Anda di halaman 1dari 15

mikoriza untuk lahan kritis

APLIKASI MIKORIZA DALAM UPAYA REHABILITASILAHAN


KRITIS DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luas lahan kritis di Indonesia diperkirakan telah mencapai 25 hektar per menit. Lahan
kritis dan tanah kosong di luar kawasan hutan yang umumnya tidak produktif seperti padang
ilalang, tanah-tanah terlantar, sebagian besar hanya dimanfatkan ntuk usaha tani lahann kering
yang dalam pengelolaanya masih belum memperhatikan aspek konservasi ( Departemen
Kehutanan dan perkebunaan , 2000 ) dalam Utomo (2008).
Akhir-akhir ini berbagai aktivitas manusia yang banyak melibatkan beberapa kehiatan
seperti pembukaan hutan , penebangan kayu , penambangan , pembukaan lahan pertanian dan
perkotaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa rusaknya vegetasi
hutan sebagai habitat satwa dan kemungkinan hilangnya jenis- jenis flora atau fauna endemik
langka sebagai sumbee plasma nutfah potensial , rusaknya sistem tata air (waterhed) ,
meningkatnya laju erosi permukaan , menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan serta
biodiversitas flora dan fauna (Fitriatin , B.N , 2002).
Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan
direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu
mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik (Setiyadi dan Arif , 2011).
Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral,
meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi agregat yang stabil dan
meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994;
Jasper 1994 dalam Setiadi 1995) (Setiyadi dan Arif , 2011).
FMA merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan
daya hidup dan pertumbuhan tanaman, khususnya pada lokasi pasca tambang (Kiernan et al.,
1983; Garedner & Malajczuk, 1988; Jasper et al., 1988 dalamSetiadi, 1995) (Setiyadi dan Arif ,
2011) .
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat digunakan untuk membantu program
merehabilitasi lahan-lahan kritis. Kemampuanya dalam memperbaiki status nutrisi tanaman
tersebut pada saat ini dapat dijadikan sebagai alternatif strategis untuk mensubtitusikan sebagian
kebutuhan pupuk yang diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah
(Setiadi,1992) dalam (Utomo,2008).
B. Tujuan

Tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk membahas mengenai peran mikoriza sebagai
agens bioremediasi pada lahan kritis sehingga bisa memberikan pengetahuan pembaca terkait hal
tersebut.

BAB II
ISI
A. Mikoriza
Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar tumbuhan dan fungi
tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh danberkembang memerlukan karbohidrat dari
tumbuhan dan tumbuhan (fitobion) memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa
fungi selama siklus hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan
dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, spesies fungi
maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai ke daerah tropis dan dari
daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan sekitar 80 - 90% spesies tumbuhan
yang ada (Novera , 2008).
Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan
fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada
lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan pada lingkungan yang tecemar limbah
berbahaya fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Novera , 2008).
Kolonisasi fungi mikoriza arbuskula ditandai oleh adanya struktur arbuskula, vesikula,
hifa koil, hifa interseluler dan intraseluler yang tidak memiliki septat ( Harley & Smith 1983)
dalam Novera (2008). Gallaud (1995) dalam Smith dan Read (1997) membagi struktur internal
fungi mikoriza arbuskula menjadi dua kelompok yaitu tipe arum dan tipe paris. Perbedaan tipe
arum dan tipe paris ditentukan oleh dominansi hifa interseluler dan arbuskula yang terbentuk.
Pada tipe arum, arbuskula terbentuk secara terminal di dalam sel-sel korteks dari hifa yang
tumbuh secara longitudinal di antara sel-sel korteks, pada tipe paris arbuskula terbentuk secara
interkalar pada hifa koil di dalam sel-sel kortek akar (Brundrett et al. 1995) dalam Novera
(2008).Menurut Menoyo et al. (2007) dalam Novera (2008) tipe arum ditandai oleh hifa intersel,
vesikula intersel atau intrasel dan arbuskula terminal pada cabang hifa intrasel. Tipe paris
ditandai oleh hifa intrasel, vesikula intrasel, hifa koil intrasel dan arbuskul intrasel yang
terbentuk dari hifa koil intrasel. Dickson (2004) menyatakan kolonisasi tipe arum terdiri dari hifa
interseluler dan arbuskula, tipe paris terdiri dari hifa intraseluler, hifa koil dan arbuskula yang
terbentuk dari koil. Menurut Cavagnaro et al.( 2001) dalam Novera (2008).pada tipe arum fungi
membentuk hifa interseluler diantara sel-sel korteks dan arbuskula intraseluler di dalamnya,
sedangkan pada tipe paris fungi membentuk hifa koil dan arbuskula koil dalam jaringan korteks,
dan tidak terbentuk hifa interseluler pada fase kolonisasi.
Menurut Willay et al (2008) bahawa Fungi mikoriza arbuskular merupakan jenis
mikoriza yang paling umum yang dapat ditemukan ketika berasosiasi dengan tanaman tropis.
mikroba ini akan memasuki sel akar tepatnya pada dinding selnya serta menginvaginasi pada
membran plasma tapi tidak merusak membran sel. FAM juga dipercaya bisa memberikan
perlindungan tanaman dari berbagai penyakit dan hama. Selain itu, FMA juga bisa meningkatkan
daya saing tanaman serta adaptasi terhadap lingkungan.

FMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah
dengan kondisi yang kurang menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman
inang akan memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus
lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air ( Cruz et
al,2004) dalam (Hartoyo dkk,2011). Selain itu menurut Karthikeyan(2008) FMA bisa menambah
kemampuan akar tanaman dalam mengabsorbsi beberapa nutrien tanah seperti P,Zn, Cu dan
lainya. FMA juga mampu meningkatkan kemampuan pertahanan tanaman dari patogen akar.
FMA merupakan salah satu agen pengendali hayati yang digunakan untuk mengendalikan
patogen tular tanah dan mampu meningkatkan penebalan lignin dinding sel tanaman sehingga
terjadi penambahan rigiditas mekanik dan kekuatan dinding sel ,serta FMA mampu merangsang
tanaman inang untuk meningkatkan konsentrasi fitoaleksin (Huzhe et al,2005) dalam
(Rosiana,2009).
Mikoriza berperan dalam meningkatkan ketahanan hidup tanaman terhadap penyakit,
kekeringan atau kondisi ekstrim lainnya dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan
bertambahnya kemampuan akar dalam menyerap unsur hara yang dibutuhkan. Akar tanaman
yang pendek dan serabut atau akar tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik akibat sifat
fisik dan kimia tanah yang rusak dapat terbantu perannya dalam menyerap air dan unsur hara.
Hifa mikoriza yang telah menginfeksi akar tanaman dapat menjulur sampai 10 meter sehingga
mampu menyerap unsur hara dan air pada daerah yang tidak dapat terjangkau oleh akar. Pada
tanaman bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan cenderung lebih
dapat bertahan dari kerusakan korteks dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Gangguan
perakaran ini tidak akan berpengaruh permanen pada akar-akar bermikoriza. Peranan langsung
mikoriza adalah membantu akar dalam meningkatkan penyerapan air karena hifa cendawan
masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami
kesulitan mengabsorbsi air, hal ini dikarenakan hifa utama cendawan mikoriza di luar akar
membentuk percabangan hifa yang lebih kecil dan halus dari rambut akar dengan diameter kirakira 2 m (Sasli, I, 2004).
Jadi mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dan
perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan
memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan
memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap
unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka mikoriza dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni Ektomikoriza dan Endomikoriza (CMA)
( Husna , dkk ,2007 ).
Mikoriza arbuskula terbentuk hampir pada semua spesies tumbuhan seperti: Bryophyta,
Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae. Hanya beberapa tumbuhan yang tidak
berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, terutama tumbuhan yang membentuk ektomikoriza
(misalnya Pinaceae, Betulaceae) atau yang membentuk tipe endomikoriza lainnya (Harley &
Smith 1983) dalam Novera (2008).

