PENDAHULUAN
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan
untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dengan syarat
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik. Bangkitan epileptik adalah
kondisi dimana terjadi tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas
neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak1. Di Indonesia, banyak
istilah yang digunakan dalam menggambarkan kejang seperti step atau ayan.
Tenaga medis juga seringkali mengalami kesulitan ketika melakukan
wawancara kepada pasien atau keluarga mengenai deskripsi tubuh yang
bergetar atau gerakan-gerakan otot yang berkontraksi sebagai bangkitan
kejang, gangguan pergerakan (movement disorder) atau badan menggigil.
Anamnesis yang akurat sangat menentukan arah diagnosis yang tepat.
Di negara sedang berkembang, prevalensi epilepsi ditemukan lebih
tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar
antara 4-7 per 1000 orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang
berkembang. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju
diperkirakan sekitar >0,9%, lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan.
Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi
epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah dan
angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih
tinggi berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit
lebih tinggi daripada wanita1.
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan
dengan pasti diagnosis epilepsi. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak
dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat
dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi
berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Membuat
diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan
BAB II
STATUS PENDERITA NEUROLOGI
I.
IDENTIFIKASI
Nama
Umur
: 27 tahun
Agama
: Islam
: 943161
PEMERIKSAAN
Status Internus (Pemeriksaan Fisik, 18 Maret 2016 Pukul 10.40 WIB)
Kesadaran
: E4M6V5
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Nadi
Pernapasan
: 20 kali/menit
Suhu Badan
: 36,6 C
Berat badan
: 59 Kg
Tinggi badan
: 168 cm
IMT
: Normoweight (20,98)
Jantung
Paru-paru
Abdomen
Anggota Gerak
Genitalia
: Tidak diperiksa
Status Psikiatrikus
Sikap
: kooperatif
Perhatian
: ada
Ekspresi Muka
: wajar
Kontak Psikik
: ada
Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk
: Normocephali
Deformitas
: (-)
Ukuran
: normal
Fraktur
: (-)
Simetris
: simetris
Nyeri fraktur
: (-)
Hematom
: (-)
Tumor
: (-)
Pulsasi
: (-)
LEHER
Sikap
: Baik
Deformitas
: (-)
Torticolis
: (-)
Tumor
: (-)
Kaku kuduk
: (-)
Pembuluh darah
Kanan
Tidak ada kelainan
Kiri
Tidak ada kelainan
Anosmia
Hiposmia
Parosmia
N. Optikus
Visus
Kanan
6/6
Kiri
6/6
Campus visi
V.O.D
V.O.S
Anopsia
Hemianopsia
Fundus Oculi
Papil edema
Papil atrofi
Perdarahan retina
N.
Occulomotorius,
Trochlearis,
& Kanan
Kiri
Abducens
Diplopia
Celah mata
Ptosis
(-)
arah
arah
Bulat
Bulat
3 mm
3 mm
Pupil
Isokor
Isokor
Bentuk
Diameter
Deviation conjugae
Gerakan bola mata
Isokor/anisokor
Midriasis/miosis
Refleks cahaya
Langsung
Konsensuil
Akomodasi Argyl Robertson
N. Trigeminus
Motorik
Kanan
Kiri
Menggigit
Trismus
Refleks kornea
(-)
(-)
Sensorik
Dahi
Pipi
Dagu
N. Fasialis
Motorik
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Menunjukkan gigi
Lipatan nasolabialis
Bentuk muka
Kanan
Kiri
Simetris
Simetris
Sensorik
N. Cochlearis
Suara bisikan
Kanan
Kiri
Tidak ada kelainan
Detik arloji
Tes Weber
Tes Rinne
N. Vestibularis
Nistagmus
Kanan
-
Kiri
-
Vertigo
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
Arcus pharingeus
Kanan
Kiri
Simetris
Uvula
Ditengah
Gangguan menelan
Suara serak/sengau
Denyut jantung
Refleks
Muntah
Batuk
Okulokardiak
Sinus karotikus
Sensorik
Kanan
Tidak ada kelainan
Memutar kepala
