DASAR TEORI
Batuan sedimen karbonat, seperti yang kita ketahui memiliki unsur kimia
CaCO3, dimana unsur ini hanya bisa terbentuk pada daerah laut dengan syaratsyarat seperti salinitas, suplai cahaya matahari, kekeruhan, keadalaman dan arus
air laut yang tenang dan batas zona akhir terbentuknya unsur karbonat, atau yang
disebut sebagai zona CCD (Carbonate Compensation Depth), karena hal ini
sangat berperan dalam pembentukan batuan sedimen karbonat.
2.1. Batuan Karbonat
Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih
dari 50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau
karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Reijers & Hsu, 1986). Sementara itu,
(Bates & Jackson, 1987) mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang
komponen utamanya adalah mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari
50 %. Sedangkan batugamping menurut definisi (Reijers & Hsu, 1986) adalah
batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95 %, sehingga tidak semua
batuan karbonat adalah batugamping, namun batugamping merupakan bagian dari
kelompok batuan karbonat.
2.2. Genesa Batuan Karbonat
Batuan karbonat terbentuk melalui proses biologis, biokimia dan presipitasi
anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan (Scoffin, 1987). Menurut
(Pirson, 1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan laut dangkal, dimana
pada lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan material asal daratan. Hal ini
memungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya koral, ganggang, bryozoa,
Syarat-syarat kondisi yang ideal untuk pembentukan batuan karbonat antara lain
sebagai berikut:
a. Jernih
Batuan karbonat dihasilkan dari sekresi organisme laut dan presipitasi dari
air laut secara kimiawi. Hal ini mengandung arti bahwa pembentukan
batuan karbonat juga tergantung pada organisme. Sementara organisme laut
membutuhkan kondisi laut yang jernih agar sinar matahari dapat masuk
tanpa terganggu.
b. Dangkal
Dangkal disini diartikan sebagai batas sinar matahari dapat masuk ke laut.
Batas ini sering disebut zona fotik yaitu zona yang dapat ditembus oleh
matahari sebagai syarat utama untuk melakukan proses fotosintesis oleh
organisme. Batas kedalaman yang harus diperhatikan adalah carbonate
10
11
12
Tabel 2.3. Komposisi Kimia dan Mineral Karbonat yang Umum Dijumpai (Sam Boggs,
1978)
MINERAL
RUMUS KIMIA
SISTEM KRISTAL
Aragonit
CaCO3
Orthorombik
Kalsit
CaCO3
Heksagonal(rombohedral)
Dolomit
Magnesit
CuMg(CO3)2
MgCO3
Heksagonal(rombohedral)
Heksagonal(rombohedral)
Ankerit
Siderit
Ca(FeMg)(CO3)2
FeCO3
Heksagonal(rombohedral)
Heksagonal(rombohedral)
13
pada kedalaman sekitar 3000 meter dan pada kedalaman sekitar 4200 meter tidak
ditemukan lagi mineral karbonat atau disebut Calcite Compensation depth (CCD)
(Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Diagram yang memperlihatkan posisi relatif mineral aragonit dan kalsit
terhadap kedalaman air laut dan tingkat solubilitas mineral yang ditunjukkan oleh garis
ACD dan CCD pada daerah tropis. Pembagian zona menjadi 4 zona yaitu zona presipitasi
(I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan
lagi mineral karbonat (IV) (Sam Boggs 2nd, 1978)
14
matahari semakin tinggi pada posisi dekat dengan equator atau khatulistiwa. Oleh
karena itu pada daerah-daerah equatorial merupakan wilayah yang menjadi tempat
berkembangnya terumbu modern yang baik. Sebaliknya zona yang menjauh dari
daerah equatorial maka kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya matahari
semakin dangkal sehingga semakin kurang baik perkembangan terumbunya.
Gambar 2.4. Diagram yang memperlihatkan posisi relatif zona presipitasi (I), zona
dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan lagi
mineral karbonat (IV) terhadap latitude (Sam Boggs 2nd, 1978)
Gambar 2.5. Deposit karbonat di lingkungan laut dangkal (jaman kuarter) adalah berkonsentrasi terutama di daerah
utara dan selatan khatulistiwa, antara 30N dan 30S. (Menurut Wilson (1975) dalam Flugel (1982))
15
Khusus untuk daerah tropis, pembagian zona tersebut CCD mencapai kedalaman
laut sekitar 4500-an meter atau hingga laut dalam (deep sea). Jika zona-zona
tersebut diintegrasikan dengan panampang lingkungan pengendapan laut secara
dua dimensi (Gambar 2.6), maka zona dimana masih bisa ditemukan adanya
mineral kalsit termasuk kedalam laut dalam (deep sea) pada zona III.
