KESTABILAN OBAT
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Masalah stabilitas sediaan farmasi telah menjadi perhatian sejak lama,
dimana kini Pemerintah mewajibkan adanya data uji stabilitas obat yang akan
diregistrasi. Di
Amerika Serikat, berlaku ketentuan tripartit tentang Stability testing of new drug
substances and products, yang dikeluarkan oleh The International Conference on
Harmonization (ICH). Di dalam ketentuan ICH disebutkan perlunya data uji stabilitas
didalam
aplikasi
tersebuttermasuk
registrasi
bahan
dalam
kelompok
obat
dan
dengan
produk
zona
obat.
iklim
II
Ketiga
wilayah
dimana
kondisi
kandungan produk hasil penguraian, serta karakteristik disolusi bagi sediaan dalam
bentuk tablet (Pecanac et al 2000).
Kriteria stabilnya suatu obat dan sediaan farmasi adalah apabila sediaan
tersebut masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode waktu yang
ditentukan, yaitu sediaan tersebut masih menunjukkan sifat-sifat yang sama
(konstan) sesuai dengan hasil uji-uji yang dilakukan pada waktu proses produksi,
baik pada saat digunakan oleh pengguna, maupun selama periode penyimpanan,
dengan batasan waktu tertentu (Martin et al 1973).
akan
berkembang
sejalan
dengan
perkembangan
globalisasi
dan
konstan apabila zat yang ditentukan dengan metode analisa yang spesifik tidak
kurang dari 90% dari apa yang disebutkan dalam label, yang disebut sebagai shelf
life (Connors et al, 1979).
Stabilitas sediaan farmasi dapat ditunjukkan dengan suatu kriteria derajat
kestabilan yang masih dapat diterima dan terdapat 5 (lima) tipe stabilitas:
1. Stabilitas Kimia
Bahwa, setiap zat aktif dalam sediaan tetap memiliki sifat kimia dan potensi
sesuai dengan persyaratan baku
2. Stabilitas fisika
Bahwa sifat-sifat fisika yang semula, seperti bentuk, homogenitas, kelarutan, tidak
berubah
3. Stabilitas mikrobiologis
Bahwa sterilitas dan resistensi terhadap berkembang biaknya mikroorganisme
tetap masih memenuhi persyaratan; bahan pengawet yang terkandung masih
tetap efektif dalam batas-batas tertentu
4. Stabilitas terapeutis
menunjukkan tidak terlihatnya peningkatan
5. Stabilitas toksikologis menunjukkan tidak terlihatnya peningkatan toksisitas yang
mencolok.
Sediaan-sediaan yang tidak memenuhi persyaratan di atas dianggap tidak stabil.
Tidak adanya perubahan warna atau kristalisasi, tidak boleh dianggap sebagai
persyaratan stabilitas, karena degradasi dan interaksi kimia tetap dapat terjadi dalam
suatu sediaan tanpa perubahan fisik yang nyata (Connors et al 1979)
Stabilitas sediaan farmasi sesungguhnya diharapkan merupakan stabilitas zat
aktif obat dan bahan eksipien lainnya, sejak tahap preformulasi, tahap formulasi,
selama periode uji klinis, sampai pemantauan pada tahap distribusi dan pemasaran
(Carstensen 1990).
Fungsi stabilitas pada tahap preformulasi adalah pemeriksaan untuk
mengetahui apakah obat dan sediaan dalam keadaan tetap stabil selama uji
toxocologi, dan juga untuk membantu menyediakan informasi bagi fase lanjutan
formulasi.
Pada tahap formulasi, fungsi stabilitas adalah berperan pada pemilihan bentuk
sediaan yang paling stabil, yaitu dengan melakukan pengujian terhadap beberapa
macam formula dan membandingkan stabilitas dikaitkan dengan suatu jangka waktu.
Fungsi stabilitas pada tahap awal pada uji klinik adalah menentukan seberapa
stabil obat dan sediaan farmasi tersebut selama uji klinik. Sedangkan tahap akhir dari
uji klinik merupakan perkiraan perlunya antisipasi terhadap perubahan formula, dan
adanya data lengkap stabilitas obat dan sediaan farmasi secara statistik untuk
memperkirakan jangka waktu daluarsa (Cartensen 1990).
