Anda di halaman 1dari 19

1

KESTABILAN OBAT

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Masalah stabilitas sediaan farmasi telah menjadi perhatian sejak lama,
dimana kini Pemerintah mewajibkan adanya data uji stabilitas obat yang akan
diregistrasi. Di

tiga wilayah negara-negara maju, yaitu Uni Eropa, Jepang dan

Amerika Serikat, berlaku ketentuan tripartit tentang Stability testing of new drug
substances and products, yang dikeluarkan oleh The International Conference on
Harmonization (ICH). Di dalam ketentuan ICH disebutkan perlunya data uji stabilitas
didalam

aplikasi

tersebuttermasuk

registrasi

bahan

dalam

kelompok

obat

dan

dengan

produk
zona

obat.

iklim

II

Ketiga

wilayah

dimana

kondisi

penyimpanan adalah temperatur 25 0C dengan kelembaban relatif 60%. Kedua faktor


tersebut sangat penting peranannya dalam stabilitas obat. Indonesia terletak di zona
iklim yang mempunyai kisaran temperatur dan kelembaban relatif lebih tinggi. Oleh
karena itu, alangkah lebih penting lagi data uj stabilitas diberlakukan untuk registrasi
obat dan sediaan-sediaan farmasi.
Berdasarkan ketentuan ICH tersebut, Grimm 1998, membuat penyesuaian
mengenai kondisi penyimpanan yang memungkinkan negara-negara yang berada
pada zona iklim III dan IV dapat mengikuti ketentuan tersebut. Selain itu, Grimm juga
membuat penyesuaian terhadap pemilihan wadah pengemasan, sesuai dengan
peranan penting dari faktor tersebut pada stabilitas.
Suatu studi stabilitas sediaan Ticlopidine menunjukkan bahwa produk-produk
yang beredar di berbagai negara memperlihatkan karakter stabilitas yang berbeda,
yang mana pengamatan yang dilakukan adalah berupa perubahan fisik dan analisis

kandungan produk hasil penguraian, serta karakteristik disolusi bagi sediaan dalam
bentuk tablet (Pecanac et al 2000).
Kriteria stabilnya suatu obat dan sediaan farmasi adalah apabila sediaan
tersebut masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode waktu yang
ditentukan, yaitu sediaan tersebut masih menunjukkan sifat-sifat yang sama
(konstan) sesuai dengan hasil uji-uji yang dilakukan pada waktu proses produksi,
baik pada saat digunakan oleh pengguna, maupun selama periode penyimpanan,
dengan batasan waktu tertentu (Martin et al 1973).

Pemerintah melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah


mengeluarkan persyaratan uji stabilitas sediaan farmasi melalui PERMENKES..
tentang Cara Produksi Obat yang Baik.
Ketentuan stabilitas sediaan farmasi yang dikeluarkan oleh FDA adalah ..
Di dalam Good Manufacturing Practice Guide Book .
Menurut Kommanaboyina dan Rhodes 1999, tren uji stabilitas produk-produk
farmasi

akan

berkembang

sejalan

dengan

perkembangan

globalisasi

dan

harmonisasi dunia, serta indikasi perkembangan permasalahan stabilitas, yang akan


menjadi fokus perhatian para ilmuwan dan regulator di bidang farmasi dalam waktu
dekat. Perhatian akan lebih khusus diarahkan kepada pemantauan stabilitas di
dalam jalur distribusi.
Kemungkinan tidak stabilnya produk sediaan farmasi dapat disebakan
beberapa hal, seperti penurunan kadar zat-zat berkhasiat, kehilangan bahan
pembawa, kehilangan keseragaman kandungan, berkurangnya bioavailabilitas,
kehilangan bentuk fisik semula, dan terbentuknya zat-zat bersifat toksik (Rhodes
1984).

Rhodes 1984 menyebutkan, bahwa mekanisme degradasi atau penguraian


dalam sediaan farmasi umumnya meliputi mekanisme kimia, fisika, dan biologi,
bahkan melibatkan gabungan lebih dari satu mekanisme peruraian.
Berikut ini akan dibicarakan berturut-turut faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas
obat dari aspek bahan baku; aspek formulasi sediaan cair, sediaan setengah padat, sediaan
padat; dan dari aspek pengaruh bahan pengemas dan wadah; serta evaluasi dan
pengamatan stabilitas obat dan sediaan farmasi. Pembicaraan ini akan ditutup dengan
langkah-langkah dan kiat-kiat industri farmasi dalam mengatasi faktor-faktor yang
bertanggung jawab pada stabilitas produk obat.

DEFINISI DAN TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN STABILITAS


Stabilitas farmasi berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh FDA tahun
1987 dapat didefinisikan sebagai kapasitas produk obat yang tidak mengalami
perubahan dengan suatu persyaratan yang ditentukan dalam rangka menjamin
identitas, potensi, kualitas dan puritas obat tersebut.
Kualitas obat meliputi sifat-sifat biofarmasetika, sehingga dalam program
stabilitas kualitasnya, uji-uji fisik sangat berperan. Potensi obat, yang dalam hal ini
dimaksudkan berkaitan dengan ukuran kuantitatif, adalah pengukuran kandungan
aktif secara kuantitatif, serta kandungan bahan lain yang memerlukan pengukuran
kuantitatif, seperti penentuan kadar alkohol dan pengawet.

