Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

GANGREN RADIX
Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh
Program pendidikan Profesi Dokter (PPPD)
Bagian Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut RSUD Kota Semarang

Dosen Pembimbing :
drg. Setyo Hastuti
Oleh :
Rasyidafdola Gistadevhadi
01.211.6494

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
LAPORAN KASUS.................................................................................................3
DASAR TEORI ......................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

LAPORAN KASUS
BAB I
I.

II.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Ny. S
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
:
Agama
: islam
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Tembalang Kota Semarang
No. CM
:
Tanggal Diperiksa
: 3 Mei 2016
PEMERIKSAAN SUBJEKTIF DAN ANAMNESA
(Anamnesa dilakukan dengan cara autoanamnesa pada 3 Mei 2016)
a. Keluhan Utama
: nyeri dada disertai nyeri kepala
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien perempuan berusia 36 tahun
datang dengan rujukan poli penyakit dalam dengan keluhan nyeri
kepala sejak 2 minggu yang lalu. Pasien tidak merasakan nyeri gigi
atau sakit saat makan.
c. Riwayat Penyakit Gigi
:
Kunjungan pertama (3 Mei 2016) datang ke poli penyakit
dalam RSUD kota Semarang lau dirujuk ke Poli gigi
umum. Missing teeth pada 2 gigi rahang bawah kiri.

III.

d. Riwayat Penyakit Sistemik :


Riwayat Alergi
: Disangkal
Riwayat penyakit sistemik : Disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
: Disangkal
PEMERIKSAAN OBJEKTIF
a. Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Keadaan Gizi
: Baik
Derajat Sakit
: Ringan
b. Status Present
TD
: 110/80
Nadi
: 80mmHg
c. Pemeriksaan Ekstraoral
Asimetri Muka
: (-)
Tanda-tanda radang : Kalor (-), Rubor (-), Dolor (-), Fungsiolesa
(-), Tumor (-)
Pipi
: dbn
Kelenjar limfe
: dbn
d. Pemeriksaan Intraoral
Gingiva
: Normal
Mukosa
: Normal
Lidah
: Normal
Palatum
: Normal
Dasar Mulut
: Normal
Hubungan Rahang
: Normal
1. GIGI GELIGI
Inspeksi

: terdapat missing teeth gigi


36 & 37 serta tanpa radix
pada gigi 38. Kalkulus pada
regio anterior dan posterior

Sondasi
Perkusi
Tekanan
Thermal Test
e. Oral Hygiene
f. Diagnosa Keluhan Utama

bawah sinistra.
: (-)
: (-)
: (-)
: (-)
: Buruk
: Gangren Radix

g. Diagnosa penyakit Gigi mulut

: Kalkulus pada regio anterior

& posterior bawah sinistra .Missing teeth 36 & 37


h. Pemeriksaan Penunjang
LAB
: Tidak dilakukan
Rontgen
: Tidak dilakukan

IV.

RENCANA TERAPI
Foto rontgen gigi 38 untuk mengetahui sisa akar
Ekstraksi gigi 38
Pro scalling gigi

V.
VI.

KETERANGAN LAIN
TATA LAKSANA
1. Mempersiapkan foto rontgen untuk mengetahui posisi gigi, bentuk
akar, posisi gigi dengan letak anatomis penting di dekatnya, dan
jaringan periodontal di sekitar gigi
2. Ekstraksi gigi 38
3. Scalling gigi regio anterior dan posterior bawah kiri

VII.
VIII.

PROGNOSIS
BAIK
NOMENKLATUR WHO

Keterangan:
= Missing Teeth
= Sisa Akar

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Impaksi
Gigi impaksi adalah gigi yang sebagian atau seluruhnya tidak erupsi dan

