Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi masih menempati urutan teratas di Indonesia, sehingga
kebutuhan penangkal penyakit seperti antibiotika cukup besar diperlukan. Pola
hidup dan kondisi lingkungan yang buruk memacu timbulnya penyakit baru yang
pada tingkatannya memerlukan pengobatan dengan memerlukan obat baru.
Antibiotika yang beredar saat ini perlu dikembangkan lebih lanjut karena banyak
penyakit infeksi berspektrum luas yang sulit disembuhkan dengan jenis
antibiotika yang ada, hal ini disebabkan faktor resistensi.
Kebutuhan antibiotika yang meningkat terus, yang sebagian besar masih
diimpor dari luar negeri, hendaknya memacu Indonesia untuk dapat memproduksi
sendiri antibiotik yang dikembangkan secara maksimal baik menggunakan
mikroorganisme yang sudah diketahui maupun menggunakan mikroorganisme
yang diisolasi sendiri sehingga kelak Indonesia dapat mandiri dalam hal produksi
antibiotika.
Penicillium chrysogenum adalah jamur berfilamen yang digunakan untuk
memproduksi antibiotik penisilin. Jamur ini mampu mensintesis penisilin dengan
rantai samping hidrofobik khusus ketika prekursor yang sesuai ditambahkan pada
media fermentasi. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa asam
fenilasetat atau phenylacetic acid (PAA) merupakan prekursor terbaik untuk
produksi penisilin ini (Reena & Panneerselvam, 2011). Efektivitas dari prekursor
rantai samping tergantung pada toksisitas dan ketahanannya terhadap oksidasi
oleh P. chrysogenum. Pada kondisi tidak adanya prekursor rantai samping
eksogen,

hasil

metabolisme

utama

dari

P.

chrysogenum

adalah

6-

aminopenicillanic acid (6-APA) dan beberapa isopenicillin N. Dengan kondisi


tersebut, mono-substituted acetic acid terdapat pada konsentrasi intraselular yang
rendah dan digunakan untuk membentuk sejumlah kecil penisilin seperti
benzilpenisilin, 2-pentenylpenicillin, n-amylpenicillin, n-heptylpenicillin dan phydroxybenzylpenicillin (Kardos & Demain, 2011).
Golongan penicillin dan turunannya termasuk dalam kategori antibiotik
lini pertama, yaitu antibiotik yang direkomendasikan untuk mengatasi gejala
1

infeksi awal. Antibiotik lini pertama ini biasanya lebih tua dan lebih murah
dibandingkan antibiotik kategori lini kedua yang memiliki cakupan lebih luas
terhadap mikroorganisme dibandingkan dengan pendahulunya (Kardos &
Demain, 2011).
Saat ini antibiotik golongan penicillin dan turunannya menghilang sejak 34 tahun terakhir dari pasaran obat di Indonesia. Obat tersebut telah digantikan oleh
antibiotik golongan sefalosporin dan antibiotik lini kedua lainnya yang harganya
lebih mahal sehingga sulit terjangkau oleh masyarakat, terlebih untuk beberapa
jenis mikroba, perbedaan tingkat kesuksesan kedua kategori antibiotik tersebut
tidak signifikan (Piccirillo, 2001).
Pihak produsen obat selalu berdalih enggan memproduksi antibiotik lama
karena bakteri telah resisten terhadap antibiotik tersebut, namun alasan itu ditolak
oleh Prof Dr Iwan Dvvipra-hasto, Ketua Jurusan Farmakologi dan Terapi Fakultas
Kedokteran UGM, pada diskusi yang bertema Sinergi unsur akademisi, bisnis,
dan pemerintah untuk membangun industri bahan baku obat antibiotik betalaktam di Jakarta tanggal 11 November 2010 (Sidik, 2010).

1.2 Tujuan
1. Mempelajari

dan

memahami

pengaruh

penambahan

prekursor

Phenylacetic acid (PAA) terhadap produksi penisilin-G pada jamur


Penicillium chrysogenum koloni 2 dan 3.
2. Mempelajari dan memahami metode HP-LC untuk analisis penisilin-G dan
PAA dan analisa gula.
3. Menentukan

volume

Phenylacetic

acid

(PAA)

optimal

dalam

menghasilkan penisilin-G dari hasil analisis HP-LC, gula total dan


perbandingan morfologi antar koloni tersebut.

1.3 Waktu dan Tempat


Kerja Praktek dilaksanakan pada 13 Juni 2011 sampai 29 Juli 2011 di
Laboratorium Mikrobiologi Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (Balai Pengkajian Bioteknologi) Serpong.

BAB II
PROFIL Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT

2.1 Sejarah dan Perkembangan Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT


Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT adalah sebuah balai yang berdiri
pada tanggal 25 Oktober 1990, dimulai dengan ditandatanganinya kontrak antara
pemerintah Indonesia dan Italia tentang grant atau soft loan, dan dilanjutkan
dengan ditandatanganinya implementasi dari grant atau soft loan tersebut antara
Menristek dan FICETEC, Italia, pada tanggal 5 Maret 1991.
Sejak April 1992 sampai Juni 1994, BPPT mulai mendirikan sarana fisik
berupa sebuah gedung yang berlokasi di gedung 630, Puspiptek, Serpong,
Tangerang. Setelah persiapan gedung, peralatan, dan pegawai selesai, maka pada
tanggal 29 Desember 1995 dilakukan peresmian operasional BPPT-Bioteknologi
oleh Presiden Republik Indonesia, dan peresmian kelembagaan menjadi Balai
Pengkajian Bioteknologi oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Megawati
Soekarnoputri pada tanggal 4 April 2001.
Program yang telah dijalankan oleh BP Bioteknologi BPPT Serpong
hingga saat ini diantaranya adalah Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Fermentasi dan Rekayasa Genetika (Antibiotik, antikolesterol, antikanker, vitamin
B12, kelapa sawit unggul), Mikropropagasi (Jati, lidah buaya), Agromikrobiologi
(rhizobium, probiotik untuk sapi), Rekayasa Bioteknologi (paket-paket teknologi
industri farmasi berbasis fermentasi), kerjasama, kursus, dan pelatihan. Untuk
mendukung berbagai program yang dimiliki, BP Bioteknologi BPPT Serpong
memiliki beragam fasilitas, yaitu ruang koleksi mikroba, ruang sterilisasi, ruang
fasilitas pendingin, thermostatik, fasilitas uji lapang bibit, unit pengolah limbah
cair, pilot plant penapisan, pilot plant teknologi mikropropagasi tanaman, dan
pilot plant teknologi fermentasi terapan. BP Bioteknologi BPPT Serpong juga
memiliki dua kelompok keilmuan, yaitu Bioinformatika dan Mikrobiologi
Veteriner agar penelitian dapat lebih fokus dan efektif.
BP Bioteknologi BPPT Serpong memiliki pelayanan jasa berupa pengujian
kimia, pengujian mikrobiologi, dan fasilitas genom serta produk agro
mikrobiologi untuk peningkatan produktivitas tanaman. Selain itu, BP

Bioteknologi BPPT Serpong juga menyediakan kursus dan pelatihan bagi


masyarakat dan swasta dalam bidang bioteknologi industri, bioteknologi tanaman,
dan pelatihan teknik kultur jaringan tanaman.

2.2 Misi dan Tugas


Misi Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT dirumuskan sebagai berikut:
a. Melaksanakan pengembangan dan menguasai bioteknologi unggul
yang mempunyai nilai tambah tinggi.
b. Memanfaatkan bioteknologi unggul secara optimal untuk memenuhi
kebutuhan stakeholders dan key customer.
c. Menciptakan kondisi dan meningkatkan aktivitas secara nasional.
d. Melakukan dan menyiapkan kebijakan, perancangan, dan pelaksanaan
program-program bioteknologi industri pertanian.
Tugas Balai Pengkajian Bioteknologi adalah sebagai pusat pengembangan
bioteknologi nasional dan mempunyai tugas pokok melaksanakan pengkajian,
pengembangan, dan penerapan bioteknologi unggul dalam rangka mewujudkan
masyarakat Indonesia yang berbudaya IPTEK melalui pemberdayaan sumber daya
nasional.

