Anda di halaman 1dari 74

1

Luka Tak Kunjung Sembuh


Seorang pereempuan berusia 58 tahun memeriksakan diri ke poliklinik
karena luka dikakinya sejak 2minggu yang lalu tak kunjung sembuh. Dokter
memberitahu bahwa berat badannya turun 15 kg sejak kunjungan sebelumnya.
Selain berat badannya turun drastis, pasien juga merasa sering lapar akhir-akhir
ini dan lebih sering makan dari biasanya. Ia juga mengatakan sering haus dan
sering buang air kecil. Dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan GDS,
GDP, G2PP, dan HbA1C. dari hasil lab, dokter memberikan terapi metformin oral
dan menganjurkan pola makan serta olahraga teratur sesuai kemampuan.
STEP 1
1. GDS (Gula Darah Sewaktu) adalah pemeriksaan yang dilakukan sewaktuwaktu tanpa berpuasa terlebih dahulu.
2. GDP (Glukosa Darah Puasa) adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
berpuasa sebelum pemeriksaan gula darah (8 jam tidak mendapatkan
tambahan kalori).
3. HbA1C adalah pemeriksaan Hb yang berikatan dengan glukosa.
4. G2PP adalah Pemeriksaan gula darah 2 jam pasca pembebanan
5. Metformin adalah obat golongan biguanid yang meningkatkan sensitisasi
terhadap insulin.
STEP 2
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Mengapa luka pasien tak kunjung sembuh?


Mengapa pasien sering merasa haus lapar dan sering buang air kecil?
Mengapa berat badan pasien menurun padahal pasien makan banyak?
Apa tujuan dokter menyarankan pemeriksaan GDS, GDP, G2PP, HbA1C?
Mengapa dokter memberikan terapi metformin?
Bagaimana pola makan dan Olahraga yang dianjurkan?
Bagaimana pendekatan klinis pada kasus tersebut?

STEP 3
1. Mengapa luka pasien tak kunjung sembuh?
Karena hiperglikemia (pada pasien DM) menyebabkan glukosa menyerap
air yang ada di plasma darah, menyebabkan viskositas darah meningkat,
sehingga viskositas darah yang meningkat akan mengakibatkan Luka pada

pasien diabetes militus sulit sembuh karena terhambatnya proses


pembekuan darah.
2. Mengapa pasien sering merasa haus lapar dan sering buang air kecil?
Polidipsi

Hiperglikemia

Glukosuria
Diuresis Diosmotik
Poliuria
Polidipsi
Keseimbangan kalori tubuh
Penurunan BB

Lapar

3. Mengapa berat badan pasien menurun padahal pasien makan banyak?


Gangguan metabolisme menyebabkan gula darah tidak dapat dirubah
menjadi energy sehingga tubuh menganggap tidak ada gula untuk dirubah
menjadi energi, akhirnya memecah lemak untuk menghasilkan energy, jika
ini terus berlangsung, maka akan menyebabkan BB pasien menurun.
4. Apa tujuan dokter menyarankan pemeriksaan GDS, GDP, G2PP, HbA1C?
Karena dokter mencurigai pasien tersebut terkena DM, serta pemeriksaan
ini dilakukan untuk mengetahui kadar gula darah pasien, apakah dalam
batas normal, atau tidak.
5. Mengapa dokter memberikan terapi metformin?
Metformin bekerja untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Seperti kita
telah ketahui bahwa DM terjadi salah satunya adalah akibat adanya

resistensi insulin. Obat ini adalah obat yang pertama kali diberikan pada
penderita yang baru diketahui menderita DM. Selain itu metformin juga
bekerja menghambat terbentuknya glukosa oleh hepar. Hepar merupakan
organ terbesar tubuh yang dapat menyimpan cadangan glukosa dalam
bentuk glikogen. Glikogen ini akan diubah menjadi glukosa bila tubuh
membutuhkan asupan glukosa.
6. Bagaimana pola makan dan Olahraga yang dianjurkan?
a) Pola makan pasien diabetes, dianjurkan untuk mengkonsumsi:
Karbohidrat : 55-65% perhari
Lemak
: 10-15 % perhari
Protein
: 20-25% perhari
b) Olah raga untuk pasien diabetes
5-6 kali dalam 1 minggunya selama 30 menit, sesuai kemampuan
pasien.

7. Bagaimana pendekatan klinis pada kasus tersebut?


a) Anamnesis
Pasien dapat mengeluh gejala diabetes militus, seperti beberapa
keluhan berikut:
1) Penurunan berat badan drastic
2) Polidipsia
3) Poliuria
4) Polifagia
5) Mudah lelah
6) Sering kesemutan
7) Luka yang sulit sembuh
8) Disfungsi ereksi (laki-laki)
9) Pruritus vulva (perempuan)
b) Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan beberapa tanda berikut dan merupakan
komplikasi DM
1) Hipertensi (Tekanan darah meningkat diatas normal)
2) Kardiomegali
3) Oedem
c) Pemeriksaan Penunjang
1) GDS
2) GDP
3) G2PP
4) Hb1AC
d) Diagnosis Banding
DM type 1 dan DM type 2

STEP 4
1. Mengapa luka pasien tak kunjung sembuh?
Karena hiperglikemia (pada pasien DM) menyebabkan glukosa menyerap
air yang ada di plasma darah, menyebabkan viskositas darah meningkat,
sehingga viskositas darah yang meningkat akan mengakibatkan Luka pada
pasien Diabetes Militus sulit sembuh karena terhambatnya proses
pembekuan darah.
2. Mengapa pasien sering merasa haus lapar dan sering buang air kecil?
Polidipsi

Hiperglikemia

Glukosuria

Diuresis Diosmotik

Poliuria

Polidipsi

Keseimbangan kalori tubuh

Penurunan BB

Lapar

3. Mengapa berat badan pasien menurun padahal pasien makan banyak?


Gangguan metabolisme menyebabkan gula darah tidak dapat dirubah
menjadi energy sehingga tubuh menganggap tidak ada gula untuk dirubah
menjadi energi, akhirnya memecah lemak untuk menghasilkan energy, jika
ini terus berlangsung, maka akan menyebabkan Berat badan pasien
menurun.
4. Apa tujuan dokter menyarankan pemeriksaan GDS, GDP, G2PP, HbA1C?
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT), yang ditegakkan bila hasil
pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL
dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO
< 140 mg/dL. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yang ditegakkan bila
kadar glukosa plasma 2 jam setelah meminum larutan glukosa TTGO
antara 140 199 mg/dL
Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM:
Bukan DM

Belum Pasti DM

DM

Kadar glukosa darah

Plasma vena

<100

100-199

200

sewaktu (mg/dL)
Kadar glukosa darah

Darah kapiler

<90

90-199

200

Plasma vena

<100

100-125

126

puasa (mg/dL)

Darah kapiler

<90

90-99

100

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di


Indonesia PERKENI tahun 2011
5. Mengapa dokter memberikan terapi metformin?
Metformin bekerja untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Seperti kita
telah ketahui bahwa DM terjadi salah satunya adalah akibat adanya
resistensi insulin. Obat ini adalah obat yang pertama kali diberikan pada
penderita yang baru diketahui menderita DM. Selain itu metformin juga
bekerja menghambat terbentuknya glukosa oleh hepar. Hepar merupakan

organ terbesar tubuh yang dapat menyimpan cadangan glukosa dalam


bentuk glikogen. Glikogen ini akan diubah menjadi glukosa bila tubuh
membutuhkan asupan glukosa.
6. Bagaimana pola makan dan Olahraga yang dianjurkan?
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut:
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.
Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya
diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi
300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan
nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein sebaiknya
diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe, karena
tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi
penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan
menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak
dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang
kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih.
Disamping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar
umumnya kaya akan vitamin dan mineral.

7. Bagaimana pendekatan klinis pada kasus tersebut?

1) Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu


200 mg/dL
2) Mengalami gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma puasa 126
mg/dL
3) Kadar gula plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) 200 mg/dL
4) Pemeriksaan HbA1C 6.5%

Penatalaksanaan
DIABETES
MILITUS

Patofisiologi

Pendekatan
kliis

Klasifikasi DM

Penatalaksananan
TYPE 1

TYPE 2
Anamnesis

PF

PP

DD

STEP 5
1. Bagaimana etiologi dan patogenesis dari DM ?
2. Apa indikasi dilakukannya pemeriksaan gula darah?
3. Bagaimana terapi untuk diabetes militus
a) Type 1
b) Type 2
4. Apa saja diagnosis banding dari kasus?
STEP 6
Belajar mandiri

STEP 7
1. Organ yang berperan dalam pengaturan gula darah yaitu:
a. Hepar
Sumber utama glukosa plasma adalah absorpsi glukosa oleh usus
yang berasal dari pemecahan makanan, glukoneogenesis (pembentukan

glukosa dari prekursor non-glukosa) dan glikogenolisis (pemecahan


simpanan glikogen menjadi glukosa) (Guyton, 2012).
Proses pengaturan kadar glukosa plasma merupakan mekanisme
homeostasis yang diatur sedemikian rupa dalam rentang yang sempit
dan diatur dengan halus. Kadar glukosa plasma tidak boleh menurun
terlalu rendah karena glukosa merupakan satu-satunya sumber energi
yang dapat digunakan oleh otak dan eritrosit. Kadar glukosa plasma
juga tidak boleh meningkat terlalu tinggi karena dapat mempengaruhi
tekanan osmotik dan bila kadar glukosa plasma sangat tinggi akan
menyebabkan dehidrasi seluler (Guyton, 2012).
Pengaturan kadar glukosa plasma melibatkan hepar, jaringan
ekstrahepatik dan beberapa hormon. Sel-sel hepar dapat dilewati
glukosa dengan bebas melalui transporter GLUT 2, sedangkan pada
jaringan ekstrahepatik glukosa memerlukan transporter yang diatur oleh
insulin untuk dapat masuk kedalam sel. Dalam pengaturan kadar
glukosa plasma, selain insulin juga dibutuhkan peranan dari glukagon.
Kedua hormon tersebut merupakan hormon yang disekresikan oleh sel
pankreas. Sel pankreas mensekresikan insulin dan sel pankreas
mensekresikan glukagon (Guyton, 2012).
Insulin bekerja untuk menurunkan kadar glukosa plasma dengan
cara meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan lemak dan otot
melalui transporter GLUT 4. Insulin juga akan mengaktivasi enzim
glikogen sintase dan menghambat enzim fosforilase. Glikogen sintase
merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam polimerisasi
monosakarida membentuk glikogen, sedangkan fosforilase merupakan
enzim yang bertanggung jawab dalam pemecahan glikogen menjadi
glukosa. Dengan demikian insulin akan menyebabkan peningkatan
glikogenesis dan menghambat glikogenolisis (Guyton, 2012).
Glukagon

menyebabkan

peningkatan

glikogenolisis

dan

glukoneogenesis. Glukagon meningkatkan glikogenesis dengan cara


mengaktivasi adenil siklase dan meningkatkan cAMP intraseluler pada
hepar. Hal ini akan mengaktivasi fosforilase melalui protein kinase

10

sehingga terjadi pemecahan glikogen. Dengan adanya glukagon maka


glukoneogenesis juga akan meningkat (Ganong, 2012).
Pada keadaan puasa, sebagian besar glukosa tubuh berada pada
insulin-independent tissue yaitu 50% berada pada jaringan otak, 25%
berada pada hepar dan saluran pencernaan, sedangkan 25% berada pada
insulin-dependent tissue yaitu otot dan jaringan lemak. Kadar glukosa
plasma akan menurun karena pasokan sumber glukosa yang berasal dari
absorbsi usus terhenti. Namun hal ini akan segera direspon oleh tubuh.
Terjadinya penurunan kadar glukosa plasma akan merangsang sel
pankreas untuk merespon dengan mensekresikan glukagon. Seperti
yang telah dijelaskan diatas glukagon bekerja dengan meningkatkan
glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga meningkatkan kadar
glukosa plasma (Guyton, 2012).
Pada beberapa jam puasa tubuh mulai menggunakan energi yang
berasal dari simpanan energi. Sekitar 75% glukosa yang disekresikan
oleh hepar berasal dari pemecahan glikogen. Dalam keadaan ini kadar
glukosa plasma masih konstan. Hal ini akan menjaga kadar glukosa
plasma untuk utilisasi organ seperti otak. Namun cadangan glikogen
dalam hepar hanya terbatas dan lama-kelamaan akan menipis. Setelah
seseorang puasa selama 8-12 jam maka hampir seluruh simpanan
glikogen dalam hati akan terkuras. Oleh karena itu di dalam hepar mulai
dilakukan proses glukoneogenesis (Guyton, 2012).
Glukoneogenesis merupakan pembentukan glukosa dari senyawa
non-karbohidrat. Prekursor glukoneogenesis ini merupakan produk
akhir dari metabolisme karbohidrat (piruvat, laktat), lemak (gliserol)
dan protein (asam amino). Mekanisme glukoneogenesis ini juga
merupakan cara untuk membersihkan produk metabolisme jaringan dari
dalam darah seperti laktat yang dihasilkan oleh otot dan eritrosit serta
gliserol yang dihasilkan oleh jaringan lemak (Guyton, 2012).
Sesaat setelah makan, kadar glukosa plasma akan meningkat dan
mencapai puncak sekitar 60 menit setelah makan, jarang melebihi 140
mg/dl dan kembali pada kadar sebelum makan setelah 2-3 jam.

11

Peningkatan kadar glukosa plasma ini akan menstimulasi sekresi insulin


oleh sel pankreas. Sekresi insulin, selain distimulasi oleh peningkatan
kadar glukosa darah, juga distimulasi oleh produksi hormon inkretin
oleh

usus.