Jika dari tahap-tahap pemeriksaan stabilitas tersebut diharuskan adanya
perubahan formulasi produk yang sudah jadi, maka protokol pemeriksaan stabilitas
bagi setiap tahap tersebut di atas berlaku pula untuk produk baru pengganti.
Kebanyakan perusahaan farmasi mempunyai suatu kelompok preformulasi yang
bertanggung jawab dalam hal mencari data awal pendukung formulasi obat yang
stabil dan bioavailable.
Stabilitas farmasi obat dan sediaan farmasi lainnya berkaitan dengan tanggal
kadaluarsa obat dan sediaan farmasi yang bersangkutan.
REKASI FISIK DAN KIMIA PADA PROSES PENGURAIAN
Stabilitas sediaan farmasi sangat erat kaitannya dengan faktor pengaruh fisik
dan kimia. Dalam mempelajari stabilitas obat perubahan akibat pengaruh kimia dapat
diketahui dengan melakukan analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif
akan menentukan hasil penguraian komponen aktif, sedangkan analisa kuantitatif
akan menentukan laju dan jumlah penguraian yang terjadi.
Reaksi penguraian pada sediaan farmasi dipengaruhi oleh reaksi kimia secara
alami, dan terjadi pada laju reaksi tertentu, dimana tergantung pada kondisi
konsentrasi reaktan, temperatur, pH, radiasi, dan katalis. Reaksi-reaksi kimia yang
menyebabkan penguraian obat, yang sering terjadi antara lain :
a] Reaksi hidrolisis; yaitu reaksi penguraian suatu garam oleh air. Reaksi
hidrolisis ini dapat dipercepat oleh katalisator seperti asam atau basa yang akan
mengkonsumsi ion-ion hidrogen atau ion-ion hidroksil;
b] Reaksi oksidasi - reduksi terjadi karena adanya molekul oksigen, hidrogen dan
radikal bebas, sehingga terjadi perpindahan elektron dari suatu atom atau ion yang
terkandung di dalamnya; penambahan antioksidan dan agens pengkelat
menghambat laju reaksi.
dapat
c]. Reaksi rasemisasi; pada reaksi rasemisasi suatu senyawa optis aktif dibentuk
menjadi rasemat. Reaksi ini terjadi karena dipengaruhi oleh struktur kimianya sendiri
seperti gugus fungsional yang terikat pada atom C asimetris. Reaksi ini dapat terjadi
karena adanya perubahan temperatur, pengaruh cahaya, pH, dan sebagainya.
Suatu penelitian mengenai stabilitas sediaan cair physostigmin telah
dilaporkan. Pada penelitian ini konstanta laju penguraian minimal dari physostigmin
dilaporkan pada pH 3.4, dimana hal tersebut merupakan penguraian yang dikatalisis
oleh asam-basa. Berdasarkan percobaan tersebut, mereka menentukan shelf life
sediaan cair physostigmin , yaitu diestimasi selama 4 tahun pada temperatur ruang di
bawah kondisi anaerob (Chen dan Chiang 2000) .
Penguraian obat dan sediaan farmasi dapat diamati secara kimia berupa
pemantauan baik menurunnya kadar, bahkan hilangnya zat aktif obat, maupun
timbulnya produk hasil dekomposisi. Dalam banyak kasus, dapat terjadi lebih dari
satu produk dekomposisi. Sebagai contoh dekomposisi Aspirin dalam sistem
sederhana menjadi asam salisilat dan asam asetat, mengikuti reaksi pseudo tingkat
satu (pseudo-first-order) (Carstensen 1990)
Pengaruh akibat reaksi fisik menyebabkan perubahan pada sediaan farmasi
yang dipandang sebagai hal yang serius sebagaimana halnya perubahan kimia, baik
dari sudut pandang farmasetika maupun terapetika, seperti pembentukan kristal,
perubahan bentuk kristal, penurunan/peningkatan laju disolusi dan disintegrasi,
pecahnya emulsi, pembentukan kerak pada suspensi, pemudaran warna, timbulnya
warna, dan timbulnya endapan pada sediaan cair.
