Anda di halaman 1dari 13

Penyusun:

Oleh Dokter Muda Nurul Mahirah Binti Meor Halil

030.04.267

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Jakarta 2011

ATAKSIA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah


Seiring dengan berkembangnya ilmu di bidang kedokteran, kini jumlah penyakit, kelainan, ataupun
simptoma yang terdeteksi pun semakin beragam. Banyak diantara penemuan-penemuan baru ini
yang merupakan kelainan, penyakit, atau simptoma yang mematikan. Sedangkan fakta di lapangan
yang ada, banyak diantara kalangan masyarakat yang belum mengerti tentang indikasi-indikasi awal,
dampak, penyebab, dan pengobatan sehingga memperlambat proses pertolongan oleh paramedis.
Maka, sudah seharusnya ada penyelesaian dari masalah ini. Yaitu, penyuluhan lebih lanjut sehingga
bisa dilakukan pengawasan lebih ketat tentang munculnya gejala-gejala tertentu agar tindakan
pertolongan dapat dilakukan lebih tanggap.

1.2    Rumusan Masalah


1.    Bagaimana Ataksia bisa terjadi?
2.    Bagaimana dampak ataksia terhadap kondisi tubuh penderita?
3.    Langkah apa yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dampak ataksia?

1.3    Tujuan Penulisan


1.    Mengatahui tentang penyebab ataksia
2.    Mengetahui tentang dampak Ataksia terhadap kondisi tubuh penderita
3.    Mengetahui tentang langkah yang tepat untuk penanganan semenjak dini

1.4. Manfaat Penulisan 

1. Mengetahui tentang penyebab Ataksia sehingga dapat mengetahui langkah yang tepat sebagai
langkah antisipasi awal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Ataksia


2.1.1 Definisi Ataksia
Ataksia merupakan suatu gejala penyakit, yang menunjukkan adanya gangguan koordinasi gerak. 
Istilah ataksia umumnya digunakan untuk menggambarkan gangguan berjalan yang tidak
terkoordinasi dan tidak seimbang, tetapi ataksia juga dapat melibatkan jari, lengan, cara bicara, dan
pergerakan mata. (Smith CO, Bennet Rl, Bird TD. Spinocerebellar Ataxia: Making an Informed Choice
about genetic testing).

2.1.2 Jenis-Jenis Ataksia


Ataksia serebelaris dibagi menjadi ataksia yang didapat (acquired) dan ataksia herediter.  Hal ini
perlu dibedakan melalui riwayat keluarga, pemeriksaan fisik, neuroimaging dan tes genetik, agar
didapatkan suatu diagnosis yang tepat. (Smith CO, Bennet Rl, Bird TD. Spinocerebellar Ataxia:
Making an Informed Choice about genetic testing).

Kasus-kasus ataksia serebelaris herediter sangat jarang dijumpai, khususnya di Indonesia.  Hal ini
dimungkinkan karena belum adanya laporan mengenai data ini serta keterbatasan dalam melakukan
pemeriksaan genetika.  Berikut dibahas suatu kasus ataksia serebelaris yang mempunyai riwayat
herediter.  

2.1.3 Ilustrasi Khusus


Seorang pria, 32 tahun, pekerjaan mekanik, pendidikan STM, suku Betawi, datang ke poliklinik RSCM
dengan keluhan utama kesulitan berjalan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan dimulai sejak 4 tahun
yang lalu dimana penderita sering batuk-batuk tanpa dahak, tanpa demam.  Penderita sudah
berobat ke dokter spesialis paru dan diperiksa paru-parunya serta dilakukan foto dada dan
pemeriksaan dahak, tetapi tidak ditemukan adanya kelainan. Penderita dinyatakan menderita allergi
debu.  Keluhan ini semakin memberat dalam 1 tahun terakhir, penderita sulit menahan batuknya,
terutama jika berbicara hingga penderita merasa lelah karena menahan untuk tidak batuk. 