Kadar zat dianggap

konstan apabila zat yang ditentukan dengan metode analisa yang spesifik tidak
kurang dari 90% dari apa yang disebutkan dalam label, yang disebut sebagai shelf
life (Connors et al, 1979).
Stabilitas sediaan farmasi dapat ditunjukkan dengan suatu kriteria derajat
kestabilan yang masih dapat diterima dan terdapat 5 (lima) tipe stabilitas:
1. Stabilitas Kimia
Bahwa, setiap zat aktif dalam sediaan tetap memiliki sifat kimia dan potensi
sesuai dengan persyaratan baku
2. Stabilitas fisika

Bahwa sifat-sifat fisika yang semula, seperti bentuk, homogenitas, kelarutan, tidak
berubah
3. Stabilitas mikrobiologis
Bahwa sterilitas dan resistensi terhadap berkembang biaknya mikroorganisme
tetap masih memenuhi persyaratan; bahan pengawet yang terkandung masih
tetap efektif dalam batas-batas tertentu
4. Stabilitas terapeutis
menunjukkan tidak terlihatnya peningkatan
5. Stabilitas toksikologis menunjukkan tidak terlihatnya peningkatan toksisitas yang
mencolok.
Sediaan-sediaan yang tidak memenuhi persyaratan di atas dianggap tidak stabil.
Tidak adanya perubahan warna atau kristalisasi, tidak boleh dianggap sebagai
persyaratan stabilitas, karena degradasi dan interaksi kimia tetap dapat terjadi dalam
suatu sediaan tanpa perubahan fisik yang nyata (Connors et al 1979)
Stabilitas sediaan farmasi sesungguhnya diharapkan merupakan stabilitas zat
aktif obat dan bahan eksipien lainnya, sejak tahap preformulasi, tahap formulasi,
selama periode uji klinis, sampai pemantauan pada tahap distribusi dan pemasaran
(Carstensen 1990).
Fungsi stabilitas pada tahap preformulasi adalah pemeriksaan untuk
mengetahui apakah obat dan sediaan dalam keadaan tetap stabil selama uji
toxocologi, dan juga untuk membantu menyediakan informasi bagi fase lanjutan
formulasi.
Pada tahap formulasi, fungsi stabilitas adalah berperan pada pemilihan bentuk
sediaan yang paling stabil, yaitu dengan melakukan pengujian terhadap beberapa
macam formula dan membandingkan stabilitas dikaitkan dengan suatu jangka waktu.
Fungsi stabilitas pada tahap awal pada uji klinik adalah menentukan seberapa
stabil obat dan sediaan farmasi tersebut selama uji klinik. Sedangkan tahap akhir dari
uji klinik merupakan perkiraan perlunya antisipasi terhadap perubahan formula, dan

adanya data lengkap stabilitas obat dan sediaan farmasi secara statistik untuk
memperkirakan jangka waktu daluarsa (Cartensen 1990).
Jika dari tahap-tahap pemeriksaan stabilitas tersebut diharuskan adanya
perubahan formulasi produk yang sudah jadi, maka protokol pemeriksaan stabilitas
bagi setiap tahap tersebut di atas berlaku pula untuk produk baru pengganti.
Kebanyakan perusahaan farmasi mempunyai suatu kelompok preformulasi yang
bertanggung jawab dalam hal mencari data awal pendukung formulasi obat yang
stabil dan bioavailable.
Stabilitas farmasi obat dan sediaan farmasi lainnya berkaitan dengan tanggal
kadaluarsa obat dan sediaan farmasi yang bersangkutan.
REKASI FISIK DAN KIMIA PADA PROSES PENGURAIAN
Stabilitas sediaan farmasi sangat erat kaitannya dengan faktor pengaruh fisik
dan kimia. Dalam mempelajari stabilitas obat perubahan akibat pengaruh kimia dapat
diketahui dengan melakukan analisa kualitatif dan analisa kuantitatif. Analisa kualitatif
akan menentukan hasil penguraian komponen aktif, sedangkan analisa kuantitatif
akan menentukan laju dan jumlah penguraian yang terjadi.
Reaksi penguraian pada sediaan farmasi dipengaruhi oleh reaksi kimia secara
alami, dan terjadi pada laju reaksi tertentu, dimana tergantung pada kondisi
konsentrasi reaktan, temperatur, pH, radiasi, dan katalis. Reaksi-reaksi kimia yang
menyebabkan penguraian obat, yang sering terjadi antara lain :
a] Reaksi hidrolisis; yaitu reaksi penguraian suatu garam oleh air. Reaksi
hidrolisis ini dapat dipercepat oleh katalisator seperti asam atau basa yang akan
mengkonsumsi ion-ion hidrogen atau ion-ion hidroksil;
b] Reaksi oksidasi - reduksi terjadi karena adanya molekul oksigen, hidrogen dan
radikal bebas, sehingga terjadi perpindahan elektron dari suatu atom atau ion yang
terkandung di dalamnya; penambahan antioksidan dan agens pengkelat
menghambat laju reaksi.