Insulin

akan

meningkatkan

penyimpanan

glukosa,

menghambat pembentukan glukosa oleh hepar dan meningkatkan


ambilan glukosa oleh sel otot dan lemak sehingga menyebabkan
penurunan kadar glukosa plasma. Kombinasi dari hiperinsulinemia dan
hiperglikemia ini akan menstimulasi ambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan jaringan splanchnic yaitu hepar dan usus, penyimpanan
glukosa dalam bentuk glikogen oleh hepar dan pembentukan
triaselgliserol oleh asam lemak (Guyton, 2012).
b. Hipofisis
Sistem saraf pusat dihubungkan dengan hipofisis melalui
hipotalamus, merupakan hubungan yang paling nyata antara system
saraf pusat dan system endokrin. Kelenjar hipofosis memberi respon
terhadap releasing hormon - hormon tropik hipofisis, hormon-hormon
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis diangkut bersama darah dan
merangsang kelenjar-kelenjar lain, menyebabkan pelepasan hormonhormon kelenjar sasaran. Akhirnya, hormon-hormon kelenjar sasaran
bekerja pada neuromekanisme atau pada sel-sel hipofisis dan
memodifikasi sekresi hormon. Modalitas pengaturan umpan balik yang
lain dimana substansi metabolic yang diatur oleh hormon tersebut.
Contoh misalnya insulin dan glukosa, respon terhadap insulin akan
mengubah kadar glukosa dalam darah. Ketika kadar glukosa meningkat,
insulin disekresi. Jika kadar glukosa turun, insulin dihentikan.
Walaupun beberapa hormon hipofisis dapat mempengaruhi pelepasan
insulin secara tidak langsung. Oleh karena itu, dalam karbohidrat yang
sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorpsi
terutama di dalam duodenum dan jejunum. Sesudah di absorpsi, kadar
glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya
akan kembali lagi ke kadar semula (Guyton, 2012).

12

c. Pankreas
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam
amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan
normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan
kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk
keperluan regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi glukosa
darah yang baik diatur bersama dengan hormon glukagon yang
disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas (Kramer, 1995).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor
hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan
enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga
terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembunggelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi
dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan
peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan
secara bersamaan melalui membran sel (Kramer, 1995).
Mekanisme diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses
metabolisme secara normal, karena fungsi insulin memang sangat
dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada dalam darah. Kadar
glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin.
Disamping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat
pula memiliki efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta.
Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan
sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang
cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas
(Kramer, 1995).
Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin,
setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah
proses glukosa melewati membrane sel. Untuk dapat melewati
membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose

13

transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di


dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa.
Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar
kedalam sel jaringan tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang
terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya
glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini
penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan
mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan
untuk tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K
channel pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya
pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap
depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan
Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca
sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini
dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup
rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan (Kramer, 1995).
Seperti disinggung di atas, terjadinya aktivasi penutupan K
channel tidak hanya disebabkan oleh rangsangan ATP hasil proses
fosforilasi glukosa intrasel, tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa
faktor lain termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan tersebut,
misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja pada reseptor
tersendiri, tidak pada reseptor yang sama dengan glukosa, yang disebut
sulphonylurea receptor (SUR) pada membran sel beta (Kramer, 1995).
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan
kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga
sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan, sekresi insulin
normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti
glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang
dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah agar selalu
dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa maupun setelah mendapat
beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang berlangsung

14

secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam


batas-batas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang
fisiologis (Ward, 1984).
Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah
sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel
beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR)
biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang
diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya
meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan
adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa yang normal karena
pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal
diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme
glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat
dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau
lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala
akibat yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif
(Ward, 1984).

15

Gambar 1.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi
Glukosa (Kramer, 1995).
Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2
(sustained phase, latent phase), dimana sekresi insulin kembali
meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama.
Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya
diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung
relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan
ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah di akhir fase 1,
disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya.
Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi
dalam bentuk peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan
produksi insulin tersebut pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi
kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam
batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi
insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini
(Gambar 1.2) diperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan
normal, Toleransi Glukosa Terganggu (Impaired Glucose Tolerance =
IGT), dan Diabetes Mellitus Tipe 2 (Ward, 1984).
Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh
aksi insulin yang juga normal di jaringan (tanpa resistensi insulin),

16

sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal. Dengan demikian tidak


dibutuhkan tambahan (ekstra) sintesis maupun sekresi insulin pada fase
2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia.
Ini adalah keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa
peninggian kadar glukosa darah yang dapat memberikan dampak
glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai dampak
negatifnya (Ward, 1984).

Gambar 1.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban


glukosa intravena pada keadaan normal dan keadaan
disfungsi sel beta (Ward, 1984).
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses
metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme karbohidrat. Hormon
ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi (pemanfaatan atau
penggunaan) glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama
pada otot, lemak, dan hepar. Pada jaringan perifer seperti jaringan otot
dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor
substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang
berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot
dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum
begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan

kuantitas

GLUT-4

(glucose

transporter-4)

dan

17

selanjutnya juga pada mendorong penempatannya pada membran sel.


Proses

sintesis

dan

translokasi

GLUT-4

inilah

yang

bekerja

memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya


mengalami metabolisme (Gambar 1.3). Untuk mendapatkan proses
metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme serta
dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang
berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi
jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi
terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2 (Girard, 1995).
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan
dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan
hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai kendaraan pengangkut
glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan
hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh.
Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh
peningkatan produksi glukosa secara endogen yang berasal dari proses
glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses ini
berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh
hormon insulin. Manakala jaringan (hepar) resisten terhadap insulin,
maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap mekanisme produksi
glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal. Semakin
tinggi

tingkat

resistensi

insulin,

semakin

rendah

kemampuan

inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan


semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar (Girard, 1995).

18

Gambar 1.3 Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport


glukosa di jaringan perifer 1. binding ke reseptor, 2. translokasi
GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa meningkat,
4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi
membran, 6. kembali kesuasana semula (Girard, 1995).
Gangguan baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan
gangguan pada metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang
ditimbulkannya. Pada dasarnya ini bermula dari hambatan dalam
utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa
darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes
melitus. Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang
paling sering ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan
oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi
insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin
(resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan (environment).
Sedangkan pada diabetes tipe 1 (DMT1), gangguan tersebut murni
disebabkan defisiensi insulin secara absolut (Girard, 1995).
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh
kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa gangguan pada fase 1
sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat). Defisiensi
insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap
homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia

19

akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan kadar glukosa darah


segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau minum)
(Girard, 1995).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin
merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan (genetik). Secara klinis,
perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan cenderung melibatkan
pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar
glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna
pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abnormalitas dari
kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal
dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta
untuk peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila
diperlukan secara substitusi insulin, disamping obat-obatan yang
berkhasiat menurunkan resistensi insulin (insulin sensitizer) (Girard,
1995).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan
kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan
menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis,
barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang
dinamakan Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai
prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme kompensasi sudah mulai
tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang mungkin secara
relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada
toleransi glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah
postprandial, atau setelah diberi beban larutan 75 g glukosa dengan Test
Toleransi Glukosa Oral (TTGO), berkisar diantara 140-200 mg/dl. Juga
dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara
100126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT) (Girard, 1995).
Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap
diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi berulangkali
setiap hari sejak tahap TGT, memberi dampak buruk terhadap jaringan

20

yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari


diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti
pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap
kerusakan jaringan baik secara langsung melalui stres oksidatif, dan
proses glikosilasi yang meluas (Girard, 1995).
Resistensi

insulin

mulai

menonjol

peranannya

semenjak

perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa


pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai
penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini
terlihat dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun
dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun hiperglikemia
masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama
mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan
gangguan makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin
tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari peningkatan
kadar glukosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu,
pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan

inhibisinya

terhadap

proses

glikogenolisis

dan

glukoneogenesis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi


glukosa dari hepar (Girard, 1995).
Hormon yang berperan dalam pengaturan gula darah yaitu:
a. Insulin
Insulin adalah hormon peptida yang diproduksi oleh sel-sel beta
dari

pankreas

dan

merupakan

pusat

pengaturan

metabolisme

karbohidrat dan lemak dalam tubuh. Insulin menyebabkan sel-sel di


hati, otot rangka, dan jaringan lemak untuk menyerap glukosa dari
darah. Dalam hati dan otot rangka, glukosa disimpan sebagai glikogen,
dan dalam sel lemak (adiposit) disimpan sebagai trigliserida (Guyton,
2012).
Masuknya glukosa ke dalam sel otot rangka dan ke jaringan
adiposa hanya melalui pembawa di membran plasma yang dikenal

21

sebagai glucose transporter. Glukosa transpoter ini adalah glucose


transporter 4 atau yang lebih dikenal dengan istilah GLUT 4. GLUT 4
ini ditemukan pada jaringan adiposa dan otot serat lintang. Insulin
meningkatkan mekanisme difusi terfasilitasi glukosa ke dalam sel-sel
tergantung insulin tersebut melalui transporter recitment. Reseptor
tersebut diinsersikan ke dalam membran plasma sebagai respon
terhadap peningkatan sekresi insulin, sehingga terjadi peningkatan
pengangkutan glukosa ke dalam sel (Guyton, 2012).
Apabila sekresi insulin berkurang, GLUT 4 tersebut sebagian
ditarik dari membran sel dan dikembalikan ke simpanan intrasel. Fungsi
hormon insulin:
1. Pengangkutan glukosa dan asam amino melewati membran
2. Pembentukan glikogen dalam hati dan otot rangka
3. Perubahan glukosa menjadi trigliserida
4. Sintesis asam nukleat
5. Sintesis protein
Terdapat lima reseptor insulin pada sel diantaranya (Bertram &
Katzung, 2012):
GLUT 1 : Semua jaringan terutama sel darah merah, otak
GLUT 2 : Sel beta pankreas, hati, ginjal, usus
GLUT 3 : Otak, ginjal, plasenta
GLUT 4 : Otot , jaringan adiposa
GLUT 5 : Usus, ginjal
b. Glukagon
Glukagon ialah suatu peptida hormon disekresikan oleh pankreas
untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Efeknya adlah kebalikan dari
insulin, yang menurunkan kadar glukosa darah. Glukagon dihasilkan
oleh sel pankreas (Guyton, 2012).
Pankreas melepaskan glukagon ketika kadar glukosa dalam darah
menurun, sehingga menyebabkan hati untuk mengkonveksi glikogen

22

yang disimpan menjadi glukosa, yang dilepaskan ke dalam aliran darah.


Sekresi glukagon dirangsang oleh (Guyton,2012):
1. Hipoglikemia
2. Epinefrin
3. Asetilkolin
Glukagon umumnya mengangkat jumlah glukosa dalam darah
dengan mempromosikan glukoneogenesis dan glikogenolisis. Glukosa
disimpan dalam hati dalam baentuk glikogen, yang merupakan pati dari
molekul glukosa. Ketika glukagon mengikat ke reseptor glukagon, selsel hati mengubah glikogen menjadi polimer molekul glukosa individu,
dan melepaskan ke dalam aliran darah yang dikenal dengan proses
glikogenolisis. Selain proses glikogenolisis, glukagon mendorong hati
dan ginjal untuk mensintesis glukosa tambahan yang dikenal dengan
glukoneogenesis. Glukagon juga mengatur tingkat produksi glukosa
melalui lipolisis (Guyton, 2012).
c. Epinefrin
Dikenal sebagai adrenalin adalah hormon dan neurotransmitter.
Epinefrin memiliki banyak fungsi dalam tubuh, epinefrin adalah salah
satu dari sekelompok monoamin yang disebut katekolamin. Hal ini
dihasilkan dalam beberapa neuron dari sistem saraf pusat, dan dalam sel
chromaffin dari medula adrenal dari asam amino fenilanin dan tirosin
(Guyton, 2012).
Epinefrin bekerja pada hampir semua jaringan tubuh. Fungsi
kerjanya berbeda berdasarkan tipe jaringan dan ekspresi jaringan
reseptor adrenergik. Adrenalin adalah nonselektif agonis dari semua
reseptor adrenergik. Epinefrin yang mengikat reseptor memicu
sejumlah perubahan metabolik. Reseptor mengikat -adrenergik
menghambat insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas, merangsang
glikogenolisis di hati dan otot, dan merangsang glikolisis dalam otot.
Reseptor -adrenergik mengikat reseptor memicu sekresi glukagon
yang dihasilkan oleh sel alfa pankreas, meningkatkan hormon

23

adrenokortikotropik (ACTH) oleh sekresi pada kelenjar pituitari, dan


meningkatkan lipolisis oleh jaringan adiposa. Bersama-sama, efek ini
menyebabkan peingkatan glukosa darah dan asam lermak, menyediakan
substrat untuk produksi energi dalam sel di seluruh tubuh (Guyton,
2012).
d. Glukokortikoid
Kortisol/ hidrokortisol adalah hormon steroid atau glukokortikoid
diproduksi oleh zona fasiculata dari korteks adrenal. Fungsi utamanya
adalah untuk meningkatkan gula darah melalui glukoneogenesis,
menekan sistem kekebalan tubuh, dan membantu dalam metabolisme
lemak, protein dan karbohidrat (Guyton, 2012).
Kortisol memainkan peranan penting dalam glikogenolisis.
Glikogenolisis dirangsang oleh epinefrin, namun kortisol memfasilitasi
aktivasi fosforilasi glikogen, yang penting untuk efek epinefrin pada
glikogenolisis. Peningkatan kadar kortisol, jika berkepanjangan dapat
menyebabkan proteolisis dan pengecilan otot (Guyton, 2012).
Mekanisme sel dasar untuk sekresi insulin dari selsel beta
pancreas sebagai respon terhadap kenaikan kadar gula darah yaitu
faktor pengatur utama sekresi insulin. Selsel beta tersebut mempunyai
sejumlah besar pengangkut glukosa (GLUT-2) yang memungkinkan
terjadinya ambilan glukosa dengan kecepatan yang sebanding dengan
nilai kisaran fisiologis konsentrasi glukosa dalam darah. Begitu berada
di dalam sel, glukosa akan terfosforilasi menjadi glukosa-6 fosfat oleh
glukokinase. Langkah ini agaknya menjadi penentu kecepatan
metabolisme glukosa di sel beta dan dianggap sebagai mekanisme
utama untuk mendeteksi glukosa dan menyesuaikan jumlah insulin
yang disekresikan denga kadar glukosa darah. Glukosa-6 fosfat
selanjutnya dioksidasi untuk membentuk adenosi trifosfat (ATP), yang
menghambat kanal kalium yang peja ATP di sel. Penutupan kanal
kalium akan mendepolarisasikan membran sel sehingga akan membuka
kanal natrium bergabung voltase. Yang sensitif terhadap voltase

