Anda di halaman 1dari 17

DEMAM DAN DEMAM BERDARAH

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Swamedikasi

Disusun oleh :

Amalia Maris
Gina Annoor

(1061511003)
(1061511038)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini, infeksi virus Dengue
tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori
A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang
mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD,
khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun
2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan
kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%
(2007). Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan
penyebaran kasus DBD, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi (DepKes RI, 2004)
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol
vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal
pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat
penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip
utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.
Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan

pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif


dan efisien (Chen et al, 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Demam dan Demam Berdarah
2.1.1 Demam
Demam merupakan respon fisiologis tubuh terhadap penyakit yang di
perantarai oleh sitokin dan ditandai dengan peningkatan suhu pusat tubuh
dan aktivitas kompleks imun.

Jenis termometer

Rentang;rerata suhu
normal (oC)

Demam

Aksila

Air raksa, elektronik

34,7 37,3; 36,4

37,4

Sublingual

Air raksa, elektronik

35,5 37,5; 36,6

37,6

Rektal

Air raksa, elektronik

36,6 37,9; 37

38

Telinga

Emisi infra merah

35,7 37,5; 36,6

37,6

Tempat
pengukuran

(oC)

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu
oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55 oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral.
Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal
mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran

tympani mencapai 37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah pada demam


yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1oC (106oF) (Kania,2007).
2.1.2 Demam Berdarah
Demam berdarah (DBD) atau dengue hemorrhagic fever adalah
penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk yang saat ini menjadi
perhatian utama masyarakat internasional. Demam berdarah disebarkan
kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti. Selain demam bedarah
dengue, Aedes aegypti juga merupakan pembawa virus demam kuning
(yellow fever) dan chikungunya (DepKes, 2004).
Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis
di seluruh dunia. Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terdapat
pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi
yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Sylvana dan Gabriella,
2000).
2.1.2.1 Vektor Penyakit
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika
dibandingkan

dengan

rata-rata

nyamuk

lain.

Nyamuk

ini

mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian


badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan mengisap
cairan tunlbuhan atan sari bunga untuk keperluan hidupnya.
Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih
menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk
betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit
biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00.
Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali
untuk memenuhi lambungnya dengan darah (Siregar,2004).
2.1.2.2 Cara Penularan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini mendapat virus Dengue
sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit Demam
Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat

virus dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus


dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah.
Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular,
maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk kedalam lambung
nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar
liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk
tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi
ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang
telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif)
sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk
menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air
liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak
membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari
2.2

nyamuk ke orang lain (Siregar,2004).


Etiologi dan Patogenesis Demam dan Demam Berdarah
2.2.2 Demam
Etiologi
Substansi yang menyebabkan demam disebut pirogen yang
berasal dari eksogen maupun endogen. Mayoritas pirogen eksogen
adalah mikroorganisme atau senyawa-senyawa toksik dari luar
tubuh sedangkan pirogen endogen adalah polipeptida yang
dihasilkan oleh jenis sel penjamu, terutama monosit makrofag,
pirogen memasuki sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat
termoregulasi di hipotalamus (Bakry, 2008).
demam :
1. Demam persisten (demam menetap)

Macam-macam

Keadaan demam dimana kenaikan suhunya menetap dengan variasi


yang minimal.
2. Demam intermiten
Kenaikan suhunya menetap dengan variasi yang luas, jika serangan
terjadi pada hari I dan II dinamakan tertier (pada penyakit malaria),
hari ke III dan selebihnya merupakan penyakit limfoma.
3. Demam remiten
Suhu tubuh menurun tiap hari tetapi tidak pernah mencapai titik
normal merupakan demam yang khas pada penyakit TBC, penyakit
yang disebabkan oleh virus, dan infeksi bakteri (Mardia, 2011).
Patofisiologi
Suhu tubuh secara normal dipertahankan pada rentang yang
sempit, walaupun terpapar suhu lingkungan yang bervariasi. Suhu
tubuh secara normal berfluktuasi sepanjang hari, 0,5C dibawah
normal pada pagi hari dan 0,5C diatas normal pada malam hari.
Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur keseimbangan
antara produksi panas dan kehilangan panas. Produksi panas
tergantung pada aktivitas metabolik dan aktivitas fisik. Kehilangan
panas terjadi melalui radiasi, evaporasi, konduksi dan konveksi.
Dalam keadaan normal termostat di hipotalamus selalu diatur pada
set point sekitar 37C, setelah informasi tentang suhu diolah di
hipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran
panas sesuai dengan perubahan set point.
Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan produksi
panas dan mengurangi pengeluaran panas. Bila hipotalamus
posterior menerima informasi suhu luar lebih rendah dari suhu
tubuh maka pembentukan panas ditambah dengan meningkatkan
metabolisme danaktivitas otot rangka dalam bentuk menggigil dan
pengeluaran panas dikurangi dengan vasokontriksi kulit dan
pengurangan produksi keringat sehingga suhu tubuh tetap

dipertahankan tetap. Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh


dengan cara mengeluarkan panas. Bila hipotalamus anterior
menerima informasi suhu luar lebih tinggi dari suhu tubuh maka
pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi kulit dan
menambah produksi keringat (Kania, 2007).
2.2.3