dapat

c]. Reaksi rasemisasi; pada reaksi rasemisasi suatu senyawa optis aktif dibentuk
menjadi rasemat. Reaksi ini terjadi karena dipengaruhi oleh struktur kimianya sendiri
seperti gugus fungsional yang terikat pada atom C asimetris. Reaksi ini dapat terjadi
karena adanya perubahan temperatur, pengaruh cahaya, pH, dan sebagainya.
Suatu penelitian mengenai stabilitas sediaan cair physostigmin telah
dilaporkan. Pada penelitian ini konstanta laju penguraian minimal dari physostigmin
dilaporkan pada pH 3.4, dimana hal tersebut merupakan penguraian yang dikatalisis
oleh asam-basa. Berdasarkan percobaan tersebut, mereka menentukan shelf life
sediaan cair physostigmin , yaitu diestimasi selama 4 tahun pada temperatur ruang di
bawah kondisi anaerob (Chen dan Chiang 2000) .
Penguraian obat dan sediaan farmasi dapat diamati secara kimia berupa
pemantauan baik menurunnya kadar, bahkan hilangnya zat aktif obat, maupun
timbulnya produk hasil dekomposisi. Dalam banyak kasus, dapat terjadi lebih dari
satu produk dekomposisi. Sebagai contoh dekomposisi Aspirin dalam sistem
sederhana menjadi asam salisilat dan asam asetat, mengikuti reaksi pseudo tingkat
satu (pseudo-first-order) (Carstensen 1990)
Pengaruh akibat reaksi fisik menyebabkan perubahan pada sediaan farmasi
yang dipandang sebagai hal yang serius sebagaimana halnya perubahan kimia, baik
dari sudut pandang farmasetika maupun terapetika, seperti pembentukan kristal,
perubahan bentuk kristal, penurunan/peningkatan laju disolusi dan disintegrasi,
pecahnya emulsi, pembentukan kerak pada suspensi, pemudaran warna, timbulnya
warna, dan timbulnya endapan pada sediaan cair.
Pembentukan kristal dalam suspensi menyebabkan perubahan laju absorpsi
dan kemungkinan menurunnya tingkat keefektifan terapetik. Pembentukan kristal
pada salep atau krem dapat menyebabkan iritasi kulit, dan juga buruknya absorpsi.
Perubahan kristal pada sediaan bentuk suspensi yang mengandung steroid
menyebabkan inaktifnya bahan obat tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas fisik obat dan sediaan farmasi


adalah

pengaruh

solven,

pengaruh

temperatur

dan

kelembaban,

wadah,

penyimpanan, dan formulasi sediaan itu sendiri. Dilaporkan oleh Wolfert dan Cox
1975 bahwa obat dan sediaan farmasi yang disarankan untuk disimpan pada lemari
pendingin, akan tetap stabil namun jangka waktu stabil menjadi lebih singkat jika
disimpan pada temperatur ruang.
F AK T O R - F AK T O R Y AN G M E M P E N G A R U H I S T AB I L I T AS D A R I
AS P E K B AH AN B AK U
Penggunaan bahan baku dalam formulasi obat dan sediaan farmasi
didasarkan pada sifat fisik dan kimia dari bahan baku tersebut.

Bahan baku

berperan dalam konsep kinetika dan stabilitas, sehingga sifat bahan baku dapat
memberikan gambaran fisikokimia, kinetika dan farmakokinetika suatu bahan.
Stabilitas suatu bahan aktif baru yang tidak dapat memberikan bioabsorpsi
yang baik memerlukan tahap pemeriksaan stabilitas preformulasi. Dalam hal ini,
stabilitas lebih sebagai faktor stabilitas prodrug,

untuk memperkirakan stabilitas

bentuk formulasi sediaan, maupun stabilitas pada pH cairan lambung dan darah.
KELARUTAN
Kelarutan adalah parameter yang mudah untuk ditentukan jika bahan baku
tersedia banyak dan murah. Jika kelarutan suatu bahan baku sangat besar, maka
dapat dicari temperatur yang lebih rendah yang masih cukup untuk kondisi pelarutan
dengan cara memplot persamaan Vant Hoff dari data yang diperoleh pada
temperatur ruang. Dengan demikian, stabilitas bahan baku akan lebih baik dengan
lebih rendahnya temperatur.
Untuk bahan baku berupa polimorf stabil, maupun metastabil tetapi tidak
cenderung

membentuk

presipitasi,

maka

meningkatnya

temperatur

akan

memperbesar kelarutan, sampai pada titik tertentu dimana semua padatan telah larut
sempurna, sesuai dengan kurva laju disolusi yang umum. Namun, pada polimorf

yang metastabil, profil kelarutan mengikuti kurva laju disolusi yang pada suatu saat
akan terjadi penurunan kelarutan. Oleh karena itu, perusahaan farmasi harus
membuat profil kelarutan preformulasi untuk jangka waktu cukup panjang untuk
mengetahui hal-hal tersebut.
Selain