Pembentukan kristal dalam suspensi menyebabkan perubahan laju absorpsi
dan kemungkinan menurunnya tingkat keefektifan terapetik. Pembentukan kristal
pada salep atau krem dapat menyebabkan iritasi kulit, dan juga buruknya absorpsi.
Perubahan kristal pada sediaan bentuk suspensi yang mengandung steroid
menyebabkan inaktifnya bahan obat tersebut.
pengaruh
solven,
pengaruh
temperatur
dan
kelembaban,
wadah,
penyimpanan, dan formulasi sediaan itu sendiri. Dilaporkan oleh Wolfert dan Cox
1975 bahwa obat dan sediaan farmasi yang disarankan untuk disimpan pada lemari
pendingin, akan tetap stabil namun jangka waktu stabil menjadi lebih singkat jika
disimpan pada temperatur ruang.
F AK T O R - F AK T O R Y AN G M E M P E N G A R U H I S T AB I L I T AS D A R I
AS P E K B AH AN B AK U
Penggunaan bahan baku dalam formulasi obat dan sediaan farmasi
didasarkan pada sifat fisik dan kimia dari bahan baku tersebut.
Bahan baku
berperan dalam konsep kinetika dan stabilitas, sehingga sifat bahan baku dapat
memberikan gambaran fisikokimia, kinetika dan farmakokinetika suatu bahan.
Stabilitas suatu bahan aktif baru yang tidak dapat memberikan bioabsorpsi
yang baik memerlukan tahap pemeriksaan stabilitas preformulasi. Dalam hal ini,
stabilitas lebih sebagai faktor stabilitas prodrug,
bentuk formulasi sediaan, maupun stabilitas pada pH cairan lambung dan darah.
KELARUTAN
Kelarutan adalah parameter yang mudah untuk ditentukan jika bahan baku
tersedia banyak dan murah. Jika kelarutan suatu bahan baku sangat besar, maka
dapat dicari temperatur yang lebih rendah yang masih cukup untuk kondisi pelarutan
dengan cara memplot persamaan Vant Hoff dari data yang diperoleh pada
temperatur ruang. Dengan demikian, stabilitas bahan baku akan lebih baik dengan
lebih rendahnya temperatur.
Untuk bahan baku berupa polimorf stabil, maupun metastabil tetapi tidak
cenderung
membentuk
presipitasi,
maka
meningkatnya
temperatur
akan
memperbesar kelarutan, sampai pada titik tertentu dimana semua padatan telah larut
sempurna, sesuai dengan kurva laju disolusi yang umum. Namun, pada polimorf
yang metastabil, profil kelarutan mengikuti kurva laju disolusi yang pada suatu saat
akan terjadi penurunan kelarutan. Oleh karena itu, perusahaan farmasi harus
membuat profil kelarutan preformulasi untuk jangka waktu cukup panjang untuk
mengetahui hal-hal tersebut.
Selain
itu,
kelarutan
dipengaruhi
oleh
adanya
produk
dekomposisi
bentuk terion dengan tidak terion, dimana jika zat bersifat asam, maka yang
dimaksud adalah konstanta keseimbangan reaksi bentuk anion A - dan bentuk asam
HA.
Penentuan pK dipandang perlu, karena faktor ini akan membantu pelarutan
bahan obat tersebut dan sifat larutan obat. Beberapa metode penentuan dapat
dilakukan. Metode klasik sederhana, seperti titrasi, menentukan pK berdasarkan
jumlah titer yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan reaksi. Metode
spektrofotometri didasarkan pada perbedaan absorpsivitas molar bentuk terion dan
tidak terion pada panjang gelombang tertentu. Metode terakhir paling dipilih karena
sangat mudah dan cepat, serta akurat.
KINETIKA
Studi kinetika adalah penting dilakukan pada tahap preformulasi. Jika bahan
yang tersedia sedikit, maka studi ini yang paling disarankan dilakukan dibandingkan
dapat
merupakan
kompatibilitas
kimia
maupun
fisik.
Kompatibilitas fisik adalah interaksi bahan obat dengan faktor fisik, seperti
kelembaban. Sedangkan kompatibilitas kimia adalah interaksi bahan obat dengan
bahan lain dalam formulasi, yaitu bahan eksipien.