24

membran. Keadaan ini akan menimbulkan aliran masuk kalsium yang


merangsang penggabungan vesikel yang berisi insulin dengan membran
sel dan sekresi insulin ke dalam cairan ekstrasel melalui eksositosis
(Guyton, 2012).
Zat-zat nutrisi lain, seperti asam amino tertentu, dapat juga
dimetabolisme oleh sel beta untuk meningkatkan akdar ATP imtrasel
dan merangsang sekresi insulin. Beberapa hormon, seperti glukagon,
gastric inhibitory peptide, dan asetilkolin akan meningkatkan kadar
kalsium intrasel melalui jaras sinyal lainnya dan memperkuat efek
glukosa, meskipun hormon-hormon ini tidak memiliki pengaruh yang
besar terhadap sekresi insulin tanpa adanya glukosa. Hormon-hormon
lainnya, yang meliputi somatostatin dan norepinefrin, menghambat
eksositosis insulin (Guyton, 2012).
Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar
tergantung dari ekstraksi glukosa, sintesis glikogen dan glukogenolisis
dalam hati. Selain itu jaringan otot dan adipose juga mempergunakan
glukosa sebagai sumber energi mereka. Jika kadar glukosa dalam darah
meningkat maka pulau langerhans pancreas sel B akan mensekresikan
Insulin untuk menganabolik glukosa, asamasam lemak dan asam
asam asmino menjadi glikogen yang akan disimpan di dalam hati
sehingga kadar glukosa dalam darah akan kembali normal.
Akan tetapi jika kadar glukosa dalam darah menurun maka pulau
langerhans pancreas sel A akan mensekresikan glukagon untuk
meningkatkan kembali kadar glukosa plasma melalui peningkatan
pemecahan

glikogen

melalui

peningkatan

katabolisme

protein

Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar tergantung


dari ekstraksi glukosa, sintesis glikogen dan glukogenolisis dalam hati.
Selain itu jaringan otot dan adipose juga mempergunakan glukosa
sebagai sumber energi mereka. Jika kadar glukosa dalam darah
meningkat maka pulau langerhans pancreas sel B akan mensekresikan
Insulin untuk menganabolik glukosa, asamasam lemak dan asam
asam asmino menjadi glikogen yang akan disimpan di dalam hati

25

sehingga kadar glukosa dalam darah akan kembali normal.


Akan tetapi jika kadar glukosa dalam darah menurun maka pulau
langerhans pancreas sel A akan mensekresikan glukagon untuk
meningkatkan kembali kadar glukosa plasma melalui peningkatan
pemecahan glikogen melalui peningkatan katabolisme protein (Guyton,
2012).
Mekanisme yang dipakai untuk mencapai pengaturan gula darah:
a. Hati berfungsi sebagai suatu sistem penyangga glukosa darah yang
sangat penting. Artinya, saat glikosa darah meningkat hingga
konsentrasi yang tinggi, yaitu sesudah makan, dan kecepatan sekresi
insulin juga meningkat, sebanyak 2/3 dari seluruh glukosa yang
diabsorpsi dari usus dalam wakstu singkat akan disimpan di hati dalam
bentuk glikogen. Lalu, selama beberapa jam berikutnya, bila
konsentrasi glukosa darah dan sekresi insulin berkurang, hati akan
melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dengan cara ini, hati
mengurangi fluktuasi konsentrasi glukosa darah sampai kira-kira 1/3
dari fluktuasi yang dapat terjadi (Guyton, 2012).
b. Fungsi insulin dan glukagon sama pentingnya dengan sistem pengatur
umpan balik untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal.
Bila konsentrasi glukosa darah meningkat sangat tinggi, sekresi insulin
akan terjadi. Insulin selanjutnya akan mengurangi konsentrasi glukosa
darah kembali ke nilai normalnya. Sebaliknya, penurunan kadar
glukosa darah akan merangsang sekresi glukagon, selanjutnya glukagon
ini akan berfungsi secara berlawanan, yakni akan meningkatkan kadar
glukosa darah agar kembali ke nilai normalnya. Pada sebagian besar
kondisi yang normal, mekanisme umpan balik insulin ini jauh lebih
penting daripada mekanisme glukagon, namun pada keadaan kelaparan
atau pemakaian glukosa yang berlebihan selama aktivitas fisik dan
keadaan stres yang lain, mekanisme glikagon juga menjadi bernilai
(Guyton, 2012).

26

c. Selain itu, pada keadaan hipoglikemia berat, timbul suatu efek langsung
akibat kadar glukosa darah yang rendah terhadap hipotalamus, yang
akan merangsang sistem saraf simpatis. Selanjutnya, hormon epinefrin
yang disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan pelepasan
glukosa lebih lanjut dari hati. Jadi, epinefrin juga membantu melindungi
agar tidak timbul hipoglikemia yang berat (Guyton, 2012).
d. Dan akhirnya, sesudah beberapa jam dan beberapa hari, sebagai
responterhadap hipoglikemia yang lama, akan timbul sekresi hormon
pertumbuhan dan kortisol, dan kedua hormon ini mengurangi kecepatan
pemakaian glukosa oleh sebagian besar sel tubuh, dan sebaliknya akan
menambah jumlah pemakaian lemak. Hal ini juga akan mengembaikan
kadar glukosa darah menjadi normal (Guyton, 2012).

Gambar 1.4 Mekanisme Pengaturan Gula


darah (Guyton, 2012).

Etiologi Diabetes Melitus

27

Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan


pasti tetapi umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab
utama dan faktor herediter memegang peranan penting.
1. Diabetes tipe 1, yang juga disebut dengan Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut
Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya
hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah) (Guyton and Hall, 2012).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM.
Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari
lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga
pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya
DM (Guyton and hall, 2012).
Virus atau mikroorganisme

akan

menyerang

pulaupulau

langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat


pula akibat respon autoimmun, dimana antibodi sendiri akan menyerang
sel beta pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran
munculnya penyakit ini (Guyton and hall, 2012).
2. Diabetes tipe 2, yang juga disebut dengan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan
peranterjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat
besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan
terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Over
weight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya
hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai
kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau
mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan
riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yangbesar (Guyton and
hall, 2012).
Pada kedua jenis diabetes mellitus, metabolisme semua bahan
makanan utama terganggu. Pengaruh mendasar resistensi atas tidak
adanya insulin terhadap metabolisme glukosa adalah mencegah efisiensi

28

penggunaan dan pengambilan glukosa oleh sebagian besar sel-sel tubuh,


kecuali oleh otak. Hasilnya, konsentrasi glukosa darah meningkat,
penggunaan glukosa oleh sel menjadi sangat berkurang dan penggunaan
protein meningkat (Guyton and hall, 2012).
Patofisiologi Diabetes Melitus
A. Diabetes tipe 1
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas
menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans.
Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post
prandial (Corwin, 2000).
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan
muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic)
sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsia) (Corwin, 2000)
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan
lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala
peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya
proses

glikogenolisis

(pemecahan

glukosa yang

disimpan)

dan

glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan


lemak

dan

terjadi

peningkatan

keton

yangdapat

mengganggu

keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin,


2000)

Kurangnya produksi insulin oleh sel beta pancreas


Kerusakan sel beta pancreas atau penyakit penyakit yang
menggangu produksi insulin dapat menyebabkan timbulnya diabetes tipe
1. Infeksi virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel
beta pankreas pada banyak pasien diabetes tipe 1, meskipun faktor
herediter juga berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel
beta terhadap gangguan gangguan tersebut. Pada beberapa kasus,
kecenderungan faktor herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta,

29

bahkan tanpa adanya infeksi virus atau kelainan autoimun (Guyton and
hall, 2012).
Kuranganya insulin mengurangi efisiensi penggunaan glukosa di
perifer dan akan menambah produksi glukosa, sehingga glukosa plasma
meningkat sampai 300-1200 mg/100ml. peningkatan kadar glukosa
plasma selanjutnya menimbulkan berbagai pengaruh diseluruh tubuh
(Guyton and hall, 2012).
Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan lebih banyak
glukosa yang masuk ke dalam tubulus ginjal untuk difiltrasi melebihi
jumlah yang dapat direabsorbsi, dan kelebihan glukosa akan dikeluarkan
kedalam urin. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 180 mg/dl,
yaitu suatu kadar yang disebut sebagai nilai ambang darah untuk
timbulnya glukosa dalam urin. Bila kadar glukosa darah meningkat
menjadi 300 sampai 500 mg/dl umumnya dijumpai pada pasien diabetes
berat yang tidak diobati, 100 gram atau lebih glukosa akan dilepaskan
kedalam urin setiap harinya (Guyton and hall, 2012).
Tingginya kadar glukosa dalam darah (kadang-kadang mencapai 8
sampai 10 kali normal pada passion diabetes yang parah) dapat
menyebabkan dehidrasi berat pada sel di seluruh tubuh. Hal ini terjadi
sebagian karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melewati
pori-pori membrane sel, dan naiknya tekanan osmotic dalam cairan
ekstrasel menyebabkan timbulnya perpindahan air secara osmosis keluar
sel (Guyton and hall, 2012).
Selain efek dehidrasi sel langsung akibat glukosa yang berlebihan,
keluarnya glukosa kedalam urin akan menimbulkan keadaan diuresis
osmotik. Diuresis osmotic adalah efek osmotic dari glukosa dalam
tubulus ginjal yang sangat mengurangi reabsorbsi cairan tubulus. Efek
keseluruhannya adalah kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin,
sehingga menyebabkan dehidrasi cairan ekstrasel, yang selanjutnya
menimbulkan dehidrasi kompensatorik cairan intrasel. Jadi gambaran
klasik dari diabetes adalah adanya poliuria, dehidrasi ekstrasel dan
intrasel, dan bertambahnya rasa haus (Guyton and hall, 2012).
Bila kadar glukosa darah tidak terkontrol baik dalam waktu yang
lama pada diabetes mellitus, pembuluh darah diberbagai jaringan

30

diseluruh tubuh mulai mengalami gangguan fungsi dan perubahan


struktur yang berakibat ketidakcukupan ssuplai darah ke jaringan. Hal
tersebut selanjutnya akan meningkatkan resiko untuk terkena serangan
jantung, stroke, penyakit ginjal stadium akhir, retinopati dan kebutaan,
dan iskemi dan gangren ditungkai (Guyton and hall, 2012).
Peningkatan kadar glukosa darah yang berkepanjangan juga
menimbulkan

kerusakan

dibanyak

jaringan

lainnya.

Contohnya,

neuropati perifer yaitu kelainan fungsi saraf perifer, dan disfungsi system
saraf otonom yang sering menjadi komplikasi diabetes mellitus yang
tidak terkontrol dalam waktu lama. Kelainan-kelainan tersebut dapat
menimbulkan gangguan refleks kardiovaskular, gangguan pengaturan
kandung kemih, penurunan sensasi di ekstremitas, dan gejala-gejala lain
akibat kerusakan saraf perifer.
Mekanisme pasti yang menyebabkan kerusakan jaringan pada
diabetes

mellitus

belum

dipahami

sepenuhnya

namun

agaknya

melibatkan berbagai efek dari tinggianya kadar glukosa darah dan


kelainan metabolisme lainnya pada endotel dan sel otot polos vascular
dan jaringan lainnya. Selain itu, hipertensi akibat kerusakan ginjal, dan
aterosklerosis akibat kelainan metabolisme lipid, sering kali dijumpai
pada pasieen diabetes dan memperparah kerusakan jaringan yang timbul
akibat peningkatan kadar glukosa darah (Guyton and hall, 2012).
Pergeseran metabolisme karbohidrat ke metabolisme lemak pada
pasien diabetes akan meningkatkan pelepasan asam-asam keto seperti
asam asetoasetat dan asam -hidroksibutirat ke dalam plasma melebihi
kecepatan ambilan dan oksidasinya oleh sel-sel jaringan. Akibatnya,
pasien mengalami asidosis metabolik berat akibat asam keto yang
berlebihan, yang terkait dengan dehidrasi akibat pembentukan urin yang
berlebihan, dapat menimbulkan asidosis yang berat. Hal ini cepat
berkembang menjadi koma diabetikum dan kematian kecuali pasien
segera diobati dengan sejumlah besar insulin (Guyton and hall, 2012).
Semua upaya kompensasi fisiologi yang terjadi pada asidosis
diabetik. Upaya-upaya tersebut mencakup pernapasan yang dalam dan
cepat, yang akan meningkatkan ekspirasi karbon dioksida; hal ini akan
mendaparkan asidosis namun juga akan mengurangi cadangan bikarbonat

31

dicairan ekstrasel. Ginjal melakukan kompensasi dengan mengurangi


ekskresi bikarbonat dan menghasilkan bikarbonat baru yang ditambahkan
kembali ke cairan ekstrasel (Guyton and hall, 2012).
Walaupun asidosis yang ekstrem ini hanya terjadi pada kebanyakan
kasus diabetes yang tidak terkontrol, keadaan ini dapat menyebabkan
timbulnya koma asidosis dan kematian dalam beberapa jam setelah pH
darah turun dibawah 7,0. Seluruh perubahan elektrolit dalam darah
sebagai akibat dari keadaan asidosis diabetikum yang parah (Guyton and
hall, 2012).
Penggunaan lemak yang berlebihan di hati dalam kurun waktu
yang lama akan menyebabkan sejumlah besar kolesterol bersirkulasi
dalam darah dan menumpuknya kolesterol pada dinding arteri, keadaan
ini menimbulkan arteriosklerosis berat dan lesi-lesi vascular lainnya
(Guyton and hall, 2012).
Kegagalan menggunakan glukosa sebagai sumber energy berakibat
peningkatan mobilisasi protein dan lemak. Oleh karena itu, seseorang
dengan diabetes mellitus berat yang tidak diobati akan mengalami
penurunan berat badan yang cepat dan astenia (kurangnya energi)
meskipun ia memakan sejumlah besar makanan (polifagia). Tanpa
pengobatan, kelainan metabolisme ini dapat menyebabkan kehilangan
jaringan tubuh dan kematian dalam waktu beberapa minggu (Guyton and
hall, 2012).
B. Diabetes tipe 2
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan
pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah
tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan
kekurangan glukosa(Corwin, 2000).
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM
tipe II (Corwin, 2000).

