Anda di halaman 1dari 33

I.

DASAR TEORI

A. Kelainan Eritrosit
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh (Karolina, 2013).
1. Anemia Defisiensi Besi
Dua kausa tersering anemia selama kehamilan dan nifas adalah
defisiensi zat besi dan kehilangan darah akut. Tidak jarang keduanya
berkaitan erat karena kehilangan darah dalam jumlah besar di sertai
hilangnya zat besi hemoglobin serta habisnya simpanan zat besi pada suatu
kehamilan dapat menjadi kausa penting anemia defisiensi zat besi pada
kehamilan selanjutnya.
Pada gestasi tipikal dengan satu janin, kebutuhan ibu akan zat besi
yang di picu oleh kehamlan rata-rata mendekati 1000 mg yang jauh
melebihi simpanan zat besi sebagian besar wanita. Kecuali jika perbedaan
antara jumlah simpanan zat besi yang tersedia ke ibu dan kebutuhan zat besi
pada kehamlan normal di kompensasi oleh penyerapan zat besi dalam
saluran zat cerna, maka akan terjad anemia defisiensi zat besi. Karena
jumlah besi yang d salurkan ke janin dari ibu tidak jauh beda dari yang di
salurkan secara normal di alihkan, maka neonatus dari ibu yang mengalami
anemia berat tidak menderita anemia defisiensi zat besi.
2. Anemia Akibat Penyakit Kronik
Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat mnyebabkan
anemia. Sebagian diantaranya adalah ginjal kronik, penyakit usus meradang,
lupus eritomatosus sistemik, infeksi granulomatosa, neoplasma ganas, dan
artritis reumathoid. Anemia ini biasnaya semakin intensif seiring
bertambahnya volume plasma yang melenihi ekspansi massa ekspansi sel
darah merah.
Anemia pada penyakit kronik berespons terhadap pemberian
eritropoietin rekombinan. Obat ini telah berhasil di gunakan untuk
mengobati anemia pada inufisiensi ginjal kronik,peradangan kronik, dan
keganasan. Meskipun massa sel darah merah biasanya menignkta beebrapa
minggu namun dapat timbul efek samping eritropoietin rekombinan,yaitu
hipertensi,yang sudah sering erjadi pada para wanita.
3. Anemia Megaloblastik
1

Di anemia serikat anemia megaloblastik yang di mulai selama


kehamilan hampir selalu di karenakan defisiensi asam folat. Kelainan ini
biasanya di jumpai pada wanita yang tidak mengonsumsi sayuran berdaun
hijau segar,kacang-kacangan,atau protein hewani. Terapi dari anemia
megaloblastik akibat kehamilan harus mencakup asam folat, diet bergizi,
dan besi. Asam folat bahkan sekecil 1 mg yang di berikan per hari
menghasilkan respon hematologis yang mencolok. Pada hari ke-4 sampai
ke-7 pengobatan hitung retikulositmenignkat secara bermakna. Janin dan
plasenta mengekstrasi folat dari sirkulasi ibu sedemikian efektifnya
sehingga janin tidak anemik meskipun ibunya mengalami anemia berat
akibat defisiensi folat.(Leveno Kenneth, 2009)
Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk
hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan
volume darah total, biasanya disertai lekositosis, trombositosis dan
splenomegali (Supandiman I,2003).
Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah
total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan
trombosis dan penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan
mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul
karena terganggunya oksigenasi organ menyebabkan iskemia / infark seperti di
otak, mata, telingga, jantung, paru, dan ekstremitas.( George TI, 2007)
Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah merah yaitu
Polisitemia Relatif dan Polisitemia Aktual atau Polisitemia Vera, dimana pada
Polisitemia Relatif terjadi penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang
sebenarnya dari volume sel darah merah, seperti pada pada keadaan dehidrasi
berat, luka bakar, reaksi alergi.( Hillman,2005)
Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas Polisitemia
Primer dan Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia Primer terjadi peningkatan
volume sel darah merah tanpa diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia
sekunder, terjadinya peningkatan volume sel darah merah secara fisiologis
karena kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat seperti pada

penyakit paru kronis, penyakit jantung kongenital atau tinggal didaerah


ketinggian dll, disamping itu peningkatan sel darah merah juga dapat terjadi
secara non fisiologis pada tumor yang menghasilkan eritropoietin seperti tumor
ginjal, hepatoma, tumor ovarium dll. (Stuart B J,2003)
Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah
total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan
menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan
trombosis dan penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan
mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul
karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa(Prenggono D,2006) :
1. Hiperviskositas Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan
viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan :
Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan

menimbulkan eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.


Penurunan laju transport oksigen Kedua hal tersebut akan mengakibatkan
terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena
terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark) seperti di otak,

mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.


2. Penurunan shear rate.
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis
primer yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan
mengakibatkan timbulnya perdarahan walaupun jumlah trombosit >
450.000/mm3. Perdarahan terjadi pada 10 - 30 % kasus Polisitemia Vera,
manifestasinya

dapat

berupa

epistaksis,

ekimosis

dan

perdarahan

gastrointestinal.
3. Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm3).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia Vera tidak
ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Basofilia Lima puluh persen
kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang
dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar
histamin dalam darah sebagai akibat meningkatnya basofilia. Terjadinya
gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin.
4. Splenomegali

Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia vera.


Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis
ekstramedular
5. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera. Sebagaimana
halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder
hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
6. Gout.
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali
adalah sekuentrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian
produksi asam urat darah akan meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular
menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10%
kasus polisitemia .
7. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat.
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat
dan vitamin B12. Hal ini dijumpai pada 30% kasus Polisitemis Vera
karena penggunaan untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein
tidak tersaturasi pengikat vitamin B12 (Unsaturated B12 Binding Capacity)
dijumpai meningkat > 75% kasus.
8. Muka kemerah-merahan (Plethora )
Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir, konjungtiva
hiperemis sebagai akibat peningkatan massa eritrosit.
9. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa,
vertigo, tinitus, perasaan panas.
Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis, ekimosis,
perdarahan gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi
karena peningkatan viskositas darah akan menyebabkan ruptur spontan
pembuluh darah arteri. Pasien Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko
terjadinya perdarahan waktu operasi atau trauma (Hillman,2005)
B. Kelainan Leukosit
Leukositosis yaitu ketika hitung sel darah putih di atas 11.000 per
milimeter kubik adalah indikasi untuk peradangan. Hal ini dapat jjuga
menunjukan positif palsu untuk peradangan, karena leukositosis terjadi pada
sejumlah keadaan bukan radang (misalnya latihan fisik yang berat, kehamilan,
perdarahan akut). Pergeseran ke kiri pada hitung jenis leukosit adalah indikasi
untuk peradangan. Hal ini kadang-kadang terjadi meskipun tidak ada
4

