BISINOSIS
BISINOSIS
PENDAHULUAN
Penyakit akibat kerja (PAK) timbul akibat terpajan faktor fisik, kimiawi, biologis,
psikososial, dan faktor ergonomi di tempat kerja. Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja
merupakan penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja.
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kerusakan paru yang disebabkan oleh debu,
asap, dan gas berbahaya yang terhirup oleh pekerja di tempat kerjanya. Banyak lingkungan kerja
lapangan yang mengancam kesehatan paru pekerja. Penyakit paru akibat pekerjaan telah dikenal
ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu sejak zaman kerja paksa atau perbudakan. Karena
pertumbuhan industri di Industri di Indonesia sangat pesat, kejadian penyakit jenis ini meningkat
dengan cepat pula. Peningkatan ini disebabkan oleh belum ditaatinya ajaran dan petunjuk
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Bissinosis merupakan salah satu penyakit paru akibat kerja. Pada orang/ pekerja yang
rentan, pajanan debu kapas, sisal, atau serat dapat menyebabkan sesak napas akut dengan batuk
dan obstruksi saluran napas reversible. Gejala ini dirasakan petama kali pada hari pertama
minggu pertama kerja yaitu biasanya hari Senin dan kemudia mereda, bissinosis disebut juga
Monday morning chest tightness atau Monday morning asthma. . Bisinosis lebih sering
ditemukan pada karyawan pemintalan yang terpajan debu kapas kadar tinggi dibanding
karyawan penenunan.
Kasus Skenario D : Seorang pekerja pabrik Garmen mengeluh timbul rasa berat di dada atau
nafas pendek disertai juga demam dan nyeri otot pada setiap hari pertama kembali bekerja dari
setiap libur panjang ( Hari Raya Idul Fitri ) ataupun sehabis libur Sabtu dan Minggu.
PEMBAHASAN
Pendekatan Klinis (Diagnosis Okupasi )
Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang diderita karyawan dalam hubungan dengan kerja,
baik faktor resiko karena kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses
produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi. Penyakit akibat kerja diagnosisnya
dapat ditegakkan dengan metode yang dikenal 7 Langkah Diagnosis Okupasi , terdiri dari :
1. Diagnosis Klinis
a. Anamesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis
terbagi menjadi dua tipe, yang pertama autoanamnesis yaitu wawancara yang ditujukan
langsung kepada pasien, yang kedua alloanamnesis yaitu wawancara yang ditujukan
kepada pihak keluarga, orang tua, atau kerabat selain pasien. Yang termasuk didalam
alloanamnesis adalah semua keterangan dokter yang merujuk, catatan rekam medik, dan
semua keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri.
Beberapa petanyaan yang dapat diajukan dalam anamnesis :
-
apa, dll )?
Berapa lama waktu bekerja dalam sehari ?
Apakah gejala penyakit berkurang pada saat tidak masuk bekerja ?
Alat kerja, bahan kerja, proses kerja apa yang digunakan dalam bekerja ?
Barang apa yang diproduksi/dihasilkan ?
Alat pelindung diri apa yang digunakan ?
Apakah hanya bekerja di ruangan atau ke luar ruangan pabrik juga ?
kerja akan didapatkan keluhan irtitsi saluran nafas bagian atas seperti : bersin-bersin,
iritasi pada mata, hidung, stridor dan gambaran trakeobronkitis. Gejala sistemik dapat
berupa mual, muntah, sakit kepala, kadang-kadang demam, pada keadaan berat dapat
terjadi oedem pulmonum.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fungsi paru
Evaluasi fungsi paru memberikan informasi tentang status fungsional.
Evaluasi ini membantu menetapkan derajat kebugaran atau kelemahan. Hal yang
paling mendasar pada tes ini adalah kapasitas vital (FVC), volume ekspirasi paksa
pada detik pertama (FEV1), dan perbandingan kedua hasil tersebut (FEV1/FVC).
FVC adalah seluruh volume udara yang bisa dikeluarkan secara paksa dari paru
setelah dilakukan ekspirasi maksimum dan FEV1 adalah volume udara yang
dikeluarkan pada detik pertama manuver tersebut.
Pada Bissinosis terdapat penurunan nilai KVP/FVC maupun VEP1/FEV1, dan
ciri ini jelas terlihat apabila pemeriksaan dilakukan pada hari Senin saat kembali
bekerja di lingkungan pabrik tekstil sesudah libur hari Minggu. Penurunan VEP1
pertahun lebih besar didapatkan diantara para pekerja tekstil dengan riwayat paparan
debu yang lama, bila dibandingkan dengan subjek yang tidak terpapar. Perokok juga
kelihatannya lebih rentan terhadap bissinosis daripada bukan perokok serta lebih
mungkin mengalami bentuk-bentuk lanjut penyakt ini. Gejala biasanya muncul
setelah seorang bekerja lebih dari 5 tahun, yang dapat berlanjut menjadi bronchitis
krnis atau emfisema.
