Anda di halaman 1dari 6

KASUS YANG BERKAITAN DENGAN ETIKA LINGKUNGAN

Pembakaran Limbah Medis RSUD Bangli


Dunia medis biasanya identik dengan lingkungan yang bersih dan jauh dari
pencemaran atau polusi. Tetapi bagaimana apabila pencemaran tersebut justru dilakukan
sendiri oleh pihak medis. Kasus inilah yang terjadi di daerah Bangli, dimana pembakaran
limbah medis yang dilakukan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Bangli berdampak buruk
terhadap masyarakat sekitar. Kepulan asap hitam dan disusul dengan debu yang berjatuhan di
areal pemukiman membuat masyarakat terkadang mengunci putra-putri mereka di kamar
agar tidak menghirup asap atau pun debu yang berjatuhan akibat adanya pembakaran limbah.
(www.balipost.co.id, 04 juli 2012).
Mesin incinerator yang digunakan untuk melakukan pembakaran jaraknya juga sangat
dekat dengan pemukiman warga sekitar 3 meter dan bau yang ditimbulkan oleh asap dan
debu hasil pembakaran sangatlah menyengat sehingga warga tidak dapat melakukan aktivitas
di pekarangan/halaman rumah serta tidak jarang pula debu-debu hasil pembakaran yang
berupa gumpalan-gumpalan hitam mengotori lingkungan termasuk jemuran warga.
Sumber :
http://www.walhi.or.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=175%3Aindustrialisasikonservasi&catid=84%3Ainfo-woc-2009&Itemid=90&lang=in

Pembahasan :
Dalam kasus pembakaran limbah, RSUD Bangli telah melakukan pelanggaran etika
terhadap lingkungan. Dimana mereka melakukan tindakan yang merugikan lingkungan atau
pencemaran terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh kepulan asap dari hasil pembakaran
limbah atau sering disebut pencemaran udara. Padahal pihak rumah sakit sendiri seharusnya
mengetahui dampak-dampak yang ditimbulkan oleh limbah medis. Limbah medis termasuk
salah satu limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Menurut UU No. 32 Tahun 2009 pada
Bab I, Limbah Bahan berbahaya dan beracun adalah zat, energi, dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan
1

lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain. Dampak
yang ditimbulkan oleh polusi udara akibat limbah B3 dapat berakibat fatal bagi kesehatan
maupun tanaman. Pencemaran udara terhadap tingkat kesehatan dapat mengakibatkan
terganggunya saluran pernafasan ataupun iritasi terhadap bagian tubuh, hal tersebut yang
menjadi kekhawatiran atau teror bagi warga Bangli apabila kegiatan tersebut terus
berlangsung tanpa adanya perbaikan dari pihak rumah sakit, karena sampai kasus ini
dilaporkan belum ada tanda-tanda atau itikad baik dari pihak rumah sakit untuk
menyelesaikan permasalahan ini.
Dalam hal ini pihak rumah sakit tidak menjalankan AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan). Terdapat beberapa kriteria dalam analisis dampak lingkungan
(AMDAL) diantaranya dalam UU No. 32 Tahun 2009 :
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan.
b. Luas wilayah penyebaran dampak.
c. Intensitas dan lamanya dampak tersebut berlangsung.
Dapat dilihat dari penjelasan AMDAL diatas, pihak rumah sakit mengabaikan
dampak-dampak yang terjadi dari pembakaran limbah rumah sakit sehingga mengakibatkan
adanya pihak yang dirugikan oleh kegiatan pembakaran limbah yakni masyarakat sekitar.
Luas penyebaran dampak dari pembakaran juga tidak diperhitungkan dengan baik dimana
pihak rumah sakit meletakkan mesin pembakar yang jaraknya sangat dekat dengan
pemukiman. Dari pihak rumah sakit juga tidak merespon pengaduan yang dilakukan
masyarakat terhadap pencemaran pembakaran limbah. Hal itu juga ditegaskan salah seorang
warga yang juga mantan pejabat dinas PU Bangli, bernama Sang Nyoman Yasa yang
mengatakan Pencemaran lingkungan yang terjadi sudah sangat parah, kami telah menjadi
korban. Sementara mereka tidak peduli dengan kami. Hal tersebut membuat pencemaran
limbah medis yang terjadi di Bangli semakin berlarut-larut.
Apabila dilihat dari pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai dasar pemikiran
untuk menjalankan tanggungjawab lingkungan hidup, pihak rumah sakit tidak melaksanakan
pemikiran-pemikiran tersebut, yang diantaranya :
Teori hak atas lingkungan. Menurut Blackstone, setiap manusia berhak atas lingkungan
bekualitas yang memungkinkan dia untuk hidup dengan baik. Akibat dari limbah medis
tersebut warga sekitar rumah sakit sudah kehilangan hak-nya atas lingkungan yang sehat
dan bebas dari polusi, karena setiap kegiatan pembakaran limbah mereka harus waspada