32

Pada diabetes tipe 2 berbeda dengan diabetes tipe 1, dikaitkan


dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal
ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh ssel beta pankreas terhadap
penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu
suatu kondisi yang dikenal sebagai resistensi insulin. Penurunan
sensitivitas

insulin

mengganggu

penggunaan

dan

penyimpanan

karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan merangsang


peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton and hall,
2012).
Perkembangan resistensi insulin dan gangguan metabolisme
glukosa biasanya terjadi secara bertahap, yang dimulai dengan
peningkatan berat badan dan obesitas. Akan tetapi, mekanisme yang
menghubungkan obesitas dengan resistensi insulin masih belum pasti.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa jumlah reseptor insulin di otot
rangka, hati dan jaringan adipose pada orang obesitas lebih sedikit
daripada jumlah reseptor pada orang yang kurus. Namun kebanyakan
resistensi insulin agaknya disebabkan kelainan jaras sinyal yang
menghubungkan reseptor yang teraktivasi dengan berbagai efek selular.
Gangguan sinyal insulin agaknya disebabkan efek toksik dari akumulasi
lipid di jaringan sseperti otot rangka dan hati akibat kelebihan berat
badan (Guyton and hall, 2012).
Maninfestasi Diabetes Melitus Tipe 1 dan 2
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolic defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak
dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau
toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat
dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria.
Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkat
pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena
glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar

33

(polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien


mengeluh lelah dan mengantuk. (Price & Wilson, 2006)
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala
yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan,
polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau
beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan
segera.

Terapi

insulin

biasanya

diperlukan

untuk

mengontrol

metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya,


pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan
gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan
darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan
pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat
hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan
kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan
sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri
mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak
memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita
juga resisten terhadap insulin eksogen. (Price & Wilson, 2006)
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal
baha darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. (Sudoyo dkk,
2009)

34

Gambar 1.5 Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa


terganggu (Sudoyo dkk, 2009)
C. Diabetes Melitus Tipe Lain :
a. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi di :
1. kromosom 12, HNF- ( dahulu MODY 3)
2. kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
3. kromosom 20, HNF- (dahulu MODY 1)
4. kromosom 13, insulin promoter factor ( dahulu MODY 4)
5. kromosom 17, HNF-1 (dahulu MODY 5)
6. kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
7. DNA mitokondria
b. Defek genetik kerja insulin
Resistensi insulin tipe A, eprechaunism, sindrom Rabson
Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
c. Penyakit eksokrin pankreas
Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,
hemikromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.
d. Endokrinopati
Akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme,
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
e. Karena obat/zat kimia
Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid,
diazoxid, lainnya.
f. Infeksi
Rubella kongenital, CMV.
g. Imunologi (jarang)
Sindrom Stiffman, antibody antireseptor insulin.

35

h. Sindrom genetik lain


Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom
Wolframs ataksia Friedreichs, chorea Huntington, porfiria,
sindrom Prader Willi, lainnya (PERKENI, 2012).

Defek Genetik Fungsi Sel Beta


Diabetes tipe ini memiliki pravalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan
resisten terhadap insulin. Kelainan genetic telah dikenali dengan mutasi
yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4) (Price &
Wilson, 2012).
Akromegali
Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitu akron (ekstremitas)
dan megale (besar), yang didasarkan atas salah satu temuan klinis
akromegali, yaitu pembesaran tangan dan kaki. Sebagian besar (98%)
kasus akromegali disebabkan oleh tumor hipofisis. Gejala klinis yang
dijumpai pada pasien akromegali disebabkan oleh massa tumor dan
hipersekresi hormon pertumbuhan (growth hormone) yang terjadi
setelah lempeng pertumbuhan tulang menutup (Sudoyo, dkk, 2011).
a. Epidemiologi
Angka pervalensi akromegali diperkirakan mencapai 70
kasus dari satu juta penduduk, sementara angka kejadian
akromegali diperkirakan mencapai 3-4 kasus setiap tahunnya dari
satu juta penduduk. Usia rerata pasien yang terdiagnosis
akromegali adalah 4045 tahun (Sudoyo, dkk, 2011).
b. Patofisiologi
Tumor hipofisis afiterior akan menimbulkan efek massa
terhadap struktur sekitarnya. Gejala klinis yang sering ditemukan
adalah sakit kepala dan gangguan penglihatan. Pembesaran ukuran
tumor akan menyebabkan timbulnya keluhan sakit kepala, dan
penekanan pada kiasma optikum akan menyebabkan gangguan
penglihatan dan penyempitan lapang pandang. Selain itu,
penekanan pada daerah otak lainnya juga dapat menimbulkan
kejang, hemiparesis, dan gangguan kepribadian. Pada akromegali

36

dapat terjadi hipersekresi maupun penekanan sekresi hormon yang


dihasilkan oleh hipofisis anterior. Hiperprolaktinemia drjumpai
pada30% kasus sebagai akibat dari penekanan tangkai atau
histopatologi tumor tipe campuran. Selain itu, dapat terjadi
hipopituitari akibat penekanan massa hipofisis yang normal oleh
massa tumor (Sudoyo, dkk, 2011).
Hipersekresi hormon pefiumbuhan dapat menimbulkan
berbagai macam perubahan metabolik dan sistemik, seperti
pembengkakan jaringan lunak akibat peningkatan deposisi
glikosaminoglikan serta retensi cahan dan natrium oleh gnjal,
pertunbuhan tulang yang berlebihan, misalnya pada tulang wajah
dan ekstremitas, kelemahan tendon dan ligamen sendi, penebalan
jaringan kartilago sendi dan jaringan fibrosa periartikular,
osteoartritis, serta peningkatan aktivitas kelenjar keringat dan
sebasea (Sudoyo, dkk, 2011).
Hormon pertumbuhan yang berlebihan akan menyebabkan
gangguan organ dalam dan metabolik. Pembesaran organ dalam
(organomegali) seringkali ditemukan. Pada janturng terjadi
hipertrofi kedua ventrikel. Retensi cairan dan natrium akan
menyebabkan peningkatan volume plasrna dan berperanan dalam
terjadinya hipertensi pada pasien akromegali. Selain itu, efek
kontra hormon pertumbuhan terhadap kerja insulin di jaringan hati
maupun perifer dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu
(15%), ganggan glukosa darah puasa (19%), dan diabetes melitus
(20%). Efek tersebut diperkirakan terjadi melalui peningkatan
produksi dan ambilan asam lemak bebas. Resistensi insulin terjadi
akibat peningkatan massa jaringan lemak, penurunan lean body
mass, serta gangguan aktivitas fisik. Gangguan kerja enzim
trigliserida lipase dan lipoprotein lipase di hati akan menyebabkan
hipertrigliserida (Sudoyo, dkk, 2011).
c. Manifestasi Klinis
Tabel 1. Manifestasi klinis akromegali
Efek lokal tumor

Pembesaran hipofisis, defek lapang

37

kelumpuhan saraf kranial, sakit


Sistem somatik
Sistem muskuloskeletal

kepala.
Pembesaran akral
Gigantisme, maloklusi, prognatism,

Kulit dan saluran cerna


Sistem kardiovaskuler

atralgia, stritis, CTS, miopati


Hyperhidrosis, skin tag, polip kolon
Hipertrofi ventrikel kiri,

Sistem pernapasan

kardiomiopati, hipertensi, CHF


Gangguan tidur, sleep apnea,

Viseromegali

narkolepsi
Lidah, kelenjar tiroid, kelenjar saliva,

Sistem endokrin dan

limpa, ginjal, prostat.


Reproduksi: gangguan menstruasi,

metabolik

galaktorea, impotensi.
MEN tipe 1: hiperparatiroid, tumor
pancreas.
Karbohidrat: gangguan metabolism
glukosa, resistensi insulin,
hiperinsulinemia, DM.
Lemak: hipertrigliseridemia

Sindrom Cushing
a. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala sindrom cushing bervariasi, akan tetapi
kebanyakan orang dengan gangguan tersebut memiliki obesitas
tubuh bagian atas, wajah bulat, peningkatan lemak di sekitar
leher, dan lengan yang relatif ramping dan kaki. Anak-anak
cenderung untuk menjadi gemuk dengan tingkat pertumbuhan
menjadi lambat. Manifestasi klinis yang sering muncul pada
penderita cushing syndrome antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Rambut tipis
Moon face
Penyembuhan luka buruk
Mudah memar karena adanya penipisan kulit
Petekie
Kuku rusak
Kegemukan dibagian perut
Kurus pada ekstremitas
Striae

38

10. Osteoporosis
11. Diabetes Melitus
Gambar 1.6 Manifestasi
cushing. (National Endocrine

klinis sindrom
and Metabolic

Diseases Information Service, 2008)

Neuropati perifer Tandatanda umum dan gejala


lainnya termasuk:
1.
Kelelahan yang sangat parah
2. Otot-otot yang lemah
3. Tekanan darah tinggi
4. Glukosa darah tinggi
5. Rasa haus dan buang air kecil yang berlebihan
6. Mudah marah, cemas, bahkan depresi
7. Punuk lemak (fatty hump) antara dua bahu (National
Endocrine and Metabolic Diseases Information Service,
2008)
2. Pemeriksaan Penunjang Diabetes Melitus
A. Gula Darah Puasa (Fasting Blood Sugar)
a. Nilai Rujukan
Dewasa:
Serum dan Plasma: 70-110 mg/dl.
Darah lengkap: 60-100 mg/dl.
Nilai panik: < 40 mg/dl dan > 70 mg/dl.
Anak-anak:
Bayi baru lahir: 30-80 mg/dl.
Anak: 60-100 mg/dl.
Lansia: 70-120 mg/dl (Levefer kee, 2008).
b. Tujuan

39

Untuk memastikan diagnosis status pradiabetes atau diabetes


melitus dan untuk memantau kadar glukosa darah pada klien
diabetik mengonsumsi obat antidiabetik (insulin atau obat
hipoglikemik oral) (Levefer kee, 2008).
B. Gula Darah Dua Jam Postprandial
a. Nilai Rujukan
Dewasa:
Serum atau plasma: < 40 mg/dl/2 jam
Darah: < 120 mg/dl/2 jam
Lansia:
Serum: < 160 mg/dl/2 jam
Darah: < 140 mg/dl/2 jam
Anak-anak: < 120 mg/dl/2 jam (Levefer kee, 2008).
b. Deskripsi
Uji gula darah 2 jam pascaprandial biasanya dilakukan untuk
mengukur respon klien terhadap asupan tinggi karbohidrat 2 jam
setelah makan (sarapan pagi atau makan siang). Uji ini dilakukan
untuk pemindaian terhadap diabetes, normalnya dianjurkan bila kadar
gula darah puasa normal tinggi atau sedikit meningkat. Glukosa serum
>140 mg/dl atau kadar glukosa darah lebih besar dari 120 mg/dl
merupakan kadar yang abnormal, bila demikian, diperlukan uji lebih
lanjut (Levefer kee, 2008).
3. Pengobatan Diabetes Melitus
A. Farmakologi
a. Terpi Insulin
Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe 1 dan
beberapa jenis DM tipe 2, tetapi memang banyak pasien DM yang
enggan disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karenanya terapi
edukasi pasien DM sangatlah penting, agar pasien sadar akan
perlunya terapi insulin meski diberikan secara suntik. Suntikan
insulin dapat diberikan dengan berbagai cara seperti intravena,
intramusk

seperti

intravena,

intramusk

seperti

intravena,

intramuskular, dan umumnya pada pengguna jangka panjang lebih


disukai pemberian subkutan (SK). Cara pemberian ini berbeda
dengan keadaan sekresi insulin secara fisiologik. Setelah asupan
makanan kinetiknya tidak menunjukkan peningkatan dan penurunan

40

sekresi insulin yang cepat, pada pemberian subkutan insulin akan


berdifusi kesirkulasi perifer yang seharusnya langsung masuk ke
sirkulasi portal, karenanya efek langsung hormon ini pada hepar
menjadi kurang. Meski demikian kalau cara pembrian ini dilakukan
dengan cermat, tujuan terapi akan tercapai (Gunawan, 2012).

Preparat insulin dapat dibedakan berdasarkan lama kerja yaitu :


a. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai
kerjanya baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan),
contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
b. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit
daya larutnya di cairan jaringan dan menghambat resorpsinya
dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan
adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau
mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human.
c. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat
divariasikan dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin
dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM. Secara
keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian
akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar
glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak dapat
dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang
mungkin diberikan adalah insulin (Tabel 1) (Gunawan, 2012).
Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5U/kg berat badan.
Pasien kadang-kadang terjadi remisi dan pada periode ini
insulin tidak dibutuhkan (honeymoon phase). Untuk terapi
awal, regular insulin dan insulin kerja sedang (intermediate

41

acting) merupakan pilihan dan diberikan 2 kali sehari. Untuk


DM dewasa yang kurus 8-10U insulin kerja sedang diberikan
20-130 menit sebelum makan pagi dan 4-5U seblum makan
malam, DM dewasa gemuk 20U pagi hari dan 10U sebelum
makan malam. Dosis ditingkatkan secara bertahap sesuai
hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin (Gunawan, 2012).
Hipoglikemi merupakan efek samping yang paling
sering terjadi dan terjadi akibat dosis insulin yang terlalu
besar, tidak tepatnya waktu makan dengan waktu tercapainya
kadar puncak insulin, atau karena adanya faktor yang dapat
meningkatkan

sensitivitas

terhadap

insulin,

misalnya

insufisiensi adrenal atau pituitary ataupun kerja fisik yang


berlebihan (Gunawan, 2012).
b. Obat Antidiabetik Oral
Ada 5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan
untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia yaitu golongan
sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat -glikosidase, dan
tiazolidinedion. Kelima golongan obat ini dapat diberikan pada DM
tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan saja
(Tabel 1) (Gunawan, 2012).
1) Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi 1 terdiri dari
tolbutamid,

tolazamid,

asetoheksimid

dan

klorpropamid.

