor (dosis
lethal) namun jaringan sehat tetap mendapatkan
paparan radiasi di bawah dosis ambang keselamatan.
Hal ini untuk menghindari sisa tumor yang
berpotensi tumbuh kembali dan mengurangi efek
stokhastik kerusakan jaringan sehat baik berupa efek
kronis maupun efek akut (Anonim(B), 2010).
Pemodelan organ penting terkait kanker payudara
meliputi jaringan kulit, jaringan kelenjar payudara,
jaringan kanker dan jaringan paru-paru sebagai organ
at risk. Unsur penyusun beberapa jaringan tersebut
ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut:

D terdiri dari dua komponen. Komponen


pertama adalah dosis gamma primer yang berasal
dari reaktor, sedangkan komponen kedua adalah
gamma sekunder yang berasal dari reaksi inti unsur
penyusun jaringan, dimana sebagian besar gamma
sekunder dihasilkan dari interaksi 1H(n,)2H (2,224
MeV). Umumnya proses irradiasi berulang yang
singkat pada radioterapi sinar-x, memberikan nilai w
= 1. Tetapi dalam metode BNCT hanya dilakukan
proses irradiasi tunggal yang memerlukan waktu
lebih lama. Padahal perpanjangan waktu irradiasi
untuk sinar dengan laju dosis yang rendah
mengakibatkan penurunan efektivitas penyinaran
terhadap kerusakan biologis, terkait dengan laju
perbaikan diri akibat radiasi sublethal pada DNA.
Oleh karena itu, dipertimbangkan faktor penurunan
dosis (Dose Reduction Factor - DRF) sebagai faktor
bobot kualitas untuk sinar , yaitu rasio antara laju
dosis rendah terhadap laju dosis tinggi yang
dibutuhkan untuk mendapatkan efek biologis yang
sama. DRF- bernilai <0,7 untuk laju dosis <0,16
Gy/menit seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Tabel 1.1 Unsur penyusun jaringan disekitar


payudara (ICRU, 1989; Deng, et al., 2011)
Nomor Atom
Unsur
Z
1
H
6
C
7
N
8
O
11
Na
15
P
16
S
17
Cl
19
K
Densitas (g/cm3)

Payudara
0,106
0,332
0,030
0,527
0,001
0,001
0,002
0,001
0
1,02

Fraksi unsur dalam jaringan


Kulit
Paru-paru
0,1
0,103
0,204
0,105
0,042
0,031
0,645
0,749
0,002
0,002
0,001
0,002
0,002
0,003
0,003
0,003
0,001
0,002
1,09
1,05

Dalam BNCT dosis radiasi yang dihasilkan


dibedakan menjadi empat komponen utama
berdasarkan efek biologisnya, yaitu dosis gamma
(D), dosis neutron cepat (Dfast), dosis nitrogen (DN)
dan dosis 10B (DB) (Koivunoro, 2012). Masingmasing komponen memiliki kontribusi yang berbeda
dalam memberikan kerusakan terhadap jaringan
berdasarkan karakteristik radiasinya, sehingga tiap
w
komponen memiliki faktor kualitas berbobot ( )
yang berbeda yaitu seperti dirumuskan dalam
persamaan 2.1 berikut,

Dw w D wB DB wN DN w fast D fast

55\*
MERGEFORMAT ()

Gambar 1.1 Grafik hubungan antara laju dosis


terhadap DRF- pada hewan uji Tikus dan Babi
(Sauerwein, et al., 2011)
Dfast dihasilkan dari moderasi neutron cepat,
melalui reaksi 1H(n,n)1p dalam jaringan. Faktor
kualitas berbobot untuk neutron cepat merupakan
nilai Efektivitas Biologis Relatif
(Relative
Biological Effectiness RBE) yang dipengaruhi oleh
energi neutron cepat dan jenis jaringan. Berdasarkan
studi in vitro pada sel V79, Neutron dengan energi
0,3-0,4 MeV yang menembus jaringan lunak
memiliki nilai RBE sekitar ~6,0. Pada rentang energi
tertentu RBE akan menurun seiring dengan kenaikan
energi neutron, yaitu pada rentang energi 5-15 MeV.
RBE minimum bisa mencapai 1,7. Pada energi yang
lebih rendah dari 0,3 MeV, RBE juga menurun
hingga kurang dari 4,0 untuk energi 0,1 MeV seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Sauerwein, et al.,
2011).