Penggunaan
bahan
eksipien
dalam formulasi
harus dipertimbangkan
kompatibilitasnya dengan bahan aktif obat. Untuk sediaan larutan dan suspensi studi
kinetika memberikan informasi optimasi stabilitas, seperti bufer yang digunakan, pH
optimum, dan sebagainya. Untuk sediaan parenteral, kompatibilitas terhadap bahan
pengemas menjadi faktor dapat mempengaruhi stabilitas obat. Untuk sediaan padat,
faktor kompatibilitas lebih rumit lagi. Bahan eksipien, baik yang digunakan dalam
jumlah besar, maupun yang dalam jumlah kecil, seperti pelincir, harus berinteraksi
langsung dengan bahan obat dalam suatu campuran bineri, untuk kemudian diproses
pencetakan tablet dengan segala kriteria sifat fisikokimia tablet yang diinginkan
selain dengan bahan aktifnya.
Faktor kompatibilitas bahan eksipien ini lebih banyak ditentukan oleh
kebijakan perusahaan yang bersangkutan.
PENCAMPURAN BAHAN AKTIF
Pada campuran dua atau lebih bahan obat aktif, harus dipertimbangkan
pengaruh satu dengan yang lainnya terhadap perubahan titik lelehnya. Kedua
10
campuran obat dapat menjadi bentuk campuran sempurna jika berada pada kondisi
dimana titik eutektik tercapai. Titik eutektik adalah komposisi paling ideal dari kondisi
suatu campuran yang baik pada suatu temperatur optimum yang disebut temperatur
eutetkik (Carstensen 1990).
Cara liofilisasi adalah bentuk yang berkembang sekarang ini, yang dapat
mengatasi masalah titik leleh. Pada cara ini, bahan-bahan dilarutkan, kemudian
keringbekukan, baru kemudian campuran disimpan sebagai bentuk kering. Tanpa
kondisi ada air, campuran akan lebih stabil.
F AK T O R - F AK T O R Y AN G M E M P E N G A R U H I S T AB I L I T AS D A R I
AS P E K FORM U L AS I
SEDIAAN CAIR
Tingkat Reaksi
Kestabilan suatu sediaan farmasi berhubungan erat denga laju reaksi kinetika.
Laju reaksi kimia dapat dikatakan sebagai laju bertambahnya konsentrasi hasil reaksi
atau berkurangnya konsentrasi reaktan. Jika suatu reaktan mempunyai konsentrasi
C pada waktu t, maka laju bertambahnya hasil reaksi yang berkonsentrasi x adalah
dx/dt. Laju reaksi akan berubah dengan berubahnya konsentrasi reaktan. Laju reaksi
dapat dihitung jika telah diketahui lebih dahulu tingkat reaksinya (Connors 1979)
Tingkat reaksi adalah penjumlahan pangkat dari konsentrasi-konsentrasi
reaktan sesuai dengan yang ditunjukkan pada laju reaksi. Tingkat reaksi tidak selalu
sama dengan koefisien reaksi, karena tingkat reaksi bergantung pada mekanisme
reaksi dan biasanya diperoleh dari hasil percobaan (Connors 1979; Martin et al 1973)
Tingkat reaksi dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu dengan metode
substitusi, metode grafik, dan metode waktu paruh. Pada metode substitusi, data
yang diperoleh dari suatu studi kinetika dapat disubstitusikan ke dalan persamaan
integral masing-masing tingkat reaksinya. Bila pada persamaan tersebut ditemukan
11
bahwa harga k yang didapat konstan dalam batas variasi percobaan, reaksi ini
dianggap mengikuti tingkat reaksi tersebut.