itu,

kelarutan

dipengaruhi

oleh

adanya

produk

dekomposisi

mempengaruhi kelarutan. Dekomposisi terjadi pada bahan-bahan baku yang bersifat


kurang stabil. Kelarutan bahan baku menjadi berbeda dibandingkan bahan baku
murni tanpa adanya produk dekomposisi. Oleh karena itu, sebaiknya dibuat uji
terhadap adanya produk dekomposisi dengan cara melarutkan sejumlah besar
bahan, kemudian supernatan diesei terhadap bahan baku dan produk dekomposisi
yang telah diketahui senyawa kimianya.
PENENTUAN pK
Banyak bahan baku obat yang mempunyai sifat asam dan basa, sehingga
mempunyai nilai pK

tertentu. pK adalah konstanta keseimbangan reaksi antara

bentuk terion dengan tidak terion, dimana jika zat bersifat asam, maka yang
dimaksud adalah konstanta keseimbangan reaksi bentuk anion A - dan bentuk asam
HA.
Penentuan pK dipandang perlu, karena faktor ini akan membantu pelarutan
bahan obat tersebut dan sifat larutan obat. Beberapa metode penentuan dapat
dilakukan. Metode klasik sederhana, seperti titrasi, menentukan pK berdasarkan
jumlah titer yang diperlukan untuk mencapai kesetimbangan reaksi. Metode
spektrofotometri didasarkan pada perbedaan absorpsivitas molar bentuk terion dan
tidak terion pada panjang gelombang tertentu. Metode terakhir paling dipilih karena
sangat mudah dan cepat, serta akurat.
KINETIKA
Studi kinetika adalah penting dilakukan pada tahap preformulasi. Jika bahan
yang tersedia sedikit, maka studi ini yang paling disarankan dilakukan dibandingkan

studi-studi lainnya. Dengan studi kinetika, produk dekomposisi dapat diketahui,


sehingga dapat diantisipasi perubahan konsentrasi bahan obat aktif yang mungkin
terjadi pada preformulasi.
HIGROSKOPISITAS
Higroskopisitas adalah faktor yang berpotensi dalam pengambilan lembab
(moisture uptake), dalam hal semakin larut zat semakin kecil tekanan uap air, pula
sebagai faktor kinetik dalam hal mengatasi rendahnya kelarutan zat.
KOMPATIBILITAS
Kompatibilitas

dapat

merupakan

kompatibilitas

kimia

maupun

fisik.

Kompatibilitas fisik adalah interaksi bahan obat dengan faktor fisik, seperti
kelembaban. Sedangkan kompatibilitas kimia adalah interaksi bahan obat dengan
bahan lain dalam formulasi, yaitu bahan eksipien.
Penggunaan

bahan

eksipien

dalam formulasi

harus dipertimbangkan

kompatibilitasnya dengan bahan aktif obat. Untuk sediaan larutan dan suspensi studi
kinetika memberikan informasi optimasi stabilitas, seperti bufer yang digunakan, pH
optimum, dan sebagainya. Untuk sediaan parenteral, kompatibilitas terhadap bahan
pengemas menjadi faktor dapat mempengaruhi stabilitas obat. Untuk sediaan padat,
faktor kompatibilitas lebih rumit lagi. Bahan eksipien, baik yang digunakan dalam
jumlah besar, maupun yang dalam jumlah kecil, seperti pelincir, harus berinteraksi
langsung dengan bahan obat dalam suatu campuran bineri, untuk kemudian diproses
pencetakan tablet dengan segala kriteria sifat fisikokimia tablet yang diinginkan
selain dengan bahan aktifnya.
Faktor kompatibilitas bahan eksipien ini lebih banyak ditentukan oleh
kebijakan perusahaan yang bersangkutan.
PENCAMPURAN BAHAN AKTIF
Pada campuran dua atau lebih bahan obat aktif, harus dipertimbangkan
pengaruh satu dengan yang lainnya terhadap perubahan titik lelehnya. Kedua

10

campuran obat dapat menjadi bentuk campuran sempurna jika berada pada kondisi
dimana titik eutektik tercapai. Titik eutektik adalah komposisi paling ideal dari kondisi
suatu campuran yang baik pada suatu temperatur optimum yang disebut temperatur
eutetkik (Carstensen 1990).
Cara liofilisasi adalah bentuk yang berkembang sekarang ini, yang dapat
mengatasi masalah titik leleh. Pada cara ini, bahan-bahan dilarutkan, kemudian
keringbekukan, baru kemudian campuran disimpan sebagai bentuk kering. Tanpa
kondisi ada air, campuran akan lebih stabil.
F AK T O R - F AK T O R Y AN G M E M P E N G A R U H I S T AB I L I T AS D A R I
AS P E K FORM U L AS I
SEDIAAN CAIR
Tingkat Reaksi
Kestabilan suatu sediaan farmasi berhubungan erat denga laju reaksi kinetika.
Laju reaksi kimia dapat dikatakan sebagai laju bertambahnya konsentrasi hasil reaksi
atau berkurangnya konsentrasi reaktan. Jika suatu reaktan mempunyai konsentrasi
C pada waktu t, maka laju bertambahnya hasil reaksi yang berkonsentrasi x adalah
dx/dt. Laju reaksi akan berubah dengan berubahnya konsentrasi reaktan. Laju reaksi
dapat dihitung jika telah diketahui lebih dahulu tingkat reaksinya (Connors 1979)
Tingkat reaksi adalah penjumlahan pangkat dari konsentrasi-konsentrasi
reaktan sesuai dengan yang ditunjukkan pada laju reaksi. Tingkat reaksi tidak selalu
sama dengan koefisien reaksi, karena tingkat reaksi bergantung pada mekanisme
reaksi dan biasanya diperoleh dari hasil percobaan (Connors 1979; Martin et al 1973)
Tingkat reaksi dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu dengan metode
substitusi, metode grafik, dan metode waktu paruh. Pada metode substitusi, data
yang diperoleh dari suatu studi kinetika dapat disubstitusikan ke dalan persamaan
integral masing-masing tingkat reaksinya. Bila pada persamaan tersebut ditemukan