Sejak 1 tahun yang lalu penderita merasa limbung bila berjalan, keluhan ini makin lama makin
bertambah hingga penderita sulit berlari dan bila melangkah harus lebar-lebar, tetapi penderita
masih dapat berjalan.  Sejak 4 bulan yang lalu penderita terbata-bata bila berbicara dan suara terasa
lebih keras seperti hentakan-hentakan.  Tidak ada gangguan menelan, pusing berputar, gemetaran,
kesemutan atau baal.  Tidak ada gangguan melihat kabur, tetapi bila menulis atau membaca
penderita merasa tulisan berbayang.  Tidak ada gangguan pendengaran. Tulisan masih baik, tetapi
penderita tidak dapat mempertahankannya dalam satu garis lurus, tulisan cenderung menurun ke
bawah.  Tidak ada keluhan mudah lupa atau kesulitan dalam berpikir dan mengeluarkan ide.

Penderita juga merasakan nyeri kepala berdenyut sejak 2 tahun yang lalu. Nyeri selalu terasa di
kepala sebelah kanan dan mata kanan terasa pegal.  Penderita kadang-kadang merasa mual, tetapi
tidak muntah.  Biasa timbul siang hari.  Penderita tidak merasa terganggu dengan  rangsangan
cahaya ataupun suara bising.  Tidak ada ketegangan pada tengkuk. Lama nyeri dalam beberapa jam
sampai seharian, hilang dengan istirahat atau obat pusing.   Nyeri bertambah bila penderita tetap
beraktivitas.  Frekuensi nyeri 4x perbulan.  Dalam 2 bulan terakhir ini frekuensi 2x perbulan.  Nyeri
timbul terutama bila penderita banyak pikiran.
Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya  tidak ada.  Tidak ada riwayat penggunaan alkohol atau
obat-obatan dan tidak ada  interaksi dengan bahan kimia.  Tidak ada riwayat nyeri dada, sesak nafas
dan tekanan darah tinggi.

Riwayat keluarga ada 10 anggota keluarga lain yang menderita penyakit gangguan berjalan serupa.
Riwayat pernikahan antar saudara tidak diketahui. Nenek dari ayah mengalami gangguan berjalan
sejak usia 55 tahun, lumpuh usia 60 tahun dan meninggal usia 75 tahun (penyebab tidak diketahui). 
Kedua saudara laki-laki dari nenek juga menderita berjalan limbung dan pelo dengan onset umur 70-
an. Ayah penderita terdiri dari 14 bersaudara, 5 diantaranya telah meninggal dunia.  Ayah penderita
meninggal mendadak pada usia 20 tahun.  2 orang kakak perempuan dari ayah menderita sakit
serupa dimulai umur 60 tahun dan 50 tahun.  Keduanya saat ini lumpuh dan berbicara pelo.  2 orang
adik perempuan dari ayah dimulai pada usia 38 tahun dan 42 tahun.  Keduanya saat ini menderita
sakit serupa walau masih dapat berjalan.  Saudara sepupu penderita dari kakak perempuan ayah
juga menderita sakit serupa sejak umur 38 tahun.

2.2 Pendeteksian Gejala Ataksia


2.2.1 Pemeriksaan fisik umum 

Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 80x/menit reguler, pernafasan
18x/menit, suhu afebris.  Konjungtiva palpebra tidak pucat, sklera tidak ikterik, tidak ada
eksoftalmus. JVP 5-2 cm H2O.  Paru sonor, vesikuler, tidak ditemukan ronki dan wheezing. Bunyi
jantung I dan II normal, tidak ditemukan murmur dan gallop.  Abdomen lemas, nyeri tekan tidak ada,
hepar lien tidak teraba, bising usus normal. Akral hangat, edema tidak ada.

2.2.2 Pemeriksaan neurologis


Tidak ditemukan rangsang meningeal, pupil bulat isokor diameter 3 mm dengan refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+). Pemeriksaan funduskopi: fundus dalam batas normal. Tidak
ditemukan paresis saraf kranialis. Pemeriksaan motorik kekuatan ke-4 ekstremitas 5.  Pemeriksaan 
sensorik eksteroseptif dan proprioseptif baik, otonom dalam batas normal.  Refleks fisiologis
APR/KPR +4/+4, Biceps/triceps +3/+3.  Klonus kaki +/+.  Refleks patologis -/-.  Eutrofi.