leukositosis, khususnya pada infeksi virus, yang mungkin di sertai limfositosis


atipik. (Speicher Carl E, 2006)
Leukositosis biasanya dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis beberapa
penyakit seperti penyakit kantung empedu dapat bermanifestasi sebagai
kolesistisis akut, kolik empedu, ikterus, dan pankreatitis akut. Kolesitosis akut
biasanya terjadi jika terdapat obstruksi duktus sistikus. Selain penyakit kantung
empedu, leukositosis juga terjadi pada kondisi kehamilan ektopik dengan
derajat leukositosis yang sangat bervariasi. Pada sekitar separuh wanita, dapat
di temukan leukositosis hingga 30.000 mikroliter. Pada kondisi pneumonia
biasanya penderita akan mengalami leukositosis juga akan tetapi derajatnya
masih ringan. Jadi leukositosis itu kebanyakan adalah terjadi ketika ada infeksi
pada tubuh. (Leveno Kennet J et al, 2009)
Menurunnya jumlah leukosit di sirkulasi (leukopenia) sering di jumpai,
dan bisa merupakan tanda penyakit serius yang membutuhkan diagnosis dan
terapi segera.
1. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang terlibat dalam reaksi alergi jangka
panjang seperti asma, alergi kulit, dan lain-lain. Nilai normal dalam tubuh: 0
- 1%. Sel ini jarang ditemukan dalam darah tepi normal. Sel ini mempunyai
banyak granula sitoplasma yang gelap menutup inti serta mengandung
heparin dan histamin. Pada reaksi antigen-antibodi basofil akan melepaskan
histamin dari granulanya. Di dalam jaringan basofil berubah menjadi sel
mast basofil mrmpunyai tempat perlekatan immunoglobulin E (IgE) dan
degranulasinya disertai dengan pelepasan histamin. Basofil terutama
bertanggung jawab untuk memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan
mengeluarkan histamin kimia yang menyebabkan peradangan.
Basofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah basofil lebih dari
100/l darah. Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi(radang),
leukemia, dan fase penyembuhan infeksi. Penurunan basofil terjadi pada
penderita stress, reaksi hipersensitivitas (alergi), dan kehamilan. (Bakri,
2009)
2. Eosinofil
Eosinofil merupakan jenis leukosit yang terlibat dalam alergi dan
infeksi (terutama parasit) dalam tubuh. Nilai normal dalam tubuh: 1 - 3%.
Sel ini mirip dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar,
5

lebih berwarana merah tua, jarang dijumpai lebih dari 3 lobus inti. Sel ini
memasuki eksudat inflamatorik dan berperan khusus dalam respon alergi,
pertahanan terhadap parasit, dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama
inflamasi.
Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih dari 300/l
darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi, infeksi parasit.
Histamin yang dilepaskan pada reaksi antigen-antibodi merupakan substansi
khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari eosinofilia adalah
penyakit kulit kronik, dan kanker tulang, otak, testis, dan ovarium.
Eosinopenia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil kurang
dari 50/l darah. Hal ini dapat dijumpai pada keadaan stress seperti syok,
luka bakar, perdarahan dan infeksi berat, juga dapat terjadi pada hiperfungsi
koreks adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid. Pemberian epinefrin
akan menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang jumlah
monosit akan menurun pada infeksi akut. Walaupun demikian, jumlah
basofil, eosinofil dan monosit yang kurang dari normal kurang bermakna
dalam klinik. Pada hitung jenis leukosit pada pada orang normal, sering
tidak dijumlah basofil maupun eosinofil. (Gandosoebrata,2010)
3. Neutrofil
Neutrofil merupakan sel yang paling cepat bereaksi terhadap radang
dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan selama
fase infeksi akut. Sel ini mempunyai inti padat khas yang terdiri atas 2-5
lobus dan sitoplasma yang pucat dengan batas tida beraturan, mengandung
banyak granula merah-biru (azurofilik) atau kelabu - biru. Granula terbagi
menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan
sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil
matang. Nilai normal dalam tubuh adalah 1 5% untuk neutrofil batang dan
50 70% untuk neutrofil segmen.
Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari
7000/l dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri,
keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti
uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah dan radang Banyak faktor yang
mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi,
virulensi kuman, respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Pada

anak-anak netrofilia biasanya lebih tinggi dari pada orang dewasa.


Rangsangan yang menimbulkan netrofilia dapat mengakibatkan dilepasnya
granulosit muda ke peredaran darah dan keadaan ini disebut pergeseran ke
kiri atau shift to the left. Infeksi tanpa netrofilia atau dengan netrofilia ringan
disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi yang tidak teratasi atau
respons penderita yang kurang. Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat
dijumpai tanda degenerasi, yang sering dijumpai pada netrofil adalah
granula yang lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi toksik.
Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang dari
2500/l darah. Penyebab netropenia dapat disebabkan karena pemindahan
netrofil dari peredaran darah misalnya umur netrofil yang memendek karena
penggunaan obat, gangguan pembentukan netrofil yang dapat terjadi akibat
radiasi atau obat-obatan dan yang terakhir yang tidak diketahui
penyebabnya. Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi virus,
leukemia, anemia defisiensi besi, dan Iain-Iain. (Samsyul, 2009)
4. Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit agranuler dimana sel ini berukuran kecil
dan sitoplasmanya sedikit. Salah satu leukosit yang berperan dalam proses
kekebalan dan pembentukan antibodi. Nilai normal: 20 - 40% dari seluruh
leukosit. Limfosit

adalah sel yang kompeten secara imunologik dan

membantu fagosit dalam petahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing
lain. Limfosit lebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis
limfosit, yaitu:
a. Sel B.
Berfungsi membuat

antbodi

yang

mengikat

patogen

lalu

menghancurkannya (sel B tidak hanya membuat antibodi yang dapat


mengikat patogen tetapi setelah adanya serangan, beberapa sel B akan
mempertahankan kemampuannya dalam menghasilkan antibodi sebagai
layanan sistem 'memori').
b. Sel T = CD+4 (pembantu)
Berfungsi mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang bertahan dalam
infeksi HIV) serta penting untuk menahan bakteri intraseluler. CD+8
(sitotoksik) dapat membunuh sel yang terinfeksi virus.
c. Sel natural killer = sel pembunuh alami (NK, Natural Killer)

Dapat membunuh sel tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa dia
tidak boleh dibinuh karena telah terinfeksi virus atau telah menjadi
kanker.
Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah
limfosit lebih dari 8000/l pada bayi dan anak-anak serta lebih dari 4000/l
darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti
morbili, mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis,
sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia
limfositik kronik dan makroglobulinemia primer.
Pada orang dewasa limfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang dari
1000/l dan pada anak-anak kurang dari 3000/l darah. Penyebab
limfopenia adalah produksi limfosit yang menurun yang disebabkan oleh
kortikosteroid dan obat-obat sitotoksis. (Gandosoebrata,2010)
5. Monosit
Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan
ukuran 2x lebih besar dari eritrosit sel darah merah, terbesar dalam sirkulasi
darah dan diproduksi di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 - 8%
dari jumlah seluruh leukosit. biasanya berukuran lebih besar dari leukosit
darah tepi lainnya dan mempunyai inti sentral berbentuk lonjong atau
berlekuk dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak
berwarna biru dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberikan
gambaran kaca asah (ground-glass-apperance). Granula sitoplasma juga
sering d-glass-apperance. Granula sitoplasma juga sering dijumpai. Monosit
membagi fungsi 'pembersih vakum' (fagositosis) dari neutrofil tetapi lebih
jauh dia hidup dengan tugas tambahan yaitu memberikan potongan patogen
kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat dihafal dan dibunuh atau dapat
membuat tanggapan antibodi untuk menjaga.
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih dari
750/l pada anak dan lebih dari 800/l darah pada orang dewasa.
Monositosis dijumpai pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri,
virus, protozoa maupun jamur. Penurunan monosit terdapat pada leukemia
limposit dan anemia aplastik. (Gandosoebrata,2010)
C. Kelainan Trombosit
Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi.
Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan hebat,hanya
8

dengan cidera ringan atau perdarahan spontan. Trombositopenia primer dapat


yerjadi akibat penyakit autoimun yang ditandai oleh pembentukan antibody
terhadap trombosit. Sebab-sebab sekunder trombositopenia adalah berbagai
obat atau infeksi virus atau bakteri tertentu. Koagulasi intravaskuler diseminata
(Disseminated Intravascular Coagulation/ DIC) timbul apabila terjadi
trombositopenia akibat pembekuan yang meluas. (Corwin,2009)
Penyebab paling lazim defisiensi trombosit (trombositopenia) adalah
kerusakan prekusor trombosiy yang berinti banyak di dalam sumsum tulang
yaitu megakariosit disebabkan karena obat-obatan antimetabolisme yang
dipakai kemoterapo kanker. Pengaruh terhadap sumsum tulang semacam itu
juga dihasilkan oleh agen-agen fisik maupun kimia yang menimbulkan anemia
aplastik, misal radiasi pengion atau keracunan benzene. Trombositopenia juga
merupakan ciri utama leukemia, kebanyakan karena digantinya megakariosit
oleh sel-sel neoplasma. Trombositopenia dijumpai pula pada penyakit ITP
(Idiopathic Thrombocytopenic Purpura) yang diduga disebabkan oleh
beredarnya antibody inti trombosit yang sering dapat disembujkan dengan
mengambil

limpanya.

