Anda di halaman 1dari 26

FARMASI FISIKA

STABILITAS OBAT

Oleh:

Kelompok 5

260110150004 Riska Nelinda


260110150005 Qisti Fauza
260110150017 Puty Prianti Novira
260110150025 Nadia Ariati Mutiana
260110150047 Amelia Herlambang
260110150049 Clara Gracia
260110150061 James Prasetyo Laksono
260110150078 Irfan Hadi Setiana
260110150079 Lestia Anggraeni
260110150084 Yasri Husaironi Mufti
260110150089 Novi Dwi Apriliani
260110150109 Feris Dzaky Ridwan Nafis
260110150112 Ajeng Ratna Ningtyas
260110150131 Linda Febriani
260110150148 Katarina Silalahi
260110150149 Pradita Rizki Iriani
260110150161 Galuh Ayu Wandita
260110152002 Azizul Hakim Bin Sulaiman
260110152007 Safuraa Binti Kasman Bokti
FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2017
I. PENGERTIAN
1.1. Stabilitas Obat
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia.
Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan. Tujuan pengujian stabilitas obat adalah untuk memberikan bukti
tentang mutu suatu obat atau suatu produk obat yang berubah seiring waktu di bawah
pengaruh faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan cahaya. Pedoman ICH
membagi dunia menjadi zona iklim, yatu I-IV, dan pengujian stabilitas untuk
menetapkan masa edar suatu produk harus dilakukan sesuai dengan kondisi iklim di
tempat produk obat tersebut akan dipasarkan (Watson, 2009).
Jenis-jenis penguraian yang paling umum terjadi dalam obat murni dan obat
formulasi mengikuti kinetika orde nol atau orde pertama (Watson, 2009).
Beberapa prinsip dan proses laju stabilitas yang berkaitan dimasukkan dalam
rantai peristiwa ini:
1. Kestabilan dan tak tercampurkan
Proses laju umumnya adalah sesuatu yang menyebabkan ketidakaktifan obat
melalui penguraian obat, atau melalui hilangnnya khasiat obat karena perubahan fisik
dan kimia yang kurang diinginkan dari obat tersebut.
2. Disolusi
Disini diperhatikan terutama kecepatan berubahnya obat dalam bentuk sediaan
padat menjadi bentuk larutan molekular.
3. Proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi
Beberapa proses ini berkaitan dengan laju absorpsi obat ke dalam tubuh, laju
ditribusi obat dalam tubuh dan laju pengeluaran obat setelah proses distribusi dengan
berbagai faktor, seperti metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh lemak, dan
melalui jalur-jalur pelepasan.
4. Kerja obat pada tingkat molecular
Obat dapat dibuat dalam bentuk yang tepat dengan menganggap timbulnya
respons dari obat merupakan suatu proses laju (Martin, 2008).

Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi, antara lain
stabilitas bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dengan bahan tambahan, proses
pembuatan bentuk sediaan, kemasan, cara pengemasan dan kondisi lingkungan yang
dialami selama pengiriman, penyimpanan, penanganan dan jarak waktu antara
pembuatan dan penggunaan. Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi cahaya
dan udara (khususnya oksigen, karbon dioksida dan uap air) juga mempengaruhi
stabilitas. Demikian pula faktor formulasi seperti ukuran partikel, pH, sifat dari air
dan sifat pelarutnya dapat mempengaruhi stabilitas (Osol, dkk, 1980).
Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang amat penting
untuk suatu hasil produksi yang baik. Ketidakstabilan produk obat dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan sampai dengan hilangnya khasiat obat, obat
dapat berubah menjadi toksis, atau terjadinya perubahan penampilan sediaan (wama,
bau, rasa, konsistensi dan lain-lain) yang akibatnya merugikan bagi si pemakai.
Ketidakstabilan suatu sediaan farmasi dapat dideteksi melalui perubahan sifat fisika,
kimia serta penampilan dari suatu sediaan farmasi. Besarnya perubahan kimia sediaan
farmasi ditentukan dari laju peruraian obat melalui hubungan antara kadar obat
dengan waktu, atau berdasarkan derajat degradasi dari suatu obat yang jika dipandang
dari segi kimia, stabilitas obat dapat diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar
selama penyimpanan. Secara fisiologis, larutan obat harus diformulasikan sedekat
mungkin ke pH stabilitas optimumnya karena besarnya laju reaksi hidrolitik
dipengaruhi/dikatalisis oleh gugus hidroksi (Lachman, dkk, 1986).
Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan dengan cara
kinetika kimia. Cara ini praktis digunakan dalam bidang farmasi. Hal-hal yang
penting diperhatikan dalam penentuan kestabilan suatu zat kinetika kimia adalah:
1. Kecepatan reaksi
Kecepatan atau laju suatu reaksi diberikan sebagai ± dC/dt. Artinya terjadi
penambahan (+) atau pengurangan (-) konsentrasi C dalam selang waktu dt. Menurut
hukum aksi massa, laju suatu reaksi kimia sebanding hasil kali dari konsentrasi molar
reaktan yang masing-masing dipangkatkan dengan angka yang menunjukkan jumlah
molekul dari zat-zat yang ikut serta dalam reaksi.
2. Orde reaksi
Dari hukum aksi massa, suatu garis lurus di dapat bila laju reaksi diplot sebagai
fungsi dari konsentrasi reaktan dipangkatkan dengan bilangan tertentu. Orde reaksi
keseluruhan adalah jumlah pangkat konsentrasi-konsentrasi yang menghasilkan
seluruh garis lurus. Orde bagi tiap reaktan adalah pangkat dari tiap konsentrasi
reaktan. Stabilitas obat adalah suatu pengertian yang mencakup masalah kadar obat
yang berkhasiat. Batas kadar obat yang masih tersisa 90 % tidak dapat lagi atau
disebut sebagai sub standar waktu diperlukan hingga tinggal 90 % disebut umur obat.
Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, diantaranya :
a. Metode substitusi
Data yang terkumpul dari hasil pengamatan jalannya suatu reaksi
disubstitusikan ke dalam bentuk integral dari persamaan berbagai orde reaksi. jika
persamaan itu menghasilkan harga K yang tetap konstan dalam batas-batas variasi
percobaan, maka reaksi dianggap berjalan sesuai dengan orde tersebut.
b. Metode grafik
Plot data dalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde reaksi
tersebut. Jika konsentrasi di plot terhadap t dan didapat garis lurus, reaksi adalah orde
nol. Reaksi dikatakan orde pertama bila log (a-x) terhadap t menghasilkan garis lurus.
Suatu reaksi orde kedua akan memberikan garis lurus bila 1/ (a-x) diplot terhadap t
(jika konsentrasi mula-mula sama). Jika plot 1 /(a-x)² terhadap t menghasilkan garis
lurus dengan seluruh reaktan sama konsentrasi mula-mulanya, reaksi adalah orde
ketiga.
c. Metode waktu paruh
Dalam reaksi orde nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi awal, waktu
paruh reaksi orde pertama tidak bergantung pada a; waktu paruh untuk reaksi orde
kedua, dimana a = b  sebanding dengan 1/a dari dalam reaksi orde ketiga, dimana a =
b= c, sebanding dengan 1/a². Umumnya berhubungan antar hasil di atas
memperlihatkan waktu paruh suatu reaksi dengan konsentrasi seluruh reaktan sama.
3. Kekuatan ion
Pengaruh kekuatan ion terhadap kecepatan reaksi dapat dilihat dari persamaan
berikut:
Log K = log ko + 1,02 zAzB μ
Dimana :
K  = Konstanta kecepatan penguraian pada kekuatan ion tertentu
ko   = Konatanta kecepatan penguraian pada kekuatan ion = 0
z    = Muatan ion
μ    = Kekuatan ion
4. Pengaruh pH
Reaksi penguraian beberapa larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan
asam (H+) atau basa (OH-). Katalisator ini disebut katalisator asam basa khusus.
Misalnya pada reaksi hidrolisa ester (S) dalam air (R).
5. Faktor Lain
Sejumlah faktor lain diketahui dapat mempengaruhi kecepatan reaksi.
Diantaranya adalah konsentrasi, temperature, pelarut, katalis dan sinar.
Diketahui pada beberapa percobaan kecepatan berbagai reaksi bertambah antara
dua atau tiga kalinya tiap kenaikan temperatur sebesar 10°C.

Penerapan prinsip fisika kimia tertentu pada pelaksanaan pengkajian stabilitas


telah terbukti sangat mengntungkan pengambangan sediaan stabil. Hanya pendekatan
itu yang memungkinkan pemaNfaatan data yang diperoleh dari penyimpanan dalam
kondisi yang melebihi keadaan normal secara tepat dan memadai, untuk maksud
meramalkan stablitas pada  penyimpanan normal selama jangka waktu yang lama.
Sangat penting bagi produsen dari produk baru pada penyimpanan normal dari data
penyimpanan dipercepat, dikarenakan keuntungan ekonomis besar yang diperoleh
dari pemasaran produk baru secepat mungkin setelah formulasinya selesai (Connors,
1992).
Apabila bentuk sediaan dari suatu obat diubah, (misalnya dengan dilarutkan
dalam suatu cairan, diserbuk atau pun ditambahkan bahan-bahan penolong lain), atau
juga dilakukan modifikasi terhadap kondisi lingkungan dari obat itu sendiri yaitu
misalnya dengan mengubah-ubah kondisi penyimpanannya dan lain sebagainya,
maka dengan demikian stabilitas obat yang bersangkutan mungkin juga akan
terpengaruh (Howard, 1989).
Stabilitas merupakan suatu kemampuan produk obat atau kosmetik agar dapat
mempertahankan spesifikasi yang diterapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk
(Djajadisastra, 2004). Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya
penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan memberikan penampilan, bau,
warna, dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik (Martin, dkk, 2008).
Beberapa fenomena yang menjadi parameter dalam menentukan ketidakstabilan
fisik dalam emulsi yaitu:
a. Creaming
Creaming merupakan peristiwa pembentukan agregat dari bulatan fase dalam
yang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke permukaan emulsi atau
jatuh ke dasar emulsi tersebut daripada partikel-partikelnya sendiri (Martin, dkk,
2008).
b. Koalesen
Koalesen merupakan proses penipisan atau terganggunya lapisan Film
antardroplet sehingga menyebabkan adanya fusi dari dua atau lebih droplet yang
ukurannya menjadi lebih besar dari ukuran semula (Ansel, 1989).
c. Cracking
Kerusakan yang paling besar dari emulsi adalah cracking. Pada fenomena ini
emulsi terpisah menjadi dua fase yaitu fase minyak dan fase air dan tidak dapat
bercampur meskipun dilakukan pengocokan (Ansel, 1989).