2.3 Sumber Daya Manusia


Program pengembangan SDM diadakan dengan tujuan untuk mencapai
terbentuknya pendidikan dan pelatihan pada tataran tertinggi baik di dalam
maupun di luar negeri dalam spesialisasi sesuai program yang akan dilakukan.
Bidang spesialisasi, pengkaderan, jadwal peningkatan pendidikan (training) dan
pembinaan

serta

kesejahteraan

pegawai

akan

mengacu

pada

program

pengembangan SDM yang disusun secara menyeluruh. Sumber daya manusia di


balai Biotek perlu diarahkan pada pengembangan diri menjadi peneliti yang
tangguh dan mampu memasarkan hasil penelitian.

2.4 Laboratorium Balai


Laboratorium di balai terdiri dari Laboratorium Analisa Kimia,
Mikrobiologi, Teknologi Gen, yang ketiganya telah mendapatkan akreditasi ISO
5

17025 sejak tanggal 16 April 2010. Selain itu, ada juga Laboratorium Proses Hilir,
Fermentasi, Mikropropagasi Tanaman, Mikrobiologi Veteriner dan Akuakultur,
Agromikrobiologi, dan Genetika.

2.5 Produk Kajian Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT

Biolesta merupakan produk berbahan fungisida dengan bahan aktif viable


spores dari tiga galur unggulan Trichoderma sp. Produk ini ditujukan
untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur
patogen tular tanah.

Bionic adalah pupuk organik ramah lingkungan yang mengandung unsur


hara dan berbagai macam mikroba yang mampu meningkatkan kesuburan
tanah dan tanaman secara alami.

Bibit Tanaman Unggul hasil mikropropagasi diantaranya jati, kelapa


sawit, jarak pagar, lidah buaya, vanili, anggrek, strawberi, dan lain-lain.

Decomic

merupakan

bermanfaat

konsorsium

mikroba

dekomposer.

Decomic

untuk mempercepat penguraian bahan organik mentah

menjadi kompos.

Inokulan Gaharu merupakan konsorsium mikroba yang memacu


pembentukan gubal pada pohon gaharu.

Jatrosin adalah sterilant jamur dan bakteri pada persiapan penanaman exvitro (tanaman yang tumbuh di lapangan) jarak pagar.

Jatrodix digunakan sebagai perangsang pertumbuhan akar pada


penanaman ex-vitro jarak pagar.

Jatrofert

merupakan

pupuk

daun

yang

dapat

berfungsi

untuk

meningkatkan pertumbuhan tanaman jarak pagar pada fase vegetatif dalam


pembibitan.

Mikrosil merupakan produk yang mengandung konsorsium mikroba aktif


sebagai pemicu pembentukan silase untuk pakan ternak.
6

Probiotik akuakultur (air tawar) adalah konsorsium mikroba yang


bermanfaat untuk peningkatan pertumbuhan pada ikan, memperbaiki
lingkungan dan mencegah timbulnya penyakit pada ikan.

Probiotik PSC merupakan konsorsium mikroba aktif. Probiotik PSC


memiliki fungsi untuk menciptakan keseimbangan mirkoflora dalam
saluran pencernaan dan meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi pada
ternak ruminansia.

Prochick adalah konsorsium mikroba aktif yang berperan untuk


peningkatan daya kecernaan pakan dan daya tahan terhadap penyakit
ternak unggas.

Sinkonin dan Kinidin berfungsi sebagai bahan aktif obat yang diisolasi
dari pohon kulit kina.

Technofert merupakan kumpulan cendawan mikroba arbuskular yang


berfungsi untuk meningkatakna efesiensi penyerapan unsur hara terutama
P dan N serta unsur mikro penting lainnya seperti Zn, Mo, Fe, dan Cu.

2.6 Peranan Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT

Teknologi mikropropagasi tanaman


Teknologi

mikropropagasi

tanaman

merupakan

teknologi

perbanyakan bibit tanaman secara aseptik dalam media yang berisi nutrisi
teroptimasi. Sarana riset dan penerapannya didukung oleh laboratorium
yang sangat memadai. Tanaman yang dikembangkan di Balai Pengkajian
Bioteknologi-BPPT adalah tanaman yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan mempunyai prospek cerah pada skala potensial. Produk
tanaman yang dikembangkan diantaranya tanaman hortikultura (anggrek,
kina, coklat, karet, kelapa sawit).

Pelayanan pengujian kimia, mikrobiologi, dan genetika

Pengujian di Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT yang sudah


dilakukan adalah pengujian kimia, mikrobiologi, dan genetika yang
meliputi makanan, minuman, jamu, bahan jamu, air, dan bahan baku obat.

Teknologi fermentasi dan proses hilir


Produk teknologi fermentasi dan proses hilir yang dikembangkan
antara lain bahan baku obat seperti antibiotika, antikolesterol, dan bahan
baku non obat seperti tepung lidah buaya, ekstrak mengkudu dan mikroba
probiotik untuk kesehatan.

Teknologi agromikrobiologi
Teknologi agromikrobiologi merupakan pengkajian dan penerapan
teknologi mikroba yang dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas
pertanian dalam arti luas biofertilizer, biopestisida, dekomposer, dan
probiotik ternak.

Rekayasa industri berbasis bioteknologi


Rekayasa industri berbasis bioteknologi ditujukan untuk melakukan
rancangan bangun untuk industri berbasis bioteknologi serta paket teknoekonomi untuk industrialisasi bioteknologi. Produk yang dihasilkan antara
lain filtrasi (nano, mirko, ultra), sistem penapisan produk dengan membran
filtrasi, solid dan liquid fermentor, spray drier, rolling drier, mixer, dan
homogenizer.

Rekayasa genetika terapan


Rekayasa genetika terapan merupakan pembudidayaan teknologi gen
untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas mikroba tanaman.
Rekayasa genetika terapan yang telah dilakukan di Balai Pengkajian
Bioteknologi-BPPT antara lain pengembangan tanaman kelapa sawit
rendah asam lemak jenuh, peningkatan produktivitas kualitas karet secara
rekayasa genetika, peningkatan produktivitas vitaman B12 Pseudomonas
denitrificans.

2.7

Struktur Organisasi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT


8

Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT dipimpin oleh seorang kepala balai


dan dibantu oleh satu sub tata usaha, 3 seksi teknis, serta satu kelompok jabatan
fungsional, yang strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Tugas dari masingmasing bagian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Sub bagian tata usaha (administrasi)
Bertugas dalam mengatur urusan kepegawaian, keuangan, tata
laksana, surat-menyurat, kearsipan, perlengkapan, dan rumah
tangga balai.
b. Seksi bioteknologi pertanian
Bertugas dalam melaksanakan urusan pengembangan pengkajian
dan penerapan teknologi gen, agromikrobiologi, dan mikrobiologi
pertanian.
c. Seksi bioteknologi industri
Bertugas dalam melakukan urusan pengembangan perngkajian dan
penerapan mikrobiologi, teknologi fermentasi, dan proses hilir di
bidang industri.
d. Seksi jasa teknologi
Bertugas dalam melakukan jasa analisis dan kontrol kualitas serta
pengelolaan sarana teknik dan pemasyarakatan hasil.

Gambar 2.1 Struktur Organisasi di Balai Pengkajian BPPT-Teknologi

2.8

Peraturan Kerja
Peraturan kerja di Balai Bioteknologi-BPPT dimulai pada pukul 07.30

sampai 16.00 WIB, jumlah hari kerja dalam seminggu adalah lima hari dimulai
dari hari Senin sampai dengan Jumat.