Penyebab

penting

penimbul

purpura

yang

patogenitasnya tak jelas ialah kegagalan ginjal kronik. Trombosit jumlahnya


normal tertapi terdapat bukti bahwa fungsinya abnormal, yaitu luka kecil
memerlukan

waktu

sangat

lama

untuk

menghentikan

perdarahannya

(Corwin,2009)
Dalam evaluasi trombositopenia, langkah awal yang penting adalah
melihat

kembali

apusan

darah

tepi

untuk

menyingkirkan

pseudotrombositopenia terutama pada pasien tanpa penyebab trombositopenia


yang jelas. Pseudotrombositopenia adalah suatu artefak in vitro yang dihasilkan
oleh aglutinasi trombosit melalui antibody-antibodi (umumnya IgG tetapi juga
IgM dan IgA) saat kandungan kalsium berkurang akibat penampungan darah
dalam Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA), oleh karena itu apusan
darah untuk menghitung jumlah trombosit hendaknya dari darah yang
ditampungg dalam sodium citrate (tabung dengan tutup biru) atau idealnya dari
darah segar tanpa antikoagulan.(Sianipar,2014)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan darah rutin /
lengkap dan penilaian ulang apusan darah tepi merupakan komponen penting

dalam evaluasi awal pasien trombositopenia. Apakah pasien sedang menjalani


terapi tertentu dan terkait dengan faktor predisposisi lainnya. Pemeriksaan fisik
menunjukan pembesaran limpa, penyakit hepar kronik dan kelainan- kelainan
yang mendasari lainnya. Splenomegali ringan sampai sedang mungkin sulit
ditemukan akibat bentuk tubuh dan atau obesitas,tetapi dapat dengan mudah
diketahui dengan ultrasonografi abdomen. (Sianipar,2014)
Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit dalam sirkulasi.
Trombositosis berkaitan dengan peningkatan resiko trombosis (pembekuan)
dalam sistem pembuluh. Trombositosis primer dapat terjadi pada leukemia atau
polisitemia

vera,

penyakit

sumsum

tulang.

Sebab-

sebab

sekunder

trombositosis Antara lain adalah infeksi, olahraga, stress, dan ovulasi


(Corwin,2009)
D. Hitung Estimasi Leukosit
Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per milimeterkubik
atau mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem
pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan asing,
sehingga hitung jumlah leukosit merupakan indikator yang baik untuk
mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.
Terdapat dua metode yang digunakan dalam pemeriksaan hitung leukosit,
yaitu cara automatik menggunakan mesin penghitung sel darah (hematology
analyzer) dan cara manual dengan menggunakan pipet leukosit, kamar hitung
dan mikroskop. Kali ini akan dibahas mengenai pemeriksaan jumlah leukosit
cara manual.
Cara Manual (Hemositometer)
Hemositometer adalah alat yang dipakai untuk menghitung jumlah sel darah
dan terdiri dari kamar hitung, kaca penutupnya dan dua macam pipet. Mutu
kamar hitung serta pipet-pipet harus memenuhi syarat-syarat ketelitian
tertentu.
1. Kamar hitung.
Kamar hitung yang sebaiknya dipakai ialah yang memakai garis
bagi improved Neubauer. Luas seluruh bidang yang dibagi adalah 9
mm2 dan bidang ini dibagi menjadi 9 bidang besar yang luasnya
masing-masing 1 mm2. Bidang besar dibagi lagi menjadi 16 bidang
sedang yang luasnya masing-masing 1/4 x 1/4 mm 2. Bidang besar yang
letaknya di tengah-tengah berlainan pembaginya: ia dibagi menjadi 25

10

bidang dan tiap bidang itu dibagi lagi menjadi 16 bidang kecil. Dengan
demikian jumlah bidang kecil itu seluruhnya 400 buah,masing-masing
luasnya 1/20 x 1/20 mm2. Tinggi kamar hitung, yaitu jarak antara
permukaan yang bergaris-garis dan kaca penutup yang berpasangan
adalah 1/10 mm. Maka volume diatas tiap-tiap bidang menjadi sebagai
berikut :
1 bidang kecil `= 1/20 x 1/20 x1/10 =1/4000 mm3
1 bidang sedang = 1/4 x 1/4 x 1/10 =1/160 mm3
1 bidang besar = 1 x 1 x 1/10 = 1/10 mm3
Seluruh bidang yang dibagi = 3 x 3 x 1/10 = 9/10 mm3
2. Kaca penutup.
Hendaknya memakai kaca penutup yang khusus diperuntukkan
bagi kamar hitung. Kaca penutup itu lebih tebal dari yang biasa,
sedangkan ia dibuat dengan sangat datar. Hanya dalam keadaan darurat
kaca penutup biasa boleh dipakai. Kaca penutup untuk menghitung
jumlah trombosit dengan teknik fase kontras lebih tipis daripada yang
dipakai untuk mikroskop biasa.
3. Pipet.
Pipet Thoma untuk pengenceran leukosit (pipet leukosit) terdiri
dari sebuah pipa kapiler yang bergaris bagi dan membesar pada salah
satu ujung menjadi bola. Dalam bola itu terdapat sebutir kaca putih. Pada
pertengahan pipa kapiler itu ada garis bertanda angka 0,5 dan ada
bagian atasnya, yaitu dekat bola, terdapat garis bertanda 1,0. Di atas
bola ada angka lain lagi, yaitu pada garis tanda 11.
Perhatikan bahwa angka angka itu bukanlah menandakan satu
volume yang mutlak melainkan perbandingan volume. Yang penting dan
menentukan ialah pengenceran darah yang terjadi dalam pipet itu.
Seandainya lebih dulu diisap darah sampai garistanda 0,5 kemudian
cairan pengencer sampai garis-tanda 11, maka darah dalam bola pipet
itu diencerkan 20 kali.
Perhitungan jumlah leukosit
Leukosit dihitung dalam 4 bidang besar yang terletak di pinggir
bidang (bertanda W). Tiap bidang besar terdiri dari 16 bidang sedang yang
masing-masing luasnya adalah 1/16 mm2. Dengan demikian leukosit
dihitung dalam 64 bidang sedang, luas keseluruhan ialah 64 x 1/16 mm2 = 4
mm2.
11

Cara menghitung leukosit didalam kamar hitung improved


Mulai menghitung dari sudut kiri atas, terus ke kanan; kemudian turun
ke bawah dan dari kanan ke kiri; lalu turun lagi ke bawah dan mulai lagi
dari kiri ke kanan. Cara seperti ini dilakukan pada 4 bidang besar tersebut.
Semua sel yang menyentuh garis batas sebelah atas dan kiri, dianggap
masuk ke dalam ruangan dan dihitung. Sedangkan sel yang menyentuh garis
batas sebalah kanan dan bawah dianggap tidak masuk dan tidak dihitung.
Masalah Klinis
1. Peningkatan Jumlah
Infeksi akut (pneumonia, tuberkulosis, meningitis, apendisitis, tonsilitis,
pielonefritis, peritonitis, pankreatitis, divertikulitis, septikemia, demam
rematik), leukemia, nekrosis jaringan (infark miokardial, sirosis hati, luka
bakar, kanker organ, emfisema, ulkus peptikum), penyakit kolagen,
anemia hemolitik dan sel sabit, penyakit parasitik, stress (pembedahan,
demam, kekacauan emosional yang berlangsung lama).
Pengaruh Obat : Aspirin, heparin, digitalis, epinefrin, lithium, histamin,
antibiotik (ampisilin, eritromisin, kanamisin, metisilin, tetrasiklin,
vankomisin, streptomisin), senyawa emas, prokainamid, triamteren,
alopurinol, kalium iodida, derivat didantoin, sulfonamid.
2. Penurunan Jumlah
Penyakit hematopoetik (anemia aplastik, anemia
hipersplenisme,

penyakit

Gaucher),

infeksi

virus,

pernisiosa,
malaria,

agranulositosis, alkoholisme, SLE, artritis rheumatoid.