Tes koordinasi dan keseimbangan:


Terdapat ataksia (gait), refleks pendular, disartria (scanning speech), nistagmus horisontal
bidireksional tanpa adanya latensi dan fatique dengan komponen cepat dan halus ke kanan,.
Berjalan tandem terganggu (cenderung ke kiri), stance jatuh ke kiri, tes Romberg jatuh ke kiri.
Terdapat dismetri, disdiadokokinesis ringan (terutama sebelah kiri).
Fenomena rebound, tremor, vertigo, titubasi,  tidak dijumpai.

Fungsi luhur:  Orientasi, atensi, berbahasa baik. MMSE=26


                     Mood baik, Hamilton depression rating scale 0

Clinical Rating Scale untuk fungsi serebelar : 5  (skor 1-10= ringan, 11-20= sedang,  21-32= berat)

2.2.3 Pemeriksaan penunjang

Foto toraks                   :  CTR < 50%, infiltrat –


EKG                             :  ritme sinus, QRS rate 96x/menit, axis normal, ST changes -, T inverted -, LVH -,
                                        RVH -
MRI kepala                  : tak tampak lesi hypo/hyperintens  di intraparenchym cerebri, ganglia basalis
dan 

                                      thalamus,  batang otak, cerebellum dan cerebellopontin angle.  Tidak tampak
atrofi 

                                      cerebellum. 
Schedel foto                 : tampak pelebaran diploe
Konsul kardiologi         : tidak ada tanda-tanda kelainan jantung

Neuro-otologi dan oftalmologi :


- Nistagmus spontan sewaktu melirik ke kiri dan ke kanan  à nistagmus bidireksional dengan
amplitudo ke kiri lebih kuat.
- Tes pendengaran : normal
- Tes keseimbangan dan koordinasi : Romberg dipertajam dengan mata ditutup jatuh ke kiri, gait   
ataxia, 

                                                        tandem gait terganggu.


-  Upward gaze palsy. Terdapat ocular dismetri ringan (kanan)
-  Gangguan refraksi
-  Tes konvergensi, gerakan mata sakadik baik

MG                :  MUAP sesuai dengan gangguan UMN


NCV              :   motorik normal, amplitudo CMAP sedikit menurun.
                          sensorik (N.surales) menurun, amplitudo CMAP sensorik menurun
BAEP & VEP : normal
SSEP              :  tungkai didapatkan pemanjangan P-40 dan P-60 yang menunjukkan adanya suatu
blok 

                          partial antara C7 dan T12. Lengan menunjukkan pemanjangan beda latensi antara C2
dan 

                          C7 (beda >0,7)


Neurobehavior :  gangguan memori baru visual dan auditorik, gangguan fungsi eksekutif (terutama
kalkulasi)

2.3 Diagnosis Ataksia


Diagnosis klinis                         :  Gangguan serebelar (ataksia, disartria, hipotoni, nistagmus horisontal
                                                   bidireksional)

Gangguan piramidalis (hiperefleksia, klonus)

Upward gaze palsy, poor cough

Migren umum         

                         
Diagnosis topik          :  Serebelum, traktus piramidalis, batang otak
Diagnosis etiologi       :  Genetik (herediter)
Diagnosis patologi      :  Degenerasi
2.4 Penatalaksaanaan
Direncanakan pemeriksaan pemetaan gen / DNA spesifik untuk mendeteksi mutasi gen. Terapi
simptomatik : Gabapentin 3x100 mg, antioksidan, analgetik.  Dalam 2 minggu terapi, terlihat
nistagmus, klonus, batuk-batuk dan ataksia sudah mulai berkurang.  Kemudian gabapentin distop
karena alasan biaya, dilanjutkan dengan Buspirone 3x10 mg.  Dilakukan fisioterapi dan konseling
genetika.