Demam Berdarah
Etiologi dan Patofisiologi
Sampai saat ini gigitan nyamuk merupakan satu-satunya cara
transmisi atau penyebaran virus dengue dari satu orang ke orang
lain. Pada penyakit yang juga ditularkan oleh artropoda seperti
malaria, kadang-kadang penularan terjadi melalui transfusi darah.
Pada infeksi dengue, secara teoritis cara itupun mungkin terjadi.
Akan tetapi hal ini belum pernah ditemukan, karena pada tahap
awal penyakit periode viremia , hanya berlangsung dalam waktu
yang singkat sekali (4-6 hari ), pada tahap awal penyakit. Apabila
pada masa ini pasien digigit nyamuk vektor demam dengue, maka
virus itu akan terhisap bersama darah. Virus tersebut memerlukan
waktu 8 sampai 10 hari untuk berkembang biak dan kemudian
terkumpul dalam kelenjar liur nyamuk, sejak saat ini nyamuk itu
bersifat infeksius seumur hidupnya. Jika nyamuk itu menggigit
orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus dengue,
inokulasi virus bersama air liur akan menyebabkan penyakit.
Transmisi virus dengue mungkin juga terjadi apabila seekor
nyamuk yang sedang menghisap darah pasien dengue terganggu,
dan nyamuk itu segera menggigit orang lain lagi. Dengan cara ini
virus yang terdapatdalam sungutnya akan masuk ke tubuhorang

2.3

kedua tanpa memerlukan masapengeraman di dalam nyamuk tadi.


Diagnosa Demam Berdarah
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
ini terpenuhi:

1) Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2) Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan
melena.
3) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4) Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan

jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.


Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:


Derajat 1
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2
Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,sianosis di sekitar mulut
kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4
Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur
(Chen et al, 2009).

Gambar 1 : Derajat Klinis DBD menurut WHO

2.4

Kriteria Diagnosa
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan criteria diagnosis menurut WHO
tahun 1997, terdiri dari criteria klinis san labotoris. Penggunaan kriteria ini
dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis).
Kriteria Klinis :
o Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari
o Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan : uji
tourniquet (+), petekia, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesia dan atau melena
o Pembesaran hati

o Syok, ditandai dengan nadi yang cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, lembab, dan
pasien tampak gelisah.
Kriteria Labotoris :
o Trombositopenia, (100.000/ atau kurang)
o Hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20%
atau lebih (DepKes RI, 2004).
2.5

Gejala Demam Berdarah


Gejala atau tanda utama DBD adalah demam tinggi secara mendadak
disertai muka kemerahan (flusfed face), perdarahan, hepatomegali. Gejala
lain yang tidak khas adalah anoreksia, mual muntah, nyeri kepala, nyeri
pada otot sendi. Gejala lain perasaan yang tidak enak pada daerah
epigastrium, nyeri di bawah lengkungan iga kanan, kadang-kadang nyeri

2.6

perut dapat dirasakan di seluruh perut (DepKes RI, 2004).


Tatalaksana Terapi
2.6.1 Demam
Istirahat yang cukup
Minum air yang banyak
Asupan makanan harus tetap dijaga meskipun tidak nafsu
makan harus tetap makan, untuk bayi selalu berikan ASI

atau susu formula.


Periksa suhu tubuh setiap 4 jam sekali
Kompres air hangat
Beri obat antipiretik seperti paracetamol
Dewasa : 1 tablet (500mg) 3-4 kali sehari
Anak : 1-5 thn 1-1 sendok teh sirup (120mg) 3-4

kali sehari
Anak : 6-12 thn -1 tablet (250-500mg)

Segera dibawa ke dokter apabila :

Seorang bayi menderita demam


Demam > 39C dan tidak bisa turun dengan parasetamol dan
kompres

Demam tidak berkurang setelah 2 hari


Demam disertai kaku leher
Disertai gejala lain seperti : ruam kulit, sakit tenggorokan
berat, batuk dengan dahak hijau, sakit telinga, sakit perut,

diare, sakit jika buang air kecil, pingsan.