akan asap hitam yang diakibtkan oleh pembakaran limbah. Hal ini tentu saja sangat
membuat warga sekitar merasa sangat tidak nyaman.
Teori Deontology. Teori ini menilai tindakan baik atau buruknya berdasarkan aturanaturan, prosedur dan kewajiban. Tentunya pihak rumah sakit sudah melanggar teori ini,
dimana pihak rumah sakit tidak menjalankan kegiatannya sebagaimana mestinya
sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak lain
Utilitarianisme. Pendekatan utilitarian menyatakan bahwa seseorang perlu berusaha
menghindari kerusakan lingkungan karena dia juga tidak ingin merugikan kesejahteraan
masyarakat, tetapi justru pihak rumah sakit memberikan dampak yang buruk bagi
masyarakat dengan asap hasil dari pembakaran sampah medis tersebut.
Keadilan. Lingkungan yang bersih dan nyaman merupakan kelangkaan oleh karena itu,
harus dibagi secara adil agar nantinya dapat dinikmati oleh generasi mendatang. (Sutrisna
Dewi:2010)
Peran pemerintah disini sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi. Pemerintah tidak bisa hanya berdiam diri saja atau pun hanya mengandalkan atas
peraturan yang telah berlaku tetapi pemerintah juga harus turun secara langsung baik sebagai
pihak ketiga atau pihak yang memfasilitasi antara masyarakat sekitar dengan pihak rumah
sakit, karena peraturan atau UU yang di buat oleh pemerintah belum tentu berjalan secara
efisien susuai dengan isi peraturan atau Undang-undang secara tertulis, dimana terkadang
terdapat perbedaan antara keadaan di lapangan yang sesungguhnya dengan keadaan dalam
peraturan yang tertulis. Tidak hanya pemerintah yang berperan dalam penyelesaian kasus ini,
kesadaran dari pihak rumah sakit juga sangat diperlukan. Sebaiknya pihak rumah sakit
memindahkan letak mesin incinerator sehingga dapat meminimalkan dampak yang terjadi
akibat pencemaran dan pihak rumah sakit juga dapat bekerja sama dengan badan lingkungan
hidup dalam mengelola maupun mengawasi sehingga mengurangi dampak terjadinya
pencemaraan.

KASUS YANG BERKAITAN DENGAN ETIKA DISKRIMINASI PEKERJAAN


Menurut laporan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) seperti yang diberitakan
finance.detik.com pada 5 Mei 2011, hingga Februari 2011 jumlah pengangguran di Indonesia
mencapai 8,12 juta orang atau turun 470 ribu orang dibandingkan dengan bulan Februari
2010 yang ketika itu berjumlah 8,59 juta orang. Namun demikian jumlah angkatan kerja
bertambah sebanyak 3,4 juta orang menjadi 119.4 juta orang dan untuk jumlah penduduk
yang bekerja di Indonesia mencapai 111,3 juta orang, atau bertambah sekitar 3,9 juta orang.
Kondisi di atas menggambarkan adanya penambahan lapangan kerja untuk menampung
pencari kerja dan sektor industri manufaktur menjadi penampung terbesar tenaga kerja pada
Februari 2011. Walau demikian, perubahan data yang cukup baik diatas tidak selalu
menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan yang selama ini sering dipermasalahkan. Upah
rendah dan kesejahteraan selalu menjadi persoalan utama.
Berdasarkan masalah ini, tidak berlebihan apabila diasumsikan para pekerja yang
terserap pada lapangan kerja, dapat mengindikasikan tenaga kerja murah dimana para
pencari kerja terpaksa menerima pekerjaan walau mendapat upah rendah tanpa jaminan
kesejahteraan yang layak. Hal itu memang dapat dimaklumi, karena tuntutan hidup akan
mendorong setiap orang berlomba-lomba didalam mencari pekerjaan. Apapun kesempatan
yang ada di depan mata tidak akan pernah disia-siakan, diambil dulu (daripada nganggur)
sebagai batu loncatan untuk pekerjaan berikutnya yang mungkin lebih baik. Bagaimana
dengan mereka yang sudah bekerja melihat keadaan ini? Persaingan pasti ada, dengan adanya
tenaga kerja murah dapat mengancam posisi para pekerja yang ada. Apalagi bagi mereka
yang dahulunya berstatus kontrak ataupun buruh lepas. Mudah sekali ditendang kapan saja.
Peraturan di setiap perusahaan khususnya perusahaan swasta pasti berbeda-beda,
begitu juga yang dialami perusahaan dimana teman saya bekerja. Bagian HRD kadang
membuat peraturan yang dinilai berlebihan dan justru melanggar peraturan dan undangundang tenaga kerja yang berlaku. Apa daya kekuatan para pekerja, walau merasa tidak
diperlakukan adil, dengan sangat terpaksa harus menuruti aturan yang ada. Kalau tidak
ancaman PHK tanpa pesangon sudah pasti ada di depan mata, karena untuk menghindari
memberikan pesangon pihak perusahaan akan membuat karyawan yang bermasalah tersebut
merasa tidak nyaman sehingga tanpa menunggu lama karyawan tersebut pasti akan

