Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan
untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dengan syarat
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik. Bangkitan epileptik adalah
kondisi dimana terjadi tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas
neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak1. Di Indonesia, banyak
istilah yang digunakan dalam menggambarkan kejang seperti step atau ayan.
Tenaga medis juga seringkali mengalami kesulitan ketika melakukan
wawancara kepada pasien atau keluarga mengenai deskripsi tubuh yang
bergetar atau gerakan-gerakan otot yang berkontraksi sebagai bangkitan
kejang, gangguan pergerakan (movement disorder) atau badan menggigil.
Anamnesis yang akurat sangat menentukan arah diagnosis yang tepat.
Di negara sedang berkembang, prevalensi epilepsi ditemukan lebih
tinggi daripada negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar
antara 4-7 per 1000 orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang
berkembang. Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju
diperkirakan sekitar >0,9%, lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan.
Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi
epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia dekade 1-2
dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah dan
angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih
tinggi berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit
lebih tinggi daripada wanita1.
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan
dengan pasti diagnosis epilepsi. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak
dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat
dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi
berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Membuat
diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan

penunjang diagnostik saja, informasi yang diperoleh sesudah melakukan


wawancara yang lengkap dengan pasien maupun

saksi mata yang

mengetahui serangan kejang tersebut terjadi juga penting untuk mendukung


diagnosis yang tepat. Pemeriksaan penunjang juga penting untuk dilakukan
untuk memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang
mendasari, jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi3.

BAB II
STATUS PENDERITA NEUROLOGI
I.

IDENTIFIKASI
Nama

: Tn. Randy Saputra

Umur

: 27 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki


Alamat

: Lr. Cendrawasih I no 26 Plaju Ilir Palembang

Agama

: Islam

Tanggal MRS : 18 Maret 2016 pukul 08.50 WIB


No. RM
II.

: 943161

ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis, 18 Maret 2016 Pukul 10.30


WIB)
Penderita berobat ke poli saraf RSMH karena mengalami kejang yang
semakin sering dan semakin lama yang terjadi 5 hari sebelum berobat ke RSMH.
4 tahun yang lalu penderita mengalami kejang pertama kali saat istirahat
selama 15 menit. Saat kejang penderita tidak sadar, tangan penderita mengepal,
mata penderita melirik ke atas terus-menerus, lengan dan tungkai ekstensi serta
kaku, lalu diikuti dengan bergetarnya seluruh tubuh, keluar busa dari mulut (-),
keluarnya urin dan feses saat kejang (-), lidah tergigit (-). Sebelum kejang
penderita merasa pusing dan biasanya kejang terjadi jika penderita mengalami
kelelahan dan terlambat makan. Setelah kejang penderita langsung sadar namun
mengalami sakit kepala dan pusing. Penderita masih dapat mengingat apa yang
terjadi sebelum dan sesudah kejang. Frekuensi kejang biasanya 1 kali sebulan,
interval terpanjang antar bangkitan adalah 1 tahun. Penderita berobat ke mantri
dan diberi obat makan. Sakit kepala agak berkurang, namun kejangnya masih
kambuh. 7 hari sebelum berobat ke RSMH penderita mengalami kejang setelah
penderita pulang dari bekerja. Pola kejangnya sama seperti sebelumnya.
Keesokannya 2 hari berturut-turut penderita mengalami kejang kembali. 5 hari
sebelum berobat ke RSMH, pada malam hari pasien terbangun dari tidur,

penderita merasa kepalanya pusing berputar lalu penderita tiba-tiba kejang-kejang


seluruh tubuh selama 30 menit. Saat kejang penderita tidak sadar, tangan
penderita mengepal, mata penderita melirik ke atas terus-menerus, lengan dan
tungkai ekstensi serta kaku, lalu diikuti dengan kondisi tubuh gemetar, mulut
penderita tampak mengot saat kejang, penderita menggigit lidahnya, disertai
keluarnya busa pada mulut, dan keluarnya urine serta feses. Penderita sadar
setelah 1 jam berikutnya dan merasa sakit kepala yang sangat hebat dan pusing
berputar. Penderita masih dapat mengingat apa yang terjadi sebelum dan sesudah
kejang. Penderita berobat ke dokter dirujuk ke RS Palembang. Penderita berobat
ke RS BARI, sakit kepala penderita berkurang dan penderita tidak kejang lagi
setelah diberi obat tablet berwarna putih yang dimakan langsung 3 tablet dalam
sehari dan obat kapsul berwarna merah yang dimakan 2 kali sehari.
Pada saat serangan penderita tidak merasa jantung berdebar-debar, berkeringat
dingin, dan pucat. Penderita tidak minum obat-obat terlarang, obat antihipertensi,
dan antidepresan. Riwayat kejang ada, sejak 4 tahun yang lalu namun penderita
tidak meminum obat anti epilepsi. Riwayat kejang demam saat masih kecil
disangkal. Riwayat kejang pada keluarga disangkal. Riwayat trauma kepala
disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Penderita menyangkal mengalami
kecemasan atau ketakutan. Riwayat hipertensi, DM, dan stroke disangkal.
Penderita mempunyai riwayat sakit maag. Penderita dilahirkan secara normal.
Penyakit seperti ini diderita untuk yang kesekian kalinya.
III.

PEMERIKSAAN
Status Internus (Pemeriksaan Fisik, 18 Maret 2016 Pukul 10.40 WIB)
Kesadaran

: E4M6V5

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.

Pernapasan

: 20 kali/menit

Suhu Badan

: 36,6 C

Berat badan

: 59 Kg

Tinggi badan

: 168 cm

IMT

: Normoweight (20,98)

Jantung

: HR = 80 kali/menit, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru

: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

: Datar, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal.

