Referat Steven Johnson
Referat Steven Johnson
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan yang membungkus
permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola mata. Konjungtiva terbagi menjadi
3 bagian yaitu (1) konjungtiva palpebra, menutupi permukaan belakang palpebra (2)
konjungtiva bulbi, menutupi permukaan depan bola mata hingga berbatasan dengan kornea di
limbus (3) konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan
konjungtiva bulbi.(Wijana,1993)
Konjungtiva palpebra
Hubungannya dengan tarsus sangat erat. Gambaran dari gl. Meibom yang ada di
dalamnya tampak membayang sebagai garis sejajar berwarna putih. Permukaan licin, di celah
konjungtiva terdapat kelenjar Henle.
Histologis : terdiri dari sel epitel silindris. Di bawahnya, stroma dengan bentuk
adenoid dengan banyak pembuluh getah bening.
Konjungtiva forniks
Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan
yang di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan dan juga mengandung
banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila
terdapat peradangan mata. Dengan berkelok-keloknya konjungtiva ini, pergerakan mata
menjadi lebih mudah. Di bawah konjungtiva forniks superior terdapat gl. lakrimal dari
Krause. Melalui konjungtiva forniks superior juga terdapat muara saluran air mata.
Konjungtiva bulbi
Tipis dan tembus pandang, meliputi bagian anterior bulbus okuli. Dibawah
konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra,
tetapi tak mempunyai kelenjar. Dari limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai
epitel kornea. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang
mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar yang
disebut karunkula.
Perdarahan :
Berasal dari A.konjungtiva posterior dan A.siliaris anterior. Yang berasal dari
A.siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m.rektus menembus sklera dekat limbus untuk
mancapai bagian dalam mata. Juga memberi cabang-cabang yang mengelilingi kornea dan
memberi makanan kepada kornea. Antara kedua arteri ini terdapat anastomose.
Persarafan :
Berasal dari N.V (I), yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama
dibagian palpebra. (Wijana,1993)
(www.google.com)
II.2.Definisi SJS
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih
ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de FriessingerRendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens
dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat
menentukan penyebabnya (Adithan,2006).
II.3.Etiologi SJS
Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat,
terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,
termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling
umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006;
Siregar, 2004).
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,
kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).
II.4.Faktor predisposisi SJS
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus per
satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras
Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih
rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).
II.5.Patofisiologi SJS
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi
kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :
1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia
dan glukosuriat
3. Kegagalan termoregulasi
4. Kegagalan fungsi imun
5. Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula
di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia
sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak
spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4
minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada
selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus
yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta
hemoragik (Ilyas, 2004).
II.6.Manifestasi klinis SJS
SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian
pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali
kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan
meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah
dilepas bila digosok.
Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus.
Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang
terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam.
Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).
Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi
mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.
Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama
berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah
kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk
mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang
mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :
Ruam
Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.
Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam
kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera
mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya
7
ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palbebra dan bulbi serta papil besar pada
konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan komplikasi pada konjungtiva. Pada keadaan akut
dapat terjadi kemosis berat. Terapi pada konjungtivitis akibat reaksi alergi biasanya akan
sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan untuk menghindarkan penyebab dan menghilangkan
gejala. Terapi yang dapat diberikan misalnya vasokonstriktor local pada keadaan akut
(epinefrin 1:1.000), astringen, steroid topical dosis rendah dan kompres dingin untuk
menghilangkan edemanya. Untuk pencegahan diberikan Natrium kromoglikat 2% topical 4
kali sehari untuk mencegah degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat diberikan
antihistamin dan steroid sistemik. Penggunaan steroid sistemik berkepanjangan hrus
dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik.
Antihistamin sistemik hanya sedikit bemanfaat. Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan
bersifat sistomatik dengan pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan sekret,
mediatrik, steroid topical dan pencegahan simblefaron (Ilyas, 2004).
Konjungtivitis
(www.google.com)
Simblefaron
Simblefaron adalah perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi,
dan konjungtiva forniks. Jenis simblefaron :
Simblefaron
(www.google.com)
II.8.Diagnosa SJS
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,
mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
10
berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung
pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik,
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik
biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya
normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat
meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks
imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa
membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006).
II.9.Diagnosis Banding SJS
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan
TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena
(Siregar, 2004).
3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan
yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila
diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).
11
Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
12
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
II.12.Komplikasi SJS
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
o Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
o Gastroenterologi - Esophageal strictures
o Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
o Pulmonari pneumonia
o Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder
o Infeksi sitemik, sepsis
o Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).
Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai
hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat
adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis
membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih
lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion,
entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan
yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering
menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang
13
terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke
komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada
komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya
keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah
baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya
tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasikomplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada
kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan
terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus
dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002)
II.13.Penatalaksanaan SJS
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang
dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang
dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat
luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS
biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan
spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan
dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri,
misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar,
2004).
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN.
Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama
14
memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini
menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada
Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.
Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi
yang diberikan biasanya adalah :
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 312 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
15
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3,
4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam
proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :
o Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis
setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan
pada bola mata.
o Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya
perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).
BAB III
16
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa
konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2
yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter
disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa.
Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi
cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan
keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil
biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik
masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak
bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada
juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
DAFTAR PUSTAKA
17
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993. hal 40-41.
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3 rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136.
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC.
Jakarta. 2004. hal 141-142.
Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in
pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of StevensJohnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006
Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome
at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access
on : June 22, 2008. Available at : www.indianjournalofophthalmology.com
18