posisinya berlawanan dengan gigi lainya, jalan erupsi normalnya terhalang oleh
tulang dan jaringan lunak, terblokir oleh gigi tetangganya, atau dapat juga oleh
karena adanya jaringan patologis. Impaksi dapat diperkirakan secara klinis bila
gigi antagonisnya sudah erupsi dan hampir dapat dipastikan bila gigi yang terletak
pad sisi yang lain sudah erupsi.1
2.1.1 Etiologi Impaksi
Etiologi dari gigi impaksi bermacam-macam diantaranya kekurangan
ruang, kista, gigi supernumerer, retensi gigi sulung, infeksi, trauma, anomali dan
kondisi sistemik.2 Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya impaksi
gigi adalah ukuran gigi. Sedangkan faktor yang paling erat hubungannya dengan
ukuran gigi adalah bentuk gigi. Bentuk gigi ditentukan pada saat konsepsi. Satu
hal yang perlu diperhatikan dan perlu diingat bahwa gigi permanen sejak erupsi
tetap tidak berubah.4
Pada umumnya gigi susu mempunyai besar dan bentuk yang sesuai serta
letaknya terletak pada maksila dan mandibula. Tetapi pada saat gigi susu tanggal
tidak terjadi celah antar gigi, maka diperkirakan akan tidak cukup ruang bagi gigi
permanen penggantinya sehingga bisa terjadi gigi berjejal dan hal ini merupakan
salah satu penyebab terjadinya impaksi.4
Penyebab meningkatnya impaksi gigi geraham rahang bawah disebabkan
oleh karena faktor kekurangan ruang untuk erupsi. Hal ini dapat dijelaskan antara
lain jenis makanan yang dikonsumsi umumnya bersifat lunak, sehingga untuk
mencerna tidak memerlukan kerja yang kuat dari otot-otot pengunyah, khususnya
rahang bawah menjadi kurang berkembang.5
2.1.2 Klasifikasi impaksi gigi molar ketiga rahang bawah

2.1.2.1 Berdasarkan sifat jaringan10


Berdasarkan sifat jaringan, impaksi gigi molar ketiga dapat diklasifikasikan
menjadi
1. Impaksi jaringan lunak
Adanya jaringan fibrous tebal yang menutupi gigi terkadang mencegah erupsi gigi
secar normal. Hal ini sering terlihat pada kasus insisivus sentral permanen, dimana
kehilangan gigi sulung secara dini yang disertai trauma mastikasi menyebabkan
fibromatosis
2. Impaksi jaringan keras
Ketika gigi gagal untuk erupsi karena obstruksi yang disebabkan oleh tulang
sekitar, hal ini dikategorikan sebagai impaksi jaringan keras. Di sini, gigi impaksi
secara utuh tertanam di dalam tulang, sehingga ketika flap jaringan
2..1.2.2 Klasifikasi Pell dan Gregory
Pell dan Gregory menghubunkan kedalaman impaksi terhadap bidang oklusal dan
garis servikal gigi molar kedua mandibula dalam sebuah pendekatan dan diameter
mesiodistal gigi impaksi terhadap ruang yang tersedia antara permukaan distal
gigi molar kedua dan ramus ascendens mandibula dalam pendekatan lain.15

A. Berdasarkan relasi molar ketiga bawah dengan ramus mandibula 3

1. Klas I: Diameter anteroposterior gigi sama atau sebanding dengan ruang antara
batas anterior ramus mandibula dan permukaan distal gigi molar kedua.10 Pada
klas I ada celah di sebelah distal Molar kedua yang potensial untuk tempat erupsi
Molar ketiga.3
2. Klas II: Sejumlah kecil tulang menutupi permukaan distal gigi dan ruang tidak
adekuat untuk erupsi gigi, sebagai contoh diameter mesiodistal gigi lebih besar
daripada ruang yang tersedia.10 Pada klas II, celah di sebelah distal M
3. Klas III: Gigi secara utuh terletak di dalam mandibula akses yang sulit. Pada
klas III mahkota gigi impaksi seluruhnya terletak di dalam ramus.

B. Komponen kedua dalam sistem klasifikasi ini didasarkan pada jumlah tulang
yang menutupi gigi impaksi.10 Baik gigi impaksi atas maupun bawah bisa
dikelompokkan berdasarkan kedalamannya, dalam hubungannya terhadap garis
servikal Molar kedua disebelahnya.3
Faktor umum dalam klasifikasi impaksi gigi rahang atas dan rahang bawah :
1. Posisi A: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada tingkat yang sama dengan
oklusal gigi molar kedua tetangga.10 Mahkota Molar ketiga yang impaksi berada
pada atau di atas garis oklusal.3
2. Posisi B: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada pertengahan garis servical
dan bidang oklusal gigi molar kedua tetangga.10 Mahkota Molar ketiga di bawah
garis oklusal tetapi di atas garis servikal Molar kedua.3
3. Posisis C: Bidang oklusal gigi impaksi berada di bawah tingkat garis servikal
gigi molar kedua. Hal ini juga dapat diaplikasikan untuk gigi maksila.10 Mahkota
gigi yang impaksi terletak di bawah garis servikal.3

