DASAR TEORI
A. Kelainan Eritrosit
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa
hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh (Karolina, 2013).
1. Anemia Defisiensi Besi
Dua kausa tersering anemia selama kehamilan dan nifas adalah
defisiensi zat besi dan kehilangan darah akut. Tidak jarang keduanya
berkaitan erat karena kehilangan darah dalam jumlah besar di sertai
hilangnya zat besi hemoglobin serta habisnya simpanan zat besi pada suatu
kehamilan dapat menjadi kausa penting anemia defisiensi zat besi pada
kehamilan selanjutnya.
Pada gestasi tipikal dengan satu janin, kebutuhan ibu akan zat besi
yang di picu oleh kehamlan rata-rata mendekati 1000 mg yang jauh
melebihi simpanan zat besi sebagian besar wanita. Kecuali jika perbedaan
antara jumlah simpanan zat besi yang tersedia ke ibu dan kebutuhan zat besi
pada kehamlan normal di kompensasi oleh penyerapan zat besi dalam
saluran zat cerna, maka akan terjad anemia defisiensi zat besi. Karena
jumlah besi yang d salurkan ke janin dari ibu tidak jauh beda dari yang di
salurkan secara normal di alihkan, maka neonatus dari ibu yang mengalami
anemia berat tidak menderita anemia defisiensi zat besi.
2. Anemia Akibat Penyakit Kronik
Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat mnyebabkan
anemia. Sebagian diantaranya adalah ginjal kronik, penyakit usus meradang,
lupus eritomatosus sistemik, infeksi granulomatosa, neoplasma ganas, dan
artritis reumathoid. Anemia ini biasnaya semakin intensif seiring
bertambahnya volume plasma yang melenihi ekspansi massa ekspansi sel
darah merah.
Anemia pada penyakit kronik berespons terhadap pemberian
eritropoietin rekombinan. Obat ini telah berhasil di gunakan untuk
mengobati anemia pada inufisiensi ginjal kronik,peradangan kronik, dan
keganasan. Meskipun massa sel darah merah biasanya menignkta beebrapa
minggu namun dapat timbul efek samping eritropoietin rekombinan,yaitu
hipertensi,yang sudah sering erjadi pada para wanita.
3. Anemia Megaloblastik
1
dapat
berupa
epistaksis,
ekimosis
dan
perdarahan
gastrointestinal.
3. Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm3).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia Vera tidak
ada korelasi trombositosis dengan trombosis. Basofilia Lima puluh persen
kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang
dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar
histamin dalam darah sebagai akibat meningkatnya basofilia. Terjadinya
gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin.
4. Splenomegali
lebih berwarana merah tua, jarang dijumpai lebih dari 3 lobus inti. Sel ini
memasuki eksudat inflamatorik dan berperan khusus dalam respon alergi,
pertahanan terhadap parasit, dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama
inflamasi.
Eosinofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil lebih dari 300/l
darah. Eosinofilia terutama dijumpai pada keadaan alergi, infeksi parasit.
Histamin yang dilepaskan pada reaksi antigen-antibodi merupakan substansi
khemotaksis yang menarik eosinofil. Penyebab lain dari eosinofilia adalah
penyakit kulit kronik, dan kanker tulang, otak, testis, dan ovarium.
Eosinopenia adalah suatu keadaan dimana jumlah eosinofil kurang
dari 50/l darah. Hal ini dapat dijumpai pada keadaan stress seperti syok,
luka bakar, perdarahan dan infeksi berat, juga dapat terjadi pada hiperfungsi
koreks adrenal dan pengobatan dengan kortikosteroid. Pemberian epinefrin
akan menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dan basofil, sedang jumlah
monosit akan menurun pada infeksi akut. Walaupun demikian, jumlah
basofil, eosinofil dan monosit yang kurang dari normal kurang bermakna
dalam klinik. Pada hitung jenis leukosit pada pada orang normal, sering
tidak dijumlah basofil maupun eosinofil. (Gandosoebrata,2010)
3. Neutrofil
Neutrofil merupakan sel yang paling cepat bereaksi terhadap radang
dan luka dibanding leukosit yang lain dan merupakan pertahanan selama
fase infeksi akut. Sel ini mempunyai inti padat khas yang terdiri atas 2-5
lobus dan sitoplasma yang pucat dengan batas tida beraturan, mengandung
banyak granula merah-biru (azurofilik) atau kelabu - biru. Granula terbagi
menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan
sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil
matang. Nilai normal dalam tubuh adalah 1 5% untuk neutrofil batang dan
50 70% untuk neutrofil segmen.
Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari
7000/l dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri,
keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti
uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah dan radang Banyak faktor yang
mempengaruhi respons netrofil terhadap infeksi, seperti penyebab infeksi,
virulensi kuman, respons penderita, luas peradangan dan pengobatan. Pada
membantu fagosit dalam petahanan tubuh terhadap infeksi dan invasi asing
lain. Limfosit lebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis
limfosit, yaitu:
a. Sel B.
Berfungsi membuat
antbodi
yang
mengikat
patogen
lalu
Dapat membunuh sel tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa dia
tidak boleh dibinuh karena telah terinfeksi virus atau telah menjadi
kanker.
Limfositosis adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah
limfosit lebih dari 8000/l pada bayi dan anak-anak serta lebih dari 4000/l
darah pada dewasa. Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti
morbili, mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis,
sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia
limfositik kronik dan makroglobulinemia primer.
Pada orang dewasa limfopenia terjadi bila jumlah limfosit kurang dari
1000/l dan pada anak-anak kurang dari 3000/l darah. Penyebab
limfopenia adalah produksi limfosit yang menurun yang disebabkan oleh
kortikosteroid dan obat-obat sitotoksis. (Gandosoebrata,2010)
5. Monosit
Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan
ukuran 2x lebih besar dari eritrosit sel darah merah, terbesar dalam sirkulasi
darah dan diproduksi di jaringan limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 - 8%
dari jumlah seluruh leukosit. biasanya berukuran lebih besar dari leukosit
darah tepi lainnya dan mempunyai inti sentral berbentuk lonjong atau
berlekuk dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak
berwarna biru dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberikan
gambaran kaca asah (ground-glass-apperance). Granula sitoplasma juga
sering d-glass-apperance. Granula sitoplasma juga sering dijumpai. Monosit
membagi fungsi 'pembersih vakum' (fagositosis) dari neutrofil tetapi lebih
jauh dia hidup dengan tugas tambahan yaitu memberikan potongan patogen
kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat dihafal dan dibunuh atau dapat
membuat tanggapan antibodi untuk menjaga.
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih dari
750/l pada anak dan lebih dari 800/l darah pada orang dewasa.
Monositosis dijumpai pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri,
virus, protozoa maupun jamur. Penurunan monosit terdapat pada leukemia
limposit dan anemia aplastik. (Gandosoebrata,2010)
C. Kelainan Trombosit
Trombositopenia adalah penurunan jumlah trombosit dalam sirkulasi.
Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan hebat,hanya
8
limpanya.
Penyebab
penting
penimbul
purpura
yang
waktu
sangat
lama
untuk
menghentikan
perdarahannya
(Corwin,2009)
Dalam evaluasi trombositopenia, langkah awal yang penting adalah
melihat
kembali
apusan
darah
tepi
untuk
menyingkirkan
vera,
penyakit
sumsum
tulang.
Sebab-
sebab
sekunder
10
bidang dan tiap bidang itu dibagi lagi menjadi 16 bidang kecil. Dengan
demikian jumlah bidang kecil itu seluruhnya 400 buah,masing-masing
luasnya 1/20 x 1/20 mm2. Tinggi kamar hitung, yaitu jarak antara
permukaan yang bergaris-garis dan kaca penutup yang berpasangan
adalah 1/10 mm. Maka volume diatas tiap-tiap bidang menjadi sebagai
berikut :
1 bidang kecil `= 1/20 x 1/20 x1/10 =1/4000 mm3
1 bidang sedang = 1/4 x 1/4 x 1/10 =1/160 mm3
1 bidang besar = 1 x 1 x 1/10 = 1/10 mm3
Seluruh bidang yang dibagi = 3 x 3 x 1/10 = 9/10 mm3
2. Kaca penutup.
Hendaknya memakai kaca penutup yang khusus diperuntukkan
bagi kamar hitung. Kaca penutup itu lebih tebal dari yang biasa,
sedangkan ia dibuat dengan sangat datar. Hanya dalam keadaan darurat
kaca penutup biasa boleh dipakai. Kaca penutup untuk menghitung
jumlah trombosit dengan teknik fase kontras lebih tipis daripada yang
dipakai untuk mikroskop biasa.