11

bahwa harga k yang didapat konstan dalam batas variasi percobaan, reaksi ini
dianggap mengikuti tingkat reaksi tersebut.
Pada metode grafik, tingkat suatu reaksi dapat ditentukan dengan jalan
memplot berbagai fungsi konsentrasi terhadap waktu. Bila reaksi tingkat nol, maka
grafik konsentrasi terhadap waktu berupa garis lurus. Bila reaksi tingkat satu, maka
grafik logaritma konsentrasi terhadap waktu adalah berupa garis lurus. Bila reaksi
tingkat dua, maka grafik 1/konsentrasi terhadap waktu berupa garis lurus. Hal
tersebut berlaku bila konsentrasi mula-mula semua reaktan sama. Kedua metode itu
menggunakan persamaan sebagai berikut:
Reaksi order nol,

Ct = Co kt

Reaksi order satu

ln Ct = ln Co kt

Pada metode waktu paruh, untuk reaksi tingkat nol, waktu paruh sebanding
dengan konsentrasi mula-mula a, yang dinyatakan dengan persamaan :
t = a/2K
sedangkan untuk reaksi tingkat satu, waktu paruh tidak bergantung pada konsentrasi
awal, yang dinyatakan dengan persamaan :
t = 0.693 /k
Kebanyakan zat mengalami penguraian mengikuti reaksi tingkat nol dan
reaksi tingkat satu (Connors 1979; Carstensen 1990)
Laju reaksi tingkat nol (zero order reaction) tidak bergantung pada konsentrasi
reaktan, tetapi ditentukan oleh faktor lain, seperti jumlah cahaya yang diserap dalam
reaksi katalitik, laju reaksi salah satu konsentrasi reaktan (Connors 1979; Carstensen
1990).
Pengaruh temperatur terhadap laju reaksi
Umumnya reaksi menjadi lebih cepat bila dipanaskan, jadi harga konstanta
laju reaksi, K, semakin besar. Kenaikan temperatur 10 C akan mempercepat reaksi 2
sampai 3 kali lebih cepat,hingga reaksi yang berjalan lambat pada temperatur kama
dapat berjalan lebih cepat pada temperatur tinggi (Connors et al; Martin et al 1973)

12

Pengaruh temperatur terhadap laju reaksi dinyatakan dalam persamaan


Arrhenius di bawah ini :
k = A e Ea/RT
atau
log k = log A (Ea/2,303 RT)
dimana k adalah konstanta laju reaksi, A adalah faktor frekwensi, Ea adalah energi
aktivasi, R adalah konstanta gas, dan T adalah temperatur absolut ( K). Persamaan
ini dapat digunakan untuk memprediksi shelf life suatu sediaan farmasi. Dengan
memplot nilai log k terhadap 1/T akan menghasilkan garis lurus dengan perpotongan
pada ordinat adalah log A dan slop Ea/2,303R. Persamaan Arrhenius ini kemudian
digunakan untuk uji stabilitas dipercepat.

Pada uji stabilitas dipercepat

dilakukan penyimpanan sediaan farmasi pada suhu tinggi. Nilai-nilai k diperoleh dari
reaksi obat pada temperatur tinggi dengan jalan memplot berbagai fungsi konsentrasi
terhadap waktu. Bila logaritma konstanta laju reaksi tersebut diplot terhadap 1/T,
maka akan diperoleh suatu garis lurus. Sehingga kita dapat memprediksikan nilai k
pada temperatur kamar.
Profil pH
Keasaman suatu larutan akan berakibat terhadap stabilitas obat di dalam
larutan. Perubahan pH dalam sediaan cair dapat terjadi karena ketidakstabilan
tersebut. Oleh karena itu pH harus dipertahankan tetap, yaitu dengan penambahan
bufer. Peran bufer adalah memperlambat laju penguraian atau dekomposisi bahan
obat akibat keasaman.
Penentuan profil pH merupakan faktor penting untuk mengelusidasi kisaran
pH optimum, dan juga untuk memilih sistem bufer yang sesuai. Namun, pada
konsentrasi yang sangat berbeda, antara konsentrasi rendah dengan konsentrasi
tinggi, maka profil pH akan berbeda, sehingga hal ini harus pula diperhatikan.