Kejang berulang (Bakry, 2008).
Keadaan Khusus Akibat Demam
1. Hiperpireksia
Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41,1C.
Hiperpereksia sangat berbahaya pada tubuh karena dapat
menyebabkan berbagai perubahan metabolisme, fisiologi dan
akhirnya kerusakan susunan saraf pusat.3 Pada awalnya anak
tampak menjadi gelisah disertai nyeri kepala, pusing, kejang
serta akhirnya tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu
>43C dan kematian terjadi dalam beberapa jam bila suhu 43C
sampai 45C. Penatalaksanaan pasien hiperpireksia berupa :
a.
b.
c.
d.
e.

Monitoring tanda vital, asupan dan pengeluaran.


Pakaian anak di lepas
Berikan oksigen
Berikan anti konvulsan bila ada kejang
Berikan antipiretik. Asetaminofen dapat diberikan per
oral atau rektal. Tidak bolehmemberikan derivat

fenilbutazon seperti antalgin.


f. Berikan kompres es pada punggung anak
g. Bila timbul keadaan menggigil dapat

diberikan

chlorpromazine 0,5-1 mgr/kgBB (I.V).


h. Untuk menurunkan suhu organ dalam: berikan cairan
NaCl 0,9% dingin melalui nasogastric tube ke lambung.
Dapat juga per enema.
i. Bila timbul hiperpireksia maligna dapat diberikan
dantrolen (1 mgr/kgBB I.V.), maksimal 10 mgr/kgBB.
2. Kejang demam

Kejang demam merupakan keadaan yang umum ditemukan


pada anak khususnya usia 6 bulan - 5 tahun jika suhu tubuh
anak 38C
Kejang demam terbagi menjadi dua, yaitu
A. Kejang demam sederhana : berlangsung singkat (kurang
dari 15 menit) dan bisa pulih kembali
B. Kejang demam kompleks : berlangsung lebih dari 15
menit dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama
24 jam.

Gambar 2 : Tata Laksana Demam Disertai Kejang (Arief,2015)

2.6.2 Demam Berdarah


Keberhasilan

tata

laksana

DBD

terletak

pada

bagian

mendeteksi secara dini pada fase kritis yaitu saat suhu turun (the time
of devervescence). Fase kritis umumnya terjasi pada hari ketiga saat

sakit. Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simptomatis dan


supportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan. Kasus DBD perlu
dilakukan perawatan intensif.
Tata laksana DBD fase demam bersifat simptomatik dan
supportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
Bila cairan oral tidak bisa diberikan karena pasien muntah maka bisa
diberikan asupan cairan menggunakan infus (DepKes RI, 2004).
Asupan cairan yang menggunakan infuse bisa diberikan larutan
fisiologis NaCl, larutan isotonis ringer laktat, ringer asetat dan
glukosa 5% (Sylvana dan Gabriella, 2000).
Antipiretik terkadang diperlukan namun, pada kasus DBD
antipiretik tidak membantu dalam pengurangan lama demam. Rasa
haus dan dehidrasi timbul akibat pasien mengalami anoreksia, mual
muntah dan demam tinggi. Minuman yang disarankan pada pasien
DBD yaitu jus buah, teh manis, sirup, susu serta larutan oralit
(DepKes RI, 2004). Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi
nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan
pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum) (Chen et al,
2009).
DBD merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus, sehingga pemberian antibiotik dalam pengobatan DBD tidak
diperlukan kecuali jika terdapat infeksi sekunder yang disebabkan
oleh adanya bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Shock
Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi
dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna (DepKes RI,
2003).
Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi selanjutnya diberikan cairan 80-

100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum


ASI tetap harus diberikan disamping larutan oralit. Bila terjasi kejang
demam selama maka diberikan antipiretik dan antikonsulvan.
(DepKes. RI, 2004)
2.7 Pencegahan Demam Berdarah
Pengembangan vaksin untuk penyakit DBD masih sulit, karena
proteksi terhadap 1-2 virus dengue akan meningkatkan risiko penyakit DBD
menjadi lebih berat (WHO, 2008). Pencegahan dan penanggulangan penyakit
DBD dilakukan secara promotif dan preventif, dengan pemberantasan nyamuk
vektor (hewan perantara penularan). Pemberantasan vektor dapat dilakukan
pada stadium dewasa maupun stadium jentik.
a. Pemberantasan vektor stadium dewasa
Pemberantasan vektor penyakit DBD pada waktu terjadi wabah sering
dilakukan fogging atau penyemprotan lingkungan rumah dengan
insektisida malathion yang ditujukan pada nyamuk dewasa. Caranya
adalah dengan menyemprot atau mengasapkan dengan menggunakan
mesin pengasap yang dapat dilakukan melalui darat maupun udara.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengasapan rumah
dengan malathion sangat efektif untuk pemberantasan vektor. Namun
kegiatan ini tanpa didukung dengan aplikasi abatisasi, dalam beberapa
hari akan meningkat lagi kepadatan nyamuk dewasanya, karena jentik
yang tidak mati oleh pengasapan akan menjadi dewasa, untuk itu
dalam pemberantasan vector stadium dewasa perlu disertai aplikasi
abatisasi.
b. Pemberantasan vektor stadium jentik.
Pemberantasan vektor stadium jentik dapat dilakukan dengan
menggunakan insektisida maupun tanpa insektisida. Pemberantasan
jentik