Generasi 2 yang potensi hipoglikemik lebih besar yaitu gliburid,


glipizid, gliklazid dan glimepirid. Golongan obat ini bekerja
merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu
hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat
berproduksi. Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat
golongan ini merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru
dengan berat badan normal dan kurang serta tidak pernah
mengalami ketoasidosis sebelumnya (Gunawan, 2012).

42

Sulfonilurea tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal


pada pasien DM juvenil, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak
stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat.
Obat-obat tersebut harus digunakan dengan sangat berhati-hati
pada DM dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, insufisiensi
endokrin, keadaan gizi buruk dan pada pasien yang mendapat
obat golongan lain (Gunawan, 2012).
2) Meglitinid
Repaglinid dan neteglinid merupakan golongan meglitinid.
Golongan ADO ini merangsang insulin dengan bantuan kanal K
yang ATP-independent di sel pankreas. Pada pemberian oral
absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1
jam. Masa paryhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa
kali sehari, sebelum makan. Metabolisme utamanya dihepar dan
metabolitnya tidak aktif. Pada pasien dengan gagguan fungsi
hepar atau ginjal harus diberikan secara berhati-hati. Efek
samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna
(Gunawan, 2012).
3) Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan ini yaitu
fenformin, buformin, dan metformin. Tetapi yang pertama telah
ditarik dari peredaran karena sering menyebabkan asidosis
laktat, saat ini yang paling sering digunakan adalah metformin,
metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan
produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan
hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan
pada penderita yang overweight. Obat golongan ini tidak boleh
diberikan pada kehamilan, pasien penyakit hepar berat, penyakit
ginjal dengan uremia, penyakit jantung kongestif dan penyakit
paru dengan hipoksia kronik (Gunawan, 2012).

43

4) Golongan Tiazolidinedion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis
yang luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin
dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot,
jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke
dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolidindion
diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu
resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga
tidak menyebabkan kelelahan sel pankreas. Efek samping dari
obat ini antara lain peningkatan berat badan, edema, menambah
volume plasma dan memperburuk gagal jantung kongestif
(Gunawan, 2012)
5) Penghambat enzim -Glikosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja
enzim glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin,contoh obatnya akarbose
(Gunawan, 2012)
Tabel 2 Ringkasan Pemberian Obat Diabetes (Katzung,2012)

Substansi

Mekanisme
kerja

Efek

Pemakaian
klinis

Farmakokinetika,
toksisitas dan

INSULIN

Mengkatifkan

Mengurangi

Diabetes tipe

interaksi
Parenteral (subkutan

Kerja cepat :

reseptor insulin

glukosa darah,

1 dan tipe 2

atau intravena)

Lispro, aspart,

mendorong

Masa kerja bervariasi

glulisin

transport dan

Toksisitas :

Kerja singkat :

oksidasi glukosa;

hipoglikemi,

Reguler

sintesis glikogen,

penambahan berat

Kerja sedang :

dan lemak

badan, lipodistrofi

NPH
Kerja lama :

(jarang)

44

Detemir, glargin
SULFONILURE

Secretagogue

Pada pasien yang

Diabetes tipe

Dapat diberikan per

insulin :

sel betanya masih

oral

Gliplzid

menutup saluran

berfungsi,

Masa kerja 10-24 jam

Glibunid

K+ disel beta.

mengurangi

Toksisitas :

Glimepirid

Meningkatkan

glukosa darah.

hipoglikemia,

pelepasan

Meningkatkan

penambahan berat

insulin

pembentukan

badan

glikogen, lemak
dan protein.
MEGLITINID
1. Repaglini
d

Secretagogue

Regulasi gen
Pada pasien yang

Insulin : serupa

sel betanya masih

Awitan kerja sangat

dengan

berfungsi,

cepat

sulfonilurea

mengurangi

Masa kerja 5-8jam

dengan tumpang

glukosa darah.

Toksisitas

tindih pada

Meningkatkan

hipoglikemia

tempat

pembentukan

pengikatan

glikogen, lemak

DM tipe 2

Oral

dan protein
2. Neteglinid

Secretagogue

Pada pasien yang

DM tipe 2

Oral

Insulin : serupa

sel betanya masih

Awitan kerja sangat

dengan

berfungsi,

cepat dan masa kerja

sulfonilurea

mengurangi

singkat (<4jam)

dengan tumpang

glukosa darah.

Toksisitas :

tindih pada

Meningkatkan

hipoglikemia

tempat

pembentukan

pengikatan

glikogen, lemak

BIGUANID

Belum jelas :

dan protein
Menurunkan

Diabetes tipe

Oral, Konsentarasi

Metformin

mengurangi

produksi glukosa

plasma maksimal

glukoneogenesis

endogen

dalam 2-3 jam

45

di hati dan ginjal

Toksisitas: gejala
pencernaan, asidosis
laktat (jarang). Tidak
dapat digunakan pada
pasien dengan
gangguan fungsi
ginjal/hati, gagal
jantung kongestif dan
keadaan

INHIBITOR

Menghambat

Mengurangi

Diabetes tipe

hipoksia/asidosis
Oral, awitan kerja

ALFA-

-glukosidase

perubahan tebung

cepat

GLUKOSIDASE

usus

dan disakarida

Tosisitas : gagal

Akarbosa,

menjadi

pencernaan

miglitol

monosakarida.

Tidak dapat digunakan

Mengurangi

pada pasien dengan

hiperglikemia

gangguan fungsi

pasca-makan

ginjal/hati, dan

TIAZOLIDINED

Mengatur

Mengurangi

Diabetes tipe

gangguan usus
Oral, kerja lama

ION

ekspirasi gen

resistensi insulin

(>24jam)

1. Pioglitazo
n

dengan

Toksisitas : retensi

meningkat

cairan, edema,

PPAR- dan

anemia, penambahan

PPAR-

berat, edema macula,


fraktur tulang pada
wanita.
Tidak dapat digunakan
pada CHF dan
penyakit hati.

2. Rosiglitaz
on

Mengatur

Mengurangi

Diabetes tipe

Oral, kerja lama

ekspirasi gen

retensi insulin

(>24jam)

46

dengan

Toksisitas : retensi

meningkat

cairan, edema,

PPAR-

anemia, penambahan
berat, edema macula,
fraktur tulang pada
wanita.
Tidak dapat digunakan
pada CHF dan
penyakit hati. Dapat
memperburuk
penyakit jantung.

B. Terapi Nonfarmakologi
4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu:
1. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan
perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan
keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif
dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki
perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami
penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan
atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini atau saat masih
reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit
secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang
diperlukan.

Edukasi

pada

penyandang

diabetes

meliputi

47

pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan


obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan
mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak (Sudoyo. 2014).
Terapi nonfarmakologi pada dasarnya adalah perubahan gaya
hidup yang mencakup pengaturan pola makan yang sering disebut
sebagai terapi nutrisi medis, latihan fisik dan edukasi berbagai
masalah yang terkait tentang penyakit diabetes melitus (Sudoyo.
2014).
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi Nutrisi Medis (TNM)

merupakan

bagian

dari

penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM


adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan lain serta pasien dan keluarganya).
Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyendang diabetes perlu ditentukan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurunan glukosa darah atau insulin (Sudoyo, 2014).
Terapi nutrisi medis pada dasarnya adalah melakukan pengaturan
pola makan yang didasarkan pada status gizi, kebutuhan makanan,
dan kondisi atau komplikasi yang telah ada (Sudoyo. 2014).
Tujuan terapi gizi medis bagi diabetisi adalah
1) Untuk mencapai dan mempertahankan:
a. Kadar glukosa darah dalam batas normal atau
mendekati normal tanpa efek samping hipoglikemi.
b. Glukosa darah sebelum makan (preprandial) antara 70130 mg/dL

48

c. Glukosa darah 1 jam sesudah makan (postprandial) <


180 mg/dL
d. Kadar A1C < 7%
e. Profil lipid untuk
f.
g.
h.
i.

mencegah

resiko

penyakit

kardiovaskuler.
Kolesterol LDL < 100 mg/dL
Kolesterol HDL > 40mg/dL
Trigliserida < 150 mg/Dl
Tekanan darah dalam batas normal atau mendekati

normal ( < 130/80 mmHg) (Sudoyo, 2014).


2) Untuk mencegah dan memperlambat berkembangnya
komplikasi kronis diabetes dan melakukan modifikasi asupan
nutrisi serta perubahan gaya hidup (Sudoyo. 2014).
3) Nutrisi diberikan secara individual dengan memperhitungkan
kebutuhan nutrisi dan memperhatikan kebiasaan makan
diabetisi (Sudoyo, 2014).
Petunjuk umum untuk penatalaksanaan TNM pada diabetes adalah
a. Meskipun susunan nutrisi oral ada banyak, pada prinsipnya
setiap

macam

diet

tetap

diusahakan

supaya

dapat

memperbaiki kesehatan umum diabetisi, menyesuaikan berat


badan diabetisi ke berat badan normal, menormalkan
pertumbuhan anak yang yang terkena DM atau pertumbuhan
dewasa muda yang terkena DM, menpertahankan glukosa
darah

mendekati

normal

agar

mencegah

timbulnya

komplikasi DM. Serta memberikan modifikasi diet sesuai


dengan penderita, misalnya diabetisi yang hamil, diabetisi
dengan penyakit hati, diabetisi dengan penyakit tuberkulosa
(Sudoyo, 2014).
b. Pada dasarnya diet diabetes diberikan dengan cara 3 kali
makan antara (kundapan), dengan jarak (interval) antara 3
jam. Hal yang sama digunakan pada kondisi dimana diabetisi
harus menggunakan nutrisi enteral (diet sonde) dengan
menggunakan rumus: E1, E2, E3, E4, E5, E6 artinya enteral

49

kesatu, kedua, dan seterusnya sampai enteral keenam


(Sudoyo, 2014).
c. Untuk kepatuhan dan keberhasilan terhadap diet, perlu
diingat 3K dari diabetisi yaitu kemauan, kemamouan, dan
kesempatan. Dalam pelaksanaan diet hendaknya mengikuti 3J
(Jumlah, Jadwal, Jenis) yang meliputi jumlah kalori yang
diberikan harus dihabiskan, jadwal makan harus diikuti, jenis
gula dan yang manis harus dipantang (Sudoyo, 2014).

Asupan Karbohidrat dan Serat


Efek karbohidrat pada kadar gula darah sangatlah kompleks.
Sumber-sumber gula yang dimurnikan (refinedsugar) akan diserap
lebih cepat dibandingkan dengan karbohidrat yang berasal dari pati
atau makanan berserat seperti sereal atau buah atau dari jenis
karbohidrat kompleks. Namun perlu diperhatikan efek glikemia
yang cukup besar variabilitasnya di antara berbagai makanan yang
komposisinya tampak sama (Snehalatha, 2009).
Melalui Indeks Glikemik (IG) dapat ditentukan kuantitas
glikemia dalam makanan. Makanan dengan IG tinggi akan
menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah lebih cepat. Oleh
karena itu dianjurkan bagi pasien penderita DM agar memilih
makanan dengan IG rendah. 1 Diet rendah IG akan memperbaiki
kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 1 dan 2. Dengan diet
rendah IG memperbaiki kadar glukosa darah jangka pendek dan
panjang, yang direfleksikan melalui penurunan secara signifikan
kadar fruktosamine dan hemoglobin A1C. 9 Makanan dengan IG
rendah adalah antara lain whole grain, buah-buahan, sayuran dan
kacang-kacangan yang juga termasuk dalam makanan kaya serat.
Makanan berserat akan memberikan serat pangan, vitamin dan
mineral serta substansi lain yang penting bagi kesehatan
(Snehalatha, 2009).

50

Dengan mengonsumsi serat dalam jumlah yang cukup dapat


memberikan manfaat metabolik berupa pengendalian gula darah,
hiperinsulinemia dan kadar lipidplasma atau faktor risiko
kardiovaskuler.1Jumlah serat yang dianjurkan untuk dikonsumsi
bagi penderita DM sama dengan jumlah serat yang dianjurkan pada
masyarakat umum, yaitu 15-20 gram/ 1000 kkal setiap harinya dari
berbagai bahan makanan sumber serat, terutama serat larut. Serat
sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 masih kurang dari
angka kecukupan serat 25 gram/hari dan asupan serat makanan
berkontribusi terhadap kadar glukosa darah penderita diabetes
melitus (p-value<0,05) (Snehalatha, 2009).
Asupan Lemak
Tujuan diet yang utama dalam kaitannya dengan lemak
makanan pada penyandang DM adalah membatasi asupan lemak
jenuh dan kolesterol dari makanan. Lemak jenuh merupakan
determinan diet yang penting untuk menentukan kadar LDLkolesterol di dalam plasma (Snehalatha, 2009).
Aspek paling penting yang berhubungan dengan komposisi
diet adalah konsumsi lemak jenuh <10% dari total energi atau
bahkan <8% bagi pasien dengan risiko kardiovaskuler tinggi.
Adanya rekomendasi kuat, yaitu tingginya risiko menderita
penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes dan kenyataan bahwa
asupan lemak jenuh memberikan efek terhadap metabolisme lemak
(meningkatkan kolesterol LDL), resistensi insulin dan tekanan
darah. Penyandang DM tampaknya lebih sensitif terhadap
kolesterol dalam makanan ketimbang populasi yang bukan DM
(Snehalatha, 2009).
Asupan kolesterol sebaiknya juga dikurangi, yaitu <300 mg
per hari bagi semua penderita diabetes dan <250 mg/hari bagi
individu yang mengalami peningkatan kolesterol LDL. Juga
dianjurkan untuk mengurangi asupan asam lemak tak jenuh trans

51

(asam lemak yang terbentuk ketika minyak nabati menjalani


hidrogenasi) karena jenis lemak ini memberikan efek yang
merugikan pada kadar LDL-kolesterol plasma. Makanan yang
mengandung lemak jenuh tinggi yang perlu dibatasi adalah
terutama dari daging, makanan laut (seafood), produk susu, seperti
keju dan es krim. Selain itu perlu membatasi konsumsi makanan
penganan (snacks), margarin, makanan yang dipanggang atau
dibakar dan makanan olahan yang banyak mengandung lemak trans
(Snehalatha, 2009)
Asupan Vitamin C
Selain zat gizi makro, zat gizi mikro juga berperan terhadap
penyakit DM. Salah satu zat gizi mikro tersebut adalah vitamin C.
Pada bagian asupan zat gizi mikro inikhusus membahas tentang
vitamin C karena beberapa penelitian menunjukkan peran vitamin
tersebut terkait dengan fungsinya sebagai antioksidan, yaitu
menurunkan resistensi insulin melalui perbaikan fungsi endothelial
dan

menurunkan

stress

oksidatif

sehingga

mencegah

berkembangnya kejadian diabetes tipe 2 (Snehalatha, 2009).