13

Pelarut
Pelarut memberikan pengaruh terhadap laju hidrolisis, yang diakibatkan oleh
efek konstanta dielektrik.
Faktor Fisik
Pada sediaan cair, pada penyimpanan yang lama, walaupun belum mencapai
kondisi daluarsa, dapat terjadi timbulnya endapan. Hal ini tidak menimbulkan
pengaruh terhadap kandungan kimia, namun untuk produk parenteral menyebabkan
produk tal layak pakai. Untuk sediaan oral, hal tersebut tidak diharapkan karena
menimbulkan pertanyaan mengenai integritas obat yang dikandungnya.
Suatu sediaan cair injeksi kompleks vitamin B menunjukkan adanya pengaruh
stabilitas sediaan karena pengaruh sifat labil dari B12 (Fathiah 1988) ..

SEDIAAN SETENGAH PADAT


Sedian-sedain setengah padat, yaitu emulsi, suspensi, liposom dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan stabilitas kimia
dan fisika dari emulsifier, suspending agent, antioksidan, pengawet mikrobiologis,
dan senyawa aktif itu sendiri. Bahan-bahan pembantu dalam sediaan setengah pada
mempengaruhi stabilitas berdasarkan sistem dispersi dan agregasi.
Vermeulen et al 1999, melaporkan pengaruh bahan pembawa dalam formulasi
kombinasi obat antijerawat eritromisin-benzoil peroksida dalam bentuk jel topikal,
yang banyak diresepkan oleh para dokter ahli kulit karena ampuh membasmi
jerawat. Studi dilakukan berdasarkan sifat eritromisin yang tidak stabil, sehingga
dokter-dokter menyarankan untuk membuat segar campuran komponen-komponen
tersebut

oleh tenaga farmasi pada saat pasien menebus obat, dan bukan

merupakan sediaan jadi.

Namun, ternyata tidak semua bahan pembawa

14

pencampuran

memberikan

hasil

memuaskan,

seringkali

terbentuk

endapan

eritromisin, maupun agregasi dari benzoil peroksida. Untuk mengatasinya, mereka


menyarankan penggunaan pembawa hidroksietilselulosa daripada Carbopol 940

berdasarkan hasil percobaan yang mereka lakukan.


Sistem dispersi dalam sediaan setengah padat berlandaskan pada sifat
ampifilik, yaitu mengandung gugus hidrofilik dan hidrofobik. Sebagai contoh adalah
polisorbat, bagian hidrofilik adalah gugus hidroksil sorbitan yang tereterifikasi oleh
polioksi etileh glikol, sedangkan bagian hidrofobik adalah gugus hidroksil yang
teresterifikasi oleh asam lemak. Pada sistem ini konstanta distribusi menjadi faktor
stabilitas bentuk misel ini.
Bagi bahan obat yang bersifat hidrofobik akan larut pada inti hidrofobik,
sedangkan bagian hidrofilik akan berinteraksi dengan lingkungan air. Dekomposisi
bahan obat dalam sistem dispersi misel ini dipengaruhi oleh stabilitasnya di dalam
air dan di dalam inti hidrofobik, serta jumlah relatif keduanya.
Pada bentuk emulsi, sistem ini mirip dengan sistem misel tetapi fraksi hidrofilik
dan hidrofobik digantikan oleh adanya dua macam fase, yaitu fase air dan fase
minyak, dan berlaku koefisien partisi untuk penentuan stabilitas emulsi.
Suatu sediaan krem diuji formulasinya mengenai adanya pengaruh dari
gliserin yang digunakan sebagai . (

).

Pada sistem liposom bahan obat di dalam larutan air menjadi lebih stabil,
karena terlindung dari pengaruh air. Basis dalam sistem ini adalah suatu fosfolipid,
yaitu suatu sistem yang mempunyai bagian hidrofilik dan hidrofobik. Bahan obat
akan berada dilindungi oleh bagian hidrofobik membentuk agregat ke arah dalam
menghindari lingkungan air, sementara bagian hidrofilik menghadap ke lingkungan
air. Kadangkala sediaan liposom diliofilisasi untuk lebih mempertahankan stabilitas
bahan obat dalam penyimpanan, sebelum direkonstitusi dalam pelarut untuk
penggunannya.