N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah
Kiri
Tidak ada kelainan
Kanan
Kiri
Simetris
Fasikulasi
Atrofi papil
Disatria
8
MOTORIK
LENGAN
Gerakan
Kanan
Cukup
Kiri
Cukup
Kekuatan
Normal
Normal
Biceps
Triceps
Radius
Ulna
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Refleks patologis
Normal
Normal
Kanan
Cukup
Kiri
Cukup
Normal
Normal
(-)
(-)
(-)
(-)
Normal
Normal
Normal
Normal
Tonus
Refleks fisiologis
Hoffman Tromner
Leri
Meyer
TUNGKAI
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Paha
Kaki
Refleks fisiologis
KPR
APR
Refleks patologis
Babinsky
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rossolimo
9
SENSORIK
FUNGSI VEGETATIF
Miksi
Defekasi
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis
: tidak ada
Lordosis
: tidak ada
Gibbus
: tidak ada
Deformitas
: tidak ada
Tumor
: tidak ada
Meningocele
: tidak ada
Hematoma
: tidak ada
Nyeri ketok
: tidak ada
: tidak ada
Kerniq
: tidak ada
Lasseque
: tidak ada
Brudzinsky
-
Neck
: tidak ada
Cheek
: tidak ada
Symphisis
Leg I
: tidak ada
Leg II
: tidak ada
: tidak ada
10
Gait
Ataxia
Romberg
Hemiplegic
Dysmetri
Scissor
- jari-jari
Propulsion
- jari hidung
Histeric
Limping
Steppage
Trunk Ataxia
: tidak ada
Chorea
: tidak ada
Athetosis
: tidak ada
Ballismus
: tidak ada
Dystoni
: tidak ada
Myocloni
: tidak ada
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik
: tidak ada
Afasia sensorik
: tidak ada
Apraksia
: tidak ada
Agrafia
: tidak ada
Alexia
: tidak ada
Afasia nominal
: tidak ada
LABORATORIUM
DARAH
Tidak diperiksa
11
URINE
Tidak diperiksa
FESES
Tidak diperiksa
LIQUOR CEREBROSPINALIS
Tidak diperiksa
PEMERIKSAAN KHUSUS
IV.
Rontgen Thoraks PA
: tidak diperiksa
: tidak diperiksa
CT Scan Kepala
: tidak diperiksa
Elektroencephalografi
: tidak diperiksa
Electroneuromyografy
: tidak diperiksa
Arteriografi
: tidak diperiksa
Pneumografi
: tidak diperiksa
DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik
Diagnosis Topik
: Korteks Serebri
Diagnosis Etiologi
: Idiopatik
PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
- Edukasi
- Makan makanan bergizi dan teratur dan disarankan diet ketogenik
- Hindari kerja berat berlebihan
- Kontrol kembali ke poli saraf tanggal 4 April 2016
- Rencana pemeriksaan EEG dan CT-Scan
12
B. Farmakologis
-Fenitoin kap 2x100mg
-Kalium diklofenak kap 2x50 mg
-Betahistin tab 3x6mg
-Omeprazole kap 2x20mg
VI.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi konseptual1
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dengan syarat terjadinya minimal 1
kali bangkitan epileptik.
Bangkitan epileptik adalah kondisi dimana terjadi tanda/gejala yang bersifat
2.1.2
berikut:
Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
2.2 Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50
pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka
kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. Kematian dapat
berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang
yang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi
cedera akibat trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita
epilepsi (sudden unexplained death in epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan
aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi2.
Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada
negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000
orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang berkembang. Prevalensi epilepsi
14
pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih
tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat
1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia
dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah
dan angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih
tinggi berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih
tinggi daripada wanita3.