Upaya dalam merawat penderita DM melalui suplementasi
antioksidan atau makanan kaya

dengan antioksidan

akan

memberikan manfaat dalam memperkuat enzim pertahanan dan


menurunkan peroksidasi lipid (Snehalatha, 2009).
Hasil

penelitian

Afkhami-Ardekani

dan

Shojaoddiny-

Ardekani (2007) pada pasien diabetes ditemukan, suplementasi 500


mg vitamin C, yaitu 2 kali sehari selama 4 bulan dapat menurunkan
plasma

Low Density

Lipoprotein

(LDL),

total

kolesterol,

trigliserida dan insulin secara signifikan.Vitamin C terutama yang


bersumber dari bahan makanan alami, yaitu sayur-sayuran
danbuah-buahan apabila dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan akan
memberikan manfaat dalam mencegah
degeneratif (Snehalatha, 2009).

terjadinya

penyakit

52

Respons Glikemik Dan Nilai Indeks Glikemik


Respons glikemik merupakan kondisi fisiologis kadar
glukosa

darah

selama

periode

tertentu

setelah

seseorang

mengonsumsi pangan. Karbohidrat yang berasal dari tanaman yang


berbeda mempunyai respons glikemik yang berbeda pula.
Perbedaan respons glikemik juga mungkin terjadi pada karbohidrat
yang berasal dari tanaman yang sama namun berbeda varietas
(Snehalatha, 2009).

Gambar 2.1 Skema penyerapan glukosa dari pangan yang memiliki


indeks glikemik (IG) rendah (A) atau tinggi (B) pada saluran
pencernaan (atas) beserta kurva respons glukosa dalam darah (bawah)
(Snehalatha. 2009)

Pangan

ber-IG

rendah

dan

tinggi

dapat

dibedakan

berdasarkan kecepatan pencernaan dan penyerapan glukosa serta


fluktuasi kadarnya dalam darah. Pangan ber-IG rendah mengalami

53

proses pencernaan lambat, sehingga laju pengosongan perut pun


berlangsung lambat. Hal ini menyebabkan suspensi pangan (chyme)
lebih lambat mencapai usus kecil, sehingga penyerapan glukosa
pada usus kecil menjadi lambat. Akhirnya, fluktuasi kadar glukosa
darah pun relatif kecil yang ditunjukkan dengan kurva respons
glikemik yang landai (Gambar A). Sebaliknya, pangan ber-IG
tinggi mencirikan laju pengosongan perut, pencernaan karbohidrat,
dan penyerapan glukosa yang berlangsung cepat, sehingga fluktuasi
kadar glukosa darah juga relatif tinggi. Hal tersebut karena
penyerapan glukosa sebagian besar hanya terjadi pada usus kecil
bagian atas (Gambar B) (Snehalatha, 2009).
Cara menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
Tentukan dulu status gizi diabetisi berdasarkan berat badan
dan tinggi badan dengan menggunakan rumus indeks masa tubuh
(IMT) atau dengan menggunakan rumus berat badan relatif (BBR)
IMT = Indeks masa tubuh = BB: (TB)2 x 100%
(keterangan berat badan dalam kg, dan tinggi badan dalam cm)
Tabel 2: Klasifikasi nilai IMT
IMT
< 18,5
18,5 22,9
>23,0
23,0 - 24,9
25 - 29,9
>30

Klasifikasi
BB kurang
BB normal
BB lebih
Dengan resiko
Obesitas level I
Obesitas level II

BERAT BADAN RELATIF = BB : (TB-100) x 100%


Keterangan berat badan dalam kg, dan tinggi badan dalam cm
Gizi buruk

: <90 %

Normal:90 110 %
Gizi lebih

:110 120 %

54

Gemuk

: > 120 %

Kebutuhan kalori/ hari untuk menuju berat bdan normal


1. Berat badan kurang (BBR <90 %) kebutuhan kalori sehari 40
60 kal/kgBB
2. Berat badan normal (BBR 90-100 %) kebutuhan kalori sehari
30 kal/kgBB
3. Berat badan lebih (BBR >110 %) kebutuhan kalori sehari 20
kal/kgBB
4. Berat badan gemuk (BBR >120 %) kebutuhan kalori sehari
10 15 kal/kgBB (Sudoyo, 2014).
Adapun 10 petunjuk pola hidup sehat dengan sebutan
GULOH-SISAR

termasuk

terapi

nonfarmakologi

karena

mengandung unsur terapi nutrisi medis dan latihan fisik. GULOHSISAR dilaksanakan sebagai pedoman BNI (Batasi, Nikmati,
Imbangi) artinya bahwa para diabetisi bisa menikmati semua jenis
makanan namun jumlahnya harus dibatasi, kecuali yang manis
(gula dan lain-lain) sebaiknya dihindari. Tetapi bila mengkonsumsi
makanan dengan jumlah berlebih harus diimbangi dengan
melakukan olahraga yang lebih dari biasa yang dilakukan (Sudoyo,
2014)
GULOH-SISAR merupakan singkatan dari
1. G (Gula ); pentang gula bagi penderita Diabetes Mellitus dan
kurangi konsumsi gula bagi Non diabetes.tingkatkan MABUK
( makanan yg kaya kromium untuk memperbaiki kerja insulin
yaitu merica, apel, brokoli, udang, kacang-kacangan)
(Snehalatha, 2009).
2. U (Uric acid ) = asam urat batasi JAS-BUKET ( yaitu bahan
makanan kaya purin yang dapat meningkatkan asam urat : jeroan,
alkohol, sarden, burung dara, unggas, kaldu, emping, tape)
makanan tersebut harus BNI (Snehalatha, 2009).

55

3. L (Lemak ) ; batasi TEK-KUK-CS2 ( bahan makanan tinggi


lemak-kolesterol yaitu telur, keju, udang, kerang-cumi, susu,
santan) makanan ini juga harus BNI (Snehalatha, 2009).
4. O (Obesitas); target lingkar pinggang laki-laki < 90 cm dan
perempuan < 80 cm (Snehalatha, 2009).
5. H (Hipertensi); untuk penderita hipertensi batasi asupan garam,
kacang asin, ikan asin dll (Snehalatha, 2009).
6. S ( Sigaret); Hentikan merokok sekarang juga
7. I (Inaktivitas ); Hindarilah dan rutinkan olah-raga +300 kkal/jalan
3 km atau sit up 50-100 kali/latihan seminggu 3-4 kali
(Snehalatha, 2009).
8. S (Stres): usahakan tidur minimal 6 jam sehari untuk mengurangi
ketegangan dan meningkatkan relaksasi (Snehalatha, 2009).
9. A (Alkohol); hentikan konsumsi alcohol sekarang juga
(Snehalatha, 2009).
10. R (Reguler Check-up); control teratur, konsultasi dokter dan
terapi kesemuanya ini baik dilakukan pada usia > 40 th tiap
3,6,12 bulan sekali (Snehalatha, 2009).

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
secarateratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit),
meru-pakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga,berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasman
iselain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (Sudoyo,
2014).

56

4. Diaknosis banding Diabetes Melitus


A. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik adalah suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra
regulator (glukagon, ketokolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan),
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak
menentukan berat ringannya KAD (Ganong, 2012).
Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dkelompokkan
menjadi dua bagian yaitu (Ganong, 2012):
a. Akibat hiperglikemi
b. Akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem
homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam
jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.
Akibat lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi
benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi
produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat dan 3 beta
hidroksi butirat, dalam keadaan normal kadar 3 beta hidroksi butirat
meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak
begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel
tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa (Ganong,
2012).

57

Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam


sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen,
menghambat lipolisis pada sel lemak, menghambat glukoneogenesis
pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs
dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan
adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama
sel. Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan
defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator
insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu sensitivitas
insulin (Ganong, 2012).
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap
hormon kontra regulasi yang berlebihan glukagon, epinefrin, kortisol,
dan hormon pertumbuhan. Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh
resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang
berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses
patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati dan
otot. Perubahan yang terjadi terutama meibatkan metabolisme lemak
dan karbohidrat (Ganong, 2012).
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling
berperan dalam ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat proses
glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA adalah suatu
penghambat cartnitine acyl transferase yang bekerja pada transfer asam
lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan
glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulasi dengan
baik, bila kadar insulin rendah maka kadar glukagon darah sangat
meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada
sel-sel lemak dan hati (Ganong, 2012).
Kadar epinefrin dan kortisol darah menngikat pada KAD.
Hormon pertumbuhan pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang
meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.

58

Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada


akhirnya

akan

menstimulasi

pembentukan

benda-benda

keton,

glukonoegenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses


KAD terjadi maka akan terjadi stres berkepanjangan (Ganong, 2012).
Tabel 3: kriteria diagnosis KAD
Ringan (glukosa

KAD
Sedang

Berat (glukosa

HHS
Glukosa

plasma >250

(glukosa >250

plasma

plasma >600

pH darah arteri
Bikarbonat

mg/dL
7,25-7,30
15-18

mg/dL
7,00-<7,24
10-<15

>250mg/dL
<7,00
<10

mg/dL
>7,30
>18

serum (mEq/l)
Keton urin1
Keton serum1
Osmolalitas

+
+
Bervariasi

+
+
Bervariasi

+
+
Bervariasi

Sedikit
Sedikit
>320mOsm/kg

serum efektif2
Anion gap3
Status mental

>10
Sadar

>12
Sadar/somnole

>12
Sopor/koma

Bervariasi
Sopor/koma

Metode reaksi nitroprussid.

n
Osmolalitas efektif = 2[Na+(mEq/l)] +

glukosa (mg/dL)/18. 3Anion gap = (Na+) [Cl+HCO3(mEq/l)] (Priantono,


2014).
B. Diabetes Insipidus
Diabetes Insipidus adalah suatu kelainan dimana terjadi akibat
penurunan pembentukan hormon antidiuretik (vasopresin), hormon
yang secara alami mencegah pembentukan air kemih yang terlalu
banyak. Diabetes insipidus merupakan kelainan lobus posterior dari
kelenjar hipofisis akibat defisiensi vasopresin yang merupakan hormon
anti deuretik (ADH). Hal lain penyebab diabetes insipidus yaitu karena
sebab sekunder sekunder seperti trauma kepala, tumor otak, atau bedah
ablasi atau radiasi dari kelenjar pituitari. Hal ini juga dapat terjadi
karena infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis, tuberkulosis)
atau tumor (misalnya, penyakit metastatik, limfoma dari payudara atau

59

paru-paru). Penyebab lain diabetes insipidus adalah kegagalan tubulus


ginjal untuk menanggapi ADH, bentuk nephrogenik mungkin
berhubungan dengan hipokalemia, hiperkalsemia, dan berbagai obatobatan misalnya, lithium, demeclocycline (Sudoyo, 2014).
Diabetes insipidus diakibatkan oleh berbagai penyebab yang
dapat mengganggu mekanisme neurohypophyseal-renal reflex sehingga
mengakibatkan kegagalan tubuh dalam mengkonversi air. Diabetes
insipidus terbagi 2 macam, yaitu diabetes insipidus sentral (CDI) dan
diabetes insipidus nefrogenik (NDI) (Sudoyo, 2014).
a. Etiologi
Berikut ini adalah beberapa penyabab terjadinya diabetes
insipidus (Batticaca, 2008):
1) Diabetes Insipidus Central atau Neurogenik.
a) Bentuk idiopatik (bentuk nonfamiliar dan familiar)
b) Pasca hipofisektomi
c) Trauma (fraktur dasar tulang tengkorak)
d) Tumor (Karsinoma metastasis, kraniofaringioma, kista
suprasellar, pinealoma)
e) Granuloma (sarkoid, TB, sifilis):
(1) Infeksi (meningitis, ensefalitis, sindrom LemdryGuillain-Barre's;
(2) Vaskular (trombosis atau perdarahan serebral,
aneurisma

serebral,

nekrosis

sindrom Sheehenis;
(3) Mistiositosis (granuloma

postpartum

cosinofilis,

atau

penyakit

Sebuler-Christiem) (Sudoyo, 2014).


2) Diabetes insipidus Nephrogenik
Ginjal tidak memberikan respon terhadap hormon
antidiuretik sehingga ginjal terus-menerus mengeluarkan
sejumlah besar air kemih yang encer. Pada diabetes insipidus
lainnya, kelenjar hipofisa gagal menghasilkan hormon
antidiuretik. Diabetes Insipidus Nefrogenik dapat disebabkan
oleh beberapa hal yaitu:
a) Penyakit ginjal kronik: ginjal polikistik, medullary cystic
disease, pielonefretis, obstruksi ureteral, gagal ginjal
lanjut.
b) Gangguang elektrolit: Hipokalemia, hiperkalsemia.