10

BAB III
PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
3.1 Deskripsi Aktivitas
3.1.1 Pembuatan Media MP-1 (Media Sporulasi)
Bahan
Yeast extract
Cane molasses
Glyserin
NaCl
CaSO4
Asam
fenoksi

Untuk 100 mL
0,5 g
0,75 g
0,75 g
1g
0,025 g
0,1 mL

Untuk 500 mL
2,5 g
3,75 g
3,75 g
5g
0,125 g
5 mL

Untuk 1000 mL
5g
7,5 g
7,5 g
10 g
0,25 g
10 mL

asetat
Bacto agar
H2O

2,5 g
100 mL

12,5 g
500 mL

25 g
1000 mL

Tabel 3.1 Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat media MP-1

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan media sporulasi ini antara lain
labu erlenmeyer 2000 mL (untuk pembuatan 1000 mL medium), sumbat kapas,
alumunium foil, pH meter, autoklaf, cawan petri, magnetic stirrer, hot plate, dan
gelas ukur 1500 ml.
Penimbangan dilakukan terhadap masing-masing bahan yang dibutuhkan
(Tabel 3.1), kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 2000 ml satu per
satu sambil dilakukan pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer di atas
hot plate. Setelah semua bahan tercampur dengan baik selanjutnya dilakukan
pengukuran pH awal dengan menggunakan pH meter yang dikalibrasi, kemudian
dilakukan penyesuaian pH sampai dengan pH 6,8 dengan menambahkan larutan
NaOH 2N. Labu erlenmeyer tersebut ditutup dengan sumbat kapas dan
alumunium foil. Dilakukan sterilisasi dengan autoklaf selama 30 menit pada suhu
1210C. Setelah itu, media dituang ke dalam cawan petri di dalam laminar air flow
dan dibiarkan mendingin pada suhu ruang. Media kemudian ditutup dan disimpan
dalam wadah plastik yang ditutup rapat sebelum digunakan.
3.1.2 Pembuatan Media MP-2 (Media Vegetatif)
Bahan
CSL
Sukrose

g/L
61
20

g/100 mL
6,1
2
11

g/200 mL
12,2
4

g/300 mL
18,3
6

CaCO3
H2O

5
1000 mL

0,5
100 mL

1
200 mL

1,5
300 mL

Tabel 3.2 Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat media MP-2

Alat-alat yang digunakan pada pembuatan media vegetatif ini antara lain
labu erlenmeyer 250 ml, labu erlenmeyer 2000 mL (untuk pembuatan 1000 mL
medium), sumbat kapas, pH meter, magnetic stirrer, glass beads, alumunium foil,
autoklaf, hot plate, gelas ukur 1500 ml.
Penimbangan dilakukan terhadap masing-masing bahan yang dibutuhkan
(Tabel 3.2), dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 2000 ml satu per satu dengan
H2O dan CaCO3 terlebih dahulu sambil dilakukan pengadukan dengan
menggunakan magnetic stirrer di atas hot plate. Diukur pH awal dari seluruh
campuran bahan dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi.
Dilakukan penyesuaian pH sampai didapatkan nilai pH 5,8 dengan menambahkan
larutan NaOH 2N. Masing-masing labu erlenmeyer 250 ml yang sudah diisi
dengan 3 buah glass beads berdiameter 5 mm kemudian diisi dengan 20 ml
medium. Ditutup dengan sumbat kapas dan alumunium foil kemudian dilakukan
sterilisasi dengan autoklaf selama 30 menit dengan suhu 1210C.
3.1.3 Pembuatan Media MP-3 (Media Fermentatif)
Bahan
CSL
Laktosa
KH2PO4
(NH4)2SO4
CaCO3
Na2SO4
H2O

g/L
42
130
4
4,5
10
1,5
1000 mL

Tabel 3.3 Bahan-bahan yang dibutuhkan


untuk membuat media MP-3

Alat-alat yang diperlukan antara lain labu erlenmeyer atau gelas ukur 2000
mL, labu erlenmeyer 250 ml, pH-meter, magnetic stirrer, hot plate, glass beads,
aluminium foil, autoklaf, pipet ukur, bulb.
Pertama-tama, dilakukan penimbangan tiap-tiap bahan di atas sesuai
dengan kebutuhan pembuatan. Kemudian dimasukkan satu per satu ke dalam labu
erlenmeyer atau gelas ukur 2000 mL sambil dilakukan pengadukan dengan
magnetic stirrer di atas hot plate. Diukur pH awal-nya dan dilakukan adjust pH
12

sampai mencapai nilai pH sekitar 5,9 dengan cara menambahkan larutan NaOH
4N sedikit demi sedikit. Diambil 30 mL dengan pipet ukur dimasukkan ke dalam
beberapa labu erlenmeyer sesuai keperluan pembuatan. Ke dalam tiap-tiap labu
erlenmeyer 250 mL sebelumnya ditambahkan 0,15 mL minyak kacang kedelai
dan 3 butir glass beads. Diberikan 3 perlakuan PAA yang berbeda yaitu 0,5 mL;
0,6 mL; dan 0,7 mL PAA. Labu erlenmeyer ditutup dengan sumbat kapas dan
aluminium foil untuk kemudian disterilisasi di autoklaf selama 30 menit dengan
suhu 1210C.
3.1.4 Pembuatan Media NA
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan media NA adalah nutrient
agar 20 g, akuades 1000 mL, larutan NaOH 4N. Sedangkan alat-alat yang
diperlukan diantaranya hot plate, magnetic stirrer, ph meter, labu erlenmeyer 1000
ml, sumbat kapas, aluminium foil, laminar air flow, cawan petri, autoklaf.
Dilakukan penimbangan NA sesuai kebutuhan yang kemudian dilarutkan di dalam
labu erlenmeyer berisi aquades sesuai kebutuhan lalu diaduk di atas hot plate
sambil dilakukan pengukuran pH awal sampai mencapai pH 7 dengan
menambahkan larutan NaOH 4N tetes demi tetes. Labu erlenmeyer tersebut lalu
ditutup dengan sumbat kapas dan aluminium foil. Kemudian disterilisasi selama
30 menit dengan suhu 1210C. Selesai disterilisasi, dilakukan penuangan media NA
steril ke dalam beberapa cawan petri di dalam laminar air flow. Setelah media
memadat, cawan Petri ditutup dan dimasukkan ke dalam kantung plastik.

13

3.1.5 Pembuatan Larutan NaCl 0,9% + 2 tetes Tween


NaCl seberat 0,9 gram, 2 tetes larutan Tween, dan akuades 100 mL
merupakan bahan-bahan yang diperlukan. Alat-alat yang digunakan yaitu tabung
reaksi, pipet ukur, hot plate, magnetic stirrer, autoklaf, gelas ukur 300 mL.
Padatan NaCl 0,9 gram dimasukkan ke dalam becker glass 300 mL dan dilakukan
pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer di atas hot plate. Ditambahkan
2 tetes larutan Tween ke dalam becker glass tersebut. Setelah semuanya larut,
diambil sebanyak 9 ml untuk dimasukkan ke dalam beberapa tabung reaksi.
Beberapa tabung reaksi itu kemudian disterilisasi selama 15 menit dengan suhu
1210C.
3.1.6 Pembuatan HCl 4N 100 ml
Bahan-bahan yang digunakan antara lain larutan HCl 37%, akuades. Alatalat yang dibutuhkan yaitu labu ukur 500 ml. Sebanyak 165,6 ml larutan HCl 37%
dimasukkan ke dalam labu ukur 500 ml. Lalu ditambahkan akuades ke dalam labu
ukur sampai mencapai batas tera 100ml. Pengerjaan ini dilakukan di dalam ruang
asam.
3.1.7 Pembuatan NaOH 4N 100 ml
Bahan-bahan yang harus disiapkan adalah larutan NaOH 50% Sorensen,
akuades.Alat-alat yang digunakan antara lain labu ukur 500 ml. Diambil sebanyak
23,71 ml larutan NaOH 50%, dimasukkan ke dalam labu ukur. Dilakukan
pengenceran dengan menambahkan akuades sampai batas tera 100 ml.
3.1.8 Pembuatan Reagen DNS
Bahan-bahan yang digunakan diantaranya 3,5 DNS (3,5 Dinitrosalicylic
acid) 10,6 g, NaOH 19,8 g, natrium kalium tartat 306 g, fenol 7,6 mL, Nametabisulfit 8,3 g, 0,1 N HCl, larutan NaOH, indikator PP dan akuades 1416 g.
Dalam pembuatan reagen DNS ini digunakan beberapa alat seperti gelas ukur,
pipet ukur, bulb, alat timbangan, magnetic stirrer, hot plate.
3,5 DNS 10,6 gram, 19,8 gram NaOH, dan akuades 1416 mL dicampur
dan dilarutkan terlebih dahulu. Kemudian ditambahkan 306 gram natrium kalium