Pengaruh Obat : Antibiotik (penisilin, sefalotin, kloramfenikol),
asetaminofen, sulfonamid, propiltiourasil, barbiturat, agen kemoterapi
kanker, diazepam, diuretik, klordiazepoksid, agen hipoglikemik oral,
indometasin, metildopa, rifampin, fenotiazin.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jumlah Leukosit
Berikut faktor faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah putih :
1. Jenis Kelamin
Pada laki-laki dan wanita normal leukosit dalam darah jumlahnya lebih
sedikit daripada eritrosit dengan rasio 1 : 700 (Frandson, 1992). Leukosit
adalah bagian dari sel darah yang berinti, disebut juga sel darah putih. Di
dalam darah normal didapati jumlah leukosit rata-rata 4000- 11.000
sel/cc.
2. Usia

12

Orang dewasa memiliki jumlah leukosit lebih banyak dibanding anak


anak.
3. Tempat Ketinggian
Orang yang hidup di dataran tinggi cenderung memiliki jumlah leukosit
lebih banyak.
4. Kondisi Tubuh Seseorang
Sakit dan luka yang mengeluarkan banyak darah dapat mengurangi
jumlah leukosit dalam darah.
Faktor Kesalahan dalam Menghitung Leukosit
Faktor kesalahan yang dapat dilakukan dalam menghitung leukosit adalah
sebagai berikut :
1. Pra Analitik
Memakai pipet basah.
Kamar hitung atau kaca penutup kotor.
Letaknya kaca penutup salah.
2. Analitik
Bekerja terlalu lambat sehingga ada bekuan darah.
Menghisap darah tidak mencapai garis tanda 0,5.
Mengeluarkan sebagian darah yang telah dihisap karena melewati

garis tanda 0,5.


Kehilangan cairan dari pipet, karena mengalir kembali kedalam botol

yang berisi larutan Turk.


Tidak menghisap larutan Turk tepat sampai garis 11.
Terjadi gelembung udara didalam pipet pada waktu menghisap larutan

Turk.
Terbuang sedikit cairan pipet pada waktu mengocok pipet atau pada

waktu mencabut karet penghisap dari pipet.


Tidak mengocok pipet segera setelah mengambil larutan Turk.
Tidak mengocok pipet sebentar sebelum mengisi kamar hitung.
Tidak membuang beberapa tetes dari isi pipet sebelum mengisi kamar

hitung.
Ada gelembung udara termasuk bersama dengan cairan.
Kaca penutup tergeser karena disentuh dengan lensa mikroskop
3. Pasca Analitik
Salah menghitung sel yang menyinggung garis garis batas.
E. Hitung Jenis Leukosit
Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam
darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.
Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai
relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel / l). Sebagai contohnya, dengan
13

limfosit 30% dan leukosit 10.000, limfosit mutlak adalah 30% dari 10.000 atau
3.000. Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan secara spesifik kejadian
dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Tipe leukosit yang
dihitung ada 5 yaitu basofil, eosinofil, neutrofil, monosit, dan limfosit.
(Gandosoebrata, 2010).
Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan apus
darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May Grunwald.
Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga didapatkan
100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%)
(Gandosoebrata, 2010).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hitung jenis leukosit adalah:
Pilihlah sediaan yang cukup tipis dengan persebaran leukosit yang merata.
Mulailah menghitung pada pinggir atas sediaan dan berpindahlah ke arah
pinggir bawah sediaan dan setelah itu geser ke kanan kemudiaan ke arah
pinggir atas lagi. Sesampai di pinggir atas geser ke kanan lagi kemudian ke

arah pinggir bawah.


Lakukan pengerjaan itu sampai 100 sel leukosit terhitung menurut jenisnya.
Selain menghitung, catatlah adanya kelainan morfologi pada leukosit.
Hendaknya pelaporan jumlah leukosit sesuai urutan yang pasti dimulai dari
sel basofil, eosinofil, neutrofil menurut stadiumnya, limfosit dan terakhir

monosit.
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan hitung jenis leukosit
sebagai berikut:
1. Obyek glass.
2. Spreader.
3. Rak pengecatan.
4. Mikroskop.
5. Darah vena + antikoagulan EDTA atau darah segar (kapiler/vena, segera
6.
7.
8.
9.

dibuat apusan dan dicat).


Cat Wright.
Cat Giemsa.
Emersi oil.
Alkohol mikroskop.

Cara kerja hitung jenis leukosit sebagai berikut:


1. Cara membuat sediaan apus darah tepi (SADT).
a. Pilihlah kaca obyek yang bertepi betul-betul rata untuk digunakan
sebagai "kaca penghapus" atau boleh digunakan "spreader".

14

b. Letakkan satu tetes kecil darah pada 2-3 mm dari ujung kaca objek di
depan tetes darah.
c. Tarik spreader ke belakang sehingga menyentuh tetes darah, tunggu
sampai darah menyebar pada sudut tersebut.
d. Dengan gerak yang mantap doronglah spreader sehingga terbentuk
apusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek. Darah harus habis
sebelum spreader mencapai ujung lain dari kaca objek.
e. Hapusan darah tidak boleh terlalu tipis atau terlalu tebal (Ketebalan ini
dapat diatur dengan menggunakan sudut antara kedua kaca objek dan
kecepatan menggeser. Makin besar sudut atau makin cepat menggeser,
makin tipis apusan darah yang dihasilkan).
f. Biarkan apusan darah mengering di udara.
g. Tulis identitas pada bagian preparat tebal (bagian kepala).
2. Pewarnaan Wright.
a. Letakkan sediaan apusan darah yang telah kering pada rak pengecatan.
b. Genangi dengan larutan wright (yang mengandung methanol) selama 2
menit.
c. Tanpa dicuci (tidak mengandung sisa cat) tambahkan atau genangi
dengan larutan buffer phosphate sebanyak 1 1/2 dari volume wright yang
d.
e.
f.
g.

tersisa.
Tiup-tiup supaya homogen biarkan selama 20 menit atau 10 menit.
Buang sisa cat dan cuci dengan air mengalir
Kering anginkan.
Periksa di bawah mikroskop obyektif 40 x atau 100 x + emersi oil dalam

100 sel leukosit.


3. Pewarnaan Giemsa.
a. Letakkan sediaan apusan darah yang telah kering pada rak pengecatan.
b. Genangi dengan methanol selama 2 menit.
c. Buang sisa cat dan cuci dengan air mengalir.
d. Genangi dengan larutan giemsa 1:1 selama 2 menit.
e. Buang sisa cat dan cuci dengan air mengalir.
f. Kering anginkan.
g. Periksa di bawah mikroskop obyektif 40 x atau 100 x + emersi oil dalam
100 sel leukosit.
Ciri sediaan yang baik sebagai berikut :
1. Sediaan tidak melebar sampai tepi kaca objek. Panjang 1/2 - 2/3 panjang objek
glass.
2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa. Pada bagian ini
eritrosit terletak berdekatan tidak bertumpukan atau menggumpal atau
membentuk Roleaux.
15

3. Pinggir sediaan rata dan tidak berlubang-lubang/bergaris-garis.


4. Penyebaran leukosit baik tidak berkumpul pada pinggir atau tepi sediaan.
Jika lebih dari 24 jam penundaan maka sel akan mengalami lisis, vakuolisasi,
degranulasi, hipersegmentasi inti dan karioreksis. Efek antikoagulan EDTA:
Bila jumlah yang dipakai kurang maka darah membeku.
Bila jumlah pemakaian berlebih maka akan mempengaruhi morfologi
leukosit. (Hoffbrand,2012)