3. Pipet.
Pipet Thoma untuk pengenceran leukosit (pipet leukosit) terdiri
dari sebuah pipa kapiler yang bergaris bagi dan membesar pada salah
satu ujung menjadi bola. Dalam bola itu terdapat sebutir kaca putih. Pada
pertengahan pipa kapiler itu ada garis bertanda angka 0,5 dan ada
bagian atasnya, yaitu dekat bola, terdapat garis bertanda 1,0. Di atas
bola ada angka lain lagi, yaitu pada garis tanda 11.
Perhatikan bahwa angka angka itu bukanlah menandakan satu
volume yang mutlak melainkan perbandingan volume. Yang penting dan
menentukan ialah pengenceran darah yang terjadi dalam pipet itu.
Seandainya lebih dulu diisap darah sampai garistanda 0,5 kemudian
cairan pengencer sampai garis-tanda 11, maka darah dalam bola pipet
itu diencerkan 20 kali.
Perhitungan jumlah leukosit
Leukosit dihitung dalam 4 bidang besar yang terletak di pinggir
bidang (bertanda W). Tiap bidang besar terdiri dari 16 bidang sedang yang
masing-masing luasnya adalah 1/16 mm2. Dengan demikian leukosit
dihitung dalam 64 bidang sedang, luas keseluruhan ialah 64 x 1/16 mm2 = 4
mm2.
11
penyakit
Gaucher),
infeksi
virus,
pernisiosa,
malaria,
12
Turk.
Terbuang sedikit cairan pipet pada waktu mengocok pipet atau pada
hitung.
Ada gelembung udara termasuk bersama dengan cairan.
Kaca penutup tergeser karena disentuh dengan lensa mikroskop
3. Pasca Analitik
Salah menghitung sel yang menyinggung garis garis batas.
E. Hitung Jenis Leukosit
Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam
darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.
Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai
relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel / l). Sebagai contohnya, dengan
13
limfosit 30% dan leukosit 10.000, limfosit mutlak adalah 30% dari 10.000 atau
3.000. Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan secara spesifik kejadian
dan proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi. Tipe leukosit yang
dihitung ada 5 yaitu basofil, eosinofil, neutrofil, monosit, dan limfosit.
(Gandosoebrata, 2010).
Untuk melakukan hitung jenis leukosit, pertama membuat sediaan apus
darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa, Wright atau May Grunwald.
Amati di bawah mikroskop dan hitung jenis-jenis leukosit hingga didapatkan
100 sel. Tiap jenis sel darah putih dinyatakan dalam persen (%)
(Gandosoebrata, 2010).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam hitung jenis leukosit adalah:
Pilihlah sediaan yang cukup tipis dengan persebaran leukosit yang merata.
Mulailah menghitung pada pinggir atas sediaan dan berpindahlah ke arah
pinggir bawah sediaan dan setelah itu geser ke kanan kemudiaan ke arah
pinggir atas lagi. Sesampai di pinggir atas geser ke kanan lagi kemudian ke
monosit.
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan hitung jenis leukosit
sebagai berikut:
1. Obyek glass.
2. Spreader.
3. Rak pengecatan.
4. Mikroskop.
5. Darah vena + antikoagulan EDTA atau darah segar (kapiler/vena, segera
6.
7.
8.
9.