15

Stabilitas bentuk sediaan suspensi dipengaruhi oleh banyaknya bahan obat


yang dilarutkan pada fase air. Laju dekomposis terhadap waktu mengikuti reaksi
tingkat satu atau pseudo tingkat satu. Suspensi yang pekat akan lebih stabil
dibandingkan yang encer.
SEDIAAN PADAT
Stabilitas obat dalam bentuk sediaan padat adalh paling penting, karena
formulasi-formulasi berbagai bahan obat kebanyakan dalam bentuk padat.
Dekomposisi sediaan padat yang dipaparkan pada temperatur dekomposisi,
dapat terjadi sebagai berikut : padat menjadi padat + padat; padat menjadi padat +
cair; padat menjadi cair + cair; padat menjadi padat + gas; padat menjadi cair + gas;
padat menjadi cair + cair.
Temperatur dan cahaya mempengaruhi stabilitas warna sediaan tablet.
Penggelapan warna berhubungan dengan temperatur mengikuti kinetika zero order
dan first order, tergantung bahan obat dan formulasi sediaan tablet. Pemucatan
warna dapat pula terjadi akibat pengaruh temperatur dan cahaya
Interaksi antara tablet yang satu dengan yang lain akibat kontak fisik dapat
menjadi faktor yang mempengaruhi stabilitas. Selain itu interaksi tablet dengan air
sangat besar pengaruhnya terhadap stabilitas. Pada sediaan efervesen, harus
dipertahankan tidak kontak sedikitpun dengan air, karena jika terjadi kontak akan
mengakibatkan reaksi antara asam tartrat dengan natrium bikarbonat yang
menghasilkan gas karbondioksida untuk efek gelembung. Terbentuknya gas CO2
pada kemasan akan membuat tablet lembek, gas CO2 menempel pada bagian
dalam wadah, dan efek gelembung yang diharapkan pada pemakaian tidak terjadi.
Pencegahan terhadap inkompatibilitas dalam sediaan tablet dapat dihindari
dengan teknik-teknik dan prinsip-prinsip pembuatan tablet yang berkembang saat ini.
Teknik granulasi mencegah interaksi komponen aktif yang inkompatibel, ataupun
teknik salut kompresi. Di dalam teknik salut kompresi, komponen yang satu berada
pada inti granul, yang lain pada bagian luar.

16

Bahan eksipien merupakan faktor yang mempengaruhi stabilitas tablet dan


juga sediaan kapsul. Sebagai contoh: laju disolusi tablet fenobarbital yang dibuat
dengan agens granulasi gelatin atau polietilen glikol 6.000
perubahan

dalam

penyimpanan,

sementara

yang

mengalami sedikit
dibuat

dengan

karboksimetilselulosa meningkat laju disolusinya. Laju disolusi dari zat aktif, ataupun
sediaan lain dalam tablet yang cenderung meningkat akibat pengaruh lama
penyimpanan, dapat mempengaruhi keefektifan secara terapetik untuk pengobatan.
(

).
Kalsium fosfat adalah bahan eksipien yang tidak mahal, nontoksik, dan

reprodusibel. Sukrosa merupakan bahan eksipien yang larut dalam air. Manitol
adalah eksipien yang cukup inert, dan bersifat anhidrous dan nonhigroskopis, tapi
lebih mahal daripada sorbitol. Sorbitol sebagai eksipien bersifat agak higroskopis.
Formula kompleks vitamin B telah diuji kestabilan dan pengaruh masingmasing zat aktif, yaitu B1, B6 dan B12 (Alatas 1996)
Faktor lembab pada sediaan padat mempengaruhi stabilitas bahan obat yang
dikandungnya.
Formulasi tablet yang menunjukkan absorpsi yang baik belum tentu akan
tetap baik setelah dalam penyimpanan lama.
F AK T O R - F AK T O R Y AN G M E M P E N G A R U H I S T AB I L I T AS D A R I
AS P E K B AH AN P EN GE M AS
Kesalahan dalam pengemasan produk farmasi dapat menimbulkan ketidak
absahan formulasi terstabil yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pemilihan bahan
wadah penting untuk ditentukan setelah melalui evaluasi pengaruh bahan-bahan
yang akan digunakan terhadap stabilitas produk, disamping keefektifan wadah
tersebut dalam melindungi produk selama penyimpanan di bawah pengaruh kondisi
temperatur, kelembaban, dan cahaya lingkungan yang beragam.

17

Stabilitas kerapatan wadah menjadi salah satu hal penting di dalam ketentuan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti ketebalan dinding wadah plastik, torque,
juga tutp wadah yang digunakan. Penggunaan kantong desikan diharapkan dapat
menunda pengaruh lembab dan oksigen yang menembus wadah terhadap isi (obat).

JENIS BAHAN WADAH DAN PENGEMAS


Bahan yang paling banyak digunakan sebagai komponen wadah dalam

sediaan farmasi adalah gelas, logam, plastik, dan karet.


Gelas adalah bahan wadah sediaan farmasi yang paling banyak dipilih karena
ketahanannya terhadap dekomposisi akibat kondisi atmosfer, atau oleh kandungan
bahan

padat

atau

cair

dari

berbagai

komposisi

kimia

sediaan.

Dengan

memvariasikan komposisi kimia bahan gelas, memungkinkan penyesuaian sifat kimia


dan radiasi. Gelas sebenarnya tidaklah benar-benar inert. Penglepasan alkali ke
larutan merupakan karakter bahan ini pada kondisi ruang. Pada sediaan injeksi,
ampul-ampul ditutup dengan pemanasan. Pemanasan akan menimbulkan lebih
banyak alkali yang dilepaskan, sehingga sediaan cair di dalamnya akan mengalami
perubahan pH. Pada penyimpanan lama, hal ini menjadi penting untuk diperhatikan
dan dilakukan uji-uji stabilitas sediaan tersebut. Keunggulan bahan gelas adalah
ketransparansiannya, sehingga isi di dalamnya beserta perubahan-perubahan fisik
yang terjadi di dalamnya dapat diamati secara visual.
Sejak pertengahan 1960-an plastik menjadi pilihan perusahaan farmasi
karena keringanan dan ketahanan pecahnya. Namun, polimer yang menjadi bahan
pembuatan plastik bersifat permeabel terhadap oksigen dan lembab. Sedangkan
kebanyakan bahan obat bersifat sensitif terhadap lembab dan oksigen.