4
4
5
6
7

Gambar 1.2 Grafik Nilai RBE terhadap energi


Neutron (Sauerwein, et al., 2011)
DN berasal dari energi deposisi pada emisi
proton dan recoil 14C saat berinteraksi dengan
nitrogen dalam jaringan melalui reaksi 14N(n,p)14C
(0,66 MeV). Melalui studi in vitro (sel V79)
diperoleh data bahwa penurunan energi dari 7,4 MeV
hingga 1,16 MeV berdampak pada kenaikan RBE
dari 1 sampai 7. Untuk energi proton yang rendah
yaitu 0,84 MeV dan 0,73 MeV, RBE turun secara
progresif seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 1.3 Variasi RBE untuk sel V79 terhadap


energi proton
Dosis utama (DB) berasal dari reaksi neutron termal
dengan 10B. Untuk komponen ini, faktor kualitas
terbobot diwakili oleh nilai Compound Biological
Effectiveness (CBE) karena melibatkan konsentrasi
10
B dalam jaringan. CBE bernilai tetap untuk rentang
variasi konsentrasi tertentu, namun memiliki nilai
yang berbeda-beda untuk setiap jenis jaringan. Data
lengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 1.2 Faktor CBE untuk berbagai jaringan
terhadap konsentrasi 10B (Ishiyama, 2014)
No

Jaringan

1
2

Tumor
Jaringan kulit
normal
Jaringan otak
normal

Nmax Nambang
(g/
(g/
g)
g)
72
8,71
28,8
7,2
20

9,3

CBE

Nmax/
Nambang

3,8
2,5

0,121
0,25

1,34

0,465

Jaringan mukus
oral normal
Jaringan hati
normal
Jaringan paruparu normal
Jaringan jantung
normal

21,5

1,27

4,87

0,059

24

2,21

4,25

0,092

24

6,67

2,3

0,278

24

11,1
4

1,35

0,464

Akumulasi dosis total tersebut harus melewati batas


dosis lethal tumor, sehingga tidak ada tumor yang
berpotensi tumbuh kembali. Pada radioterapi sinar-x,
dosis total minimal yang diterima oleh tumor adalah
antara 40-50 Gy. Untuk mencapai dosis tersebut
diperlukan 15 fraksi penyinaran harian selama 3-5
minggu dengan beberapa sudut penyinaran, dimana
setiap fraksi sudut penyinaran memberikan kontribusi
dosis sebesar 2,0 - 2,66 Gy. Hal ini karena dosis
lethal total untuk sel tumor adalah di atas 40 Gy
sedangkan jaringan sehat di organ kritis secara umum
hanya bisa bertahan dari kerusakan pada dosis 2 Gy
untuk sekali penyinaran. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan pada kanker payudara, dosis total
organ kritis untuk kulit, paru-paru bagian luar dan
dalam berturut-turut adalah 2914,4 629,1 cGy,
3186,2 453,3 cGy dan 539,4 147,8 cGy, sehingga
untuk setiap penyinaran, organ kritis memperoleh
dosis rerata 1,94 0,410 Gy , 2,12 0,302 Gy dan
0,357 0,098 (Hasan, et al., 2015). BNCT
merupakan metode terapi radiasi yang diharapkan
mampu membunuh sel kanker dalam satu kali
penyinaran. Oleh karena itu diperlukan selisih laju
dosis serap yang besar antara jaringan sehat dan
jaringan kanker yang teraktivasi neutron.
Semakin besar laju dosis serap yang
diterima jaringan, waktu penyinaran yang diperlukan
akan semakin singkat. Laju dosis serap ini sangat
bergantung pada konsentrasi 10B dalam jaringan, serta
fluks
neutron
yang
dipaparkan.
Sebagai
perbandingan, untuk konsentrasi 10B sebesar 30 ppm
dengan fluks neutron epitermal sebesar 109 cm-2 s-1
diperlukan waktu penyinaran antara 50-60 menit
(Anonim(C), 2014). Karena fluks neutron epitermal
yang ada pada Reaktor Kartini hanya berorde 108 cm2
s-1, konsentrasi 10B perlu ditingkatkan untuk
mengompensasi waktu penyinaran. Pada penelitian
yang menggunakan sumber neutron kolom termal
rektor Kartini diperoleh konsentrasi optimum 10B 70
g/g dengan waktu irradiasi 67,17 menit (Novianti,
2013).
2.2. Nuclide Activation
Aktivasi nuklida, terjadi ketika suatu isotop
stabil di bombardir dengan neutron dan berubah
menjadi turunan (nuklida baru) yang radioaktif yang
meluruh menjadi cucu (nuklida yang lebih baru lagi).
10
5B
Dalam penelitian ini nuklida
yang
berinteraksi dengan neutron, kemudian berubah