14

tartrat, 7,6 mL fenol dan 8,3 gram Na-metabisulfit. Pengadukan dilakukan dengan
menggunakan magnetic stirrer di atas hot plate. Diambil sebanyak 3 mL untuk
dititrasi dengan 0,1 N HCl dan indikator PP (sampai berubah warna ke warna
semula setidaknya membutuhkan 5-6 mL HCl). Jika kurang dari 5-6 mL HCl,
maka ditambahkan NaOH sebanyak 2 gram untuk setiap penambahan 1 mL HCl.
3.1.9 Pembuatan Larutan Alkohol 70%
Bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah larutan alkohol 96% dan
akuades. Alat yang digunakan gelas ukur 100 mL dan corong. Ke dalam gelas
ukur 100 mL ditambahkan 70 mL alkohol 96% kemudian ditambahkan akuades
sampai batas tera 100 mL.
3.1.10 Transfer Spora dari Agar Slant ke Media MP-2 dan Uji Sterilitas
Bahan-bahan yang perlu disiapkan diantaranya larutan NaCl 0,9%, agar
slant Penicillium chrysogenum, media MP-2, media NA, media MP-1, dan
alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan antara lain laminar air flow, pipet ukur
steril, bulb, incubator shaker, oose, inkubator 250C dan 370C.
Wadah bahan-bahan seperti agar slant, media MP-1, media MP-2, media
NA dan larutan NaCl 0,9% disemprot dengan alkohol 70%. Kemudian
dimasukkan ke dalam laminar air flow yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Diambil 6 mL larutan NaCl 0,9%. Dimasukkan ke dalam agar slant Penicillium
chrysogenum dan digoreskan-goreskan ujung pipet ukur hingga miselia
Penicillium chrysogenum larut. Dari agar slant tersebut diambil sebanyak 1 mL
suspensi spora untuk dimasukkan ke dalam media MP-2. Setelah itu, dilakukan uji
sterilitas dengan melakukan streak dari slant ke media MP-1 dan media NA di
dalam cawan petri. Media MP-2 yang sudah diinokulasikan dengan kultur
Penicillium chrysogenum terpilih dishaker selama 7 hari. Sedangkan hasil streak
pada media MP-1 dan media NA disimpan di dalam inkubator 250C dan 370C
untuk kemudian dilihat apakah terdapat kontaminasi atau tidak pada masingmasing kultur.

15

3.1.12 Transfer Media dari Media MP-2 ke Media MP-3


Bahan-bahan yang perlu disiapkan diantaranya media MP-3, media MP-2,
media NA, media MP-1, dan alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan antara lain
laminar air flow, pipet ukur steril, bulb, shaker, oose, object glass, deck glass,
inkubator 250C dan 370C. Media MP-2, media MP-3, media MP-1 dan media NA
dimasukkan ke dalam laminar air flow yang sebelumnya sudah disiapkan. Dengan
menggunakan pipet ukur steril sebanyak 1,5 mL dari media MP-2 dimasukkan ke
dalam media MP-3. Kemudian, dilakukan uji sterilitas dengan melakukan streak
dari tiap media MP-2 ke dalam media MP-1 dan NA di dalam cawan petri.
3.1.13 Analisis HPLC (High Performance-Liquid Chromatography)
Media MP-3 yang sudah dishaker selama 10 hari merupakan sampel yang
dianalisis untuk menghitung jumlah penisilin-G yang dihasilkan dan jumlah PAA
yang tersisa dalam media MP-3. Alat-alat yang digunakan antara lain alat
sentrifuge, alat HPLC, tabung sentrifuga 15 mL, tutup tabung sentrifuga,
mikropipet 1 mL, tabung vial, dan labu erlenmeyer 250 mL.
Labu erlenmeyer 250 mL yang berisi media MP-3 disiapkan. Dari tiap
labu erlenmeyer tersebut diambil sebanyak 10 mL, lalu dimasukkan ke tabung
sentrifuga 15 mL. Setelah ditutup dengan tutupnya, semua tabung dimasukkan ke
dalam alat sentrifuga yang diatur kecepatannya 3500 rpm, 10 G selama 15 menit.
Selesai disentrifugasi, diukur jumlah padatan yang mengendap sebagai PMV
(Packed Mass Volume), sementara itu supernatannya dipindahkan ke dalam kuvet
sebanyak 400 L untuk disentrifugasi kembali dengan kecepatan 130000 rpm, 10
G selama 15 menit. Lalu, 200 L supernatan dipindahkan ke dalam tabung vial
untuk dianalisis pada alat HPLC. Tiap-tiap sampel diatur tingkat pengencerannya
agar konsentrasi penisilin-G dan PAA yang terukur masih berada dalam batas
kurva standar yang digunakan.
3.1.14 Analisis Gula Total
Bahan-bahan yang dipakai dalam analisis gula total antara lain larutan
sampel yang akan diuji, larutan DNS, akuades, NaOH 2N, HCl 4N. Sedangkan
alat-alat yang digunakan seperti timbangan Metler, pH-meter, alat vortex,

16

spektrofotometer, waterbath, labu ukur 50 mL, tabung reaksi besar dan kecil,
aluminium foil, mikropipet 1 mL, corong, kuvet, parafilm, pipet ukur steril.
Pertama-tama sampel yang akan diuji ditimbang dan dipindahkan ke
dalam tabung reaksi kecil. Sesudah dilakukan penimbangan ditambahkan 0,5 mL
larutan HCl 4N ke dalam masing-masing sampel. Waterbath diatur untuk suhu
>960C. Sampel yang telah diberi penambahan 0,5 mL HCl 4N dipanaskan dalam
waterbath selama 20 menit. Setelah 20 menit, ditambahkan 1 mL NaOH 2N ke
dalam larutan sampel tersebut.
Tabung reaksi besar dipersiapkan dan ke dalamnya dimasukkan sebanyak
3 mL dan 6 mL larutan DNS untuk sampel dan blanko. Selain itu, labu ukur 50
mL dan corong juga dipersiapkan. Sampel yang akan dianalisis tersebut
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL serta ditambahkan akuades hingga
mencapai batas tera 50 mL dan dipindahkan kembali ke tabung reaksi kecil yang
sudah dibilas.
Tabung reaksi besar yang sudah berisi 3 mL larutan DNS ditambahkan 800
L akuades dan 200 L sampel untuk pengenceran 5x. Sedangkan untuk kontrol
sampel dilakukan pengenceran 10x dengan ditambahkannya 900 L akuades dan
100 L kontrol sampel. Kemudian divortex dan dipanaskan selama 2 menit di
waterbath dengan suhu > 960C. Blanko yang berisi 6 mL larutan DNS juga
dipanaskan.
Terakhir, dilakukan pengukuran spektrofotometer pada panjang gelombang
550 nm untuk mengetahui nilai absorbansi sampel tersebut. Setelah didapatkan
nilai absorbansi melalui pengukuran, data-data yang didapat diproses dan dihitung
hingga mendapatkan nilai gula totalnya.
3.2 Pengamatan dan Analisis Data
Penicillium chrysogenum merupakan spesies jamur yang dipakai untuk
memproduksi antibiotik penisilin yang sangat penting dalam dunia kesehatan
sehingga dilakukanlah produksi secara komersial dengan cara biosintesis,
semisintesis dan sintesis kimia total. Terdapat dua cara dalam biosintesis yaitu
surface culture method (jamur P. chrysogenum ditumbuhkan pada permukaan
wadah yang berisi media padat yang lembab/cair) dan submerged agitated method

17

(jamur P. chrysogenum ditumbuhkan dengan media cair yang selalu digoyang)


(Abraham et al., 1941).
Optimasi PAA merupakan salah satu metode untuk meningkatkan
produktivitas penisilin G dari jamur Penicillium chrysogenum karena komposisi
dari medium yang digunakan untuk kultivasi mikroorganisme dapat secara
langsung

berpengaruh

pada

fenotip

fisiologis

dan

kinerja

fermentasi

mikroorganisme tersebut. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Reena et


al. pada 2011, penggunaan Phenylacetic Acid (PAA) sebagai prekursor
menunjukkan hasil yang optimal jika dibandingkan dengan Phenyl ActeAmide
(PAAM) dan Phenoxyacetic Acid (POAA).
Dalam pelaksanaan kerja praktek ini, tujuan utamanya adalah untuk
mengoptimasi volume PAA yang digunakan (dalam percobaan ini digunakan PAA
dengan volume 0,5 mL, 0,6 mL, dan 0,7 mL) terhadap sampel koloni jamur
Penicillium chrysogenum (digunakan koloni 2 dan koloni 3) untuk dapat
menghasilkan antibiotik penisilin-G sehingga dapat dilakukan scale up di
fermentor secara efektif dan efisien.