Anggota Gerak

: Tidak ada kelainan

Genitalia

: Tidak diperiksa

Status Psikiatrikus
Sikap

: kooperatif

Perhatian

: ada

Ekspresi Muka

: wajar

Kontak Psikik

: ada

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk

: Normocephali

Deformitas

: (-)

Ukuran

: normal

Fraktur

: (-)

Simetris

: simetris

Nyeri fraktur

: (-)

Hematom

: (-)

Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

Tumor

: (-)

Pulsasi

: (-)

LEHER
Sikap

: Baik

Deformitas

: (-)

Torticolis

: (-)

Tumor

: (-)

Kaku kuduk

: (-)

Pembuluh darah

: tidak ada pelebaran

PEMERIKSAAN NERVI CRANIALES


N. Olfaktorius
Penciuman

Kanan
Tidak ada kelainan

Kiri
Tidak ada kelainan

Anosmia

Hiposmia

Parosmia

N. Optikus
Visus

Kanan
6/6

Kiri
6/6

Campus visi

V.O.D

V.O.S

Anopsia

Hemianopsia

Fundus Oculi
Papil edema
Papil atrofi
Perdarahan retina

N.

Occulomotorius,

Trochlearis,

& Kanan

Kiri

Abducens
Diplopia

Celah mata

Ptosis

Sikap bola mata


Strabismus
(-)
Exophtalmus
(-)
Enophtalmus

Baik ke segala Baik ke segala

(-)

arah

arah

Bulat

Bulat

3 mm

3 mm

Pupil

Isokor

Isokor

Bentuk
Diameter

Deviation conjugae
Gerakan bola mata

Isokor/anisokor
Midriasis/miosis
Refleks cahaya
Langsung
Konsensuil
Akomodasi Argyl Robertson

N. Trigeminus
Motorik

Kanan

Kiri

Menggigit
Trismus
Refleks kornea

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

(-)

(-)

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Sensorik
Dahi
Pipi
Dagu

N. Fasialis
Motorik
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Menunjukkan gigi
Lipatan nasolabialis
Bentuk muka

Kanan

Kiri

Simetris

Simetris

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Simetris

Sensorik

2/3 depan lidah


Otonom
Salivasi
Lakrimasi
Chvosteks sign

N. Cochlearis
Suara bisikan

Tidak ada kelainan


Simetris
Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Kanan

Kiri
Tidak ada kelainan

Detik arloji

Tes Weber

Tidak ada lateralisasi

Tes Rinne

N. Vestibularis
Nistagmus

Kanan
-

Kiri
-

Vertigo
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
Arcus pharingeus

Kanan

Kiri
Simetris

Uvula

Ditengah

Gangguan menelan

Suara serak/sengau

Denyut jantung

Tidak ada kelainan

Refleks
Muntah
Batuk
Okulokardiak
Sinus karotikus

Tidak ada kelainan

Sensorik

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan


Tidak ada kelainan

1/3 belakang lidah


Tidak ada kelainan
N. Accessorius
Mengangkat bahu

Kanan
Tidak ada kelainan

Memutar kepala

N. Hypoglossus
Menjulurkan lidah

Kiri
Tidak ada kelainan

Kanan

Kiri
Simetris

Fasikulasi

Atrofi papil

Disatria
8

MOTORIK
LENGAN
Gerakan

Kanan
Cukup

Kiri
Cukup

Kekuatan

Normal

Normal

Biceps
Triceps
Radius
Ulna

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Refleks patologis

Normal

Normal

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan

Kanan
Cukup

Kiri
Cukup

Normal

Normal

(-)

(-)

(-)

(-)

Normal

Normal

Normal

Normal

Tonus
Refleks fisiologis

Hoffman Tromner
Leri
Meyer

TUNGKAI
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Paha
Kaki
Refleks fisiologis
KPR
APR
Refleks patologis
Babinsky
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rossolimo
9

SENSORIK

: tidak ada kelainan

FUNGSI VEGETATIF
Miksi

: tidak ada kelainan

Defekasi

: tidak ada kelainan

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis

: tidak ada

Lordosis

: tidak ada

Gibbus

: tidak ada

Deformitas

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Meningocele

: tidak ada

Hematoma

: tidak ada

Nyeri ketok

: tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk

: tidak ada

Kerniq

: tidak ada

Lasseque

: tidak ada

Brudzinsky
-

Neck

: tidak ada

Cheek

: tidak ada

Symphisis

Leg I

: tidak ada

Leg II

: tidak ada

: tidak ada

GAIT DAN KESEIMBANGAN

10

Gait

Keseimbangan dan Koordinasi

Ataxia

: tidak ada kelainan

Romberg

: tidak ada kelainan

Hemiplegic

: tidak ada kelainan

Dysmetri

: tidak ada kelainan

Scissor

: tidak ada kelainan

- jari-jari

: tidak ada kelainan

Propulsion

: tidak ada kelainan

- jari hidung

: tidak ada kelainan

Histeric

: tidak ada kelainan

- tumit-tumit : tidak ada kelainan

Limping

: tidak ada kelainan

Rebound phenomen : tidak ada kelainan

Steppage

: tidak ada kelainan

Dysdiadochokinesis : tidak ada kelainan

Astasia-Abasia: tidak ada kelainan

Trunk Ataxia

Limb Ataxia : tidak ada kelainan


GERAKAN ABNORMAL
Tremor

: tidak ada

Chorea

: tidak ada

Athetosis

: tidak ada

Ballismus

: tidak ada

Dystoni

: tidak ada

Myocloni

: tidak ada

FUNGSI LUHUR
Afasia motorik

: tidak ada

Afasia sensorik

: tidak ada

Apraksia

: tidak ada

Agrafia

: tidak ada

Alexia

: tidak ada

Afasia nominal

: tidak ada

LABORATORIUM
DARAH
Tidak diperiksa

11

: tidak ada kelainan

URINE
Tidak diperiksa
FESES
Tidak diperiksa
LIQUOR CEREBROSPINALIS
Tidak diperiksa
PEMERIKSAAN KHUSUS

IV.

Rontgen Thoraks PA

: tidak diperiksa

Rontgen Columna Vertebralis

: tidak diperiksa

CT Scan Kepala

: tidak diperiksa

Elektroencephalografi

: tidak diperiksa

Electroneuromyografy

: tidak diperiksa

Arteriografi

: tidak diperiksa

Pneumografi

: tidak diperiksa

DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik

: Epilepsi umum tonik-klonik

Diagnosis Topik

: Korteks Serebri

Diagnosis Etiologi

: Idiopatik

Diagnosis menurut ILAE 1981: Bangkitan umum tonik-klonik


Diagnosis menurut ILAE 1989: Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik
pada saat terjaga
V.