Gambar 2.6. Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral karbonat
terhadap lingkungan pengendapan pada laut modern (Sam Boggs, 1978)
(ex situ). Material ini dibagi menjadi dua berdasarkan ukurannya yaitu
material yang berukuran lempung atau lanau disebut sebagai lumpur
16
Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips yang punya satu
atau lebih struktur lamina yang konsentris dan mengelilingi inti. Inti penyusun
biasanya partikel karbonat atau butiran kuarsa (Tucker, 1991). Ooid memiliki
ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki ukuran > 2 mm maka disebut pisoid.
b.
Peloid
Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat, elipsoid atau meruncing
yang tersusun oleh mikrit dan tanpa struktur internal. Ukuran peloid antara 0,1-0,5
mm. Kebanyakan peloid ini berasal dari kotoran (faecal origin) sehingga disebut
pellet (Tucker 1991).
3.
Skeletal Grain
17
Skeletal grain adalah butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang terdiri dari
seluruh mikrofosil, butiran fosil, maupun pecahan dari fosil-fosil makro.
Cangkang ini merupakan allochem yang paling umum dijumpai dalam
batugamping (Sam Boggs, 1987). Komponen cangkang pada batugamping juga
merupakan penunjuk pada distribusi invertebrata penghasil karbonat sepanjang
waktu geologi (Tucker, 1991).
3.
Semen
Semen terdiri dari material halus yang menjadi pengikat antar butiran dan mengisi
rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks. Semen dapat berupa
kalsit, silika, oksida besi ataupun sulfat. (gambar 2.7)
F. J., Sedimentary Ro
18
19
menyatakan
bahwa
proses
pengendapan
batuan
karbonat
dapat
20
yang jernih dan mozaik dalam asahan tipis, berfungsi sebagai pore filling cement.
Sparite analog dengan semen pada clean sandstone. Berdasarkan perbandingan
relatif antara allochem, micrite dan sparite serta jenis allochem yang dominan.
Prosedur pemberian nama batuan menurut Folk adalah:
1. Jika intraclast > 25% intraclastic rock
2. Jika intraclast =/< 25%, lihat prosentase oolite-nya
3. Jika oolite >25% oolitic rock
4. Jika intraclast =/<25% dan oolite =/<25%, lihat perbandingan antara fosil
dengan pelet, yaitu:
1) fossil : pellet > 3:1 biogenic rock,
2) fossil : pellet < 3:1 pellet rock,
3) fossil : pellet = 3:1 1:3 biogenic pellet rock.
Kelemahan utama dari klasifikasi ini adalah tidak dapat menjelaskan batuan
karbonat yang kompleks. Sebagai contoh ketika dalam suatu batuan terdapat a%
pecahan cangkang Pelecypoda, b% Ostrakoda utuh, c% Glaukonit, maka sulit
ditentukan nama batuan tersebut.
Aturan penamaan batuan adalah sebagai berikut: kata pertama adalah jenis
allochem yang dominan dan kata kedua adalah jenis orthochem yang dominan,
contoh: intrasparite, biomicrite, dll.
21
Keterangan:
Tipe 1, sparry allochemical rocks, terutama tersusun atas allochem yang
tersemenkan oleh sparry calcite cement.
Tipe 2, microcrystalline allochemical rocks, mengandung allochem, tetapi
arus yang bekerja tidak cukup kuat sehingga microcrystalline ooze tidak
tercuci dan terendapkan sebagai matriks sparry calcite jarang terbentuk
karena tidak ada pori tempat terbentuknya.
Tipe 3, microcrystalline rocks kebalikan dari tipe 2, lingkungan
pengendapan tidak berarus kuat sehingga presipitasi dari microcrystalline
ooze sangat cepat dan jarang dijumpai allochem.
Klasifikasi Dunham (1962)
Dunham membuat klasifikasi batugamping berdasarkan tekstur deposisi
batugamping, yaitu tekstur yang terbentuk pada waktu pengendapan batugamping,
meliputi ukuran butir dan susunan butir (sortasi). Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan pengklasifikasian batugamping berdasarkan
tekstur deposisinya, yaitu:
22
wackestone dan
23
Pada sayatan tipis tidak mudah membedakan fabric batuan karena pada sayatan
tipis hanya memberikan gambaran 2 dimensi.