(a)

(b)

Gambar 3.1 Gambar morfologi koloni P. chrysogenum (a) dan miselia P.


chrysogenum dengan produksi penisilin-G di atas 5000 ppm
(Sumber : Stefaniak et al., 1946)
Gambar 3.1 di atas memperlihatkan koloni dan miselia

Penicillium

chrysogenum yang dapat menghasilkan penisilin-G hingga di atas 5000 ppm.


Koloni tersebut memiliki ciri-ciri morfologi antara lain memiliki warna hijau

18

yang gelap serta membentuk struktur menyerupai gunung dengan kawah yang ada
di tengah. Dalam seleksi koloni yang sudah dikerjakan di Laboratorium
Mikrobiologi Biotek-BPPT warna sampel koloni Penicillium chrysogenum yang
dapat memproduksi penisilin-G dengan jumlah di atas 5000 ppm hampir selalu
berwarna hijau pekat dengan konidifor berbentuk seperti kuas.
Pengamatan morfologi terhadap setiap sampel koloni Penicillium
chrysogenum yang dianalisis dilakukan secara kasat mata atau menggunakan
mikroskop kemudian difoto. Pengamatan morfologi dilakukan dua kali. Pertama,
pengamatan bentuk tumbuh koloni saat jamur akan diambil sampelnya dan
dipindahkan dari agar miring tempat penyimpanannya ke medium vegetatif MP-2.
Pengamatan ini dilakukan secara kasat mata. Pengamatan morfologi kedua
dilakukan sebelum sampel dipindahkan dari media vegetatif MP-2 ke media
fermentasi MP-3. Pengamatan ini dilakukan dibawah mikroskop untuk memilih
sampel yang tepat untuk difermentasi. Hasil pengamatan kemudian difoto dan
dibandingkan dengan literatur. Dari foto tersebut diamati dan dicatat ciri-ciri
morfologinya apakah sesuai atau berbeda dengan ciri-ciri morfologi sampel
koloni Penicillium chrysogenum yang dapat menghasilkan penisilin-G di atas
5000 ppm.
Pada Tabel 3.4dapat dilihat hasil pengamatan morfologi terhadap sampel
koloni 2 dan koloni 3.
Tabel 3.4 Morfologi Penicillium chrysogenum sampel koloni 2 dan 3
N
o
1

Koloni

Gambar Morfologi

Koloni 2
Warna : hijau muda
Struktur : bagian tengah tidak
tersusun rapi dan belum menyerupai
bentuk kawah.

Koloni 3
Warna : hijau tua
Struktur : bentuk hampir bulat
sempurna, bagian tengah hampir rapi
dan menyerupai bentuk kawah.

19

Koloni 2.1
Perbesaran: 50x

Koloni 2.2
Perbesaran: 50x

Koloni 3.1
Perbesaran: 50x

Koloni 3.2
Perbesaran: 50x

Apabila diamati dari perbedaan morfologi tiap sampel koloni Penicillium


chrysogenum yang diuji, berdasarkan Tabel 3.4 di atas koloni 3 merupakan koloni
yang lebih baik jika dibandingkan dengan koloni 2. Koloni 3 memiliki struktur
morfologi yang paling mendekati ciri-ciri struktur morfologi koloni Penicillium
chrysogenum yang dapat menghasilkan penisilin-G di atas 5000 ppm menurut
Stefaniak et al., (1946) yaitu memiliki warna hijau gelap serta membentuk
struktur menyerupai gunung dengan kawah yang ada di tengah.
Masing-masing sampel kemudian diberi perlakuan yang berbeda dengan
menambahkan prekursor PAA dengan volume yang dibagi menjadi 3 variasi,
yakni PAA 0,5 mL, 0,6 mL, dan 0,7 mL. Semua sampel kemudian dianalisis lebih
lanjut dengan metode HPLC dan analisis gula.
Phenylacetic Acid (PAA) sampai saat ini merupakan prekursor yang
terbukti paling baik untuk menginduksi sintesis penisilin-G. Percobaan dengan
menggunakan volume PAA yang bervariasi diharapkan dapat mengetahui volume
optimal yang dapat mempercepat dan memperbanyak produksi penisilin-G dari
koloni Penicillium chrysogenum secara efektif dan efisien. (Lee et al ., 1994).
Menurut Baker & Lonergan (2002), dalam suatu senyawa penisilin-G
sepertiganya merupakan senyawa PAA. Agar lebih jelasnya perlu dibandingkan

20

struktur kimia masing-masing yaitu antara struktur kimia pensiilin-G dan PAA,
serta struktur dasar penisilin pada umumnya.
HPLC merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat dalam suatu analisis
kimia serta memiliki prinsip penggunaan yang sama dengan kromatografi lapis
tipis dan kolom. HPLC memperbolehkan penggunaan partikel yang berukuran
sangat kecil untuk material terpadatkan dalam kolom yang mana akan memberi
luas permukaan lebih besar berinteraksi antara fase diam dan molekul-molekul
yang melintasinya sehingga memungkinkan terjadinya pemisahan yang lebih baik
dari komponen-komponen dalam campuran (Stefaniak et al., 1946).
Analisis HPLC dan gula total dilakukan pada dua hari yang berbeda untuk
masing-masing koloni (awal pengerjaan masing-masing koloni berselang 3 hari)
yaitu pada tanggal 25 Juli 2011 terhadap sampel koloni 2 dan pada tanggal 28 Juli
2011 terhadap koloni 3. Analisis dilakukan terhadap kultur yang berumur 7 hari.
Dari analisis dengan menggunakan HP-LC ini didapatkan data mengenai jumlah
penisilin-G yang dihasilkan, PAA yang digunakan, pemakaian gula sebagai
sumber karbon yang dipakai serta pH dan PMV (Packed Mass Volume).
Gambar 3.2 sampai Gambar 3.6 memperlihatkan perbandingan hasil
analisis HPLC dan gula total masing-masing perlakuan pada sampel koloni 2 yang
dilakukan pada tanggal 25 Juli 2011.
3900

3787.2

3800
3700
3600

3544.6

Penisilin-G (ppm) 3500

3404.6

3400
3300
3200

2-0.5

Dua 0.5

Dua 0.6

Dua 0.7

Kelompok Perlakuan (Koloni 2)

Gambar 3.2 Perbandingan hasil penisilin-G rata-rata pada semua kelompok


perlakuan koloni 2

21

Berdasarkan Gambar 3.2 dapat diketahui bahwa dari penelitian yang


dilakukan pada koloni 2, sampel dengan kandungan PAA sebanyak 0.7 mL
menghasilkan penisilin-G dengan nilai rata-rata paling tinggi, yaitu sebesar
3787,2 ppm, dibandingkan dengan sampel yang diberi PAA sebanyak 0,5 mL dan
0,6 mL. Hal ini mungkin disebabkan oleh keefisienan metabolisme koloni
Penicillium chrysogenum yang ada pada sampel tersebut. Dengan melihat hasil
tersebut, maka koloni 2 belum dapat dilanjutkan scale-up pada fermentor karena
jumlah penisilin-G minimal yang dibutuhkan untuk scale-up adalah 5000 ppm
karenanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana memaksimalkan
produksi penisilin pada koloni 2 untuk mendapatkan trend jumlah penisilin-G
seperti yang diharapkan. Perlu juga dilakukan pembandingan dari segi morfologi
agar didapatkan koloni yang lebih unggul.

7000
6000
5000
4000
3000
PAA (ppm) 2000
1000
0

5741
4449

3409
773

1357.8

1752.4

Kelompok Perlakuan

Gambar 3.3 Perbandingan nilai PAA rata-rata saat HP-LC pada semua kelompok
perlakuan koloni 2
Berdasarkan Gambar 3.3 dapat diketahui rata-rata konsentrasi PAA yang
tersisa dalam medium pada saat panen dilaksanakan dan dibandingkan dengan
masing-masing kontrolnya. Kelompok perlakuan dengan PAA sebanyak 0,7
memiliki konsentrasi PAA sisa yang paling banyak, yaitu 1752,4 ppm, dibanding
kelompok perlakuan lainnya. Dari Gambar 3.3 dapat diperkirakan konsumsi PAA
pada

masing-masing

kelompok

perlakuan.