2.5 Prognosis
 Quo ad vitam            : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam    : dubia ad bonam
Quo ad sanasionam    : dubia ad bonam

BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyebab Ataksia

Gangguan serebelar yang didapat (acquired) dibagi menjadi akut (intoksikasi obat, ensefalopati
Wernicke, iskemik, vertebrobasiler, perdarahan, inflamasi) dan kronik (multipel sklerosis, induksi
alkohol, fenitoin, hipotiroid, sindroma paraneoplastik, tumor primer atau metastasis). (Greenberg D.
Aminoff M. Simon R. Clinical Neurology). 

Pada penderita ini onset penyakit dimulai pada usia 30-an yang berjalan kronis progresif dengan
manifestasi dominan gangguan berjalan. Tidak ada riwayat infeksi, trauma, penggunaan obat-obatan
dan alkohol sebelumnya.  MRI, foto toraks, dan laboratorium darah menunjukkan hasil normal.  Hal
ini menyingkirkan dugaan adanya tumor atau penyakit akibat metabolik lainnya.  Kekurangan pada
kasus ini adalah tidak dilakukannya pungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi virus
lambat.  

Walaupun demikian, gambaran klinis yang biasanya dijumpai pada infeksi virus lambat seperti
demensia, mioklonik, gangguan ekstrapiramidal dan kelainan MRI tidak terdapat pada penderita ini. 
Eksplorasi kemungkinan penyebab herediter dapat dilihat dari konsentrasi asam homovalinat dan 5-
hidroksiindolasetat dalam cairan likuor.  Pemeriksaan LCS rutin tak dapat memperkuat dugaan
kelainan herediter. (Greenberg D. Aminoff M. Simon R. Clinical Neurology)

Dengan adanya riwayat keluarga dalam 3 generasi yang menderita penyakit serupa memperkuat
dugaan adanya kelainan genetik pada penderita ini.

Online Mendelian Inheritance in Man (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/omim/) mencatat terdapat


sedikitnya 400 penyakit genetik yang berhubungan dengan ataksia,  dan kebanyakan dari gejala
tersebut jarang dijumpai oleh neurologis.  Dalam memperkirakan apakah pasien mempunyai
keterkaitan secara genetik, fokuskan pada beberapa pertanyaan mendasar yang dapat membantu
mempersempit kemungkinan diagnosis. (Paulson HL. Subramony SH. Ataxias: The whats and hows of
acquired and genetic disorders)

4.1.1 Ataksia yang Berasal dari Riwayat Keluarga   

Jika tidak ada riwayat keluarga lain yang jelas dan hanya penderita yang terkena, pikirkan penyebab
non genetik dahulu. Jika ada, gambaran pedigree dibuat sedikitnya 3 generasi.  

Bagaimanakah polanya, apakah autosomal dominan, autosomal resesif, x-linked atau mitokondrial ?
Tipe autosomal dominan ditandai dengan: 
-        penyakit timbul pada setiap generasi
-        pada individu dengan gejala yang manifes memiliki salah satu dari kedua orang tuanya yang
juga manifes
-        setiap anak memiliki probabilitas 50% untuk manifes dan menurunkannya pada generasi
berikutnya
-        wanita dan pria mempunyai kemungkinan yang sama untuk manifes.
-        dapat disertai anticipation (bertambah mudanya usia onset dan bertambah berat gejala yang
timbul dari satu generasi ke generasi di bawahnya). 
-    biasa dimulai pada usia 20-30an.

Tipe autosomal resesif ditandai dengan :


-   tidak selalu timbul pada setiap generasi
-   pembawa gen akan manifes bila memiliki tipe homozigot.  Orang tua dinamakan carrier dan bisa
tidak terkena.
-        tiap anak  mempunyai kemungkinan 25% untuk menderita ataksia resesif dan 50% untuk
menjadi carrier tanpa gejala dan 25% kemungkinan tanpa gejala manifes dan carrier.
-        Biasa dimulai pada usia anak-anak sampai remaja.

Tipe X-linked recessive :


-        Pria lebih sering terkena
-        Anak yang terkena selalu diturunkan dari ibu yang carrier.