Pada metode grafik, tingkat suatu reaksi dapat ditentukan dengan jalan
memplot berbagai fungsi konsentrasi terhadap waktu. Bila reaksi tingkat nol, maka
grafik konsentrasi terhadap waktu berupa garis lurus. Bila reaksi tingkat satu, maka
grafik logaritma konsentrasi terhadap waktu adalah berupa garis lurus. Bila reaksi
tingkat dua, maka grafik 1/konsentrasi terhadap waktu berupa garis lurus. Hal
tersebut berlaku bila konsentrasi mula-mula semua reaktan sama. Kedua metode itu
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Reaksi order nol,
Ct = Co kt
ln Ct = ln Co kt
Pada metode waktu paruh, untuk reaksi tingkat nol, waktu paruh sebanding
dengan konsentrasi mula-mula a, yang dinyatakan dengan persamaan :
t = a/2K
sedangkan untuk reaksi tingkat satu, waktu paruh tidak bergantung pada konsentrasi
awal, yang dinyatakan dengan persamaan :
t = 0.693 /k
Kebanyakan zat mengalami penguraian mengikuti reaksi tingkat nol dan
reaksi tingkat satu (Connors 1979; Carstensen 1990)
Laju reaksi tingkat nol (zero order reaction) tidak bergantung pada konsentrasi
reaktan, tetapi ditentukan oleh faktor lain, seperti jumlah cahaya yang diserap dalam
reaksi katalitik, laju reaksi salah satu konsentrasi reaktan (Connors 1979; Carstensen
1990).
Pengaruh temperatur terhadap laju reaksi
Umumnya reaksi menjadi lebih cepat bila dipanaskan, jadi harga konstanta
laju reaksi, K, semakin besar. Kenaikan temperatur 10 C akan mempercepat reaksi 2
sampai 3 kali lebih cepat,hingga reaksi yang berjalan lambat pada temperatur kama
dapat berjalan lebih cepat pada temperatur tinggi (Connors et al; Martin et al 1973)
12
dilakukan penyimpanan sediaan farmasi pada suhu tinggi. Nilai-nilai k diperoleh dari
reaksi obat pada temperatur tinggi dengan jalan memplot berbagai fungsi konsentrasi
terhadap waktu. Bila logaritma konstanta laju reaksi tersebut diplot terhadap 1/T,
maka akan diperoleh suatu garis lurus. Sehingga kita dapat memprediksikan nilai k
pada temperatur kamar.
Profil pH
Keasaman suatu larutan akan berakibat terhadap stabilitas obat di dalam
larutan. Perubahan pH dalam sediaan cair dapat terjadi karena ketidakstabilan
tersebut. Oleh karena itu pH harus dipertahankan tetap, yaitu dengan penambahan
bufer. Peran bufer adalah memperlambat laju penguraian atau dekomposisi bahan
obat akibat keasaman.
Penentuan profil pH merupakan faktor penting untuk mengelusidasi kisaran
pH optimum, dan juga untuk memilih sistem bufer yang sesuai. Namun, pada
konsentrasi yang sangat berbeda, antara konsentrasi rendah dengan konsentrasi
tinggi, maka profil pH akan berbeda, sehingga hal ini harus pula diperhatikan.
13
Pelarut
Pelarut memberikan pengaruh terhadap laju hidrolisis, yang diakibatkan oleh
efek konstanta dielektrik.
Faktor Fisik
Pada sediaan cair, pada penyimpanan yang lama, walaupun belum mencapai
kondisi daluarsa, dapat terjadi timbulnya endapan. Hal ini tidak menimbulkan
pengaruh terhadap kandungan kimia, namun untuk produk parenteral menyebabkan
produk tal layak pakai. Untuk sediaan oral, hal tersebut tidak diharapkan karena
menimbulkan pertanyaan mengenai integritas obat yang dikandungnya.
Suatu sediaan cair injeksi kompleks vitamin B menunjukkan adanya pengaruh
stabilitas sediaan karena pengaruh sifat labil dari B12 (Fathiah 1988) ..
oleh tenaga farmasi pada saat pasien menebus obat, dan bukan
14
pencampuran
memberikan
hasil
memuaskan,
seringkali
terbentuk
endapan
).
Pada sistem liposom bahan obat di dalam larutan air menjadi lebih stabil,
karena terlindung dari pengaruh air. Basis dalam sistem ini adalah suatu fosfolipid,
yaitu suatu sistem yang mempunyai bagian hidrofilik dan hidrofobik. Bahan obat
akan berada dilindungi oleh bagian hidrofobik membentuk agregat ke arah dalam
menghindari lingkungan air, sementara bagian hidrofilik menghadap ke lingkungan
air. Kadangkala sediaan liposom diliofilisasi untuk lebih mempertahankan stabilitas
bahan obat dalam penyimpanan, sebelum direkonstitusi dalam pelarut untuk
penggunannya.