2.1.3 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Anamnesis diperoleh dari keterangan pasien atau orang lain yang
mengetahui secara pasti mengenai kondisi yang dialami oleh pasien,
meliputi keluhan utama, dan riwayat medis.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan umum harus dilakukan dengan cara yang sama dengan
prosedur pembedahan lainnya. Adanya gangguan sistemik atau penyakit
sistemik harus dideteksi dan kehati-hatian harus diterapkan sebelum
pembedahan. Pasien juga harus diperiksa apakah sedang menjalani terapi
tertentu, seperti terapi irradiasi, terapi cytostatic, dan transplantasi organ.
1. Status erupsi gigi impaksi. Status erupsi gigi impaksi harus diperiksa
karena status pembentukan mendeterminasikan waktu pencabutan.
Idealnya, gigi dicabut ketika duapertiga akar terbentuk. Jika akar telah
terbentuk sempurna, maka gigi menjadi sangat kuat, dan gigi terkadang
displitting untuk dapat dicabut.
2. Resorpsi molar kedua. Karena kurangnya ruang molar ketiga yang
impaksi sehingga memungkin terjadi resorpsi akar pada molar kedua.
Setelah pencabutan gigi molar ketiga yang impaksi, molar kedua harus
diperiksa untuk intervensi endodontik atau periodontik tergantung pada
derajat resorpsi dan keterlibatan pulpa.
3. Adanya infeksi lokal seperti periokoronitis. Infeksi ini merupakan
sebuah inflamasi jaringan lunak yang menyelimuti mahkota gigi yang
8

sedang erupsi yang hampir seluruhnya membutuhkan penggunaan


antibiotik atau prosedur yang jarang dilakukan, eksisi pembedahan pada
kasus

rekuren.

Periokoronitis

rekuren

terkadang

membutuhkan

pencabutan gigi impaksi secara dini.


4. Pertimbangan ortodontik. Karena molar ketiga yang sedang erupsi,
memungkinkan terjadi berjejal pada regio anterior setelah perawatan
ortodonti yang berhasil. Oleh karena itu, disarankan untuk mencabut gigi
molar ketiga yang belum erupsi sebelum memulai perawatan ortodontik.
5. Karies atau resorpsi molar ketiga dan gigi tetangga. Akibatnya
kurangnya ruang, kemungkinan terdapat impaksi makanan pada area
distal atau mesial gigi impaksi yang menyebabkan karies gigi. Untuk
mencegah karies servikal gigi tetangga, disarankan untuk mencabut gigi
impaksi.
6. Status periodontal. Adanya poket sekitar gigi molar ketiga yang
impaksi atau molar kedua merupakan indikasi infeksi. Penggunaan
antibiotic disarankan harus dilakukan sebelum pencabutan gigi molar
ketiga impaksi secara bedah untuk mengurangi komplikasi post-operatif
7. Orientasi dan hubungan gigi terhadap infeksi saluran akar gigi. hal
ini akan didiskusikan secara detail pada pemeriksaan radiologi.
8. Hubungan oklusal. Hubungan oklusal molar ketiga rahang atas
terhadap molar ketiga rahang bawah harus diperiksa. Ketika gigi molar
ketiga rahang bawah yang impaksi berada pada sisi yang sama
diindikasikan untuk ekstraksi, sisi yang satunya juga harus diperiksa
Nodus limfe regional. Pembengkakan dan rasa nyeri pada nodus limfe
regional mungkin terindikasi infeksi molar ketiga
2.1.4 Pemeriksaan penunjang
9.

Tehnik roentgenografi dalam penentuan gigi impaksi sejalan dengan


perkembangan tehnik roentgenografi intraoral maupun ekstraoral, dimulai
dengan ditemukannya panagrafi sampai dengan panoramic dengan demikian
dimulailah roentgenogram gigi khususnya untuk melihat gigi impaksi.
Hasilnya dapat merupakan penuntun kerja bagi ahli bedah mulut dalam
menentukan dan penatalaksanaan kausatif lebih lanjut untuk gigi impaksi
tersebut. Saat ini tehnik roentgenografi sangat diperlukan untuk penentuan