PENATALAKSANAAN
A. Norfarmakologis
- Edukasi
- Makan makanan bergizi dan teratur dan disarankan diet ketogenik
- Hindari kerja berat berlebihan
- Kontrol kembali ke poli saraf tanggal 4 April 2016
- Rencana pemeriksaan EEG dan CT-Scan

12

B. Farmakologis
-Fenitoin kap 2x100mg
-Kalium diklofenak kap 2x50 mg
-Betahistin tab 3x6mg
-Omeprazole kap 2x20mg
VI.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

13

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi konseptual1
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, dengan syarat terjadinya minimal 1
kali bangkitan epileptik.
Bangkitan epileptik adalah kondisi dimana terjadi tanda/gejala yang bersifat
2.1.2

sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.


Definisi operasional/praktis1
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala

berikut:
Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan

jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal

60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks.


Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor
pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditori, somatosensitif, dan
somatomotor.

2.2 Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50
pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka
kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. Kematian dapat
berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang
yang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi
cedera akibat trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita
epilepsi (sudden unexplained death in epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan
aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi2.
Prevalensi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi daripada
negara maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 per 1000
orang dan 5-74 per 1000 orang di negara sedang berkembang. Prevalensi epilepsi

14

pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih
tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat
1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia
dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Hal ini disebabkan insiden yang rendah
dan angka harapan hidup rata-rata di negara maju lebih tinggi. Prevalensi lebih
tinggi berdasarkan jenis kelamin di negara Asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih
tinggi daripada wanita3.
Seorang anak dapat mewarisi epilepsi dari kedua orang tua. Risiko terkena
epilepsi pada anak lebih tinggi jika ibu yang terkena epilepsi (2,9 8,7%)
dibanding ayah yang terkena (1-3,6%). Risiko anak terkena epilepsi dari orang tua
dengan epilepsi idiopatik yang terjadi sebelum usia 20 tahun yaitu sekitar 4%,
dibandingkan dengan 0,5% pada populasi umum. Jika ada satu saudara yang
menderita epilepsi sebelum usia 10, risiko meningkat menjadi 6%, jika salah satu
orang tua dan saudara menderita epilepsi risiko sekitar 10%, dan jika salah satu
orang tua memiliki epilepsi dan ada keluarga lain yang terkena epilepsi, risiko
sekitar 15%. Waktu pertama kali orang tua terkena epilepsi juga mempengaruhi
penurunan epilepsi pada anak. Jika orang tua terdiagnosis epilepsi sebelum usia
20 tahun maka risiko epilepsi pada anak sebesar 2,3-6%, sementara jika terkena
diatas usia 20 tahun risiko sebesar 1-3,6%4.
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti
hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan
kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan
epilepsi5,6,7.
2.3 Etiologi
Etiologi epilepsi dibagi menjadi tiga kategori sebagai berikut8:
1. Idiopatik
Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatis dengan penyebab yang belum diketahui. Gambaran klinis
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis
15

Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya


cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
2.4.
Faktor Resiko8
1. Faktor resiko untuk epilepsy meliputi:
a. Bayi yang lahir kurang bulan.
b. Bayi yang mengalami kejang pada satu bulan pertama setelah dilahirkan.
c. Bayi yang lahir dengan struktur otak yang abnormal.
d. Perdarahan didalam otak.
e. Pembuluh darah abnormal didalam otak.
f. Tumor otak.
g. Infeksi pada otak, abses meningitis atau ensefalitis.
h. Serebral palsy.
2. Faktor yang dapat memicu terjadinya kejang yaitu:
a. Lupa minum obat
b. Kurang tidur
c. Sakit (dengan atau tanpa demam)
d. Stress psikologi yang berat
e. Penggunaan alcohol yang berat
f. Penggunaan kokain atau ekstasi
g. Kurangnya nutrisi seperti vitamin dan mineral
h. Siklus menstruasi
2.5.

Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik


dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam
keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau
dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan
bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme
pengaturan ini adalah:
1. Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
2. GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory
neurotransmitter.

16

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan


asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5HT) dan peptida.

Neurotransmiter ini hubungannya

dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut9,10.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di
area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada
sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan
meliputi seluruh neuron di otak secara serentak.

Lokasi yang berbeda dari

kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik

menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis - jenis serangan

epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:


1. Keadaaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis)11,12. Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
2.

sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan.

Disini fungsi

neuron

penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu


kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di
otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada
berbagai tempat di otak9,10.
3. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada
tiga kejadian yang saling terkait :
1. Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
2. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
3.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul9,10.

17

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,


bermuatan

listrik

berlebihan

dan

hipersinkron

dikenal

sebagai

fokus

epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari


sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan
akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah
meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus
dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu
dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron.
(karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata
serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada
keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)
depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas
serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus13.

18

Gambar 1. Patofisiologi Epilepsi


2.6.

Patologi
Gejala-gejala serangan epilepsi sebagian timbul sesudah otak mengalami

gangguan, sedangkan beratnya serangan epilepsi tergantung dari lokasi dan


keadaan patologi. Lesi pada otak tengah, talamus, dan korteks serebri
kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi pada serebelum dan
batang otak biasanya tidak mengakibatkan serangan epilepsi.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu, yaitu:
1. Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.
2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang
secara berturut-turut.

19

3. Mungkin terjadi polarisasi yang abnormal (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi


atau terhentinya polarisasi).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron. Pada
waktu terjadi serangan keseimbangan elektrolit pada tingkat neuronal mengalami
perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan neuron mengalami
depolarisasi.
Perubahan-perubahan metabolisme terjadi selama serangan dan segera
sesudah serangan. Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Kebutuhan metabolisme juga meningkat secara
drastis selama serangan kejang. Aliran elektris yang dikeluarkan oleh sel-sel saraf
motoris dapat meningkat sampai 1000 per detik. Aliran darah serebral meningkat,
demikian juga pernapasan dan glikolisis jaringan. Selama dan sesudah serangan
cairan serebrospinal mengandung asetilkolin, sedangkan kadar asam glutamat
mungkin menurun selama serangan. Bukti histopatologis mendukung hipotesis
bahwa lesi sesungguhnya bersifat neurokimia, bukan struktural. Tidak ada satu
faktor patologis tetap yang ditemukan14.
2.6.

Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989.
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):15

1. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana (kesadaran baik)
-

Dengan gejala motorik

Dengan gejala sensorik

Dengan gejala otonom

Dengan gejala psikis

b. Bangkitan parsial kompleks (kesadaran terganggu)


- Bangkitan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
-Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

20

1) Parsial sederhana yang menjadi umum


2) Parsial kompleks menjadi umum
3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks lalu menjadi umum
2. Bangkitan umum
a. Absence (Lena)
1) Tipikal lena
2) Atipikal lena
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para
klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu
1. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
2. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas
pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
adalah :16
1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
2) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksisimal pada daerah
oksipital
3) Epilepsi primer saat membaca ( primary reading epilepsy)
b. Simptomatik
1) Epilepsi partial kontinu yang kronis progrsif pada anak-anak
(Kojenikows Syndrome)

21

2) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan


(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
a) Epilepsi lobus temporal
b) Epilepsi lobus frontal
c) Epilepsi lobus parital
d) Epilepsi lobus oksipital
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai usia awitan)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Kejang neonatus familial benigna


Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
Epilepsi lena pada anak
Epilepsi lena pada remaja
Epilepsi mioklonik pada remaja
Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat

terjaga
8) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah
satu di atas
9) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi
yang spesifik
b. Simptomatik atau kriptogenikn(berurutan sesuai dengan
peningkatan usia)
1)
2)
3)
4)

Sindroma West (spasme infantil dan spasme salam)


Sindroma Lennox Gastaut
Epilepsi mioklonik astatik
Epilepsi mioklonik lena

c. Simtomatis
1) Etiologi non spesifik
a) Ensefalopati mioklonik dini
b) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression
c) Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
1)
Sindrom spesifik
2)
Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a.
b.
c.
d.

Bangkitan neonatal
Epilepsi mioklonik berat pada bayi
Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
22

e. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas


4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1)Kejang demam
2)Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
3)Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut,
atau toksik, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemia nonketotik
4)Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung
terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung
oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan
alloanamnesis. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan
diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).
2.7.

Manifestasi Klinis17,18,19
1. Bangkitan Umum
a. Grand mal (Perancis = penyakit besar) atau bangkitan Tonikklonik generalized
Kejang ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi.
Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan
ritmis dari anggota badan dan hilangnya untuk sementara
kesadaran dan tonus. Terdiri atas 3 fase; fase tonik, fase klonik
dan fase pasca kejang. Fase tonis ini berlangsung kira-kira 1
menit untuk kemudian disusul oleh fase klonis dengan kejangkejang dari kaki-tangan, rahang dan muka. Lamanya serangan
berkisar antara 1 dan 2 menit yang disusul dengan keadaan
pingsan selama beberapa menit dan kemudian sadar kembali
dengan perasaan kacau serta depresi.

23

Gambar2. Manifestasi Klinis Tonik-Klonik


b. Bangkitan lena (petit mal/absence)
Kejang ini termasuk jenis yang jarang. Bangkitan lena terjadi
secara mendadak dan juga menghilang secara mendadak (10-45
detik). Berupa kesadaran menurun sementara, namun kendali
atas postur tubuh masih baik (penderita tidak jatuh); biasanya
disertai automatisme (gerakan-gerakan berulang), keadaan
termangu-mangu (pikiran kosong), mendadak berhenti bergerak.
Terjadi pada masa kanak-kanak (4-8 tahun). Remisi spontan 6070% pasien pada masa remaja.

Gambar 3. Manifestasi Bangkitan Lena

24

c. Bangkitan lena yang tidak khas (bangkitan lena atipikal)


Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih
lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental.
d. Bangkitan mioklonik (bangkitan klonik)
Berupa kontraksi otot sebagian/seluruh tubuh yang terjadi secara
cepat dan mendadak. Bercirikan kontraksi otot-otot simetris dan
sinkron yang tak ritmis dari terutama bahu dan tangan (tidak
dari muka). Adakalanya berlangsung dengan jangka waktu
singkat sekali, kurang dari satu detik.
e. Bangkitan atonik
Tiba-tiba kehilangan tonus otot postural sehingga seringkali
jatuh tiba-tiba. Sering terjadi pada anak-anak.
2. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana
Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik, sensorik, otonom
dan psikis tergantung korteks serebri yang teraktivasi, namun
kesadaran tidak terganggu; penyebaran cetusan listrik abnormal
minimal, penderita masih sadar.
b. Bangkitan parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis)
Penyebaran
cetusan
listrik
yang
abnormal

lebih

banyak.Biasanya terjadi dari lobus temporal karena lobus ini


rentan

terhadap

hipoksia/infeksi.Cirinya

ada

tanda

peringatan/aura yang disertai oleh perubahan kesadaran;


diikuti oleh automatisme, yakni gerakan otomatis yang tidak
disadari seperti menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan,
yang biasanya berlangsung selama 30-120 detik. Kemudian,
biasanya pasien kembali normal yang disertai kelelahan selama
beberapa jam.
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
Biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana.
3. Bangkitan lainnya
a. Kejang demam
b. Status epileptikus

25

2.8.

Diagnosis Banding20
Tabel 1. Diagnosis Banding

Kejang epileptik

Syncope

Non

Riwayat penyakit Menggunakan


dahulu:
Trauma

epileptik Aritmia

disorder
Wanita (3:1)

obat antihipertensi Ada


kepala, atau antidepresan

seksual

ketergantungan

fisik

obat,

panik
Ansietas

jantung

ketergantungan

alkohol,

cardiac
Penyakit

Serangan

kongenital

dan

kejang

demam

yang

berkepanjangan,
meningitis,
encephalitis,
stroke,

riwayat

keluarga (+)
Faktor Pencetus Perubahan posisi

Stress

saat serangan:

Prosedur medis

Distress sosial

sosial

Kurang tidur

Berdiri lama

Putus alkohol

Gerakan

Stimulasi fotik

(carotis

Karakteristik

baroreseptor)
Lightheadedness

Gejala

Ketakutan

klinis menjelang Gejala visual


serangan:

Olahraga

Situasi

leher

awal Palpitasi

tidak khas

Perasaan

Gelap, kabur

tidak

Streotipi,

realistis

paroksismal

Sulit

(detik),
disertai aura
Karakteristik

bisa

bernafas,
Pucat

Mirip

klinis pada saat Bisa disertai kaku kejang


26

dengan Pucat
Bisa

kesemutan
Agitasi
Nafas cepat

serangan:

dan

Gerakan:

menghentak- epileptik, tetapi disertai

tonuk hentak sebentar

gerakan lengan kaku

Kaku

pada

dan tangan

diikuti

dengan

tidak beraturan, menghenta

(carpopedal

gerakan

jerking

pengangkatan

spasm)

k-hentak

yang ritmis

pelvis, kadang sebentar

Gerakan

tidak bergerak

otomatism

sama sekali.