Tipe mitokondrial :
Diturunkan secara maternal, dan biasanya tidak ada riwayat keluarga lain yang terkena.

Dari gambaran pedigree terlihat bahwa semakin muda generasi yang terkena, onset penyakit terjadi
lebih awal yaitu di usia 30-an.  Ini menunjukkan adanya anticipation dan juga mengenai setiap
generasi baik pria ataupun wanita.  Kasus ini sangat mungkin merupakan autosomal dominan
herediter.  Ayah penderita yang meninggal pada usia 20-an, tanpa adanya riwayat gangguan
berjalan, kemungkinan gejala belum manifes.

4.2  Gejala Ataksia 

Umumnya kelompok dengan gejala ataksia onset awal berbeda dengan onset lanjut.  Ataxia
telangiectasia (AT), Fredreich ataxia (FA), dan penyakit metabolik resesif lainnya biasanya
bermanifestasi di usia anak-anak atau remaja.  Sedangkan spinocerebellar ataxia(SCA) biasanya tidak
menunjukkan gejala sampai usia dewasa.
      
4.2.1 Ataksia intermiten atau progresif  

Pada defisiensi metabolik resesif biasanya menyebabkan ataksia intermiten yang dicetuskan oleh
infeksi.  Episodik ataksia dominan (EA) yang disebabkan mutasi potasium atau calcium ion channel,
juga terjadi secara intermiten.  Sebaliknya pada FA, AT dan SCA terjadi ataksia yang progresif.

Onset penyakit yang progresif pada penderita ini dan riwayat keluarga lain yang terkena, dimulai
dari usia 30-an sampai 60-an dan tidak terdapat gejala kardiomiopati (khas untuk Fredreich ataxia),
oculocutaneous telangiectasia (khas untuk Ataxia telangiectasia), serta gangguan metabolik lain. 
Kemungkinan  penderita ini termasuk dalam tipe autosomal dominan SCA.

4.2.2 Gejala Lain yang Menyertai Ataksia


            Kebanyakan ataksia herediter tidak menunjukkan gejala serebelar murni (pure cerebellar
ataxia), tetapi dapat disertai gejala neurologis dan non-neurologis lainnya.

4.2.3 Autosomal dominant Cerebellar Ataxia (ADCA)

Persamaan ADCA yang biasa digunakan untuk menggambarkan genetik molekular adalah
spinocerebellar ataxia (SCA) atau inherited olivopontocerebellar atrophy atau Marie’s ataxia. (  Bird
TD. Hereditary Ataxia Overview).

Sebelum era genetik molekular,  Harding membagi ADCA  berdasarkan gejala klinik menjadi :
-        ADCA tipe 1 (tipikal) menunjukkan gejala serebellar dan batang otak progresif termasuk
oftalmoplegi, ekstrapiramidal, demensia, optik atrofi dan neuropati perifer. (SCA 1,2,3,4,18)
-        ADCA tipe 2  sama seperti tipe 1, tetapi disertai pigmentary retinal degeneration (SCA 7).
-        ADCA tipe 3  berupa ataksia serebelar murni  (SCA 6,8,10,11,15)
-        ADCA tipe 4 dengan mioklonus dan tuli (SCA 14, DRPLA)
-        ADCA tipe 5 dengan tremor essensial (SCA 12,16)
-        ADCA tipe 6 dengan episodic ataxia (EA 1,2,3,4, SCA 6 awal))