16

II. METODE PRAKTIKUM


1

Pemeriksaan Kelainan Eritrosit


a Alat dan Bahan:
- Mikroskop
- Oil emersi
- Xylol
- Tissue
- Preparat darah tepi: Anemia, Thalasemia
b Cara Kerja:
Pasang preparat darah (anemia dan thalasemia) pada mikroskop
Periksa dengan pembesaran obyektif 10 x (melihat lapang pandang)
Periksa dengan pembesaran obyektif 40 x (melihat morfologi sel)
Periksa dengan pembesaran obyektif 100 x dengan minyak emersi (identifikasi
sel)
Lakukanlah pembacaan kelainan eritrosit.
Kelainan ukuran, kelainan bentuk, kelainan warna, benda inklusi, susunan

Pemeriksaan Kelainan Leukosit


a Alat dan Bahan:
- Mikroskop
- Oil emersi
- Xylol
- Tissue
- Preparat darah tepi: CML, AML, CLL, ALL

Cara Kerja:

17

Pasang preparat darah (ALL, CLL, AML, CML) pada mikroskop


Periksa dengan pembesaran obyektif 10 x (melihat lapang pandang)
Periksa dengan pembesaran obyektif 40 x (melihat morfologi sel)
Periksa dengan pembesaran obyektif 100 x dengan minyak emersi (identifikasi
sel)
Lakukanlah pembacaan kelainan leukosit.
Estimasi jumlah sel, identifikasi kelainan sel secara umum, hitung jenis leukosit.
3

Pemeriksaan Kelainan Trombosit


a Alat dan Bahan:
- Mikroskop
- Oil emersi
- Xylol
- Tissue
- Preparat darah tepi: trombositosis
b Cara Kerja:
Pasang preparat darah (trombositosis) pada mikroskop
Periksa dengan pembesaran obyektif 10 x (melihat lapang pandang)
Periksa dengan pembesaran obyektif 40 x (melihat morfologi sel)
Periksa dengan pembesaran obyektif 100 x dengan minyak emersi (identifikasi
sel)
Lakukanlah pembacaan kelainan trombosit.
Hitung estimasi jumlah trombosit, bentuk trombosit.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kelainan Eritrosit
1. Hasil

18

a. Kelainan ukuran
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
dengan berbagai ukuran atau disebut anisositosis.
b. Kelainan bentuk
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
dengan berbagai macam bentuk, diantaranya: tear drop,
sel pensil, dan sel target.
c. Kelainan warna
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
dengan warna hipokromasi (pelebaran central pallor
melebihi 1/3 sel) dan hiperkromasi (penyempitan central
pallor kurang dari 1/3 sel).
d. Benda Inklusi
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
basofilik stipling.
e. Susunan Sel
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit yang
tersebar dengan susunan rouleaux dan aglutinasi
2. Pembahasan
a. Kelainan ukuran
Variasi pada ukuran sel darah merah disebut
anisositosis. Sel yang berukuran lebih dari 9m dan
mengandung
makrosit

hemoglobin

sedangkan

normal

mikrosit

disebut

merupakan

sebagai
sel

yang

memiliki diameter kurang dari 6 m. Mikrosit dan


makrosit dapat terdeteksi pada apusan darah berdasarkan
perubahan pada diameter sel darah merah. Sel darah
merah normal memiliki ukuran kurang lebih sebesar inti
sel limfosit kecil dan memiliki sentral palor dengan luas 1/3
sel. Sel makrosit biasanya merupakan sel-sel darah merah
yang belum matur ataupun sel-sel yang mengalami
gangguan pada proses maturasi. Makrositik sel darah
merah dapat terlihat ketika terjadi peningkatan stimulasi
eritropoiesis dan sintesis hemoglobin yang menyebabkan
onset

degenerasi

nukleus

terjadi

lebih

cepat

dan

mengurangi proses pembelahan sel. Makrositik dapat

19

terjadi pada kondisi peningkatan eritropoiesis, anemia


megaloblastik seperti pada anemia defisiensi asam folat
dan B12, dan penyakit liver. (Greer, et al., 2013; Hillman et
al., 2010).
Patogenesis

terbentuknya

eritrosit

mikrositik

berhubungan dengan defek sintesis hemoglobin, baik


pada sintesis heme maupun rantai globin. Gangguan pada
sintesis

hemoglobin

menyebabkan

peningkatan

pembelahan sel karena konsentrasi hemoglobin yang


rendah pada normoblast yang sedang berkembang pada
sumsum tulang. Kondisi mikrositik biasanya terjadi pada
pasien thalassemia, anemia penyakit kronik, defisiensi
besi, keracunan logam, dan anemia sideroblastik (Ford,
2013; Goljan dan Sloka, 2007).
b. Kelainan bentuk
Variasi pada bentuk sel

darah

merah

disebut

poikilositosis. Pada kondisi normal, sel darah merah


memiliki area sentral yang pucat (sentral pallor). Kelainan
bentuk yang dapat ditemukan pada preparat apusan
darah perifer yang telah kami amati adalah sel teardrop,
sel target, dan sel pensil.
Sel teardrop merupakan eritrosit yang terdistorsi dan
berbentuk seperti tetesan. Sel-sel ini umumnya ditemukan
pada

pasien

myelophthisik.

dengan
Sel

target

myelofibrosis
merupakan

dan

anemia

eritrosit

yang

berbentuk seperti papan target dan sering tampak


hipokromik.

Patogenesis

terbentuknya

sel

target

merupakan akibat peningkatan redundansi membran sel


darah merah yang menyebabkan permukaan sel terlalu
besar dan tidak proporsional terhadap volume sel. Sel-sel
ini

biasanya

ditemukan

pada

penyakit

liver,

post-

splenektomi, thalassemia, dan penyakit hemoglobin C


(Greer, et al., 2013; Lewis, et al., 2011).

20

c. Kelainan warna
Kelainan
warna
hipokromasia

pada

dan

eritrosit

hiperkromasia.

diantaranya
Hipokromasia

merupakan kondisi sel darah merah yang tampak pucat.


Secara

umum,

ada

dua

mendasari

terbentuknya

konsentrasi

hemoglobin

penyebab
eritrosit

yang

yang

mungkin

hipokromasia

rendah

dan

yaitu

ketipisan

eritrosit yang abnormal. Konsentrasi hemoglobin yang


rendah disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin.
Hal ini dapat terjadi akibat kegagalan sintesis heme atau
kegagalan dalam sintesis globin. Eritrosit yang memiliki
ketipisan abnormal atau disebut leptosit dapat disebabkan
oleh defek pada sintesis hemoglobin. Hiperkromasia juga
merupakan kelainan pada warna eritrosit yang tampak
sebagai eritrosit yang memiliki defisit sentral pallor. Hal ini
dapat terjadi akibat adanya makrosit dan ketika sel secara
abnormal bulat. Pada makrositosis, seperti pada darah
neonatus dan anemia megaloblastik disebabkan oleh
peningkatan

ketebalan

sel

darah

merah.