lokasi gigi impaksi, dengan kualitas hasil foto yang baik dan interpretasi
yang akurat akan meringankan penatalaksanaan yang tepat bagi operator.
2.1.5 Komplikasi Impaksi
Dampak dari adanya gigi impaksi molar ketiga rahang bawah adalah
gangguan rasa sakit, yang dimaksud dengan gangguan rasa sakit yang berasal dari
reaksi radang pada jaringan operkulum yang tampak hiperemi, bengkak dan rasa
sakit bila ditekan. Kesemuaanya itu merupakan gejala yang lazim disebut sebagai
perikoronitis. Keluhan sakit juga dapat timbul oleh karena adanya karies pada gigi
molar tiga rahang bawah.5
Kerusakan atau keluhan yang ditimbulkan dari impaksi dapat berupa:9
1. Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu perikoronitis yang lanjutannya menjadi abses dentoalveolar akut-kronis, ulkus sub-mukus yang apabila keadaan tubuh lemah dan
tidak mendapat perawatan dapat berlanjut menjadi osteomyelitis. Biasanya gejala
gejala ini timbul bila sudah ada hubungan soket gigi atau folikel gigi dengan
rongga mulut.

2. Resorpsi gigi tetangga


Setiap gigi yang sedang erupsi mempunyai daya tumbuh ke arah oklusal gigi
tersebut. Jika pada stadium erupsi, gigi mendapat rintangan dari gigi tetangga
maka gigi mempunyai daya untuk melawan rintangan tersebut. Misalnya gigi
terpendam molar ketiga dapat menekan molar kedua, kaninus dapat menekan
insisivus dua dan premolar. Premolar dua dapat menekan premolar satu.
Disamping mengalami resorpsi, gigi tetangga tersebut dapat berubah arah atau
posisi.

10

3. Kista
Suatu gigi yang terpendam mempunyai daya untuk perangsang pembentukan kista
atau bentuk patologi terutama pada masa pembentukan gigi. Benih gigi tersebut
mengalami rintangan sehingga pembentukannya terganggu menjadi tidak
sempurna dan dapat menimbulkan primordial kista dan folikular kista.
2.1.5 Tata Laksana
Odontektomi

Definisi Odontektomi menurut Archer (1975). Pengeluaran satu atau beberapa


gigi secara bedah dengan cara membuka flap mukoperiosteal, kemudian dilakukan
pengambilan tulang yang menghalangi dengan tatah atau bur.

Definisi Odontektomi menurut Pederson (1996). Tindakan pembedahan untuk


mengeluarkan gigi yang tidak dapat dilakukan dengan cara ekstraksi biasa atau
dapat dilakukan pada gigi yang impaksi atau tertanam di bawah tulang atau
mukosa.

2.2 Gangren Pulpa


2.2.1 Definisi
Gangren Pulpa Adalah keadaan gigi dimana jarigan pulpa sudah mati
sebagai sistem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan sehingga
jumlah sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati sebagian
besar ruang pulpa. Sel-sel pulpa yang rusak tersebut akan mati dan menjadi
antigen sel-sel sebagian besar pulpa yang masih hidup.
2.2.2 Patofisiologi
Proses terjadinya gangrene pulpa diawali oleh proses karies. Karies dentis
adalah suatu penghancuran struktur gigi (email, dentin dan cementum) oleh
aktivitas sel jasad renik (mikroorganisme) dalam dental plak. Jadi proses karies
hanya dapat terbentuk apabila terdapat 4 faktor yang saling tumpang tindih.
Adapun faktor-faktor tersebut adalah bakteri, karbohidrat makanan, kerentanan
permukaan gigi serta waktu. Perjalanan gangrene pulpa dimulai dengan adanya
karies yang mengenai email (karies superfisialis), dimana terdapat lubang

11

dangkal, tidak lebih dari 1mm. selanjutnya proses berlanjut menjadi karies pada
dentin (karies media) yang disertai dengan rasa nyeri yang spontan pada saat
pulpa terangsang oleh suhu dingin atau makanan yang manis dan segera hilang
jika rangsangan dihilangkan. Karies dentin kemudian berlanjut menjadi karies
pada pulpa yang didiagnosa sebagai pulpitis. Pada pulpitis terdapat lubang lebih
dari 1mm. pada pulpitis terjadi peradangan kamar pulpa yang berisi saraf,
pembuluh darah, dan pempuluh limfe, sehingga timbul rasa nyeri yang hebat, jika
proses karies berlanjut dan mencapai bagian yang lebih dalam (karies profunda).
Maka akan menyebabkan terjadinya gangrene pulpa yang ditandai dengan
perubahan warna gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, dan pada
lubang perforasi tersebut tercium bau busuk akibat dari proses pembusukan dari
toksin kuman.
2.2.3 Manifestasi Klini
Gejala yang didapat dari pulpa yang gangrene bisa terjadi tanpa keluhan sakit,
dalam keadaan demikian terjadi perubahan warna gigi, dimana gigi terlihat berwarna
kecoklatan atau keabu-abuan Pada gangrene pulpa dapat disebut juga gigi non vital
dimana pada gigi tersebut sudah tidak memberikan reaksi pada cavity test (tes dengan
panas atau dingin) dan pada lubang perforasi tercium bau busuk, gigi tersebut baru
akan memberikan rasa sakit apabila penderita minum atau makan benda yang panas
yang menyebabkan pemuaian gas dalam rongga pulpa tersebut yang menekan ujung
saraf akar gigi sebelahnya yang masih vital.
2.2.4 Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan objektif (extra oral
dan intra oral). Berdasarkan pemeriksaan klinis, secara objektif didapatkan :