60

c) Obat-obatan:

litium,

demoksiklin,

asetoheksamid,

tolazamid, glikurid, propoksifen.


d) Penyakit sickle cell
e) Gangguan diet (intake air yang berlebihan, penurunan
intake NaCl, penurunan intake protein) (Sudoyo, 2014).
b. Patofisiologi
Suatu keadaan yang ditandai dengan berkemih berlebihan
(poliuria) akibat ketidakmampuan ginjal menyerap air dengan
benar dari urine, disebabkan oleh defisiensi ADH (Anti Deuretik
Hormon). Keadaan ini terjadi oleh beberapa proses, termasuk
trauma kepala, tumor, penyakit peradangan hipotalamus dan
hipofisis serta tindakan bedah yang mengenai hipotalamus dan
hipofisis. Penyakit ini juga dapat timbul spontan tanpa penyakit
yang mendasari (Kumar, 2010).
Secara patogenesis diabetes insipidus dibagi menjadi dua
jenis, yaiu diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus
nefrogenik (Kumar, 2010).
1) Diabetes insipidus sentral
Diabates tipe ini disebabkan oleh kegagalan pelepasan
ADH yang secara fisiologi dapat merupakan kegagalan
sintesis atau penyimpanan. Secara antomis, kelainan ini
terjadi akibat kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikuer
dan filiformishipotalamus yang menyintesis ADH. Selain itu,
DIS (Diabetes Insipidus Sentral) juga timbul karena
gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson
traktus supraoptikohipofisis posterior di mana ADH disimpan
untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika
dibutuhkan. (Kumar, 2010).
Secara biokimiawi, DIS terjadi karena tidak adanay
sintesis ADH, atau sintesis ADH yang tidak memenuhi
kebutuhan, atau kuantitatif cukup tapi bukan merupakan
ADH yang dapat berfungsi sebagaimana ADH normal.
Diabetes

insipidus

yang

diakibatkan

oleh

kerusakan

osmoreseptor yang terdapat pada hipotalamus anterior dan

61

disebut Verneys osmoreceptor cells yang berada di luar


sawar darah otak, juga termasuk dalam DIS (Kumar, 2010)
2) Diabetes insipidus nefrogenik
Pada diabetes insipidus yang tidak respon terhadap
ADH

eksogen

digunakan

istilah

Diabetes

Insipidus

Nefrogenik (DIN). Secara fisiologis, DIN dapat disebabkan


oleh:
a. kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient
osmotik dalam medula renalis.
b. kegagalan utilisasi gradient pada keadaan saat ADH
berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi norma
(Sudoyo, 2006).
Secara normal, permeabilitas tubulus distal dan
collecting duct terhadap air akan ditingkatkan oleh ADH
yang kemudian dapat berdifusi secara pasif akibat adanya
perbedaan konsentrasi. Maka jika terdapat ADH dalam
sirkulasi, bisa terjadi difusi pasif yang kemudian air keluar
dari tubulus distal sehinggaterjadi keseimbangan osmotik
antara isi tubulus dan korteks yang isotonis. Sejumlah kecil
urin yang isotonis memasuki collecting duct dan melewati
medula yang hipertonis karena ADH juga mengakibatkan
keseimbangan osmotik antara collecting duct dan jaringan
interstisial
direabsorbsi

medula,
kembali

maka

air

sehingga

secara

progresif

terbentuk

urin

akan
yang

terkonsentrasi (Sudoyo, 2006).


Pada kegagalan sekresi ADH, struktur tubulus distal
tidak permeabel terhadap air, sehingga saat urin yang
hipotonis melewati tubulus distal, ion natrium akan lebih
banyak dikeluarkan yang berakibat penurunan osmolalitas
atau kekentalan urin. Kemudian, urin yang sangat hipotonis
memasuki collecting duct yang juga relatif tidak permeabel
(karena ADH menurun) sehingga memungkinkan ekskresi
sejumlah besar urin (Sudoyo, 2006).

62

Gambaran klinis kedua penyakit ini serupa yang


menyebabkan ekskresi sejumlah besar urin encer dengan
berat jenis rendah. Natrium dan osmolalitas serum meningkat
akibat hilangnya air bebas dalam jumlah besar melalui ginjal,
sehingga pasien merasa haus dan mengalami polidipsia.
Pasien yang dapat minum biasanya dapat mengompensasi
pengeluaran urin,. Pasien yang kesadarannya berkurang, tidak
dapat

turun

dari

dari

tempat

tidur

atau

terbatas

kemampuannya memperoleh air dapat mengalami dehidrasi


dan mengancam nyawa (Kumar, 2010).
c. Manifestasi klinis
Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah poliuria
dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi
urin per 24 jam sangat banyak, dapat mencapai 5 10 liter sehari.
Berat jenis urin biasanya sangat rendah, berkisar antara 1001
1005 atau. Penurunan osmolaritas urine < 50-200m. Osm/kg berat
badan, Peningkatan osmolaritas serum > 300 m. Osm/kg. Selain
poliuria dan polidipsia, biasanya tidak terdapat gejalagejala lain
kecuali jika ada penyakit lain yang menyebabkan timbulnya
gangguan pada mekanisme neurohypophyseal renal reflex
(Sudoyo, 2006).
Jika merupakan penyakit keturunan, maka gejala biasanya
mulai timbul segera setelah lahir. Gejalanya berupa rasa haus
yang berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar air
kemih yang encer (poliuri). Bayi tidak dapat menyatakan rasa
hausnya, sehingga mereka bisa mengalami dehidrasi. Bayi bisa
mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah dan
kejang-kejang. Jika tidak segera terdiagnosis dan diobati, bisa
terjadi kerusakan otak, sehingga bayi mengalami keterbelakangan
mental. Dehidrasi yang sering berulang juga akan menghambat
perkembangan fisik (Sudoyo, 2006).
d. Komplikasi

63

Diabetes insipidus nefrogenik primer disertai dengan


retardasi mental. Retardasi tersebut lebih mungkin merupakan
akibat dari episode dehidrasi hipertonik berulang daripada akibat
penyakitnya sendiri. Retardasi pertumbuhan secara seragam
terdapat pada laki-laki dengan gangguan primer dan biasanya
tidak ada wanita. Biasanya, kegagalan pertumbuhan diduga
diakibatkan oleh masukkan kalori yang tidak cukup karena
masukan cairan yang berlebihan, tetapi sekarang tampaknya
kegagalan pertumbuhan tersebut bersifat intrinsic karena keadaan
homozigot. Dilatasi sistem pengumpul urin dapat diakibatkan dari
produksi yang berlebihan. Karenanya, anatomi saluran urin harus
diperiksa untuk membuktikan adanya hidronefrosis setiap
beberapa tahun dengan scan ginjal (pielografi intravena mungkin
tidak memvisulisasikan sistem pengumpulnya bila ada aliran
cepat urin encer dalam volume yang besar) (Sudoyo, 2006).
e. Pemeriksaan Penunjang
Jika kita mencurigai penyebab poliuria ini adalah Diabetes
Insipidus, maka harus melakukan pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis dan untuk membedakan apakah jenis Diabetes Insipidus
yang dialami, karena penatalaksanaan dari dua jenis diabetes
insipidus ini berbeda. Ada beberapa pemeriksaan pada Diabetes
Insipidus, antara lain:
1) Fluid deprivation menurut martin Goldberg:
Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk
mengosongkan kandung kencingnya kemudian ditimbang
berat badannya, diperiksa volum dan jenis atau osmolalitas
urin oertama. Pada saat ini pasien diambil sampel plasma
untuk diukur osmolallitasnya. Pasien diminta buang air kecil
sesering mungkin paling sedikit setiap jam. Pasien ditimbang
setiap jam bila dieresis lebih dari 300ml/jam atau setiap 3 jam
bila dieresis kurang dari 300ml/jam. Setiap sampel urin
sebaiknya diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan segar atau
kalau hal ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus

64

disimpan dalam botol yang tertutup rapat serta disipan dalam


lemari es. Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat
badan menurun 3-4% tergantung mana yang terjadi lebih
dahulu (Sudoyo, 2006).
2) Hickey Hare atau Carter-Robbins test
Cairan NaCl hipertonis diberikan intravena dan akan
menunjukkan bagaimana respon osmoreseptor dan daya
pembuatan ADH. Cara pemeriksaan menurut Williams
adalah:
a) Infuse dengan dextrose dan air sampai terjadi dieresis 5
ml/menit (biasanya 8-10 ml/menit).
b) Infuse diganti dengan NaCl 2,5 % dengan jumlah 0,25
ml/menit/kgbb. Dipertahankan selama 45 menit.
c) Urin ditampung selama 15 menit.
Penilaian : kalau normal dieresis akan menurun secara
mencolok.
Perhatian: pemeriksaan ini cukup berbahaya (Sudoyo, 2006).
3) Uji haus
Dilihat berapa lama penderita bisa tahan tanpa minum.
Biasanya tidak lama anak akan menjadi gelisah, banyak
kencing dan terjadi bahaya dehidrasi. Berat jenis urin tetap
rendah, sedangkan pada compulsive water drinker berat jenis
urin akan naik (Sudoyo, 2006).
4) Uji nikotin
Produksi vasopressin oleh sel hipotalamus langsing
dirangsang oleh nikotin. Obat yang dipakai adalah nikotin
salisilat secara intravena. Akibat sampingnya adalah mual
dan muntah.
Penilaian
: kalau normal dieresis akan menurun secara
mencolok.
Perhatian

: pemeriksaan ini cukup berbahaya (Sudoyo,

2006).
5) Uji Vasopresin: Pemeriksaan ini untuk membuktikan bahwa
ginjal dapat memberikan respons terhadap ADH. Obat yang
dipakai adalah pitresin.
a) Untuk intravena diberikan pitresin dalam akua 5 ml
unit/menit dalam infus lambat selama 1 jam.

65

b) Untuk pemberian intramuscular diberikan vasopressin tanat


dalam minyak 5 U.
Apapun

pemeriksaannya,

prinsipnya

adalah

untuk

mengetahui volume, berat jenis, atau konsentrasi urin. Sedangkan


untuk mengetahui jenisnya, dapat dengan memberikan vasopresin
sintetis, pada Diabetes Insipidus Sentral akan terjadi penurunan
jumlah urin, dan pada Diabetes Insipidus Nefrogenik tidak terjadi
apa-apa (Sudoyo, 2006).
3. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus gestasional (GDM) didefinisikan sebagai
derajat apapun intoleransi glukosa dengan onset atau pengakuan
pertama selama kehamilan.(WHO-World Health Organisation 2011).
Hal ni berlaku baik insulin atau modifikasi diet hanya digunakan untuk
pengobatan dan apakah atau tidak kondisi tersebut terus berlangsung
setelah kehamilan. Ini tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa
intoleransi glukosa yang belum diakui mungkin telah dimulai
bersamaan dengan kehamilan (Sudoyo, 2006).
a. Etiologi
Selama kehamilan, peningkatan kadar hormon tertentu
dibuat dalam plasenta (organ yang menghubungkan bayi dengan
tali pusat ke rahim) nutrisi membantu pergeseran dari ibu ke
janin. Hormon lain yang diproduksi oleh plasenta untuk
membantu mencegah ibu dari mengembangkan gula darah
rendah.

Selama

kehamilan,

hormon

ini

menyebabkan

terganggunya intoleransi glukosa progresif (kadar gula darah yang


lebih tinggi). Untuk mencoba menurunkan kadar gula darah,
tubuh membuat insulin lebih banyak supaya sel mendapat glukosa
bagi memproduksi sumber energi. Biasanya pankreas ibu mampu
memproduksi insulin lebih (sekitar tiga kali jumlah normal) untuk
mengatasi efek hormon kehamilan pada tingkat gula darah.
Namun, jika pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang
cukup untuk mengatasi efek dari peningkatan hormon selama

66

kehamilan, kadar gula darah akan naik, mengakibatkan GDM.


(Sudoyo, 2006).
b. Faktor Risiko
Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko terkena GDM
selama kehamilan:
1) Kelebihan berat badan sebelum hamil (lebih 20% dari berat
badan ideal).
2) Merupakan anggota kelompok etnis risiko tinggi (Hispanik,
Black, penduduk asli Amerika, atau Asia).
3) Gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu
(kadar gula darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk
menjadi diabetes).
4) Riwayat keluarga diabetes (jika orang tua atau saudara
kandung memiliki diabetes).
5) Sebelumnya melahirkan bayi lebih dari 4 kg atau sebelumnya
melahirkan bayi lahir mati.
6) Mendapat diabetes kehamilan dengan kehamilan sebelumnya.
7) Memiliki terlalu banyak cairan ketuban (suatu kondisi yang
disebut polihidramnion) (Sudoyo, 2006).
Banyak wanita yang mengalami GDM tidak memiliki faktor
risiko yang diketahui.
c. Patogenesis
Kehamilan adalah suatu kondisi diabetogenic ditandai
dengan resistensi insulin dengan peningkatan kompensasi sebagai
respon -sel dan hyperinsulinemia. Resistensi insulin biasanya
dimulai pada trimester kedua dan memaju ke seluruh sisa dari
kehamilan. Plasenta sekresi hormon seperti progesteron, kortisol
laktogen,

plasenta,

prolaktin,

dan

hormon

pertumbuhan,

merupakan penyumbang utama kepada resistensi insulin yang


terlihat dalam kehamilan. Resistensi pada insulin mungkin
berperan dalam memastikan bahwa janin memiliki tenaga yang
cukup dari glukosa dengan mengubah metabolisme energi ibu
dari karbohidrat ke lemak (Sudoyo, 2006).
Wanita dengan GDM memiliki keparahan yang lebih besar
dari resistensi insulin dibandingkan dengan resistensi insulin

67

terlihat pada kehamilan normal. Mereka juga memiliki penurunan


dari peningkatan kompensasi dalam sekresi insulin, khususnya
pada fase pertama sekresi insulin. Penurunan pada insulin fase
pertama mungkin menandakan kerusakan fungsi sel . Xiang et al
menemukan bahwa wanita dengan GDM Latino meningkat
resistensi terhadap pengaruh insulin pada clearance glukosa dan
produksi dibandingkan dengan wanita hamil normal. Selain itu,
mereka menemukan bahwa wanita dengan GDM mengalami
penurunan 67% sebagai kompensasi -sel mereka dibandingkan
dengan normal peserta kontrol hamil (Sudoyo, 2006).
Ada juga kebanyakan wanita dengan GDM yang memiliki
bukti autoimun sel islet. Prevalensi dilaporkan antibodi sel islet
pada wanita dengan GDM berkisar 1,6-38%. Prevalensi
autoantibodi lain, termasuk autoantibodi insulin dan antibodi
asam glutamat dekarboksilase, juga telah variabel. Wanita-wanita
ini mungkin menghadapi risiko untuk mengembangkan bentuk
autoimun diabetes di kemudian hari. Akhirnya, dalam 5% dari
semua

kasus

GDM,

-sel

ketidakmampuan

untuk

mengkompensasi resistensi insulin adalah hasil dari cacat di -sel,


seperti mutasi pada glukokinase (Sudoyo, 2006).
d. Gejala Klinis
Diabetes mellitus gestasional adalah bentuk sementara
(dalam banyak kasus) diabetes dimana tubuh tidak memproduksi
insulin dalam jumlah yang cukup untuk menangani gula selama
kehamilan. Hal ini juga bisa disebut intoleransi glukosa atau
intoleransi karbohidrat. Tanda dan gejala dapat termasuk:
1) Gula dalam urin
2) Sentiasa rasa haus
3) Sering buang air kecil
4) Kelelahan
5) Mual
6) Sering infeksi kandung kemih, vagina dan kulit
7) Penglihatan kabur (Sudoyo, 2006).