Selain uji stabilitas fisik, ada juga uji stabilitas kimia pada emulsi. Uji stabilitas
kimia pada emulsi salah satunya adalah dengan cara menganalisis perolehan kembali
zat aktif yang terkandung dalam emulsi. Stabilitas kimia dari molekul sediaan
merupakan hal yang sangat penting karena berhubungan dengan efek dan keamanan
dari suatu produk obat. Pedoman dari FDA dan ICH menyebutkan berbagai
persyaratan untuk uji stabilitas yang bertujuan untuk mengetahui kualitas bahan obat
dan produk obat seiring dengan perubahan waktu dibawah pengaruh berbagai kondisi
lingkungan.
Studi tentang stabilitas molekul membantu untuk memilih formula yang tepat
dan pengemasan yang baik sekaligus untuk mengetahui kondisi penyimpanan serta
umur simpan. Studi stabilitas ini mencakup studi stabilitas jangka panjang, studi
stabilitas dipercepat. Studi jangka panjang dilakukan selama 12 bulan dan studi
dipercepat dilakukan dalam waktu 6 bulan. Selain itu, ada juga forced degradation
studies yang dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, yaitu dalam hitungan
minggu. Hasil dari forced degradation studies ini dapat digunakan untuk
pengembangan indikasi dari metode yang digunakan dalam studi jangka panjang dan
dipercepat (M. Blessy, dkk, 2013).

1.2 Laju Reaksi


Laju reaksi didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi per satuan waktu.
Satuan yang umum adlah mol dm-3-1. Umumnya laju reaksi meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi. Konstanta laju didefinisikan sebagi laju reaksi bila
konsentrasi dari masing-masing jenis adalah satu. Satuannya bergantung pada orde
reaksi (Dogra, 1990).
Berdasarkan jumlah molekul yang bereaksi, reaksi terdiri atas :
1. Reaksi unimolekular : hanya 1 mol reaktan yang bereaksi
Contoh : N2O5  N2O4 + ½ O2
2. Reaksi bimolekular : ada 2 mol reaktan yang bereaksi
Contoh : 2 HI  H2 + I2
3. Reaksi termolekular : ada 3 mol reaktan yang bereaksi
Contoh : 2 NO + O2  2NO2

Berdasarkan banyaknya fasa yang terlibat, reaksi terbagi


menjadi :
1. Reaksi homogen : hanya terdapat satu fasa dalam reaksi
(gas atau larutan)
2. Reaksi heterogen : terdapat lebih dari satu fasa dalam
reaksi
Secara kuantitatif, kecepatan reaksi kimia ditentukan oleh orde
reaksi, yaitu jumlah dari eksponen konsentrasi pada persamaan
kecepatan reaksi (Moore, 2003).

1.3. Molekularitas
Banyaknya molekul yang diambil bagian dalam suatu tahap dasar dikenal
sebagai molekularitas. Orde dan molekularitas dari suatu yahap dasar adalah sama.
Tetapi untuk reaksi kompleks ini mungkin tidak demikian, misalnya molekularitas
dari masing-masing reaksi dasar mempunyai molekularitas dua dan juga merupakan
suatu reaksi kompleks tetapi ordenya satu (Dogra, 1990).

1.4. Orde Reaksi


Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk matematika dimana hasil
percobaan dapat ditunjukan. Orde reaksi hanya dapat di hitung secara experimen dan
hanya dapaa diramalkan jika suatu mekanisme reaksi diketahui ke seluruh orde reaksi
yang dapat ditentukan sebagai jumlah dari eksponen untuk masing-masing reaktan,
sedangkan harga eksponen untuk masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi
untuk komponen itu (Dogra, 1990).
a. Reaksi Orde Nol
Pada reaksi orde nol, kecepatan reaksi tidak tergantung pada
konsentrasi reaktan. Persamaan laju reaksi orde nol dinyatakan
sebagai :
dA
- dt = k0
A - A0 = - k 0 . t

