HTA 2004 TE PD Anak&Dws
HTA 2004 TE PD Anak&Dws
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang1
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling
sering dilakukan dalam sejarah operasi. Kontroversi
mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila
dibandingkan dengan prosedur operasi manapun.
Konsensus
umum
yang
beredar
sekarang
menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan
dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada
anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya
jumlah ini karena keyakinan para dokter dan
orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan
bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis.
Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya
dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk
kesulitan makan, kegagalan penambahan berat
badan,
overbite,
tounge
thrust,
halitosis,
mendengkur, gangguan bicara dan enuresis.
Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah
mengalami penurunan bermakna, namun masih
menjadi operasi yang paling sering dilakukan.
Pengeluaran pelayanan medik untuk prosedur ini
diperkirakan adalah setengah triliun dolar pertahun.
Pada pertengahan abad yang lalu, mulai
terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya
kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi
menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas. Selama
ini telah dikembangkan berbagai studi untuk
menyusun
indikasi
formal
yang
ternyata
menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait.
Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan untuk
memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari
sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan
pendekatan personal dan tidak berdasarkan
peraturan yang kaku. American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah
mengeluarkan
rekomendasi
resmi
mengenai
tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan
para ahli.
Saat ini, selain hasil analisa klinis, isu di bidang
ekonomi mulai muncul dalam pertimbangan
pemilihan suatu tindakan, karena mulai munculnya
aturan yang ketat dalam pembayaran pelayanan
kesehatan oleh pembayar pihak ketiga. Pembayar
pihak ketiga mensyaratkan adanya indikasi yang
jelas dan terdokumentasi sebelum suatu prosedur
dilakukan. Selain itu, beberapa pembayar pihak
ketiga juga mensyaratkan adanya second opinion.
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
A. Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan
melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane
kunci
yang
digunakan
adalah
tonsillectomy,
adenoidectomy,
tonsilloadenoidectomy, tonsil, tonsillitis, technique,
anesthesia.
B. Hierarchy
Rekomendasi
of
Evidence
dan
Derajat
Hierarchy of evidence:
Ia.
Meta-analysis of randomised
controlled trials.
Ib.
Minimal satu randomised controlled
trials.
IIa.
Minimal penelitian non-randomised
controlled trials.
IIb.
Cohort dan Case control studies
IIIa.
Cross-sectional studies
IIIb.
Case series dan case report
IV.
Derajat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II
b.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb
dan IV.
C. Pengumpulan Data Lokal
Data lokal diperoleh dari jumlah operasi tonsilektomi
dan tonsiloadenoidektomi di RSUPNCM selama 5
tahun terakhir dan Rumah Sakit Fatmawati selama 3
tahun terakhir.
D. Ruang Lingkup
Kajian tonsilektomi pada anak dan dewasa ini
dibatasi pada indikasi, teknik operasi serta teknik
anestesi terpilih untuk tonsilektomi.
BAB III
TONSILEKTOMI
A. Definisi
Tonsilektomi
didefinisikan
sebagai
operasi
pengangkatan
seluruh
tonsil
palatina.2,3
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil
palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.4
1. Embriologi
B. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang
praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi
dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan
pada operasi mayor.6,7 Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi
operasi pendek dan teknik tidak sulit.8
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah
dilakukan
1
sampai
2
juta
tonsilektomi,
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap
tahunnya di Amerika Serikat.9 Angka ini
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu
dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000
anak-anak di bawah 15 tahun menjalani
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi.
Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)
menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga
ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang
dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka
tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada
tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000
pada tahun 1996 (3.200 operasi).7
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah
operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi
belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003)
menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah
operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat
pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan
puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). 10
Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam
3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan
kecenderungan
kenaikan
jumlah
operasi
tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.11
Fosa Tonsil
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu
membran jaringan ikat, yang disebut kapsul.
Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya
kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa
kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5
bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub
bawah tonsil terdapat plika triangularis yang
merupakan suatu struktur normal yang telah ada
sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil
dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal
lidah.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A.
karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A.
fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A.
faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian
anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal
asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena
di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal.
Tonsil
merupakan
jaringan
limfoid
yang
mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan
limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit
B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim
imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen
presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit
yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi
utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan
terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang
terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari
sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah
yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masingmasing anak. Pada umumnya adenoid akan
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Status gizi: malnutrisi
Penilaian jantung dan paru: peningkatan
tekanan darah, murmur pada jantung, tandatanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru
obstruktif menahun.
Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter
spesialis THT untuk pasien dengan penyulit
berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital
di daerah orofaring dan kelainan fungsional.
Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat
menyulitkan proses operasi. Selain itu penting
untuk mendokumentasikan semua temuan
pemeriksaan fisik dalam rekam medik.
d. Pemeriksaan Penunjang17
Riwayat kesehatan.
Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi,
kelainan maksilofasial pada anak dan pada
orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes
melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan
usia kelahiran), imunisasi, infeksi terakhir
terutama infeksi saluran napas khususnya
pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru
dan jantung, kelainan anatomi, obat yang
sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.
Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi
Darah tepi
YA
Kimia darah
TIDAK
Hemostatis
TIDAK
Rekomendasi
Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin
(Hb, Ht, leukosit, hitung jenis,
trombosit) dilakukan pada anak usia<5
tahun, sedangkan untuk anak usia 5
tahun pemeriksaan darah tepi dilakukan
atas indikasi, yaitu pasien yang
diperkirakan menderita anemia
defisiensi, pasien dengan penyakit
jantung, ginjal, saluran napas atau
infeksi .
Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila
terdapat risiko kelainan ginjal, hati,
endokrin, terapi perioperatif, dan
pemakaian obat alternatif.
Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada
pasien dengan riwayat atau kondisi
klinis mengarah pada kelainan
koagulasi, akan menjalani operasi yang
dapat menimbulkan gangguan
koagulasi (seperti cardiopulmonary bypass), ketika dibutuhkan hemostasis
yang adekuat (seperti tonsilektomi),
dan kemungkinan perdarahan
pascabedah (seperti operasi saraf).
TIDAK
TIDAK
TIDAK
Rekomendasi
Pemeriksaan darah tepi lengkap
dilakukan pada pasien dengan
penyakit hati, riwayat anemia,
perdarahan dan kelainan darah
lainnya, serta tergantung tipe dan
derajat invasif prosedur operasi.
PERSIAPAN
Urinalisis
TIDAK
Foto toraks
TIDAK
EKG
Rekomendasi
Jawaban
TIDAK
TIDAK
Fungsi Paru
TIDAK
Puasa
TIDAK
Lihat tabel 2
YA
Rekomendasi
Pemeriksaan urin rutin dilakukan
pada operasi yang melibatkan
manipulasi saluran kemih dan
pasien dengan gejala infeksi
saluran kemih.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan
pada pasien usia di atas 60 tahun,
pasien dengan tanda dan gejala
penyakit kardiopulmonal, infeksi
saluran napas akut, riwayat
merokok.
Pemeriksaan EKG dilakukan pada
pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, nyeri dada, gagal
jantung kongestif, riwayat
merokok, penyakit vaskular
perifer, dan obesitas, yang tidak
memiliki hasil EKG dalam 1 tahun
terakhir tanpa memperhatikan
usia. Selain itu EKG juga dilakukan
pada pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau tanda
dan gejala penyakit jantung tidak
stabil (unstable), dan semua
pasien berusia usia >40 tahun.
Pemeriksaan spirometri dilakukan
pada pasien dengan riwayat
merokok atau dispnea yang akan
menjalani operasi pintasan
(bypass) koroner atau abdomen
bagian atas; pasien dengan
dispnea tanpa sebab atau gejala
paru yang akan menjalani operasi
leher dan kepala, ortopedi, atau
abdomen bawah; semua pasien
yang akan menjalani reseksi paru
dan semua pasien usia lanjut.