Seorang anak dapat mewarisi epilepsi dari kedua orang tua. Risiko terkena
epilepsi pada anak lebih tinggi jika ibu yang terkena epilepsi (2,9 8,7%)
dibanding ayah yang terkena (1-3,6%). Risiko anak terkena epilepsi dari orang tua
dengan epilepsi idiopatik yang terjadi sebelum usia 20 tahun yaitu sekitar 4%,
dibandingkan dengan 0,5% pada populasi umum. Jika ada satu saudara yang
menderita epilepsi sebelum usia 10, risiko meningkat menjadi 6%, jika salah satu
orang tua dan saudara menderita epilepsi risiko sekitar 10%, dan jika salah satu
orang tua memiliki epilepsi dan ada keluarga lain yang terkena epilepsi, risiko
sekitar 15%. Waktu pertama kali orang tua terkena epilepsi juga mempengaruhi
penurunan epilepsi pada anak. Jika orang tua terdiagnosis epilepsi sebelum usia
20 tahun maka risiko epilepsi pada anak sebesar 2,3-6%, sementara jika terkena
diatas usia 20 tahun risiko sebesar 1-3,6%4.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan
epilepsi5,6,7.
2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga kategori sebagai berikut8:
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatis dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis
15
Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
16
dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut9,10.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di
area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada
sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan
meliputi seluruh neuron di otak secara serentak.
kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik
sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan.
Disini fungsi
neuron
17
listrik
berlebihan
dan
hipersinkron
dikenal
sebagai
fokus
18
Patologi
Gejala-gejala serangan epilepsi sebagian timbul sesudah otak mengalami
19
Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989.
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):15
1. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)
-
20
21
terjaga
8) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
satu di atas
9) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi
yang spesifik
b. Simptomatik atau kriptogenikn(berurutan sesuai dengan
peningkatan usia)
1)
2)
3)
4)
c. Simtomatis
1) Etiologi non spesifik
a) Ensefalopati mioklonik dini
b) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression
c) Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
1)
Sindrom spesifik
2)
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a.
b.
c.
d.
Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
22
Manifestasi Klinis17,18,19
1. Bangkitan Umum
a. Grand mal (Perancis = penyakit besar) atau bangkitan Tonikklonik generalized
Kejang ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi.
Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan
ritmis dari anggota badan dan hilangnya untuk sementara
kesadaran dan tonus. Terdiri atas 3 fase; fase tonik, fase klonik
dan fase pasca kejang. Fase tonis ini berlangsung kira-kira 1
menit untuk kemudian disusul oleh fase klonis dengan kejangkejang dari kaki-tangan, rahang dan muka. Lamanya serangan
berkisar antara 1 dan 2 menit yang disusul dengan keadaan
pingsan selama beberapa menit dan kemudian sadar kembali
dengan perasaan kacau serta depresi.
23
24
lebih
terhadap
hipoksia/infeksi.Cirinya
ada
tanda
25
2.8.
Diagnosis Banding20
Tabel 1. Diagnosis Banding
Kejang epileptik
Syncope
Non
epileptik Aritmia
disorder
Wanita (3:1)
seksual
ketergantungan
fisik
obat,
panik
Ansietas
jantung
ketergantungan
alkohol,
cardiac
Penyakit
Serangan
kongenital
dan
kejang
demam
yang
berkepanjangan,
meningitis,
encephalitis,
stroke,
riwayat
keluarga (+)
Faktor Pencetus Perubahan posisi
Stress
saat serangan:
Prosedur medis
Distress sosial
sosial
Kurang tidur
Berdiri lama
Putus alkohol
Gerakan
Stimulasi fotik
(carotis
Karakteristik
baroreseptor)
Lightheadedness
Gejala
Ketakutan
Olahraga
Situasi
leher
awal Palpitasi
tidak khas
Perasaan
Gelap, kabur
tidak
Streotipi,
realistis
paroksismal
Sulit
(detik),
disertai aura
Karakteristik
bisa
bernafas,
Pucat
Mirip
dengan Pucat
Bisa
kesemutan
Agitasi
Nafas cepat
serangan:
dan
Gerakan:
Kaku
pada
dan tangan
diikuti
dengan
(carpopedal
gerakan
jerking
pengangkatan
spasm)
k-hentak
yang ritmis
Gerakan
tidak bergerak
otomatism
sama sekali.
Cyanosis
Bisa
terjadi
dimanapun
dan
kapanpun
Gejala
sisa Lesu
Lesu
setelah serangan:
Mengantuk
Lidah tergigit
Nyeri
anggota
gerak
Defisit
neurologis fokal
(todds paralisis)
2.4 DIAGNOSIS
2.4.1 Anamnesis21
Langkah awal adalah menentukan apakah ini serangan kejang atau bukan
dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang
merawat dan saksi mata saat serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan
perlu diajukan untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama, dan sesudah
serangan kejang itu berlangsung adalah sebagai berikut:
1.
Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberikan gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya disebabkan oleh gangguan
pada masa perinatal, kelainan metabolik, dan malformasi kongenital. Serangan
kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Serangan
27
kejang pada usia sekitar 70 tahun keatas biasanya disebabkan karena kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak.
2.
3.
4.
28
Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah post ictal
period. Setelah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien biasanya
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi
sesudah
serangan
kejang
disebut
Todds
Paralysis
yang
6.
7.
8.
9.
10.
29
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu untuk
mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau
mungkin ada aura, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11.
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
30
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi
yang dapat diketahui melalui pertanyaan berikut:
1)Apa latar belakang pendidikan pasien?
2)Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana
sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik dan dapat membantu mengetahui
tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien.
3)Apakah pasien bekerja dan apa jenis pekerjaannya?
4)Pasien epilepsi yang serangan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup
secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau
penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan
tersendiri.
5)Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor?
6)Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada
gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor.
7)Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral dan merencanakan kehamilan pada
waktu yang akan datang?
8)Pasien epilepsi sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi. Bagi pasien yang sedang hamil diperlukan
obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya neural tube
defects pada bayinya.
9)Apakah pasien peminum alkohol?
10) Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum dan dapat
menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .
c. Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga dapat menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang
spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dengan
manifestasinya berupa serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic
epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy, dan
sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus.
d. Riwayat alergi
31
e. Riwayat pengobatan
Apabila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu
ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari, dan
berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek
sampingnya.
f. Riwayat pemeriksaan penunjang lain
Untuk mengetahui apakah pasien pernah melakukan pemeriksaan penunjang
seperti elektroensefalografi, CT Scan kepala atau MRI.
2.4.2
Pemeriksaan Fisik22
1. Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
a. Trauma kepala
b. Tanda-tanda infeksi
c. Kelainan congenital
d. Kecanduan alcohol atau napza
e. Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
f. Tanda-tanda keganasan.
2. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
a. Paresis Todd
32
kecurigaan
epilepsi
bertujuan
untuk
kematian2.
Terapi farmakologis
Terapi dimulai dengan monoterapi dengan OAE pilihan yang sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis
rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom
33
epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologis, interaksi antar
OAE.Prinsip terapi farmakologi:
1. OAE mulai diberikan bila:
a.
b.
c.
OAE Lini
OAE Lini
OAE yang
Bangkitan
Pertama
Kedua
dapat
sebaiknya
Sodium
Clobazam
dipertimbangkan
Clonazepam
dihindari
Bangkitan
umum
Valproate
Levetiracetam
Phenobarbital
Lamotrigine
Oxcarbazepine
Phenytoin
tonik
klonik
Topiramate
Acetazolamide
Bangkitan
Carbamazepine
Sodium
Clobazam
Carbamazepine
lena
Valproate
Topiramate
Gabapentin
34
Bangkitan
Lamotrigine
Sodium
Clobazam
Oxcarbazepine
Carbamazepine
mioklonik
Valproate
Topiramate
Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Lamotrigine
Bangkitan