B. Jenis Mikoriza
Menurut Novera (2008) berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman
inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan
endomikoriza. Pola asosiasi antara fungi mikoriza dengan akar tanaman inang menyebabkan
terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dan endomikoriza.
Pada ektomikoriza jaringan hifa fungi tidak sampai masuk ke dalam sel tapi berkembang
diantara sel kortek akar membentuk hartig net dan mantel di permukaan akar. Simbiosis ini
biasanya terjadi pada akar spesies-spesies pohon yang dapat dibedakan sistem perakarannya,
yaitu tumbuhan yang memiliki akar panjang dan akar pendek. Akar yang dikolonisasi oleh fungi
ektomikoriza sebagian mengalami perubahan dalam morfologi dan anatominya. Pada umumnya
kolonisasi fungi pada ektomikoriza menyebabkan akar menjadi gemuk dan pendek.
Ektomikoriza biasanya ditemukan pada akar melinjo (Gnetum gnemon) Pinus sp.,
Dipterocarpaceae dan Eucalyptus sp. Fungi ektomikoriza terdiri atas basidiomiset, askomiset dan
satu anggota zigomiset yaitu Endogone (Brundrett et al. 1994). Pada endomikoriza kolonisasi
fungi terjadi secara interseluler dan intraseluler. Pada mikoriza vesikula arbuskula, setelah
penetrasi hifa ke dalam jaringan korteks akar akan membentuk struktur arbuskula yang
merupakan percabangan dikotom yang intensif dari hifa intraseluler yang berperan dalam
transfer nutrisi antara fungi dan tumbuhan inang. Kadang-kadang juga membentuk struktur yang
khas berbentuk oval yang disebut vesikula. Vesikula merupakan organ fungi yang berfungsi
sebagai penyimpan makanan cadangan.
Endomikoriza dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu: ektendomikoriza, mikoriza
arbuskula (MA), mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza ericoid, mikoriza anggrek
(orchid) (Smith & Read 1997) dalam Novera (2008). Dari ke tujuh tipe mikoriza, MA merupakan
mikoriza yang paling umum dijumpai. Sembilan puluh lima persen tumbuhan di dunia
membentuk simbiosis mikoriza. Sebagian besar tumbuhan bermikoriza ialah mikoriza arbuskula
(Novera ,2008).

C. Bioremediasi
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran (Munir,2006). Menurut
(Alexander, 1977 dan Widyati, 2008) dalam Hayati (2011) bioremediasi merupakan suatu proses
pemulihan polutan dengan memanfaatkan jasa makhluk hidup seperti mikroba (bakteri, fungi,
khamir), tumbuhan hijau atau enzim yang dihasilkan dalam proses metabolisme mereka.
Keberhasilan proses bioremediasi menurut Munir (2006) harus didukung oleh beberapa
disiplin ilmu seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia organik, biokimia gegetika molekuler,
kimia air, kimia tanah dan juga teknik.
Menurut Fitriatin, dkk (2008) peningkatan produktivitas lahan kritis antara lain dilakukan
karena pemebrian pupuk phosphat baik berupa pupuk buatan maupun pupuk alam. Namun pupuk
phosphat memiliki kelarutan rendah sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman.
Peningkatan efesiensi pemupukan dapat dilakukan dengan aplikasi mikroba tanah seperti mikrob
pelarut fosfat dan fungi mikoriza arbuscula.
Mikrob pelrut fosfat merupakan kelompok mikrob tanah sering dimanfaatkan untuk
rehabilitasi lahan kritis ( setiadi, 2001) . MPf mampu mehekstraksi fosfat dari ikatanya denan Al.
Fe, Ca, dan Mg karena mikrob ini mampu mengeluarkan asam organik yang dapat membentuk
kompleks stabil dengan kation-kation pengikat fosfat di dalam tanah( Withelew,2000) dalam
(Fitriatain,dkk,2008)
D. Lahan kritis
Lahan kritis memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam tergantung pada
peneybab kerusakan lahan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi lahan kritis
menyebabkan tanaman tidak cukup mendapatkan air dan unsur hara , kondisi fisik tanah yang
tidak memungkinkan agar berkembang dan proses infiltrasi air hujan , kandungan garam yang
tinggi akibat akumulasi garam sekunder atau intrusi air laut yang menyebabkan plasmolisis atau
tanaman keracunan oleh unsur toksik yang tinggi ( subiaksa ,2006) dalam Utomo (2008).
Selain itu, kondisi tanah yang kompak karena pemadatan dapat menyebabkan buruknya
system tata air ( air infiltrasi dan perlokasi ) dan aerasi yang secara langsung dapat membawa
dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Rusaknya strukutr juga menyebabkan
tanah tidak mampu untuk menyimpan dan meresapkan air pada musim hujan , sehingga aliran
permukaan menjadi tinggi dan berdampak pada laju erosi ( Fitriatain, T.T).
Dalam profil tanah yang normal , lapisan tanah atas merupakan sumber unsur-unsur hara
makro dan mikro yang esensial bagi pertumbuhan tanaman, dan juga sebagai sumber bahan
organik untuk menyokong kehidupan dan aktivitas mikroba tanah yang potensial. Tipis dan
kurangnya lapisan top soil dan bahan organik diangap sebagai penyebab utama buruknya tingkat
kesuburan tanah pada lahan-lahan kritis. Kadar unsur esensial seperti N dan P , dan reaksi tanah