Ketika

hiperkromasia terjadi akibat bentuk sel yang abnormal,


ketebalan sel darah merah lebih tebal dari normal. Bentuk
sel abnormal yang dihubungkan dengan hiperkromasia
adalah sferosit atau sel yang terkontraksi secara ireguler
(Lewis, et al., 2011).
d. Benda inklusi
Basofilik stippling berarti adanya beberapa granula
basofilik yang terdistribusi di sel. Perbedaannya dengan
Pappenheimer
menunjukkan

bodies,
reaksi

basofilik

Perls

stippling

positif

terhadap

tidak
besi

terionisasi. Basofilik stippling merupakan indikasi adanya


gangguan

eritropoiesis

yang

terdapat

pada

pasien

thalassemia, anemia megaloblastik, infeksi, penyakit liver,

21

keracunan logam, hemoglobin tidak stabil dan defisiensi


pirimidin-5-nukleotidase (Lewis, et al., 2011).
e. Susunan sel
Formasi aglutinasi dan rouleaux merupakan dua
perubahan pada distribusi eritrosit yang dapat diobservasi
pada preparat apusan darah tepi. Aglutinasi adalah
keadaan menggerombolnya eritrosit. Formasi rouleaux
merupakan susunan eritrosit berkelompok yang mirip
seperti susunan koin yang biasanya ada pada bagian
tebal apusan darah tepi. Aglutinasi disebabkan oleh
adanya antibodi yang bereaksi dengan antigen dan
eritrosit,

sedangkan

formasi

rouleaux

berhubungan

dengan adanya cryoglobulins (Turgeon, 2005).


B. Kelainan Leukosit
1. Hasil
a. Preparat ALL
Pada preparat apusan darah tepi pasien ALL tampak
terjadi leukositosis dengan dominansi sel limfoblas.
b. Preparat CLL
Pada preparat apusan darah tepi pasien CLL tampak
terjadi leukositosis dengan dominansi sel limfosit tua dan
peningkatan smudge sel.
c. Preparat AML
Pada preparat apusan darah tepi pasien AML tampak
terjadi leukositosis dengan dominansi sel myeloblas.
d. Preparat CML
Pada preparat apusan darah tepi pasien CML tampak
terjadi leukositosis dan tidak tampak dominansi sel pada
stadium tertentu.
2. Pembahasan
a. Preparat ALL
Pada pasien ALL terjadi kegagalan sumsum tulang
yang

ditandai

dengan

anemia

(pallor,

letargi,

dan

dispneu), neutropenia (demam, malaise, dan infeksi),


trombositopenia

(memar

tiba-tiba,

purpura,

dan

22

perdarahan gusi). Investigasi hematologikal menunjukkan


anemia normokromik normositik dengan trombositopenia.
Jumlah sel darah putih dapat menuruh, normal atau
meningkat hingga 200x109/L atau lebih. Preparat apusan
darah

menunjukkan

dominansi

sel

blas.

Terjadi

hiperseluleritas pada sumsum tulang dengan lebih dari


20% sel blas leukemik (Hoffbrand & Moss, 2011).
b. Preparat CLL
Temuan laboratorium pada pasien CLL dapat berupa
limfositosis. Selain itu, terdapat juga peningkatan sel
smudge. Terjadi anemia normokromik normositik sebagai
akibat

infiltrasi

sumsum

tulang

atau

hipersplenism.

Hemolisis autoimun juga dapat terjadi. Pada banyak


pasien dapat terjadi kondisi trombositopenia (Hoffbrand &
Moss, 2011).
c. Preparat AML
Karakteristik klinik pada AML didominasi oleh pattern
kegagalan

sumsum

tulang

yang

disebabkan

oleh

akumulasi sel-sel malignan di dalam sumsum tulang.


Anemia

dan

Investigasi

trombositopenia
hematologikal

biasanya
menunjukkan

ditemukan.
anemia

normokromik normositik dengan trombositopenia. Jumlah


sel darah putih total biasanya meningkat dan preparan
apusan darah umumnya tampak sel blas dalam jumlah
banyak. Sumsum tulang dalam keadaan hiperseluler dan
umumnya

mengandung

banyak

sel

blas

leukemik

(Hoffbrand & Moss, 2011).


d. Preparat CML
Leukemia myeloid kronik merupakan kelainan genetik
pada sel stem pluripoten akibat translokasi kromosom
BCR-ABL.

Pada

pemeriksaan

laboratorium

biasanya

ditemukan leukositosis lebih dari 50 x 109/L dengan


penampakan semua spektrum sel myeloid pada preparat

23

apusan

darah

perifer.

Kadar

neutrofil

dan

myelosit

melebihi sel-sel blas dan promyelosit. Terjadi peningkatan


sel basofil pada sirkulasi. Biasanya terdapat anemia
normokromik normositik dan jumlah trombosit biasanya
meningkat atau dalam keadaan normal. Sumsum tulang
dalam

keadaan

hiperseluler

dengan

predominansi

granulopoietik (Hoffbrand & Moss, 2011).


C. Kelainan Trombosit
1. Hasil
Estimasi jumlah trombosit dari preparat anemia dan thalasemia adalah
220.000 / mm3 dengan perhitungan dari 3 lapang pandang preparat apusan
darah lalu direrata dan dikalikan 20.000.
2. Pembahasan
Hasil tersebut menyatakan bahwa pada preparat anemia dan thalasemia
tersebut kadar trombosit pasien berada pada batas normal. Umumnya kadar
trombosit normal terdapat pada pasien yang sudah menderita kelainan darah
dalam jangka waktu yang cukup lama.
IV.

24

IV.

APLIKASI KLINIS

A. Acute Myeloid Leukemia (AML)


Leukemia akut yang menyerang rangkaian mieloid disebut leukemia
nonlimfositik akut (LNLA), leukemia mielositik akut (LMA), atau leukemia
granulositik akut (LGA). LMA bertanggungjawab atas 80% leukemia akut
pada orang dewasa. Permulannya mungkin mendadak atau progresif dalam
masa 1 sampai 3 bulan, dengan durasi gejala singkat. Jika tidak diobati, LMA
fatal dalam 3 sampai 4 bulan (Price, 2006).
Klasifikasi morfologik yang umum dipakai ialah klasifikasi dari FAB:
1. M0 : Leukemia mieloid akut tanpa diferensiasi
2. M1 : Leukemia mieloid akut tanpa maturasi
3. M2 : Leukemia mieloid akut dengan maturasi
4. M3 : Leukemia promielositik akut
5. M4 : Leukemia mielomonositik akut
6. M5 : Leukemia monositik akut
a. Subtipe M5a : tanpa maturasi
b. Subtipe M5b : dengan maturasi
7. M6 : Eritroleukemia
8. M7 : Leukemia megakariositik
M1 + M2 + M3 disebut sebagai leukemia mieloblastik akut yang merupakan
75% dari keseluruhan LMA.
Diagnosis LMA dapat dibuat berdasarkan gambaran darah tepi tetapi
dibuktikan dengan biopsi dan aspirasi sumsum tulang. Darah tepi dapat
menunjukkan mieloblas dalam sirkulasi yang meningkat, normal atau menurun
dan penurunan jumlah granulosit absolut. Jumlah trombosit juga menurun,
sering di bawah 50.000. Anemia sedang dapat terjadi. Sumsum tulang
umumnya hiperselular, 30% sampai 90% mieloblas mengandung batang Auer.
Terdapat perubahan metabolik, dengan peningkatan kadar asam urat dan laktat
dehidrogenase yang terkait dengan kadar turnover SDP yan tinggi (Price,
2009).
Gejala klinik leukemia akut sangat bervariasi, tetapi pada umumnya
timbul cepat, dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala leukemia akut dapat
digolongkan menjadi tiga golongan besar (Bakta, 2014):
1. Gejala kegagalan sumsum tulang, yaitu:
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah.

25

b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demam, infeksi


rongga mulut, tenggorok, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok
septik.
c. Trombositopenia

menimbulkan

easy

bruising,

perdarahan

kulit,

perdarahan mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis.