Cyanosis
Bisa

terjadi

dimanapun

dan

kapanpun
Gejala

sisa Lesu

Lesu

setelah serangan:
Mengantuk
Lidah tergigit
Nyeri

anggota

gerak
Defisit
neurologis fokal
(todds paralisis)

2.4 DIAGNOSIS
2.4.1 Anamnesis21
Langkah awal adalah menentukan apakah ini serangan kejang atau bukan
dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang
merawat dan saksi mata saat serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan
perlu diajukan untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama, dan sesudah
serangan kejang itu berlangsung adalah sebagai berikut:
1.
Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberikan gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya disebabkan oleh gangguan
pada masa perinatal, kelainan metabolik, dan malformasi kongenital. Serangan
kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Serangan
27

kejang pada usia sekitar 70 tahun keatas biasanya disebabkan karena kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak.
2.

Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak


pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan aura. Sebagian aura dapat membantu dimana letak lokasi
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan
adanya dj vu. Adanya gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh
pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak
didahului dengan aura. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada kedua
hemisfer. Jika aura dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum,
sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.

3.

Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?


Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik
tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara
dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung.
Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan
kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah
pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata
berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
automatism pada satu sisi? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol? Serangan kejang yang berasal
dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah
kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering
tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan
kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinensia urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai
pada serangan kejang parsial kompleks.

4.

Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?

28

Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah post ictal
period. Setelah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien biasanya
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi

sesudah

serangan

kejang

disebut

Todds

Paralysis

yang

menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia tanpa disertai gangguan


kesadaran menggambarkan adanya gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada absence khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5.

Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?


Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada
waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap
waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.

6.

Apakah ada faktor pencetus?


Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,
menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol,
ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental,
suara suara tertentu, drug abuse, reading & eating epilepsy.

7.

Bagaimana frekuensi serangan kejang?


Mengetahui frekuensi serangan kejang dapat membantu mengetahui respon
pengobatan bila sudah mendapat obat-obatan anti kejang .

8.

Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?


Pertanyaan ini untuk mengetahui apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat
anti kejang atau belum dan menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan sudah efektif?

9.

Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?


Pertanyaain ini diharapkan dapat menggambarkan setiap jenis serangan kejang
secara lengkap.

10.

Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan


kejang?

29

Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu untuk
mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau
mungkin ada aura, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
11.

Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?


Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,
ada perubahan minum obat, dan penyakit lain yang menyertai.
a. Riwayat medik dahulu
Riwayat medik dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam
menentukan etiologinya, lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang, dan
pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan
selanjutnya.
1)

Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan


maupun proses persalinannya?

2)

Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory


distress?

3)

Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4)

Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi


sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang
demam kompleks 13 %.

5)

Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti


meningitis, ensefalitis, atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia
yang disertai serangan kejang?

6)

Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,


perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

7)

Apakah ada riwayat tumor otak?

8)

Apakah ada riwayat stroke?


b. Riwayat sosial

30

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi
yang dapat diketahui melalui pertanyaan berikut:
1)Apa latar belakang pendidikan pasien?
2)Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana
sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik dan dapat membantu mengetahui
tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien.
3)Apakah pasien bekerja dan apa jenis pekerjaannya?
4)Pasien epilepsi yang serangan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup
secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau
penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan
tersendiri.
5)Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor?
6)Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada
gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor.
7)Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral dan merencanakan kehamilan pada
waktu yang akan datang?
8)Pasien epilepsi sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi. Bagi pasien yang sedang hamil diperlukan
obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya neural tube
defects pada bayinya.
9)Apakah pasien peminum alkohol?
10) Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum dan dapat
menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .
c. Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga dapat menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang
spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dengan
manifestasinya berupa serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic
epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy, dan
sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus.
d. Riwayat alergi

31

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu


dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah disebabkan
karena efek fotosensitif karena eksposur dari sinar matahari atau karena efek
hipersensitif yang sifatnya lebih luas.

e. Riwayat pengobatan
Apabila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu
ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari, dan
berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek
sampingnya.
f. Riwayat pemeriksaan penunjang lain
Untuk mengetahui apakah pasien pernah melakukan pemeriksaan penunjang
seperti elektroensefalografi, CT Scan kepala atau MRI.
2.4.2

Pemeriksaan Fisik22
1. Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
a. Trauma kepala
b. Tanda-tanda infeksi
c. Kelainan congenital
d. Kecanduan alcohol atau napza
e. Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
f. Tanda-tanda keganasan.
2. Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
a. Paresis Todd

32

b. Gangguan kesadaran pasca iktal


c. Afasia pasca iktal
2.4.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pasien dengan

kecurigaan

epilepsi

bertujuan

untuk

mengkonfirmasi atau mendukung diagnosis klinis, mengklasifikasi sindrom


epilepsi, dan menetapkan penyebab. Dua tujuan pertama didapatkan dengan
pemeriksaan elektroensefalografi (EEG), terutama pada anak. Akan tetapi sering
terjadi positif palsu dan negatif palsu pada EEG sehingga kelainan minor terdapat
pada populasi normal dan banyak pasien epilepsi menunjukkan rekaman EEG
normal pada rekaman EEG interiktal. Ketepatan EEG dapat dipertajam dengan
memperpanjang waktu perekaman, terutama saat setelah pasien kurang tidur.
Untuk mencari penyebab, dilakukan pemeriksaan darah rutin, misalnya
glukosa serum dan kalsium. Pemeriksaan yang lebih penting adalah pencitraan
otak. Pencitraan ini dilakukan terutama pada epilepsi onset lambat (usia lanjut),
serangan parsial, dengan atau tanpa kelainan neurologis fokal dan kelainan EEG,
dengan menggunakan CT atau MRI.23
2.5 PENATALAKSANAAN24
Sebelum menentukan terapi obat antiepilepsi (OAE) perlu diperhatikan
berapa besar kemungkinan terjadi bangkitan berulang, konsekuensi psikososial,
masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat selanjutnya dan pertimbangan
untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Tujuan terapi
epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan
tercapainya kualitas hidup optimal yang sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk itu, perlu dilakukan
beberapa upaya yaitu menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan
tanpa efek samping/efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan
2.5.1

kematian2.
Terapi farmakologis
Terapi dimulai dengan monoterapi dengan OAE pilihan yang sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis
rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, jenis sindrom
33

epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologis, interaksi antar
OAE.Prinsip terapi farmakologi:
1. OAE mulai diberikan bila:
a.