5
11
5

7
3

B*

Li

menjadi
yang meluruh menjadi nuklida
memancarkan radiasi . Proses tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
1
0

n 105 B

11

24
5 B *

7
3

Li

aktivitas maksimum terjadi saat

ln

tmax

1111\* MERGEFORMAT ()
Waktu irradiasi inilah yang digunakan untuk
memperoleh dosis radiasi maksimum dari .
3.

.
10
5

Laju pengurangan nuklida

Alat dan Bahan Penelitian

adalah

66\* MERGEFORMAT ()
Dari neraca tersebut, diperoleh fungsi jumlah nuklida
10
5B
terhadap waktu

11
5

B*
Selanjutnya laju pembentukan nuklida
dapat
dirumuskan dalam bentuk
dN 11B*
5
N 10 B N 11B*
5
5
dt
,
88\*
MERGEFORMAT ()
Dimana, adalah fluks neutron , adalah tampang
a
lintang mikroskopik reaksi dan
adalah konstanta
11
B
*
5
peluruhan nuklida
. Penyelesaian persamaan
11
5B*
untuk memperoleh jumlah nuklida
menjadi
N B (0)
t
t
t
5

10
5

(e

) N 11 B* (0)e

.
99\* MERGEFORMAT ()
Dengan demikian aktivitas radiasi adalah

A (t )
.


t
N 10 (0)(e t e ) N 11 B * (0)e t
5
5 B

1010\* MERGEFORMAT ()
N 11 B* (0)
5

Jika diasumsikan tidak ada nilai

Pendekatan yang dipilih untuk mencapai


tujuan penelitian ini adalah melalui simulasi
komputasi numerik menggunakan seperangkat
Personal Computer dengan bantuan beberapa
perangkat lunak, diantaranya yang utama adalah
Monte Carlo N-Particle eXtended (MCNPX),
Microsoft Excel 2013, Notepad++ v6.6.7, Visual
Editor Version 26e, Origin Pro Version 8.
1.1

77\* MERGEFORMAT ()

N 11 B* (t )