Rontagen paru
Pemeriksaan rontagen paru dalam ukuran besar yang berkualitas baik penting
dilakukan, khususnya dalam menegakkan diagnosis asbestosis dan silikosis tahap
awal. Pemeriksaan rontagen paru selalu bermanfaat pada pekerja dengan gejala
pernapasan kronis, misalnya batuk sesak napas untuk menyaring kasus tuberculosis,
infeksi lain, atau keganasan. Pemeriksaan rontagen paru perlu dibuat serial. Diagnosis
silikosis atau asbestosis tidak boleh didasarkan pada satu foto saja; biasanya harus
berdasarkan paling sedikit dua foto dengan jarak beberapa bulan diantaranya. Hanya
sedikit korelasi antara temuan pada pemeriksaan rontagen paru dan hasil fungsi paru.
Jika terdapat keraguan atau kasus borderline, pemindaian resolusi tinggi yang
terkomputerisasi (high resolution computerized scan) dapat bermanfaat dalam
menentukan diagnosis diferensial lesi paru. Pemeriksaan rontagen paru juga dapat
bermanfaat pada keadaan paru akut untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
pneumonitis dan edema paru. Pada penyakit Bissinosis gambaran radiologi tidak
khas.
garmen adalah Bissinosis. Pada pemeriksaan tempat kerja dapat kita lakukan pengukuran
kadar dan ukuran partikel debu serta lama kerja. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh
Departemen Tenaga Kerja RI, nilai ambang batas untuk kadar debu kapas di lingkungan kerja
adalah 0,2 mg/m3.
dan kadang-kadang gejala menetap untuk hari-hari berikutnya. Pengukuran fungsi paru
(sebelum dan sesudah giliran tugas) dapat menghasilkan penurunan FEV1 melampaui giliran
tugas. Pada sebagian besar individu, temuan ini akan berkurang atau hilang pada hari kedua
bekerja. Dengan pajanan yang berkepanjangan, baik gejala maupun perubahan fungsi akan
menjadi lebih berat dan mungkin akan menetap selama seminggu kerja. Pada pekerja yang
sudah lama terpajan selama bertahun-tahun, adanya riwayat dispnoe saat melakukan kegiatan
adalah temuan yang biasa. Tidak ditemukan tanda yang khas atau ciri tertentu pada
pemeriksaan fisik. Efek kronis memiliki ciri obstruksi jalan napas dan secara klinis tidak bisa
dibedakan dengan bronkhitis kronis dan emfisema.
Selain itu lama kerja dan tingkat kadar debu kapas yang memberikan paparan terdapat
korelasi dengan timbulnya bissinosis.
Dua keadaan lain penyakit pernapasan yang diasosiasikan dengan pekerja industri kapas:
Mill fever. Merupakan keadaan yang bersifat self limited, biasanya terjadi akibat pajanan
debu lingkungan. Ini berlangsung 2-3 hari. Gejalanya sakit kepala, malaise dan demam.
Gejala demam diserta linu dan nyeri. Penyakit ini tampak seperti flu yang merupakan
gejala yang sama dengan metal fume fever dan polymer fume fever. Mill fever
berhubungan dengan bakteri gram negatif yang terdapat pada debu pabrik. Ini menyerang
hanya sekali tetapi setelah absen lama dari pabrik, pajanan dapat kembali menyebabkan
serangan lain.
Weavers chought. Penenun memiliki pengalaman outbreak dari penyakit pernapasan
akut yang gejalanya adalah batuk kering, dimana pajanan debu dirasa rendah. Ini
merupakan hasil dari material yang menempel atau benang yang berjamur yang kadangkadang ditemukan dalam ruang penenunan dengan tingkat kelembaban yang tinggi.
Derajat Bissinosis :
Derajat Bissinosis ditentukan dari kapasitas ventilasi serta kuesioner standar
1.
2.
3.
4.
Derajat 0
Derajat
Derajat 1
Derajat 2
juga berbeda-beda. Studi klinis sebelumnya melaporkan bahwa angka kejadian bronchitis
kronis pada para pekerja pabrik tekstil sekitar 4,5-26%. Pekerja yang bekerja pada bagian
pembersihan kapas untuk dipintal, pembersihan mesin-mesin tersebut mempunyai resiko
paling tinggi terjadinya bissinosis. Angka-angka prevalensi Bissinosis antara 20-50% telah
dilaporkan pada ruang-ruang penyisiran (cardroom) kapas dengan kadar debu respirasi
anatara 0,35 mg/m3 dan 0,60 mg/m3. Prevalensi kurang dari 10% ditemukan pada ruang
kerja dengan kadar debu respirasi kurang dari 0,1 mg/m3.
Ini dikaitkan bahwa progresitivitas penyakit meningkat jika durasi pajanan dan level
debu yang tinggi berlangsung lebih lama. Bisinosis sedang bersifat reversibel jika pajanan
dihentikan, sedangankan bisinosis dengan dengan pajanan yang menahun dapat bersifat
ireversibel. Orang dengan bisinosis berat jarang ditemukan dalam survey industri karena
mereka sulit untuk bekerja. Bisinosis terlihat lebih berat jika diasumsikan sebagai bronkitis
kronik. Tingkatan akhir dari penyakit ini adalah obstuksi saluran napas ygn menetap dengan
hiperinflamasi. Perokok meningkatkan resiko dari bissinosi yang ireversibel
5. Peranan faktor individu
Pada langkah ini status kesehatan pasien biasanya sangat berpengaruh seperti misalnya
riwayat alergi, riwayat penyakit dalam keluarga, status kesehatan mental, dan kebersihan
perorangan tersebut.
6. Faktor lain di luar pekerjaan
Adanya kebiasaan yang dapat memperburuk penyakit tersebut seperti hobi pasien,
kebiasaan pasien ; misalnya merokok dan pajanan yang terjadi di luar lingkungan kerja
(pajanan di rumah atau pada pekerjaan lainnya selain di lingkungan kerja).
Pada kasus bissinosis, paparan asap rokok diketahui mempunyai efek sinergis terhadap
timbulnya bissinosis apabila terjadi bersama pada para pekerja yang sedang mendapat
paparan debu kapas.
7. Diagnosis Okupasi
Bissinosis akibat kerja.
Oleh karena penyakit ini manifes saat pekerja berada di tempat kerjanya dan terpapar oleh
debu kapas tadi, maka bissinosis juga termasuk penyakit akibat kerja.
Pengendalian administratif
Pengendalian administratif mungkin bisa sebagai pilihan yang berguna atau tindakan
tambahan untuk mengurangi pajanan pegawai dalam bahaya pekerjaannya. Tindakan ini
dapat berbentuk perluasan dan rotasi pekerjaan, pembatasan jam kerja pada operasi
berbahaya, atau malah member tugas ulang pada pekerjaan sementara. Pelatihan pekerja
untuk mengenal bahaya pekerjaan, cara bekerja secara aman, dan hal yang harus dilakukan
dalam keadaan darurat atau bila penyakit akibat kerja timbul, adalah satu aspek lain
Pengendalian debu
Pengendalian debu di lingkungan kerja dapat dilakukan terhadap 3 hal yaitu
pencegahan terhadap sumbernya, media pengantar (transmisi) dan terhadap manusia
yang terkena dampak.
Pencegahan Terhadap Sumbernya
Pengontrolan debu diruang kerja terhadap sumbernya antara lain:
Isolasi sumber agar tidak mengeluarkan debu diruang kerja dengan Local
bentuk debu, asap, atau uap disedot di tempat mana dihasilkan. Hal ini dapat
dicapai dengan menggunakan tudung sedot yang dapat dipindah-pindahkan
yang ditempatkan di atas titik pembangkitan (misalnya : asap pengelasan, dan
sebagainya) atau dengan melakukan proses tersebut di dalam bilik tertutup
(misalnya bilik penyemprotan) dimana udara yang dari bilik ini disedot.
Pemeriksaan harus dilakukan pada kedua cara tersebut untuk memastikan
3. Pemeriksaan Medis
- Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja
Alasan untuk melakukan pemeriksaan ini adalah sebagai berikut:
Menilai kebugaran untuk melakukan pekerjaan yang sudah ditetapkan,
misalnya: mengangkat barang yang berat atau mengemudikan kendaraan
umum (wajib berdasarkan hokum), juru masak (kemungkinan wajib juga
berdasarkan hokum), pengemudi (wajib)
Menilai kemampuan atau fitness untuk mengerjakan pekerjaan apa saja
Mengenal penyakit dalam keadaan dini yang masih dapat mengerjakan
pekerjaan tertentu atau pekerjaan yang disesuaikan agar tercapat tujuan
Data dasar informasi kemampuan pekerja
menentukan Kriteria yang bsah untuk menerima atau menolak pelamar berdasarkan
pemeriksaan medis. Sebagai aturan umum, harus ada peluang untuk mengubah
pekerjaan sehingga sesuai dnegan kondisi pelamar. Jika pelamar ini sudah dipilih
olehmanajemen untuk pos tersebut, tanpa melihat hasil pemeriksaan kesehatan. Namun
demikian silang pendapat mengenai masalah ini masih tetap ada, terutama bila
menyangkut
superanuitas.