A = konsentrasi zat pada waktu t


A0 = konsentrasi zat mula – mula
Contoh reaksi orde nol ini adalah reaksi heterogen pada
permukaan katalis (Moore, 2003).
b. Reaksi Orde I
Kinetika orde pertama pada penguraian obat telah banyak dipelajari dan jenis
penguraian ini merupakan jenis umum hidrolisis suatu obat didalam larutan (Watson,
2009).
Pada reaksi prde satu, kecepatan reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi
reaktan. Persamaan laju reaksi orde satu dinyatakan sebagai:
dA
- dt = k1 [A]
dA
- [ A] = k1 dt
[ A0]
ln [ A] = k1 (t – t0)
Bila t = 0  A = A0
ln [A] = ln [A0] - k1 t
[A] = [A0] e-k1t
Tetapan laju (k1) dapat dihitung dari grafik ln [A] terhadap t, dengan k1 sebagai
gradiennya.
gradien = -k1
ln [A]0

t
A]
Grafik ln [A] terhadap t untuk reaksi orde satu

Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang dibutuhkan agar konsentrasi reaktan
hanya tinggal setengahnya. Pada reaksi orde satu, waktu paruh dinyatakan sebagai :
1 1
k1 = t1/2 ln 1/2
0,693
k1 = t 1/2 (Moore, 2003).
c. Reaksi Orde II
Dalam reaksi orde II, laju berbanding langsung dengan kuadrat konsentrasi dari
satu reaktan atau dengan hasil kali konsentrasi yang meningkat sampai pangkat satu
atau dua dari reaktan-reaktan tersebut.
Persamaan laju reaksi untuk orde dua dinyatakan sebagai :
dA
- dt = k2 [A]2
dA
- [ A]2 = k2 t
1 1
[ A] - [ A0] = k2 (t – t0)
Tetapan laju (k2) dapat dihitung dari grafik 1/A terhadap t dengan k2 sebagai
gradien = -k2

gradiennya.
ln 1/[A]0

t
1/[A]
Gambar Grafik ln 1/[A] terhadap t untuk reaksi orde dua

Waktu paruh untuk reaksi orde dua dinyatakan sebagai :


1
t1/2 = k 2[ A 0] (Moore, 2003).
d. Reaksi Orde III
Dalam suatu reaksi orde III dapat dilihat tiga kasus berbeda.
 Kasus I
Laju berbanding langsung dengan pangkat tiga konsentrasi dari suatu reaktan
−d [ R]
=k ¿
dt
 Kasus II
Laju sebanding dengan kuadrat konsentrasi dari reaktan dan pangkat satu dari
konsentrasi reaktan kedua
[R ¿¿ 2]
−d =k ¿ ¿
dt
 Kasus III
Laju sebanding dengan hasil kali konsentrasi dari ketiga reaktan
[R ¿¿ 1]
−d =k ¿ ¿
dt
e. Reaksi Orde Semu
Pada reaksi ini, konsentrasi satu atau lebih dari satu reaktan jauh melebihi
konsentrasi reaktan lainnya atau salah satu reaktan bekerja sebagai katalis. Karena
konsentrasi dari jenis-jenis ini hampir tetap sama dan dapat dianggap konstan, maka
orde reaksi akan berkurang, misalnya hidrolisis dari ester-ester yang dikatalisis oleh
asam-asam, dan orde dari reaksi tersebut adalah satu jika air dalam keadaan berlebih
(Dogra, 1990).
II. Jenis Jenis Stabilitas
Secara umum terdapat lima jenis stabilitas yaitu :
1. Stabilitas Kimia, tiap zat aktif mempertahankan keutuhan kimiawi dan
potensiasi yang tertera pada etiket dalam batas yang dinyatakan dalam
spesifikasi.
2. Stabilitas Fisika, mempertahankan sifat fisika awal, termasuk penampilan
kesesuaian, keseragaman, disolusi, dan kemampuan untuk disuspensikan.
3. Stabilitas Mikrobiologi, sterilisasi atau resistensi terhadap pertumbuhan
mikroba dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang tertera. Zat antimikroba
yang ada mempertahankan efektifitas dalam batas yang ditetapkan.
4. Stabilitas Farmakologi, efek terapi tidak berubah selama usia guna sediaan.
5. Stabilitas Toksikologi, tidak terjadi peningkatan bermakna dalam toksisitas
selama usia guna sediaan.

1. Stabilitas Fisika
Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk
yang tergantung waktu (periode penyimpanan). contoh dari perubahan fisika antara
lain : migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa, perubahan bau, perubahan tekstur
atau penampilan. Evaluasi dari uji stabilitas fisika meliputi : pemeriksaan
organoleptik, homogenitas, ph dan bobot jenis.
Kriteria stabilitas fisika:
a. Penampilan fisika meliputi; warna, bau, rasa, tekstur, bentuk sediaan
b. Keseragaman bobot
c. Keseragaman kandungan
d. Suhu
e. Disolusi
f. Kekentalan
g. Bobot jenis
h. Visikositas
Sifat fisik meliputi hubungan tertentu antara molekul dengan bentuk energi
yang telah ditentukan dengan baik atau pengukuran perbandingan standar luar
lainnya.
Contoh ketidakstabilan Fisika
a. Perubahan struktur kristal
b. Perubahan kondisi distribusi (fenomena pemisahan pada sistem cairan banyak fase)
c. Perubahan konsisitensi atau kondisi agregat
d. Perubahan perbandingan kelarutan
e. Perubahan perbandingan hidratasi senyawa