Gambar 2.10. Klasifikasi Dunham (Dunham, 1962 Vide Rizqi Amelia Melati, 2011)
24
allochtonous
dan
batugamping
autochtonous. Batugamping
25
Gambar 2.11. Klasifikasi batuan karbonat oleh Dunham yang dimodifikasi oleh
Embry dan Klovan(After Dunham, 1962 dan Embry & Klovan 1971)
26
berdasarkan endeks energi, yang mana indeks energi merupakan salah satu
parameter penting di dalam menentukan lingkungan pengendapan batuan
karbonat. Pembagian indeks energi tersebut adalah sebagai berikut (lampiran 1) :
1. Indeks energi I
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang tenang (quiet
water), dicirikan oleh kandungan lumpur karbonatnya yang dapat mencapai
50%, keadaan fosil-fosilnya masih dalam keadaan yang utuh, walaupun
jarang fosil tersebut dijumpai.
2. Indeks energi II
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang sedikit
bergelombang (intermittently agitated), dicirikan oleh kandungan lumpur
kurang dari 25%, fosil-fosil yang dijumpai masih dalam jumlah yang sedikit
dan keadaan fosilnya masih dalam kondisi yang reatif baik.
3. Indeks energi III
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang bergelombang
lemah (slighty agitated), dicirikan oleh kandungan butirannya yang dapat
mencapai 50% dengan kandungan fosilnya yang menunjukkan gejala abrasi.
4. Indeks energi IV
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang bergelombang
sedang (moderately agitated), dicirikan oleh kandungan butirnya yang
mencapai lebih dari 50% dengan keadaan fosilnya pada umumnya telah
pecah-pecah.
27
5. Indeks energi V
Batuan karbonat yang diendapkan pada kondisi air laut yang bergelombang
kuat (strongly agitated). Dicirikan oleh kandungan lumpurnya yang kurang
dari 5%. Keadaan fosilnya sebagian besar telah pecah-pecah. Dapat pula
batuan karbonat ini tersusun oleh organisme yang tumbuh dan berkembang
di daerah tersebut, seperti koloni koral, ganggang, stromatoporoid dan
lainnya.
Dari beberapa klasifikasi diatas, dalam pembahasan ini menggunakan
klasifikasi Grabau (1904) untuk penamaan sampel di lapangan dan Dunham
(1962) untuk penamaan pada sayatan tipis sampel batuan yang berdasarkan tekstur
pengendapannya, Klasifikasi Pumpley Et Al (1962) untuk mengetahui kondisi
energi ketika fasies batuan karbonat diendapkan, karena pada daerah penelitian
sangat mudah dikenali dengan menggunakan klasifikasi ini.
2.6. Fasies Karbonat
Pengertian Fasies menurut beberapa ahli :
Fasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki kombinasi karakteristik
yang khas dilihat dari litologi, struktur sedimen dan struktur biologi
memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari tubuh batuan yang ada di bawah,
atas dan di sekelilingnya.
Fasies umumnya dikelompokkan ke dalam facies association dimana fasiesfasies tersebut berhubungan secara genetis sehingga asosiasi fasies ini memiliki
arti lingkungan. Dalam skala lebih luas asosiasi fasies bisa disebut atau dipandang
sebagai basic architectural element dari suatu lingkungan pengendapan yang khas
28
sehingga akan memberikan makna bentuk tiga dimensi tubuhnya (Walker dan
James, 1992).
Menurut Selley (1985, dalam Rizqi Amelia Melati 2011), fasies sedimen
adalah suatu satuan batuan yang dapat dikenali dan dibedakan dengan satuan
batuan yang lain atas dasar geometri, litologi, struktur sedimen, fosil, dan pola
arus purbanya. Fasies sedimen merupakan produk dari proses pengendapan batuan
sedimen di dalam suatu jenis lingkungan pengendapannya. Diagnosa lingkungan
pengendapan tersebut dapat dilakukan berdasarkan analisa faises sedimen, yang
merangkum hasil interpretasi dari berbagai data di atas.
Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu
lapisan atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi,
geometri dan sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di sekitarnya.
Fasies menurut Gressly (1938), Tiechert (1958), serta Krumbein dan Sloss
(1963), di artikan sebagai tubuh batuan yang memiliki sifat-sifat spesifik antara
lain warna, perlapisan komposisi, tekstur, fosil dan struktur sedimen, sedangkan
menurut Middleton (1978) dalam Suhendra (2010) fasies adalah kumpulan dari
sifat-sifat dari batuan. Pembagian fasies berdasarkan atas beberapa aspek yaitu :
1. Produk batuan
2. Genesa atau proses terbentuknya batuan
3. Lingkungan dimana batuan terbentuk
4. Aspek tektonik
Menurut Hukum Walter (Walter Laws1984) variasiof sedimenFacies, untuk fasies
yang sama adalah sama, sedimen pada fasies yang berbeda terletak
29
1- Tektonik
Tektonik merupakan penyebab perubahan fasies secara lokal yang disebabkan
oleh gerak-gerak vertikal dan kemiringan sesar blok.