22

Kelompok

perlakuan

yang

mendapatkan PAA sebesar 0,5 mL diperkirakan mengkonsumsi PAA sebanyak


2636 ppm. Kelompok perlakuan PAA 0,6 mL diperkirakan mengkonsumsi PAA
sebesar 3091,2 ppm. Konsumsi PAA terbesar diperkirakan terjadi pada kelompok
perlakuan PAA 0,7 mL yaitu 3988,6 ppm. Sedangkan kelompok kontrol 0.5 (PAA
0.5 yang ditambahkan kedalam medium tanpa kultur) memberikan konsentrasi
akhir 773 ppm, kontrol 0.6 dan 07 masing-masing memberikan konsentrasi akhir
1357,8 ppm dan 1752,4 ppm.
112.75

120
92.75

100 92.16
80
60
Gula Total (g/L)

46.54

58.59

67.81

40
20
0

Kelompok Perlakuan

Gambar 3.4 Perbandingan gula total rata-rata pada semua kelompok perlakuan
koloni 2
Berdasarkan Gambar 3.4 dapat diketahui rata-rata konsentrasi gula total
yang terdapat dalam medium pada saat panen dilaksanakan dan dibandingkan
dengan masing-masing kontrolnya. Kelompok perlakuan PAA 0,5 pada koloni 2
mengkonsumsi gula rata-rata sebesar 45,62 g/L. Kelompok perlakuan PAA 0,6
dan PAA 0,7 masing-masing diperkirakan menghabiskan gula rata-rata sebesar
34,16 g/L dan 34,16 g/L. Konsumsi gula yang cenderung menurun ini
diperkirakan memiliki hubungan dengan konsumsi PAA dari masing-masing
kelompok perlakuan yang cenderung meningkat. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa semakin banyak mikroba mengkonsumsi PAA untuk mensintesis

23

penisilin-G, semakin sedikit sumber karbon yang dikonsumsi untuk pertumbuhan


mikroba tersebut.
6.73

6.8
6.6

6.6
6.4
pH

6.2

6.44
6.21

6.16

6.12

6
5.8

Kontrol 0.5 2-0.5 Kontrol 0.6 2-0.6 Kontrol 0.7 2-0.7


Kelompok Perlakuan

Gambar 3.5 Perbandingan pH rata-rata pada semua kelompok perlakuan koloni 2


Berdasarkan Gambar 3.5 dapat diketahui rata-rata pH medium pada saat
panen dilaksanakan dan dibandingkan dengan masing-masing kontrolnya. pH
perlakuan cenderung naik dan lebih tinggi daripada pH kontrolnya. Hal ini dapat
dikarenakan PAA dalam media tersebut berkurang karena ada yang di konsumsi
oleh mikroba. Seperti yang kita ketahui, phenylacetic acid (PAA) bersifat asam
sehingga semakin banyak PAA yang terkandung dalam medium, semakin rendah
pula pH nya. Hasil ini mendukung data sebelumnya yang menyatakan bahwa
koloni 2 yang diberi PAA 0,7 mL mengkonsumsi PAA paling banyak
dibandingkan perlakuan PAA 0,5 dan PAA 0,6 karena kenaikan pH dari koloni 2
perlakuan PAA 0,7 ini juga yang paling tinggi, yaitu naik sebesar 0,61, diantara
perlakuan lainnya yang hanya mengalami kenaikan pH sebesar 0,23 dan 0,5.

24

PMV (mL/10 mL)

3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

2.6

2.4

2.2
1

Kelompok Perlakuan

Gambar 3.6 Perbandingan PMV rata-rata pada semua kelompok perlakuan koloni
2
Pada Gambar 3.6 dapat terlihat bahwa PMV yang didapat pada saat panen
cenderung semakin menurun dari perlakuan dengan PAA 0,5 sampai perlakuan
dengan PAA 0,7. Packed Mass Volume (PMV) dapat dikorelasikan dengan massa
sel mikroba yang ada dalam medium perlakuan. Semakin besar PMV maka
semakin besar massa sel mikroba yang juga berarti semakin banyak terjadi
pertumbuhan sel. Hasil ini dapat dijelaskan oleh data sebelumnya yang
menyatakan bahwa koloni dengan PAA 0,5 mengkonsumsi gula paling banyak
diantara koloni dengan PAA 0,6 dan PAA 0,7. Dengan semakin banyaknya gula
yang dikonsumsi maka semakin besar pula pertumbuhannya sehingga PMV yang
didapat juga semakin besar.
Berdasarkan Gambar 3.5 di atas, sampel koloni 2 yang diberikan PAA 0,5
mL menghasilkan penisilin-G dengan nilai rata-rata sebanyak 3544,6 ppm dan
dari Tabel 3.5 tersebut dapat diketahui rata-rata PAA yang tersisa dalam medium
adalah sebanyak 773 ppm, sedangkan rata-rata gula yang tersisa dari sampel
koloni 2 PAA 0,5 adalah sebanyak 46,54 g/L serta rata-rata pH dan PMV masingmasing sebanyak 6,44 dan 2,2 mL/10 mL.
Pada hasil analisis koloni 2 yang diberikan PAA 0,6 mL menghasilkan
penisilin-G dengan nilai rata-rata sebanyak 3404,6 ppm dan rata-rata PAA yang
tersisa dalam medium adalah 1357,8 ppm, sedangkan rata-rata gula yang tersisa

25

dari sampel koloni 2 PAA 0,6 adalah sebanyak 58,59 g/L serta rata-rata pH dan
PMV masing-masing sebanyak 6,60 dan 2,4 mL/10 mL.
Pada sampel koloni 2 dengan prekursor PAA yang ditambahkan sebanyak
0,7 mL, penisilin-G rata-rata yang dihasilkan sebanyak 3787,2 ppm. Rata-rata
PAA yang tersisa dalam medium adalah 1757,2 ppm sedangkan rata-rata gula
yang tersisa dari sampel koloni 2 PAA 0,7 mL sebanyak 67,81 g/L serta rata-rata
pH dan PMV masing-masing sebanyak 6,73 dan 2,6 mL/ 10 mL.
Gambar 3.7 sampai Gambar 3.11 memperlihatkan perbandingan hasil
analisis HPLC dan gula total masing-masing perlakuan pada sampel koloni 3 yang
dilakukan pada tanggal 28 Juli 2011.

5000
4000

4543.2

4021.4
3149.6

3000
Penisilin-G (ppm)

2000
1000
0

Tiga 0.5

Tiga 0.6

Tiga 0.7

Kelompok Perlakuan

Gambar 3.7 Perbandingan hasil penisilin-G rata-rata pada semua kelompok


perlakuan koloni 3
Berdasarkan Gambar 3.7 dapat diketahui bahwa dari penelitian yang
dilakukan pada koloni 3, sampel dengan kandungan PAA sebanyak 0.7 mL
menghasilkan penisilin-G dengan nilai rata-rata paling tinggi, yaitu sebesar
4543,2 ppm, dibandingkan dengan sampel yang diberi PAA sebanyak 0,5 mL dan
0,6 mL. Hal ini mungkin disebabkan oleh keefisienan metabolisme koloni
Penicillium chrysogenum yang ada pada sampel tersebut. Dengan melihat hasil
tersebut, maka koloni 3 belum dapat dilanjutkan scale-up pada fermentor karena
jumlah penisilin-G minimal yang dibutuhkan untuk scale-up adalah 5000 ppm
karenanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana memaksimalkan

26

produksi penisilin pada koloni 3 untuk mendapatkan trend jumlah penisilin-G


seperti yang diharapkan. Perlu juga dilakukan pembandingan dari segi morfologi
agar didapatkan koloni yang lebih unggul.