PEMILIHAN BAHAN WADAH DAN PENGEMAS


Pemilihan bahan wadah dan pengemas telah diakui menjadi tahap penting

yang perlu dipikirkan secara serius oleh perusahaan farmasi dalam masalah

18

stabilitas produk obat.

Uji kompatibilitas bahan wadah dan pengemas perlu

dipertimbangkan, mengingat kondisi kompatibilitas tersebut dapat mempengaruhi


stabilitas obat. Telah dilaporkan adanya fenomena adsorpsi bahan obat oleh bahan
wadah dari poly vinyl chloride (PVC). Yang menjadi perhatian adalah, akibat adsorpsi
tersebut, kadar bahan aktif di dalam sediaan berkurang, sehingga akan
menimbulkan efek yang membahayakan dari segi terapi. Dilaporkan pula adanya
penglepasan senyawa diethylhexyl phtalate (DEHP)

dari bahan PVC ke dalam

cairan obat di dalamnya.


Pada sediaan cair, hal ini menjadi lebih serius, mengingat adanya kontak
langsung antara bahan aktif obat dengan bahan wadah. Beitz et al 1999
membandingkan stabilitas infus yang mengandung obat-obat sitotoksik dari segi
adsorpsi bahan obat oleh bahan wadah pada kondisi temperatur tertentu
menggunakan wadah dari gelas yang sudah diketahui tidak bersifat mengadsorpsi,
sebagai pembanding, dengan wadah dari bahan PVC, dan dari bahan low density
poly ethylene (LDPE). Dilaporkan ada korelasi antara temperatur penyimpanan
dengan jenis bahan wadah terhadap adsorpsi dan stabilitas obat. Daya adsorpsi
LDPE ternyata dipengaruhi sifat lipofilik bahan obat.
Faouzi et al 1999 melaporkan pengaruh DEHP terhadap kompatibilitas dan
stabilitas infus quinine dalam dekstrosa 5%. Kondisi temperatur ternyata berperan
dalam stabilitas bahan obat dalam wadah mengandung PVC. Bahan aktif akan lebih
stabil untuk waktu lebih lama pada temperatur rendah. Adanya penglepasan DEHP
yang cukup tinggi dilaporkan terpantau pada kondisi temperatur 45 0C.

Zat yang

bertanggung jawab pada penglepasan DEHP ke larutan kemungkinan adalah suatu


surfaktan non-ionik Cremophor EL, atau berdasarkan sifat lipofilik larutan tersebut.
Suatu formulas infus docetaxel yang stabil pada wadah non-PVC, seperti
gelas dan polyolefin, ternyata jika menggunakan wadah PVC akan timbul kristal
setelah 4 hari penyimpanan pada temperatur ruang. Pembentukan endapan kristal
diawali dengan terbentuknya krital jarum halus pada dinding wadah, yang mana hal

19

tersebut tidak ditemukan pada wadah-wadah lain yang disimpan sampai 4 bulan
(Thiesen dan Kramer 1999).
E V AL U A S I D A N P E N G A M AT AN S T AB I L I T AS F I S I K
Evaluasi pemilihan validasi metode uji stabilitas, serta metode aplikasi
pemeriksaan yang digunakan merupakan salah satu aspek yang paling kontroversi.
Dadgar dan Burnett 1995, menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan adanya
pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab menyangkut : Seberapa tingkatan
dampak interferensi nyata pada kesimpulan hasil pemeriksaan.
Empat isu kunci dapat diarahkan, yaitu relevansi setiap uji pilihan yang
dilakukan secara statistik ; kriteria interferensi nyata; metode eksperimen untuk
memantapkan pemilihan; kriteria penerimaan. Untuk memastikan integritas zat agar
dapat bertahan selama proses dilakukan, diperlukan metode evaluasi stabilitas yang
bermakna secara statistik.
D A F T AR B A C A A N
1. Lachman L., The Theory and Practice in Industrial Pharmacy, 2nd ed.Lea & Febiger,
NY 1970.
2. Lieberman, H.A., Pharmaceutical Dosage Form -Disperse System, Vol. 1, Marcel
Dekker, N.Y. 1988
3. Lieberman, H.A., Pharmaceutical Dosage Form -Tablets, Vol. 1, Marcel Dekker, N.Y.
1989
4. Carstensen J.T.,Drugs Stability, Marcel Dekker, N.Y.1990
5. Martin A., Physical Pharmacy, 4th. Ed., Lea & Febiger, Philadelphia, London, 1993.

Anda mungkin juga menyukai