Lihat tabel 2
YA
e. Informed consent8
f.
Persiapan praoperasi17
<6 bulan
6 36 bulan
>36 bulan
jam
jam
jam
jam
2. Penilaian Praanestesia
Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation)
merupakan proses evaluasi/penilaian klinis yang
dilakukan
sebelum
melaksanakan
pelayanan
anestesi baik untuk prosedur bedah maupun
nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan
tanggung jawab dokter ahli anestesia dan terdiri
dari:18
a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat
bermanfaat dalam mengetahui riwayat kesehatan
dan penyakit yang pernah atau sedang diderita
pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan
atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi.
Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang
baik
dan
persiapan
untuk
mengantisipasi
kemungkinan komplikasi yang mungkin akan
dihadapi dokter anestesi yang bersangkutan.
Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisikondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis
disamping data dari rekam medik.
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas,
test Malampatti untuk feasibility intubasi, evaluasi
paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda
vital pasien.
Penilaian
praanestesia
pelaksanaan operasi.
dilakukan
sebelum
b. Tes praoperasi
Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes
rutin dan tes yang dilakukan atas dasar indikasi
tertentu.
F. Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan
medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh
Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari
tangan.9,19 Selama bertahun-tahun, berbagai teknik
dan
instrumen
untuk
tonsilektomi
telah
dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi
yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih
menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki
kelebihan
dan
kekurangan.
Tidak
seperti
kebanyakan operasi dimana luka sembuh per
primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi
terjadi per sekundam.19
3. Skalpel harmonik25
4. Coblation26
National
Institute
for
clinical
excellence
5. Multiple Allergy
H. Teknik Anestesi29
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi
ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana
serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi
dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi
masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik
anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah
sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi
umum biasanya dilakukan untuk tonsilektomi pada
anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif
dan gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi
lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak
menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam
keadaan yang tidak memungkinkan untuk menjalani
anestesi
umum.
Biasanya
ditujukan
untuk
tonsilektomi
pada
orang
dewasa.
Dimana
sebelumnya
pasien
telah
diseleksi
kondisi
kesehatannya
terlebih
dahulu
dan
mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter
bedah yang bersangkutan sehingga pasien dinilai
dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.
Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi
dan adenoidektomi:
1. Melakukan
induksi
dengan
lancar
dan
atraumatik
2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk
pelaksanaan operasi
3. Menyediakan akses intravena yang digunakan
untuk masuknya cairan atau obat-obatan yang
dibutuhkan
4. Menyediakan rapid emergence.
Premedikasi30
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan
evaluasi
preoperasi.
Saat
pemberian
obat
premedikasi dilakukan setelah pasien berada di
bawah pengawasan dokter/perawat terlatih. Anakanak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi
saluran napas intermitten atau dengan tonsil yang
sangat besar harus lebih diperhatikan.
Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan
tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter tidak
boleh
digunakan
lagi
jika
pembedahan
menggunakan kauter/diatermi. Teknik anestesi yang
dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal,
karena
dengan
ini
saturasi
oksigen
bisa
ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat
anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli
Perdarahan pascatonsilektomi32
- Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung
pasien bisa penuh berisi darah yang tertelan.
Darah dalam lambung dapat memicu muntah
secara spontan maupun pada waktu induksi
anestesi
untuk
re-operasi.
Pengosongan
lambung
dengan
oro/nasogastric
tube
diperlukan sebelum anestesi.
Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal
Mask Airway (LMA) sebagai pengganti pipa
endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah
berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi
saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi
cara ini memerlukan perhatian khusus seperti: 30
- Selama anestesi anak harus bernapas spontan.
Pemberian ventilasi tekanan positif akan
meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung
terutama bila tahanan jalan napas besar dan
compliance paru rendah.