masam (pH rendah) atau alkaline (pH tinggi), seta rendahnya nilai KTK (kapasitas tukar kation)
merupakan problema umum yang dijumpai pada lahan-lahan kritis (Fitriatain, T.T).
Namun, pengembangan pertanian di lahan kering seringkali menghadapi berbagai
kendala antara lain miskin unsur hara esensial seperti N, P, K, Ca dan nilai tukar kation (KTK)
rendah sehingga unsur hara mudah lepas dan tercuci dimana bersamaan dengan itu terjadi
peningkatan hara toksik seperti Al, Fe dan Mn (Suterisno, 2010) dalam (Hapsari,2011).
Menurut Hapsari (2011) apabila lahan kritis tidak diupyakan untuk rehabilitasi dan
konservasi maka tanah tersebut tidak dapat lagi berfungsi sebagai unsur produksi media pengatur
tata air ,dan perlindungan lingungan. Untuk mencegah lahan kritis dan untuk meningkatkan
produktivitasnya untuk keperluan pertanian , perkebunan, kehutanan, dan pelestarian alam, perlu
dilakukan upaya upaya yang dapat memodifikasi lingkungan tumbuh tanaman.
E. Peran Penting Mikoriza
Beberapa peran penting FMA menurut Novera ( 2008) adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan.
Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% spesies tanaman
dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. FMA
yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif
sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air. Posfat
merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza, serta unsur-unsur
mikro sepeti Cu, Zn dan Bo (Sieverding 1991) dalam (Novera , 2008). Posfat adalah salah satu
unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman, tetapi
ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas, sehingga sering kali
menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Kemampuan
FMA dalam memperbaiki status nutrisi tanaman dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk
efisiensi penggunaan pupuk buatan, terutama posfat.
2. Sebagai pelindung hayati (bio-protection).
Selain perbaikan nutrisi (terutama posfat), FMA juga mampu meningkatkan daya tahan
tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. FMA juga dapat membantu pertumbuhan
tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, seperti pada lahan-lahan pasca tambang.
Dengan demikian selain berfungsi sebagai bio-protection, FMA juga berfungsi penting
sebagai bioremediator bagi tanah yang tercemar logam berat. Selain itu fungi ini juga mampu
meningkatkanv resistensi tanaman terhadap kekeringan (Hetrick 1984) dalam (Novera , 2008).
3. Terlibat dalam siklus biogeokimia
FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada habitat yang
mendapat gangguan ekstrim (Allen & Allen 1992) dalam (Novera , 2008). Keberadaan FMA
juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara

(nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan
stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati.
4. Sinergis dengan mikroorganisme lain.
FMA pada tanaman leguminosa diperlukan karena pembentukan bintil akar dan
efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteriRhizobium/Bradyrhyzobium yang terdapat di
dalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya
seperti bakteri penghambat N bebas dan bakteri pelarut posfat, serta sinergis dengan mikroba
selulotik seperti Trichoderma sp. (Bethlenfavay 1992) (Novera , 2008). Berdasarkan kemampuan
tersebut, maka FMA dapat berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar
perakaran tanaman atau rizosfir.
5. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan.
FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dengan cara
transfer nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lain yang berdekatan melalui struktur yang
disebut hyphal bridge (Allen & Allen 1992) (Novera , 2008). Transfer nutrisis ini berlangsung
dari induk ke anakan. Dengan demikian aplikasi FMA tidak hanya terbatas pada pola tanaman
monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit manajemen pola tanaman campuran (Setiadi
2003) (Novera , 2008).
F. Peran Mikoriza Pada Lahan Kritis
Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan
direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu
mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik. Bibit pohon yang ditanam banyak yang mati,
dan untuk pohon yang bertahan hidup pertumbuhannya tidak maksimal (Setiadi, 1995). Hal
tersebut disebabkan karena tanah yang masam, defisiensi P, keracunan logam Al dan Fe,
rendahnya aktivitas mikroba dan juga mengalami stress air. Dengan demikian perlu dilakukan
usaha-usaha dengan menggunakan input teknologi agar dapat menunjang proses revegetasi
tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengaplikasikan peran fungi mikoriza
arbuskula (FMA) sebagai inokulum (Setiadi dan Arif , 2011)
Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral,
meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi agregat yang stabil dan
meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994;
Jasper 1994dalam Setiadi 1995). (2). Selain itu FMA merupakan pupuk yang hanya cukup sekali
digunakan (once application), karena FMA merupakan makhluk hidup yang dapat terus tumbuh
dan berkembang (Setiadi dan Arif , 2011).
Berikut adalah beberapa peran mikoriza antara lain sebagai berikut:
1. Peran mikoriza pada lahan Utilisol
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga
mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi
merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat

mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya
ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah
menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang
cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan
kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini
mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin
kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al
tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi
1993) dalam (Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006)
Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit
(> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping
(0%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (58%),
tetapi tinggi pada lapisan bawah (3778%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol
berhubungan erat dengan pH tanah(Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006).
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung
intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat
dan sebagian terbawa erosi. pemupukan secara kimiawi seringkali tidak efisien karena P
langsung difiksasi oleh aluminium (Adiningsih et al., 1989) dalam (Prasetyo dan Suriyadikarta ,
2006). Selain itu, pupuk kimia merupakan masukan yang membutuhkan energi dan biaya tinggi
(Setiawati et al., 1996) dan penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran
lingkungan (Prihartini et al., 1996) dalam (Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006)
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah
pemanfaatan Cendawan Mikoriza Vesikula Arbuskula (CMVA). Gunawan (1993), menyatakan
bahwa cendawan ini mampu melarutkan P yang sukar larut dengan menghasikan enzim fosfatase
dan senyawa pengkhelat Al. CMVA juga dapat meningkatkan serapan P dengan adanya hifa
eksternal yang memiliki jangkauan luas (Mosse, 1981), mampu mempercepat tersedianya P dar
KSP sehingga akan dapat meningkatkan serapan P tanaman (Mahbub,1999)
Serapan P tanaman (Mosse, 1981; Baon, 1983). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
jumlah tapak serapan yang disebabkan oleh luas permukaan serapan yang lebih besar karena
adanya hifa eksternal (Gunawan, 1993) dalam (Mahbub,1999). Hifa ini berfungsi sebagai
perluasan dari permukaan akar di samping daerah yang dijelajahi oleh rambut akar (Prihartini et
al., 1996) dalam (Mahbub,1999). Dibanding akar tak bermikoriza, akar bermikoriza lebih
mampu menyerap P pada tanah dengan kadar P rendah (Paul dan Clark, 1996). Mikoriza diduga
juga mampu menyerap P dari sumber-sumber mineral P yang sukar larut karena menghasilkan
asam-asam organik dan enzim fosfatase (Gunawan, 1993) dalam (Mahbub,1999). Senyawa ini
mampu melepaskan ikatan-ikatan P sukar larut, seperti Al-P dan Fe-P sehingga ketersediaan P
meningkat (Bolan, 1991 dalam Suharjo, 1996). Aktivitas enzim fosfatase tanaman bermikoriza