10000
8000
6000
4000
PAA (ppm) 2000
0

9266.5

7806

7436

170.4

559

1385.6

Kelompok Perlakuan

Gambar 3.8 Perbandingan nilai PAA rata-rata saat HPLC pada semua kelompok
perlakuan koloni 3
Pada Gambar 3.8 dapat diketahui rata-rata konsumsi PAA masing-masing
perlakuan dibandingkan dengan kontrolnya. Berdasarkan Gambar 3.8 dapat
diketahui rata-rata konsentrasi PAA yang tersisa dalam medium pada saat panen
dilaksanakan dan dibandingkan dengan masing-masing kontrolnya. Kelompok
perlakuan dengan PAA sebanyak 0,7 memiliki konsentrasi PAA sisa yang paling
banyak, yaitu 1385,6 ppm, dibanding kelompok perlakuan lainnya. Dari Gambar
3.8 dapat diperkirakan konsumsi PAA pada masing-masing kelompok perlakuan.
Kelompok perlakuan yang mendapatkan PAA sebesar 0,5 mL diperkirakan
mengkonsumsi PAA sebanyak 7266 ppm. Kelompok perlakuan PAA 0,6 mL
diperkirakan mengkonsumsi PAA sebesar 7247 ppm. Konsumsi PAA terbesar
diperkirakan terjadi pada kelompok perlakuan PAA 0,7 mL yaitu 7880,9 ppm.

27

160
136.26
132.66
140 130.28
120
100
81.72
74.79
73.68
80
60
Gula Total (g/L) 40
20
0

Kelompok Perlakuan

Gambar 3.9 Perbandingan gula total rata-rata pada semua kelompok perlakuan
koloni 3
Berdasarkan Gambar 3.9 dapat diketahui rata-rata konsentrasi gula total
yang terdapat dalam medium pada saat panen dilaksanakan dan dibandingkan
dengan masing-masing kontrolnya. Kelompok perlakuan PAA 0,5 pada koloni 3
mengkonsumsi gula rata-rata sebesar 56,6 g/L. Kelompok perlakuan PAA 0,6 dan
0,7 masing-masing diperkirakan menghabiskan gula rata-rata sebesar 54,54 g/L
dan 57,87 g/L. Karakter koloni 3 dalam mengkonsumsi gula terlihat berbeda
dengan karakter yang dimiliki oleh koloni 2. Pada koloni 3, jika PAA yang di
konsumsi sedikit, maka konsumsi gula juga cenderung mengikuti (menjadi lebih
sedikit), begitu pula sebaliknya. Hal ini mungkin dikarenakan karakteristik dari
masing-masing koloni yang beragam.

28

6.3

6.25

6.25

6.2

6.2

6.18

6.16

6.15
pH

6.08

6.1

6.08

6.05
6
5.95

Kontrol 0.5 3-0.5 Kontrol 0.6 3-0.6 Kontrol 0.7 3-0.7


Kelompok Perlakuan

Gambar 3.10 Perbandingan pH rata-rata pada semua kelompok perlakuan koloni 3


Berdasarkan Gambar 3.10 dapat diketahui rata-rata pH medium pada saat
panen dilaksanakan dan dibandingkan dengan masing-masing kontrolnya. pH
perlakuan PAA 0,5 pada koloni 3 lebih tinggi daripada pH kontrolnya,
penyebabnya mungkin sama seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa
kenaikan pH bisa terjadi akibat PAA dalam media tersebut berkurang karena ada
yang di konsumsi oleh mikroba. Sementara itu penurunan pH dibandingkan
dengan kontrolnya pada kelompok percobaan PAA 0,6 dan PAA 0,7 dapat
disebabkan oleh banyaknya asam laktat yang terbentuk sebagai hasil dari
terjadinya fermentasi.

2.5

2.1

2.2

2.1

2
1.5
1
PMV (mL/10 mL)

0.5
0

Kelompok Perlakuan

29

Gambar 3.11 Perbandingan PMV rata-rata pada semua kelompok perlakuan


koloni 3
Pada Gambar 3.11 dapat terlihat bahwa PMV yang didapat pada saat
panen relatif sama dari perlakuan dengan PAA 0,5 sampai perlakuan dengan PAA
0,7. Pada koloni 3, kelompok perlakuan dengan PAA 0,7 yang mengkonsumsi
PAA dan gula paling tinggi juga memiliki PMV yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok perlakuan pada koloni 3 lainnya.
Pada hasil analisa koloni 3 yang diberikan PAA 0,5 mL menghasilkan
penisilin-G dengan nilai rata-rata sebanyak 3149,6 ppm dan rata-rata PAA yang
tersisa dalam medium adalah sebesar 559 ppm, sedangkan rata-rata gula yang
tersisa dari sampel koloni 2 PAA 0,6 adalah sebanyak 81,72 g/L serta rata-rata
pH dan PMV masing-masing sebanyak 6,08 dan 2,1 mL/10 mL.
Pada hasil analisa koloni 3 yang diberikan PAA 0,6 mL menghasilkan
penisilin-G dengan nilai rata-rata sebanyak 4021,4 ppm dan rata-rata PAA yang
tersisa dalam medium adalah 170,4 ppm, sedangkan rata-rata gula yang tersisa
dari sampel koloni 2 PAA 0,6 adalah sebanyak 73,68 g/L serta rata-rata pH dan
PMV masing-masing sebanyak 6,25 dan 2,1 mL/10 mL.
Pada hasil analisis koloni 3 yang diberikan PAA 0,7 mL menghasilkan
penisilin-G dengan nilai rata-rata sebanyak 4021,4 ppm dan rata-rata PAA yang
tersisa dalam medium adalah sebanyak 1385,6 ppm, sedangkan rata-rata gula
yang tersisa dari sampel koloni 2 PAA 0,7 adalah sebanyak 74,79 g/L serta ratarata pH dan PMV masing-masing sebanyak 6,08 dan 2,2 mL/10 mL.
Dari hasil analisis yang didapatkan, jumlah penisilin-G pada koloni 2
tidak dapat dilakukan scale-up pada fermentor karena jumlah penisilin-G minimal
yang dibutuhkan untuk scale-up adalah 5000 ppm karenanya perlu dilakukan
seleksi koloni berkelanjutan untuk mendapatkan trend jumlah penisilin-G seperti
yang diharapkan. Apabila dilihat dari rentang nilai pH-nya, sudah baik karena
memiliki rentang pH berkisar antara 6-7.
Hasil analisa H-LC menunjukkan bahwa baik koloni 2 dan koloni 3
menghasilkan penisilin-G rata-rata pada pemberian PAA 0,7 mL (3782,2 ppm)
dan (4543,2 ppm). Rata-rata konsentrasi gula total koloni 2 dan 3 pada masing-

30

masing perlakuan tidak termasuk tinggi yaitu 46,54 g/L, 58,59 g/L, dan 67,81 g/L,
73,68 g/L, 81,72 g/L, dan 74,79 g/L. Sumber karbon akan dirombak dan
digunakan untuk membangun massa sel dan membentuk produk. Komposisi dari
medium yang digunakan untuk fermentasi secara langsung berpengaruh pada
kemampuan produksi mikroorganisme tersebut, yang juga akan berdampak pada
efektivitas dan efisiensi dalam aplikasi industri. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Reena A. dan Panneerselvam A. (2010), diketahui bahwa dibandingkan
dengan glukosa, laktosa merupakan sumber karbon yang lebih baik untuk
fermentasi penisilin ini. Konsentrasi gula laktosa di dalam media fermentasi
harus dipertimbangkan dengan seksama. Konsentrasi gula total yang lebih tinggi
(di atas 200 g/L) masih dapat ditoleransi oleh ragi dan jamur seperti P.
chrysogenum yang mampu merombak 20 40 g/L gula total menjadi asam laktat
pada saat proses fermentasi berlangsung. Pada konsentrasi tertentu, sumber
karbon dan katabolit karbon dapat menghambat satu atau beberapa enzim yang
berperan dalam proses pembentukan produk dalam hal ini penisilin-G. Salah satu
pendekatan untuk mencegah penghambatan tersebut adalah dengan memberikan
sumber karbon secara terus menerus pada konsentrasi tertentu di bawah
konsentrasi penghambatan (Shuler dan Kargi, 1992). Menurut Stanbury et al.,
( 1995 ), konsentrasi gula total yang paling sesuai untuk pertumbuhan koloni P.
chrysogenum adalah diantara 80 120 g/L sehingga dapat mendukung
pembentukan sporanya dan tetap dapat menghasilkan penisilin-G.
Konsentrasi ion hidrogen mempengaruhi penyerapan nutrisi dan aktivitas
fisiologi

mikroba

sehingga

mempengaruhi

pertumbuhan

biomassa

dan

pembentukan produk. Ragi dan jamur memiliki pH optimal petumbuhan pada


rentang 4,5 5,5 namun pH optimal pertumbuhan tidak selalu sama dengan pH
optimal pembentukan produk. Produksi penisilin-G maksimum oleh P.
chrysogenum diperoleh pada rentang pH 6,0 7,0. Berdasarkan hasil pengamatan
pada Gambar 3.5 dan Gambar 3.10 diperoleh rata-rata pH yang masih berada
dalam rentang pH optimal 6,0 7,0 untuk menghasilkan penisilin-G.
Pengendalian pH pada proses fermentasi ini cukup sulit dilakukan karena
terjadinya penurunan konsumsi glukosa dan cepat terbentuknya asam laktat
menyebabkan terjadinya penurunan pH. Penambahan CaCO 3 pada media MP-2