Diagnosis epilepsi telah ditentukan

b.

Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan


pengobatan

c.

Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan


efek samping yang timbul

1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai


dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.
2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat
plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila
OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan
bertahap perlahan-lahan
4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan
tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,
interaksi antarobat epilepsi.
Tabel 2. Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan
Jenis

OAE Lini

OAE Lini

OAE Lain yang

OAE yang

Bangkitan

Pertama

Kedua

dapat

sebaiknya

Sodium

Clobazam

dipertimbangkan
Clonazepam

dihindari

Bangkitan
umum

Valproate

Levetiracetam

Phenobarbital

Lamotrigine

Oxcarbazepine

Phenytoin

tonik

klonik

Topiramate

Acetazolamide

Bangkitan

Carbamazepine
Sodium

Clobazam

Carbamazepine

lena

Valproate

Topiramate

Gabapentin

34

Bangkitan

Lamotrigine
Sodium

Clobazam

Oxcarbazepine
Carbamazepine

mioklonik

Valproate

Topiramate

Gabapentin

Topiramate

Levetiracetam

Oxcarbazepine

Lamotrigine
Bangkitan

Sodium

Piracetam
Clobazam

Phenobarbital

Carbamazepine

tonik

Valproate

Levetiracetam

Phenytoin

Oxcarbazepine

Bangkitan

Lamotrigine
Sodium

Topiramate
Clobazam

Phenobarbital

Carbamazepine

atonik

Valproate

Levetiracetam

Acetazolamide

Oxcarbazepine

Bangkitan

Lamotrigine
Carbamazepine

Topiramate
Clobazam

Clonazepam

fokal

Oxcarbazepine

Gabapentin

Phenobarbital

dengan/tanpa

Sodium

Levetiracetam

Acetazolamide

umum

Valproate

Phenytoin

sekunder

Topiramate

Tiagabine

Phenytoin

Lamotrigine

Tabel.3 Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa2


Obat

Dosis Awal

Dosis

Jumlah Dosis

Waktu Paruh

Waktu

(mg/hari)

Rumatan

Per Hari

Plasma

Tercapainy

(Jam)

Steady State

(mg/hari)
Carbamazepine
Phenytoin
Asam valproat
Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam
Oxcarbazepine
Levatiracetam
Topiramate
Gabapentin
Lamotrigine

400-600
200-300
500-1000
50-100
1
10
600-900
1000-2000
100
900-1800
50-100

400-1600
200-400
500-2500
50-200
4
10-30
600-3000
1000-3000
100-400
900-3600
20-200

2-3x
1-2x
2-3x
1
1 atau 2
2-3x
2-3x
2x
2x
2-3x
1-2x

15-35
10-80
12-18
50-170
20-60
10-30
8-15
6-8
20-30
5-7
15-35

Tabel.4 Efek samping obat anti epilepsi klasik: 2

35

(Hari)
2-7
3-15
2-4
2-10
2-6
2
2-5
2
2-6

Obat

Efek Samping

Carbamazepine

Phenytoin

Asam valproat

Phenobarbital

Clonazepam

Terkait Dosis
Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual,

Ruam

mengantuk, netropenia, hiponatremia

anemia aplastik, hepatotoksik, SSJ,

Nistagmus,

muntah,

teratogenik
Jerawat, coarse facies, hirsutism, lupus

hipertropi gusi, depresi, mengantuk,

like syndrome, ruam, SSJ, Dupuytrens

paradoxical increase in seizure, anemia

contracture, hepatotoksik, teratogenik

megaloblastik
Tremor, berat badan naik, dyspepsia,

Pankreatitis

mual, muntah, kebotakan, teratogenik

trombositopenia, ensefalopati, udem

Kelelahan,

perifer
Ruam makulopapular, eksfoliasi, NET,

ataksia,

mual,

restlegless,

depresi,

Idiosinkrasi
morbiliform, agranulositosis,

akut,

hepatotoksik,

insomnia (anak), distracatibility (anak),

hepatotoksik,

arthritic

hiperkinesia (anak), irritability (anak)


Kelelahan,
sedasi,
mengantuk,

Dupuytrens contracture, teratogenik


Ruam, trombositopenia

dizziness, agresi (anak), hiperkinesia


(anak)

Tabel.5 Keefektifan OAE sebagai monoterapi


OAE

Phenytoin
Carbamazepine
Valproic acid
Phenobarbital
Gabapentin
Lamotrigine
Topiramate
Zonisamide
Levetiracetam
Oxcarbazepine
Clonazepam

Bangkita

Bangkita

Bangkita

Bangkita

Bangkita

n fokal

n lena

A
A
B
C
C
C
C
A
A
C
D

sekunder
A
A
B
C
C
C
C
A
A
C
-

mioklonik
D

umum

tonik-

klonik
C
C
C
C
D?
C
C
D?
C
-

Keterangan:
A: Efektif sebagai monoterapi
B: Sangat mungkin efektif sebagai monoterapi
C: Mungkin efektif sebagai monoterapi
D: Berpotensi untuk efektif sebagai monoterapi

36

D?
-

changes,

Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama


mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.2
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
a.

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau


keluarganya setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahun

b.

Gambaran EEG normal

c.

Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula,


setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

d.

Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada


keadaan sebagai berikut:
a.

Semakin tua usia

b.

Epilepsi simtomatik

c.

Gambaran EEG abnormal

d.

Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan

e.

Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita

f.

Penggunaan lebih dari satu OAE

g.

Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

h.

Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis
OAE), kemudian dievaluasi kembali.
2.5.2

Terapi non-farmakologis
Beberapa terapi non-farmakologis yang dapat digunakan oleh penyandang

epilepsi adalah sebagai berikut:


1. Stimulasi N. Vagus
Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi
refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Terapi
ini dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.