2. Stabilitas Farmakologi
Aktivitas senyawa bioaktif disebabkan oleh interaksi antara molekul obat
dengan bagian molekul dari obyek biologis yaitu resptor spesifik. Untuk dapat
berinteraksi dengan reseptor spesifik dan menimbulkan aktivitas spesifik, senyawa
bioaktif harus mempunyai stuktur sterik dan distribusi muatan yang spesifi pula.
Dasar dari aktivitas bioogis adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari
saat obat diberikan sampai terjadinya respons biologis.
Fasa-fasa yang mempengaruhi aktivitas obat:
a. Fasa farmasetik
Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu ketersediaan senyawa aktif
untuk dapat diabsorpsi oleh sistem biologis. Untuk dapat diabsorpsi senyawa obat
harus dalam bentuk molekul dan mempunyai lipofilitas yang sesuai. Bentuk molekul
senyawa dipengaruhi oleh nilai pKa dan pH lingkungan (lambung pH= 1-3 dan usus
pH = 5-8).
Pada fasa I selain sifat molekul obat, seperti kestabilan terhadap asam lambung
dan larutan dalam air, formulasi farmasetis dan bentuk sediaan yang digunakan juga
penting untuk aktivitas obat.

b. Fasa Farmakokinetik
Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah proses absorpsi molekul obat
yang mengahasilkan ketersediaan biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam cairan
darah (Ph = 7,4) yang akan didistribusikan ke jaringan atau organ tubuh. Fasa III
adalah fasa yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan ekresi obat, yang
menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor berbeda. Fasa I,
II dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat mencapai jaringan target.
c. Fasa Farmakodinmik
Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah tahap interaksi molekul
senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau reseptor pada jaringan target, yang
dipengaruhi oleh ikatan kimia yang terlibat. Fasa V adalah induksi rangsangan,
dengan melalui proses biokimia, menyebabkan terjadinya respons biologis.

3. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat untuk
mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang tercantum pada etiket
dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan dan pengolahan data merupakan
langkah menentukan baik buruknya sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak
menutup kemungkinan adanya parameter lain yang harus diperhatikan. Data yang
harus dikumpulkan untuk jenis sediaan yang berbeda tidak sama, begitu juga untuk
jenis sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat bervariasi tergantung
pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-lain.
Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia, kimiafisik, dan kerja
farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat pembantu (data sekunder).
Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai karena beberapa faktor diantaranya ialah,
oksigen (oksidasi), air (hidrolisa), suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida
(turunnya pH larutan), sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi
jelasnya faktor luar juga mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu,
kelembaban udara dan cahaya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Kimia:
a. Hidrolisis
Ikatan amida juga dapatt terhidrolisa meskipun kecepatan hidrolisanya lebih
lambat disbanding ester. Sebagai contoh prokain akan terhidrolisa apabila di autoklaf,
tetapi senyawa prokainamid tidak terhidrolisa.
Gugus laktam dan azometin (imine) dalam benzodiazepine juga dapat
tehidrolisis. Faktor kimia yang dapat menjadi katalis dalam reaksi hidrolisi adalah pH
dan senyawa kimia tertentu (contohnya dextrose dan tembaga dalam kasus hidrolisa
ampisilin).
b. Epimerisasi
Senyawa tetrasiklin paling umum mengalami epimerisasi. Reaksi terjadi dengan
cepat ketika obat dilarutkan dan terpapar dg pH lebih dari 3, mengakibatkan
terjadinya perubahan sterik pd gugus dimetilamin. Bentuk epimer dari tetrasiklin
seperti epitetrasiklin tidak memiliki aktifitas anti bakteri.
c. Dekarboksilasi
Beberapa asam senyawa asam karboksilat terlarut seperti para-amini salisilic
acid dapat kehilangan CO2 dari gugus karboksil ketika dipanaskan. Produk urainya
memiliki potensi farmakologi yang rendah. Beta-keto dekarboksilasi dpt terjadi pada
beberapa antibiotik yg memiliki gugus karbonil pada beta karbon dari asam
karboksilat atau anion karboksilat. Dekarboksilasi akan terjadi pada beberapa
antibiotik : Carbenicillin sodium, Carbenicillin free acid, Ticarcillin sodium,
Ticarcillin free acid.
d. Dehidrasi
Dehidrasi yg dikatalisis oleh asam pd gol tetrasiklin menghasilkan senyawa
epianhidrotetrasiklin, senyawa yg tdk memiliki efek anti bakteri dan memiliki efek
toksisitas