dengan

insektisida.

Insektisida

yang

digunakan

untuk

memberantas jentik Aedes aegypti disebut larvasida yaitu Abate


(temephos).
Abate SG 1 % diketahui sebagai larvasida yang paling aman
dibanding larvasida lainnya, dengan rekomendasi WHO untuk
dipergunakan sebagai pembunuh jentik nyamuk yang hidup pada
persediaan air minum penduduk, sehingga kegiatannya sering disebut
abatisasi. Untuk pemakaiannya dengan dosis 1 ppm (part per-million),
yaitu setiap 1 gram Abate 1 % untuk setiap 10 liter air. Abate setelah
ditaburkan ke dalam air maka butiran pasirnya akan jatuh sampai ke
dasar dan racun aktifnya akan keluar serta menempel pada poripori
dinding tempat air, dengan sebagian masih tetap berada dalam air.
Tujuan

abatisasi

adalah

untuk

menekan

kepadatan

vektor

serendahrendahnya secara serentak dalam jangka waktu yang lebih


lama, agar transmisi virus dengue selama waktu tersebut dapat
diturunkan. Sedang fungsi abatisasi bisa sebagai pendukung kegiatan
fogging yang dilakukan secara bersama-sama, juga sebagai usaha
mencegah letusan atau meningkatnya penderita DBD (Tim Field Lab,
2013).
c. Pemberantasan jentik tanpa insektisida.
Cara pemberantasan vektor stadium jentik tanpa menggunakan
insektisida lebih dikenal dengan pembersihan sarang nyamuk (PSN).
Kegiatan ini merupakan upaya sanitasi untuk melenyapkan container
yang tidak terpakai, agar tidak member kesempatan pada nyamuk
Aedes aegypti untuk berkembang biak pada kontainer tersebut
(Widiyanto, 2007). Tindakan pembersihan sarang nyamuk meliputi
tindakan menguras air kontainer secara teratur seminggu sekali,
menutup rapat kontainer air bersih, dan mengubur kontainer bekas
seperti kaleng bekas, gelas plastik, barang bekas lainnya yang dapat

menampung air hujan sehingga menjadi sarang nyamuk (dikenal


dengan istilah tindakan 3M) (Fathi dan Catharina, 2005).

BAB III
KESIMPULAN

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Arief, R.F. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam. Continuing Medical
Education. (42).9 : 638-660. Jakarta Pusat.
Barry, B.A., Tumbelaka, A.R., Chair, I. 2008. Etiologi dan Karakteristik
Demam Berkepanjangan pada Anak di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari
Pediatri. (2).10 : 83-88.

Chen, K., Pohan, H.T., dan Sinto, R. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan
Demam Berdarah Dengue. Medicinus: Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical Application. Vol : 22. No.1. Jakarta.
DepKes RI. 2003. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DepKes. RI, 2004. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fathi, Soedjadjadi K dan Chatarina, U W. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan
Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Vol. 2 No.1, Juli 2005: 1-10.
Kania, N. 2007. Penatalaksanaan Demam Pada Anak. Pustaka Unpad.
Bandung.
Mardia, A.I. 2011. Peranan Biomarker dalam Membedakan Demam Karena
Infeksi dan Non-Infeksi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatra
Utara.
Tim Field Lab. 2013. Program Pengendalian Penyakit Menular : Demam
Berdarah Dengue. Solo : Fakultas Kedokteran UNS
Siregar, F. A. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkmfazidah3. pdf
(diakses pada Desember 2015).
Sylvana, S. dan Gabriella. 2000. Demam Berdarah Dengue. Surabaya :
Universitas Wijaya Kusuma.
Widiyanto, Teguh. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa-Tengah.
World Health Organization.1997. Dengue Haemorrhagic Fever: Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control. Geneva.

Anda mungkin juga menyukai