1- Perubahan Permukaan Air Laut
Perubahan permukaan air laut (trangresi atau regresi) akan menyebabkan
30
Lingkungan basin fasies merupakan lingkungan yang terlalu dalam dan gelap bagi
kehidupan organisme benthonik dalam menghasilkan karbonat, sehingga adanya
karbonat hanya tergantung kepada pengisian oleh material yang berukuran butir
sangat halus dan merupakan hasil runtuhan planktonik.
31
Open shelf fasies merupakan lingkungan air yang mempunyai kedalaman dari
beberapa puluh meter sampai beberapa ratus meter, umumnya mengandung
oksigen, berkadar garam yang normal dan mempunyai sirkulasi air yang baik.
3. Toe of Slope Karbonat Fasies
Fore Slope Fasies merupakan lingkungan yang umumnya terletak diatas bagian
bawah dari "oxygenation level" sampai diatas batas dasar yang bergelombang,
dengan material endapannya yang berupa hasil rombakan.
5. Organic ( ecologic ) Reef Fasies
Sand on Edge of Platform Fasies merupakan daerah pantai yang dangkal, daerah
gosong-gosong pada daerah pantai ataupun bukit-bukit pasir. Kedalamannya
antara 5-10 meter sampai diatas permukaan laut, pada lingkungan ini cukup
memperoleh oksigen, akan tetapi jarang dijumpai kehidupan organisme laut.
32
Open Platform Facies terletak pada selat, danau dan teluk dibagian belakang
daerah tepi paparan. Kedalamannya pada umumnya hanya beberapa puluh meter
saja, dengan kadar garam yang bervariasi dan sirkulasi airnya sedang.
8. Restricted Platform Facies
Restricted Platform Facies merupakan endapan sedimen yang halus yang terjadi
pada daerah yang dangkal, pada telaga ataupun danau. Sedimen yang lebih kasar
hanya terjadi secara terbatas yaitu pada daerah kanal ataupun pada daerah pasang
surut. Lingkungan ini terbatas untuk kehidupan organisme, mempunyai salinitas
yang beragam, kondisi reduksi dengan kandungan oksigen, sering mengalami
diagenesa yang kuat.
9. Platform Evaporite Facies
33
karena struktur ini terbentuk pada tempat dan waktu pengendapan, sehingga
struktur ini merupakan kriteria yang sangat berguna untuk interpretasi lingkungan
pengendapan. Terjadinya struktur-struktur sedimen tersebut disebabkan oleh
mekanisme pengendapan dan kondisi serta lingkungan pengendapan tertentu.
Beberapa aspek lingkungan sedimentasi purba yang dapat dievaluasi dari
data struktur sedimen di antaranya adalah mekanisme transportasi sedimen, arah
aliran arus purba, kedalaman air relatif, dan kecepatan arus relatif. Selain itu
beberapa struktur sedimen dapat juga digunakan untuk menentukan atas dan
bawah suatu lapisan.
Didalam sedimen umumnya turut terendapkan sisa-sisa organisme atau
tumbuhan, yang karena tertimbun, terawetkan dan selama proses diagenesis tidak
rusak dan turut menjadi bagian dari batuan sedimen atau membentuk lapisan
batuan sedimen. Sisa-sisa organisme atau tumbuhan yang terawetkan ini
dinamakan fosil. Jadi fosil adalah bukti atau sisa-sisa kehidupan zaman lampau.
Dapat berupa sisa organisme atau tumbuhan, seperti cangkang kerang, tulang atau
gigi maupun jejak ataupun cetakan.
Dari studi lingkungan pengendapan dapat digambarkan atau direkontruksi
geografi purba dimana pengendapan terjadi.
Lingkungan pengendapan merupakan keseluruhan dari kondisi fisik, kimia
dan biologi pada tempat dimana material sedimen terakumulasi. (Krumbein dan
Sloss, 1963) Jadi, lingkungan pengendapan merupakan suatu lingkungan tempat
terkumpulnya material sedimen yang dipengaruhi oleh aspek fisik, kimia dan
biologi yang dapat mempengaruhi karakteristik sedimen yang dihasilkannya.
34
35
36
37
38
39
4. Fauna bentos laut dalam hadir dan terawetkan dalam bentuk fosil utuh
atau pecah. Burrow melimpah dan perlapisan nodular umumnya
dijumpai
Gambar 2.12. Penampang ideal lingkungan pengendapan batuan karbonat (Friedman &
Reeckmann, 1982 dalam Carla Goncalves 2013)