68

e. Pemeriksaan Penunjang
Tes Tolenrasi Glukosa Oral (TTGO) adalah rutin untuk
semua wanita hamil. Tes ini juga dapat diindikasikan untuk
diabetes pada kehamilan (diabetes gestasional). Banyak di antara
ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan gejala, tetapi
menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil.
(Sudoyo, 2006)
1) Prosedur pemeriksaan bagi Tes Tolenrasi Glukosa Oral
(TTGO)
Selama 3 hari sebelum tes dilakukan penderita harus
mengkonsumsi sekitar 150 gram karbohidrat setiap hari.
Terapi obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium
harus dihentikan hingga tes dilaksanakan. Beberapa jenis
obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium adalah
insulin, kortikosteroid (kortison), kontrasepsi oral, estrogen,
anticonvulsant, diuretik, tiazid, salisilat, asam askorbat.
Selain itu penderita juga tidak boleh minum alkohol.
(Sudoyo, 2006)
Protokol urutan pengambilan darah berbeda-beda;
kebanyakan pengambilan darah setelah puasa, dan setelah 1
dan 2 jam. Ada beberapa yang mengambil darah jam ke-3,
sedangkan yang lainnya lagi mengambil darah pada jam
dan 1 jam setelah pemberian glukosa. Yang akan
diuraikan di sini adalah pengambilan darah pada waktu
jam, 1 jam, 1 jam, dan 2 jam. Sebelum dilakukan tes,
penderita harus berpuasa selama 12 jam. Pengambilan
sampel darah dilakukan sebagai berikut :
a) Pagi hari setelah puasa, penderita diambil darah vena 35 ml untuk uji glukosa darah puasa. Penderita
mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan
sampel urinenya.
b) Penderita diberikan minum glukosa 75 gram yang
dilarutkan dalam segelas air (250ml). Lebih baik jika
dibumbui dengan perasa, misalnya dengan limun.

69

c) Pada waktu jam, 1 jam, 1 jam, dan 2 jam, penderita


diambil darah untuk pemeriksaan glukosa. Pada waktu
1 jam dan 2 jam penderita mengosongkan kandung
kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya secara
terpisah. (Sudoyo, 2006)
Selama TTGO dilakukan, penderita tidak boleh minum
kopi, teh, makan permen, merokok, berjalan-jalan, atau
melakukan aktifitas fisik yang berat. Minum air putih yang
tidak mengandung gula masih diperkenankan. (Sudoyo,
2006)
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil
laboratorium adalah:
a) Penggunaan obat-obatan tertentu
b) Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma,
tirah baring, obesitas dapat meningkatkan kadar
glukosa darah.
c) Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan
kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik dapat
menurunkan kadar glukosa darah.
d) Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang
lebih tinggi. Sekresi insulin menurun karena proses
penuaan. (Sudoyo, 2006).
2) Intepretasi hasil Lab TTGO bagi GDM
a) Puasa: 95 mg / dL atau lebih tinggi
b) Jam Pertama: 180 mg / dL atau lebih tinggi
c) Jam Kedua: 155 mg / dL atau lebih tinggi
d) Jam Ketiga: 140 mg / dL atau lebih tinggi (Sudoyo,
2006).
f. Diagnosa
Tes Toleransi glukosa oral (TTGO) yang paling umum
digunakan untuk mendiagnosis GDM di Amerika Serikat adalah
TTGO,

3-jam-g

100.

Menurut

kriteria

diagnostik

yang

direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA),


GDM didiagnosa jika kadar plasma dua atau lebih glukosa
memenuhi atau melebihi ambang batas berikut: konsentrasi

70

glukosa puasa 95 mg / dl, kadar glukosa 1-jam 180 mg / dl , 2-jam


glukosa konsentrasi 155 mg / dl, atau 3 jam konsentrasi glukosa
140 mg / dl. Tetapi nilai-nilai ini lebih rendah daripada batas yang
direkomendasikan oleh National Diabetes Data Group dan
didasarkan pada Carpenter dan modifikasi Coustan. Rekomendasi
ADA juga mencakup penggunaan-g OGTT-jam 75 2 dengan batas
glukosa yang sama terdaftar untuk berpuasa, 1-jam, dan jam nilai
2 (Sudoyo, 2006).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kriteria diagnostik,
yang digunakan hanya di negara di luar Amerika Utara,
didasarkan pada TTGO 75-g 2-jam. GDM didiagnosa oleh WHO
kriteria jika baik glukosa puasa> 126 mg / dl atau glukosa 2 jam
adalah> 140 mg / dl (Sudoyo, 2006).
Penilaian risiko untuk GDM harus dilakukan pada
kunjungan prenatal pertama. Wanita dengan karakteristik klinis
yang konsisten dengan risiko tinggi GDM (obesitas ditandai,
sejarah pribadi GDM, glikosuria, atau riwayat keluarga yang kuat
diabetes) harus menjalani pengujian secepat mungkin. Jika
mereka ternyata tidak memiliki GDM pada skrining awal, mereka
harus diuji ulang antara minggu kehamilan ke 24 hingga ke 28.
Perempuan risiko sedang harus memiliki pengujian dilakukan
pada minggu kehamilan ke 24 hingga ke 28 (Sudoyo, 2006).
Status pasien yang mempunyai risiko rendah tidak
memerlukan pengujian glukosa, tapi kategori ini terbatas pada
wanita-wanita yang memenuhi seluruh karakteristik berikut:
a) Usia <25 tahun.
b) Berat badan normal sebelum hamil.
c) Anggota kelompok etnis dengan prevalensi rendah GDM.
d) Tidak ada riwayat keluarga yang mempunyai diabetes.
e) Tidak ada riwayat toleransi glukosa abnormal.
f) Tidak ada riwayat hasil obstetri buruk (Sudoyo, 2006).
Jika tingkat glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/l)
atau glukosa plasma santai> 200 mg/dl (11,1 mmol/l) memenuhi
ambang batas normal untuk diagnosis diabetes, dan dapat
dikonfirmasi pada hari seterusnya, maka tidak perlu untuk
lakukan test menentukan kadar glukosa yang lain. Maka bagi

71

pasien tidak menunjukan sebarang tanda hiperglikemia, evaluasi


untuk GDM pada wanita dengan karakteristik risiko sedang atau
risiko tinggi harus mengikuti salah satu dari dua pendekatan:
1) Lakukan tes diagnostik toleransi glukosa oral (TTGO) tanpa
plasma

sebelumnya

atau

skrining

serum

glukosa.

Pendekatan langkah pertama ini adalah paling efektif pada


pasien berisiko tinggi atau populasi (misalnya, beberapa
kelompok asli-Amerika) (Sudoyo, 2006).
2) Melakukan pemeriksaan awal dengan mengukur plasma
atau serum glukosa 1 jam setelah beban glukosa 50-g oral
(glucose challenge test [GCT]) dan melakukan TTGO
diagnostik pada subset dari perempuan yang mempunyai
nilai ambang glukosa yang lebih tinggi dari di GCT
tersebut. Ketika dua langkah pendekatan yang digunakan,
nilai ambang glukosa> 140 mg / dl (7,8 mmol / l)
mengidentifikasi sekitar 80% wanita dengan GDM, dan
hasil yang meningkat menjadi 90% dengan menggunakan
cutoff dari> 130 mg / dl (7,2 mmol / l) (Sudoyo, 2006).
Dengan pendekatan baik, diagnosis GDM didasarkan pada
sebuah TTGO. Kriteria Diagnostik untuk-g TTGO 100 berasal
dari karya asli O'Sullivan dan Mahan, dimodifikasi oleh
Carpenter

dan

Coustan,

diagnosis

dapat

dibuat

dengan

menggunakan beban glukosa g-75 dan daftar nilai ambang


glukosa puasa, jam 1, dan jam 2, namun tes ini tidak serta
divalidasi untuk deteksi-risiko bayi di atau ibu sebagai TTGO100g (Sudoyo, 2006).
Tabel 4 : Kriteria Diabetes Mellitus Gestasional (GDM)
Kriteria

1964

1979

1999

OSullivan dan

NDDG

WHO

2000 ADA 2001 ADA

Mahan
Medium

Darah

Plasma

Plasma

Plasma

Plasma

Plasma

72

dan

lengkap

100g-3j

100g-3j

75g-2j

100g-3j

72g-2j

Waktu

100g-3j

(mmol/L

(mmol/L

(mmol/L

(mmol/L

(mmol/L

(mmol/l,

(mg/dL))

(mg/dL))

(mg/dL))

(mg/dL))

(mg/dL))

Puasa
Jam

(mg.dL))
5.0 (90)
9.2 (165)

5.8 (105)
10.6

5.8 (105)
10.6

<7.0 (126)

5.3 (95)
10.0

5.3 (95)
10.0

Pertama
Jam

8.1 (145)

(190)
9.2 (165)

(190)
9.2 (165)

(180)
>7.8 (140), 8.6 (155)

Kedua
Jam

(180)
8.6 (155)

11.1 (200)
6.9 (125)

8.1 (145)

8.1 (145)

7.8 (140)

Ketiga
ADA,

American

Diabetic

Association;

WHO,

World

Health

Organization;
NDDG, National Diabetes Data Group
: Perlukan dua nilai elevasi untuk diagnosis
: Perlukan satu nilai elevasi untuk diagnosis (Sudoyo, 2006).

g. Komplikasi
Komplikasi akibat GDM bisa berlaku pada janin dan juga
pada ibu. Komplikasi janin termasuk makrosomia, hipoglikemia
neonatal,

kematian

perinatal,

kelainan

bawaan,

hiperbilirubinemia, polisitemia, hypocalcemia, dan sindrom


gangguan pernapasan. Makrosomia, yang didefinisikan sebagai
berat lahir > 4.000 g, terjadi pada 20-30% bayi yang ibunya
menderita GDM. Faktor-faktor lain yang dapat diperlihat pada ibu
yang memicukan peningkatan insiden kelahiran janin makrosomia
termasuk hiperglikemia, Body Mass Index (BMI) tinggi, usia
yang lebih tua, multiparitas. Dengan ini, kasus makrosomia dapat
menyebabkan untuk morbiditas janin meningkat sewaktu
dilahirkan, seperti distosia bahu, dan meningkatkan risiko
kelahiran secara sactio caesaria (Sudoyo, 2006).

73

Hipoglikemia neonatal dapat terjadi dalam beberapa jam


setelah dilahirkan. Hal ini adalah karena ibu yang hiperglikemia
dapat menyebabkan janin hiperinsulinemia. Komplikasi jangka
panjang pada janin dengan ibu GDM termasuk peningkatan risiko
intoleransi glukosa, diabetes, dan obesitas (Sudoyo, 2006).
Komplikasi pada ibu GDM meliputi hipertensi,
preeklampsia, dan peningkatan risiko kelahiran secara sactio
caesaria. Hipertensi ini mungkin terkait dengan resistensi insulin.
Oleh karena itu, intervensi yang menunjukkan peningkatkan
sensitivitas insulin dapat membantu mencegah komplikasi ini.
Selain itu, wanita dengan riwayat GDM memiliki peningkatan
risiko diabetes setelah kehamilan dibandingkan dengan populasi
umum, dengan tingkat konversi hingga 3% per tahun (Sudoyo,
2006).

Daftar Pustaka
Bertram & Katzung, 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi,EGC, Jakarta
Girard J, 1995. NIDDM and glucose transport in cells. In ( Assan, R, ed )
NIDDM and glucose transport in cells. Molecular Endocrinology and
Development CNRS Meudon, France: 6 16.
Gunawan Sulistia Gan. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta; Fakultas
kedokteran universitas Indonesia
Guyton, AC & Hall,2012. Buku Ajar Fisiologi Manusia. EGC, Jakarta.
Katzung Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 12. Jakarta;
EGC
Kramer W, 1995. The molecular interaction of sulphonylureas. DRCP 28: 67
80

74

National Endocrine and Metabolic Disease Information Service. 2008. Cushings


Syndrome. National Endocrine and Metabolic, Inc.
Price and Wilson. 2011. Patofisiologi: Konsep Klinis dan Prinsip-prinsip Dasar.
EGC, Jakarta.
Snehalatha, Chamukuttan dan Ramachandran, Ambady. 2009. Diabetes melitus
dalam gizi kesehatan masyarakat. Editor : Michael J Gibney, et al.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Sudoyo . 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi keenam jilid II. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta
Ward WD, 1984. Pathophysiology of insulin secretion in non insulin dependent
diabetes mellitus. Diabetes Care 7 : 491 502

Anda mungkin juga menyukai