37

2. Deep Brain Stimulation


3. Diet Ketogenik
4. Intervensi Psikologi
Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback.
2.6 PROGNOSIS
Enam tahun setelah ditegakkan diagnosis, 40% pasien akan telah mengalami
keadaan bebas kejang selama 5 tahun. Prognosis yang relatif buruk dikaitkan
dengan kombinasi antara grand mal dengan jenis kejang yang lain, epilepsi
traumatika, kumpulan episode, tanda-tanda fisik, dan retardasi mental. Upaya
menghentikan pengobatan pada pasien yang bebas gejala harus dipertimbangkan
secara individual25.

BAB IV
ANALISIS KASUS
Penderita datang dengan keluhan utama mengalami kejang yang semakin sering
dan semakin lama. Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang
epileptic, seperti pingsan (Syncope), non epileptik attack disorder, aritmia cardiac,
dan serangan panik. Untuk membedakan dari penyakit tersebut kita lihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel.6 Perbandingan kondisi pasien dan beberapa diagnosis banding
38

Kondisi

Kejang

Syncope

Pasien
Riwayat

epileptik
Trauma kepala,

penyakit

Non epileptik

Aritmia

Menggunakan

disorder
Wanita (3:1)

cardiac
Penyakit

alkohol,

obat

Ada

jantung

dahulu:

ketergantungan

antihipertensi

ketergantungan

kongenital

Riwayat

obat,

atau

seksual dan fisik

kejang 4 tahun

demam

yang

berkepanjangan

lalu,

wanita.

kejang
yang

Serangan
panik
Ansietas

antidepresan

meningitis,

encephalitis,
stroke, riwayat
Faktor

keluarga (+)
Kurang tidur

Perubahan posisi

Stress

Pencetus saat

Putus alkohol

Prosedur medis

Distress sosial

serangan:

Stimulasi fotik

Berdiri lama

Penderita

Gerakan

kelelahan atau

(carotis

ketika

baroreseptor)

Olahraga

Situasi
sosial

leher

penderita
terlambat
makan
Karakteristik

Streotipi,

Lightheadedness

Gejala

klinis

paroksismal

Gejala visual

tidak khas

menjelang

(detik),

Gelap, kabur

serangan:

disertai aura

bisa

awal

Palpitasi

Ketakutan
Perasaan
tidak
realistis

Penderita

Sulit

merasa pusing

bernafas,

berputar
Karakteristik

Gerakan: tonuk

Pucat

klinis

pada

diikuti dengan

Bisa

disertai

saat serangan:

gerakan jerking

kaku

dan

Saat

yang ritmis

menghentak-

lengan

Gerakan

hentak sebentar

beraturan,

menghenta

tangan

pengangkatan

k-hentak

(carpoped

pelvis,

sebentar

al spasm)

kejang

penderita
tidak
tangan

Pucat

kesemutan
Agitasi

kejang epileptik,

Bisa

Nafas

tetapi

disertai

cepat

Mirip

sadar, otomatism
Cyanosis

39

dengan
gerakan
tidak

kadang

kaku

dan

Kaku pada

penderita

Bisa

terjadi

mengepal,

dimanapun dan

mata

kapanpun

tidak

bergerak

sama sekali.

penderita
melirik ke atas
terusmenerus,
lengan

dan

tungkai
ekstensi serta
kaku,

lalu

diikuti dengan
kondisi tubuh
gemetar,
mulut
penderita
tampak
mengot

saat

kejang,
penderita
menggigit
lidahnya,
disertai
keluarnya
busa
mulut,

pada
dan

keluarnya
urine

serta

feses
Gejala

sisa

Mengantuk

setelah

Lidah tergigit

serangan:

Nyeri anggota

Sakit kepala

gerak

Pusing

Defisit

Lesu

Lesu

40

Lidah tergigit

neurologis
fokal

(Todds

paralysis)

Dari tabel diatas dapat disingkirkan segala diagnosis banding dari epilepsi.
Dari anamnesis didapatkan riwayat kejang sejak 4 tahun, tidak minum obat-obat
terlarang, obat antihipertensi, dan antidepresan, tidak mengalami gangguan
kecemasan, riwayat kejang pada keluarga disangkal, riwayat trauma kepala
disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat hipertensi, DM, dan stroke
disangkal. Hal ini dapat menyingkirkan penyakit syncope,aritmia cardiac, dan
ansietas.
Dari karakter klinis sebelum terjadi serangan diketahui penderita merasa
kepalanya pusing sebelum kejang. Ini merupakan aura sebelum kejang. Hal ini
tidak ditemukan pada syncope,aritmia cardiac, non epileptik disorder dan
ansietas.
Dari karakter klinis saat serangan diketahui saat kejang penderita tidak sadar,
tangan penderita mengepal, mata penderita melirik ke atas terus-menerus, lengan
dan tungkai ekstensi serta kaku, lalu diikuti dengan kondisi tubuh gemetar, mulut
penderita tampak mengot saat kejang, penderita menggigit lidahnya, disertai
keluarnya busa pada mulut, dan keluarnya urine serta feses. Hal ini tidak
ditemukan pada syncope,aritmia cardiac, non epileptik disorder dan ansietas.
Dan dari gejala sisa serangan didapatkan sakit kepala, pusing, dan lidah
tergigit yang merupakan gejala setelah kejang epileptik dan dapat menyingkirkan
diagnosis banding syncope,aritmia cardiac, non epileptik disorder dan ansietas.
Setelah kejang epilesi ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan tipe
bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981, dari anamnesis didapatkan adanya
gerakan tonik seperti tangan penderita seperti ingin mencengkeram, mata
penderita melirik ke atas terus-menerus, lengan dan tungkai ekstensi serta kaku;
setelah itu diikuti dengan kondisi tubuh gemetar, mulut penderita tampak mengot
saat kejang, penderita menggigit lidahnya, disertai keluarnya busa pada mulut, dan
keluarnya urine serta feses yang menandai fase klonik. Jadi, jenis bangkitan
epilepsi menurut ILAE