ADCA biasa muncul pada dekade 30-50 an.  Walaupun disebabkan oleh defek genetik yang berbeda,
SCA dapat bermanifestasi dengan gejala klinis yang mirip dan saling tumpang tindih antara satu tipe
dengan lainnya.  Terdapat 23 tipe SCA dan tipe SCA yang tersering dan tersebar di sebagian besar
dunia adalah SCA 2 (15%), SCA 3 (21%), SCA 6 (15%).  Tipe yang sudah ditemukan dan dapat
diperiksa genetiknya adalah SCA 1,2,3,6,7,8,10,12,17, DRPLA dan EA 1,2.  Gambaran klinis lain yang
menyertai selain gejala serebelum yang berhubungan dengan masing-masing tipe dapat dilihat pada
tabel. Menurut geografisnya, di negara belahan Timur termasuk Cina, Singapore, Jepang, India,
Korea, tipe yang terbanyak adalah SCA 1,2,3,6. 
Dalam penelitian Abele, dkk menunjukkan bahwa pada SCA tipe 1,2,3 somatosensory evoked
potensials mengalami pemanjangan, disertai penurunan aksi potensial serabut sensorik yang
menandakan adanya neuropati aksonal.  Sedangkan kelainan VEP banyak dijumpai pada SCA 1.
Penelitian Burk, dkk menyatakan bahwa 25% SCA 2 menderita demensia, disamping itu SCA tipe 1
dan 3 juga dapat mengalami gangguan kognitif ringan pada tahap lanjut. 

Pada penderita ini didapatkan gejala klinis gangguan serebelar (ataksia, nistagmus, disartria,
dismetria okular ringan), gangguan piramidal (hiperefleksia dan klonus), upward gaze palsy, poor
cough, gangguan sensorik (NCV menurun dan pemanjangan SSEP) , gangguan memori baru dan
kalkulasi. Jika dilihat dari gejalanya, progresifitas penyakit ini relatif lebih lambat, yaitu setelah rata-
rata 5 tahun dari onset, keluarga yang terkena masih dapat bertahan, walau sudah menggunakan
kursi roda. Pada penderita belum ada gejala demensia yang menonjol, serta gambaran atrofi
serebelum pada MRI masih belum nampak, kemungkinan penderita termasuk dalam tipe SCA 1 atau
SCA 3.  Jika berdasarkan letak geografis, untuk Asia tipe yang terbanyak adalah SCA 3 (MJD).

Dikatakan bahwa proton MR spectroscopy sangat baik dalam mendeteksi adanya disfungsi
neuroaksonal pons dan serebelum pada penderita dengan ataksia degeneratif, walaupun atrofi yang
nyata belum nampak pada pemeriksaan MRI biasa. (Mascalchi M, Cosottine M, Lolli F, Salvi F, Tessa
C, Macucci M, et al. Proton MR spectroscopy of the cerebellum and pons in patients with
degenerative ataxia. Radiology)

Dilaporkan bahwa pada SCA tipe 6 dan episodic ataxia (EA) tipe 2 juga ditemukan gejala familial
hemiplegic migraine.  Gejala migren yang timbul pada penderita ini tidak terkait dengan riwayat
keluarga yang lain.  Masih ada kemungkinan bahwa ini merupakan suatu penyakit yang terpisah. 

4.4 Pemeriksaan genetika dan konseling genetika


Ketika ada riwayat keluarga yang mendukung kecurigaan adanya kelainan herediter, pemeriksaan
genetik sebaiknya dilakukan. Ini disebabkan karena gejala yang saling tumpang tindih, sehingga sulit
membedakannya dengan hanya berdasarkan kriteria klinis saja.  Algoritme klinik untuk pemeriksaan
genetik dapat dilihat pada gambar.  (Paulson HL. Inherited Ataxias)
            

Perubahan genetika yang terjadi pada SCA tipe 1,2,3,6,7,12 disebabkan oleh pemanjangan rantai
CAG (polyglutamine) yang kemudian merusak fungsi normal dari protein yang dibuat oleh gen.
Pemeriksaan gen yang saat ini tersedia adalah untuk FA, SCA !,2,3,6,7,8,10,12,17, dan DRPLA. 
Pemeriksaan ini sangat spesifik dan akurat dalam menegakkan diagnosis pasti.

Konseling genetik pada pasien dan keluarga sangat perlu dilakukan sebelum dan sesudah
pemeriksaan genetik,guna menjelaskan implikasi dari hasil pemeriksaan tersebut.  Keuntungan dari
pemeriksaan genetik adalah 1)dapat membeikan diagnosis yang akurat kepada pasien dan keluarga,
2) dapat memperkirakan prognosis, komplikasi potensial dan penatalaksanaan yang mungkin
dilakukan, 3) membahas kemungkinan risiko genetik yang terjadi kepada anggota keluarga lain. 
Kerugiannya adalah jika terdapat interpretasi hasil yang tidak tepat terhadap keluarga dan pasien.