2. Keadaan hiperkatabolik, yang ditandai oleh:
a. Kaheksia.
b. Keringat malam.
c. Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal.
3. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain,
seperti:
a. Nyeri tulang dan nyeri sternum.
b. Limfadenopati superfisial.
c. Splenomegali atau hepatomegali, biasanya ringan.
d. Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit.
e. Sindrom meningeal : sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.
4. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah:
a. Leukositosis.
b. Koagulopati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer.
c. Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai gout arthritis dan batu
ginjal.
B. Chronic Myeloid Leukemia (CML)
Leukemia mielositik kronik (LMK) atau leukemia granulositik kronik
(LGK) menerangkan 15% leukemia, paling sering terlihat pada orang dewasa
usia pertengahan, tetapi dapat juga timbul pada setiap kelompok umur. Tidak
seperti LMA, LMK memiliki awitan yang lambat, sering ditemukan waktu
dilakukan pemeriksaan darah rutin atau skrining darah. LMK dianggap sebagai
suatu gangguan mieloproliferatif karena sumsum tulang hiperselular dengan
proliferasi pada semua garis diferensiasi sel. Jumlah granulosit umumnya lebih
dari 30.000/mm3. Walaupun pematangannya terganggu, sebagian besar sel tetap
menjadi matang dan berfungsi. Pergeseran ke kiri terjadi dengan kurang dari
5% blas dalam darah tepi. Basofil dan eosinofil sering ditemukan. Pada 85%
kasus terjadi kelainan kromosom Philadelphia. Kromosom Philadelphia
merupakan suatu translokasi dari lengan panjang kromosom 22 ke kromosom
9. Kelainan kromosom ini memengaruhi sel induk hematopoietik dan
karenanya terdapat pada garis sel mieloid, serta beberapa garis sel limfoid
(Price, 2009).
LMK terdiri atas enam jenis, yaitu:
1. Leukemia mieloid kronik, Ph positif (CML, Ph+)
26

2.
3.
4.
5.
6.

Leukemia mieloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-)


Juvenile chronic myeloid leukemia
Leukemia neutrofilik kronik
Leukemia eosinofilik
Leukemia mielomonositik kronik

Sebagian besar CML (>95%) tergolong sebagai CML, Ph+.


Gejala klinik LMK tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit
tersebut, yaitu (Bakta, 2014):
1. Fase kronik terdiri atas:
a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
b.
c.
d.
e.
f.

berkeringat malam.
Splenomegali hampir selalu ada, sering masif.
Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
Gejala gout, gangguan penglihatan, dan priapismus.
Anemia pada fase awal sering hanya ringan.
Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat

check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.


2. Fase transformasi akut terdiri atas:
a. Perubahan terjadi pelan-pelan dengan prodromal selama 6 bulan, disebut
fase akselerasi. Timbul keluhan baru: demam, lelah, nyeri tulang
(sternum) yang semakin progresif. Respon terhadap kemoterapi menurun,
leukositosis meningkat dan trombosit menurun dan akhirnya menjadi
gambaran leukemia akut.
b. Pada sekitar sepertiga penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodromal, keadaan ini disebut krisis blastik
(blastic crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal
dalam 1-2 bulan.
C. Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)
Acute Limphoblastic leukemia (ALL) merupakan keganasan yang sering
terjadi pada anak-anak. Angka kejadian ALL cenderung menurun seiring
pertambahan usia.

Pertambahan usia dianggap sebagai suatu indikator

prognosis yang buruk pada ALL. Jika terjadi pada usia dewasa maka ALL
dapat digolongkan menjadi keganasan yang cukup serius. Pada ALL dewasa,
angka kejadian lebih banyak ditemui pada ras kulit hitam dibanding ras kulit
putih. Keganasan ini dapat cepat menjadi fatal jika tidak segera mendapat
terapi atau pengobatan (Dianne Pulte et al, 2014).
Sebagai sebuah keganasan, ALL termasuk penyakit agresif yang ditandai
dengan akumulasi sel-sel limfosit matang dalam sumsum tulang dan darah
27

perifer. Proses metabolic ALL sangat kuat, sehingga banyak peneliti yang
memfokuskan

terapi

pada

hal

tersebut.

Perkembangan

terapi

ALL

menunjukkan peningkatan nyata namun angka kematian anak karena ALL


masih tinggi (Stefani Tizani et al, 2013). Peningkatan intensitas dalam
pengembangan terapi ALL menimbulkan dampak peningkatan toksik
kemoterapi (Laura B. Ramsey et al, 2015)
Sampai saat ini penyebab pasti ALL dewasa belum diketahui. Faktor
herditas dan genetic diduga menjadi penyebab kejadian ALL pada anak-anak
(Lee GR et al, 2003). Paparan radiasi dan ionisasi diduga menjadi faktor risiko
terjadinya ALL pada usia dewasa. Radiasi dan ionisasi dapat menyebabkan
perubahan genetic terkait ALL dewasa, yakni domain gen 5b dan gen 1 (Jeremi
Rudant et al, 2015).
Pada anak-anak, gejala dari keganasan ini bisa sangat lambat terlihat
pada

beberapa minggu atau bulan pertama, namun bisa menjadi sangat

progresif dan akut. Sedangkan pada dewasa yang terdiagnosis ALL dapat
menunjukkan gejala dalam durasi beberapa minggu. Gejala yang lazim ditemui
pada ALL dewasa adalah demam, perdarahan, hepatomegali, splenomegali, dan
lain-lain. Pemeriksaan laboratorium terkait ALL meliputi pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan apusan sumsum tulang, pengukuran elektrolit, keratinin,
kalsium, albumin, enzim hepatic, dan asam urat. Hasil laboratorium yang
ditemukan pada pasien ALL adalah peningkatan sel darah putih dengan
dominasi sel blas, mayoritas ditemukann ciri anemia, dan perhitungan platelet
yang menurun (Lee GR et al, 2003).
D. Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL)
Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL) adalah keganasan dari sel limfosit
B yang matang dan menunjukkan gejala klinis yang sangat heterogen.
Sebagian penderita tidak merasakan gejala dan tidak memerlukan intervensi
selama beberapa tahun. Sebagian lagi menunjukkan gejala leukemia agresif
dan memerlukan pengobatan secepat mungkin. Diagnosis terhadap penyakit ini
berdasarkan hasil analisis flow cytometric keganasan sel B matang yang
diperoleh dari apusan darah tepi, sumsum tulang, limfenodi dan organ lain .
Pemeriksaan dini CLL sangat membantu dalam pengambilan keputusan terapi
(Edouard Cornet et al, 2015).

28

CLL termasuk leukemia yang sering terjadi terutama di negara Barat.


Amerika Utara menjadi negara dengan angka kejadian CLL tertinggi. Pasien
CLL dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu berdasarkan rantai
immunoglobulin, termutasi atau tidak termutasi (Sally Yepes et al, 2015).
Mutasi rantai immunoglobulin ini akan diekspresikan oleh sel B yang terkena
leukemia. Pasien dengan rantai immunoglobulin yang termutasi biasanya
memiliki

perkembangan

mempertahankan

hidup

penyakit
lebih

lama

yang

lebih

dibanding

lamban
pasien

dan

dapat

dengan

rantai

immunoglobulin yang tidak termutasi (Min Shen et al, 2013).


Berbeda dengan leukemia yang lain, paparan lingkungan tidak
menyebabkan peningkatan kejadian CLL. Riwayat keluarga yang terkena CLL
atau kelainan limfoproliferative lainnya yang dapat menjadi faktor risiko CLL
(Lee GR et al, 2003). Kebanyakan sel CLL berada pada G0/G1 pada siklus sel.
Akumulasi progresif dari sel-sel tumor dapat menujukkan gejala dari CLL.
Mekanisme patogenik yang berkaitan dengan transformasi, perkembangan dan
evolusi meliputi faktor eksternal dan internal (Elena Domenech et al, 2012).
Hasil laboratorium untuk diagnosis CLL dapat diliat dari pemeriksaan
darah tepi dan sumsum tulang. Pemeriksaan darah tepi pasien CLL
menunjukkan adanya peningkatan limfosit. Limfosit pasien CLL biasanya
ditemukan dalam ukuran normal maupun sedang. Ditemukan sel basket dapat
menjadi ciri CLL. Hasil pemeriksaan sumsum tulang pasien CLL menunukkan
4 pola infltrasi yakni nodular, interstitial, campuran (nodular dan interstitial),
dan menyebar (Lee GR et al, 2003)
E. Thalasemia
Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana
produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu
(Tjokronegoro,A. 2009). Penyakit thalasemia ini tersebar luas di daerah
mediteranian seperti Italia,Yunani, Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah,
India Selatan, Sri Langka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia,
daerah ini dikenal sebagai kawasan thalasemia, frekuensi thalasemia di Asia
Tenggara adalah Antara 3-9% . Gen untuk thalasemia-B ternyata tersebar luas
di dataran Cina tidak terbatas pada provinsi Guangdong. Thalasemia didapat
pula pada orang negro di Amerika Serikat. (Tjokronegoro,A. 2009)