31

dan media MP-3 dapat mencegah terjadinya penurunan pH (Shuler dan Kargi,
1992).
Pada proses fermentasi, asam fenilasetat (PAA) ditambahkan pada medium
fermentasi
Penambahan

sebagai

senyawa

fenilasetat

prekursor

(PAA)

pada

diharapkan

pembentukan
dapat

penisilin-G.

mempercepat

dan

memperbanyak produksi penisilin-G dari koloni P. chrysogenum.


Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 3.3 dan Gambar 3.7, volume
PAA 0,7 mL menghasilkan penisilin-G dalam jumlah yang paling banyak
dibandingkan dengan kelompok perlakuan dengan volume PAA yang lebih
rendah, akan tetapi rata-rata PAA dari masing-masing ulangan koloni tidak selalu
berada pada rata-rata konsentrasi PAA optimal yang diperlukan untuk
pembentukan penisilin-G sehingga penisilin-G yang dihasilkan belum mencapai

5000 ppm (Lee et al ., 1994).

Gambar 3.9 Struktur umum penisilin


(http://en.wikipedia.org/wiki/Peniciliin)
Menurut Baker & Lonergan (2002), dalam suatu senyawa penisilin-G
sepertiganya merupakan senyawa PAA. Agar lebih jelasnya perlu dibandingkan
struktur kimia masing-masing yaitu antara struktur kimia pensiilin-G dan PAA,
serta struktur dasar penisilin pada umumnya.

32

Gambar 3.10 Struktur kimia (A) Penisilin G dan (B) PAA


(http://en.wikipedia.org/wiki/Phenylacetic_acid)
Berdasarkan Gambar 3.10 di atas tersebut, struktur kimia PAA pada
Gambar 3.10 (B) juga terdapat pada struktur kimia penisilin-G pada Gambar 3.10
(A). Sehingga dapat dikatakan bahwa sepertiga dari senyawa penisilin-G adalah
senyawa PAA. Secara teoritis apabila ingin dihasilkan penisilin-G sebanyak 5000
ppm maka jumlah PAA yang ditambahkan haruslah sebesar sepertiganya yaitu
sebanyak 1667,67 ppm senyawa PAA (Stanbury et al., 1995).
Sintesis penisilin G dari Penicillium chrysogenum diinduksi oleh
Phenylacetic Acid (PAA) dan garamnya. Namun, juga dapat ditekan oleh
keberadaan glukosa, laktosa, fruktosa, dan sumber karbon lainnya. PAA memang
berperan untuk menginduksi pembentukan penisilin G, namun PAA juga berperan
sebagai penghambat pertumbuhan jamur pada konsentrasi yang melebihi derajat
optimumnya (Rodriguez, M.E. et al., 1994).
Berdasarkan informasi tersebut, maka konsentrasi PAA yang diberikan
pada semua perlakuan tidak mencukupi konsentrasi yang dibutuhkan oleh
Penicillium chrysogenum untuk menghasilkan penislin-G di atas 5000 ppm.
Meskipun berdasarkan percobaan ini konsentrasi penisilin-G yang dihasilkan pada
semua koloni adalah sampel yang diberikan PAA dengan volume 0,7 mL, namun
menurut kami hasil ini kurang memuaskan karena apabila dibandingkan dengan
sampel yang diberikan PAA dengan volume 0,5 mL hasilnya tidak berbeda jauh.
Hasil produksi penisilin-G yang tidak sesuai dengan keinginan bisa jadi
disebabkan oleh konsentrasi PAA yang diberikan terlalu berlebih sehingga bersifat
toksik bagi Penicillium chrysogenum, bisa juga disebabkan oleh metabolisme dari
koloni sampel yang tidak efektif dan efisien sehingga diperlukan seleksi koloni
dan penelitian berkelanjutan agar hasil produksi penisilin-G yang diharapkan
dapat tercapai.

33

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian dalam kerja praktek ini
adalah :
1. Pada koloni 2 dan 3, pemberian PAA 0,7 menghasilkan rata-rata
penisilin-G

dalam

jumlah

yang

paling

besar

(3787,2

ppm)

dibandingkan dengan pemberian PAA 0,5 dan PAA 0,6. Namun


pengaruh pemberian PAA terhadap produksi penisilin-G koloni 2 dan 3
ini tidak berbanding lurus.
2. Koloni 3 memiliki morfologi yang mendekati dengan morfologi koloni
ideal yang dapat menghasilkan penisilin-G di atas 5000 ppm, yaitu
berwarna hijau gelap dengan struktur yang menyerupai gunung dengan
sebuah kawah di bagian tengah.
3. Belum bisa ditentukan volume PAA yang dapat digunakan untuk
menghasilkan penisilin-G dengan jumlah maksimal.
4.2 Saran
1. Dari hasil penelitian ini, diperkirakan koloni yang digunakan memiliki
metabolisme yang kurang efektif dan efisien sehingga dibutuhkan seleksi
koloni berkelanjutan agar dapat menghasilkan penisilin-G dalam jumlah
maksimal.
2. Produktivitas koloni terpilih hasil seleksi koloni dapat ditingkatkan dengan
rekayasa genetik yaitu dengan penambahan situs gen-gen yang
bertanggungjawab untuk mengekspresikan penisilin-G.

34

DAFTAR PUSTAKA
Abraham E. P., Chain, E., Fletcher C. M. Florey H. W., Gardner A. D., Heatley
N.G., Jennings M. A., 194. Further Observations on Penicillin. Eur J Clin
Pharmacol. 1992;42(1):3-9.
Lee, C. J., H.J. Yeh, W.Y. Yang, and C. R. Kan., 1994. Separation of Penicillin G
from Phenylacetic Acid in a Supported Liquid Membrane System,
Biotechnol. Bioeng., 43, 309-313.
Kardos, N & Demain, A. L., 2011. Penicillin : The Medicine with the Greatest
Impact on Therapeutic Outcomes. Appl Microbiol Biotechnol 92:677-687
Paul, E. A. 2007. Soil Microbiology, Ecology, and Biochemistry. Canada: Elsevier
Piccirillo JF. 2001. Acute bacterial sinusitis. N Engl J Med. 2004. 351: 902-910.
Raper KB. 1994. The Development of Improved Penicillin-producing Molds.
Ann . NY Acad Sci 48:41-56.
Reena, A & Panneerselvam, A. 2011. Optimization of The Penicillin Production
with Penicillium chrysogenum Strains by The Side Chain Precursor.
Journal of Pharmacy Research. 4 (1) 175-177.
Sidik, J. M., 2010. Cermati Hilangnya Antibiotik Penisilin. Jakarta: Asia Pulse.
Shuler, M. L., Fikret Kargi. 1992. Bioprocess Engineering Basic Consepts. New
Jersey: Prentice Hall International Inc.
Stansbury, P. F., Whitaker, A., Hall, S. J. 1995. Priciples of Fermentation
Technology. Oxford: Pergamon Press.
Stefaniak. J. J., Gailey, F. B., Brown, C. S. and Johnson, M. J. 1946. Pilot Plant
Equipment for Submerged Penicillin Production. In Press

35

Anda mungkin juga menyukai