Sodium
Piracetam
Clobazam
Phenobarbital
Carbamazepine
tonik
Valproate
Levetiracetam
Phenytoin
Oxcarbazepine
Bangkitan
Lamotrigine
Sodium
Topiramate
Clobazam
Phenobarbital
Carbamazepine
atonik
Valproate
Levetiracetam
Acetazolamide
Oxcarbazepine
Bangkitan
Lamotrigine
Carbamazepine
Topiramate
Clobazam
Clonazepam
fokal
Oxcarbazepine
Gabapentin
Phenobarbital
dengan/tanpa
Sodium
Levetiracetam
Acetazolamide
umum
Valproate
Phenytoin
sekunder
Topiramate
Tiagabine
Phenytoin
Lamotrigine
Dosis Awal
Dosis
Jumlah Dosis
Waktu Paruh
Waktu
(mg/hari)
Rumatan
Per Hari
Plasma
Tercapainy
(Jam)
Steady State
(mg/hari)
Carbamazepine
Phenytoin
Asam valproat
Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam
Oxcarbazepine
Levatiracetam
Topiramate
Gabapentin
Lamotrigine
400-600
200-300
500-1000
50-100
1
10
600-900
1000-2000
100
900-1800
50-100
400-1600
200-400
500-2500
50-200
4
10-30
600-3000
1000-3000
100-400
900-3600
20-200
2-3x
1-2x
2-3x
1
1 atau 2
2-3x
2-3x
2x
2x
2-3x
1-2x
15-35
10-80
12-18
50-170
20-60
10-30
8-15
6-8
20-30
5-7
15-35
35
(Hari)
2-7
3-15
2-4
2-10
2-6
2
2-5
2
2-6
Obat
Efek Samping
Carbamazepine
Phenytoin
Asam valproat
Phenobarbital
Clonazepam
Terkait Dosis
Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual,
Ruam
Nistagmus,
muntah,
teratogenik
Jerawat, coarse facies, hirsutism, lupus
megaloblastik
Tremor, berat badan naik, dyspepsia,
Pankreatitis
Kelelahan,
perifer
Ruam makulopapular, eksfoliasi, NET,
ataksia,
mual,
restlegless,
depresi,
Idiosinkrasi
morbiliform, agranulositosis,
akut,
hepatotoksik,
hepatotoksik,
arthritic
Phenytoin
Carbamazepine
Valproic acid
Phenobarbital
Gabapentin
Lamotrigine
Topiramate
Zonisamide
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Clonazepam
Bangkita
Bangkita
Bangkita
Bangkita
Bangkita
n fokal
n lena
A
A
B
C
C
C
C
A
A
C
D
sekunder
A
A
B
C
C
C
C
A
A
C
-
mioklonik
D
umum
tonik-
klonik
C
C
C
C
D?
C
C
D?
C
-
Keterangan:
A: Efektif sebagai monoterapi
B: Sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
C: Mungkin efektif sebagai monoterapi
D: Berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi
36
D?
-
changes,
b.
c.
d.
b.
Epilepsi simtomatik
c.
d.
e.
f.
g.
h.
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis
OAE), kemudian dievaluasi kembali.
2.5.2
Terapi non-farmakologis
Beberapa terapi non-farmakologis yang dapat digunakan oleh penyandang
37
BAB IV
ANALISIS KASUS
Penderita datang dengan keluhan utama mengalami kejang yang semakin sering
dan semakin lama. Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang
epileptic, seperti pingsan (Syncope), non epileptik attack disorder, aritmia cardiac,
dan serangan panik. Untuk membedakan dari penyakit tersebut kita lihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel.6 Perbandingan kondisi pasien dan beberapa diagnosis banding
38
Kondisi
Kejang
Syncope
Pasien
Riwayat
epileptik
Trauma kepala,
penyakit
Non epileptik
Aritmia
Menggunakan
disorder
Wanita (3:1)
cardiac
Penyakit
alkohol,
obat
Ada
jantung
dahulu:
ketergantungan
antihipertensi
ketergantungan
kongenital
Riwayat
obat,
atau
kejang 4 tahun
demam
yang
berkepanjangan
lalu,
wanita.
kejang
yang
Serangan
panik
Ansietas
antidepresan
meningitis,
encephalitis,
stroke, riwayat
Faktor
keluarga (+)
Kurang tidur
Perubahan posisi
Stress
Pencetus saat
Putus alkohol
Prosedur medis
Distress sosial
serangan:
Stimulasi fotik
Berdiri lama
Penderita
Gerakan
kelelahan atau
(carotis
ketika
baroreseptor)
Olahraga
Situasi
sosial
leher
penderita
terlambat
makan
Karakteristik
Streotipi,
Lightheadedness
Gejala
klinis
paroksismal
Gejala visual
tidak khas
menjelang
(detik),
Gelap, kabur
serangan:
disertai aura
bisa
awal
Palpitasi
Ketakutan
Perasaan
tidak
realistis
Penderita
Sulit
merasa pusing
bernafas,
berputar
Karakteristik
Gerakan: tonuk
Pucat
klinis
pada
diikuti dengan
Bisa
disertai
saat serangan:
gerakan jerking
kaku
dan
Saat
yang ritmis
menghentak-
lengan
Gerakan
hentak sebentar
beraturan,
menghenta
tangan
pengangkatan
k-hentak
(carpoped
pelvis,
sebentar
al spasm)
kejang
penderita
tidak
tangan
Pucat
kesemutan
Agitasi
kejang epileptik,
Bisa
Nafas
tetapi
disertai
cepat
Mirip
sadar, otomatism
Cyanosis
39
dengan
gerakan
tidak
kadang
kaku
dan
Kaku pada
penderita
Bisa
terjadi
mengepal,
dimanapun dan
mata
kapanpun
tidak
bergerak
sama sekali.