Hasil negatif atau normal pada pasien dengan manifestasi gejala klinik, tidak berarti pasien tersebut
tidak menderita penyakit genetik.  Kemungkinan pasien menderita tipe SCA lain yang tak dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan gen yang dilakukan.  Bila orangtua pasien sudah diketahui pasti
menderita tipe tertentu, maka hasil negatif pasien berarti tak membawa gen tersebut (akurasi
100%).  Hasil positif berarti pada pasien tersebut terdapat gen SCA dengan akurasi 100%, walaupun
tanpa gejala klinik yang nyata dan kemungkinan akan bermanifestasi di waktu mendatang.

Bahan sediaan dapat diambil dari sampel darah atau jaringan. 


Bila belum diketahui tipe SCA, pemeriksaan lebih ditujukan untuk SCA tipe 1,2,3,6,7.  Bila tipe sudah
diketahui, cukup diperiksa  satu tipe saja. Predictive testing dapat dilakukan pada individu
asimtomatik, guna memprediksi usia onset, berat ringannya gejala, tipe dan  progresifitas penyakit. 
Selain itu dapat dipergunakan untuk memilih pola hidup yang sesuai dan merencanakan pekerjaan
mendatang.  Tetapi juga harus dipertimbangkan impak psikologis dan sosial yang ada.

4.5 Penatalaksanaan  dan  prognosis          

Tidak ada terapi sesifik untuk penderita SCA.  Penatalaksanaan suportif ditujukan untuk mengatasi
gejala dan komplikasi serta mengoptimalkan kemampuan penderita untuk menghadapi kondisi
neurologi kronis progresif dengan rehabilitasi (okupasional , latihan fisik, latihan bicara), psikoterapi
dan konseling, sehingga dapat memperbaiki aktivitas hidup sehari-hari dan kualitas hidupnya.
            

Seperti penyakit herediter lainnya, pada SCA belum diketahui obat-obat yang dapat menghambat
progresifitas perjalanan penyakit.  Obat-obat yang diberikan bersifat simtomatik saja, terutama
untuk memperbaiki fungsi motorik dan ataksia.  Penggunaan obat-obat sesuai indikasi gejala yang
timbul dapat dilihat pada tabel.  (Bird TD. Hereditary Ataxia Overview. Gene Reviews).
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan dalam mengatasi ataksia adalah dengan L-5-OH
tryptophan, Amantadine, Buspirone, Physostigmine.  Dari open studies dan placebo trial  yang
dilakukan, Amantadine dan Buspirone menunjukkan hasil yang lebih baik.  Buspirone
(Busparâ)adalah suatu  5-hydroxytryptamine (serotonin) yang bekerja dengan menginhibisi
pelepasan glutamate di serebelum.  Diketahui bahwa serebelum memiliki banyak reseptor 5-HTIA. 
Buspirone diberikan dengan dosis awal 20 mg/hari dan dinaikkan bertahap sampai dosis maksimal
60 mg/hari.  Selain itu penelitian tetrahyrobiopterin (open trial)untuk SCA 3 menunjukkan hasil yang
menguntungkan.  Pemberian acetazolamide untuk ataksia episodik (EA) dan SCA 6, serta  isoleucine
untuk SCA 6 menunjukkan hasil yang menguntungkan. 

Awalnya penderita diberikan gabapentin 300 mg/hari.  Setelah 2 minggu, terlihat perbaikan gejala
klinis, batuk-batuk, nistagmus, klonus dan ataksia berkurang.  Kemudian terapi diteruskan dengan
Buspirone 20 mg/hari, yang kemudian dinaikkan menjadi 30 mg/hr.  Selain itu juga dilakukan
fisioterapi dan psikoterapi pada penderita serta informasi dan edukasi kepada keluarga.
            