delapan kali lebih tinggi disbanding yang tidak bermikoriza (William and Alexander, 1975 Reid,
1984) dalam (Mahbub,1999).
Aplikasi teknologi mikoriza pada tanah ultisol akan mampu meningktkan kesehatan dan
kesuburan tanah sehingga bisa dihasilkan produk pertanian yang maksimal.
2. Perananan Mikoriza dalam Upaya Revegetasi Lahan Kritis Hutan Tropis
Akhir-akhir ini berbagai aktivitas manusia yang banyak melibatkan beberapa kehiatan
seperti pembukaan hutan , penebangan kayu , penambangan , pembukaan lahan pertanian dan
perkotaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa rusaknya vegetasi
hutan sebagai habitat satwa dan kemungkinan hilangnya jenis- jenis flora atau fauna endemik
langka sebagai sumbee plasma nutfah potensial , rusaknya sistem tata air (waterhed) ,
meningkatnya laju erosi permukaan , menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan serta
biodiversitas flora dan fauna (Fitriatin , B.N , 2002).
Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan
direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu
mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik (Setiyadi dan Arif , 2011).
Dalam pelaksanaanya, program reboisasi dan revegetasi teresebut seringkali mendapat
hambatan yang serius karena kondisi tanah yang tidak menguntungkan. Kendala fisik dan kimia
tanah yang sering dijumpai antara laian reaksi tanaha yang rendah (pH rendah), kahat hara
terutatama pospor (P) dan nitrogen (N), lapisan tanah yang tipis dan miskin organik. Kondisi
tersebut kendala utama dalam pertumbuhan dan keberhasilan reboisasi. Semai yang baru
ditanaman pertumbuhanya lambat karena daya hidupnya rendah. Hal ini terutama disebabkan
kondisi tanah yang tidak menguntungkan untuk menyokong pertumbuhan tanaman. Tanaman
sukar tumbuh dan mempunyai daya dukung yang rendah.1
Untuk menunjang keberhasilan dalam program revergetasi dab rehabilittasi lahan-lahan
rusak tersebut, diperlukan suatau strategi pengembangan bioteknologi dengan pemanfaatan
cendawan mikoriza arbuskula yangdiharapkan mampu bertindak sebagai agens bioremediator
dan penyubur lahan-lahan mati di wilayah reboisasi.
Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral,
meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi agregat yang stabil dan
meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994;
Jasper 1994 dalam Setiadi 1995) (Setiyadi dan Arif , 2011).
FMA merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan
daya hidup dan pertumbuhan tanaman, khususnya pada lokasi pasca tambang (Kiernan et al.,
1983; Garedner & Malajczuk, 1988; Jasper et al., 1988 dalam Setiadi, 1995) (Setiyadi dan Arif ,
2011) .
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat digunakan untuk membantu program
merehabilitasi lahan-lahan kritis. Kemampuanya dalam memperbaiki status nutrisi tanaman
tersebut pada saat ini dapat dijadikan sebagai alternatif strategis untuk mensubtitusikan sebagian