mengundurkan diri, dan untuk kasus pengunduran diri perusahaan terbebas dari pemberian
pesangon.
Menurut teman saya, peraturan yang dibuat bagian HRD itu diantaranya harus
memakai pakaian atau seragam kerja yang sudah ditentukan, potongan rambut harus rapi
(tidak boleh gondrong) mengingat mesin produksi yang digunakan sangat rentan terjadi
kecelakaan, menggunakan sepatu kerja, tidak mangkir tanpa alasan yang jelas pada saat jam
kerja, dilarang makan di saat jam kerja, dilarang sms an apalagi OL di saat jam kerja. Teman
saya pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu ada seorang operator yang kena teguran dari
security karena dia mencat merah rambutnya. Si operatorpun bertanya Memang ada
peraturan yang melarang mencat rambut? Dia pun mengatakan kepada security itu Baca
lagi deh Pak peraturannya, kalaupun ada peraturannya, tuh si ibu R (staff HRD) juga dicat
merah kok rambutnya. Bapa security tersebut tidak bisa menindaklanjuti kasus ini dan hanya
melaporkan kepada manager HRD, dan besoknya si ibu R langsung mencat hitam kembali
rambutnya. Lain waktu ada juga operator yang sedang mengetik sms dan kebetulan ada staff
HRD yang memantau ke area produksi. Kasus itu langsung dilaporkan kepada supervisor
nya, si supervisor yang tahu kalau anak buahnya kirim sms atas perintahnya karena
menyangkut pekerjaan yang mengaharuskan dia menghubungi departemen lain yang cukup
jauh tentu saja langsung membela bawahannya, dan si operator tersebut bebas dari sanksi. Di
tempat teman saya bekerja memang ada peraturan dilarang makan pada saat jam kerja, tetapi
ketika teman saya mendatangi kantor bagian HRD untuk keperluan meminta ijin cuti, disana
para staff HRD sedang asyik aja memainkan gadget mewahnya sambil makan cemilan yang
berjejer dalam toples cantik diatas meja kerja para staff itu. Bukankah ini sungguh
menyakitkan bagi para operator produksi yang selama kurang lebih 8 jam atau mungkin 12
jam kerja (jika mereka lembur) berada di area produksi yang sungguh sangat panas dan sudah
pasti akan memunculkan rasa haus dan lapar, berbeda dengan para ibu dan bapak terhormat
itu yang dari pagi hingga sore berada dalam ruangan ber AC, sehingga ketika jam pulang
kerjapun mereka tetap terlihat cantik dan ganteng.
Itu hanya beberapa kasus yang diceritakan kepada saya yang menyiratkan adanya
diskriminasi. Mengapa saya bilang diskriminasi? Karena peraturan-peraturan itu hanya
ditegakkan pada karyawan/karyawati level bawah, sedangkan level atas aman jika
melanggar peraturan itu. Sayang sekali memang peraturan yang tertulis indah dan
menentramkan jika dibaca itu hanya sebagai pelengkap papan pengumuman dan berlaku
hanya untuk karyawan level operator produksi sebagai level terendah, padahal tenaga
merekalah yang mengerjakan semua orderan yang diterima perusahaan. Tanpa mereka
5

dijamin perusahaan tidak akan mendapat keuntungan yang berlipat, seharusnya perusahaan
lebih memperhatikan mereka (kesejahteraan, kesehatan, keselamatan dan hari tua mereka).
Ternyata pembuat kebijakan pada perusahaan dengan sadar melanggar aturan yang
ada. Diskriminasi di lingkungan kerja yang tidak boleh dilakukan, ternyata dilanggar begitu
saja. Seolah-olah peraturan dibuat hanya untuk karyawan rendahan. Tidak berlaku untuk
karyawan level atas yang dianggap memiliki posisi nyaman. Seharusnya peraturan yang
ditetapkan sebuah perusahaan berlaku untuk semua karyawan tanpa melihat level, siapapun
yang melanggar harus dikenakan sanksi walaupun dia seorang manager. Adakah perusahaan
yang "adil" dalam penegakkan aturan? Inilah kenyataannya wajah lingkungan kerja di
Indonesia yang selalu ditutupi dengan angka-angka keberhasilan yang disebutkan diawal.
Mungkin bagi kebanyakan orang dapat dijadikan indikator keberhasilan pemerintah. Namun
sama sekali tidak ada artinya bagi para pekerja, khususnya tenaga kerja rendahan, karena
pemerintah selaku pembuat kebijakan di negeri ini biasanya lebih berpihak kepada pemilik
perusahaan atau investor (yang mayoritas pihak asing) daripada rakyatnya.
Sumber :
http://www.kompasiana.com/cucu/miris-masih-ada-diskriminasi-di-lingkungankerja_550bd4afa33311cd1c2e39f6

Anda mungkin juga menyukai