penderita
melirik ke atas
terusmenerus,
lengan
dan
tungkai
ekstensi serta
kaku,
lalu
diikuti dengan
kondisi tubuh
gemetar,
mulut
penderita
tampak
mengot
saat
kejang,
penderita
menggigit
lidahnya,
disertai
keluarnya
busa
mulut,
pada
dan
keluarnya
urine
serta
feses
Gejala
sisa
Mengantuk
setelah
Lidah tergigit
serangan:
Nyeri anggota
Sakit kepala
gerak
Pusing
Defisit
Lesu
Lesu
40
Lidah tergigit
neurologis
fokal
(Todds
paralysis)
Dari tabel diatas dapat disingkirkan segala diagnosis banding dari epilepsi.
Dari anamnesis didapatkan riwayat kejang sejak 4 tahun, tidak minum obat-obat
terlarang, obat antihipertensi, dan antidepresan, tidak mengalami gangguan
kecemasan, riwayat kejang pada keluarga disangkal, riwayat trauma kepala
disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat hipertensi, DM, dan stroke
disangkal. Hal ini dapat menyingkirkan penyakit syncope,aritmia cardiac, dan
ansietas.
Dari karakter klinis sebelum terjadi serangan diketahui penderita merasa
kepalanya pusing sebelum kejang. Ini merupakan aura sebelum kejang. Hal ini
tidak ditemukan pada syncope,aritmia cardiac, non epileptik disorder dan
ansietas.
Dari karakter klinis saat serangan diketahui saat kejang penderita tidak sadar,
tangan penderita mengepal, mata penderita melirik ke atas terus-menerus, lengan
dan tungkai ekstensi serta kaku, lalu diikuti dengan kondisi tubuh gemetar, mulut
penderita tampak mengot saat kejang, penderita menggigit lidahnya, disertai
keluarnya busa pada mulut, dan keluarnya urine serta feses. Hal ini tidak
ditemukan pada syncope,aritmia cardiac, non epileptik disorder dan ansietas.
Dan dari gejala sisa serangan didapatkan sakit kepala, pusing, dan lidah
tergigit yang merupakan gejala setelah kejang epileptik dan dapat menyingkirkan
diagnosis banding syncope,aritmia cardiac, non epileptik disorder dan ansietas.
Setelah kejang epilesi ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan tipe
bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981, dari anamnesis didapatkan adanya
gerakan tonik seperti tangan penderita seperti ingin mencengkeram, mata
penderita melirik ke atas terus-menerus, lengan dan tungkai ekstensi serta kaku;
setelah itu diikuti dengan kondisi tubuh gemetar, mulut penderita tampak mengot
saat kejang, penderita menggigit lidahnya, disertai keluarnya busa pada mulut, dan
keluarnya urine serta feses yang menandai fase klonik. Jadi, jenis bangkitan
epilepsi menurut ILAE
41
epilepsi umum idiopatik tonik-klonik pada saat terjaga. Idiopatik dipilih karena
etiologi dari pasien ini belum jelas. Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi,
stroke, DM, penyakit autoimun, infeksi sebelum terjadinya kejang pertama kali,
trauma, kelainan kongenital, atau sedang dalam kondisi mengonsumsi obat jangka
panjang. Saat terjaga dipilih karena pasien mengalami kejang pada saat pasien
terjaga.