Penderita dengan degenerasi spinoserebelar herediter  rata-rata dapat bertahan lebih dari 15 tahun
setelah onset.  Tetapi pada progresifitas yang cepat, kecacatan yang berat dan kematian dapat
terjadi setelah 5-8 tahun setelah onset.  Hal ini biasanya terkait dengan gejala bulbar (central and
obstructive sleep apneas, stridor, aspirasi), rigiditas yang tidak diobati, gangguan otonom.  Pada
kondisi ini prognosis lebih buruk.
            

Kematian biasanya disebabkan oleh komplikasi yang terjadi, terutama untuk penderita bed-bound. 
Depresi juga banyak dijumpai pada penyakit neurologis degeneratif.  Hal ini meningkatkan
kecenderungan untuk bunuh diri.  Belum ada data yang pasti mengenai angka kematian penderita
karena kasus sangat jarang dan sangat variatif jenisnya.  (Perlman SL. Diagnostic dillemas in
spinocerebellar degeneration)
Pasien ini mempunyai prognosis cukup baik, dilihat dari progresifitas penyakitnya yang tidak cepat
dan fungsi serebelar masih cukup baik (clinical rating scale menunjukkan disfungsi ringan).  Penderita
ini juga tidak menderita depresi.  Walaupun demikian tetap diperlukan antisipasi dan konseling
dalam mengatasi dampak psikologis dan sosial di masa mendatang, terutama masalah pekerjaan dan
kehidupan sosialnya.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1.    Gangguan serebelar yang didapat (acquired) dibagi menjadi akut (intoksikasi obat, ensefalopati
Wernicke, iskemik, vertebrobasiler, perdarahan, inflamasi) dan kronik (multipel sklerosis, induksi
alkohol, fenitoin, hipotiroid, sindroma paraneoplastik, tumor primer atau metastasis), bisa juga
disebabkan oleh kelainan genetik

2.    Dampak dari Ataksia bagi penderita adalah gangguan pergerakan retina, Berjalan tandem
terganggu (cenderung ke kiri), gangguan bicara dan ketidakseimbangan pada auditori. Gangguan
pada fungsi eksekutif (kalkulasi) dan fungsi luhur, Retardasi mental, gangguan psikomotor,
progresifitas lambat, dengan onset awal, tremor, gangguan kognitif ringan, kematian. dan
sebagainya.

3.    Penatalaksanaan suportif ditujukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi serta
mengoptimalkan kemampuan penderita untuk menghadapi kondisi neurologi kronis progresif
dengan rehabilitasi (okupasional , latihan fisik, latihan bicara), psikoterapi dan konseling, sehingga
dapat memperbaiki aktivitas hidup sehari-hari dan kualitas hidup penderita. Obat-obat yang
diberikan bersifat simtomatik saja, terutama untuk memperbaiki fungsi motorik dan ataksia.

Saran
1.    Untuk keluarga pasien : Hendaknya teratur memberikan fasilitas konseling. Mengatur aktifitas
sehari-hari penderita dengan lebih baik. Mengadakan psikoterapi dan rehabilitasi khusus serta tak
henti memberikan motivasi pada penderita untuk mengurangi depresi.

DAFTAR PUSTAKA

Smith CO, Bennet Rl, Bird TD. Spinocerebellar Ataxia: Making an Informed Choice about genetic
testing. Med.Genetics and Neurology[serial online] 1999. Available from: URL:
http//www.rehabinfo.net /
        Bird TD. Hereditary Ataxia Overview. Gene Reviews [serial online] 2002. Available from: URL:
http/www.geneclinics.org/
      Greenberg D. Aminoff M. Simon R. Clinical Neurology. 5th ed.  Stamford: Appleton & Lange,
2002. h.113-124
Paulson HL. Subramony SH. Ataxias: The whats and hows of acquired and genetic disorders. AAN
2003. h. 7DS.003
Paulson HL. Inherited Ataxias. AAN 2003. h. 3FC.002-3
Perlman SL. Diagnostic dillemas in spinocerebellar degeneration. AAN 2002. h. 3FC.003-94-107

Anda mungkin juga menyukai