e. Oksidasi
Struktur molekular yang dapat mudah teroksidasi adalah gugus hidroksil yang
terikat langsung pada cincin aromatik (contoh pd katekolamin dan morfin), gugus
dien terkonjugasi (vit A dan asam lemak tak jenuh), cicin heterosiklik aromatik,
gugus turunan nitroso dan nitrit dan aldehid (flavoring). Produk hasil oksidasi
biasanya memiliki efek terapetik lebih rendah. Identifikasi secara visual bisa terlihat
pada perubahan warna contohnya pada kasus efineprin. Oksidasi dapat dikatalisa oleh
pH ion logam contohnya tembaga dan besi, paparan terhadap oksigen, UV.
f. Dekomposisi fotokimia
Paparan pada UV dapat menyebabkan oksidasi (foto oksidasi) dan fotolisis
pada ikatan kovalen. Nipedipin, nitroprusin, ribovlavin, dan fenotiazin sangat tidak
stabil terhadap foto oksidasi.
g. Kekuatan Ion
Efek dari jumlah elektrolit yang terlarut terhadap kecepatan hidrolisis
dipengaruhi oleh kekuatan ion pada interaksi inter ionik. Secara umum konstanta
kecepatan hidrolisis berbanding tebalik dengan kekeuatan ion dan sebaliknya dengan
muatan ion, sebagai contoh obat-obat kation yang diformulasikan dengan bahan
tambahan anion.
h. Perubahan Nilai pH
Degradasi dari banyak senyawa obat dalam larutan dapat dipercepat atau
diperlambat secara ekponensial oleh nilai pH yg naik atau turun dari rentang pH nya.
Nilai pH yang di luar rentang dan paparan terhadap temperatur yang tinggi adalah
faktor yang mudah mengkibatkan efek klinik dari obat secara signifikan, akibat dari
reaksi hidrolisis dan oksidasi. Larutan obat atau suspensi obat dapat stabil dalam
beberapa hari, beberapa minggu, atau bertahun-tahun pada formulasi aslinya, tetapi
ketika dicampurkan dengan larutan lain yg dapat mempengaruhi nilai pH nya,
senyawa aktif dapat terdegradasi dalam hitungan menit.

Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau basa lemah dan
garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair ditambahkan untuk
mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya degradasi obat minimum.
Pengaruh pH pada kestabilan fisik sistem dua fase contohnya emulsi juga penting,
sebagai contoh kestabilan emulsi intravena lemak dirusak oleh pH asam.
i. Interionik
Kelarutan dari muatan ion yg berlawanan tergantung pada jumlah muatan
ionnya dan ukuran molekulnya. Secara umum ion2 polivalen dengan muatan
berlawanan bersifat inkompatibel. Jadi inkompatibilitasnya lebih mudah terjadi
dengan penambahan sejumlah besar ion dengan muatan yang berlawanan.
j. Kestabilan bentuk padat
Reaksi pada kondisi padat relatif bersifat lambat, kecepatan degradasinya
dikarakterisasi sesuai dengan kecepatan kinetik orde 1 atau sesuai dengan kurva
signoid. Sehingga obat-obat berbentuk padat dengan titik leleh yang rendah tidak
boleh dikombinasikan dengan bahan kimia lain yang dapat membentuk campuran
uetectic.
Pada kondisi kelembaban yang tinggi, kecepatan dekomposisinya berubah
sesuai dengan kecepatan kinetik orde nol, karena  kecepatan dekomposisinya diatur
secara relatif oleh fraksi kecil dari obat yang muncul pada larutan jenuh yang
letaknya pada permukaan atau atau di dalamnya.
k. Temperatur
Secara umum kecepatan reaksi kimia meningkat secara eksponensial setiap
kenaikan 10 derajat suhu. Faktor nyata yg mengakibatkan kenaikan kecepatan reaksi
kimia ini adalah karena aktifasi energi. Waktu simpan obat pd suhu ruang biasanya
akan berkurang ¼ atau 1/25 dari waktu simpan di dalam refrigrator.

Temperatur dingin juga dapat mengakibatkan ketidakstabilan. Sebagai contoh


refrigerator dapat mengkibatkan kenaikan viskositas pada sediaan cair dan
menyebabkan supersaturasi pada kasus lain, dingin atau beku dapat merubah ukuran
droplet pd emulsi, dapat mendenaturasi protein atau pada kasus tertentu dapat
menyebabkan kelarutan beberapa polimerik obat dapat berkurang.

4. Stabilitas Mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan di mana tetap sediaan
bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas miroorganisme hingga batas
waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat aktif obat, zat tambahan serta berbagai
bentuk sediaan dan cara pemberian obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan
memiliki karakteristik fisika-kimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap
kontaminasi mikroorganisme dan/atau memang sudah mengandung mikroorganisme
yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi menyebabkan penyakit,
efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan kosmetik.
Oleh karena itu farmakope telah mengatur ketentuan mengenai kandungan
mikroorganisme pada sediaan obat maupun kosmetik dalam rangka memberikan hasil
akhir berupa obat dan kosmetika yang efektif dan aman untuk digunakan atau
dikonsumsi manusia. Stabilitas mikrobiologi diperlukan oleh suatu sediaan farmasi
untuk menjaga atau mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan
mikroorgansme yang terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu
yang diinginkan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Mikrobiologi:
a. Faktor Sifat Fisika-Kimia Zat aktif  dan Zat tambahan
Sifat fisika kimia zat aktif maupun zat tambahan dapat mempengaruhi stabilitas
mikrobiologi sediaan. Zat yang bersifat higroskopik atau hidrofilik rentan terhadap
kontaminasi mikroorganisme. Hal ini berhubungan dengan adanya air yang
merupakan media pertumbuhan bagi mikroorganisme.

b. Faktor Kontaminasi dari Bahan Baku dan Proses


Bahan baku alami dalam bantuk air yang bebas serbuk atau granula dapat
menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme, virus atau pun toksin mikroba. Analisa
terhadap bahan-bahan ini dapat menunjukkan keberadaan bakteri, spora Clostridium,
Staphylococci, kapang dan khusunya toksin fungi/jamur. Kemungkinan keberadaan
mereka mungkin sudah ada semenjak tahap persiapan produksi. Bahan alami yang
diekstrak, diproduksi maupun disediakan dalam bantuk cair juga rentan terhadap
kontaminasi mikroorganisme. Cara pengawetan yang tidak tepat ketiga digunakan
utuk menghasilkan produk dalam bentuk larutan, disperse atau pun emulsi dapat
mendukung pertumbuhan mikroorganisme Gram negative seperti Enterobacter spp.,
E. coli, Citrobacter spp., Pseudomonas spp dan lainnya.