Pada pemeriksaan fisik baik generalis maupun neurologis tidak ditemukan
kelainan, hal ini sering terjadi pada penderita epilepsi yang sedang tidak kejang.
Dan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik hanya ditemukan gejala iritatif berupa
kejang, namun tidak terdapat gangguan sensorik, motorik, dan fungsi luhur, dari
hal tersebut kami mengambil kesimpulan diagnosis topiknya di korteks cerebri
karena gejala iritatif ditemukan jika terdapat lesi di korteks cerebri.
Tujuan terapi untuk epilepsi ini adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental
yang dimilikinya. Prinsip terapinya adalah monoterapi dahulu dengan dosis
rendah terlebih dahulu lalu perlahan-lahan dinaikkan sampai dosis efektif atau
timbul efek samping. Terapi non-farmakologisnya kami
berikan edukasi
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Kurnia Kusumastuti dan Mudjiani Basuki. Definisi, Klasifikasi, dan Etiologi
Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Cetakan Pertama. Airlangga University
Press. Surabaya; 2014; 1-10.
2. Lionel Ginsberg. Epilepsi. Lecture Notes Neurology. Edisi Kedelapan. Penerbit
Erlangga. Jakarta; 2008; 79, 83.
3. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL. Epidemiology
of epilepsy in urban areas of the peoples republic China. Epilepsia.2010;
26(5):391-4.
4. M D OBrien, S K Gilmour-White. Management of epilepsy in women. Medical
journal. 2005; 81:955; p 278-285
5. Alberto V, Claudia D, Sergio A, Carla V, Piero P. Diagnosis and management of
catamenial seizures: a review. International Journal of Womens Health 2012:4
535541
6. Alberto V, Claudia D, Angelika M, Giangennaro C, Pasquale P, and Francesco C.
Antiepileptic drugs, sex hormones, and PCOS. Epilepsia, 52(2):199211, 2011
7. Martha J.M. Epilepsy in Women. Am Fam Physician. 2002 Oct 15;66(8):14891495.
8. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management.
Blandom Medical Publishing, UK;2005;1-26.
9. Bernard S. Chang, M.D., and Daniel H. Lowenstein, M.D. Epilepsy. New england
journal medicine. 2003; 349;13; p 1257-1266
10.
Martha
J.M.
Epilepsy
in
Women.
Am
Fam
Cartlidge NEF.
43
13. Konrad J. W. Weakness and focal sensory deficits in the postictal state. Epilepsy
& Behavior 19. 2010; 138139
14. Marie Trava King dan Mary Carter Lombardo. Epilepsi dalam Price, S.A dan
Wilson, L.M (Ed). Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta; 2006; 212, 213.
15. Commission on Classification and Terminology of the International League
Againts Epilepsy. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure, Epilepsia 1981;22:489-501.
16. Commission on Classification and Terminology of the International League
Againts Epilepsy. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure, Epilepsia 1989;30(4):389-399.
17. Goodman and Gilman. Dasar Farmaklogi dan Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC,
2008. Hal 506-531
18. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006. Hal 1157-1166
19. Arif, A. Bahan Kuliah Antiepilepsi. Farmakologi. FK UNCEN. Jayapura, 2011.
20. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Mangement of
Epilepsy in Adults A national Clinical Guideline. SIGN. 2003.
21. Utoyo Sunaryo. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.
Vol. 1. No. 1. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya; 2007;
40-43.
22. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P.Classification of Epilepsy. In Engel J,
Pedley TA. Epilepsy A Comprehensive Textbook 2ndEd.Vol one. Lippincott
Williams & Wilkins, 2008, pp: 783-784.
23. Lionel Ginsberg. Epilepsi. Lecture Notes Neurology. Edisi Kedelapan. Penerbit
Erlangga. Jakarta; 2008; 79, 83.
24. Suryani Gunadharma, Endang Kustiowati, Machlusil Husna. Terapi. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Cetakan Pertama. Airlangga University Press. Surabaya;
2014; 22-35.
25. David Rubenstein, David Wayne, John Bradley. Neurologi. Lecture Notes:
Kedokteran Klinis. Edisi Keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta; 2007; 109.
44