- Pemasangan LMA akan sulit pada pasien
dengan pembesaran tonsil.
- LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar
kembali.
- Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi
harus ditimbang juga dengan risiko yang
mungkin terjadi dan pengambilan keputusan
harus berdasarkan pertimbangan per individu.
2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag31
Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan
intubasi endotrakeal adalah
karena pipa ETT
menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi
Crowe-Davis mouth gag ETT dapat diletakkan pada
celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah.
Sehingga lapang operasi menjadi bebas.
Pengamatan selama operasi
Selama operasi yang harus dipantau:
- Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik
tidak mengganggu operasi
- Pernapasan dan gerak dada cukup
- (kalau ada) Saturasi oksigen di atas 95%
- Denyut nadi yang teratur
- Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus
yang masuk
Alat monitoring tambahan yang dianjurkan:
- Pulse oxymetri
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk
tatalaksana obstructive sleep apnea, ketersediaan
monitoring
postoperatif
dan
pulseoksimetri
merupakan keharusan. Begitu juga dengan pasien
dengan sindroma Down yang bisa mengalami
depresi susunan saraf pusat untuk waktu yang lama
setelah anestesi
berlangsung.
umum
selama
tonsilektomi
Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20%
nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 5020% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang
dari nilai preoperasi
Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk
mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2
pulse
Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi
pernapasan
0= apneu
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI
A. Indikasi
Tabel 3. Nilai rata-rata subskala CHQ-PF28 pada anak-anak dengan penyakit tonsil dan adenoid serta anak sehat40
Subskala
Anak-anak dengan penyakit tonsil
Anak-anak sehat
dan adenoid (n= 55)*
(n= 391)
Fungsi fisik
75,2 (67,3-83,1)
95,0
Keterbatasan peranan/sosial
perilaku/emosional
83,0 ( 74,5-91,5)
92,5
fisik
81,7 (72,6-90,8)
93,7
Bodily pain/discomfort
63,5 (54,8-72,3)
81,3
Perilaku
59,1 (53,2-64,9)
70,8
Kesehatan mental
76,1 (70,9-81,4)
79,7
Kepercayaan diri
77,0 (69,7-84,4)
80,1
Persepsi kesehatan umum
58,5 (52,6-64,5)
74,0
Pengaruh terhadap orangtua (emosional)
53,2 (45,5-60,9)
81,3
Aktivitas famili
66,3 (56,3-76,4)
88,4
Kohesi famili
62,5 (54,3-70,7)
91,1
78,4 (73,2-83,7)
72,4
Mean net
change
Nilai P
-7,8
-6,3
-5,4
<0,001
<0,001
<0,001
B. Teknik Operasi
Berbagai kepustakaan yang didapatkan mengenai
perbandingan berbagai teknik terbaru tonsilektomi
tidak ada yang membandingkan secara langsung
keuntungan dan kerugian dari masing-masing
teknik. Kebanyakan dari kepustakaan tersebut
membandingkan 2 teknik terbaru. Penilaian
umumnya berdasarkan durasi operasi, perdarahan
intra dan pascaoperasi serta nyeri pascaoperasi.
Cochrane review44 (2004) yang membandingkan
morbiditas dihubungkan teknik tonsilektomi diseksi
dengan diatermi menyimpulkan bahwa data yang
ada tidak cukup untuk menunjukkan keunggulan
salah satu dari metode tonsilektomi. Terdapat bukti
bahwa nyeri lebih banyak terjadi dengan teknik
diseksi monopolar dibandingkan cold dissection. RCT
yang lebih besar dengan desain yang baik
diperlukan untuk menjelaskan metode yang
optimum untuk tonsilektomi. dari review ini
ditemukan sejumlah 22 studi tetapi 20 studi tidak
diikuitkan karena tidak memenuhi kriteria inklusi
untuk metode randomisasi, kontrol dan kriteria
outcome. Sejumlah 2 studi yang memenuhi kriteria,
salah satu membandingkan monopolar dissection
diathermy dengan conventional cold dissection pada
anak dan yang lainnya membandingkan microscopic
bipolar dissection dengan cold dissection pada anak
dan dewasa. Pada kedua studi tersebut, perdarahan
intraoperasi pada kelompk diatermi lebih sedikit
dibanading kelompok diseksi. Tidak ada perdarahan
primer dilaporkan pada kedua studi. Kejadian
perdarahan sekunder jarang pada kedua studi dan
tidak ada perbedaan antara kelompok diseksi
dengan diatermi. Kebutuhan akan analgesik pada 24
jam pertama tidak berbeda diantara kedua
kelompok. Tetapi dosis total yang dibutuhkan dalam
12 hari pertama bermakna lebih tinggi (p=0,02)
pada kelompok diatermi. Tidak ada perbedaan yang
bermakna secara statistik dari jumlah hari sebelum
kembali ke aktivitas normal. Tidak ada perbedaan
waktu operasi rata-rata diantara kedua keklompok
ditemukan pada salah satu studi.
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan
dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT
yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan
teknik Sluder. Holmer dkk.22 (2000) melaporkan
studi prospektif skala kecil (N=86 pasien) yang
membandingkan nyeri pascaoperasi pada teknik
diseksi dan guillotine. Dari studi didapatkan bahwa
teknik Guillotine lebih sedikit menimbulkan nyeri
pascaoperasi dibandingkan teknik diseksi (p<0.001).
Risiko relatif untuk mengalami nyeri pascaoperasi
yang berat pada teknik Guillotine adalah 0.36 (95%
CI 0.18-0.72). Penemuan ini terutama bermakna
The British Association of Otorhinolaryngologists Head and Neck Surgeons (BAO-HNS) bersama
dengan the Clinical Effectiveness Unit of The Royal
College of Surgeons of England (CEU-RCS)
melakukan audit tonsilektomi terhadap 13.554 kasus
tonsilektomi pada tahun 2003-2004. Dilaporkan
sebanyak 0,5% pasien yang menjalani tonsilektomi
mengalami perdarahan primer dan 2,9% lainnya
mengalami perdarahan sekunder. Dua pertiga di
antaranya dikategorikan mengalami perdarahan
berat dan membutuhkan operasi ulang dan atau
transfusi darah. Komplikasi lain yang menyebabkan
penundaan waktu kepulangan pasien seperti nyeri,
demam, atau muntah dialami oleh 0,9% pasien. 52
BAB V
BIAYA
Suatu jenis terapi untuk dapat diterima baik oleh
pemberi layanan kesehatan, perencana pelayanan
kesehatan maupun oleh pihak ke tiga, harus
terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam
penanganan suatu penyakit.54
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling
sering dilakukan dalam sejarah operasi. Saat ini
jumlah operasi ini telah menurun bermakna, namun
masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan.
Diperkirakan pengeluaran pelayanan medik untuk
operasi ini mencapai setengah triliun dolar per
tahun.1
Dari studi kohort yang dilakukan oleh
Bhattacharya dan Kepnes (2002) dilaporkan bahwa
pada populasi dewasa, tonsilektomi terbukti efektif
secara klinis, dimana setelah dilakukan tonsilektomi
terdapat perbaikan kualitas hidup yang bermakna
(skor total GBI +27,54 [95%CI 4,63, p<0,001]).