kebutuhan pupuk yang diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah
(Setiadi,1992) dalam (Utomo,2008).
Selain membantu tanaman dalam penyerapan hara, CMA dapat menyebabkan tanaman
lebih toleran terhadap tekanan lingkungan seperti kekeringan , suhu tyang ekstrem dan
kemasamanb tanah. Mikoriza yaang dapat meningkatkan pembebtukan agregat tanah di sekitar
perakaran tanaman sehingga sifat fisik tanah lebih baik.
Berdasarkan kemampuan tersebut, maka aplikasi inolkulan mikoriza sabgat cocok
diarahkan untuk memnabtu program pemerintah dalam merehabilitasi lahan-lahan marginal dan
kritis seperti lahan hutan gundul dan lahan alang-alang sebagai zona reboisasi.
3. Peran Mikoriza Pada Area Pertambangan
Penambangan mengakibatkan keseimbangan unsur hara terganggu sedangkan kelarutan
unsur yang bersifat racun meningkat. Tanah pada daerah pasca penambangan umumnya
mengalami kerusakan yang hebat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah,
sehingga untuk mendapatkan bahan yang dimaksud tanah harus disingkirkan terlebih dahulu
(stripping) dan ditimbun / ditumpuk pada lokasi lain yang dipakai sebagai areal penimbunan sisa
penggalian tambang (overburden dan tailing). Lapisan overburden (batuan limbah) adalah tanah
atau batuan yang menutupi lapisan deposit mineral di bagian bawahnya. Tailing pada
penambangan timah adalah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang
dibuang setelah mengalami pencucian,2
Salah satu aktivitas yang dapat merusak lahan secara ekstrim adalah dari kegiatan
penambangan batubara, minyak bumi, emas, tembaga dan timah. Akibat dari kegiatan ini tanah
akan kehilangan lapisan top soil dan akan mengalami kekeringan, pemadatan tanah, kemampuan
menahan air rendah, sangat miskin hara (unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor),
akumulasi unsur toksik, serta reaksi tanah (pH) masam. Hal ini merupakan fenomena umum
yang dijumpai pada lahan bekas penambangan seperti tambang batubara Margaretha (2011).
Menurut Margaretha (2011) kondisi ini menyebabkan areal bekas penambangan sulit
ditumbuhi oleh vegetasi karena tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga diperlukan pupuk
buatan dan organik, berbagai senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana
dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman dalam jumlah besar untuk
memperbaiki atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan tanaman.
Lahan yang mengalami degradasi karena aktivitas penambangan pada akhirnya juga
merusak kehidupan mikroba tanah (makro dan mikro). Padahal fungsi mikroba tanah sangat
penting dalam siklus hara. Perubahan-perubahan ini yang menjadi kendala dan masalah serius
karena mengganggu keseimbangan ekosistem (Margaretha,2011)
Pupuk hayati yang dapat digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas pertambangan adalah
mikoriza. Menurut Kroop dan Langlois (1990) mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis
mutualisme antara cendawan dan akar tanaman tinggi (higher plants). Pemanfaatan cendawan
mikoriza dalam rehabilitasi lahan bekas tambang diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif
memperbaiki kualitas tanah yang rusak Margaretha (2011).

Cendawan mikoriza dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada
umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi dan
komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor
lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen, serta
konsentrasi logam berat.
Menurut Margaretha (2011) bahwa mikoriza merupakan agens bioremediasi lahan kritis
bekas tambang yang bisa diadalakan karena eksistensi mikoriza dalam bertahan hidup pada
lahan-lahan kritis dan lingkunan berbahaya.
4. Peran Mikoriza Sebagai Agens Bioremediatot Logam Berta
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa MA dapat membantu pertumbuhan
tanaman pada tanah yang tercemar logam-logam berat seperti lahan bekas tambang (Linderman
and Pfleger, 1994 dalam Setiadi, 1999) dalam Widyati (2007).
Menurut Khan et al. (2000), MA yang berasosiasi dengan tumbuhan yang tumbuh pada
tanah-tanah yang terkontaminasi logam berat telah berevolusi menjadi toleran terhadap logam
berat. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa MA dari genus Glomus dan Gigasporabanyak
ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan yang tumbuh pada tanah-tanah yang terpolusi logam
berat (Khan et al., 2000) dalam Widyati (2007).
Disamping itu, Marschner (1992) dalam Setiadi (1999) menyatakan bahwa MA dapat
membantu rhizobia memenuhi unsur hara mikro seperti Cu, Zn dan Bo, di mana Bo merupakan
unsur yang diperlukan untuk bersimbiosis dengan tanaman legum. Haselwandter and Bowen
(1996) mengacu pada Robson (1983) bahwa mikoriza dapat meningkatkan unsur-unsur yang
diperlukan untuk penambatan nitrogen secara biologis seperti P, S, Ca, Zn, Mo, Co dan Cu.
Meningkatnya nodulasi akan dapat memperbaiki pertumbuhan bibit. Pertumbuhan bibit yang
baik diharapkan dapat meningkatkan survival rate bibit di lapangan sehingga akan dapat
meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan Widyati (2007).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mikoriza mempunyai peran yang sangat penting terhadap lingkungan, khususnya sebagai agens
bioremediator dan pupuk hayati yang digunakan pada lahan-lahan kritis seperti bekas tambang,
lahan padang alang-alang, tanah dengan kandungan logam berat tinggi serta pada lahan kering
dan kurang subur.