Karies profunda (+)

Pemeriksaan sonde (-)

Dengan menggunakan sonde mulut, lalu ditusukkan beberapa kali kedalam


karies, hasilnya (-). Pasien tidak merasakan sakit

12

Pemeriksaan perkusi (-) Dengan menggunakan ujung sonde mulut yang


bulat, diketuk-ketuk kedalam gigi yang sakit, hasilnya (-). pasien tidak
merasakan sakit

Pemeriksaanpenciuman
Dengan menggunakan pinset, ambil kapas lalu sentuhkan pada gigi yang sakit
kemudian cium kapasnya, hasilnya (+) akan tercium bau busuk dari mulut pasien
Pemeriksaan foto rontgen
Terlihat suatu karies yang besar dan dalam, dan terlihat juga rongga pulpa yang
telah terbuka dan jaringan periodontium memperlihatkan penebalan
2.2.5Komplikasi
Periodontitis merupakan komplikasi dari karies profunda non vitalis atau
gangrene pulpa, dimana pada pemeriksaan klinis ditemukan gigi non vital,
sondase (-), dan perkusi (+).
Gangren pulpa

Periodontitis
Pemeriksaan sonde (-)

Pemeriksaan sonde (-)


Pemeriksaan perkusi (-)

Pemeriksaan perkusi (+)

Reaksi panas/dingin (-)

Pemeriksaan panas/dingin (-)

BAB III

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Alamsyah RM, Situmarong N. Dampak gigi molar tiga mandibula impaksi
terhadap kualitas hidup mahasiswa universitas sumatera barat. Dentika Dental
Journal 2005;10(2):73-4
2. Tridjaja AN. Pengamatan klinik gigi molar tiga bawah impaksi dan variasi
komplikasi yang diakibatkannya di RS Cipto Mangunkusumo bulan Juli 1993 s/d
Desember 1993. 2011. Available from : URL: http://eprints.lib.ui.ac.id/12366/
Accessed Juni 6, 2011
3. Pederson GW. Buku ajar praktis bedah mulut 2nd ed. Alih Bahasa: Purwanto,
Basoeseno. Jakarta: EGC; 1996,hal.61-3
4. Chanda MH, Zahbia ZN. Pengaruh bentuk gigi geligi terhadap terjadinya
impaksi
gigi molar ketiga rahang bawah. Dentofasial Jurnal Kedokteran Gigi 2007;
6(2):65-6
5. Astuti ERT. Prevalensi karies pada permukaan distal gigi geraham dua rahang
bawah yang diakibatkan oleh impaksi gigi geraham tiga rahang bawah.Jurnal
MIKGI 2002;IV(7):154-6
6. Dwipayanti A, Adriatmoko W, Rochim A. Komplikasi post odontektomi gigi
molar ketiga rahang bawah impaksi. Journal of the Indonesian Dental
Assocation 2009;58(2):20
7. Nasir M, Mawardi. Perawatan impaksi impaksi gigi insisivus sentralis maksila
dengan kombinasi teknik flep tertutup dan tarikan ortodontik (laporan kasus).
Dentika Dental Jurnal 2003;8(2):95
8. Pertiwi ASP, Sasmita IS. Penatalaksanaan kekurangan ruangan pada gigi
impaksi 1.1 secara pembedahan dan ortodontik. Indonesian Jurnal of Oral and
Maxillofacial Surgeon 2004:229-3
9.Tjiptono. KN, Harahap S, Arnus S, Osmani S. Ilmu bedah mulut 2nd ed.
Jakarta:Cahaya Sukma;1989,p.145-148
10. Balaji SM. Oral and maxillofacial surgery. Delhi: Elsevier; 2009,p.233-

14

Anda mungkin juga menyukai