Setelah 12 bulan tonsilektomi juga ditemukan
penurunan rata-rata pertahun yang bermakna
dalam jumlah minggu penggunaan antibiotik
(menurun
5,9
minggu
[p<0,001]),
jumlah
kehilangan hari kerja karena tonsilitis (menurun 8,7
hari [p<0,001]) dan jumlah kunjungan dokter untuk
tonsilitis (menurun 5,3 kunjungan [p<0,001]). 54
Selain terbukti efektif secara klinis, tonsilektomi
pada pasien dewasa juga memiliki pengaruh
ekonomi. Setelah 12 bulan tonsilektomi ditemukan
adanya
penghematan
biaya
sebesar
$1,275,82/tahun dibanding sebelum dilakukan
tonsilektomi.54
12 bulan sebelum
tonsilektomi
$242,89/pasien
12 bulan sesudah
tonsilektomi
$14,17/pasien
Penghematan biaya
$1,128,88/pasien
$81,78/pasien
$1,047.10/tahun
$228,72/tahun
$1,275,82/tahun
BAB VI
REKOMENDASI
A. BATASAN
1. Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan
seluruh tonsil palatina.
2. Tonsiloadenoidektomi
adalah
operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina dan tonsil
faringeal (adenoid).
3. Tonsiloadenoidektomi dilakukan oleh dokter
spesialis THT berdasarkan kompetensi.
B. INDIKASI
1. Indikasi absolut
a. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
- Obstruksi saluran napas misal pada
OSAS
(Obstructive
Sleep
Apnea
Syndrome)
(Derajat rekomendasi C)
- Disfagia
berat
yang
disebabkan
obstruksi
(Derajat Rekomendasi C)
- Gangguan tidur
(Derajat Rekomendasi C)
- Gangguan pertumbuhan dentofacial
(Derajat Rekomendasi C)
- Gangguan bicara (hiponasal)
(Derajat Rekomendasi C)
- Komplikasi kardiopulmoner
(Derajat Rekomendasi C)
b. Riwayat abses peritonsil.
(Derajat Rekomendasi C)
c. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk
menentukan patologi anatomi terutama
untuk hipertrofi tonsil unilateral.
(Derajat Rekomendasi C)
d. Tonsilitis kronik atau berulang sebagai fokal
infeksi untuk penyakit-penyakit lain.
(Derajat Rekomendasi C)
2. Indikasi relatif
a. Terjadi 7 episode atau lebih infeksi tonsil
pada tahun sebelumnya, atau 5 episode
atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 2
tahun sebelumnya atau 3 episode atau lebih
infeksi tonsil tiap tahun pada 3 tahun
sebelumnya
dengan
terapi
antibiotik
adekuat.
(Derajat rekomendasi B)
b. Kejang demam berulang yang disertai
tonsilitis.
(Derajat Rekomendasi C)
c.
SUMBER
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
(Australia)3
INDIKASI
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan.
Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus memenuhi semua kriteria di bawah:
Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
5 atau lebih episode sore throat per tahun
Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun.
Keparahan episode sore throat sampai mengganggu pasien dalam menjalani fungsi kehidupan normal
Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler, septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40 tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.
Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau ulserasi)
Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang
dengan pengobatan biasa.
Indikasi absolut
Kanker tonsil
Penyumbatan saluran nafas berat pada rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini, atau 5 episode pertahun pada 2
tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Otitis media akut atau kronik
Sinusitis akut atau kronik
Ketulian
Infeksi saluran nafas atas atau bawah
Penyakit sistemik
Faringitis rekuren
Faringitis kronik
Obstruksi jalan nafas
Dugaan neoplasma
Berdasarkan hasil literatur review:
Tonsilitis
Hipertrofi tonsil
Experience
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis streptokokus rekuren
Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis rekuren
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
PANEL AHLI
dr.Bambang Hermani, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Darnila Fachrudin, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Syahrial M.H., SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Bambang Udjidjoko Riyanto, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta
dr. Susilo, SpAnKIC
Departemen Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. H.N. Nazar, FinaCS
Ikatan Dokter Bedah Indonesia
TIM TEKNIS
Ketua
: Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)
Anggota : Prof.Dr.dr. H.R.Eddy Rahardjo, SpAn, KIC
Dr.dr. Akmal Taher, SpB, SpU
dr. Ratna Mardiati, SpKJ
dr. Wuwuh Utami N., MKes
dr. Monalisa Nasrul
dr. Mutiara Arcan
dr. Nastiti Rahajeng