DAFTAR PUSTAKA
Fitriati, B.N , Dkk. 2008. Aktivitas Enzim Fosfatase Dan Ketersediaan Fosfat Tanah Pada Sistem
Tumpangsari Tanaman Pangan Dan Jati ( Tectona Grandis L.f) Setelah Aplikasi Pupuk
Hayati. Jurnal Agrikultura 19 (3) : 161-166.
Fitriatin, B.N. T.T. Prospek pemanfaatan Mikoroba Potensial pada Lahan Kritis di Indonesia. Fakukltas
Pertanian Universitas Padjajaran.
Hayati,

Nahrul . 2011. Uji Efektivitas Wastetreat Untuk Bioremediasi


Dalam Sludge Pabrik Kertas Deinking . Skripsi : Fakultas Pertanian IPB.

Logam

Berat

Husna , dkk . 2007 . Aplikasi Mikoriza Untuk Memacu Pertumbuhan Jati Di Muna. Info Teknis. 5 (1) :
1-4.
Kartika , Ardianan. T.T . Mikoriza . Laboratorium Pengamatan Hama Dan Penyakit Banyuma.
Margaretha .2011. Eksplorasi Dan Identifikasi Mikoriza Indigen Asal tanah Bekas Tambang
Batubara. Berita Biologi.10(5) : 641-647.
Munir , Erman .2006. Pemanfaatan Mikroba Dalam Bioremediasi : Suatu Teknolgi Alternatif Plestarian
Lingkungan. Pengukuhan Guru BEsar USU.
Musfal . 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula Untuk Meningkatkan Hasil Tanaman
Jagung . Jurnal Litbang Pertanian . 29(4) : 154 158.
Novera .2008. Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah Dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (Fma)
Pada Lahan Bekas Tambang Timah Di Pulau Bangka. Skripsi : ITB.
Prasetya, B.H dan Sudiakarta. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol
Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2):
39-47.
Santoso , dkk . 2007. Aplikasi Mikoriza Untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan
Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian
Setiadi dan Arif .2011. Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan
Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan). Jurnal Silvikultur
Tropika 3(1) : 88 95

Utomo , Budi . 2008. Penggunaan Mikoriza dalam Upaya Meningkatkan pertumbuhan Tanaman Jarak
Pada lahan Kritis. Jurnal Agria 5 (1) : 13-15.
Widiastuti , Dkk. 2002. Optimasi Simbiosis Cendawan Mikoriza ArbuskulaAcaulospora
Tuberculata Dan Gigaspora Margarita Pada Bibit Kelapa Sawit Di Tanah Masam. Menara
Perkebunan. 70(2): 50-57
Widyati, Enny .2007. Formulasi Inokulum Mikroba: MA, BPF Dan Rhizobium Asal Lahan Bekas
Tambang Batubara Untuk Bibit Acacia CrassicarpaCunn. Ex-Benth. Jurnal Biodiversitas. 8 (3) :
238-241.
Willey et al.2008.Microbiology seventh Edition.McGraw-Hill,New York

Anda mungkin juga menyukai