Sebagai
contoh,
beberapa
pengusaha
tidak
mau
berkala
dengan
atau
tanpa
dukungan
pemeriksaan
foto
toraks,
dll
Gangguan penglihatan, seperti kelainan refraksi
Glaucoma sudut terbuka primer
Diabetes mellitus
Hipotiroidisme
Hipertensi dll
Upaya mengubah pola hidup perorangan, seperti pengendalian alkohol dan
pemakaian rokok dapat dilakukan dan efektif, namun kurang mendapatkan tanggapan
dari mereka yang diberi penyuluhan.
Pemeriksaan kesehatan berkala merupakan bagian yang sangat penting dalam
praktik kesehatan kerja, apabila dikerjakan dengan alasan spesifik dengan tujuan
spesifik dan dengan tindak lanjut yang spesifik, serta dilakukan oelh dokter berdasarkan
hasil pemeriksaan yang diperolehnya. Pemeriksaan itu dapat berupa:
dilakukan pada waktu-waktu tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter.
Dimana tujuan pemeriksaan kesehatan berkala ini dilakukan untuk mempertahankan
derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam pekerjaannya, menilai
kemungkinan adanya pengaruh pekerjaan terhadap kesehatan. Pemeriksaan ini
dilakukan minimal setahun sekali, bila ada penyakit akibat kerja wajib lapor ke Dirjen
Binalindung Tenaga Kerja melalui Kanwil Ditjen Binalindung Tenaga Kerja.
Pemeriksaan kesehatan berkala yang dilakukan yaitu :
Aspek adanya pengaruh pekerjaan atau lingkungan kerja kepada kesehatan tenaga
kerja
Kecelakaan kerja yang memerlukan perawatan lebih dari dua minggu
Usia lebih dari 40 tahun
Kembali bekerja sesudah sakit yang lama dsb
Dalam hal terdapat dugaan kuat adanya pengaruh pekerjaan terhadap kesehatan,
pemeriksaan khusus perlu diadakan tidak saja terdapat keadaan kesehatan melainnya
juga kepada factor-faktor dalam pekerjaan atau lingkungan kerja.
4. Edukasi
Suatu penjelasan agar pekerja mengetahui dan mentaati peraturan dan undangundang yang berlaku serta tahu adanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja, sehingga
dapat bekerja lebih berhati-hati.
pengunaan masker pada pekerja yang beresiko terpapar debu. Kita juga menerangkan
cara penggunaan APD dan menjelaskan pentingnya penggunaan alat-alat tersebut.
Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang berbahaya dapat
menurunkan risiko terkenanya bahaya kesehatan di lingkungan kerja.
Kebersihan perorangan dan pakaiannya, merupakan hal yang penting, terutama
untuk para pekerja yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan bahan kimia serta
partikel lain. Higiene diri
substansi kimia yang menempel di pakaian atau tangan dan tertelan ketika makan,
minum, atau merokok. Oleh karena itu perlu ada larangan makan, minum, dan merokok
di tempat kerja. Selain itu, para pekerja harus menukar seluruh pakaian yang dikenakan
dan mencuci bersih tangan mereka sebelummakan, minum, merokok.
Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
Bisinosis ringan atau dini kemungkinan masih reversible sedangkan penyakit yang berat dan
kronis tidak. Pasien dengan gejala khas dan menunjukkan penurunan FEV1 10% atau lebih
harus dipindahkan ke daerah yang tidak terpajan. Pasien dengan penyumbatan jalan napas
sedang atau berat, misalnya FEV1 lebih rendah dari 60% dari nilai yang diperkirakan, juga
harus lebih baik tidak terpajan lebih lanjut
2. Medikamentosa
Diberikan bronkodilator biasanya untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Pada kasus
yang yang lebih berat dapat diberikan terapi kortikosteroid.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan gejala gejala yang timbul pada pasien dalam skenario, pasien tersebut
menderita bisinosis. Penangan yang tepat dapat menyembuhkan dan menghindari resiko
komplikasi pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta: EGC;2009.h.198-202.
2. J.M Harrington. Buku saku kesehatan kerja. Edisi ke-3. Jakarta:EGC;2003.h.87-93.
3. Rahmatullah P. Buku ajar IPD jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing;2009.h.228791.
4. J.Jeyaratnam, David K. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta:EGC;2009.h.351-68.
5. John R. Ikhtisar Kesehatan dan Keselamatan Kerja.Edisi ke-3. Jakarta:penerbit
Erlangga;2006.h.142-3,178-180.