1981 adalah bangkitan umum tonik-klonik. Langkah

berikutnya menentukan sindrom epilepsi berdasarkan ILAE 1989 yaitu tipe

41

epilepsi umum idiopatik tonik-klonik pada saat terjaga. Idiopatik dipilih karena
etiologi dari pasien ini belum jelas. Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi,
stroke, DM, penyakit autoimun, infeksi sebelum terjadinya kejang pertama kali,
trauma, kelainan kongenital, atau sedang dalam kondisi mengonsumsi obat jangka
panjang. Saat terjaga dipilih karena pasien mengalami kejang pada saat pasien
terjaga.
Pada pemeriksaan fisik baik generalis maupun neurologis tidak ditemukan
kelainan, hal ini sering terjadi pada penderita epilepsi yang sedang tidak kejang.
Dan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik hanya ditemukan gejala iritatif berupa
kejang, namun tidak terdapat gangguan sensorik, motorik, dan fungsi luhur, dari
hal tersebut kami mengambil kesimpulan diagnosis topiknya di korteks cerebri
karena gejala iritatif ditemukan jika terdapat lesi di korteks cerebri.
Tujuan terapi untuk epilepsi ini adalah mengupayakan penyandang epilepsi
dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental
yang dimilikinya. Prinsip terapinya adalah monoterapi dahulu dengan dosis
rendah terlebih dahulu lalu perlahan-lahan dinaikkan sampai dosis efektif atau
timbul efek samping. Terapi non-farmakologisnya kami

berikan edukasi

mengenai penyakit epilepsi, pengobatannya, waktu kontrol kembali, dan rencana


pemeriksaan lanjutan seperti EEG dan CT-Scan atau MRI untuk lebih memastikan
prognosis dan pengobatan yang tepat. Pasien dianjurkan untuk istirahat yang
cukup dan makan makanan yang bergizi dan dianjurkan diet ketogenik. Diet
ketogenik merupakan diet tinggi lemak, sedang protein, dan rendah karbohidrat
dengan persentase 65%, 30%, dan 5% untuk pengobatan pada epilepsi namun
alasannya belum sepenuhnya dipahami. Untuk terapi farmakologisnya kami pilih
fenitoin dengan dosis rendah dan perlahan nanti ditingkatkan sebagai
antiepilepsinya. Fenitoin dipilih karena ketersediaannya yang luas, murah, dan
mempunyai efek samping yang dapat ditoleransi. Selain itu kami juga
memberikan OAINS berupa kalium diklofenak untuk mengatasi sakit kepala dan
betahistin untuk keluhan pusing berputar yang dialami penderita. Omeprazole
ditambahkan untuk meminimalisir efek OAINS yang diberikan kepada penderita
karena penderita mengaku mempunyai riwayat maag.

42

DAFTAR PUSTAKA
1. Kurnia Kusumastuti dan Mudjiani Basuki. Definisi, Klasifikasi, dan Etiologi
Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Cetakan Pertama. Airlangga University
Press. Surabaya; 2014; 1-10.
2. Lionel Ginsberg. Epilepsi. Lecture Notes Neurology. Edisi Kedelapan. Penerbit
Erlangga. Jakarta; 2008; 79, 83.
3. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL. Epidemiology
of epilepsy in urban areas of the peoples republic China. Epilepsia.2010;
26(5):391-4.
4. M D OBrien, S K Gilmour-White. Management of epilepsy in women. Medical
journal. 2005; 81:955; p 278-285
5. Alberto V, Claudia D, Sergio A, Carla V, Piero P. Diagnosis and management of
catamenial seizures: a review. International Journal of Womens Health 2012:4
535541
6. Alberto V, Claudia D, Angelika M, Giangennaro C, Pasquale P, and Francesco C.
Antiepileptic drugs, sex hormones, and PCOS. Epilepsia, 52(2):199211, 2011
7. Martha J.M. Epilepsy in Women. Am Fam Physician. 2002 Oct 15;66(8):14891495.
8. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management.
Blandom Medical Publishing, UK;2005;1-26.
9. Bernard S. Chang, M.D., and Daniel H. Lowenstein, M.D. Epilepsy. New england
journal medicine. 2003; 349;13; p 1257-1266
10.

Wong, M. Too Much Inhibition Leads to Excitation in

Absence Epilepsy. Epilepsy Curr. 2010 Sep; 10(5): 131132


11.

Martha

J.M.

Epilepsy

in

Women.

Am

Fam

Physician. 2002 Oct 15;66(8):1489-1495.


12.

Cartlidge NEF.

Medical disorders during pregnancy In:

neurologic disorders. Philadelphia: 529-533

43

13. Konrad J. W. Weakness and focal sensory deficits in the postictal state. Epilepsy
& Behavior 19. 2010; 138139
14. Marie Trava King dan Mary Carter Lombardo. Epilepsi dalam Price, S.A dan
Wilson, L.M (Ed). Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta; 2006; 212, 213.
15. Commission on Classification and Terminology of the International League
Againts Epilepsy. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure, Epilepsia 1981;22:489-501.
16. Commission on Classification and Terminology of the International League
Againts Epilepsy. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic
Classification of Epileptic Seizure, Epilepsia 1989;30(4):389-399.
17. Goodman and Gilman. Dasar Farmaklogi dan Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC,
2008. Hal 506-531
18. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006. Hal 1157-1166
19. Arif, A. Bahan Kuliah Antiepilepsi. Farmakologi. FK UNCEN. Jayapura, 2011.
20. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Mangement of
Epilepsy in Adults A national Clinical Guideline. SIGN. 2003.
21. Utoyo Sunaryo. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.
Vol. 1. No. 1. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Surabaya; 2007;
40-43.
22. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P.Classification of Epilepsy. In Engel J,
Pedley TA. Epilepsy A Comprehensive Textbook 2ndEd.Vol one. Lippincott
Williams & Wilkins, 2008, pp: 783-784.
23. Lionel Ginsberg. Epilepsi. Lecture Notes Neurology. Edisi Kedelapan. Penerbit
Erlangga. Jakarta; 2008; 79, 83.
24. Suryani Gunadharma, Endang Kustiowati, Machlusil Husna. Terapi. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Cetakan Pertama. Airlangga University Press. Surabaya;
2014; 22-35.
25. David Rubenstein, David Wayne, John Bradley. Neurologi. Lecture Notes:
Kedokteran Klinis. Edisi Keenam. Penerbit Erlangga. Jakarta; 2007; 109.

44

Anda mungkin juga menyukai