15
16
dalam
penyimpanan,
sementara
yang
mengalami sedikit
dibuat
dengan
karboksimetilselulosa meningkat laju disolusinya. Laju disolusi dari zat aktif, ataupun
sediaan lain dalam tablet yang cenderung meningkat akibat pengaruh lama
penyimpanan, dapat mempengaruhi keefektifan secara terapetik untuk pengobatan.
(
).
Kalsium fosfat adalah bahan eksipien yang tidak mahal, nontoksik, dan
reprodusibel. Sukrosa merupakan bahan eksipien yang larut dalam air. Manitol
adalah eksipien yang cukup inert, dan bersifat anhidrous dan nonhigroskopis, tapi
lebih mahal daripada sorbitol. Sorbitol sebagai eksipien bersifat agak higroskopis.
Formula kompleks vitamin B telah diuji kestabilan dan pengaruh masingmasing zat aktif, yaitu B1, B6 dan B12 (Alatas 1996)
Faktor lembab pada sediaan padat mempengaruhi stabilitas bahan obat yang
dikandungnya.
Formulasi tablet yang menunjukkan absorpsi yang baik belum tentu akan
tetap baik setelah dalam penyimpanan lama.
F AK T O R - F AK T O R Y AN G M E M P E N G A R U H I S T AB I L I T AS D A R I
AS P E K B AH AN P EN GE M AS
Kesalahan dalam pengemasan produk farmasi dapat menimbulkan ketidak
absahan formulasi terstabil yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan
wadah penting untuk ditentukan setelah melalui evaluasi pengaruh bahan-bahan
yang akan digunakan terhadap stabilitas produk, disamping keefektifan wadah
tersebut dalam melindungi produk selama penyimpanan di bawah pengaruh kondisi
temperatur, kelembaban, dan cahaya lingkungan yang beragam.
17
Stabilitas kerapatan wadah menjadi salah satu hal penting di dalam ketentuan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti ketebalan dinding wadah plastik, torque,
juga tutp wadah yang digunakan. Penggunaan kantong desikan diharapkan dapat
menunda pengaruh lembab dan oksigen yang menembus wadah terhadap isi (obat).
padat
atau
cair
dari
berbagai
komposisi
kimia
sediaan.
Dengan
yang perlu dipikirkan secara serius oleh perusahaan farmasi dalam masalah
18
Zat yang
19
tersebut tidak ditemukan pada wadah-wadah lain yang disimpan sampai 4 bulan
(Thiesen dan Kramer 1999).
E V AL U A S I D A N P E N G A M AT AN S T AB I L I T AS F I S I K
Evaluasi pemilihan validasi metode uji stabilitas, serta metode aplikasi
pemeriksaan yang digunakan merupakan salah satu aspek yang paling kontroversi.
Dadgar dan Burnett 1995, menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan adanya
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab menyangkut : Seberapa tingkatan
dampak interferensi nyata pada kesimpulan hasil pemeriksaan.
Empat isu kunci dapat diarahkan, yaitu relevansi setiap uji pilihan yang
dilakukan secara statistik ; kriteria interferensi nyata; metode eksperimen untuk
memantapkan pemilihan; kriteria penerimaan. Untuk memastikan integritas zat agar
dapat bertahan selama proses dilakukan, diperlukan metode evaluasi stabilitas yang
bermakna secara statistik.
D A F T AR B A C A A N
1. Lachman L., The Theory and Practice in Industrial Pharmacy, 2nd ed.Lea & Febiger,
NY 1970.
2. Lieberman, H.A., Pharmaceutical Dosage Form -Disperse System, Vol. 1, Marcel
Dekker, N.Y. 1988
3. Lieberman, H.A., Pharmaceutical Dosage Form -Tablets, Vol. 1, Marcel Dekker, N.Y.
1989
4. Carstensen J.T.,Drugs Stability, Marcel Dekker, N.Y.1990
5. Martin A., Physical Pharmacy, 4th. Ed., Lea & Febiger, Philadelphia, London, 1993.