Material and Methods

, maka

Tata Laksana Penelitian

Keseluruhan
prosedur
pelaksanaan
penelitian dirumuskan dalam suatu diagram alir yang
ditunjukkan dalam Gambar 4.1. Penelitian dimulai
dengan mengkaji pustaka yang berkaitan dengan
Boron Neutron Capture Therapy (BNCT), Sumber
Neutron yang telah terkolimasi serta ketentuan
dosimetri. Hasil dari kajian tersebut berupa
pemahaman konsep BNCT, desain kolimator neutron
siap pakai, unsur penyusun jaringan serta data faktor
kualitas terbobot yang berguna untuk menyusun
model simulasi.
Sebelum dilakukan pemodelan, akan
dilakukan modifikasi sumber neutron referensi yang
sudah terkolimasi. Sumber neutron terkolimasi
tersebut adalah berkas radiasi neutron yang keluar
dari beam port tembus radial Reaktor Nuklir Kartini
100 kW melewati suatu kolimator dengan spesifikasi
seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4.2a, sehingga
memenuhi beberapa kriteria yang disyaratkan oleh
IAEA. Hal ini karena untuk keperluan uji in vivo,
bentuk kolimator tersebut kurang efisien karena
memiliki lubang aperture yang kecil sehingga hanya
mampu mengirradiasi satu sampel. Dengan demikian,
modifikasi ini bertujuan untuk memperluas bidang
irradiasi agar proses pengujian menjadi lebih cepat.
Perkiraan hasil modifikasi tersebut ditunjukkan oleh
Gambar (b).

(a)

(b)
Gambar 1.4 (a). Kolimator neutron pada beamport tembus Reaktor Nuklir Kartini (Arrozaqi, 2013). (b).
Perkiraan modifikasi kolimator tanpa aperture
Modifikasi diawali dengan menghilangkan bagian
aperture yang terdiri dari kerucut berongga, filter
neutron termal (Boral) dan perisai gamma (Pb).
Kemudian geometri yang baru ini disimulasikan
dengan MCNPX untuk dievaluasi. Jika telah
memenuhi kriteria IAEA maka hasil keluaran berkas
radiasinya dapat langsung digunakan untuk irradiasi.
Namun jika belum memenuhi maka akan diubah
ketebalan
dinding
kolimatornya
dan/atau
moderatornya sesuai dengan kebutuhan parameter
yang belum terpenuhi. Jika diperlukan, akan
ditambahkan pula filter neutron termal dan/atau
perisai radiasi dengan berbagai variasi ketebalan
menggunakan bahan yang sama dengan kolimator
referensi. Setiap variasi ketebalan masing-masing
komponen, mengacu pada jarak bebas rerata interaksi
bahan penyusun komponen tersebut. Simulasi ini
dilakukan terus menerus hingga diperoleh berkas
radiasi yang memenuhi kriteria IAEA atau diperoleh
spesifikasi berkas radiasi yang optimum.
Secara rinci, proses tersebut dimulai dari
simulasi kolimator tanpa bagian aperture. Bagian
yang pertama dievaluasi adalah dinding kolimator.
Jika dengan spesifikasi dinding kolimator tersebut
belum diperoleh fluks epitermal yang memenuhi
kriteria, maka akan dilakukan variasi dinding
kolimator untuk disimulasikan hingga diperoleh fluks
maksimum. Namun jika sudah memenuhi kriteria,
akan dievaluasi bagian moderator. Dengan adanya
moderator, diharapkan neutron cepat dapat berkurang
dan energinya turun menjadi neutron epitermal. Jika
fluks neutron cepat masih di atas batas ambang
maksimal yang disyaratkan, maka akan ditambahkan
ketebalannya secara bertahap hingga memenuhi
persyaratan. Jika sudah memenuhi persyaratan akan
dilanjutkan evaluasi filter neutron termal. Filter
neutron termal berfungsi untuk menyerap dan

menghilangkan neutron termal yang berenergi


rendah. Bagian ini juga divariasikan hingga tercapai
nilai yang diharapkan. Selanjutnya perisai gamma
juga dievaluasi dengan cara yang sama. Setelah
semua bagian dimodifikasi, diperolehlah kolimator
yang sesuai kualifikasi.
Setelah didapatkan berkas neutron yang
sesuai, selanjutnya dimodelkan geometri dan unsur
penyusun sampel uji. Kemudian model tersebut
ditambahkan senyawa 10B dengan tebakan
konsentrasi awal tertentu dan disimulasikan sehingga
suatu nilai laju dosis pada jaringan tumor dan
jaringan sehat. Selanjutnya ditambahkan lagi
konsentrasi 10B yang lebih banyak dan disimulasikan
kembali dan diperoleh laju dosis yang baru. Hasilnya
kemudian dibandingkan dengan simulasi sebelumnya
secara terus menerus, sehingga diperoleh nilai
maksimum dari selisih laju dosis antara jaringan
tumor dengan jaringan sehat. Idenya adalah agar
jaringan sehat memperoleh dosis minimum dan
jaringan tumor memperoleh dosis maksimum. Selain
itu, selisih laju dosis yang besar akan mempermudah
penentuan waktu irradiasi. Karena komponen dosis
terdiri dari empat macam sesuai dengan persamaan
(2.1), penyajian data laju dosis tersebut adalah seperti
pada Tabel 4.2.
Dosis total adalah hasil kali antara laju dosis
dengan waktu irradiasi. Waktu Dfast irradiasi
divariasikan tahap demi tahap sampai diperoleh suatu
nilai dosis total optimum. Kriteria dosis optimum
yang dimaksud adalah saat dosis pada tumor
melebihi batas dosis lethal tumor sedangkan dosis
pada jaringan sehat kurang dari batas dosis
keselamatan radiasi. Hal ini karena jika waktu
irradiasi terlalu singkat, sel tumor tidak akan mati
meskipun jaringan sehat aman. Sebaliknya, jika
waktu irradiasi terlalu lama, maka baik tumor

7
maupun jaringan sehat
pengobatan tidak berhasil.

akan

mati

sehingga

Sebelum dilakukan simulasi, perlu diketahui


parameter apa yang akan menjadi dasar optimasi.
Dalam hal modifikasi kolimator, parameter yang
dimaksud meliputi fluks neutron epitermal, fluks
neutron termal, fluks neutron total, laju dosis neutron
cepat, laju dosis gamma, dan arus neutron.
Disamping itu dalam hal dosimetri, ditambahkan laju
dosis alfa, proton dan recoil 7Li sebagai dosis
primernya. Dalam perhitungan parameter-parameter
tersebut digunakan tally yang sesuai dengan tujuan
perhitungannya berdasarkan yang tertera pada Tabel
3.1. Perhitungan fluks neutron dan laju dosis neutron
cepat menggunakan tally dengan jenis F4:N,
perhitungan laju dosis foton menggunakan tally jenis
F4:P dan perhitungan arus neutron menggunakan
F1:N. Untuk dosis primer, menggunakan F6:a untuk
alfa , F6:h untuk proton dan F6:#7003 untuk recoil
7
Li.
Pada umumnya, penggunaan tally F4
digunakan untuk menghitung fluks rerata yang
melewati suatu volume geometri sedangkan untuk
menghitung fluks yang melewati suatu permukaan
digunakan tally F2. Namun dalam penggunaan
praktis, F4 lebih fleksibel untuk digunakan karena
dapat mendefinisikan bagian yang berbeda yang
dibatasi permukaan yang sama. Seperti yang
disinggung dalam paragraf sebelumnya, F4
digunakan dalam tiga tujuan perhitungan yang
berbeda. Tetapi dalam MCNP tidak diijinkan
penggunaan jenis tally yang sama dalam sekali
perhitungan. Oleh karena itu, perlu ditambahkan
indeks
untuk
membedakan
masing-masing
perhitungan tersebut. Indeks tersebut diletakkan
antara huruf F dengan n (nomor tally). Dalam
penelitian ini F4:N digunakan untuk perhitungan
fluks neutron, F14:N untuk perhitungan laju dosis
neutron cepat, dan F24:P untuk perhitungan laju dosis
gamma.
Saat dijalankan, secara default MCNPX
mensimulasikan jejak satu partikel yang diiterasi
beberapa kali sehingga diperoleh suatu nilai fluks
dengan eror relatif yang kecil. Nilai ini berupa
persentase atau fraksi dari probabilitas partikel
tersebut hingga sampai pada titik yang diukur. Oleh
karena itu, diperlukan faktor pengali (multiplayer)
yang mewakili kuat sumber sehingga diperoleh fluks
sesungguhnya. Faktor pengali ini berupa hasil
konversi daya ke laju fisi, sebagai berikut:

10 W

1 J/s
1 MeV
1 fisi
15 fisi

3,121 10
13
W 1,602 10 J 200 Me V
s

Untuk

menghasilkan

daya

sebesar

100

kW

3,121 1015 fisi/s


diperlukan
. Dengan mengetahui
laju fisi tersebut, faktor pengali untuk setiap tally
dapat ditentukan berdasarkan berkas radiasinya.
Faktor pengali untuk neutron adalah sebagai berikut

15
3,12110

fisi 2,42 n
15

=7,55310 n/s
s
fisi

Nilai ini akan dipakai pada perhitungan fluks


neutron (F4:N) dan perhitungan laju dosis neutron
(F14:N), sedangkan faktor pengali untuk foton
gamma adalah sebagai berikut
1

15 fisi
15
3,12110

=3,12110 n/s
s fisi

Nilai ini akan dipakai pada perhitungan laju dosis


gamma (F24:P). Pada perhitungan arus neutron
(F1:N) perlu dibagi dengan luas keluaran neutron
pada kolimator. Dalam penelitian ini telah
ditetapkan bukaan kolimator berdiameter 19 cm,
sehingga faktor pengali menjadi
7,5531015 n/s
n
=3,3281012
2
2
cm
s
8,5 cm
Faktor-faktor ini akan digunakan untuk mengonversi
tally-tally input file dalam suatu card khusus (fm
card).
Fm card untuk F6 hanya berupa konversi
satuan dari MeV/g menjadi J/kg yang setara dengan
1, 602 1010
1 Gy, sehingga Fm6 bernilai
.
4.
5.

Result
Conclusions

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S. N., 2007. Interaction of Heavy Charged
Particles with Matter. Dalam: Physics & Engineering
of Radiation Detection. 105-120, Elsevier,
Amsterdam: s.n.
Alotiby, M., 2012. Boron Neutron Capture Therapy
for Cancer Therapy. Dalam: Disertasi. Master of
Science in Radiation and Environmental Protection
Department of Physics, University of Surrey, Surrey:
s.n.
Anonim(A), 2003. Cancer and The Environment.
National Cancer Institute National Cancer Institute,
Arizona: s.n.
Anonim(B), 2010. Radiation Biology: A Handbook
for Teachers and Students. IAEA, Vienna: s.n.

8
Anonim(C), 2014. Research Reactor Users'
Networks (RRUNs): Advances in Neutron Therapy.
IAEA, Viena: s.n.
Anonim(D), 2015. Pusat Data dan Informasi. Badan
Litbangkes Kementrian Kesehatan RI, Jakarta: s.n.
Anonim(E), 2003. MCNP A General Monte Carlo
N-Particle Transport Code, Version 5. Volume II, Los
Alamos National Laboratory, California: s.n.
Arrozaqi, M. I. M., 2013. Perancangan Kolimator di
Beam Port Tembus Reaktor Kartini Untuk Boron
Neutron Capture Therapy. Dalam: Skripsi. Jurusan
Teknik Fisika, Fakultas Teknik, UGM, Yogyakarta:
s.n.
Bielajew, A. F., 2001. Fundamentals of the Monte
Carlo method for neutral and charged particle
transport. Department of Nuclear Engineering and
Radiological Sciences, The University of Michigan,
Michigan: s.n.
Bray, F., Jemal, A., Grey, N. & Ferlay, J., 2012.
Global cancer transitions according to the Human
Development Index (2008-2030): a population-based
study. Lancet Oncol, Edisi 13, International Agency
for Research on Cancer, Lyon: s.n.
Bray, F., Ren, J., Masuyer, E. & Ferlay , J., 2013.
Estimates of global cancer prevalence for 27 sites in
the adult population in 2008. Dalam: International
Journal Cancer. 132, 11331145: s.n.
Cember, H. & Johnson, T., 2009. Introduction to
Health Physics. Edisi 4, the McGraw-Hill
Companies, New York : s.n.
Deng, L., Chaobin , C., Ye, T. & Li, G., 2011. The
Dosimetry Calculation for Boron Neutron Capture
Therapy. Dalam: Diagnostic Techniques and Surgical
Management of Brain Tumors. Intech, 9, 173-198,
www.intechopen.com: s.n.
Ferlay, I., Soerjomataram, I., Ervik, M. & Dikshit, R.,
2012. Cancer Incidence and Mortality Worldwide.
Dalam: Int J Cancer., 5, 136: s.n.
Hasan, A., Efadil, M., Yousif, M. & Omer, O., 2015.
Outfield Dose Calculation in Treatment of Breast
Cancer Using Radiotherapy TPs. International
Journal of Science and Research (IJSR), 4(1), pp.
2536-2541.
Hejmadi, M., 2010. Introduction to Cancer Biology.
Ventus Publishing ApS, Denmark: s.n.
ICRU, 1989. Tissue Substitutes in Radiation
Dosimetry and Measurement. Dalam:
http://physics.nist.gov/PhysRefData/XrayMassCoef/t
ab2.html , . diakses tanggal 6 mei 2015: s.n.

Ishiyama, S., 2014. Deterministic Parsing Model of


the Compound Biological Effectiveness (CBE)
Factor for Intracellular Boron-10 Distribution in
Boron Neutron Capture Therapy. Scientific Research,
pp. 1388-1398.
Koivunoro, H., 2012. Dosimetry and dose planning
in boron neutron capture therapy: Monte Carlo
studies, Desertasi. Dalam: Disertasi. Faculty of
Science of the University of Helsinki, Helsinky: s.n.
Lamarsh, J. & Baratta, A., 2001. Introduction to
Nuclear Engineering. Edisi 3, Prentice Hall, Inc.,
New Jersey: s.n.
Malik, K., 2013. Human Development Report, United
Nations Development Programme, New York: s.n.
Meiyanto, E., Putri, H., Arum Larasati, Y. &
Fajarwati, R., 2014. Pengembangan Boron Carrying
Pharmaceuticals untuk mendukung Terapi Kanker
Berbasis BNCT. Dalam: Development of Technology
and Application of Boron Neutron Capture Cancer
Therapy Based on Particle Accelerator Technology.
s.l.:s.n., p. Bali.
Novianti, D., 2013. Analisis Distribusi Dosis Radiasi
Pada Terapi Kanker Payudara Dengan Boron Neutron
Capture Therapy (BNCT) Menggunakan MCNP 5.
Dalam: Skripsi. Skripsi penyunt. FT UGM,
Yogyakarta: s.n.
Pelowitz, D. B., 2008. RSICC COMPUTER CODE
COLLECTION MCNPX 2.6.0 , New Mexico: Los
Alamos National Library.
Podgorsak, E., 2006. BASIC RADIATION PHYSICS.
Department of Medical Physics, McGill University
Health Centre, Montreal: s.n.
Safronov, A. V., 2014. Boron Neutron Capture
Therapy of Cancer as a Part of Modern
Nanomedicine. International Journal of Medical
Nano Research, pp. 1-2.
Sauerwein, W., Andrea, W., Raymond , M. &
Yoshinobu, N., 2011. Neutron Capture Therapy Principles and Applications. Springer, Berlin: s.n.
Soppera, N., Dupont, E. & Bossant , M., 2012.
JANIS Book of neutron-induced cross-sections.
OECD NEA Data Bank, Ile Saint Germain: s.n.
Widiharto, A., 2014. Metode Monte Carlo dan
Aplikasinya Dalam Perhitungan Radiasi Nuklir pada
BNCT (Boron Neutron Capture Cancer Therapy).
Dalam: Development of Technology and Application
of Boron Neutron Capture Cancer Therapy Based on
Particle Accelerator Technology. Bali: s.n.

Anda mungkin juga menyukai