5. Stabilitas Toksikologi
Stabilitas toksikologi adalah ukuran yang menujukkan ketahanan suatu
senyawa/bahan akan adanya pengaruh kimia, fisika, mikrobiologi dan farmakologi
yang tidak menyebabkan peningkatan toksisitas secara signifikan.
Efek toksik dapat dibedakan, menjadi :
a. Efek toksik akut, mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat toksik
b. Efek toksik kronis, zat toksik dalam jumlah kecil diabsorpsi sepanjang jangka
waktu lama, terakumulasi, mencapai konsentrasi toksik akhirnya timbul
keracunan.
Toksisitas jangka panjang, efek toksik baru muncul setelah periode waktu laten
yang lama sebagai contoh kerja karsinogenik dan mutagenik. Penggolongan
toksikologi dengan cara lain berdasarkan jenis zat dan keadaan yang mengakibatkan
kerja toksik, yaitu: kerja/efek tidak diinginkan, keracunan akut pada dosis berlebih,
pengujian terhadap toksisitas dan toleransi pada fase praklinik.
Zat kimia disebut xenobiotik (xeno = asing), dimana setiap zat kimia baru harus
diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara luas.

Faktor-faktor yang menyebabkan toksisitas adalah:


a. Dosis
Dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Untuk setiap zat kimia,
termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali atau dosis
besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian.
b. Faktor bahan penyusun
1) Stabilitas bahan aktif
2) Bahan pembantu
3) Dapar
Merupakan suatu campuran asam lemah dengan garamnya atau basa lemah
dengan garamnya. tujuannya adalah untuk mempetahankan pH, meningkatkan
stabilitas obat, meningkatkan kelarutan obat, efek terapetik. Kriteria pemilihan dapar,
yaitu: dapar mempunyai kapasitas yang memadai dalam kisaran pH yang dinginkan
(untuk mempertahankan stabilitas obat maka daparnya kecil), dapar harus aman
secara biologis, dapar tidak mempunyai efek merusak stabilitas produk, dan
memperbaiki rasa dan warna yang dapat diterima 
4) Pengawet
Kemungkinan kontaminasi selama pembuatan, penyimpanan dan penggunaan.
Sumber kontaminan; berasal dari manusia, bahan obat, bahan tambahan, lingkungan,
alat-alat dan bahan pengemas. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas pengawet:
koefisien distribusi liphoid-air yang dipilih pengawet yang larut, harga pH karena
pengawet yang dapat menimbulkan aktivitas adalah pengawet yang tidak terdisosiasi
atau terdapat dalam bentuk molekul yang dapat menembus membran, konsentrasi,
ada yang menghambat pertumbuhan dan juga mematikan sel, Suhu (dengan kenaikan
suhu berarti terjadi kenaikan aktivitas pengawet)

5) Antioksidan
Terjadinya oksidasi karena dipengaruhi oleh: harga pH semakin tinggi harga
pH semakin rendah potensial redoks sehingga oksidasinya semakin lancer, cahaya
sebab cahaya mengandung energi foton yang dapat meningkatkan atau mempercepat
proses oksidasi, maka molekul-molekul obat semakin reaktif, O2 atau kandungan O2
akan meningkatkan proses oksidasi, Ion logam berat berfungsi sebagai katalisator
proses oksidasi
Pertimbangan-pertimbangan dalam memilih antioksidan antara lain adalah
harus efektif pada konsentrasi yang menurun, tidak toksik, tidak merangsang, dan
tidak menimbulkan OTT, larut dalam pembawa dan dapat bercampur dengan bahan
lainnya.
c. Faktor Luar
1) Cara pembuatan
2) Bahan pengemas
d. Kondisi Penyimpanan (Suhu, Tekanan, Kelembapan dan Cahaya)
Suhu penyimpanan sediaan harus dijelaskan karena menyangkut aspek stabilitas
dan masa kadaluwarsa sediaan.
Suhu penyimpanan menurut farmakope indonesia terdiri dari:
1) Dingin adalah pada suhu tidak lebih dari 8°C.
2) Sejuk adalah penyimpanan pada suhu antara 8°C dan 15°C.
3) Suhu Kamar adalah penyimpanan pada suhu ruang kerja. Suhu kamar
terkendali adalah suhu yang diatur antara 15°C dan 30°C. 
4) Hangat adalah penyimpanan pada suhu antara 30°C dan 40°C.
5) Panas berlebih adalah penyimpanan pada suhu di atas 40°C.
Perlindungan dari pembekuan selain resiko kerusakan kemasan (wadah),
pembekuan suatu sediaan (artikel) dapat menyebabkan kehilangan kekuatan / potensi,
atau merusak dan mengubah sifat sediaan. Pada etiket / label kemasan harus
dicantumkan petunjuk untuk melindungi sediaan / artikel dari pembekuan.
Penyimpanan di bawah kondisi tidak khusus jika tidak ada petunjuk khusus
penyimpanan atau pemabatasan dalam monografi, maka kondisi penyimpanan
termasuk perlindungan terhadap kelembapan, pembekuan dan panas berlebihan.
Tidak tergantung dari karakter jalannya proses jalannya penguraian (perubahan
kimia, fisika dan mikrobiologis) adalah terpenting untuk mengetahui waktu yang
mana bahan obat atau sistem bahan obat dibawah persyaratan lingkungan tertentu.
Untuk mendeteksi perbandingan stabilitas maka dipakai 2 metode yaitu:
1. Tes daya tahan waktu panjang, yang mengantarkan bahwa obat selama ruang
waktu yang diminati disimpan di bawa persyaratan penyimpanan (suhu, cahaya,
udara dan kelembapan) yang dituntut atau diharapkan di dalam lemari
pendingin atau ruang pendingin dan dalam jarak waktu yang cocok dan pada
akhir percobaan dikontrol kandungan bahan obat atau nilai efektifnya, sifat
mikrobiologis, maupun sifat sensoris dan keadaan galeniknya yang dapat
dideteksi dengan metode fisika.
2. Tes daya tahan dipercepat, dilakukan dibawah pembebanan panas, dengan ini
digunakan membuat peraturan kinetika reaksi, lagi pula penguraian dipelajari
pada suhu yang lebih tinggi daripada suhu ruang dan kemudian
diekstrapolasikan pada suhu penyimpanan (Voight, 1995).