29

Dasar kelainan pada thalasemia berlaku secara umum yaitu kelainan


thalasemia-a disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kecelakaan
genetik, yang mengatur produksi tetramer globin, sedangkam pada
thalassemia-B karena adanya mutasi gen tersebut. Individu normal yang
mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 2 dan alfa thal 1 terletakpada bagian
pendek kromosom 16. Hilangnya satu gen tidak menunjukan gejala klinis
sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak
memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H)
memberikan anemia moderat dan gambaran klinis thalassemia-a intermedia.
(Elizabeth, 2005)
Thalasemia mayor beta terjadi akibat kegagalan sintesis rantai globin
beta baik parsial maupun total. Dan dengan demikian menyebabkan gangguan
sintesis hemoglobin dan anemia kronik. Bila pewarisa adalah autosomal
resesif, kelainan pada gen globin beta biasanya berupa suatu mutasi titik yang
memperngaruhi ekspresi gen ataupun pengolahan oleh messenger RNA. Telah
diketahui beragam bentuk mutasi dan keragaman ini menjadi penyebab atas
luasnya variasi derajat klinis kondisi ini (Dewi,2005)
Bagi thalasemia mayor memerlukan tranfusi darah seumur hidup. Pada
thalasemia mayor komplikasi lebih sering didapatkan daripada thalasemia
intermedia. Komplikasi neuromuskular tidak jarang terjadi. Biasanya pasien
terlambat berjalan. Sendrom neuropati juga mungkin terjadi dengan kelemahan
otot-otot proksimal. Terutama ekstremitas bawah akibat iskemia serebral dapat
timbul episode kelainan neurologik fokal ringan,gangguan pendengaran
mungkin pula terjadi seperti pada kebanyakan anemia hemolitik atay
diseritropoitik lain ada peningkatan kecenderungan untuk terbentuknya batu
pigmen dalam kantung empedu. (Dewi,2005)

30

DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Tjokronegoro. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Bakri, Samsyul, dkk. 2009. Hematologi. Jakarta : Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Bakta, I Made. 2014. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:EGC.
Cornet E, Debliquis A, Rimelen V, Civic N, Docquier M, Troussard X, et al. 2015.
Developing Molecular Signatures for Chronic Lymphocytic Leukemia. PLoS
ONE 10(6): e0128990.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC
Davey P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Dewi, A. 2005. Hematologi. Jakarta: EGC
Domnech E, Gmez-Lpez G, Gzlez-Pea D, Lpez M, Herreros B, Menezes J,
et al. 2012. New Mutations in Chronic Lymphocytic Leukemia Identified by
Target Enrichment and Deep Sequencing. PLoS ONE 7(6): e38158.
Elizabeth, G. 2005. Diagnosis Prenatal Thalasemia di Malaysia. Bangi :
Universitas Kebangsaan Malaysia
Ford, J., 2013. Red blood cell morphology. International Journal of Laboratory
Hematology, pp. 351-357.
Gandosoebrata, R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik edisi keenam belas.
Jakarta : Dian Rakyat
George, TI. 2007. Polycythemia Vera In Chronic Myeloproliferative Syndromes.
Wintrobes Atlas of Clinical Hematology; 2:104-108.
Goljan, E. F. & Sloka, K. I., 2007. Rapid Review Laboratory Testing in Clinical
Medicine. USA: Mosby Elsevier.
Greer, J. P. et al., 2013. Wintrobe's Clinical Hematology. USA: Lippincott
Williams and Wilkins Publishers.
Hillman, R. S., Ault, K. A., Leporrier, M. & Rinder, H. M., 2010. Hematology in
Clinical Practice. USA: McGraw-Hill.
Hillman, Robert S, Kenneth A. 2005. Polycythemia. Hematology in Clinical
Practice; 4:1-25.
Hoffbrand, A.V. 2012. Kapita Selekta Hematologi edisi keempat. Jakarta : EGC
31

Hoffbrand, A. & Moss, P., 2011. Essential Haematology 6th Edition. Oxford: John
Wiley and Sons.
Lee GR, Foeserster J, Lukens J, et al. 2003. Wintrobes Clinical Hematology 11th
ed. Wiliams & Wilkins. Baltimore.
Leveno, Kenneth J, Cunningham Gary F, Gant Norman F, Alexander James,
Bloom Steven L, et al. 2009. Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Lewis, S. M. et al., 2011. Dacie and Lewis Practical Haematology. USA:
Churchill Livingstone.
Mazza, Joseph J. 2002. Classification Myeloproliferative Diseases. Manual of
Clinical Hematology; 3:93-98.
Prenggono D. 2006. Polisitemia Vera. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Penerbit IPD FKUI:702-705.
Price, S. A., Wilson, L. M. 2009. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta :EGC.
Pulte D, Jansen L, Gondos A, Katalinic A, Barnes B, Ressing M, et al. 2014.
Survival of Adults with Acute Lymphoblastic Leukemia in Germany and the
United States. PLoS ONE 9(1): e85554.
Ramsey LB, Janke LJ, Payton MA, Cai X, Paugh SW, Karol SE, et al. 2015.
Antileukemic Efficacy of Continuous vs Discontinuous Dexamethasone in
Murine Models of Acute Lymphoblastic Leukemia. PLoS ONE 10(8):
e0135134.
Rudant J, Orsi L, Bonaventure A, Goujon-Bellec S, Baruchel A, Petit A, et al.
2015. ARID5B, IKZF1 and Non-Genetic Factors in the Etiology of
Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia: The ESCALE Study. PLoS ONE
10(3): e0121348.
Shen M, Zhang Y, Saba N, Austin CP, Wiestner A, Auld DS. 2013. Identification
of Therapeutic Candidates for Chronic Lymphocytic Leukemia from a
Library of Approved Drugs. PLoS ONE 8(9): e75252.
Sianipar,

Benedictus,

Nicholas.

2014.

Trombositopenia

dan

Berbagai

Penyebabnya. Jurnal CDK-217 volume 41,nomer 6.


Speicher, Carl E, Smith Jack W. 2006. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif.
Jakarta : EGC

32

Stuart BJ, Viera AJ. 2000. Polycythemia Vera. Polycythemia : Primary and
Secondary. Practical Diagnosis of Hematologic Disorders; 3:221-227
Supandiman I, Sumahtri R. 2003. Polisitemia Vera. Pedoman diagnosis dan terapi
Hematologi Onkologi Medik:83-90.
Tallo K, Arhana BNP, Utama Dwi L. 2013. Kejadian Perdarahan Masif Pada
Pasien Sindrom Syok Dengue Dihubungkan Dengan Jumlah Leukosit,
Trombosit, Dan Kadar Hematokrit. Jurnal Ilmu Kesehatan Anak.vol:1(2)
Tiziani S, Kang Y, Harjanto R, Axelrod J, Piermarocchi C, Roberts W, et al. 2013.
Metabolomics of the Tumor Microenvironment in Pediatric Acute
Lymphoblastic Leukemia. PLoS ONE 8(12): e82859.
Turgeon, M. L., 2005. Clinical Hematology Theory and Procedures. USA:
Lippincott Williams and Wilkins.
Yepes S, Torres MM, Andrade RE. 2015. Clustering of Expression Data in
Chronic Lymphocytic Leukemia Reveals New Molecular Subdivisions. PLoS
ONE 10(9): e0137132.

33

Anda mungkin juga menyukai