14
b. Letakkan satu tetes kecil darah pada 2-3 mm dari ujung kaca objek di
depan tetes darah.
c. Tarik spreader ke belakang sehingga menyentuh tetes darah, tunggu
sampai darah menyebar pada sudut tersebut.
d. Dengan gerak yang mantap doronglah spreader sehingga terbentuk
apusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek. Darah harus habis
sebelum spreader mencapai ujung lain dari kaca objek.
e. Hapusan darah tidak boleh terlalu tipis atau terlalu tebal (Ketebalan ini
dapat diatur dengan menggunakan sudut antara kedua kaca objek dan
kecepatan menggeser. Makin besar sudut atau makin cepat menggeser,
makin tipis apusan darah yang dihasilkan).
f. Biarkan apusan darah mengering di udara.
g. Tulis identitas pada bagian preparat tebal (bagian kepala).
2. Pewarnaan Wright.
a. Letakkan sediaan apusan darah yang telah kering pada rak pengecatan.
b. Genangi dengan larutan wright (yang mengandung methanol) selama 2
menit.
c. Tanpa dicuci (tidak mengandung sisa cat) tambahkan atau genangi
dengan larutan buffer phosphate sebanyak 1 1/2 dari volume wright yang
d.
e.
f.
g.
tersisa.
Tiup-tiup supaya homogen biarkan selama 20 menit atau 10 menit.
Buang sisa cat dan cuci dengan air mengalir
Kering anginkan.
Periksa di bawah mikroskop obyektif 40 x atau 100 x + emersi oil dalam
16
Cara Kerja:
17
18
a. Kelainan ukuran
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
dengan berbagai ukuran atau disebut anisositosis.
b. Kelainan bentuk
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
dengan berbagai macam bentuk, diantaranya: tear drop,
sel pensil, dan sel target.
c. Kelainan warna
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
dengan warna hipokromasi (pelebaran central pallor
melebihi 1/3 sel) dan hiperkromasi (penyempitan central
pallor kurang dari 1/3 sel).
d. Benda Inklusi
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit
basofilik stipling.
e. Susunan Sel
Pada preparat apusan darah tepi ditemukan eritrosit yang
tersebar dengan susunan rouleaux dan aglutinasi
2. Pembahasan
a. Kelainan ukuran
Variasi pada ukuran sel darah merah disebut
anisositosis. Sel yang berukuran lebih dari 9m dan
mengandung
makrosit
hemoglobin
sedangkan
normal
mikrosit
disebut
merupakan
sebagai
sel
yang
degenerasi
nukleus
terjadi
lebih
cepat
dan
19
terbentuknya
eritrosit
mikrositik
hemoglobin
menyebabkan
peningkatan
darah
merah
disebut
pasien
myelophthisik.
dengan
Sel
target
myelofibrosis
merupakan
dan
anemia
eritrosit
yang
Patogenesis
terbentuknya
sel
target
biasanya
ditemukan
pada
penyakit
liver,
post-
20
c. Kelainan warna
Kelainan
warna
hipokromasia
pada
dan
eritrosit
hiperkromasia.
diantaranya
Hipokromasia
umum,
ada
dua
mendasari
terbentuknya
konsentrasi
hemoglobin
penyebab
eritrosit
yang
yang
mungkin
hipokromasia
rendah
dan
yaitu
ketipisan
ketebalan
sel
darah
merah.
Ketika
bodies,
reaksi
basofilik
Perls
stippling
positif
terhadap
tidak
besi
eritropoiesis
yang
terdapat
pada
pasien
21
sedangkan
formasi
rouleaux
berhubungan
ditandai
dengan
anemia
(pallor,
letargi,
dan
(memar
tiba-tiba,
purpura,
dan
22
menunjukkan
dominansi
sel
blas.
Terjadi
infiltrasi
sumsum
tulang
atau
hipersplenism.
sumsum
tulang
yang
disebabkan
oleh
dan
Investigasi
trombositopenia
hematologikal
biasanya
menunjukkan
ditemukan.
anemia
mengandung
banyak
sel
blas
leukemik
Pada
pemeriksaan
laboratorium
biasanya
23
apusan
darah
perifer.
Kadar
neutrofil
dan
myelosit
keadaan
hiperseluler
dengan
predominansi
24
IV.
APLIKASI KLINIS
25
menimbulkan
easy
bruising,
perdarahan
kulit,
2.
3.
4.
5.
6.
berkeringat malam.
Splenomegali hampir selalu ada, sering masif.
Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
Gejala gout, gangguan penglihatan, dan priapismus.
Anemia pada fase awal sering hanya ringan.
Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
prognosis yang buruk pada ALL. Jika terjadi pada usia dewasa maka ALL
dapat digolongkan menjadi keganasan yang cukup serius. Pada ALL dewasa,
angka kejadian lebih banyak ditemui pada ras kulit hitam dibanding ras kulit
putih. Keganasan ini dapat cepat menjadi fatal jika tidak segera mendapat
terapi atau pengobatan (Dianne Pulte et al, 2014).
Sebagai sebuah keganasan, ALL termasuk penyakit agresif yang ditandai
dengan akumulasi sel-sel limfosit matang dalam sumsum tulang dan darah
27
perifer. Proses metabolic ALL sangat kuat, sehingga banyak peneliti yang
memfokuskan
terapi
pada
hal
tersebut.
Perkembangan
terapi
ALL
progresif dan akut. Sedangkan pada dewasa yang terdiagnosis ALL dapat
menunjukkan gejala dalam durasi beberapa minggu. Gejala yang lazim ditemui
pada ALL dewasa adalah demam, perdarahan, hepatomegali, splenomegali, dan
lain-lain. Pemeriksaan laboratorium terkait ALL meliputi pemeriksaan darah
tepi, pemeriksaan apusan sumsum tulang, pengukuran elektrolit, keratinin,
kalsium, albumin, enzim hepatic, dan asam urat. Hasil laboratorium yang
ditemukan pada pasien ALL adalah peningkatan sel darah putih dengan
dominasi sel blas, mayoritas ditemukann ciri anemia, dan perhitungan platelet
yang menurun (Lee GR et al, 2003).
D. Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL)
Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL) adalah keganasan dari sel limfosit
B yang matang dan menunjukkan gejala klinis yang sangat heterogen.
Sebagian penderita tidak merasakan gejala dan tidak memerlukan intervensi
selama beberapa tahun. Sebagian lagi menunjukkan gejala leukemia agresif
dan memerlukan pengobatan secepat mungkin. Diagnosis terhadap penyakit ini
berdasarkan hasil analisis flow cytometric keganasan sel B matang yang
diperoleh dari apusan darah tepi, sumsum tulang, limfenodi dan organ lain .
Pemeriksaan dini CLL sangat membantu dalam pengambilan keputusan terapi
(Edouard Cornet et al, 2015).
28
perkembangan
mempertahankan
hidup
penyakit
lebih
lama
yang
lebih
dibanding
lamban
pasien
dan
dapat
dengan
rantai
29
30
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Tjokronegoro. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Bakri, Samsyul, dkk. 2009. Hematologi. Jakarta : Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan Departemen Kesehatan RI
Bakta, I Made. 2014. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:EGC.
Cornet E, Debliquis A, Rimelen V, Civic N, Docquier M, Troussard X, et al. 2015.
Developing Molecular Signatures for Chronic Lymphocytic Leukemia. PLoS
ONE 10(6): e0128990.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC
Davey P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Dewi, A. 2005. Hematologi. Jakarta: EGC
Domnech E, Gmez-Lpez G, Gzlez-Pea D, Lpez M, Herreros B, Menezes J,
et al. 2012. New Mutations in Chronic Lymphocytic Leukemia Identified by
Target Enrichment and Deep Sequencing. PLoS ONE 7(6): e38158.
Elizabeth, G. 2005. Diagnosis Prenatal Thalasemia di Malaysia. Bangi :
Universitas Kebangsaan Malaysia
Ford, J., 2013. Red blood cell morphology. International Journal of Laboratory
Hematology, pp. 351-357.
Gandosoebrata, R. 2010. Penuntun Laboratorium Klinik edisi keenam belas.
Jakarta : Dian Rakyat
George, TI. 2007. Polycythemia Vera In Chronic Myeloproliferative Syndromes.
Wintrobes Atlas of Clinical Hematology; 2:104-108.
Goljan, E. F. & Sloka, K. I., 2007. Rapid Review Laboratory Testing in Clinical
Medicine. USA: Mosby Elsevier.
Greer, J. P. et al., 2013. Wintrobe's Clinical Hematology. USA: Lippincott
Williams and Wilkins Publishers.
Hillman, R. S., Ault, K. A., Leporrier, M. & Rinder, H. M., 2010. Hematology in
Clinical Practice. USA: McGraw-Hill.
Hillman, Robert S, Kenneth A. 2005. Polycythemia. Hematology in Clinical
Practice; 4:1-25.
Hoffbrand, A.V. 2012. Kapita Selekta Hematologi edisi keempat. Jakarta : EGC
31
Hoffbrand, A. & Moss, P., 2011. Essential Haematology 6th Edition. Oxford: John
Wiley and Sons.
Lee GR, Foeserster J, Lukens J, et al. 2003. Wintrobes Clinical Hematology 11th
ed. Wiliams & Wilkins. Baltimore.
Leveno, Kenneth J, Cunningham Gary F, Gant Norman F, Alexander James,
Bloom Steven L, et al. 2009. Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Lewis, S. M. et al., 2011. Dacie and Lewis Practical Haematology. USA:
Churchill Livingstone.
Mazza, Joseph J. 2002. Classification Myeloproliferative Diseases. Manual of
Clinical Hematology; 3:93-98.
Prenggono D. 2006. Polisitemia Vera. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Penerbit IPD FKUI:702-705.
Price, S. A., Wilson, L. M. 2009. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta :EGC.
Pulte D, Jansen L, Gondos A, Katalinic A, Barnes B, Ressing M, et al. 2014.
Survival of Adults with Acute Lymphoblastic Leukemia in Germany and the
United States. PLoS ONE 9(1): e85554.
Ramsey LB, Janke LJ, Payton MA, Cai X, Paugh SW, Karol SE, et al. 2015.
Antileukemic Efficacy of Continuous vs Discontinuous Dexamethasone in
Murine Models of Acute Lymphoblastic Leukemia. PLoS ONE 10(8):
e0135134.
Rudant J, Orsi L, Bonaventure A, Goujon-Bellec S, Baruchel A, Petit A, et al.
2015. ARID5B, IKZF1 and Non-Genetic Factors in the Etiology of
Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia: The ESCALE Study. PLoS ONE
10(3): e0121348.
Shen M, Zhang Y, Saba N, Austin CP, Wiestner A, Auld DS. 2013. Identification
of Therapeutic Candidates for Chronic Lymphocytic Leukemia from a
Library of Approved Drugs. PLoS ONE 8(9): e75252.
Sianipar,
Benedictus,
Nicholas.
2014.
Trombositopenia
dan
Berbagai
32
Stuart BJ, Viera AJ. 2000. Polycythemia Vera. Polycythemia : Primary and
Secondary. Practical Diagnosis of Hematologic Disorders; 3:221-227
Supandiman I, Sumahtri R. 2003. Polisitemia Vera. Pedoman diagnosis dan terapi
Hematologi Onkologi Medik:83-90.
Tallo K, Arhana BNP, Utama Dwi L. 2013. Kejadian Perdarahan Masif Pada
Pasien Sindrom Syok Dengue Dihubungkan Dengan Jumlah Leukosit,
Trombosit, Dan Kadar Hematokrit. Jurnal Ilmu Kesehatan Anak.vol:1(2)
Tiziani S, Kang Y, Harjanto R, Axelrod J, Piermarocchi C, Roberts W, et al. 2013.
Metabolomics of the Tumor Microenvironment in Pediatric Acute
Lymphoblastic Leukemia. PLoS ONE 8(12): e82859.
Turgeon, M. L., 2005. Clinical Hematology Theory and Procedures. USA:
Lippincott Williams and Wilkins.
Yepes S, Torres MM, Andrade RE. 2015. Clustering of Expression Data in
Chronic Lymphocytic Leukemia Reveals New Molecular Subdivisions. PLoS
ONE 10(9): e0137132.
33