III. Penyebab
Stabilitas obat adalah bahwa obat, bahan obat, sediaan obat jika disimpan di
wadah penyimpanan-penyimpanan tertentu di dalam pengemasannya tertentu untuk
penyimpanan dan lalu lintasnya tidak atau hanya berubah dalam skala yang diijinkan
dalam sifat khas kualitasnya yang penting yaitu : kandungan bahan aktifnya, keadaan
galeniknya, termasuk sifat yang dilihat secara sensorik, sifat mikrobiologis dan
toksikologisnya, dan aktivitas secara terapetiknya (Voigt, 1995).

Faktor penyebab kestabilan obat, yaitu :


1) Labilitas bahan obat dan bahan pembantunya sendiri yang dihasilkan oleh
bangun kimia dan sifat fisika kimianya
2) Faktor luar seperti suhu, kelembapan udara, dan cahaya yang dapat
mempercepat reaksi dari obat
(Martin, 2008).
Laju atau kecepatan suatu reaksi diberikan sebagai ± dc/dt artinya terjadi
penambahan atau pengurangan konsentrasi dalam selang waktu dt. Pada masa ini,
analisis kestabilan obat yang merupakan kriteria buatan yang tidak didasarkan pada
prinsip – prinsip dasar kinetik. Perkiraan waktu penyimpanan harus diikuti dengan
analisis yang dirancang hati –hati untuk bermacam – macam bahan dalam tiap produk
jika hasilnya ingin cukup berarti (Moechtar, 1990).
Penstabilan obat dipengaruhi oleh :
a. Perubahan fisika
Peristiwa perusakan stabilitas; seperti perubahan struktur kristal yang
menunjukkan sifat polimorfi. Perubahan ini dapat terjadi selama penyimpanan, tidak
terlihat secara organoleptis, tetapi menyebabkan perubahan dalam pelepasan dan
reabsorbsinya. Usaha penstabilan; digunakan metode dan stabilisator fisika. Misalnya
pecahnya emulsi dapat diperbaiki melalui homogenisasi dan penambahan emulgator
yang cocok dalam konsentrasi optimal
b. Perubahan kimia
Reaksi kimia yang merugikan daya tahan seperti hidrolisis, oksidasi, reduksi,
dekarboksilasi, dan polimerisasi dapat berlangsung dalam sistem homogen seperti
larutan, ataupun sistem heterogen seperti suspense (Voigt, 1995).
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H..C, 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi IV. Jakarta: UI-press.
Connors, K.A. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi, Edisi Kedua. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Djajadisastra, J. 2004. Cosmetic Stability. Depok: Departemen Farmasi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Dogra, S.K dan S. Dogra. 1990. Kimia Fisika dan Soal-soal. Jakarta: UI-Press.
Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L. 1986. Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Blessy, M. Ruchi D. Patel, Prajesh N. Prajapati, dan Y.K. Agrawal. 2013.
Development of forced degradation and stability indicating studies of drugs
review. India: Department of Pharmaceutical Analysis, Institute of Research
and Development.
Martin, A. 2008 Farmasi Fisika, Edisi II. Jakarta: UI Press.
Moore, John T. 2003. Kimia For Dummies. Bandung: Pakar Raya.
Osol, A., dkk. 1980. Remington's Pharmaceutical Sciences, l6th Edition. Easton-
Pensivania: Mack Publishing Company.
Voight, R. 1995. Buku Pedoman Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.
Watson, David. 2010. Analisis Farmasi. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai